Home Blog Page 185

Di manakah Yesus Dilahirkan?

9

Kitab Suci menyebutkan bahwa ketika dilahirkan sebagai manusia, Tuhan Yesus dilahirkan di kota Betlehem (lih. Mat 2:1, 5-6, Luk 2:4-6), sebagai penggenapan dari nubuat Nabi Mikha (lih. Mi 5:1). Betlehem sendiri artinya adalah “rumah roti”, sehingga cocok dengan salah satu sebutan Yesus sendiri, sebagai Sang Roti Hidup (lih. Yoh 6:35). Sang Roti Hidup memilih untuk lahir di Betlehem: di “rumah roti”. Sedangkan dikatakan bahwa Kristus dilahirkan di kandang, itu dihubungkan dengan kenyataan bahwa Injil Lukas menyebutkan bahwa Ia “dibaringkan di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:7). Palungan adalah tempat makan ternak, sehingga disimpulkan bahwa Tuhan Yesus dilahirkan di kandang ternak, sehubungan dengan penjabaran Luk 2:8.

Maka tidak disebutkan secara eksplisit dalam Kitab Suci bahwa Tuhan Yesus lahir di kandang domba, namun dengan ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Tuhan Yesus dilahirkan di kandang atau di tempat di mana ternak bernaung dan makan. Tidak disebutkan bahwa ternak tersebut adalah domba namun tak jarang sering digambarkan demikian. Kemungkinan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa di Yerusalem dan sekitarnya memang umum terdapat kandang domba, dan Tuhan Yesus sendiri menggambarkan diri-Nya sebagai gembala domba (lih. Yoh 10:14).

Namun tradisi Gereja menghubungkan keadaan tempat kelahiran Yesus dengan nubuat nabi Yesaya, maka kandang ternak yang dimaksud diinterpretasikan sebagai kandang lembu dan keledai. Itulah sebabnya banyak lukisan kandang Natal ataupun patung kelahiran Yesus, yang menggambarkan lembu dan keledai di dekat bayi Yesus. Sebab dikatakan demikian, “Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya.” (Yes 1:3). Bahkan ternak lembu dan keledai mengenali pemilik dan palungan tempat makanan mereka, namun bangsa Israel tidak mengenali Pemilik mereka (yaitu Allah); mereka tidak mengenali Kristus Sang Roti Hidup yang turun dari surga untuk menjadi santapan rohani bagi mereka.

Apakah yang Membatalkan Perkawinan menurut Hukum Kanonik?

38

Pertama-tama perlu diketahui, bahwa istilahnya “membatalkan” tetapi maksudnya adalah “menyatakan bahwa suatu perkawinan tidak sah untuk disebut sebagai perkawinan”. Secara umum Gereja Katolik selalu memandang perkawinan sebagai perkawinan yang sah, kecuali dapat dibuktikan kebalikannya. Menurut Gereja Katolik, ada tiga hal yang “membatalkan” perkawinan: I) halangan menikah; II) cacat konsensus; dan III) cacat forma kanonika. Jika ada satu atau lebih halangan/ cacat ini, yang terjadi sebelum perkawinan atau pada saat perkawinan diteguhkan, maka sebenarnya perkawinan tersebut sudah tidak memenuhi syarat untuk dapat disebut sebagai perkawinan yang sah sejak awal mula, sehingga jika yang bersangkutan memohon kepada pihak Tribunal Keuskupan, maka setelah melakukan penyelidikan seksama, atas dasar kesaksian para saksi dan bukti- bukti yang diajukan, pihak Tribunal dapat mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh pasangan tersebut. Sebaliknya, jika perkawinan tersebut sudah sah, maka perkawinan itu tidak dapat dibatalkan ataupun diceraikan, sebab demikianlah yang diajarkan oleh Sabda Tuhan (lih. Mat 19:5-6).

Berikut ini adalah penjabaran ketiga hal yang membatalkan perkawinan menurut hukum kanonik Gereja Katolik:

I. Macam- macam halangan menikah adalah (lih. Kitab Hukum Kanonik kann. 1083-1094): 1) kurangnya umur, 2) impotensi, 3) adanya ikatan perkawinan terdahulu, 4) disparitas cultus/ beda agama tanpa dispensasi, 5) tahbisan suci, 6) kaul kemurnian dalam tarekat religius, 7) penculikan dan penahanan, 8) kejahatan pembunuhan, 9) hubungan persaudaraan konsanguinitas, 10) hubungan semenda, 11) halangan kelayakan publik seperti konkubinat, 12) ada hubungan adopsi.

Selanjutnya tentang penjelasan tentang macam- macam halangan menikah, silakan klik di sini.

II. Cacat konsensus adalah (lih. Kitab Hukum Kanonik kann. kann 1095-1107): 1) Kekurangan kemampuan menggunakan akal sehat, 2) Cacat yang parah dalam hal pertimbangan (grave defect of discretion of judgement), 3) Ketidakmampuan mengambil kewajiban esensial perkawinan, 4) Ketidaktahuan (ignorance) akan hakekat perkawinan, 5) Salah orang, 6) Salah dalam hal kualitas pasangan, yang menjadi syarat utama, 7) Penipuan/ dolus, 8) Simulasi total/ hanya sandiwara untuk keperluan tertentu seperti untuk mendapat ijin tinggal/ kewarganegaraan tertentu, 9) Simulasi sebagian, seperti: Contra bonum polis: dengan maksud dari awal untuk tidak mau mempunyai keturunan; Contra bonum fidei: tidak bersedia setia/ mempertahankan hubungan perkawinan yang eksklusif hanya untuk pasangan; Contra bonum sacramenti: tidak menghendaki hubungan yang permanen/ selamanya; Contra bonum coniugum: tidak menginginkan kebaikan pasangan, contoh menikahi agar pasangan dijadikan pelacur, dst, 10) Menikah dengan syarat kondisi tertentu, 11) Menikah karena paksaan, 12) Menikah karena ketakutan yang sangat akan ancaman tertentu.

III. Cacat forma kanonika adalah (lih. Kann 1108-1123): Pada dasarnya pernikahan diadakan berdasarkan cara kanonik Katolik, di depan otoritas Gereja Katolik dan dua orang saksi. Maka Pernikahan antara dua pihak yang dibaptis, yaitu satu pihak Katolik dan yang lain Kristen non- Katolik, memerlukan izin dari pihak Ordinaris Gereja Katolik (pihak keuskupan di mana perkawinan akan diteguhkan). Sedangkan pernikahan antara pihak yang dibaptis Katolik dengan pihak yang tidak dibaptis (non Katolik dan non- Kristen) memerlukan dispensasi dari pihak Ordinaris.

Lebih lanjut tentang topik Kasus-kasus Pembatalan Perkawinan Kanonik, silakan klik di sini.

Jika terdapat satu hal atau lebih dari hal-hal yang membatalkan perkawinan ini, maka salah satu pihak pasangan tersebut dapat mengajukan surat permohonan pembatalan perkawinan kepada pihak Tribunal Keuskupan. Pihak Tribunal Keuskupan akan memeriksa kasus tersebut, dan jika ditemukan bukti-bukti yang kuat dan para saksi, maka Tribunal dapat meluluskan permohonan tersebut. Baru jika sudah dikeluarkan surat persetujuan Tribunal, maka perkawinan tersebut dapat dinyatakan resmi tidak sah, dan dengan demikian kedua belah pihak berstatus bebas/ tidak lagi terikat perkawinan tersebut.

Apakah Interpretasi Kitab Daniel 7?

4

Apakah Interpretasi Kitab Daniel 7?

Perikop Daniel bab 7 tersebut memang mengandung makna simbolis yang tidak begitu saja mudah diartikan. Karena terdapat juga latar belakang historis yang turut berpengaruh dalam hal ini. Menurut interpretasi St. Jerome (Hieronimus),  ke-empat binatang yang disebutkan dalam Kitab Daniel 7: 1-28 dapat diartikan sebagai empat kerajaan di dunia yang berpengaruh yang pada waktu itu, yaitu:

1. Binatang ke-1: singa, yang melambangkan kerajaan Babilonia, yang brutal dan kejam, namun yang penuh kemewahan dan hawa nafsu. Sayap elang menggambarkan keangkuhan kerajaannya yang perkasa.

2. Binatang ke-2: beruang, yang melambangkan kerajaan Medo- Persia, yang keras dan cermat. Terdapat tiga macam interpretasi tentang ketiga tulang rusuk dalam mulut kerajaan Persia tersebut: 1) ketiga raja setelah kerajaan Persia terbagi menjadi 3 bagian yang dikisahkan dalam kisah Belshazzar dan Darius, 2) ketiga raja Persia yang meneruskan Raja Koresh, namun intepretasi ini tidak menyertakan ke-3 nama raja itu – sebab secara keseluruhan menurut sejarah ada 14 raja Persia; 3) dapat diinterpretasikan sebagai Kerajaan Babilonia- Khaldea, Media, dan Persia yang memang ketiganya pada masa itu sering dianggap sama.

3. Binatang ke-3: macan tutul dengan 4 kepala, yaitu melambangkan kerajaan Makedonia,  dengan jenderal pemimpinnya, yaitu: Ptolemy, Seleucus, Philip Arrhidaeus dan Antigonus.

4. Binatang ke-4: binatang yang menakutkan dengan sebelas tanduk, yang melambangkan kerajaan Romawi yang sangat berkuasa, dan ke-sepuluh tanduknya melambangkan ke- 10 kerajaan atau kaisar yang muncul dari kerajaan Romawi, yang kemudian membagi daerah kekuasaan kerajaan tersebut. Tanduk ke-11 yaitu raja yang ke-11 melambangkan sang Antikristus. Raja ke-11 akan mengalahkan ketiga Raja yang dilambangkan oleh ketiga tanduk yang jatuh, dan interpretasi yang disebutkan adalah Raja Mesir, Raja Afrika Utara, dan Raja Ethiopia.

Interpretasi lainnya adalah raja ke -11 mengacu pada Raja Antiokhus Epifanes. Namun demikian, Raja Antiokhus dengan segala perbuatannya yang jahat tidak sepenuhnya sesuai dengan deskripsi tentang tanduk ke-11. Sebab kematian Raja Antiokhus tidak mengakhiri dominasi kerajaan Syria ataupun kerajaan yang berkuasa lainnya. Mempertimbangkan kesesuaian antara penjabaran sang Antikristus atau sang “manusia durhaka” seperti disebutkan oleh Rasul Paulus dalam 2Tes 2:3-12 dengan ‘tanduk yang ke-11′, maka secara literal dan historis raja ke -11 ini mengacu kepada raja Antiokhus Epifanes, tetapi secara lebih penuh, gambaran ini mengacu kepada sang Antikristus di akhir zaman, di mana Raja Antiokhus hanyalah merupakan gambaran samar-samar tentangnya. Tanduk yang mempunyai mata dan mulut yang menyombong itu menggambarkan bagaimana sang Antikristus itu meninggikan/ menyombongkan  dirinya sendiri sebagai ‘allah’ (lih 2 Tes 2:4).

Jadi menurut St. Jerome, binatang-binatang ini melambangkan akan kerajaan-kerajaan di dunia yang dikenal dengan kekerasan, kekejaman dan kesombongannya. Lalu dikatakan bahwa binatang ini kemudian dibinasakan di hadapan Allah sebagai ‘Yang Lanjut Usianya’. (Dan 7:9-13) Jadi pesannya di sini adalah bahwa pada akhirnya, Allah akan mengalahkan kejahatan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang besar di dunia.

Dalam kitab Wahyu juga disebutkan ke-empat binatang seperti dalam Why 4:2-11, namun maknanya berbeda dengan ke-empat binatang buas yang disebutkan dalam kitab Daniel 7 tersebut. Dalam Kitab Wahyu disebutkan ke-empat binatang itu malah menyembah dan memuji Tuhan bersama dengan 24 tua-tua yang ada di sekitar tahta Allah (ay. 4). Tua-tua inilah ‘orang-orang kudus milik yang Maha Tinggi’ (Dan 7:22). Keempat binatang yang disebutkan dalam Why 4:2-11 menggambarkan sifat-sifat rohani yang sempurna dari para rasul, atau bahkan dari keempat pengarang Injil/ evangelis, yaitu 1) singa, yang melambangkan keberanian dan kekuatan, 2) anak sapi melambangkan keuntungan bagi manusia, 3) binatang dengan muka seperti muka manusia, melambangkan akal budi dan kebijaksanaan; dan 4) burung nasar, sebagai lambang kemampuan untuk terbang tinggi dan cepat.

Kisah yang kemungkinan diinterpretasikan sebagai figur Antikristus itu terdapat pada perikop Why 13. jika diperhatikan dikatakan bagian-bagian binatang ini juga menyerupai macan tutul, beruang dan singa, seperti penjabaran pada Kitab Daniel, hanya saja digabungkan. Maka ketujuh kepala dan kesepuluh tanduk menggambarkan keseluruhan penganiaya umat Tuhan, dari awal dunia sampai akhir jaman. Ketujuh kepala menggambarkan tujuh raja/ kerajaan yang menganiaya Gereja. Kesepuluh tanduk menggambarkan para penganiaya yang tingkatnya lebih rendah daripada ketujuh raja tersebut. Binatang lain yang keluar dari bumi (ay.11) adalah nabi palsu di jaman Antikristus yang melakukan mukjizat-mukjizat. Namun yang terpenting, binatang ini akhirnya dikalahkan oleh orang-orang kudus (Why 15:2) yang menuruti perintah Allah (Why 14:12).

Penjelasan tentang interpretasi kitab Daniel dan Wahyu ini memang membuat kita tertegun; sebab dapat membuat kita semakin menyadari bahwa tanpa bantuan dari para pakar Kitab Suci, dalam hal ini St. Jerome (Hieronimus) yang sudah diakui oleh Gereja, maka akan cukup sulit mengartikan lambang-lambang yang ada dalam Kitab Suci. Oleh bantuan mereka, kita mengetahui bahwa ‘singa’ dalam kitab Daniel (Dan 7:4), tidak sama artinya dengan ‘singa’ di kitab Wahyu 4:7, dan juga tidak sama dengan istilah “Singa” dari Yehuda yang menjadi salah satu istilah yang melambangkan Yesus (Why 5:5).

Semoga uraian singkat ini menumbuhkan sikap kerendahan hati dalam diri kita untuk mengakui bahwa pada bagian-bagian tertentu, kita harus belajar menimba pengetahuan dari para pakar Kitab Suci yang telah diakui oleh Gereja, dan tidak menggantungkan pemahaman kita menurut penjelasan ahli sejarah saja atau bahkan perkiraan pribadi semata. Sebab nubuatan dalam Kitab Suci bukanlah untuk ditafsirkan menurut kehendak pribadi (lih. 2 Pet 1:20-21), melainkan untuk ditafsirkan dalam kesatuan dengan bagaimana Gereja mengartikannya, sebab Roh Kudus yang mengilhami penulisan nubuat itu adalah Roh Kudus yang sama yang membimbing para Bapa Gereja itu untuk menginterpretasikannya.

Sumber:
1. Douay Rheims Holy Bible, Rev. George Leo Haydock, (Duarte, California: Catholic Treasures 1859, 2006)
2. St Jerome’s Commentary on Daniel, translated by Geason L. Archer, Jr (Grand Rapids: Baker, 1958)
3. A Catholic Commentary on Holy Scripture, gen ed. Dom Orchard (New York: Thomas Nelson and Sons, Ltd, 1953)

Apakah Paus Mengucapkan Perkataan yang Menentang Allah?

0

Dewasa ini banyak tulisan- tulisan anti Katolik yang menganggap bahwa Paus menentang Allah. Berikut ini adalah contohnya:

a. Paus menentang Allah karena mengajarkan bahwa imam dapat mengampuni dosa atas kuasa dari Kristus?

Umumnya pandangan yang menyebutkan bahwa Paus menentang Allah, mengambil dasar argumennya dari ajaran Gereja Katolik bahwa imam Katolik (termasuk juga Paus) dapat mengampuni dosa atas wewenang yang diberikan oleh Kristus. Pandangan ini umumnya mempertentangkan ajaran Gereja Katolik dengan kutipan ayat Kitab Suci yaitu dari perkataan orang-orang Farisi dalam Luk 5:21, “Tetapi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi berpikir dalam hatinya: “Siapakah orang yang menghujat Allah ini? Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?” Maka berdasarkan ayat ini dikatakan bahwa Paus [dan imam] menghujat Allah karena dapat mengampuni dosa.

Tanggapan kami:
Terus terang argumen ini justru tidak kuat, karena walaupun pandangan ini mengutip Kitab Suci, tetapi yang dikutip adalah perkataan orang Farisi, dan bukan perkataan Yesus sendiri. Sedangkan Gereja Katolik mendasarkan pengajarannya atas perkataan Yesus sendiri, ketika menampakkan diri di tengah para murid-Nya setelah kebangkitannya, “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20:21-23)

Karena pesan perutusan itu tetap berlaku sampai sekarang, artinya pesan Yesus kepada para Rasul itu kini diemban oleh para penerus Rasul, yaitu para imam. Maka kuasa mengampuni dosa yang diberikan kepada para Rasul itu diberikan juga kepada para imam, dan inilah cara pengampunan dosa yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus sendiri. Maka, walaupun memang benar bahwa yang dapat mengampuni dosa adalah Allah, namun adalah juga benar bahwa Yesus yang adalah Allah memberikan kuasa untuk mengampuni dosa kepada para murid-Nya dan para penerus mereka. Selanjutnya tentang pembahasan apakah Sakramen Pengakuan Dosa bertentangan dengan Kitab Suci?  sudah pernah diulas di sini, silakan klik.

b. Paus menentang Allah karena memegang tempat Allah?

Selanjutnya, pandangan yang mengatakan bahwa Paus menentang Allah, menyebutkan alasannya, yaitu karena Paus  Leo XIII dalam surat ensikliknya, Praeclara Gratulationis Publicae (The Reunion of Christendom), 20 Juni 1894 mengatakan, “We hold upon this earth the place of God Almighty.

Tanggapan kami:
Untuk memahami makna pernyataan ini, mari membaca keseluruhan paragraf dalam surat ensiklik itu, agar kita dapat mengetahui konteksnya:

But since We hold upon this earth the place of God Almighty, Who will have all men to be saved and to come to the knowledge of the Truth, and now that Our advanced age and the bitterness of anxious cares urge Us on towards the end common to every mortal, We feel drawn to follow the example of Our Redeemer and Master, Jesus Christ, Who, when about to return to Heaven, implored of God, His Father, in earnest Prayer, that His Disciples and followers should be of one mind and of one heart: I pray … that they all may be one, as Thou Father in Me, and I in Thee: that they also may be one in Us.  And as this Divine Prayer and Supplication does not include only the souls who then believed in Jesus Christ, but also every one of those who were henceforth to believe in Him, this Prayer holds out to Us no indifferent reason for confidently expressing Our hopes, and for making all possible endeavors in order that the men of every race and clime should be called and moved to embrace the Unity of Divine Faith.

terjemahannya:

“Tetapi karena Kami [Paus] di dunia ini menjaga (memegang) tempat/ menampilkan teladan Tuhan yang Maha Besar, Yang menghendaki semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan Kebenaran, dan kini bahwa umur Kami yang telah lanjut dan kepahitan kekhawatiran mendesak Kami di penghujung akhir yang umum terjadi pada setiap manusia yang fana, Kami terdorong untuk mengikuti teladan Penebus dan Tuan kami, Yesus Kristus, Yang, ketika hampir kembali ke Surga, memohon kepada Allah Bapa-Nya, di dalam doa yang khusuk, bahwa para Murid dan pengikut-Nya menjadi sepikir dan sehati: Aku berdoa … supaya mereka semua menjadi satu, sebagaimana Engkau Bapa, ada di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau: bahwa mereka juga menjadi satu di dalam Kita. Dan sebagaimana doa dan permohonan ilahi ini tidak hanya melibatkan jiwa-jiwa yang percaya kepada Yesus Kristus pada saat itu saja, tetapi kepada setiap orang dari mereka yang menjadi percaya kepada-Nya, doa ini tetap menjadi bagi kami alasan yang pasti untuk menyatakan pengharapan Kami dengan penuh percaya diri, dan untuk membuat semua upaya- upaya yang mungkin agar orang- orang di setiap suku bangsa dan iklim dapat dipanggil dan digerakkan untuk memeluk kesatuan Iman yang ilahi.”

Di sini Paus tidak mengatakan bahwa ia adalah Allah. Paus hanya mengatakan ia memegang tempat/ menampilkan teladan Tuhan, sebagaimana dicontohkan Tuhan Yesus yang berdoa kepada Allah Bapa agar para murid dan pengikut-Nya menjadi satu. Maka klaim Paus ini bukanlah klaim penghujatan akan Allah, melainkan merupakan pernyataan tugas yang diembannya sebagai wakil Kristus untuk mengikuti teladan Kristus.

Selanjutnya klaim dari Catholic National tahun 1895 yang marak dikutip di situs- situs anti-Katolik, “The Pope is not only the representative of Jesus Christ, but he is Jesus Christ, Himself, hidden under the veil of flesh” tidak dapat diverifikasi kebenarannya, karena tentang apakah Catholic National itu -apakah majalah atau buku- tidak dapat diketahui; dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan patokan, sebab pernyataan itu bukan pernyataan resmi Gereja Katolik. Tentang ini sudah pernah ditanggapi di jawaban ini, point 2, silakan klik.

c. Paus menentang Allah karena mengubah ‘waktu dan hukum’?

Selanjutnya, alasan lain yang disebutkan adalah Paus menentang Allah karena mengubah waktu dan hukum, yaitu dengan mengganti hari Sabat dan mengubah [pengurutan] kesepuluh perintah Allah.

Ini adalah anggapan yang keliru. Karena patokan penentuan hari Tuhan oleh Gereja itu adalah hari kebangkitan Kristus sendiri, dan hal inilah yang telah diterapkan oleh para rasul dan jemaat sejak kebangkitan Yesus, yang terjadi di hari pertama Minggu [bukan pada hari ketujuh yaitu pada hari Sabtu]. Jadi yang menentukan perubahan ini, yang bermakna penggenapan makna hari Sabat adalah Kristus sendiri. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

Lalu tentang apakah Gereja Katolik mengubah sepuluh perintah Allah? Tentu saja tidak. Perlu diketahui bahwa di dalam Kitab Suci sendiri tidak disebutkan penomoran kesepuluh perintah Allah itu. Pengelompokan/ penomoran itu dilakukan oleh para Bapa Gereja yaitu oleh Origen dan St. Agustinus. Pengelompokan kesepuluh perintah Allah menurut gereja-gereja Timur dan Protestan mengikuti Origen, sedangkan menurut Gereja Katolik dan Lutheran mengikuti St. Agustinus. Selanjutnya tentang topik ini, silakan klik di sini.

 

 

Mengapa Ada Perbedaan 10 Perintah Allah: Versi Katolik dan Versi Non-Katolik?

24

Tidak ada penomoran 10 perintah Allah di dalam Kitab Suci

Perintah-perintah Allah yang ada di dalam Kitab Suci yaitu Kitab Keluaran 20 tersebut, tidak diberi nomor secara khusus. Allah tidak memberikan secara eksplisit bagaimana cara memberi nomor pada perintah-perintah itu. Pembagian/ penomoran ayat pada seluruh Kitab Suci baru dimulai pada jaman abad pertengahan. Jika setiap perintah diberi nomor, maka bisa diperoleh sekitar 15 perintah. Gereja Katolik mengelompokkannya tanpa menghilangkan satu ayatpun dari perintah Tuhan itu, namun mengelompokkannya menjadi sepuluh, sesuai dengan ajaran St. Agustinus.

St. Agustinus dan Origen

Dua orang Bapa Gereja yang memainkan peran terbesar dalam hal pengelompokan kesepuluh Perintah Allah adalah St. Agustinus dan Origen. St. Agustinus adalah orang kudus yang diberi gelar “Doctor of the Church”/ Pujangga Gereja, sedangkan Origen, meskipun dihormati untuk banyak hal, beliau juga dikenal pernah mengajarkan doktrin yang tidak sesuai dengan Kitab Suci, seperti jiwa-jiwa di neraka akhirnya dapat masuk surga. Gereja Katolik dan Lutheran secara umum mengikuti pengelompokan yang diajarkan oleh St. Agustinus, sedangkan Gereja-gereja Timur dan Protestan umumnya mengikuti Origen.

10 Perintah Allah menurut gereja-gereja Timur dan Protestan (mengikuti Origen)

  1. Akulah Tuhan, Allahmu yang membawa engkau keluar dari Mesir, dari tempat perbudakan (ay. 2,3)
  2. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit, di bumi dan di dalam bumi. (ay. 4)
  3. Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan (ay.7)
  4. Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat/ hari Tuhan (ay.8)
  5. Hormatilah ayahmu dan ibumu (ay.12)
  6. Jangan membunuh (ay.13)
  7. Jangan berzinah (ay.14)
  8. Jangan mencuri (ay.15)
  9. Jangan mengungkapkan saksi dusta tentang sesamamu (ay.16)
  10. Jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini isterinya, atau apapun yang menjadi milik sesamamu (ay. 17)

10 perintah Allah menurut Gereja Katolik dan Lutheran (mengikuti St. Agustinus)

  1. Akulah Tuhan, Allahmu: Jangan ada allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit dan di bumi, dan jangan sujud menyembah kepadanya (ay. 2, 3, 4, 5)
  2. Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat (ay.7)
  3. Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat/ hari Tuhan (ay.8)
  4. Hormatilah ayahmu dan ibumu (ay.12)
  5. Jangan membunuh (ay.13)
  6. Jangan berzinah (ay.14)
  7. Jangan mencuri (ay.15)
  8. Jangan mengungkapkan saksi dusta tentang sesamamu (ay.16)
  9. Jangan mengingini isteri sesamamu (ay.17 a)
  10. Jangan mengingini hak milik sesamamu (ay. 17 b)

Jadi apa yang dapat disimpulkan dari hal tersebut di atas:

1. Di sini terlihat, Gereja Katolik tidak menghapuskan ayat Kel 20:4, namun mengelompokkannya dengan ayat yang ke-3 dan ke 5 dalam perintah pertama. Katekismus Gereja Katolik #2084 menuliskan versi lengkap perintah pertama dari 10 Perintah Allah sebagai berikut:

“Akulah Tuhan Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya” (Kel 20:2-5).
Perintah ini dikaitkan dengan sabda Yesus dalam Perjanjian Baru, “Ada tertulis, engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti (Mat 4:10). Perintah kembali diulangi dengan rumusan yang berbeda, yaitu, “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan Allahmu….. “(Mrk 12:29) Maka di sini terlihat bahwa perintah jangan menduakan Tuhan (dengan menyembah patung yang dianggap sebagai allah) itu tidak terpisahkan dengan perintah untuk menyembah dan mengasihi Allah yang satu (esa).

St. Agustinus melihat kaitan antara Kel 20:4 dalam kaitannya dengan ayat ke-3, dan tidak memisahkan keduanya menjadi dua perintah yang berdiri sendiri. Sebab kalau dipisahkan malah menjadi tidak sesuai dengan ayat-ayat lain dalam Kitab Suci yang mencatat bahwa ada kalanya Allah sendiri yang memerintahkan umat-Nya untuk membuat patung ataupun gambaran yang menyerupai sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi; seperti ketika Allah memerintahkan untuk membuat patung malaikat/ kerub pada tabut perjanjian (Kel 25:17–22, 37:7–9) atau membuat gambar kerub itu pada tenunan kain dalam kemah suci (Kel 26:1, 31, 36:8, 35). Allah juga memerintahkan Musa untuk membuat patung ular di padang gurun (Bil 21:4–9), dan membuat ukira yang menggambarkan kerub, dan sejumlah tanaman dan bunga bagi bait Allah yang dibangun oleh Raja Salomo (1 Raj 6–7). Dengan demikian ayat Kel 20:4 hanya dapat diartikan untuk menjelaskan ayat sebelumnya yaitu Kel 20:3: yaitu bahwa jangan membuat patung untuk dijadikan allah lain. Namun hal membuat patung atau gambar, yang tidak untuk disembah sebagai allah lain, tidaklah dilarang Allah, sebab bahkan Allah sendiri memerintahkan untuk membuat patung/ gambar, dalam beberapa kesempatan.

St. Agustinus selanjutnya memisahkan ayat Kel 20:17 menjadi dua perintah, sebab kedua bagian dalam ayat 17 itu diawali dengan frasa “jangan mengingini”; dan menyangkut kepada dua hal yang berbeda hakekatnya. Yang pertama adalah berkenaan dengan istri, dan yang kedua berkenaan dengan harta milik.

Dengan pengelompokan ini, diperoleh tiga perintah pertama yang berkenaan dengan perintah untuk mengasihi Allah, dan ketujuh perintah berikutnya berkenaan dengan perintah untuk mengasihi sesama. Menurut St. Agustinus, juga adalah layak/ fitting  bahwa hal perintah yang menyangkut Allah ada tiga buah, yang mengacu kepada Allah Trinitas.

2. Jadi Gereja Katolik melihat ayat 4 tersebut tidak dapat dipisahkan dengan ayat 3 dan 5 yaitu untuk menyembah Allah yang satu dan berbakti hanya kepada-Nya. Sebab jika berdiri sendiri, penerapan ayat yang ke-4 ini sesungguhnya tidak mungkin diterapkan dalam kehidupan manusia. Manusia tidak henti-hentinya membuat image/ ‘gambaran’/ patung (terjemahan dari ‘image’ tidak terbatas pada patung tetapi juga gambar) yang menyerupai sesuatu di langit dan bumi. Jika diterapkan secara harafiah maka semua seniman pelukis atau pematung adalah pendosa berat; semua museum yang menyimpan lukisan dan patung bersejarah adalah tempat yang penuh dosa; semua orang Kristen tidak boleh menonton film/ TV, karena di situ ada gambar yang menyerupai manusia/ hewan/ tumbuhan; tidak boleh memotret dan memasang foto, tidak boleh melukis/ menggambar, tidak boleh mengajari anak-anak dengan bantuan gambar-gambar, tidak boleh saling mengirim kartu Natal karena di situ ada gambar Yesus dan kandang Natal dst. Padahal gambar-gambar sebenarnya juga berguna untuk pengajaran iman, terbukti bahwa di sekolah minggu/bina iman, guru-guru menggunakan gambar untuk mengajarkan tentang Yesus. Atau, sebelum orang dapat membaca/ buta huruf (12 abad di Eropa, dan 19 abad rata-rata di Asia dan Afrika), gambar dan patung adalah jalan yang dipakai untuk mengantar orang pada Tuhan. Mungkin ini sulit dibayangkan oleh kita yang hidup jaman ini karena kita semua dapat membaca. Tetapi jika kita hidup di jaman bahela itu, tentu kita akan mengerti bahwa gambar-gambar, sepanjang tidak kita sembah sebagai Allah, maka tidaklah merupakan berhala.

3. Jadi yang dilarang disini adalah patung berhala yang disembah sebagai Tuhan, bukannya semua jenis patung/ gambar. Inilah yang menjadi sikap Gereja Katolik; bahwa sepanjang gambar dan patung itu tidak disembah sebagai Allah, tidak ada salahnya membuat gambar dan patung. Jangan lupa bahwa gambar dan patung adalah karya seni seperti halnya musik. Jika di gereja-gereja Protestan musik dipakai untuk membawa orang lebih dekat kepada Tuhan, demikian pula di gereja Katolik. Pasti musik itu hanya dianggap sebagai ‘alat’ saja bukan? Kita ke gereja bukan untuk mendengar musik, tetapi Firman Allah yang terkandung di dalamnya. Demikian juga dengan patung/ gambar yang ada di gereja Katolik, hanya merupakan alat saja yang membantu mengarahkan kita pada Tuhan. Tanpa patung dan tanpa musik kita sesungguhnya bisa saja berdoa, tetapi tentu tidak ada salahnya kita memakai keduanya jika itu lebih membantu kita memusatkan hati pada Tuhan.

4.  Dalam Gereja Katolik, kitapun menyembah Allah dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24), namun juga dengan seluruh panca indera kita. Maka ada musik (indera pendengar), patung, gambar (indera penglihatan dan peraba), wewangian/ incense (penciuman); semuanya ini hanya ‘pelengkap/ alat’ saja, sedangkan di atas semua itu, kita menyambut Ekaristi (yang kita sambut melalui indera perasa, menjadi makanan rohani).

Demikianlah kita ketahui bahwa Gereja Katolik tidak mengubah kesepuluh perintah Allah. Gereja Katolik, mengikuti pengelompokan yang diajarkan oleh St. Agustinus, mengajarkan urutan yang sedemikian sesuai dengan konteksnya yang konsisten dengan ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci sebagaimana diajarkan oleh Kristus dalam Perjanjian Baru tentang hukum yang terutama.

Orang Muda Katolik (OMK) dan Liturgi

12

Prasangka

Dalam praktek, banyak kali muncul masalah pada relasi antara OMK dan liturgi (perayaan iman, ibadat). Di antara liturgi dan OMK seolah ada hubungan ”enggan tapi rindu”. Di balik tema “liturgi dan orang muda”, masih bercokol  prasangka laten baik terhadap Orang Muda Katolik (OMK), maupun terhadap Liturgi Gereja Katolik Roma. OMK seolah-olah suka hura-hura, semaunya sendiri, tidak bisa diatur dalam berliturgi. Sebaliknya, liturgi sering dipandang sebagai aturan sakral dan baku, seakan-akan jauh dari gelora kerinduan orang muda. Terhadap OMK, Tim Liturgi Paroki biasanya mengenakan frasa ”OMK yang pragmatis, maunya serba lain”. Seakan-akan OMK diperlawankan dengan liturgi yang tak memberi ruang kebebasan ungkapan iman. Dari pihak OMK, ada pula prasangka, bahwa liturgi itu serba  kaku.

Prasangka ini  bisa dipahami, karena sifat umum orang muda yang masih dalam masa pertumbuhan yang pesat. Mereka sedang berkembang dalam dimensi psikologis, intelektual, seksual-hormonal, emosi, peran sosial dan iman. OMK memang sedang  mengalami transformasi menuju kepribadian yang integral. Rentang masa muda yang panjang (usia 13-35 th) adalah masa distingtif,  saat mencari, mempertanyakan, belajar dan mengambil keputusan. Kita yang pernah menjalani masa muda tentu merasakan bahwa saat itu merupakan saat yang sukar, menantang sekaligus menggairahkan karena penemuan-penemuan baru. Sering kali kita ingin sesuatu yang ”lain dari pada yang lain” pada masa muda. Sedangkan di pihak lain, Liturgi Gereja Katolik Roma, sudah berkembang dalam 20 abad dan sering dipandang sebagai peraturan yang kaku alih-alih sebagai perayaan yang membebaskan. Padahal, potret berliturgi oleh OMK tak selamanya demikian.

Prasangka dan kecurigaan  yang digeneralisasi begitu saja terhadap OMK itu tentu tidak akan memecahkan persoalan yang sering kali muncul dalam praktek penghayatan OMK terhadap liturgi. Tidak bijaksana,  generalisasi mengenai OMK yang ”pragmatis dan maunya serba lain” itu. Liturgi Gereja pun tidak sepantasnya diperlawankan dengan gejolak dan selera orang muda. Kenyataannya, bahwa banyak orang terpanggil menjadi kudus pada masa muda, dan panggilan kekudusan itu banyak yang bermula dari penghayatan liturgi. Kita pun tahu, Ekaristi Kaum Muda (EKM) baik yang diselenggarakan oleh paroki, maupun oleh Panitia World Youth Day yang mendatangkan Sri Paus sebagai pemimpin liturgi, selalu dipenuhi OMK dengan kerinduan mendalam. Bahkan, kelompok misa bahasa Latin yang terkesan ”penuh aturan ketat” ada yang digerakkan  oleh orang muda.

Memerlukan Dukungan

Seperti pada umumnya orang Katolik Indonesia, tua maupun muda, penghayatan OMK akan liturgi sebenarnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman mereka akan liturgi itu sendiri. Bahwa praktek liturgi OMK kadang-kadang membuat para penanggungjawab liturgi mengerutkan kening, bagi saya lumrah saja dalam konteks pembelajaran. Gelegak kreativitas masa muda sekaligus tingkat pengetahuan dan pengalaman OMK akan liturgi haruslah bisa dipahami dan didukung. Tak usahlah daya kreatif mereka dalam ber-liturgi dihakimi dengan sewenang-wenang seperti yang sering terdengar dari keluhan mereka. Gara-gara  maunya kreatif, mereka ”dikecam secara liturgis”.

Sepanjang pengalaman para pendamping, tak ada OMK yang menjadi buruk karena mau kreatif dalam merencanakan dan mengolah liturgi. Justeru sebaliknya, para aktivis kelompok-kelompok OMK yang mau proaktif , mau belajar, mau secara jujur mengusulkan berbagai kreasi dalam liturgi, dan karenanya  berani mencari dan melakukan yang benar, berani mengakui  kesalahan bila terjadi dan berani memperbaikinya) terbukti menjadi aktivis  dengan penghayatan liturgi yang nyata dalam perilaku. Lagipula, jika OMK membuat kesalahan dalam ber-liturgi, ternyata kesalahan itu tidaklah fatal, normal saja. Kesalahan mereka pun kadang-kadang karena pengaruh kelompok kategorial  yang lebih senior. Justeru kelompok-kelompok kategorial yang beranggotakan orang-orang tidak muda lagi lah yang sering bikin kesalahan fatal, dan keras kepala, bukan? Sebaliknya, biasanya dengan taat OMK mau belajar dari kesalahan. Mereka tetap gembira dan kreatif, asalkan pendamping dengan empati mau  setia mendampingi, menjelaskan makna simbol dan hakikat liturgi yang kaya makna itu kepada mereka, memetakan posisi kelompok dalam lebensrauung Gereja lokal, dsb. Saya yakin, dalam kerja sama yang baik dengan pendamping itu dapatlah dihindarkan kesalahan-kesalahan fatal yang tidak perlu terjadi. Sebenarnyalah di antara Liturgi dan OMK ada hubungan batin yang saling mendukung. Liturgi menjadi ongoing formation  bagi OMK. Sedangkan daya kreativitas dan gelora kemudaan OMK membuat liturgi dirayakan dengan bersemangat. Liturgi tanpa keterlibatan orang muda, merupakan tanda nyata kematian Gereja.

Liturgi Kelompok OMK

Ketika naskah ini diketik (Mei 2008-pen), kantor Youth Desk – FABC di Manila sedang mengolah survei mengenai penghayatan OMK akan Liturgi Ekaristi. Munculnya jajak pendapat untuk OMK mengenai Ekaristi ini didasari praduga bahwa kerinduan OMK akan liturgi berbanding lurus dengan pengetahuan dan pengalaman mereka ber-liturgi.  Tema Liturgi Ekaristi menjadi pembahasan dalam Asian Youth Daytahun  2009 di Manila.  Mengapa tema ini diagendakan? Saya menduga, di satu sisi ada kecemasan kalau-kalau  Liturgi  ”ditinggalkan” alias ”tidak laku” lagi di kalangan OMK. Liturgi disangka tidak mampu menjawab kerinduan OMK di tengah arus percepatan globalisasi yang mengasingkan OMK. Di sisi lain ada pula kecemasan kalau-kalau  OMK di berbagai kelompok kategorial yang masih mau aktif ber-liturgi  mulai ”meninggalkan” kaidah liturgi, alias ”mengikuti maunya sendiri”. Komunitas-Komunitas OMK  lebih mementingkan ”rasa kepuasan kelompok” dalam berliturgi dibandingkan ”rasa universal” Gereja. Dua macam kecemasan itu bermuara pada dua pertanyaan atas satu kenyataan liturgi: 1. Bagaimanakah liturgi menjawab kerinduan OMK akan perasaan ditemani oleh ”Yang Ilahi” di tengah arus zaman dan perubahan selera ini? 2. Bagaimanakan OMK menyadari tanggungjawab dan penghayatannya akan liturgi yang bergairah karena setia pada aturan Gereja?

Saya menemukan dua prasyarat atas jawaban pertanyaan di atas setelah mengamati beberapa komunitas OMK.  Prasyarat itu adalah: 1. Jika mereka mendapatkan komunitas yang digembalakan dengan semangat berbagi dan mereka dipercaya dalam kegiatan komunitas. 2. Jika ungkapan kemudaan mereka diberi ruang dan waktu yang cukup dalam liturgi komunitas.

Pada beberapa kelompok OMK, liturgi mereka hayati sepenuh hati. Tampaknya mereka ”puas” dan selalu rindu dengan liturgi komunitas mereka.  Sebabnya, liturgi tak mereka lepaskan  dari kehidupan komunitas kategorial mereka, dan bahwa komunitas memberi ruang dan waktu bagi karakter kemudaan mereka dalam liturgi. Ada ”gembala” (pendamping/ moderator) yang secara tetap mempercayai mereka dalam kegiatan komunitas. Sang pendamping ini (imam dan biarawati/awam) mendampingi liturgi mereka dengan tak bosan mengajarkan prinsip-prinsip  liturgi  sesuai  maksud Gereja. Beberapa kelompok OMK itu adalah: Komunitas Sant’ Egidio (SE), beberapa komunitas Persekutuan Doa Karismatik Katolik (PDKK) muda-mudi, beberapa sel Komunitas  Tritunggal Mahakudus (KTM) muda-mudi; beberapa presidium Legio Mariae (LM) muda-mudi, kelompok Imago Dei (ID), dan kelompok Doa Taize (DT). Mereka memiliki kesamaan pengalaman, bahwa perjumpaan dengan Allah dalam doa, teristimewa liturgi merupakan puncak dan sumber spiritualitas dan kegiatan komunitas.

Variasi yang Melegakan

Kelompok-Kelompok OMK itu  biasa berkumpul untuk berdoa secara rutin.  Pertemuan doa mereka mengikuti bukanlah liturgi karena dan karenanya memiliki variasinya masing-masing.  Dalam hal ini Tata Perayaan Sabda atau Ibadat Sabda atau Doa kelompok kategorial di luar Ekaristi, adalah kegiatan non liturgis atau para liturgi atau devosi. Perayaan Sabda adalah liturgi bila dilakukan dalam Ibadat Harian dan liturgi sakramen termasuk Ekaristi yang meliputi dua bagian utama: liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Ibadat Sabda di luar liturgi atau para liturgi dan devosi tidak sangat terikat pada kaidah-kaidah liturgi. Dalam hal ini kreativitas orang muda mendapat ruang yang lebih luas dan nyaman. Sebulan atau beberapa bulan sekali mereka mengundang imam untuk merayakan ekaristi. Umumnya, mereka mengikuti aturan liturgi yang baku. KTM dan PDKK  secara berkala membuat adorasi sakramen Mahakudus. Sebaiknya Adorasi Sakramen Mahakudus dibuat sebelum atau sesudah Perayaan Ekaristi, atau sebagai unsur dari Ritus Penutup Ekaristi, dan bukan di tengah liturgi Sabda atau di tengah liturgi Ekaristi.  Beberapa variasi liturgi, khususnya dalam perayaan ekaristi dan adorasi, tampak paling ekstensif dalam PDKK dan KTM.

Lagu-lagu yang dipakai KTM dan PDKK sebagian besar bercorak mirip pop rohani. Ciri khas liturgi PDKK dan KTM adalah sangat ekspresif. Bernyanyi melambungkan pujian kepada Allah, sambil bertepuk tangan, mengangkat tangan, diiringi musik yang meriah. Di sini dikenal juga pencurahan Roh. Salah satu yang khas pula dalam PDKK dan KTM ialah peran pemimpin doa yang mengantar sesi-sesi lagu, doa dan firman. Dalam perayaan ekaristi, ada kesan bahwa peran imam  sebagai pemimpin resmi liturgi Gereja, tenggelam oleh peran pembawa acara yang juga pemimpin doa. Ambil contoh, pengantar tobat yang dibawakan imam, sering kali masih diulang oleh pemimpin doa dengan lebih panjang. Bagaimana hal ini menjadi variasi yang tidak mengganggu? Kuncinya, dialog persiapan antara imam dan pemimpin doa.  Menjadi soal jika imam tidak diajak bicara dahulu  dan celakanya merasa tidak rela karena dilangkahi dalam memimpin doa. Bisa jadi saat homili menjadi saat pelampiasan ketidakpuasan imam. Namun hal ini jarang sekali terjadi dalam kelompok doa OMK. Pemimpin doa komunitas PDKK dan KTM OMK biasanya bisa bekerja sama dengan baik dengan imam pemimpin ekaristi.

Pertemuan doa  DT mendaraskan mazmur dan doa singkat dalam nada sederhana dengan musik lembut dan dekorasi temaram dengan ikon salib Kristus di altar depan. Doa-doa  Sant’ Egidio mirip dengan DT. ”Mereka biasa berdoa sebentar di depan ikon Yesus. Ini sungguh doa inklusif. Pemimpinnya tidak menempatkan diri di depan umat (di belakang altar), tetapi di depan umat. Kalau ada imam ingin berbagi atau memberi keterangan Sabda Tuhan, barulah beliau tampil di mimbar. Hal ini wajar karena pertemuan doa mereka ini bukanlah perayaan Ekaristi.  Sejauh perlu, doa dilakukan “bersama” di depan ikon Yesus. Doa ini juga merupakan relativisasi di hadirat Tuhan. Orang, setelah seharian bekerja, tidak mensyukuri prestasinya atau mengumpat kegagalan hari itu, melainkan mempersembahkan seluruh perjuangan sepanjang hari kepada Tuhan, entah sukses, entah gagal, entah biasa-biasa saja. Sebetulnya cara pandang seperti ini biasa saja. Hanya saja, doa ini dikemas dalam suatu liturgi yang menyentuh hati: di depan ikon besar Yesus, dalam keredupan cahaya gereja, dengan koor satu suara, sederhana, dengan iringan organ, tapi mengantar pada keagungan Tuhan. Liturgi mereka tidak ada yang istimewa. Pengalaman mereka yang selalu dibawa dalam doa-doa harian dan misa di akhir pekan, itulah yang istimewa.

ID mengungkapkan doa bersama sebagai sarana berkomunikasi dengan Tuhan, untuk mengetahui kehendak-Nya, mendapatkan restu, serta mendapat kekuatan. Dasar kegiatan ID ialah saling menguatkan dalam doa (Gal. 6:2; Ef. 6:18-20). Suasana praise and  worship bersifat fun, gembira penuh syukur. Namun jika dilakukan dalam Liturgi (misalnya Ekaristi), apapun bentuk variasi penyesuaian, hendaknya tidak timbul kesan bahwa di tengah liturgi dimasukkkan acara gembira ria yang bersifat profan.  Mereka pun mencari rhema untuk minggu itu dan mengungkapkan dalam liturgi.

LM menempatkan devosi kepada Bunda Maria. Namun yang menjadi sentralnya ialah Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus.  Semua pusat devosi, ibadat, liturgi adalah Allah: Bapa, Putra dan Roh Kudus. Maka devosi yang khusus kepada Maria itu tidak harus mengaburkan atau menghilangkan sentralnya, tetapi justru semakin mengarahkan para devosan ke sentral: ad Iesum, ad Patrem, ad Spiritum Sanctum, itu sebabnya semua orang yang berdoa rosario atau mempunyai devosi khusus kepada Bunda Maria menyalaminya sebagai Putri Allah Bapa, Bunda Allah Putra dan Mempelai Allah Roh Kudus. Per Mariam ad Iesum.  Doa  mereka mengikuti tatacara dalam Buku Pegangan LM. Lagu sangat minim, kalaupun ada,  lagu penghormatan kepada Bunda Maria selalu dinyanyikan dengan khusuk. Kerendahan hati dan kesederhanaan menjadi pola doa  kelompok ini. Doa rosario dan catena legionis diwajibkan dalam devosi mereka. Jika ada misa, doa rosario dan catena legionis wajib didoakan tetapi sebelum liturgi, sebelum Ekaristi, yang berarti di luar liturgi dan bukan di tengah liturgi. Ini sangat tepat, walaupun mungkin ada yang kurang paham lalu mendoakannya dalam liturgi. Tak banyak OMK yang terlibat dalam LM dibanding kelompok lain.

Walaupun berbeda ungkapan, namun nyatalah bahwa perasaan mereka sama-sama terangkat kepada kehadiran Yang Ilahi dan iman dimantapkan. Adanya penyesuaian dan variasi itu dirasakan melegakan  OMK dalam menghayati iman akan Allah.

Liturgi yang Tergairahkan oleh Kemudaan

Apakah istimewanya liturgi orang muda? Sebenarnya tatacara liturgi mereka tidak ada bedanya dengan liturgi pada umunya. Yang istimewa adalah apa yang mereka rindukan dan  cara ungkapannya. Dalam situasi pertumbuhan menuju masa depan yang tidak serba jelas, di tengah zaman yang hiruk pikuk tidak pasti, liturgi menjadi wahana ungkapan mereka. Apakah liturgi bisa menjawab kerinduan mereka? Alih-alih menunggu liturgi memuaskan mereka, maka banyak kali terjadi, mereka-lah yang berinisiatif menggairahkan liturgi sesuai desakan kuat di dalam dada untuk mengungkapkan kerinduan mereka akan Allah. Sayangnya, para penanggungjawab liturgi kadang-kadang tidak (mau) menanggapi dengan sabar. Akibatnya, gairah OMK sering dikecewakan. Yang diperlukan sekarang adalah penanggungjawab liturgi yang melibatkan OMK dalam tim liturgi, agar perencanaan doa-doa dan lagu, serta variasi lain bisa menjawab kerinduan OMK. Ada aneka warna kelompok doa OMK. Sangat bagus jika mereka dilibatkan oleh para penanggungjawab liturgi di berbagai tingkat (paroki, dekenat/kevikepan, dan keuskupan) untuk menggairahkan liturgi kita. Dengan demikian, tak kan ada lagi kecurigaan dan penilaian sepihak atas OMK seperi pada alinea pertama tulisan ini. Mereka pun merasa tersapa dan pasti belajar liturgi Katolik dengan lebih baik. Ada satu lagi potret ber-liturgi OMK walaupun sangat jarang. Yakni OMK yang tergerakkan oleh liturgi sedemikian rupa, sehingga terinspirasi untuk terjun dalam perjuangan menegakkan perdamaian dan keadilan. Mereka pun perlu dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan liturgi agar liturgi benar-benar ”puncak dan sumber” hidup beriman bagi OMK.

OMK dan Musik Liturgi  

Bayangkanlah suatu perayaan Liturgi Ekaristi di gedung gereja yang besar dengan ribuan OMK. Bagaimana jika tanpa musik? Nah, musik ialah salah satu kegemaran favorit OMK, sejak era zaman batu hingga era dot com ini. Namun musik Liturgi, memiliki ketentuan liturgis. Apakah OMK masih tertarik dengan musik liturgi? Atau, apakah musik liturgi masih mampu berdaya pikat terhadap OMK?

Perayaan Liturgi  tidak melulu  pikiran (ratio) . Liturgi selalu meliputi tata gerak dan menyangkut  seluruh kekayaan cita-rasa batin yang mendorong setiap orang untuk mengungkapkannya secara lahir. Wujudnya doa, permohonan, pujian, sembah sujud, dan semacamnya. Relasi dengan Allah ialah misteri. Maka apa pun yang sulit dinyatakan dalam kata-kata, diwujudkan dalam seni yaitu musik, syair, nyanyian, lukisan, pahatan yang menembus misteri relasi Allah dan manusia. Itulah jiwa Liturgi, yaitu Allah yang selalu ingin mengkomunikasikan diri kepada manusia dan manusia yang rindu menyambut-Nya. Ungkapan itu diungkapkan oleh manusia dengan segala dimensi kemanusiaannya. Di sinilah kita tempatkan musik dan seni liturgi. Tujuan Musik Liturgi ialah kemuliaan Allah dan pengudusan manusia (Konstitusi tentang Liturgi, / Sacrosanctum Concilium, SC, 112) dan Alkitab memuji lagu-lagu ibadat (Ef 5:19; Kol 3:16)

Yang harus diketahui ialah perbedaan antara Musik / Lagu Liturgi dan Musik / Lagu Rohani Umat.   Ketika ungkapan musik diwujudkan dalam perayaan Liturgi, maka kita mengenal istilah Musik/ Nyanyian Liturgi ; sedangkan ketika ungkapan musik diwujudkan dalam perayaan non-liturgi, maka kita mengenal istilah Nyanyian rohani umat (populer). Dalam Musik/Lagu Liturgi Ada 3 kekuatan yang terkandung sesuai hakikat perayaan Liturgi:

1.      Dinamisme iman pribadi

2.      Dinamisme misteri Allah Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus.

3.      Dinamisme komunitas Gerejawi sebagai anggota Tubuh mistik Kristus.

Komponen musik Liturgi adalah ungkapan komunikasi-komunal antara  saya – kita – Allah Tritunggal dalam cara yang lebih mesra dan batiniah.

Lagu / Nyanyian Rohani Umat atau Lagu Rohani Populer, tidak mengandung hakikat  tiga kekuatan dinamis terebut. Musik rohani merupakan ungkapan iman personal saja, belum eklesial/Gerejawi dan sering juga tidak memperhitungkan dimensi dinamika Allah Tritunggal. Namun SC 118 mengingatkan agar nyanyian rohani umat dikembangkan secara ahli, sehingga kaum beriman dapat bernyanyi dalam kegiatan devosional dan perayaan-perayaan ibadat menurut ketentuan rubrik.

Dalam dokumen “Musicam Sacram” artikel 5 dikatakan sbb:

Sungguh, lewat bentuk  ini (musik-pen), doa diungkapkan secara lebih menarik, dan misteri Liturgi, yang sedari hakikatnya bersifat hirarkis dan jemaat, dinyatakan secara lebih jelas. Kesatuan hati dicapai secara lebih mendalam berkat perpaduan suara. Hati lebih mudah dibangkitkan ke arah hal-hal surgawi berkat keindahan upacara kudus…”

Apabila telah dipahami betapa luhurnya misteri yang terjadi selama perayaan Liturgi maka perlulah OMK menyadari betapa luhurnya peran musik dan nyanyian dalam Liturgi sebagai sarana komunikasi dengan yang ilahi dalam kebersamaan.

Sacrosanctum Concilium artikel 112 menyebutkan peran musik sebagai tugas pelayanan untuk mendukung ibadat kepada AllahPaus Pius X menyebutnya sebagai umile ancella. Paus Pius XI menyebutnya sebagai serva nobilissima. P.Pius XII menyebutnya sebagai sacrae liturgiae quasi administra. Dan Konsili Vatikan II menyebutnya: munus ministeriale in dominico servitio (tugas pelayanan dalam mengabdi Tuhan).

Syarat-syarat Musik Liturgi:

  1. Harus merupakan musik sejati menurut seni musik.
  2. Kata-kata dan nada harus sungguh menghantar manusia kepada Allah, oleh karena itu harus berdasarkan teks Kitab Suci dan Teks Liturgi.
  3. Harus mengungkapkan daya-daya seni dan religiositas dalam dialog dan tanda-tanda simbolik lainnya selama berlangsung perayaan, di mana Allah dimuliakan dan umat beriman dikuduskan.

Maka Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan upacara Ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. Gereja menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan Liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam Ibadat kepada Allah (SC 112).

Ekaristi untuk Orang Muda

Actio Pastoralis, instruksi Kongregasi Ibadat mengenai “Misa untuk kelompok-kelompok khusus” 15 Mei 1969 menyatakan ”Gereja sangat menganjurkan penyelenggaraan Misa untuk berbagai kelompok dalam paroki baik territorial maupun kategorial sebab mempunyai dampak lebih mendalam terhadap penghayatan hidup kristiani, saling mendukung dalam perkembangan hidup rohani dan kesaksian iman”.

Untuk itu diperlukan berbagai penyesuaian, yang dapat dibagi dalam dua kategori:

1.      penyesuaian akomodatif

2.      penyesuaian inkulturatif

Akomodatif  maksudnya penyesuaian dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan budaya setempat misalnya: bacaan, nyanyian, cara berkomunikasi, tata-gerak ritual, dramatisasi, tarian,  dll. Misa Orang Muda perlu banyak penyesuaian sesuai dengan jiwa mereka agar sungguh berdaya-guna bagi hidup mereka, namun mengindahkan kaidah liturgi.

Inkulturatif maksudnya  unsur-unsur budaya setempat di mana dituntut studi yang mendalam mengenai unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan untuk membantu kelompok-kelompok masyarakat tertentu dalam penghayatan iman mereka.

Harapan

Semoga dengan demikian musik dan lagu liturgi menyemarakkan cita rasa batin yang terdalam dari OMK. Musik yang dipakai dalam liturgi haruslah yang menjunjung rasa hormat sembah bakti dalam memuliakan Allah, dan membuat OMK sadar dan aktif dalam liturgi.

 

*****

Yohanes Dwi Harsanto Pr (Sekretaris Eksekutif komisi Kepemudaan KWI) Ditulis di Maumere, 24 Mei 2008, saat bersama OMK Regio Nusa Tenggara.

Terima kasih kepada para teman berbincang: Rm Y Subagyo Pr, Sdr Hanny, Sdr Ari, Rm Ruki SJ, Rm Deshi SJ, Rm Yumar SJ, Sdr Xaxa, Mas Felix.  Tulisan di atas sudah pernah dimuat di Majalah Liturgi, Komisi Liturgi KWI, tahun 2008. Terima kasih atas ide  dan masukan dari Rm Bosco Da Cunha O.Carm (Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI) mengenai OMK dan Musik Liturgi, yang membuat makalah ini makin lengkap. Makalah ini pernah dimuat di Majalah LITURGI, terbitan Komisi Liturgi KWI, 2008.

Terima kasih kepada  Romo Boli Ujan SVD, mantan sekretaris eksekutif Komisi Liturgi KWI turut membantu penyempurnaan artikel ini.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab