Home Blog Page 182

Allah Bapa yang Maha Kuasa

24

I. Trinitas menurut Kitab Suci:

  • Kej 1:26 – Tuhan menyatakan bahwa Ia ada di dalam komunitas Pribadi
  • Mat 3:13-17 – Trinitas dinyatakan dalam Pembaptisan Yesus
  • Mat 28:19 – Rumusan Pembaptisan membuktikan bahwa ketiga Pribadi Allah mempunyai derajat yang sama.
  • Luk 1:30-35 – Trinitas dinyatakan pada saat Yesus dikandung: dengan kuasa Roh Kudus, naungan Allahyang Mahatinggi (Bapa) dan Anak Allah dilahirkan.
  • Yoh 8:58 – Yesus mengklaim ke-Allahan dengan mengklaim nama Allah, yaitu: Aku adalah Aku (I am)
  • Yoh 10:30 – Yesus dengan Allah Bapa adalah satu
  • Yoh 14:16-17 – Melalui Kristus, Allah Bapa memberikan Penolong yang lain untuk menyertai kita, yaitu Roh Kudus.
  • Yoh 15:26 – Roh Penghibur atau Roh Kudus diutus oleh Kristus dari Bapa, yang memberikan kesaksian tentang Kristus.
  • Kis 5:1-11– Mendustai Roh Kudus adalah mendustai Allah.
  • 2Kor 13:14 – Berkat dengan rumusan Trinitas.
  • 1Yoh 4:8-16– Dengan saling mengasihi, kita mengambil bagian di dalam Roh Kudus, yaitu Kasih yang dinyatakan oleh Allah Bapa di dalam Kristus.

II. Trinitas menurut Katekismus Gereja Katolik

  • KGK 249 – Ajaran tentang Trinitas, diwahyukan sejak awal, lewat rumusan Pembaptisan dan ajaran para rasul, sebagaimana tertuang dalam liturgi Ekaristi (lih. 2 Kor 13:13; 1 Kor 12:4-6; Ef 4:4-6)
  • KGK 252–  Istilah yang digunakan Gereja: 1) substansi/ esensi/ kodrat, 2) pribadi 3) hubungan
  • KGK 253: Trinitas adalah satu, “Trinitas yang masing- masing Pribadinya satu hakekat-Nya.
  • KGK 254: Masing- masing Pribadi sungguh berbeda antara satu dengan lainnya.
  • KGK 255: Perbedaan itu adalah karena hubungan antara satu Pribadi dengan Pribadi lainnya.

III. Trinitas menurut Bapa Gereja

  • St. Paus Klemens dari Roma (menjadi Paus tahun 88-99):
    “Bukankah kita mempunyai satu Tuhan, dan satu Kristus, dan satu Roh Kudus yang melimpahkan rahmat-Nya kepada kita?” ((St. Clement of Rome, Letter to the Corinthians, Ch. 46, seperti dikutip oleh John Willis SJ, The Teachings of the Church Fathers, (San Francisco, Ignatius Press, 2002, reprint 1966), p. 145))
  • St. Ignatius dari Antiokhia (50-117) membandingkan jemaat dengan batu yang disusun untuk membangun bait Allah Bapa; yang diangkat ke atas oleh ‘katrol’ Yesus Kristus yaitu Salib-Nya dan oleh ‘tali’ Roh Kudus. ((St. Ignatius of Antiokh, Letter to the Ephesians, Ch. 9, Ibid., p. 146))
    “Ignatius, juga disebut Theoforus, kepada Gereja di Efesus di Asia… yang ditentukan sejak kekekalan untuk kemuliaan yang tak berakhir dan tak berubah, yang disatukan dan dipilih melalui penderitaan sejati oleh Allah Bapa di dalam Yesus Kristus Tuhan kita.” ((St. Ignatius, Letter to the Ephesians, 110))
    “Sebab Tuhan kita, Yesus Kristus, telah dikandung oleh Maria seturut rencana Tuhan: dari keturunan Daud, adalah benar, tetapi juga dari Roh Kudus.” ((ibid., 18:2)).
    “Kepada Gereja yang terkasih dan diterangi kasih Yesus Kristus, Tuhan kita, dengan kehendak Dia yang telah menghendaki segalanya yang ada.” ((St. Ignatius, Letter to the Romans, 110))
  • St. Polycarpus (69-155), dalam doanya sebelum ia dibunuh sebagai martir, “… Aku memuji Engkau (Allah Bapa), …aku memuliakan Engkau, melalui Imam Agung yang ilahi dan surgawi, Yesus Kristus, Putera-Mu yang terkasih, melalui Dia dan bersama Dia, dan Roh Kudus, kemuliaan bagi-Mu sekarang dan sepanjang segala abad. Amin.” ((St. Polycarp, Ibid., 146))
  • St. Athenagoras (133-190):
    “Sebab, … kita mengakui satu Tuhan, dan PuteraNya yang adalah Sabda-Nya, dan Roh Kudus yang bersatu dalam satu kesatuan, –Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.” ((St. Athenagoras, A Plea for Christians, Ch. 24, ibid., 148))
  • Aristides sang filsuf [90-150 AD] dalam The Apology
    “Orang- orang Kristen, adalah mereka yang, di atas segala bangsa di dunia, telah menemukan kebenaran, sebab mereka mengenali Allah, Sang Pencipta segala sesuatu, di dalam Putera-Nya yang Tunggal dan di dalam Roh Kudus. ((Aristides, Apology 16 [A.D. 140]))
  • St. Irenaeus (115-202):
    “Sebab bersama Dia (Allah Bapa) selalu hadir Sabda dan kebijaksanaan-Nya, yaitu Putera-Nya dan Roh Kudus-Nya, yang dengan-Nya dan di dalam-Nya, …Ia menciptakan segala sesuatu, yang kepadaNya Ia bersabda, “Marilah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran Kita.” (( St. Irenaeus, Against Heresy, Bk. 4, Ch.20, Ibid., 148))
    “Sebab Gereja, meskipun tersebar di seluruh dunia bahkan sampai ke ujung bumi, telah menerima dari para rasul dan dari murid- murid mereka iman di dalam satu Tuhan, Allah Bapa yang Mahabesar, Pencipta langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya; dan di dalam satu Yesus Kristus, Sang Putera Allah, yang menjadi daging bagi keselamatan kita, dan di dalam Roh Kudus, yang [telah] mewartakan melalui para nabi, ketentuan ilahi dan kedatangan, dan kelahiran dari seorang perempuan, dan penderitaan dan kebangkitan dari mati dan kenaikan tubuh-Nya ke surga dari Kristus Yesus Tuhan kita, dan kedatangan-Nya dari surga di dalam kemuliaan Allah Bapa untuk mendirikan kembali segala sesuatu, dan membangkitkan kembali tubuh semua umat manusia, supaya kepada Yesus Kristus Tuhan dan Allah kita, Penyelamat dan Raja kita, sesuai dengan kehendak Allah Bapa yang tidak kelihatan, setiap lutut bertelut dari semua yang di surga dan di bumi dan di bawah bumi ….” ((St. Irenaeus, Against Heresies, I:10:1 [A.D. 189])).
    “Namun demikian, apa yang tidak dapat dikatakan oleh seorangpun yang hidup, bahwa Ia [Kristus] sendiri adalah sungguh Tuhan dan Allah … dapat dilihat oleh mereka yang telah memperoleh bahkan sedikit bagian kebenaran” ((St. Irenaeus, ibid., 3:19:1)).
  • St. Klemens dari Aleksandria [150-215 AD] mengajarkan: “Sang Sabda, Kristus, adalah penyebab, dari asal mula kita -karena Ia ada di dalam Allah- dan penyebab kesejahteraan kita. Dan sekarang, Sang Sabda yang sama ini telah menjelma menjadi manusia. Ia sendiri adalah Tuhan dan manusia, dan sumber dari semua yang baik yang ada pada kita” ((St. Clement, Exhortation to the Greeks/ the Heathen 1:7:1 [A.D. 190])).
    “Dihina karena rupa-Nya namun sesungguhnya Ia dikagumi, [Yesus adalah], Sang Penebus, Penyelamat, Pemberi Damai, Sang Sabda, Ia yang jelas adalah Tuhan yang benar, Ia yang setingkat dengan Allah seluruh alam semesta sebab Ia adalah Putera-Nya.” ((ibid., 10:110:1)).
  • St. Hippolytus [170-236 AD] dalam Refutation of All Heresies (Book IX)
    “Hanya Sabda Allah [yang] adalah dari diri-Nya sendiri dan karena itu adalah juga Allah, menjadi substansi Allah. ((St. Hippolytus, Refutation of All Heresies 10:33 [A.D. 228]))
    “Sebab Kristus adalah Allah di atas segala sesuatu, yang telah merencanakan penebusan dosa dari umat manusia …. ((ibid., 10:34)).
  • Tertullian [160-240 AD] dalam Against Praxeas
    “Bahwa ada dua allah dan dua Tuhan adalah pernyataan yang tidak akan keluar dari mulut kami; bukan seolah Bapa dan Putera bukan Tuhan, ataupun Roh Kudus bukan Tuhan…; tetapi keduanya disebut sebagai Allah dan Tuhan, supaya ketika Kristus datang, Ia dapat dikenali sebagai Allah dan disebut Tuhan, sebab Ia adalah Putera dari Dia yang adalah Allah dan Tuhan.” ((Tertullian, Against Praxeas 13:6 [A.D. 216])).
  • Origen [185-254 AD] dalam De Principiis (Book IV)
    “Meskipun Ia [Kristus] adalah Allah, Ia menjelma menjadi daging, dan dengan menjadi manusia, Ia tetap adalah Allah.” ((Origen, The Fundamental Doctrines 1:0:4 [A.D. 225])).
  • Novatian [220-270 AD] dalam Treatise Concerning the Trinity
    “Jika Kristus hanya manusia saja, mengapa Ia memberikan satu ketentuan kepada kita untuk mempercayai apa yang dikatakan-Nya, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” (Yoh 17:3). Bukankah Ia menghendaki agar diterima sebagai Allah juga? Sebab jika Ia tidak menghendaki agar dipahami sebagai Allah, Ia sudah akan menambahkan, “Dan manusia Yesus Kristus yang telah diutus-Nya,” tetapi kenyataannya, Ia tidak menambahkan ini, juga Kristus tidak menyerahkan nyawa-Nya kepada kita sebagai manusia saja, tetapi satu diri-Nya dengan Allah, sebagaimana dikehendakiNya agar dipahami, oleh persatuan ini Ia adalah Tuhan juga, seperti adanya Dia. Karena itu kita harus percaya, sesuai dengan ketentuan tertulis, kepada Tuhan, satu Allah yang benar, dan juga kepada Ia yang telah diutus-Nya, Yesus Kristus, yang, …tidak akan menghubungkan Diri-Nya sendiri kepada Bapa, jika Ia tidak menghendaki untuk dipahami sebagai Allah juga. Sebab [jika tidak] Ia akan memisahkan diri-Nya dari Dia [Bapa], jika Ia tidak menghendaki untuk dipahami sebagai Allah.” ((Novatian, Treatise Concerning the Trinity 16 [A.D. 235])).
  • St. Cyprian dari Carthago [200-270 AD] dalam Treatise 3
    “Seseorang yang menyangkal bahwa Kristus adalah Tuhan tidak dapat menjadi bait Roh Kudus-Nya …” ((St. Cyprian, Letters 73:12 [A.D. 253])).
  • Lactantius [290-350 AD] dalam The Epitome of the Divine Institutes
    “Ia telah menjadi baik Putera Allah di dalam Roh dan Putera manusia di dalam daging, yaitu baik Allah maupun manusia. ((Lactantius, Divine Institutes 4:13:5 [A.D. 307]))
    “Seseorang mungkin bertanya, bagaimana mungkin, ketika kita berkata bahwa kita menyembah hanya satu Tuhan, namun kita menyatakan bahwa ada dua, Allah Bapa dan Allah Putera, di mana penyebutan ini telah menyebabkan banyak orang jatuh ke dalam kesalahan yang terbesar … [yang berpikir] bahwa kita mengakui adanya Tuhan yang lain, dan bahwa Tuhan yang lain itu adalah yang dapat mati …. [Tetapi] ketika kita bicara tentang Allah Bapa dan Allah Putera, kita tidak bicara tentang Mereka sebagai satu yang lain dari yang lainnya, ataupun kita memisahkan satu dari lainnya, sebab Bapa tidak dapat eksis tanpa Putera dan Putera tidak dapat dipisahkan dari Bapa.” ((Lactantius, (ibid., 4:28–29))
  • St. Athanasius (296-373), “Sebab Putera ada di dalam Bapa… dan Bapa ada di dalam Putera…. Mereka itu satu, bukan seperti sesuatu yang dibagi menjadi dua bagian namun dianggap tetap satu, atau seperti satu kesatuan dengan dua nama yang berbeda… Mereka adalah dua,(dalam arti) Bapa adalah Bapa dan bukan Putera, demikian halnya dengan Putera… tetapi kodrat/ hakekat mereka adalah satu (sebab anak selalu mempunyai hakekat yang sama dengan bapanya), dan apa yang menjadi milik BapaNya adalah milik Anak-Nya.” ((St. Athanasius, Four Discourses Against the Arians, n. 3:3, in NPNF, 4:395.))
  • St. Agustinus (354-430), “… Allah Bapa dan Putera dan Roh Kudus adalah kesatuan ilahi yang erat, yang adalah satu dan sama esensinya, di dalam kesamaan yang tidak dapat diceraikan, sehingga mereka bukan tiga Tuhan, melainkan satu Tuhan: meskipun Allah Bapa telah melahirkan (has begotten) Putera, dan Putera lahir dari Allah Bapa, Ia yang adalah Putera, bukanlah Bapa, dan Roh Kudus bukanlah Bapa ataupun Putera, namun Roh Bapa dan Roh Putera; dan Ia sama (co-equal) dengan Bapa dan Putera, membentuk kesatuan Tritunggal. ” ((St. Augustine, On The Trinity, seperti dikutip oleh John Willis SJ, Ibid., 152.))

IV. Misteri Tritunggal Maha Kudus

Di pembahasan sebelumnya, telah dapat dibuktikan bahwa Tuhan itu ada, dan bahwa Ia adalah satu dan mempunyai kuasa yang penuh atas semua mahluk ciptaan-Nya. Semua itu dapat kita ketahui dari akal budi saja, sehingga hal inipun dapat diketahui oleh semua orang, termasuk mereka yang tidak mengimani Trinitas. Namun demikian, kita manusia tidak berhak untuk mengharapkan bahwa kita pasti mengetahui segala sesuatunya tentang Tuhan yang tidak terbatas, sebab akal budi manusia itu terbatas. Maka, pada akhirnya manusia harus berhenti dan menyerahkan kemampuan berpikirnya kepada apa yang diberitahukan oleh Allah sendiri. Sebab pertanyaan-pertanyaan kita tidak akan dapat terjawab, tanpa kita mengacu kepada Wahyu Ilahi, yaitu apa yang dinyatakan Allah tentang Diri-Nya. Pernyataan tentang Diri Allah Trinitas ini, sering disebut sebagai misteri dalam iman Kristiani.

Jika dikatakan bahwa ada dimensi misteri dalam ajaran iman, maksudnya bukan kebenaran yang tentangnya kita tidak dapat mengetahui sedikitpun; melainkan adalah kebenaran yang tentangnya kita tidak dapat mengetahui segala sesuatunya. Maka misteri iman bukan untuk diartikan sebagai seumpama tembok yang begitu luas tanpa batas yang mengarahkan orang untuk berjalan tanpa pegangan secara terus menerus tanpa akhir. Sebab walaupun disebut misteri, namun ada banyak kebenaran yang telah dinyatakan Allah, yang dapat kita pegang teguh hingga akhir, saat semua yang dijanjikan Allah mencapai penggenapannya.

Maka semua orang yang percaya kepada Allah harus siap untuk menerima misteri iman sebagai suatu kebenaran karena otoritas Allah yang mewahyukannya. Ini adalah pengertian iman. Akal budi mengatakan pada kita bahwa Allah dapat dan telah mewahyukan Diri-Nya kepada manusia; dan karena Ia adalah Tuhan, maka Ia harus dipercaya. Akal budi membantu manusia untuk mengetahui sesuatu, sedangkan iman membantu manusia untuk percaya akan sesuatu. Karena baik akal budi maupun iman berasal dari Tuhan, maka keduanya tidak akan bertentangan.

V. Trinitas: menurut wahyu Allah

Karena Tuhan mengasihi manusia, maka Tuhan ingin mengkomunikasikan siapa Diri-Nya yang sebenarnya kepada manusia. Tuhan menghendaki agar manusia dapat mengasihi-Nya sebagaimana adanya Dia. Allah mewahyukan kehidupan pribadi-Nya secara bertahap, mulai dari Allah yang Maha Kuasa, Pencipta langit dan bumi, Allah yang Maha Besar, yang memberikan perintah kepada bangsa Israel. Dari Allah yang Maha Besar, kemudian Allah menyatakan Diri-Nya secara lebih pribadi dalam peristiwa penjelmaan-Nya menjadi manusia (disebut peristiwa Inkarnasi) dalam diri Kristus. Melalui Kristuslah, yang sungguh Allah dan sungguh manusia, misteri kehidupan Allah Tritunggal dikomunikasikan, karena Kristus datang untuk melakukan kehendak Allah Bapa oleh kuasa Roh Kudus. Dan setelah kebangkitan dan kenaikan Kristus ke surga, bersama Allah Bapa Ia mengutus Roh Kudus ke dunia.

Trinitas di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Dalam artikel iman tentang Allah Bapa, kita mengetahui bahwa sebenarnya bangsa Israel telah mengenal Tuhan sebagai Bapa; dan kemudian pengertian Bapa diungkapkan secara lebih jelas oleh Kristus. Dalam Perjanjian Lama (PL), sebutan Allah sebagai Bapa merujuk kepada Sang Pencipta dunia (KGK, 238; lih. Ul 32:6; Mal 2:10); sebagai tanda perjanjian Allah dengan Israel (lih. Kel 4:22); sebagai Bapa kaum Israel (lih. 2Sam 7:14), dan secara khusus Bapa kaum miskin, baik yatim maupun janda (lih. Mzm 68:6). Namun, dalam Perjanjian Baru (PB), Yesus mengungkapkan jati diri Bapa, yang bukan hanya Sang Pencipta, namun juga menjadi Bapa bagi Nya- dalam hubungan asal (lih. Mat 11:27).

Dalam PL, kita melihat adanya wahyu Tuhan yang menggambarkan Trinitas, walaupun secara samar-samar. Dalam Kitab Kejadian, Tuhan mengatakan “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (lih. Kej 1:26). Para Bapa Gereja mengartikan bahwa ‘Kita’ mengacu kepada Bapa yang berbicara dengan Allah Putera dan Allah Roh Kudus. Imam memberkati bangsa Yahudi dengan menyebutkan nama Tuhan tiga kali (lih. Bil 6:23-24). Nabi Yesaya menceritakan bahwa para malaikat di Sorga berseru,”Kudus, kudus, kuduslah Tuhan” (lih. Yes 6:3). Kemudian Daud berkata “Tuhan telah berfirman kepada Tuanku: duduklah di sebelah kanan-Ku” (lih. Mat 24:44; Mzm 110:1). Semuanya ini menggambarkan secara samar-samar akan Tuhan yang satu, namun mempunyai tiga Pribadi.

Dalam PB, Yesus memberikan gambaran yang lebih jelas tentang misteri Trinitas, yaitu ketika Kristus dibaptis (lih. Mat 3:13-17); ketika malaikat menyampaikan kabar gembira (lih. Luk 1:30-35); janji Kristus untuk mengutus Penolong lain yang keluar dari Bapa (Yoh 14:16-17; Yoh 15:26) dan juga pesan Yesus yang terakhir sebelum naik ke surga, yaitu agar para murid membaptis dalam nama Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, menjadikan segala bangsa murid-Nya dan mengajarkan segala perintah-Nya (lih Mat 28:19-20).

Selanjutnya, Rasul Yohanes juga menyebutkan tentang Trinitas, “Sebab ada tiga yang memberi kesaksian di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.” (1Yoh 5:7). Hal ini juga dipertegas oleh Rasul Paulus, yang memberikan berkat dengan rumusan Trinitas (lih. 2Kor 13:14). Pada akhir suratnya kepada jemaat di Korintus, Rasul Paulus menuliskan penutup dengan rumusan Trinitas, “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian.” (2Kor 13:13) Dalam pemaparannya tentang macam-macam karunia yang tidak dapat dipisahkan dari ketiga Pribadi dalam Trinitas, Rasul Paulus menuliskan, “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang.”(1Kor 12:4-6) Rasul Petrus juga menegaskan Trinitas dalam tulisannya sebagai berikut, “Orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. ” (1 Pet 1:2).

Dari dasar-dasar wahyu Allah yang dinyatakan di dalam Kitab Suci, maka Gereja perdana berjuang untuk dapat merumuskan Trinitas secara lebih jelas dan presisi, sehingga tidak terjadi penyimpangan ajaran. Gagasan-gagasan dapat dilihat dari analogi-analogi yang diberikan oleh para Bapa Gereja, maupun definisi-definisi yang diberikan oleh para Bapa Gereja, yang juga menjadi dasar dari keputusan-keputusan konsili. Di bawah ini adalah pemaparan Trinitas dengan menggunakan analogi dan filosofi.

VI. Menggunakan analogi

Analogi dapat memberikan gambaran akan sesuatu yang hendak kita pahami. Namun, kita harus mengingat bahwa Tuhan Sang Pencipta berada di atas semua ciptaan. Dengan demikian, walaupun berguna untuk membantu kita memahami Trinitas, analogi apapun berkenaan dengan ciptaan tidak akan dapat memberikan gambaran yang lengkap akan Tuhan:

1. Tiga wujud air: Tiga wujud air mungkin dapat menjadi gambaran yang sederhana akan tiga Pribadi Allah (Bapa, Putera dan Roh Kudus). Air (H2O) dapat berupa cairan yaitu air biasa, atau beku yaitu es batu, atau uap air, jika air dipanaskan (ini memang bukan contoh yang sempurna- karena sebenarnya Tuhan itu adalah Roh sehingga tidak berwujud material- tetapi mungkin perumpamaan ini bisa sedikit menjelaskan terutama kepada anak- anak).

2. Warna Putih: Warna putih dapat diuraikan sebagai warna merah, kuning dan biru. Masing-masing warna adalah unik terhadap warna yang lain, namun kalau disatukan menjadi satu warna, yaitu warna putih. Warna merah, kuning dan biru menjadi gambaran yang tidak sempurna akan keunikan dari masing-masing Pribadi dalam Trinitas, dan warna putih menggambarkan satu esensi dari Trinitas.

3. Kasih dan akal budi: Dalam bukunya, On the Trinity (Book XV, ch. 3), St. Agustinus menjabarkan ringkasan tentang konsep Trinitas. Secara khusus ia memberi contoh beberapa trilogi untuk menggambarkan Trinitas, yaitu:

a) Seorang pribadi yang mengasihi, pribadi yang dikasihi dan kasih itu sendiri.

b) Trilogi pikiran manusia, yang terdiri dari pikiran (mind), pengetahuan (knowledge) yang olehnya pikiran mengetahui dirinya sendiri, dan kasih (love) yang olehnya pikiran dapat mengasihi dirinya dan pengetahuan akan dirinya.

c) ingatan (memory), pengertian (understanding) dan keinginan (will). Seperti pada saat kita mengamati sesuatu, maka terdapat tiga hal yang mempunyai satu esensi, yaitu gambaran benda itu dalam ingatan/ memori kita, bentuk yang ada di pikiran pada saat kita melihat benda itu dan keinginan kita untuk menghubungkan keduanya.

VII. Pendekatan filosofi

1. Substansi, Pribadi, Hubungan

Untuk mendapatkan pengertian yang benar tentang Trinitas, maka kita tidak boleh mencampuradukkan antara Tuhan yang satu hakekat dengan tiga Pribadi, karena memang ada perbedaan antara substansi (substance)/ hakekat (essence)/ kodrat (nature) dan pribadi (person). ‘Substansi/ hakekat/ kodrat’ adalah mengacu kepada kodrat ilahi dalam kesatuan-Nya, sedangkan ‘pribadi’ merujuk kepada perbedaan yang nyata antara Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus. Dan hubungan antara ketiganya dijelaskan dengan kata “hubungan” (relationship). Mari kita melihat ketiga kata ini satu persatu:

‘Substansi’ (kadang diterjemahkan sebagai hakekat/ kodrat) dari diri kita adalah ‘manusia’. Kodrat sebagai manusia ini adalah sama untuk semua orang. Tetapi jika kita menyebut ‘pribadi’ maka kita tidak dapat menyamakan orang yang satu dengan yang lain, karena setiap pribadi itu adalah unik. Dalam bahasa sehari-hari, pribadi kita masing-masing diwakili oleh kata ‘aku’ (atau ‘I’ dalam bahasa Inggris), di mana ‘aku’ yang satu berbeda dengan ‘aku’ yang lain. Sedangkan, substansi/ hakekat kita diwakili dengan kata ‘manusia’ (atau ‘human’).

Ketika ditanya, “Siapakah kamu?”, maka dapat dijawab, “Budi” (atau siapapun nama orang yang ditanya). Tapi ketika ditanya, “Apakah kamu?” maka jawabannya, “Manusia”. Maka pertanyaan “siapa” mengacu kepada pribadi manusia, sedangkan “apa” kepada kodratnya, yaitu sebagai manusia. Yang berbuat segala sesuatu adalah pribadi, bukan kodrat, namun kodratnya menentukan apa yang diperbuatnya. Contohnya, jika sebagai manusia ia adalah seorang ayah, maka ia melakukan apa- apa yang layak dilakukan oleh seorang ayah.

Pada Tuhan, hanya ada satu pikiran, akal budi dan kehendak, yang seolah difokuskan tiga kali. Maka jika ditanyakan kepada Tuhan, “Apakah Engkau?”, jawab-Nya, “Tuhan”, dan jika ditanyakan, “Siapakah Engkau”, maka jawab-Nya adalah, “Aku adalah Aku” sebanyak tiga kali, sebagai kesatuan dari ketiga Pribadi Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Analogi yang paling mirip (walaupun tentu tak sepenuhnya menjelaskan misteri Allah ini) adalah kesatuan antara jiwa dan tubuh dalam diri kita. Tanpa jiwa, kita bukan manusia, tanpa tubuh, kita juga bukan manusia. Kesatuan antara jiwa dan tubuh kita membentuk hakekat kita sebagai manusia, dan dengan sifat-sifat tertentu membentuk kita sebagai pribadi.

Dengan prinsip yang sama, maka di dalam Trinitas, substansi/ hakekat yang ada adalah satu, yaitu Tuhan, sedangkan di dalam kesatuan tersebut terdapat tiga Pribadi: ada tiga ‘Aku’, yaitu Bapa, Putera dan Roh Kudus. Tiga pribadi manusia tidak dapat menyamai makna Trinitas, karena di dalam tiga orang manusia, terdapat tiga “kejadian”/ ‘instances‘ kodrat manusia; sedangkan di dalam tiga Pribadi ilahi, terdapat hanya satu kodrat Allah, yang identik dengan ketiga Pribadi tersebut.  Dengan demikian, ketiga Pribadi Allah mempunyai kesamaan hakekat Allah yang sempurna:  setiap Pribadi adalah Allah, sehingga ketiganya membentuk kesatuan yang sempurna. Yang membedakan Pribadi yang satu dengan yang lainnya hanyalah terletak dalam hal hubungan asal (origin) pada ketiganya.

Hubungan asal ini maksudnya adalah Allah Putera berasal dari Allah Bapa, dan Roh Kudus berasal dari Allah Bapa dan Putera. Jika kita berpikir hanya tentang hubungan ini, kita dapat mengatakan sesuatu kepada salah satu Pribadi Allah yang tak dapat dikatakan kepada kedua Pribadi Allah yang lain. Kepada Allah Bapa, “Ia yang melahirkan Putera”, kepada Putera, “Ia yang lahir dari Allah Bapa”, dan kepada Roh Kudus, “Ia yang berasal dari Allah Bapa dan Putera”.

2. Yang satu jangan diceraikan dan yang berbeda jangan dianggap sama

Tritunggal adalah Allah yang satu ((Lihat KGK 253)). Pribadi ini tidak membagi-bagi ke-Allahan seolah masing-masing menjadi sepertiga, namun ketiganya adalah ‘sepenuhnya dan seluruhnya’. Bapa adalah yang sama seperti Putera, Putera yang sama seperti Bapa; dan Bapa dan Putera adalah yang sama seperti Roh Kudus, yaitu satu Allah dengan kodrat yang sama. Karena kesatuan ini, maka Bapa seluruhnya ada di dalam Putera, seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Putera seluruhnya ada di dalam Bapa, dan seluruhnya ada di dalam Roh Kudus; Roh Kudus ada seluruhnya di dalam Bapa, dan seluruhnya di dalam Putera.

Ketiga Pribadi ini berbeda secara nyata satu sama lain, yaitu di dalam hal hubungan asalnya: yaitu Allah Bapa yang ‘melahirkan’, Allah Putera yang dilahirkan, Roh Kudus yang dihembuskan ((Lihat KGK 254)). Ketiga Pribadi ini berhubungan satu dengan yang lainnya. Perbedaan dalam hal asal tersebut tidak membagi kesatuan ilahi, namun malah menunjukkan hubungan timbal balik antar Pribadi Allah tersebut. Bapa dihubungkan dengan Putera, Putera dengan Bapa, dan Roh Kudus dihubungkan dengan keduanya. Hakekat ketiganya adalah satu, yaitu Allah ((Lihat KGK 255)).

3. Argumentasi kasih

Seperti telah disebutkan di atas, kasih tidak mungkin berdiri sendiri, namun melibatkan dua belah pihak. Sebagai contoh, kasih suami istri, melibatkan kedua belah pihak, maka disebut sebagai “saling” mengasihi. Kalau Tuhan adalah Kasih yang paling sempurna, maka tidak mungkin Ia tidak melibatkan pihak lain yang dapat menjadi saluran kasih-Nya dan juga dapat membalas kasih-Nya dengan derajat yang sama. Jadi Tuhan itu harus satu, namun bukan Tuhan yang betul- betul sendirian; sebab jika demikian, maka Tuhan tidak mungkin dapat menyalurkan dan menerima kasih yang sejati.

Orang mungkin berargumentasi bahwa Tuhan bisa saja satu dan sendirian dan Dia dapat menyalurkan kasih-Nya dan menerima balasan kasih dari manusia. Namun, secara logis, hal ini tidaklah mungkin, karena Tuhan Sang Kasih Ilahi tidak mungkin tergantung kepada manusia yang kasihnya tidak sempurna, dan kasih manusia tidak berarti jika dibandingkan dengan kasih Tuhan. Dengan demikian, sangatlah masuk akal, jika Tuhan mempunyai “kehidupan batin,” di mana Dia dapat memberikan kasih sempurna dan juga menerima kembali kasih yang sempurna. Jadi, di dalam kehidupan batin Allah inilah Yesus Kristus ada sebagai Allah Putera, yang dapat memberikan derajat kasih yang sama kepada Allah Bapa. Hubungan antara Allah Bapa dan Allah Putera adalah hubungan kasih yang kekal, sempurna, dan tak terbatas. Kasih ini membuahkan Roh Kudus. ((Roh Kudus adalah buah dari tindakan kasih antara Allah Bapa dan Allah Putera. Ini sebabnya, peristiwa Pentakosta terjadi setelah Yesus wafat di kayu salib. Bapa mengasihi Putera-Nya, dan Putera-Nya menunjukkan kasih-Nya dengan sempurna di kayu salib. Buah dari pertukaran dan kasih yang mengorbankan diri inilah yang menghasilkan Roh Kudus. Sehingga dalam ibadat iman yang panjang (Nicene Creed), kita melihat pernyataan “….Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia berasal dari Bapa dan Putera….“)) Melalui hubungan kasih yang sempurna tersebut kita mengenal Allah yang pada hakekatnya adalah KASIH. Kesempurnaan kasih Allah ini ditunjukkan dengan kerelaan Yesus untuk menyerahkan nyawa-Nya demi kasih-Nya kepada Allah Bapa dan kepada kita. Yesus memberikan Diri-Nya sendiri demi keselamatan kita, ((John Paul II, Encyclical Letter on The Redeemer Of Man: Redemptor Hominis, 10 – Paus Yohanes Paulus II menekankan bahwa kasih yang sempurna adalah kasih yang dapat memberikan diri sendiri kepada orang lain. Dengan demikian, adalah “sesuai atau fitting” bahwa Tuhan, melalui Putera-Nya menjadi contoh yang sempurna bagaimana menerapkan kasih. Ini juga membuktikan bahwa Tuhan bukanlah Allah yang sendirian)) agar kita dapat mengambil bagian dalam kehidupan-Nya oleh kuasa Roh-Nya yaitu Roh Kudus.

4. Aktivitas rohani yang immanen vs aktivitas jasmani yang transitif

Untuk memahami Allah yang adalah Roh (Yoh 4: 24) kita harus melihat kepada apa yang terjadi dalam jiwa rohani kita, dan bukan kepada kodrat jasmani kita. Maka kita melihat kepada dua kemampuan rohani kita, yaitu akal budi dan kehendak bebas dan aktivitas keduanya.

Aktivitas rohani berbeda dengan aktivitas jasmani. Aktivitas rohani bersifat immanen dan sedangkan aktivitas jasmani bersifat transitif. Aktivitas immanen adalah yang menghasilkan akibat di dalam diri yang melakukannya, sedangkan aktivitas transitif adalah yang menghasilkan akibat di luar yang melakukannya. Contoh: Palu memukul paku, maka terjadi suatu akibat yang terjadi pada paku yang berasal dari sesuatu di luar dirinya. Ketika matahari memanasi bumi, maka di bumi terjadi panas yang merupakan akibat dari sesuatu di luar dirinya. Tetapi ketika manusia berpikir, maka efek/ akibatnya tinggal di dalam dirinya (dalam pikirannya sendiri), dan memperkaya orang yang berpikir. Ketika kita berpikir tentang sesuatu, kita membentuk suatu konsep di dalam pikiran kita yang mewakili tentang sesuatu itu yang ada di luar diri kita.

Beberapa heretik (pengajar/ teolog yang sesat) gagal untuk membuat pembedaan antara sifat immanen dan transitif ketika ingin memahami Trinitas. Mereka menggunakan analogi yang bersifat transitif untuk menjelaskan sesuatu yang sifatnya immanen. Ini terjadi pada Arius, yang menjelaskan bahwa Allah Putera mempunyai awal di dalam Allah Bapa, tetapi berakhir di luar Allah Bapa, yaitu sebagai ‘produk’ yang lain daripada Bapa, sehingga hakekatnya tidak sama dengan Allah Bapa. Hal yang sama terjadi pada Roh Kudus. Sabellius juga demikian, karena ia menolak adanya perbedaan dalam Pribadi Allah, dan menjelaskan Putera dan Roh Kudus dengan cara menghubungkannya dengan akibat perbuatan Allah pada diri manusia. Allah Putera mengacu kepada tindakan penjelmaan Allah di dalam rahim Bunda Maria; dan Roh Kudus mengacu kepada tindakan Allah menguduskan manusia. Maka menurut paham ini, Trinitas bukan merupakan hasil dari tindakan immanen yang terjadi di dalam diri Allah, namun sebagai tindakan transitif yang berakhir di dalam diri manusia ciptaan-Nya.

St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa walaupun kita boleh mencari analogi untuk memahami Trinitas, kita sebaiknya mencari analogi tersebut dari apa yang tertinggi di dalam pengalaman kita, yaitu jiwa rohani kita. Namun demikian, kita juga harus menyadari bahwa bahkan jiwa rohani kitapun tidak akan sanggup menjelaskan misteri Trinitas:

“Karena Tuhan ada di atas segalanya, kita harus memahami apa yang dikatakan tentang Tuhan tidak menurut cara yang terjadi pada ciptaan- ciptaan yang ter-rendah, yaitu tubuh, tetapi terhadap keserupaan dengan ciptaan yang tertinggi yaitu substansi akal budi; walaupun keserupaan yang diperoleh dari inipun tetap tidak dapat mewakili hal-hal ilahi. Maka gerakan Allah (procession) tidak untuk dipahami dari apa yang terjadi pada tubuh, seperti panas dari suatu sumber yang membuat benda lain menjadi panas. Melainkan hal itu harus dimengerti sebagai munculnya suatu hasil pemikiran, contohnya, kata yang jelas yang keluar dari sang pembicara, namun yang tetap berada di dalam dirinya. Dengan cara ini Iman Katolik memahami gerakan Allah (procession) yang terjadi di dalam diri Allah.” ((St. Thomas Aquinas, Summa Theology, I, q.27,a.1))

Jadi buah aktivitas immanen dalam diri Allah tetap tinggal dalam diri Allah. Selanjutnya, kita ketahui bahwa semakin tinggi dan sempurnanya suatu aktivitas, maka buahnya juga akan semakin sempurna. Semakin sempurna kita mengetahui sesuatu maka konsep yang terbentuk dalam diri kita akan semakin menyerupai realitas yang digambarkannya. Semakin sempurna kita mencintai, semakin sempurna kita memberikan diri kita kepada yang dicintai. Di dalam Tuhan, buah dari aktivitas immanen ini sangatlah sempurna, sampai menjadi identik dengan Sumber yang menghasilkannya, yaitu Allah sendiri. Buah dari kasih yang sempurna antara Allah Bapa dan Putera adalah Roh Kudus, yang sama hakekat-Nya dengan Bapa dan Putera.

5. Kelahiran (generation) dan gerakan (procession)

Kita dapat mengerti lebih jelas tentang Trinitas, dengan melihat hubungan asal: ‘lahir dari’ (generation), berkenaan dengan Allah Putera, dan ‘berasal dari’ (procession), berkenaan dengan Roh Kudus. Manusia diciptakan menurut gambar Allah, sehingga mempunyai kemampuan untuk mengetahui dan mengasihi. Kemampuan untuk mengetahui adalah aktivitas akal budi. Seseorang yang tahu tentang sesuatu akan mempunyai gambaran atau konsep tentang sesuatu tersebut di dalam pikirannya. Kalau di dalam Tuhan ada aktivitas yang bersifat kekal tentang Diri-Nya sendiri, maka secara kekal ada gambaran tentang Diri-Nya, yaitu konsep di dalam Diri-Nya – yang menggambarkan secara sempurna akan Diri-Nya. ((St. Thomas Aquinas, ST, I, q. 27, a. 2)) Gambaran akan Diri Allah yang sempurna ini adalah Kristus, sehingga Rasul Paulus mengatakan “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan” (Kol 1:15). Sebutan ‘lahir dari’ berkenaan dengan Allah Putera. ‘Lahir dari’ mempunyai konotasi kemiripan dengan yang melahirkan. Sabda Allah seolah-olah menjadi refleksi dari Allah sendiri. Begitu sempurna kemiripan ini sehingga Sang Sabda menjadi Allah sendiri. Kitab Kebijaksanaan menuliskan “Sebelum air samudera raya ada, aku telah lahir…” (Keb 8:24).

St. Thomas Aquinas menjelaskan lebih lanjut tentang aktivitas yang lain di dalam Tuhan, yaitu yang disebut procession, yang berkenaan dengan Roh Kudus. Ketika seseorang mengasihi, maka ada satu dorongan untuk mendekat pada yang dikasihi, untuk tinggal bersama dengan orang yang dikasihi. Kalau kita terapkan pada Trinitas, maka Roh Kudus merupakan dorongan yang bersifat kekal dari kasih antara Allah Bapa dan Allah Putera.

VIII. Ajaran-ajaran sesat menentang Trinitas

1. Adoptionisme / dynamic monarchianism-

Paham Adoptionisme diajarkan oleh uskup jemaat Antiokhia, yang bernama Paulus dari Samosata. Paham ini mengajarkan bahwa Kristus adalah Putera Allah karena adopsi (diangkat anak) dan bukan karena kodrat-Nya memang demikian. Menurut ajaran ini, Kristus adalah manusia yang di dalamnya Sang Sabda turun dalam tingkatan yang maksimum melalui karunia Roh Kudus, sehingga menjadikannya Anak Allah. Hal turunnya Roh Kudus dan pengangkatan ini terjadi saat Pembaptisan Yesus.

Ajaran ini juga diyakini oleh kaum Ebionit (yaitu sekte Kristen Yahudi). Menurut paham ini, Sang Sabda dan Roh Kudus bukanlah Pribadi, melainkan hanya sifat-sifat atau kekuatan Tuhan. Paham ini menolak misteri Trinitas dan Inkarnasi; dan menunjukkan pengaruh yang kuat akan ajaran Yudaisme. Paham ini dinyatakan sesat pada akhir abad ke-2 dan ditolak oleh Konsili Nicea I. Prinsip ajaran Adoptionisme ini kembali mencuat dan diperinci dalam ajaran sesat Nestorianisme di abad ke-5.

2. Sabellianisme/ Modalisme/ Patripassian

Sabellius adalah Uskup Pentapolis di abad ke-3, yang mengajarkan doktrin yang menolak pembedaan yang nyata antara ketiga Pribadi Allah. Menurut paham ini, ketiga Pribadi Allah ini hanyalah tiga cara /“modes” pernyataan tentang keilahian-Nya yang tunggal (disebut monarchy, menurut bahasa Yunani). Cara pernyataan Tuhan di dalam diri-Nya sendiri adalah “Bapa”; cara penjelmaan-Nya menjadi manusia adalah “Putera”, dan cara Allah menguduskan manusia dan tinggal di hati manusia adalah “Roh Kudus”. Atau dengan kata lain, ketiga cara itu adalah: Penciptaan (Bapa), Penebusan (Putera) dan Pengudusan (Roh Kudus). Karena itu paham Sabellianisme disebut juga “modalisme” atau “monarchianisme.”

Ajaran ini tidak sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, yang secara jelas membedakan antara Pribadi Allah Bapa dan Putera (Kristus), walaupun menyatakan bahwa kedua-Nya adalah satu. Kristus berdoa kepada Bapa, sebagaimana kepada Pribadi yang berbeda. Namun hal ini tidak menjadi perhatian bagi para pengikut Sabellius. Sebaliknya mereka mengajarkan bahwa kemanusiaan Yesus demikian bersatu dengan Allah Bapa sehingga Allah Bapa-lah yang menderita di kayu salib. Oleh karena itu, Sabellianisme juga dikenal dengan aliran Patripassian, yaitu yang mengajarkan Penderitaan Allah Bapa (Passion of the Father).

St. Dionisius dari Aleksandria menulis traktat untuk menolak ajaran Sabellianisme ini, namun dikatakan bahwa tulisan tersebut sedemikian menentangnya sampai jatuh ke dalam kesalahan yang sebaliknya, yang kemudian menjadi cikal bakal pemikiran Arianisme.

Maka Paus Dionisius menjelaskan tentang Trinitas kepada St. Dionisius, Patriarkh Aleksandria, bahwa penolakan akan paham Sabellianisme dapat jatuh ke dalam kesesatan kebalikannya:

“… sebab Sabellius menghujat ketika mengatakan bahwa Sang Putera adalah Allah Bapa dan juga sebaliknya; sedangkan para penentang Sabellius juga pada ukuran tertentu menyatakan adanya tiga Tuhan, ketika mereka membagi kesatuan agung [Trinitas] menjadi tiga substansi yang berbeda satu sama lain. Sebab adalah penting bahwa Sabda ilahi menjadi satu dengan Allah, dan bahwa Roh Kudus ada di dalam Tuhan dan tinggal di dalam Dia: dan karena itu Trinitas yang ilahi disatukan menjadi satu, seperti berada di dalam satu kepala, yaitu di dalam Allah yang Maha Kuasa….” ((Letter of Pope Dionysius to Dionysius of Alexandria, CF 301-303))

3. Arianisme

Beberapa prinsip ajaran Arius (250- 336) adalah bahwa Tuhan bukanlah Trinitas; bahwa Allah Bapa lebih mulia daripada Allah Putera; bahwa Sang Putera walaupun ilahi namun tidak sehakekat dengan Bapa; bahwa Sang Putera adalah mahluk ciptaan (seperti malaikat yang tertinggi), Allah Putera bukan Putera Allah tetapi anak angkat Allah; Putera tidak memahami Allah Bapa, Kristus Sang Putera bukan sungguh Tuhan dan sungguh manusia; bahwa Kristus tidak mempunyai jiwa manusia, namun jiwa keilahian yang tidak sama persis dengan Tuhan. Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa secara mendasar ajaran ini salah, sebab tidak mengakui Trinitas, dengan hanya mengakui Allah Bapa saja sebagai Allah. Ajaran ini yang seolah membagi tingkatan ke-Allahan, menjadi serupa dengan paham polytheisme, dan karena itu tidak sesuai dengan ajaran Kristiani.

Aliran Arianisme ini sangat memberi pengaruh besar kepada kehidupan Gereja, dan bahkan sampai menimbulkan kekacauan masyarakat umum. Oleh karena itu, Kaisar Konstantin turut berkepentingan untuk mengatasi kekacauan ini. Ia mengundang para pemimpin Gereja untuk mengadakan Konsili, agar meluruskan ajaran ini sehingga kekacauan dapat diatasi. Konsili Nicea (325) kemudian mengeluarkan penegasan pernyataan iman yang sudah selalu diimani Gereja sejak awal mula yaitu, bahwa Kristus sehakekat dengan Allah Bapa, Allah dari Allah, Allah benar dari Allah benar.

St. Athanasius yang hadir di dalam Konsili Nicea mengabdikan seluruh hidupnya untuk melestarikan ajaran Konsili tersebut, “Aku ada di dalam Bapa dan Bapa ada di dalam Aku (Yoh 14:10). Sebab Putera ada di dalam Bapa, … sebab keseluruhan Pribadi Allah Putera adalah sesuai dengan hakekat Allah Bapa, sebagaimana pancaran sinar dari terang dan aliran air dari air mancur; sehingga barang siapa melihat Allah Putera, melihat apa yang berkenaan dengan Allah Bapa…. ” ((St. Athanasius, Four Discourse Against the Arians, n.3:3,4, in NPNF, IV, 395))

St. Basil, Gregorius Nazianza dan Gregorius dari Nissa (abad ke-4) membantu menjelaskan misteri Trinitas ini dengan membedakan “hakekat” dengan “Pribadi”, dan mengajarkan bahwa Tuhan adalah satu hakekatnya, namun Tiga Pribadi-Nya.

IX. Apa gunanya doktrin Trinitas bagi kita?

Pengetahuan akan Tuhan tidak pernah sia-sia dan tidak berguna, apalagi jika itu menyangkut Tuhan sendiri. Doktrin Trinitas adalah ajaran yang mendasar bagi iman Kristiani, sebab misteri ini menjelaskan fakta bahwa Pribadi kedua Trinitas (yaitu Allah Putera), menjelma menjadi manusia dan wafat dan bangkit untuk menebus umat manusia. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam topik berikutnya. Namun selain menjelaskan fakta Inkarnasi, doktrin Trinitas menjelaskan akan hubungan jiwa manusia dengan Allah di dalam kehidupan rohani.

1. Manusia mengambil bagian di dalam kodrat ilahi.

Rasul Petrus mengajarkan, “… supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi…” (2 Pet 1:4). Kodrat ilahi yang dimaksud di sini adalah prinsip kehidupan Allah di mana Allah Putera lahir dari Allah Bapa, dan Roh Kudus berasal dari Allah Bapa dan Putera.

Kardinal Newman di dalam salah satu khotbahnya menjelaskan bahwa Allah telah ada, sebelum menciptakan alam semesta, termasuk malaikat dan manusia. Tidak ada apa-apa yang lain, selain Allah. Keadaan ini terus berlangsung untuk jangka waktu yang tak terukur, sampai saat Allah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya. Maka, penciptaan yang berumur ribuan tahun, atau jutaan tahun sekalipun, hanya seperti ‘hari kemarin’ jika dibandingkan dengan kekekalan Tuhan.

Namun dalam kekekalan-Nya, Allah bukannya tidak melakukan apa-apa. Ia berbahagia di dalam Pengetahuan/ Pikiran-Nya yang adalah Sang Sabda, yaitu Putera-Nya sendiri, yang kepadaNya Allah Bapa mengkomunikasikan kodrat-Nya, hidup-Nya dan kesempurnaan-Nya. Kedua Pribadi ini saling mengasihi secara timbal balik dengan sempurna dan penuh, sehingga melahirkan Pribadi Allah yang ketiga, yaitu Roh Kudus. Hal tindakan Allah ini terjadi di dalam kekekalan, di luar dimensi waktu, sehingga tidak ada yang ada lebih dulu disusul yang lain, tetapi ketiga Pribadi Allah ada bersama- sama dalam kekekalan itu.

Maka Kasih yang menjadi hakekat Allah secara aktif hidup di dalam kehidupan Allah yang terdalam, dan hal saling mengasihi ini juga terjadi di dalam kekekalan, sehingga tidak ada sesaatpun di mana Allah Bapa hanya sendirian tanpa Allah Putera ataupun Roh Kudus. Ketiga Pribadi Allah ada bersama-sama sejak awal mula, sesuai dengan hakekat Kasih itu yang memang selalu memberi, dan tidak tertuju kepada satu pribadi sendirian.

Ketika Rasul Petrus mengatakan kita mengambil bagian di dalam kehidupan Allah ini, artinya, kita digabungkan dengan kehidupan Allah sendiri. Kita mengambil bagian di dalam Pengetahuan Tuhan, yaitu Sang Sabda, dan di dalam Roh Kasih Allah yang merupakan pertukaran kasih antara Allah Bapa dan Putera. Dengan kata lain, kita mengambil bagian di dalam hal bagaimana Allah mengenal dan mengasihi Diri-Nya sendiri yang begitu sempurna.

2. Kodrat ilahi kita terima melalui Pembaptisan

Kodrat dan kehidupan ilahi ini kita terima saat kita digabungkan dengan Allah Trinitas, di dalam Pembaptisan. Kehidupan ilahi yang kita terima ini seumpama biji yang bertumbuh di sepanjang hidup kita, yang setelah kematian akan menuju kepada buahnya, yaitu saat kita memandang Allah sebagaimana adanya Dia (lih. 1 Yoh 3:2). Kehidupan ilahi ini diperoleh karena rahmat pengudusan yang diberikan Allah kepada kita semua yang dibaptis. Oleh rahmat ini, jiwa kita yang telah dibaptis menerima Roh Kudus, sehingga kita dapat mengambil bagian di dalam kehidupan Allah Trinitas; dan masuk dalam persekutuan yang penuh kasih yang ada di antara ketiga Pribadi Allah dalam Trinitas.

3. Kodrat ilahi menjadikan kita anak-anak angkat Allah

St. Paulus mengajarkan bahwa karena kita telah menerima Roh Kudus, maka kita adalah anak- anak Allah, “Jadi, saudara-saudara, kita adalah orang berhutang, tetapi bukan kepada daging, supaya hidup menurut daging. Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup. Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “ya Abba, ya Bapa!” Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.” (Rom 8:12-17).

Maka jika kita dibaptis, kita adalah anak- anak angkat Allah, sebab Allah telah mengangkat kita untuk menerima hak atas warisan ilahi, yaitu hidup kekal. Di dunia, pengangkatan anak memberikan implikasi bahwa anak tersebut menjadi anggota keluarga yang mengangkatnya, dan ia menerima sebagian tertentu dari kehidupan jasmani orang tuanya. Namun pengangkatan anak secara ilahi membuat kita menjadi pengambil bagian di dalam kehidupan Allah sendiri. Artinya, oleh kasih karunia kita dimampukan untuk hidup menyerupai hidup Allah sendiri. “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan secara jasmani …, melainkan dari Allah.” (Yoh 1:12-13)

4. Kodrat ilahi menjadikan kita Bait Allah

Dengan menerima Roh Kudus saat Pembaptisan, maka kita menjadi tempat kediaman Allah sendiri, sebagaimana diajarkan oleh Rasul Paulus,“Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” (1Kor 3:16). Tuhan Yesus sendiri, saat Perjamuan Terakhir mengajarkan bahwa kasih merupakan syarat yang harus dilakukan oleh murid Kristus agar Tuhan dapat tinggal diam di dalam dirinya, “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.” (Yoh 14:23) Dengan demikian Yesus menyatakan segi lain tentang Trinitas dalam hubungannya dengan kita. Yaitu bahwa Tuhan berdiam di dalam jiwa seseorang yang berada dalam keadaan rahmat, yaitu yang mengasihi Tuhan dan menuruti firman-Nya, seperti Ia diam di dalam bait-Nya.

5. Rahmat Pengudusan memampukan kita ‘memiliki’ Allah

Oleh rahmat pengudusan, jiwa manusia diberi kemampuan untuk ‘memiliki’ Allah dan berpegang kepada firman-Nya. Tanpa bantuan rahmat Allah kita tidak dapat memperoleh pemahaman akan Dia, dan kita tidak dapat ‘memiliki’ Dia. Tuhan tinggal di dalam kita, dan bukan hanya pemahaman tentang Tuhan yang tinggal di dalam kita. Tuhan tinggal di dalam kita melalui Iman dan Kasih, yang dicurahkan ke dalam hati kita (Rom 5:5). Oleh iman, pengharapan dan kasih, kita dimampukan untuk mengenal dan mengasihi Allah, walaupun tingkatan pengenalan dan kasih kita akan Allah yang kita peroleh di dunia ini tidak akan sama dengan pengenalan dan kasih kita akan Allah yang secara sempurna kita peroleh di surga kelak.

Ahimelekh atau Abyatar?

0

Pertanyaan ini berhubungan dengan fakta bahwa di kitab Samuel dikatakan bahwa Raja Daud sampai “kepada Ahimelek, imam itu” (1 Sam 21:1) yang memberikan kepadanya roti kudus, sedangkan pada Injil Markus, dikatakan bahwa Raja Daud “masuk ke Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar…” (Mrk 2:26) lalu makan roti sajian/ roti kudus.

Pertama- tama yang perlu disadari adalah, bahwa yang disebutkan dalam Injil Markus bukanlah Raja Daud menemui Abyatar, tetapi bahwa ia “masuk ke Rumah Allah pada waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar”.

Maka pertanyaannya adalah, jika imam yang ditemui oleh Raja Daud adalah Ahimelek, mengapa dikatakan bahwa saat itu yang menjadi Imam Besar adalah Abyatar? Jawabannya dapat kita ketahui dengan membaca keseluruhan perikop 1 Sam 21 dan 1 Sam 22. Di perikop tersebut dikatakan bahwa terdapat banyak imam pada saat itu. Secara eksplisit dikatakan bahwa para imam itu, yang memakai baju efod dan kain lenan, berjumlah delapan puluh lima orang (1 Sam 22:18). Ketika Raja Saul mengetahui bahwa Ahimelek membantu Daud, ia memerintahkan Doeg agar membunuh Ahimelek dan seluruh keluarganya, dan para imam yang lain (1Sam 22:18-19) kecuali Abyatar, anak Ahimelekh, yang juga imam, yang luput karena melarikan diri (1Sam 22: 19-20, 23:9).

Ketika kita mengetahui bahwa pada waktu itu terdapat banyak imam, maka pertanyaannya adalah, mengapa Markus mencatat bahwa Abyatar adalah Imam Besar? Bukankah Ahimelek yang menjadi Imam Besar saat itu? Kemungkinan jawabnya adalah bahwa saat itu Imam Besar tidak hanya satu orang, sebab pada masa Tuhan Yesus, juga terdapat lebih dari seorang Imam Besar, “… pada waktu Hanas dan Kayafas menjadi Imam Besar” (Luk 3:2). Kayafas adalah anak menantu Anas. Dengan demikian, besar kemungkinan bahwa Abyatar yang adalah anak Ahimelekh, juga seperti ayahnya, adalah Imam Besar.

Dengan demikian, perikop 1 Sam 21 dan 1 Sam 22 tidak bertentangan dengan Mrk 2:26, sebab hari- hari Abyatar menjadi Imam Besar juga bersamaan dengan hari- hari Ahimelekh menjadi Imam Besar, hanya saja Abyatar bertahan lebih lama menjadi Imam Besar, sebab setelah Raja Saul mengetahui bahwa Ahimelekh membantu Daud, maka semua imam pada saat itu [kecuali Abyatar] dibunuh olehnya.

 

Pesan Bapa Suci Pada Peringatan Hari Orang Sakit Sedunia ke-20

1

Pesan Bapa Suci Pada Peringatan Hari Orang Sakit Sedunia ke-20 (11 Februari 2012)
“Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.” (Luk 17:19)

Saudara-saudari yang terkasih,

Pada kesempatan Hari Orang Sakit Sedunia, yang akan kita peringati pada tanggal 11 Februari 2012, bersamaan dengan peringatan Penampakan Santa Perawan Maria di Lourdes, saya ingin memperbaharui kedekatan saya secara rohani dengan semua orang yang sakit, yang berada di tempat-tempat perawatan, atau yang dirawat oleh keluarganya di rumah, untuk menyatakan perhatian dan kasih dari segenap warga Gereja kepada masing-masing dari mereka. Dalam menyambut kehidupan setiap manusia dengan penuh cinta dan kemurahan, terutama mereka yang hidup dalam sakit dan kelemahan, seorang Kristen mengungkapkan sebuah aspek penting dari kesaksiannya terhadap Injil, mengikuti teladan Kristus, yang menghampiri dan melawati penderitaan fisik maupun spiritual manusia untuk menyembuhkan mereka.

1. Tahun ini, yang melibatkan persiapan untuk Hari Orang Sakit Sedunia yang akan diperingati di Jerman pada tanggal 11 Februari 2013 dan akan berfokus pada figur Injil Orang Samaria Yang Baik Hati (bdk. Luk 10 : 29-37), saya ingin menekankan mengenai yang disebut sebagai “sakramen penyembuhan”, yaitu sakramen Tobat dan Pengakuan Dosa serta sakramen Pengurapan Orang Sakit, yang keduanya mencapai kepenuhannya di dalam Komuni Ekaristi.

Perjumpaan Yesus dengan sepuluh orang kusta, yang dikisahkan dalam Injil Santo Lukas (bdk. Luk 17 : 11-19), dan khususnya kata-kata yang ditujukan oleh Tuhan kepada salah seorang dari mereka, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau” (ay.19), membantu kita untuk menyadari pentingnya iman bagi mereka yang, dalam keadaan terbeban oleh penyakit dan penderitaan, mendekat kepada Tuhan. Dalam perjumpaan mereka dengan Dia, mereka sungguh mengalami bahwa ia yang sungguh percaya, tak pernah sendirian! Sungguh, Tuhan, di dalam Putera-Nya, tidak mengabaikan kita dalam kepedihan dan penderitaan kita, tetapi Ia dekat pada kita, menolong kita untuk menanggung semua itu, dan rindu untuk menyembuhkan kita di kedalaman batin kita (bdk. Mark 2:1-12).

Iman penderita kusta yang seorang itu, setelah menyaksikan bahwa dirinya telah disembuhkan, ia dipenuhi dengan rasa takjub dan sukacita, dan tidak seperti para penderita kusta lainnya, ia segera kembali kepada Yesus untuk mengungkapkan rasa syukurnya, memampukan kita untuk meyakini bahwa kesehatan yang diperoleh kembali adalah suatu tanda dari sesuatu yang lebih berharga daripada sekedar kesembuhan fisik, hal itu adalah tanda keselamatan yang Tuhan berikan kepada kita melalui Kristus; tanda itu ditemukan di dalam kata-kata Yesus: imanmu telah menyelamatkan engkau. Orang yang di dalam penderitaan dan sakitnya berdoa kepada Tuhan merasa pasti bahwa cinta Tuhan tidak akan meninggalkan dia, dan juga bahwa cinta Gereja, yang menjadi perpanjangan dari karya keselamatan Tuhan, tak akan pernah gagal. Kesembuhan fisik, sebagai sebuah tanda keselamatan yang terdalam yang nampak dari luar, menyatakan kepada kita pentingnya iman yang dimiliki orang itu, dengan segenap tubuh dan jiwanya, kepada Tuhan. Masing-masing sakramen, untuk keperluan itu, menyatakan dan menjadikan aktual kedekatan Tuhan sendiri, yang, sungguh secara cuma-cuma diberikan, “menyentuh kita melalui hal-hal material….yang Ia gunakan dalam pelayanan-Nya, membuat hal-hal itu menjadi instrumen dari perjumpaan di antara kita dan Diri-Nya” (Homily, Chrism Mass, 1 April 2010). “Kesatuan di antara ciptaan dan penebusan telah dijadikan nyata. Sakramen itu adalah suatu ekspresi fisik dari iman kita, yang menjangkau keseluruhan keberadaan orang yang sakit itu, baik badan maupun jiwanya” (Homily, Chrism Mass, 21 April 2011).

Yang pasti, tugas yang utama dari Gereja adalah mewartakan Kerajaan Allah,” Namun pewartaan ini haruslah merupakan sebuah proses penyembuhan: ‘merawat orang-orang yang remuk hati’ (Yes 61:1)” (ibid.), menurut wewenang yang dipercayakan Yesus kepada para murid-Nya (bdk. Luk 9:1-2; Mat 10:1,5-14; Mrk 6:7-13). Rangkaian dari kesehatan fisik dan pembaharuan setelah sembuh dari luka jiwa itu membantu kita untuk mengerti lebih baik mengenai “sakramen-sakramen penyembuhan.”

2. Sakramen Pengakuan Dosa telah seringkali menjadi pusat refleksi dari Para Imam Gereja, terutama karena begitu pentingnya sakramen ini dalam perjalanan hidup Kristiani, mengingat bahwa “Seluruh kukuatan Sakraman Pengakuan Dosa ialah bahwa ia memberi kembali kepada kita rahmat Allah dan menyatukan kita dengan Dia dalam persahabatan yang erat”. (Katekismus Gereja Katolik, 1468). Gereja, dalam terus menerus menyerukan pesan Yesus akan pengampunan dan rekonsiliasi, tak pernah berhenti untuk mengundang segenap umat manusia untuk bertobat dan percaya kepada Injil. Gereja menjadikan miliknya sendiri, panggilan dari Rasul Paulus: “Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah (2 Kor 5:20). Yesus, selama hidupnya di dunia, mewartakan dan menghadirkan belas kasihan Allah Bapa. Dia datang bukan untuk menghakimi melainkan untuk mengampuni dan menyelamatkan, untuk memberi harapan dalam kegelapan yang paling pekat dari dosa dan penderitaan, dan untuk memberikan hidup yang kekal; oleh karena itu dalam sakramen Tobat, di dalam “pengobatan pengakuan”, pengalaman akan dosa tidak merendahkan manusia kepada keputusasaan, namun membuatnya berjumpa dengan Sang Cinta yang selalu mengampuni dan mengubahkan (bdk. Yohanes Paulus II, Post-Synodal Apostolic Exhortation Reconciliatio et Paenitentia, 31).

Allah, “yang penuh dengan belas kasihan” (Ef 2:4), seperti figur ayah di dalam kisah perumpamaan dalam Injil (bdk. Luk 15:11-32), tidak menutup hati-Nya terhadap siapapun dari anak-anak-Nya, melainkan menunggu mereka kembali, mencari mereka, menjangkau mereka, di mana penolakan mereka terhadap persekutuan memenjarakan mereka dalam keterpisahan dan perpecahan, dan Ia memanggil mereka untuk berkumpul di sekeliling meja-Nya, dalam sukacita pesta pengampunan dan rekonsiliasi. Satu penderitaan, yang dapat membuat seseorang menjadi begitu rapuh sehingga merasa kecil hati dan tak punya pengharapan, dapat kemudian diubahkan menjadi suatu kesempatan rahmat yang memungkinkan ia kembali kepada dirinya, dan seperti si anak hilang dalam perumpamaan Injil, untuk berpikir baru tentang kehidupannya, mengenali kesalahan-kesalahan dan kegagalannya, untuk merindukan pelukan kasih Bapa, dan mengikuti jalan pulang menuju ke rumah-Nya. Dia, dalam cinta-Nya yang begitu besar, selalu dan di mana-mana Ia memelihara hidup kita dan menantikan kita, menawarkan kepada setiap anak-Nya yang kembali kepadaNya, suatu karunia rekonsiliasi dan sukacita yang penuh.

3. Dari sebuah bacaan Injil tampak dengan jelas bahwa Yesus selalu menunjukkan keprihatinan khusus kepada orang yang sakit. Ia tidak hanya mengutus para murid-Nya untuk merawati luka-luka mereka (bdk. Mat 10:8; Luk 9:2;10:9) tetapi juga memberikan kepada mereka sebuah sakramen yang khusus: Pengurapan Orang Sakit. Surat Yakobus memuat kesaksian telah hadirnya tindakan sakramental ini dalam komunitas jemaat Kristen perdana (bdk. Yak 5:14-16): melalui Pengurapan Orang Sakit, disertai doa-doa dari para penatua jemaat, segenap Gereja menyerahkan umat yang sakit kepada penderitaan Kristus dan kemuliaan-Nya, sehingga Ia dapat mengangkat penderitaan mereka dan menyelamatkan mereka; Gereja sungguh mendorong mereka untuk menyatukan diri mereka secara rohani kepada sengsara dan wafat Kristus yang pada gilirannya berperan memberikan sumbangan kebaikan kepada segenap Umat Tuhan.

Sakramen ini membawa kita untuk merenungkan dua misteri dari Bukit Zaitun, di mana Yesus menemukan diri-Nya secara dramatis dihadapkan dengan jalan yang telah ditunjukkan Bapa kepada-Nya, mengenai sengsara-Nya, sebuah tindakan kasih yang tertinggi; dan Ia menerimanya. Dalam momen-momen kepedihan itu, Dia adalah Sang pengantara, “menanggung dalam diri-Nya, mengambil baginya penderitaan dan sengsara dunia ini, mengubahnya menjadi sebuah jeritan kepada Allah, membawanya ke hadapan Allah dan ke dalam tangan Allah sehingga sungguh membawa semua itu kepada momen penebusan” (Lectio Divina, Meeting with the Parish Priests of Rome, 18 February 2010). Namun, “Taman Getsemani adalah juga suatu tempat di mana Ia naik kepada Bapa, dan maka menjadi suatu tempat penebusan…..dua buah misteri Bukit Zaitun itu juga selalu “bekerja” di dalam minyak sakramen Gereja…tanda kebaikan Tuhan yang menjangkau kita untuk menyentuh kita” (Homily, Chrism Mass, 1 April 2010).. Dalam Pengurapan Orang Sakit, materi sakramental dari minyak diberikan kepada kita, menceritakan “sebuah pengobatan dari Tuhan…yang kini menjamin kita akan kebaikan-Nya, menawarkan kepada kita kekuatan dan penghiburan, dan dalam waktu yang sama, menunjukkan melampaui saat-saat sakit penyakit kepada kesembuhan yang menetap dan nyata, yaitu kebangkitan (bdk. Jas 5:14)” (ibid)

Sakramen ini layak mendapat perhatian yang lebih besar hari ini, baik dalam refleksi teologi maupun dalam pelayanan pastoral bagi orang sakit. Lewat apresiasi yang pantas yang terkandung dalam doa-doa liturgi yang diadaptasi dalam berbagai situasi kehidupan manusia yang berkaitan dengan penyakit, dan tidak hanya ketika seseorang berada pada akhir hidupnya (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1514), Pengurapan Orang Sakit selayaknya tidak dianggap sebagai suatu “sakramen yang minor (kurang penting)” dibandingkan dengan sakramen-sakramen lainnya. Perhatian dan pelayanan pastoral bagi orang sakit, sementara pada satu sisi, adalah sebuah tanda dari kebaikan Tuhan kepada mereka yang menderita, di sisi lain juga membawa perkembangan rohani kepada para imam dan segenap komunitas Gereja, dalam kesadaran bahwa apa yang diperbuat kepada orang yang paling kecil, sesungguhnya diperbuat kepada Yesus sendiri (bdk. Mat 25:40)

4. Sehubungan dengan “sakramen penyembuhan”, Santo Agustinus menyatakan: “Tuhan menyembuhkan semua penyakitmu. Maka, jangan takut, semua sakit penyakitmu akan disembuhkan….Engkau hanya harus mengijinkan Dia untuk menyembuhkanmu dan engkau tidak boleh menolak tangan-Nya” (Exposition on Psalm 102, 5; PL 36, 1319-1320). Ini adalah sebuah instrumen berharga dari rahmat Tuhan yang membantu seorang yang sakit untuk menempatkan dirinya secara lebih penuh kepada misteri wafat dan kebangkitan Kristus. Bersama dengan kedua sakramen ini, saya juga ingin menekankan pentingnya Ekaristi. Diterima pada saat menderita sakit, sakramen ini memberikan dalam satu cara yang tunggal untuk mengerjakan sebuah transformasi, menghubungkan orang yang mengambil bagian dalam Tubuh dan Darah Kristus, kepada persembahan yang Ia buat sendiri kepada Allah Bapa untuk keselamatan semua manusia. Seluruh komunitas eklesial, dan komunitas paroki khususnya, harus memberikan perhatian sebagai jaminan kemungkinan menerima Komuni Kudus secara teratur, untuk mereka yang, demi alasan kesehatan atau usia lanjut, tak dapat pergi ke gereja. Dengan cara ini, saudara dan saudari ini diberikan jalan untuk memperkuat relasi mereka dengan Kristus, yang disalibkan dan bangkit, mengambil bagian, melalui hidup mereka yang dipersembahkan demi cinta kepada Kristus, di dalam misi utama Gereja. Dari sudut pandang ini, adalah penting bahwa para imam yang mempersembahkan pekerjaan mereka yang tidak menyolok di rumah sakit-rumah sakit, di rumah-rumah jompo dan rumah-rumah perawatan bagi orang sakit, merasa bahwa mereka adalah sungguh “pelayan-pelayan orang-orang sakit”, tanda dan instrumen belas kasihan dari Kristus yang harus menjangkau setiap orang yang ditandai oleh penderitaan.” (Message for the XVIII World Day of the Sick, 22 November 2009).

Selaras dengan Misteri Paskah Kristus, yang juga dapat dicapai melalui praktek Komuni secara rohani, mengambil arti yang sangat khusus ketika Ekaristi diberikan dan diterima sebagai Viaticum. Pada tahap kehidupan itu, kata-kata Tuhan bahkan terasa lebih berbunyi: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.” (Yoh 6:54). Ekaristi, khususnya sebagai Viaticum, adalah – menurut definisi Santo Ignasius dari Antiokia – “obat dari kefanaan, obat penawar untuk kematian” (Letter to the Ephesians, 20: PG 5, 661); sakramen yang menjadi jalan dari kematian kepada hidup, dari dunia ini kepada Bapa, yang senantiasa menantikan setiap orang dalam Yerusalem Baru.

5. Tema dari Pesan untuk Hari Orang Sakit Sedunia ke-20, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau”, juga mengharapkan kedatangan Tahun Iman yang akan dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012, sebuah kesempatan berpotensi dan berharga untuk menemukan kembali kekuatan dan keindahan dari iman, untuk mengevaluasi muatannya, dan untuk menjadi saksi terhadap iman itu di dalam kehidupan sehari-hari (bdk. Apostolic Letter Porta Fidei, 11 October 2011). Saya berharap untuk dapat menyemangati semua orang yang sakit dan menderita untuk selalu menemukan pelabuhan yang aman dalam iman, yang disegarkan melalui mendengarkan Firman Tuhan, lewat doa pribadi dan lewat sakramen-sakramen, dan sementara itu saya juga mengundang para pastor untuk semakin selalu siap sedia untuk merayakan sakramen-sakramen itu bagi para penderita. Mengikuti teladan sang Gembala Yang Baik dan sebagai pemandu kawanan yang dipercayakan kepada mereka, para imam harus selalu dipenuhi oleh sukacita, penuh perhatian kepada mereka yang paling lemah, paling miskin dan sederhana, dan para pendosa, mengekspresikan belas kasihan Tuhan yang tak terbatas dengan kata-kata pengharapan yang memberikan rasa aman. (bdk. Saint Augustine, Letter 95, 1: PL 33, 351-352).

Bagi mereka yang bekerja di bidang kesehatan, dan bagi para keluarga yang melihat dalam diri kerabat mereka wajah penderitaan Tuhan Yesus, saya memperbarui rasa terima kasih saya dan Gereja, karena, dalam keahlian profesi mereka dan dalam keheningan, sering bahkan tanpa menyebut nama Kristus, mereka mewujudnyatakan Dia dengan cara yang nyata (bdk. Homily, Chrism Mass, 21 April 2011).

Kepada Bunda Maria, Bunda Belas Kasihan dan Kesembuhan Orang Sakit, kami menaikkan pandangan penuh percaya dan doa kami; kiranya belas kasih keibuannya, yang terwujud saat ia berdiri di sisi Puteranya yang menjelang ajal di Kayu Salib, menyertai dan menguatkan iman dan harapan setiap orang yang sakit dan menderita dalam perjalanan menuju kesembuhan luka-luka tubuh dan jiwa!

Saya mengingat Anda semua dalam doa-doa saya, dan saya memberikan berkat atas masing-masing dari Anda, sebuah Berkat Apostolik.

Dari Vatikan, 20 November 2011, Peringatan Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus, Raja Semesta Alam
Bapa Paus Benediktus XVI

Sumber: http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/messages/sick/documents/hf_ben-xvi_mes_20111120_world-day-of-the-sick-2012_en.html

Terjemahan di atas adalah terjemahan tidak resmi (un-official translation) yang dilakukan oleh Katolisitas.org

Apakah Kaitan antara Iman dan Perbuatan Baik?

14

Kitab Suci mengajarkan kepada kita bahwa iman yang tidak disertai oleh perbuatan baik adalah iman yang mati (lih. Yak 2:17). Dengan demikian, jika dirumuskan secara positif adalah: iman yang disertai perbuatan baik adalah iman yang hidup. Iman yang hidup inilah, yang kita peroleh karena kasih karunia Allah, yang dapat menyelamatkan kita (lih. Ef 2:8-10; Tit 3:5-8; Yak 2:14-26). Dengan demikian, jika kita ingin diselamatkan kita harus mempunyai iman yang hidup, yaitu iman yang dinyatakan dengan perbuatan baik/ kasih.

Berikut ini adalah keterangan yang diterjemahkan dan disarikan dari The Navarre Bible, yang menjelaskan kaitan antara iman dan perbuatan baik, yang diambil dari penjelasan perikop surat Rasul Yakobus 2:14-26:

“Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? (Yak 2:14)

ay. 14. Ajaran ini sangat sesuai dengan ajaran Kristus, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21)
Iman tanpa perbuatan tidak dapat menyelamatkan: “Tetapi tidak diselamatkan orang, yang meskipun termasuk anggota Gereja namun tidak bertambah dalam cinta-kasih; jadi yang “dengan badan” memang berada dalam pangkuan Gereja, melainkan tidak “dengan hatinya”. Pun hendaklah semua putera Gereja menyadari, bahwa mereka menikmati keadaan yang istimewa itu bukan karena jasa-jasa mereka sendiri, melainkan berkat rahmat Kristus yang istimewa. Dan bila mereka tidak menanggapi rahmat itu dengan pikiran, perkataan dan perbuatan, mereka bukan saja tidak diselamatkan, malahan akan diadili lebih keras.” (Luk 12:48, Lih. Mat 5:19-20; 7:2-22; 25:4-46; Yak 2:14) (Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 14)

Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? (Yak 2:15-16)

ay.15-16. Ini adalah contoh yang jelas yang serupa dengan ajaran dalam surat Rasul Yohanes, “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?” (1Yoh 3:17). Dan kesimpulannya, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1 Yoh 3:18).

Maka, misalnya, perbuatan derma yang sering dipuji dan dianjurkan dalam Kitab Suci (lih. Ul 15:11; Tob 4:11; Luk 12:33; Kis 9:36; 2Kor 8:9) adalah menjadi semacam tugas. Kristus, “akan memperhitungkan perbuatan baik yang dilakukan ataupun dihindari kepada kaum miskin sebagai perbuatan yang ditujukan kepada diri-Nya sendiri […]. Barangsiapa telah menerima dari kelimpahan rahmat ilahi, bagian yang besar dalam hal berkat- berkat duniawi, apakah itu bersifat material ataupun kepandaian, telah menerimanya untuk maksud agar dapat digunakan untuk menyempurnakan kodratnya, dan pada saat yang sama, agar ia dapat mengembangkannya, sebagai pengelola penyelenggaraan Tuhan demi kebaikan sesama manusia.” (Paus Leo XIII, Rerum Novarum, 24)

Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. (Yak 2:17)

ay. 17. Sebagaimana melibatkan ketaatan yang teguh terhadap kebenaran yang diwahyukan Allah, iman harus mempengaruhi kehidupan sehari-hari umat Kristen, dan menjadi patokan yang menjadi tolok ukur bagi perbuatannya. Ketika perbuatan-perbuatan seseorang tidak sesuai dengan imannya, maka imannya itu mati.

Ajaran Kristiani juga menjabarkan iman seseorang yang di dalam keadaan dosa berat sebagai “iman yang mati”, sebab ia tidak berada di dalam rahmat Tuhan, ia tidak mempunyai kasih sebab kasih adalah jiwa dari segala kebajikan lainnya. “Iman tanpa harapan dan kasih tidaklah menyatukan manusia dengan Kristus ataupun menjadikannya anggota yang hidup bagi tubuh-Nya. Karena itu, dikatakan dengan benar sekali bahwa, ‘iman tanpa perbuatan adalah mati’ (Yak 2:17-) dan tidak berguna” (Konsili Trente, De iustificatione, 7)

Tetapi mungkin ada orang berkata: “Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan”, aku akan menjawab dia: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.” (Yak 2:18)

ay.18 Rasul Yakobus menjelaskan dengan terang sekali bahwa iman tanpa perbuatan sangatlah tidak masuk akal sama sekali. “Kebenaran iman melibatkan tidak saja kepercayaan di dalam hati, tetapi juga pengungkapan ke luar, yang diekspresikan tidak saja dengan pernyataan iman seseorang, tetapi juga dengan perbuatan-perbuatan yang melaluinya orang itu menunjukkan imannya.” (St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II-II, q.124, a.5)

Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka     gemetar. (Yak 2:19)

ay.19. Selanjutnya Rasul Yakobus bahkan membandingkan iman tanpa perbuatan dengan semacam iman yang dimiliki oleh setan-setan, sebab mereka percaya: karena terpaksa percaya dengan bukti tanda-tanda (contoh berbagai mujizat, dan nubuat) yang mendukung ajaran Kristiani (lih. Summa Theologiae, II-II, q.5, a.2). Namun demikian iman semacam ini bukan iman yang menyelamatkan; sebaliknya menyebabkan mereka ciut/takut karena mengingatkan mereka akan keadilan ilahi dan penghukuman kekal.

Mengkomentari ayat ini, St. Bede menjelaskan bahwa ada perbedaan antara percaya Tuhan, percaya akan Tuhan, dan percaya kepada Tuhan. “Percaya Tuhan adalah percaya bahwa yang dikatakan-Nya adalah benar. Percaya akan Tuhan, artinya percaya bahwa Ia adalah Tuhan. Percaya kepada Tuhan adalah mengasihi Dia. Banyak orang, bahkan orang jahat percaya bahwa Tuhan mengatakan kebenaran, dan mereka percaya akan yang dikatakan itu sebagai kebenaran meskipun mereka tidak menginginkannya atau terlalu malas untuk mengikutinya. Percaya bahwa Ia adalah Tuhan juga adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh setan-setan. Tetapi percaya kepada-Nya dan mengikuti Dia hanya benar terjadi pada mereka yang mengasihi Tuhan, yaitu umat Kristen, yang tidak hanya namanya saja tanpa perbuatan dan hidup yang membuktikan hal itu. Sebab tanpa kasih, iman itu sia-sia. Dengan kasih, iman menjadi iman Kristen; tanpa kasih, iman menjadi iman setan-setan (St. Bede, Super Iac.expositio, ad loc)

Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna. Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: “Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Karena itu Abraham disebut: “Sahabat Allah.” Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman. (Yak 2:22-24)

ay.22-24.  Magisterium Gereja mengutip ayat-ayat ini ketika mengajarkan tentang justifikasi/ pembenaran, penghapusan dosa, yang diterima sebagai pemberian yang cuma-cuma di dalam sakramen Pembaptisan, bertumbuh di dalam kekuatan asalkan orang yang dibaptis itu menanggapi rahmat Tuhan dengan melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan Gereja; orang yang benar dan jujur/adil, “bertumbuh di dalam keadilan yang mereka terima melalui rahmat Kristus, iman mereka disempurnakan oleh perbuatan (lih. Yak 2:22), dan mereka lebih dibenarkan lagi, sebab ada tertulis: “barangsiapa yang benar, biarlah ia terus berbuat kebenaran” (Why 22:11) […] dan lagi, “Jadi kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman. (Yak 2:24)” (Konsili Trente, De iustificatione, 10)

Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” (Yak 2:26)

ay.26. Deangan berbicara tentang roh, Rasul Yakobus mengacu kepada “nafas kehidupan”, “pernafasan”…. kita mengetahui bahwa tubuh menjadi hidup oleh karena nafas, tanpa nafas maka tubuh menjadi jasad. Demikian pula, iman yang hidup menyatakan dirinya sendiri dengan perbuatan-perbuatan, terutama di dalam perbuatan kasih.

“Seperti ketika tubuh bergerak kita mengetahui bahwa ia hidup,” kata St. Bernardus, “maka perbuatan-perbuatan baik menunjukkan bahwa iman itu hidup. Jiwa memberikan hidup kepada tubuh, menyebabkannya bergerak dan merasakan; kasih memberikan hidup kepada iman, dan menyebabkannya berbuat sesuatu, sebagaimana dikatakan oleh Rasul Paulus, “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6). Seperti halnya tubuh mati ketika jiwanya meninggalkannya, maka iman mati jika perbuatan kasih menjadi dingin/ berkurang. Karena itu, ketika kamu melihat seseorang yang aktif melakukan perbuatan-perbuatan baik dan gembira dan bersemangat di dalam tingkah lakunya, kamu dapat yakin bahwa iman itu hidup di dalam dirinya: hidupnya jelas membuktikan hal itu.” (St. Bernard, Second Sermon on the Holy Day of Easter, 1)

Pesan Paus Benediktus XVI untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-46

9

Pesan Bapa Suci Paus Benediktus XVI
Dalam rangka peringatan Hari Komunikasi Sedunia yang ke-46

Keheningan dan Kata-kata:  Sebuah Jalan Evangelisasi
Minggu, 20 Mei 2012

Saudara-saudari yang terkasih,

Menjelang Hari Komunikasi Sedunia 2012, saya ingin berbagi dengan Anda sekalian beberapa refleksi menyangkut aspek dari proses manusiawi dalam komunikasi, yang, sekalipun penting, sering terlewatkan, dan yang, pada zaman sekarang ini, nampak semakin perlu diingat kembali. Yaitu perhatian terhadap relasi antara keheningan dan kata-kata: dua aspek komunikasi yang perlu dipertahankan untuk tetap seimbang, untuk saling diaplikasikan secara bergantian dan diintegrasikan satu sama lain, demi tercapainya dialog yang berhasil guna dan kedekatan yang bermakna mendalam di antara manusia. Ketika kata-kata dan keheningan terpisah satu dengan lainnya, komunikasi pun terputus, entah karena keterpisahan itu melahirkan kebingungan, atau sebaliknya, menciptakan suasana kaku dan dingin. Namun ketika keduanya saling melengkapi, ternyata, komunikasi antar manusia menjadi bermakna dan mencapai tujuannya.

Keheningan adalah suatu elemen yang tak terpisahkan di dalam komunikasi, tanpa keheningan, kata-kata yang kaya akan pesan tak dapat lahir. Dalam diam dan keheningan, kita dapat mendengarkan dengan lebih baik dan lebih mampu memahami diri sendiri; gagasan-gagasan dapat lahir dan mencapai kedalaman makna; kita menjadi mampu untuk mengerti dengan lebih baik apa yang sesungguhnya ingin kita sampaikan, apa yang kita harapkan dari orang lain, dan memilih bagaimana kita mengekspresikan diri kita. Dengan diam, kita memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbicara, untuk mengekspresikan dirinya; dan kita mencegah diri kita terpaku pada kata-kata dan gagasan-gagasan kita sendiri tanpa semua itu diberikan kesempatan untuk diuji secara layak. Dengan bersikap diam dan mendengarkan, terciptalah ruang untuk mendengarkan satu sama lain, dan memungkinkan relasi antar manusia terjalin lebih mendalam. Sebagai contoh, kita melihat, bahwa sering justru di dalam keheningan, misalnya di antara dua insan yang sedang jatuh cinta, terjadi bentuk komunikasi yang paling tulus dan otentik: gerak-gerik, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh, semua itu menyatakan pesan di mana mereka saling mengungkapkan diri satu sama lain. Kegembiraan, kekhawatiran, dan kesusahan, semua itu dapat dikomunikasikan dengan baik dalam keheningan – sesungguhnya keheningan memberikan sarana yang sangat baik untuk mengekspresikan semua itu. Maka, keheningan memberi jalan bagi komunikasi yang lebih aktif, yang bila disertai kepekaan dan kemampuan untuk mendengarkan, mampu mewujudkan kesejatian relasi-relasi yang terlibat di dalam komunikasi tersebut. Ketika pesan-pesan dan informasi membanjir, keheningan menjadi penting pada saat kita perlu membedakan mana yang benar-benar penting, di antara hal-hal yang tidak mempunyai arti mendalam atau hal-hal yang sifatnya sekunder saja. Permenungan dan refleksi yang lebih dalam membantu kita untuk menemukan kaitan di antara peristiwa-peristiwa yang sekilas nampaknya tidak berhubungan, untuk membuat evaluasi, untuk menganalisa pesan-pesan; hal ini memungkinkan kita memberikan pendapat-pendapat yang relevan dan bijaksana, untuk melahirkan sebuah struktur yang otentik tentang pengetahuan yang kita miliki bersama. Supaya semua itu dapat terjadi, adalah penting untuk mengembangkan suasana dan lingkungan yang sesuai, semacam “ekosistem” yang menjaga keseimbangan antara keheningan, kata-kata, gambar-gambar, dan berbagai suara.

Proses-proses komunikasi pada zaman ini sangat dipicu oleh pertanyaan pencarian berbagai jawaban. Sarana-sarana pencari di internet dan jaringan sosial telah menjadi titik awal dari komunikasi banyak orang, yang berusaha menemukan berbagai nasihat dan saran, ide-ide, informasi dan jawaban. Di zaman kita ini, internet semakin menjadi sebuah forum untuk bertanya-jawab – sesungguhnya manusia zaman sekarang secara terus menerus dibombardir dengan berbagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah mereka ajukan, dan dengan berbagai kebutuhan yang tidak mereka sadari. Jika kita ingin mengenali pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar penting saja dan berfokus pada hal-hal itu, maka keheningan adalah sebuah sarana berharga yang memampukan kita untuk mempunyai ketrampilan membedakan secara baik apa yang sungguh penting itu, di tengah meningkatnya kuantitas informasi dan data yang kita terima. Bagaimanapun, di tengah kompleks dan beragamnya dunia komunikasi, banyak orang kemudian menemukan dirinya berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental dari keberadaan umat manusia: Siapakah aku? Apa yang dapat aku ketahui? Apa yang seharusnya aku lakukan? Apa yang dapat aku harapkan? Adalah penting untuk mendukung mereka yang mempertanyakan semua itu, dan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan terhadap sebuah dialog yang sehat, melalui sarana kata-kata dan tukar pikiran, dan juga kepada panggilan untuk merefleksikan dalam keheningan, sesuatu yang seringkali lebih berharga daripada sebuah jawaban yang terburu-buru, dan memungkinkan si pencari jawaban menjangkau kedalaman keberadaan mereka, membuka diri mereka kepada jalan pengetahuan yang telah diukir oleh Tuhan di dalam hati manusia.

Pada akhirnya, aliran yang terus menerus dari pertanyaan-pertanyaan menunjukkan kegelisahan umat manusia, yang tak henti-hentinya mencari kebenaran, mulai dari yang terpenting hingga yang kurang penting, yang mampu memberikan arti dan harapan bagi hidup mereka. Orang tidak mau berhenti dan tidak merasa puas dengan tukar pikiran yang tidak mengundang pertanyaan dan hanya bersifat superfisial/ permukaan dari pendapat-pendapat yang skeptis dan pengalaman-pengalaman kehidupan – pada masa ini, semua dari kita sedang dalam pencarian akan kebenaran dan memendam kehausan yang sama, lebih dari masa-masa yang pernah ada: “Ketika manusia saling bertukar informasi, sesungguhnya mereka sedang saling berbagi diri mereka sendiri, saling berbagi pandangan mereka akan dunia, harapan-harapan mereka, dan cita-cita mereka” (Message for the 2011 World Day of Communications).

Perhatian harus diberikan kepada berbagai jenis situs web, aplikasi, dan jaringan sosial yang dapat membantu manusia zaman ini menemukan waktu untuk permenungan dan mempertanyakan hal-hal yang otentik, serta untuk menciptakan waktu-waktu hening sebagai kesempatan untuk berdoa, bermeditasi, atau saling berbagi Firman Tuhan. Melalui kalimat-kalimat yang singkat namun padat, seringkali tidak lebih panjang dari sebuah ayat di dalam Kitab Suci, sebuah pemikiran yang berharga dapat dikomunikasikan, asalkan mereka yang ambil bagian di dalam percakapan itu tidak mengabaikan perlunya mengusahakan pertumbuhan kehidupan spiritual mereka sendiri. Tidaklah mengherankan bahwa berbagai tradisi agama yang berbeda, sama-sama menghargai kesendirian dan keheningan sebagai sebuah keadaan yang berharga yang membantu manusia menemukan jati dirinya kembali dan menemukan Kebenaran yang memberi makna kepada segala hal. Wahyu Tuhan dalam Kitab Suci juga berbicara tanpa kata-kata: “Sebagaimana diperlihatkan oleh Salib Kristus, Tuhan juga berbicara melalui keheninganNya. Keheningan Tuhan, pengalaman berjarak dengan Bapa Yang Maha Besar, adalah sebuah situasi yang menentukan dalam perjalanan Putera Manusia di bumi sebagai manusia, Firman yang berinkarnasi menjadi daging….keheningan Tuhan memperkaya pesan-pesan dan kata-kata-Nya yang telah diutarakanNya sebelumnya. Di dalam masa-masa kegelapan ini, Dia berbicara melalui misteri keheningan-Nya” (Verbum Domini, 21). Kekuatan cinta Tuhan, dihidupi sedemikian sehingga menjadi sebuah pemberian yang paling utama, berbicara dalam keheningan Salib. Sesudah kematian Kristus, keheningan yang besar menyelimuti bumi, dan pada hari Sabtu Suci, ketika “Sang Raja meninggal dan Tuhan wafat dalam daging dan membangkitkan mereka yang telah wafat sejak berabad yang lalu” (bagian dari bacaan Sabtu Suci), suara Tuhan bergema kembali, dipenuhi dengan cinta bagi semua umat manusia.

Jika Tuhan berbicara kepada kita bahkan dalam keheningan, bagian kita adalah menemukan dalam keheningan itu kemungkinan untuk berbicara dengan Tuhan dan mengenai Tuhan. “Kita memerlukan keheningan yang akan menjadi sebuah kontemplasi, yang akan memperkenalkan kita kepada keheningan Tuhan dan membawa kita ke titik di mana Firman, yaitu Firman yang menebus kita, lahir” (Homily, Eucharistic Celebration with Members of the International Theological Commission, 6 October 2006). Dalam berbicara tentang kebesaran Tuhan, bahasa kata-kata kita akan selalu terbukti tidak cukup layak dan kita harus menciptakan ruang untuk berkontemplasi dalam hening. Dari kontemplasi serupa itu akan berkembang, dengan segenap kekuatan di dalam jiwa, kerinduan yang mendesak akan sebuah misi, sebuah kewajiban yang mendesak, “untuk mengkomunikasikan apa yang telah kita lihat dan kita dengar” sehingga semua orang dapat berada dalam persatuan dengan Tuhan ( 1 Yoh 1 : 3). Kontemplasi hening menyelimuti kita di dalam sumber Cinta kasih yang mengarahkan kita kepada sesama, sehingga kita dapat turut merasakan kepedihan mereka dan menawarkan kepada mereka, terang Kristus, pesan kehidupan-Nya, dan karunia-Nya yang menyelamatkan dalam kepenuhan cinta kasih.

Maka dalam kontemplasi hening, Firman yang kekal, yang melaluinya dunia diciptakan, menjadi hadir bahkan lebih kuat lagi dan kita menjadi sadar akan rencana keselamatan yang telah Tuhan genapi di sepanjang sejarah manusia melalui kata-kata dan perbuatan. Sebagaimana Konsili Vatikan II mengingatkan kita, wahyu ilahi digenapi melalui ”perbuatan dan kata-kata yang mengandung kesatuan di dalamnya: perbuatan yang telah dilakukan Tuhan dalam sejarah keselamatan mewujud dan menggenapi pengajaran dan kenyataan-kenyataan yang ditandai dengan kata-kata, sementara kata-kata itu menyatakan perbuatan-perbuatan dan menjelaskan misteri yang terkandung di dalamnya” (Dei Verbum, 2). Rencana keselamatan ini memuncak di dalam pribadi Yesus dari Nazareth, sang pengantara dan kepenuhan dari seluruh wahyu Allah. Ia telah menyatakan kepada kita wajah Allah Bapa yang sesungguhnya, dan melalui Salib dan Kebangkitan-Nya telah membawa kita dari perbudakan dosa dan maut kepada kemerdekaan sebagai anak-anak Allah. Di dalam misteri Kristus, pertanyaan mendasar tentang arti keberadaan umat manusia menemukan jawabannya, yang mampu memberikan kedamaian kepada kegelisahan hati umat manusia. Misi Gereja bertumbuh dari misteri ini; dan bahwa misteri inilah yang mendorong umat Kristen untuk menjadi pembawa harapan dan keselamatan, saksi-saksi dari cinta Tuhan, yang menjunjung tinggi martabat manusia dan membangun keadilan serta perdamaian.

Kata-kata dan keheningan: belajar untuk berkomunikasi adalah belajar untuk mendengarkan dan berkontemplasi sebagaimana kita berbicara. Hal ini terutama penting bagi mereka yang terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan evangelisasi: keheningan dan kata-kata keduanya adalah elemen yang esensial, menyatu dengan karya komunikasi Gereja bagi pembaharuan pewartaan Kristus di dalam dunia zaman ini. Kepada Bunda Maria, yang dalam keheningannya “mendengarkan Firman dan membiarkannya berbunga” (Private Prayer at the Holy House, Loreto, 1 September 2007), saya mempercayakan segenap karya evangelisasi yang diselenggarakan oleh Gereja melalui sarana-sarana komunikasi sosial.

Dari Vatikan, 24 Januari 2012, Pesta peringatan St Fransiskus dari Sales
Bapa Suci Benediktus XVI

Sumber: Dokumen Tahta Suci Vatikan, klik di link ini

Catatan: Terjemahan di atas adalah terjemahan tidak resmi yang dilakukan oleh katolisitas.

MLM: Sesuaikah dengan Ajaran Iman Katolik?

13

Gereja Katolik tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai Multi Level Marketing (MLM). Tetapi Gereja Katolik mengajarkan prinsip umum tentang pekerjaan, kegiatan ekonomi, dan keadilan sosial, yaitu antara lain:

1. Prinsip keadilan dan solidaritas sebagai penghormatan kepada martabat manusia

KGK 2407    Di bidang ekonomi, hormat kepada martabat manusia menuntut kebajikan penguasaan diri, supaya mengendalikan ketergantungan kepada barang-barang dunia ini: kebajikan keadilan, supaya menjamin hak-hak sesama dan memberi kepadanya apa yang menjadi haknya; dan solidaritas sesuai dengan kaidah emas dan sikap suka memberi dari Tuhan, karena “Ia, sekalipun Ia kaya, telah menjadi miskin karena kamu, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (2 Kor 8:9)

2. Pekerjaan diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia

KGK 2426    Pengembangan kehidupan ekonomi dan peningkatan produksi harus melayani kebutuhan manusia. Kehidupan ekonomi bukan hanya ada untuk melipatgandakan barang-barang produksi dan meningkatkan keuntungan atau kekuasaan; pada tempat pertama sekali ia harus melayani manusia: manusia seutuhnya dan seluruh persekutuan manusia. Kegiatan ekonomi harus – menurut metodenya sendiri – dilaksanakan dalam kerangka tata moral dan keadilan sosial sedemikian, sehingga ia sesuai dengan apa yang Allah maksudkan untuk manusia (Bdk. Gaudium et Spes (GS) 64).

3. Pekerjaan dapat menjadi sarana pengudusan dan cara menghidupi kenyataan di dunia ini

KGK 2427   Karya manusia adalah tindakan langsung dari manusia yang diciptakan menurut citra Allah. Mereka ini dipanggil, supaya bersama-sama melanjutkan karya penciptaan, kalau mereka menguasai bumi (Bdk. Kej 1:28; GS 34; Centesimus Annus (CA) 31). Dengan demikian pekerjaan adalah satu kewajiban: “Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes 3:10, Bdk. 1 Tes 4:11). Pekerjaan menghargai anugerah-anugerah dan talenta-talenta yang diterima dari Pencipta. Tetapi ia juga dapat menyelamatkan. Apabila manusia dalam persatuan dengan Yesus, Tukang dari Nasaret dan Yang Tersalib di Golgota, menerima jerih payah pekerjaan (Bdk. Kej 3:14-19), ia boleh dikatakan bekerja bersama dengan Putera Allah dalam karya penebusan-Nya. Ia membuktikan diri sebagai murid Kristus, kalau ia, dalam kegiatannya yang harus ia laksanakan hari demi hari, memikul salibnya (Bdk. Laborem Exercens (LE) 27). Pekerjaan dapat menjadi sarana pengudusan dan dapat meresapi/ menghidupi kenyataan duniawi dengan semangat Kristus.

4. Pekerjaan adalah untuk manusia, sebagai cara memelihara hidupnya dan hidup keluarganya dan melayani komunitas

KGK 2428    Waktu bekerja, manusia melatih dan melaksanakan sebagian dari kemampuan kodratinya. Nilai utama dari pekerjaan itu datang dari manusia sendiri yang melaksanakannya dan untuk siapa pekerjaan itu ditentukan. Pekerjaan memang untuk manusia, dan bukan manusia untuk pekerjaan (Bdk. LE 6). Tiap orang harus dapat menghasilkan melalui pekerjaan itu harta milik secukupnya, supaya dapat memelihara diri sendiri dan keluarganya dan supaya ia dapat menyumbang bagi persekutuan manusia.

5. Setiap orang berhak membuat inisiatif dalam kegiatan ekonomi dan ia harus melaksanakan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang sah demi kesejahteraan bersama

KGK 2429    Tiap orang berhak atas usaha ekonomi; tiap orang dapat dan harus mempergunakan talenta-talentanya, supaya dapat memberi sumbangan kepada kesejahteraan yang berguna bagi semua orang, dan supaya dapat menuai hasil-hasil yang adil dari jerih payahnya. Ia harus selalu memperhatikan agar berpegang pada peraturan-peraturan, yang telah ditetapkan oleh otoritas yang sah demi kesejahteraan umum (Bdk. CA 32; 34).

6. Mereka yang bertanggungjawab di perusahaan harus bertanggung jawab terhadap akibat- akibat ekonomi, ekologi, dan harus mengutamakan kesejahteraan manusia,  bukan hanya mengejar keuntungan

KGK 2432    Para majikan bertanggung jawab kepada masyarakat untuk akibat-akibat perekonomian dan ekologi (Bdk. CA 37). dari kegiatan mereka. Mereka berkewajiban supaya memperhatikan kesejahteraan manusia dan tidak hanya peningkatan keuntungan. Memang keuntungan itu penting. Keuntungan memungkinkan investasi yang menjamin masa depan perusahaan dan lapangan kerja.

7. Upah yang adil sesuai dengan kebutuhan dan prestasi

KGK 2434    Upah yang adil adalah buah pekerjaan yang sah. Tidak memberikannya atau menahannya adalah ketidakadilan yang sangat besar (Bdk. Im 19:13; Ul 24:14-15; Yak 5:4). Untuk memperhitungkan pembayaran yang adil, haruslah diperhatikan baik kebutuhan-kebutuhan maupun prestasi dari setiap orang. Pekerjaan harus “mendapat imbalannya sedemikian rupa, sehingga bagi manusia tersedialah kemungkinan untuk secara layak mengembangkan bagi dirinya maupun kaum kerabatnya kehidupan jasmani, sosial, budaya, dan rohani, dengan mempertimbangkan tugas serta produktivitas masing-masing, pun juga situasi perusahaan dan kesejahteraan umum” (GS 67,2). Persetujuan dari pihak yang bersangkutan saja tidak cukup untuk membenarkan secara moral tingginya upah.

Mari sekarang kita melihat kepada sistem MLM. Gereja tidak menyebutkan secara eksplisit apakah sistem MLM itu baik atau buruk, tetapi mari kita lihat sejauh mana sistem MLM tersebut (yang juga sesungguhnya ada beraneka ragam) menerapkan prinsip-prinsip tersebut di atas. Misalnya, apakah sistem MLM tersebut memberikan keadilan, misalnya apakah untuk tercapainya suatu transaksi jual-beli, pihak yang bekerja lebih banyak juga memperoleh bagian yang lebih banyak daripada yang tidak bekerja? Apakah ada prinsip solidaritas dan saling membantu/ mendukung dalam sistem MLM tersebut, sehingga mereka yang termasuk di lini bawah dapat berkembang? Apakah sistem MLM itu mengejar keuntungan semata, atau adakah prinsip memajukan sumber daya manusia? Apakah imbalan/upahnya wajar dan adil? Apakah produk yang dijual/ dipromosikan tersebut merupakan produk yang sungguh berguna bagi konsumen atau tidak? Apakah MLM itu merupakan MLM yang sudah terdaftar secara resmi/ legal di tanah air? Apakah ada aspek memajukan kesejahteraan anggota dan komunitas/ masyarakat umum? Apakah sistem MLM tersebut memperhitungkan dan menghargai prestasi anggota? …. dan seterusnya.

Dalam sistem MLM memang dapat terjadi nampaknya orang- orang yang sudah lebih dahulu bergabung mempunyai lebih banyak keuntungan, daripada yang belakangan bergabung. Nampaknya, hal ini merupakan semacam ‘keuntungan’/ privilege awal yang ditentukan oleh peluang dan mekanisme pasar; dan ini umum terjadi di sektor ekonomi lainnya. [Misalnya, orang yang membeli rumah di suatu kompleks perumahan tertentu yang dulunya belum berkembang tapi kemudian berkembang pesat, akan memperoleh keuntungan lebih besar daripada orang yang baru membeli rumah di kompleks tersebut beberapa tahun kemudian]. Namun demikian, ketidakadilan terjadi jika misalnya, prinsip pembagian keuntungan tidak dengan jelas/ transparan diterangkan kepada anggota; atau jika anggota yang bekerja keras tidak memperoleh imbalan yang wajar. Dalam sistem MLM, maka mereka yang cukup ‘beruntung’ menempati posisi di atas, selayaknya menyadari bahwa mereka “telah banyak diberi/ diberkati, sehingga mereka dituntut juga untuk memberkati orang lain” (lih. Luk 12:48), entah dengan mengusahakan kesejahteraan anggota di bawahnya, ataupun juga dengan mengusahakan kontribusi lainnya demi mengembangkan kesejahteraan anggotanya dan juga masyarakat umum.

Selanjutnya, memang terpulang kepada masing-masing pribadi yang tergabung di bisnis MLM tersebut. Sebab dapat terjadi, seseorang yang terlalu ‘giat’ melaksanakan bisnis MLM menjadi terobsesi dengannya, sampai menelantarkan keluarganya, mengorbankan waktu untuk keluarga demi merekrut anggota baru, atau menghabiskan seluruh waktu untuk kegiatan MLM ini sampai tidak ada/ kurang menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Dapat pula terjadi bahwa seluruh pikiran dan tenaga tersita oleh bisnis MLM, sampai mempengaruhi seluruh pembicaraan dan pergaulan. Atau dapat pula terjadi bahwa motivasi melakukan pekerjaan adalah untuk semata mengejar keuntungan/ profit yang ditawarkan. Ini adalah kecenderungan yang dapat terjadi, dan perlu diwaspadai oleh mereka yang tergabung dalam bisnis MLM, atau bisnis apapun secara umum.

Semoga Tuhan memberikan rahmat kebijaksanaan kepada kita untuk melakukan tugas dan pekerjaan apapun yang Tuhan percayakan kepada kita dengan penuh tanggungjawab, demi kesejahteraan/ kebaikan bersama.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab