Home Blog Page 181

Apa itu ‘Cultus suppressed’?

1

Cultus suppressed adalah penarikan suatu perayaan penghormatan kepada orang kudus tertentu dari kalender liturgi Gereja Katolik. Dasar penarikan itu antara lain adalah kurangnya data historis ataupun otentisitas dari kehidupan orang kudus tersebut, yang mengakibatkan kurang dapat diperoleh verifikasi akan perbuatan-perbuatannya yang menunjukkan teladan iman. Perlu diketahui, bahwa baru pada tahun 1234 Paus Gregorius IX menentukan prosedur resmi untuk proses beatifikasi/ penyelidikan kehidupan para kandidat orang kudus sebelum dapat dinyatakan sebagai Santa atau Santo. Sebelumnya penghormatan kepada orang kudus diterapkan berdasarkan penghayatan Gereja setempat akan teladan iman orang kudus tersebut. Tentu saja penghormatan ini ada dasarnya, namun data yang ada perihal kehidupan mereka kurang lengkap untuk dapat diperiksa oleh pihak Vatikan tentang keotentikannya. Demikianlah yang terjadi untuk beberapa orang kudus, seperti St. Faustinus, St. Yovita, St. Paus Hyginus, St. Paus Zephyrinus, St. Paus Pius I.  Selanjutnya, untuk semakin menertibkan persyaratan tentang hal beatifikasi ini maka pada tahun 1588 Paus Sixtus V menetapkan prosedurnya melalui the Congregation of Rites (kemudian namanya menjadi the Congregation for the Causes of the Saints) untuk menyelidiki tentang kehidupan para kandidat Santa/o tersebut dan teladan iman mereka.

Jika sejalan dengan waktu, Gereja Katolik mengadakan Cultus suppressed (seperti halnya yang dilakukan di tahun 1969), sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar. Sebab dalam satu tahun hanya ada 365 hari (atau 366 pada tahun kabisat), sedangkan Gereja mempunyai lebih banyak dari 365 orang Santo dan Santa, dan masih terus bertambah. Maka adakalanya dirayakan/ diperingati beberapa orang kudus dalam satu hari, dan juga pada suatu saat diperlukan pengurangan perayaan penghormatan kepada para Santa/o dalam kalender liturgis. Maka, maksud cultus suppressed bukan maksudnya untuk membatalkan sama sekali penghormatan kepada orang-orang kudus yang tertentu itu, tetapi hanya tidak merayakannya secara liturgis untuk Gereja universal, jadi artinya, hari perayaannya tidak lagi dimasukkan dalam kalender liturgis Gereja. Namun demikian, diperbolehkan jika umat secara pribadi ingin menghormatinya karena yakin akan kisah teladan imannya (setelah menyelidiki sendiri tentang keotentikannya). Beberapa Cultus suppressed  juga berkaitan dengan hari perayaannya yang tadinya jatuh di masa Adven atau Prapaska, kedua masa yang sesungguhnya dimaksudkan untuk masa pertobatan, dan bukan perayaan. Demikianlah maka kita ketahui, beberapa perayaan Santa/o yang jatuh pada masa ini ditarik dari kalender liturgi, seperti perayaan St. Barbara (4 Desember, masa Adven, St. Expeditus (18 April, dapat jatuh di masa Prapaska); agar kedua masa tersebut dapat semakin difokuskan untuk masa pertobatan.

Selanjutnya tentang proses beatifikasi, silakan klik di sini.

Dicari: Pengalaman Disakiti

3

Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan. (Ibrani 12:14)

Tentu saja di dunia ini tidak ada orang yang sengaja mencari kesempatan supaya mengalami disakiti oleh orang lain. Kalau bisa justru kita melakukan segala cara supaya tidak disakiti orang lain, sebagaimana kita juga selalu menjaga supaya tidak menyakiti orang lain. Namun kalau motivasi kita dalam berusaha tidak menyakiti orang lain itu adalah supaya diri kita sendiri tidak disakiti, mungkin motivasi itu harus ditinjau ulang. Karena kasih yang diajarkan oleh Tuhan itu tanpa syarat, (juga bdk. Luk 6:33 Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian.) Di saat orang menyakiti kita, reaksi umum kita cenderung langsung membela diri dengan sekuat tenaga atau berharap dapat memberi pelajaran setimpal supaya orang yang menyakiti kita itu menyadari kekeliruannya dan menjadi jera.

Sebagai anak-anak Kristus yang sudah ditebus dengan darah yang begitu mahal, sekedar bereaksi membalas atau tenggelam dalam rasa tersinggung yang berlama-lama terasa tidak sebanding dengan pengorbanan Kristus yang telah mati untuk saya. Ia rela disakiti sampai habis tanpa sedikitpun keinginan membalas atau membela diri, hanya menerima, menerima, dan malahan terus mendoakan, dan mendoakan, kepada Bapa. Teladan Kristus itulah yang membuat suatu hari saya berpikir masih lebih baik disakiti, daripada menyakiti. Sebenarnya justru di dalam pengalaman disakiti itu, saya jadi beroleh kesempatan untuk mengintrospeksi diri. Mungkin ada juga kesalahan-kesalahan yang kubuat yang tidak kusadari karena kesombonganku, yang membuat orang lain jadi ingin, atau tidak sengaja, menyakitiku. Ketika Tuhan meminta saya memberikan juga pipi kanan saat pipi kiri saya ditampar, Ia sedang mengajar saya mematahkan dominasi ego dan bujukan si jahat, karena kerendahan hati adalah buah Roh Kudus yang tidak bisa ditiru / dimanipulasi / disusupi oleh si jahat.

Pada suatu hari, ketika sedang merasa terluka karena merasa disakiti oleh orang terdekat, dalam genangan air mata karena merasa sangat marah dan tersinggung, saya teringat kepada Doa Bapa Kami. Khususnya pada bagian, “…seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami”. Selama bertahun-tahun, saya sering membatin kepada Tuhan, “Tuhan, nampaknya aku yang telah selalu bersalah kepada orang lain, dan untuk itu aku mohon ampun, Tuhan…tetapi kapan ya orang lain bersalah kepadaku, rasanya jarang, nyaris tak pernah orang bersalah kepadaku atau menyakitiku dengan sengaja, atau setidaknya kalaupun ada, aku tak terlalu ingat lagi, mungkin saking hanya sederhana saja perbuatan yang menyakitkan itu. Jadinya aku tak pernah punya kesempatan untuk melatih kebesaran hatiku mengampuni orang lain”. Dan hari di saat hati saya sakit karena merasa dilukai oleh sesama itu, adalah hari di mana Bapa mengabulkan keinginan saya yang terpendam untuk mengalami disakiti oleh sesama, supaya saya bisa belajar untuk mengampuni, melakukan secara nyata apa yang selama ini sering saya baca, dengar, atau tulis.

Pemikiran di atas nampak tidak wajar, tetapi pemikiran itu membantu saya untuk bangkit dan berusaha mengampuni sepenuhnya orang yang telah bersalah dan menyakiti hati saya itu, walau ternyata sangat sulit. Ketika saya minta diuji, saya tidak minta ujian yang sukar, tetapi Tuhan tahu sampai di mana batas kekuatan dan kemampuan kita untuk bisa berjuang meniru teladan-Nya menuju kekudusan. “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu–yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api–sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” (I Pet 1:6-7)

Saat hati sedang pedih dan terluka karena perbuatan orang lain yang menyakitkan hati, saya ingat kepada ajaran Yesus tentang pengampunan, tetapi sungguh tidak mudah untuk melakukannya. Saya sempat merasa itu semua hanya teori, yang tidak terlalu masuk akal untuk dilakukan. Saya sempat menolak untuk melakukannya, terutama manakala hati membara, di mana sebenarnya suasana itu sedang dimanfaatkan si jahat untuk mengipas-ngipasi saya dengan penuh semangat supaya saya tetap bersikukuh dalam semangat kemarahan dan pembalasan. Tetapi, pikiran di atas mengingatkan saya dengan halus, “Ya, …kapan lagi, …kapan lagi engkau punya kesempatan untuk melakukan apa yang selama ini telah kau pelajari dari teladan Kristus yang hidup. Inilah saatnya engkau membuktikan cintamu kepada Kristus yang telah mati bagimu. Ayo, enyahkan segala pikiran dan godaan untuk membalas dendam atau untuk marah terus menerus, bangkitlah, ujianmu sudah tiba, jawablah tantangan itu, dan menangkan pertarunganmu melawan bujuk rayu si jahat dan mengendalikan egomu”.

Kesadaran itu menjadi sebuah awal dari proses yang luar biasa sulitnya. Karena aku melawan egoku sendiri, menentang keinginan daging dari diriku sendiri. Bila tidak terus menerus berpegangan kepada kasih Tuhan Yesus, saya sudah akan selalu lari kembali kepada si jahat yang menunggu saya dengan setia sambil menyeringai. Bersama si jahat, awalnya terasa nyaman dan memuaskan, tetapi tidak lama. Segera saya merasa tidak percaya diri, gelisah, marah, tidak damai, hati terasa gelap. Sementara itu saya masih terus berperang dengan ego saya. Sangat melelahkan. Saya kepayahan. Semangat untuk melupakan dan mengampuni itu harus terus menerus dikuatkan lagi dengan pertolongan doa-doa penyerahan yang tulus kepada kuasa Roh Kudus, satu-satunya kekuatan yang akan memampukan saya mengampuni kesalahan orang yang telah bersalah dan menyakiti saya. Kemudian mulai lagi dengan hati yang baru dan bersih. Tanpa membangkit-bangkit lagi, sepenuhnya melupakan dan mengampuni. Allah juga selalu mengampuniku yang terus menerus berdosa ini, apa lagi yang kutunggu? Ya, bagi orang beriman, mengampuni adalah kewajiban, bukan sekedar saran. Saya memaksa diri untuk berdoa, karena dalam keadaan marah, sulit sekali rasanya untuk berdoa.

Akan lebih sulit lagi, jika sesama yang menyakiti kita itu tidak minta maaf, tidak menyadari kekeliruannya, atau bersikukuh merasa dirinya di pihak yang benar. Bahkan setelah kita merendahkan hati dan mau memaafkan, kita jadi dianggap sebagai pihak yang bersalah. Atau, jika kita berhasil untuk merendahkan hati begitu rupa, hingga kitalah yang minta maaf supaya keadaan menjadi lebih baik, maka semakin dapat dianggap oleh pihak lain bahwa kitalah yang bersalah, padahal secara obyektif kita sebenarnya di pihak yang tidak bersalah. Itulah ujian yang jauh lebih berat lagi. Beranikah aku bersikap hingga sedemikian? Jika Yesus ada di posisiku ini, apa yang Dia lakukan? Aku telah mengetahui jawabannya, Dia tidak membela diri sama sekali, Dia menerima, dan mengampuni. Dia difitnah untuk kesalahan yang tidak Dia lakukan, tetapi Dia toh diam dan menerimanya, demi kepentingan yang lebih besar, yaitu untuk keselamatan umat manusia. Sudikah aku mengorbankan egoku, demi kepentingan yang lebih besar, demi kedamaian dalam keluarga, demi pertumbuhan iman dan cintaku kepada-Nya? Demi melakukan kehendak-Nya dan menyenangkan hati-Nya? Umumnya kebanyakan dari kita sudah tahu apa yang Yesus mau, walaupun dalam prakteknya, sangat sukar untuk sungguh berhasil mengikuti teladan-Nya.

Sikap mau rendah hati untuk menerima dan mengampuni itu, bila diserahkan kepada Tuhan, pada gilirannya akan mampu membuka mata sesama kita itu juga, dan memungkinkan kasih Tuhan juga menyentuh dan mengubah hidupnya. Artinya, satu kali tindakan mengampuni, sekaligus dua jiwa dapat diselamatkan. Lalu bagaimana dengan godaan untuk membuat orang lain yang bersalah itu menjadi jera? Ya, dalam batas mengingatkan atau menegur dengan kasih, kita boleh melakukannya. Namun di luar itu, Tuhan mengajarkan bahwa penghakiman adalah hak Allah. Kita serahkan kepada Allah untuk melunakkan dan mengubah hati sesama yang telah bersalah pada kita. Campur tangan Allah pasti sangat jauh lebih baik, jitu, tepat waktu. Tetapi usaha sesama orang berdosa untuk menghakimi, mengajari, membetulkan, membuat jadi jera sesama pendosa lainnya, kemungkinan hasilnya berantakan. Kalau tidak malah menambah luka baru dan masalah baru. Utamanya jika motivasinya bukan kasih, melainkan pembalasan. Teladan Yusuf dan pertobatan saudara-saudaranya di Perjanjian Lama adalah contoh yang amat baik mengenai hal ini.

Dalam niat dan usaha untuk mengampuni itu, Tuhan juga membukakan kesalahan saya yang selama ini tidak saya sadari, Tuhan ingin saya juga mengerjakan bagian saya untuk memperbaiki kekurangan itu, karena Ia ingin saya bergerak menuju kesempurnaan seperti yang Dia ajarkan kepada saya. Maka sekalipun pedih, saya belajar bersyukur diberi kesempatan untuk mengalami disakiti oleh orang lain. Melaluinya, saya belajar untuk rendah hati dan tidak mengganggap diri selalu benar. Belajar melihat luka-luka yang mungkin ada pada diri orang lain juga, yang tanpa terlalu disadarinya membuatnya melakukan perbuatan yang menyakitkan itu. Demikianlah kerendahan hati membuat segala jenis intimidasi dari si jahat lewat perbuatan-perbuatan sesama yang menyakitkan, tidak sanggup membuat kita dikuasai kemarahan, rasa tertekan, dan kegelapan rohani. Tuhan tahu benar apa yang Dia minta kepada anak-anak-Nya agar dapat dilakukan dan dipelajari terus menerus. Semua itu adalah jalan menuju kelegaan yang permanen untuk bersatu dengan Dia, merasakan damai sejahtera dan kasih-Nya yang tak berkesudahan.

Menjadi pemenang atas ego dan tipu daya si jahat, dibuktikan dari pilihan-pilihanku untuk tetap bersikap mengasihi dan mengampuni. Pertamanya terasa sakit, mungkin sangat sakit, namun pelan tapi pasti, terasa sangat melegakan. Buah-buah Roh Kudus berupa damai sejahtera, sukacita, pengertian, harapan, kasih, dan kemungkinan baru, segera memenuhi hati. Namun pada titik di mana kita kembali menyatu dengan Tuhan, kita perlu tetap waspada supaya kita tidak ingin dianggap baik, dianggap berjasa, dianggap berjiwa besar, sekalipun kita telah memenangkan pertarungan rohani. Bahkan tak perlu diri sendiri memujinya, sebab di situ terletak potensi kesombongan. Karena saat merasa diri sudah baik dan benar, merasa diri sudah lulus dan suci, itu dapat menjadi kendaraan si jahat lagi, untuk menancapkan kukunya dan kembali merenggut kita dari kasih Allah. Maka sebaiknya, sesudah berhasil memenuhi panggilan-Nya untuk berkorban dan mengampuni, seperti Rasul Paulus, selayaknyalah kita berkata, upahku adalah bahwa aku boleh mewartakan Injil tanpa upah (bdk. 1 Kor 9:18). Ya, aku hanya mengerjakan apa yang menjadi kewajibanku, segala perbuatan baikku hanyalah kain kotor di hadapan Tuhan (bdk. Yes 64:6), aku tak layak menerima pujian apapun karena semua itu adalah pekerjaan Tuhan. Ia telah menebusku, sudah selayaknyalah aku bersikap sebagaimana orang yang sudah ditebus, tak ada komplimen apapun yang pantas diberikan padaku.”

Akhirnya, tak seorangpun dari kita ingin tertinggal memenuhi undangan-Nya dalam pesta pengampunan dan rekonsiliasi, di mana Ia selalu menunggu kita dengan penuh cinta di sana. Perjuangan kita untuk sampai di sana adalah perjuangan setiap hari, setiap saat. Perjuangan yang sulit, sangat sulit, tetapi tidak mustahil. Rahmat Allah selalu tersedia bagi kita agar yang sulit itu menjadi mungkin dan terjangkau. Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai. (Ibrani 2:18). Tuhan ada dekat kita untuk selalu membantu kita. Mari kita berjuang bersama-Nya. (Triastuti)

Yes 48 : 10 “Sesungguhnya, Aku telah memurnikan engkau, namun bukan seperti perak, tetapi Aku telah menguji engkau dalam dapur kesengsaraan. “

Doa: “Tuhan, aku berdoa, agar Engkau memampukan aku melewati ujian ini, supaya akhirnya aku dapat bertumbuh di dalam iman dan kasih melalui pengalaman ini. Pengalaman disakiti mungkin tidak perlu dicari-cari, tetapi jika Engkau izinkan itu terjadi dalam hidupku, pastilah itu Kau maksudkan agar aku dapat belajar semakin tulus mengampuni dan mengasihi, sebagaimana Engkau telah lebih dahulu melakukannya untuk aku. Amin.”

Siapakah Mesias dan Nabi di Yoh 1?

2

Di Yoh 1:19-21, 25, Yohanes Pembaptis menjawab pertanyaan para Imam dan kaum Lewi bahwa dia bukan Mesias, bukan Elia, dan bukan nabi yang akan datang. Yohanes Pembaptis ingin menekankan bahwa dia bukanlah penjelmaan Elia dan dia ingin menekankan bahwa Sang Mesias dan Nabi yang dijanjikan bukanlah dia, melainkan Yesus Kristus.

Yohanes Pembaptis menjawab bahwa dia bukan Mesias (ay.20). Di ayat 6-8, Rasul Yohanes menulis bahwa Yohanes Pembaptis adalah utusan Allah, yang memberikan kesaksian tentang Terang, dengan penegasan bahwa Yohanes Pembaptis bukanlah terang itu. Di ayat 15, Yohanes Pembaptis memberikan kesaksian tentang Yesus, dengan berkata “Inilah Dia, yang kumaksudkan ketika aku berkata: Kemudian dari padaku akan datang Dia yang telah mendahului aku, sebab Dia telah ada sebelum aku.” Dan kemudian, kejelasan bahwa Terang ini adalah Yesus terungkap ketika Rasul Yohanes menulis, “Pada keesokan harinya Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia berkata: “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia. Dialah yang kumaksud ketika kukatakan: Kemudian dari padaku akan datang seorang, yang telah mendahului aku, sebab Dia telah ada sebelum aku.” (Yoh 1:29-30)

Yohanes Pembaptis juga mengatakan bahwa dia bukan Elia menjawab pertanyaan imam dan kaum Lewi (ay. 21). Pertanyaan ini berdasarkan nubuat Maleakhi, yang mengatakan, “Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu. ” (Mal 4:5) Yohanes Pembaptis bukanlah Elia dalam arti Elia yang sama seperti yang diceritakan di Perjanjian Lama, namun Yohanes Pembaptis dapat dikatakan Elia secara rohani (spirit), seperti yang dipertegas oleh Yesus dalam Mat 17:12. Secara tidak langsung, nubuat nabi Maleakhi terpenuhi juga dalam diri Yohanes Pembaptis.

Yohanes juga menyatakan bahwa dia bukanlah nabi yang akan datang (ay.21). Para Imam dan kaum Lewi bertanya tentang nabi yang akan datang berdasarkan nubuat dalam kitab Perjanjian Lama, “Seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya.” (Ul 18:18) Dan seseorang yang digambarkan sebagai nabi ini terpenuhi dalam diri Yesus, karena Dia adalah Firman yang menjadi manusia (lih. Yoh 1:14). Hal ini ditegaskan oleh Rasul Petrus ketika dia memberikan khotbah di Serambi Salomo (lih. Kis 3:22-23) dan juga ditegaskan oleh Stefanus di Kis 7:37.

Dengan demikian Yoh 1, semakin menegaskan bahwa Yesus adalah pemenuhan dari nubuat Perjanjian Lama. Dia yang datang sebagai nabi, imam dan raja menjalankan tugas-Nya dengan sempurna sehingga mendatangkan keselamatan bagi seluruh umat manusia.

Sejak Kapan Gereja disebut Gereja Katolik?

16

Istilah ‘katolik‘ merupakan istilah yang sudah ada sejak abad awal, yaitu sejak zaman Santo Polycarpus (murid Rasul Yohanes) untuk menggambarkan iman Kristiani, ((Disarikan dari New Catholic Encyclopedia, Buku ke-3 (The Catholic University of America, Washington, DC, copyright 1967, reprinted 1981), hal. 261)) bahkan pada jaman para rasul, sebagaimana dicatat dalam Kitab Suci. Kis 9:31 menuliskan asal mula kata Gereja Katolik (katholikos) yang berasal dari kata “Ekklesia Katha Holos“. Ayatnya berbunyi, “Selama beberapa waktu jemaat di seluruh Yudea, Galilea dan Samaria berada dalam keadaan damai. Jemaat itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus.” (Kis 9:31). Di sini kata “Katha holos atau katholikos; dalam bahasa Indonesia adalah jemaat/ umat Seluruh/ Universal atau Gereja Katolik, sehingga kalau ingin diterjemahkan secara konsisten, maka Kis 9:31, bunyinya adalah, “Selama beberapa waktu Gereja Katolik di Yudea, Galilea, dan Samaria berada dalam keadaan damai. Gereja itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus.”

Namun nama ‘Gereja Katolik’ baru resmi digunakan pada awal abad ke-2 (tahun 107), ketika Santo Ignatius dari Antiokhia menjelaskan dalam suratnya kepada jemaat di Smyrna 8, untuk menyatakan bahwa Gereja Katolik adalah Gereja satu-satunya yang didirikan Yesus Kristus, untuk membedakannya dari para heretik pada saat itu -yang juga mengaku sebagai jemaat Kristen- yang menolak bahwa Yesus adalah Allah yang sungguh-sungguh menjelma menjadi manusia. Ajaran sesat itu adalah heresi/ bidaah Docetisme dan Gnosticisme. Dengan surat tersebut, St. Ignatius mengajarkan tentang hirarki Gereja, imam, dan Ekaristi yang bertujuan untuk menunjukkan kesatuan Gereja dan kesetiaan Gereja kepada ajaran yang diajarkan oleh Kristus. Demikian penggalan kalimatnya, “…Di mana uskup berada, maka di sana pula umat berada, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, maka di sana juga ada Gereja Katolik….” ((St. Ignatius of Antioch, Letter to the Smyrnaeans, 8)). Sejak saat itu Gereja Katolik memiliki arti yang kurang lebih sama dengan yang kita ketahui sekarang, bahwa Gereja Katolik adalah Gereja universal di bawah pimpinan para uskup yang mengajarkan doktrin yang lengkap, sesuai dengan yang diajarkan Kristus.

Kata ‘Katolik’ sendiri berasal dari bahasa Yunani, katholikos, yang artinya “keseluruhan/ universal“; atau “lengkap“. Jadi dalam hal ini kata katolik mempunyai tiga arti, yaitu bahwa: 1) Gereja yang didirikan Yesus ini bukan hanya milik suku tertentu atau kelompok eksklusif yang terbatas; melainkan mencakup ‘keseluruhan‘ keluarga Tuhan yang ada di ‘seluruh dunia’, yang merangkul semua, dari setiap suku, bangsa, kaum dan bahasa (Why 7:9). 2) Kata ‘katolik’ juga berarti bahwa Gereja tidak dapat memilih-milih doktrin yang tertentu asal cocok sesuai dengan selera/ pendapat pribadi, tetapi harus doktrin yang setia kepada ‘seluruh‘ kebenaran. Rasul Paulus mengatakan bahwa hakekatnya seorang rasul adalah untuk menjadi pengajar yang ‘katolik’ artinya yang “meneruskan firman-Nya (Allah) dengan sepenuhnya…. tiap-tiap orang kami nasihati  dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus.” (Kol 1:25, 28); 3) Gereja Katolik adalah Gereja yang terus ada di seluruh/ sepanjang waktu, sampai akhir zaman kelak.

Maka, Gereja Kristus disebut sebagai katolik (= universal) sebab ia dikurniakan kepada segala bangsa, oleh karena Allah Bapa adalah Pencipta segala bangsa. Sebelum naik ke surga, Yesus memberikan amanat agung agar para rasulNya pergi ke seluruh dunia untuk menjadikan semua bangsa murid-muridNya (Mat 28: 19-20). Sepanjang sejarah Gereja Katolik menjalankan misi tersebut, yaitu menyebarkan Kabar Gembira pada semua bangsa, sebab Kristus menginginkan semua orang menjadi anggota keluarga-Nya yang universal (Gal 3:28). Kini Gereja Katolik ditemukan di semua negara di dunia dan masih terus mengirimkan para missionaris untuk mengabarkan Injil. Gereja Katolik yang beranggotakan bermacam bangsa dari berbagai budaya menggambarkan keluarga Kerajaan Allah yang tidak terbatas hanya pada negara atau suku bangsa yang tertentu.

Namun demikian, nama “Gereja Katolik” tidak untuk dipertentangkan dengan istilah “Kristen” yang juga sudah dikenal sejak zaman para rasul (lih. Kis 11:26). Sebab ‘Kristen’ artinya adalah pengikut/murid Kristus, maka istilah ‘Kristen’ mau menunjukkan bahwa umat yang menamakan diri Kristen menjadi murid Tuhan bukan karena sebab manusiawi belaka, tetapi karena mengikuti Kristus yang adalah Sang Mesias, Putera Allah yang hidup. Umat Katolik juga adalah umat Kristen, yang justru menghidupi makna ‘Kristen’ itu dengan sepenuhnya, sebab Gereja Katolik menerima dan meneruskan seluruh ajaran Kristus, sebagaimana yang diajarkan oleh Kristus dan para rasul, yang dilestarikan oleh para penerus mereka, sampai akhir zaman.

Yoh 14:16: Penolong yang lain

13

Siapakah penolong yang lain, yang disebutkan di Yoh 14:16? Menurut Kitab Suci bahasa Indonesia LAI, Yoh 14:16-17 Yesus mengatakan, “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.”

Sedangkan menurut bahasa Inggris (Douay Rheims), ” And I will ask the Father: and He shall give you another Paraclete (allos parakletos, in Greek), that He may abide with you for ever: The Spirit of truth, whom the world cannot receive, because it seeth Him not, nor knoweth Him. But you shall know Him; because He shall abide with you and shall be in you.” (Jn 14:16)

Ayat Yoh 14:16 tidak mengacu kepada seorang manusia, tetapi kepada Roh Kudus, karena:

1. Ayat Yoh 14:16, tidak dapat dipisahkan dari ayat ke-17 dan ayat- ayat lainnya dalam Kitab Suci, yang jelas menghubungkan makna ayat ini dengan Roh Kudus, Roh Kebenaran yang diutus oleh Allah Bapa dan Allah Putera (lih. 14:26; 15:26; 16:7).  Maka Sang Penolong dan Penghibur itu tidak mengacu kepada manusia, tetapi kepada Roh Kebenaran, yaitu Roh Allah sendiri yang dapat menyertai para murid Kristus selama- lamanya. Sebab tidak ada manusia yang dapat “menyertai selama- lamanya”, hanya Tuhan saja yang mampu menyertai selama- lamanya, dan hanya Tuhan saja yang bisa menyertai dan diam di dalam diri murid- murid Kristus.

Demikian pula, karena tepat setelah “Roh Kebenaran”, dikatakan, “Dunia tidak dapat menerima Dia karena dunia tidak melihat Dia”, maka kita ketahui bahwa Dia yang dimaksud di sini adalah Roh Kebenaran itu. Roh ini bukan manusia, karena meskipun manusia mempunyai jiwa rohani, namun ia juga mempunyai tubuh, dan karena itu dapat dilihat oleh dunia sekitarnya, dan dengan demikian tidak cocok dengan apa yang disebut dalam Yoh 14:17 tersebut.

2. Perlu juga dilihat asal katanya dalam bahasa Yunani, allos parakletos, yang juga tidak mengacu kepada kata “seorang”, sebab allos itu artinya “satu yang lain/ another/ else“, hanya saja, kata itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘seorang’. Di sini terlihat adanya keterbatasan bahasa terjemahan, yang tidak secara persis mengartikan kata yang dimaksud, yaitu another Paraclete/ allos parakletos tersebut.

3. Selanjutnya, Injil Barnabas telah keliru dalam menyamakan Roh Kudus (paráklētos Yunani), dengan ‘periklutos‘ (artinya yang terhormat) yang dapat diterjemahkan dalam bahasa Arab “Ahmad”, sehingga akhirnya mengacu kepada Muhammad. Padahal dalam kitab Injil Yohanes, Kisah Para Rasul dan surat- surat Rasul Paulus, Roh Kudus tidak untuk diartikan sebagai manusia, melainkan Pribadi Allah sendiri yang dicurahkan kepada para Rasul dan umat beriman; untuk mendatangkan pertobatan dan mencurahkan rahmat pengudusan Allah dan karunia- karunia-Nya.

Freemason dan occultisme

17

Freemason/ Freemasonry bukan merupakan gerakan yang didirikan oleh Gereja Katolik.

Ada sebagian orang mengatakan bahwa freemasonry didirikan oleh Gereja Katolik, atau minimal Gereja Katolik berperan aktif di dalamnya. Namun ini adalah tuduhan yang tidak mendasar, karena Gereja Katolik sendiri – melalui beberapa dokumen – melarang anggotanya untuk ikut di dalam gerakan ini. Asal usul Freemasonry tidak diketahui dengan jelas, namun diperkirakan lahir akhir abad 16 di Scotlandia atau awal abad 17 di Inggris. Sekarang ini anggotanya mencapai 5 juta orang, tersebar di seluruh dunia, (Inggris, Skotlandia, Amerika, dst) namun kami tidak tahu apakah ada di Indonesia. Pada waktu awal didirikan di Eropa, sampai beberapa waktu kemudian, organisasi ini menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang kaya/ mempunyai kedudukan tertentu. Mereka mengatakan bahwa mereka bukan agama/ kelompok religius. Syarat utama menjadi anggota Freemason adalah percaya kepada adanya satu Sosok yang Sempurna/ “Supreme Being”. Maka konon semua penganut agama bisa bergabung, dan derajatnya sama, tidak boleh membawa-bawa agama dalam pertemuan mereka. Dari data Wikipedia kita ketahui bahwa ada beberapa uskup Anglikan menjadi anggota, dan memang dari tulisan lain yang beredar di internet, dikatakan bahwa target mereka yang utama adalah para pemimpin, terutama pemimpin gereja, dan karena Gereja yang paling nyata secara fisik adalah Gereja Katolik, maka mereka mentargetkan pemimpin Gereja Katolik untuk bergabung dalam organisasi ini. Tujuannya, untuk mengaburkan ajaran tentang keberadaan Tuhan seperti yang dikenal dalam Alkitab.

Tentang Freemasonry

Umumnya Freemasonry didefinisikan sebagai organisasi fraternitas/ persaudaraan yang merupakan sebuah sistem moral yang terselubung dalam kiasan, dan digambarkan dengan simbol. Simbol yang mereka pakai sebagai logo adalah penggaris siku dan jangka, dengan atau tanpa huruf G di tengahnya. Namun karena organisasi ini tidak mempunyai satu pemimpin utama, dan setiap anggota boleh menafsirkan sendiri simbol itu, maka tidak diperoleh kata kesepakatan untuk makna logo tersebut. Disebut Free-mason karena maksudnya adalah agar ideologi mereka yaitu, Kebebasan, Persamaan dan Persaudaraan menjadi prinsip yang merasuk secara bebas dalam sendi-sendi kemasyarakatan, tanpa diketahui dari mana asalnya.

Organisasi ini terbagi menjadi beberapa Grand Lodge/ Orients pada wilayah tertentu, dan keanggotaannya  terbagi menjadi 3 tingkatan. Umumnya pada bagian tingkat terbawah kegiatannya lebih ke arah sosialisasi. Maka tak mengherankan, banyak orang yang bergabung di level bawah tidak tahu mengapa organisasi ini dilarang oleh Gereja Katolik, sebab mereka sekedar hanya kumpul-kumpul saja dengan beberapa acara bersama. Setidaknya demikianlah yang yang kami ketahui dengan pembicaraan dengan seorang teman yang mempunyai pengalaman berkomunikasi dengan anggota kelompok Freemason di Amerika ini. Namun pada level berikutnya, sampai ketiga, terdapat ritual yang tidak sesuai dengan ritual Gereja, dan doktrin-nya yang mengacu ke arah naturalism dan rationalism mengarah kepada relativism, yaitu: tidak ada Kebenaran sejati, semua agama sama saja, dan mengusahakan dunia tanpa adanya Tuhan tetapi hanya, “Sosok Sempurna” yaitu Kebebasan, Persamaan dan Persaudaraan. (Padahal, ketiga hal tersebut, sesungguhnya tak bisa dicapai jika keberadaan Tuhan sebagai Pribadi tidak diakui).

Maka Gereja Katolik melarang Freemasonry karena beberapa alasan: Pertama, karena dengan slogan “Kebebasan, Persamaan dan Persaudaraan”, mereka sebenarnya menganggap “Kebebasan” sebagai tuhan/ Supreme Being mereka. Hal ini bertentangan dengan prinsip Allah Trinitas dalam agama Katolik. Kedua, slogan tersebut sedikit demi sedikit membentuk pola pikir relativism, di mana semua agama sama, semua benar, tidak ada yang paling benar, sehingga dalam moralitas dapat membingungkan, karena hal yang salah bisa dianggap benar. Hal ini bertentangan dengan prinsip Kebenaran objektif yang diajarkan oleh Gereja Katolik: yang benar selalu benar, sedangkan yang salah tidak pernah dianggap benar oleh Gereja. Ketiga, ritual yang mereka gunakan juga asing, misalnya, pelantikan gedung (mereka sebut sebagai pembaptisan) memakai simbol jagung, minyak dan anggur, dst, simbol dan upacara yang tidak sesuai dengan cita rasa Kristiani.

Paus Leo XIII melarang dengan jelas gerakan ini dalam surat ensikliknya Ab Apostolici, 15 Okt 1890, karena melihat gerakan Freemason menyusup ke dalam gerakan politik di Italia yang ingin menghapuskan pengaruh Gereja dari masyarakat, dan menaburkan kebencian kepada Gereja Katolik. Kitab Hukum Gereja tahun 1917, secara jelas menyebutkan bahwa siapa yang bergabung dalam Freemasonry, langsung terkena ekskomunikasi. Namun pada Kitab Hukum Gereja yang terbaru 1983, tidak secara eksplisit disebutkan kata ‘Freemasonry’, hanya, tetap disebutkan larangan untuk bergabung pada organisasi yang menentang Gereja. Maka ada orang-orang yang berspekulasi bahwa larangan Freemason sudah dicabut.

Hal ini diklarifikasi oleh Paus Benediktus XVI, yang pada waktu menjadi Prefect dalam the Congregation for the Doctrine of Faith. Dalam Quaesitum est, ia menyatakan “Penilaian negatif yang diberikan oleh Gereja terhadap kelompok Freemason tetap tidak berubah, sebab prinsip mereka tidak sesuai dengan doktrin Gereja. Dan karenanya, keanggotaan kelompok mereka tetap dilarang. Umat yang tergabung dalam kelompok Freemason berada dalam dosa berat dan tidak dapat menerima komuni.” Dekalarasi ini disetujui oleh Paus Yohanes Paulus II, dan ditandatangani pada tanggal 26 November 1983.

Freemason dengan gerakan naturalism, rationalism dan relativism-nya memang sangat berbahaya terhadap Iman Katolik, justru karena kelihatannya tidak berbahaya. Namun jika kita lihat di Amerika misalnya, nilai-nilai naturalism dan relativism ini memang mempengaruhi beberapa biara, sehingga mereka berfokus pada meditasi tentang alam lebih daripada berakar pada liturgi, mereka melepas habit/ kerudung demi persamaan dengan awam, berkompromi dengan nilai-nilai liberal, meringankan disiplin biara dst. Namun dengan langkah yang sedemikian, malah angka panggilan di biara itu merosot drastis. Sedangkan pada biara-biara yang tetap berpegang pada pengajaran iman yang benar sesuai dengan tradisi Katolik, malah tahun belakangan ini mendapat angka kenaikan yang signifikan.

Apakah Freemason menyusup ke dalam Gereja Katolik?

Ada banyak spekulasi bahwa gerakan Freemason telah menyusup ke dalam Gereja Katolik dengan cara yang halus, seperti menerima komuni di tangan, yang ditujukan supaya orang tidak lagi percaya akan kehadiran Yesus yang sungguh-sungguh dalam bentuk hosti kudus. Katolisitas telah membahas tentang komuni di mulut atau di tangan di jawaban ini, silakan klik. Kita tidak usah gelisah dalam hal ini, sebab jika kita percaya Tuhan membimbing GerejaNya dengan Roh Kudus-Nya, maka pasti Ia melindungi Gereja dalam menentukan segala sesuatu, dan bagian yang perlu kita lakukan adalah taat pada apa yang telah ditetapkan Gereja. Memang setelah Vatikan II, umat diperbolehkan menerima Komuni di tangan, sehingga terdapat 2 cara menerima Komuni, yaitu langsung di mulut atau di tangan. Maka, karena Gereja memperbolehkan 2 cara itu, maka kita dapat memilih salah satu (di mulut atau di tangan), asal kita lakukan dengan kesadaran penuh, bahwa kita menyambut Tuhan Yesus sendiri. Memang untuk sebagian orang lebih memilih komuni di langsung di mulut, karena cara yang demikian lebih berakar pada tradisi dan anjuran para orang Kudus. Namun, kita tidak dapat memaksakan kepada orang lain untuk menerima dengan cara yang sama.

Tentang Occultisme

Occultisme berasal dari kata occultus (Latin) artinya rahasia/ tersembunyi, sehingga diartikan sebagai pengetahuan akan sesuatu yang tersembunyi. Dalam bahasa Inggris, hal ini kemudian dikaitkan dengan pengetahuan paranomal, lawan kata dari ilmu pengetahuan/ science. Maka, arti Occultisme yang umumnya berlaku sekarang berkonotasi negatif, seperti ilmu gaib/ magic, astrologi, spiritualism, dst,  Tentu dengan konotasi demikian, Occultisme dilarang oleh Gereja Katolik, karena pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap perintah Tuhan yang pertama, “Akulah Tuhan Allah-mu. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Kel 20:2-3). Mereka yang mempraktekkan Occultism tidak lagi mempercayai Allah sebagai Tuhan yang berada di atas segalanya, sebab mereka ‘menggantikan’ Allah dengan keyakinan mereka akan ilmu gaib/ roh-roh/ dst.

Mempercayai janji Kristus yang melindungi Gereja-Nya

Jadi, pada dasarnya, janganlah kita takut dan bingung jika kita mendengar berita-berita yang negatif tentang Gereja. Sebab sudah dari jaman abad awal banyak orang ingin menghancurkan Gereja Katolik, namun hingga sekarang Gereja tetap berdiri. Mari kita yakini dan percaya akan janji Kristus, bahwa Ia tidak akan meninggalkan Gereja-Nya, sampai akhir zaman. Kadang Tuhan mengizinkan hal negatif tersebut terjadi, malah untuk memurnikan dan memperbaharui Gereja, sebab Roh Kudus akan menyatakan kebenaran Tuhan, dan memampukan mereka yang berpegang kepada-Nya untuk mengikuti kehendak-Nya.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab