Home Blog Page 183

Homoseksual: dosakah, dan dapat sembuhkah?

69

1. Pandangan Gereja Katolik tentang homoseksual.

Katekismus Gereja Katolik mendefinisikan homoseksualitas sebagai berikut:

KGK 2357    Homoseksualitas adalah hubungan antara para pria atau wanita, yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual, semata-mata atau terutama, kepada orang sejenis kelamin. Homoseksualitas muncul dalam berbagai waktu dan kebudayaan dalam bentuk yang sangat bervariasi. Asal-usul psikisnya masih belum jelas sama sekali. Berdasarkan Kitab Suci yang melukiskannya sebagai penyelewengan besarBdk.Kej 19:1-29; Rm 1:24-27; 1 Kor 6:10; 1 Tim 1:10., tradisi Gereja selalu menjelaskan, bahwa “perbuatan homoseksual itu tidak baik” (CDF, Perny. “Persona humana” 8). Perbuatan itu melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan. Perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual. Bagaimanapun perbuatan itu tidak dapat dibenarkan.

Namun demikian, Gereja juga menyadari bahwa tidak sedikit pria dan wanita yang sedemikian mempunyai kecenderungan homoseksual yang tidak mereka pilih sendiri. Mereka ini harus dilayani dengan hormat, dengan kasih dan bijaksana. Mereka harus diarahkan agar dapat memenuhi kehendak Allah dalam kehidupannya, dengan hidup murni, melalui kebajikan dan pengendalian diri dan mendekatkan diri pada Tuhan melalui doa dan sakramen, menuju kesempurnaan Kristen (KGK 2358-2359).

2. Kecenderungan vs melakukannya

Penting dipahami bahwa terdapat dua macam hal yang berbeda yaitu, 1) kecenderungan homoseksual dan 2) menjadi pelaku homoseksual. Kecenderungan ketertarikan terhadap sesama jenis itu belum membuahkan dosa sebelum dinyatakan dalam aktivitas seksual homoseksual. Gereja Katolik menganggap kecenderungan ini sebagai “objective disorder“/ ketidakteraturan yang obyektif, karena menjurus kepada hubungan seksual yang tidak wajar. Kecenderungan homoseksual di sini menyerupai kecenderungan yang dimiliki untuk kebiasaan buruk lainnya, misal ada orang yang memiliki kecenderungan pemarah, pemabuk, pemalas, dst. Dalam hal ini, kita ketahui:

1. Kecenderungan ini baru akan berbuah menjadi dosa, jika terus dituruti keinginannya, dalam hal ini, adalah jika mereka yang gay/homoseksual terus bergaul dalam lingkungan ‘gay’ dan mempraktekkan kehidupan seksual gaya ‘gay’ ini. Namun, jika tidak, maka kecenderungan tersebut tidak berbuah dosa.

2. Jadi kecenderungan ini benar-benar ada/ nyata, walaupun bukan berarti kita dapat membiarkannya. Contoh, tentu saja kita tidak dapat mengatakan karena seseorang memiliki kecenderungan pemarah, maka ia boleh saja hidup sebagai seorang pemarah. Kita justru harus mengalahkan kecenderungan itu dengan kuasa yang kita terima dari kemenangan salib Kristus, sebab oleh Dia segala belenggu dosa dipatahkan.

Ryan Sorba, dalam talk-nya Framingham State University, tgl 31 Maret 2008, yang memperkenalkan bukunya The Gay Gene Hoax, menjelaskan, bahwa kecenderungan gay bukan merupakan sesuatu yang genetik (seperti yang dipropagandakan beberapa pakar sekarang ini). Karena berdasarkan penelitian yang diadakan di Scandinavia pada bayi-bayi kembar, dapat diketahui bahwa salah satu dari bayi tersebut dapat menjadi gay, namun yang lainnya normal. Seandainya homoseksual itu genetikal tentu kedua bayi itu menjadi gay. Menurut Sorba, perilaku homoseksual banyak dipengaruhi oleh lingkungan, terutama penganiayaan seksual di masa kecil, seperti yang dialami dan diakui sendiri oleh banyak aktivis homoseksual. Hal lain yang cukup berpengaruh adalah kurangnya faktor bapa atau ibu, yang mempengaruhi seseorang di masa kecil (misalnya karena faktor perceraian, dst).

Jadi  sebenarnya, orang-orang yang lesbi atau gay sebenarnya dapat menghindari dosa, dengan tidak mengikuti dorongan nafsu seksualnya yang terarah kepada teman sejenis kelamin. Jika mereka hidup mengikuti hawa nafsu tersebut, tentu saja mereka berdosa. Alkitab sangat jelas menjabarkan hal ini. Namun, di dalam Kristus, mereka memiliki harapan untuk dapat mengarahkan hidup mereka ke arah kebenaran. Itulah sebabnya Gereja Katolik tidak menolak para gay dan lesbian, namun tidak membenarkan perbuatan mereka; melainkan mengarahkan mereka untuk hidup sesuai dengan perintah Tuhan untuk menerapkan kemurnian/ chastity. Maka di sini perlu dibedakan akan perbuatan/ dosa homoseksual dan orangnya. Dosa/ praktek homoseksual perlu kita tolak karena merupakan dosa berat yang melanggar kemurnian, namun manusianya tetap harus dihormati dan dikasihi. Walaupun demikian, Gereja tetap memegang bahwa kecenderungan homoseksual adalah menyimpang.(berdasarkan Congregation for the Doctrine of Faith yang dikeluarkan tgl 3 Juni 2003 mengenai, Considerations regarding Proposals to give legal recognition to unions between Homosexual Persons, 4).

3. Apakah homoseksual bisa “sembuh”?

Jawabnya juga tergantung, bisa ya bisa tidak. Namun fakta membuktikan bahwa kemungkinan “sembuh” itu ada, walaupun itu melibatkan kerja sama dari orang yang bersangkutan. Buku dari John F Harvey OSFS, The Truth about Homosexuality, (San Francisco, Ignatius Press, 1996) adalah buku yang baik untuk dibaca tentang homoseksual. Kesaksian seorang gay, yaitu David Morrison dalam bukunya Beyond Gay, (Indiana, Our Sunday Visitor, Inc, 1999) memperkuat keyakinan bahwa  sesungguhnya seseorang dapat menolak kecenderungan homoseksual yang tidak wajar ini, setelah melalui bimbingan konseling dan terutama melalui pertolongan Roh Kudus yang diberikan dalam sakramen-sakramen Gereja terutama Sakramen Tobat dan Ekaristi.

Fakta menunjukkan bahwa jika ia mendapat pengarahan yang benar, dan bertumbuh secara rohani dalam komunitas yang mendukung pertobatannya, maka seorang yang homoseksual dapat menjalani hidup yang normal, entah akhirnya menjadi heteroseksual dan menikah dengan lawan jenis, ataupun tetap memilih untuk tidak menikah, namun hidup dalam kemurnian, dan tetap mengalami kebahagiaan.

4. Apa yang dapat diberikannya kepada Yesus?

Mungkin yang pertama-tama adalah pertobatan yang sungguh dan komitmen yang serius untuk hidup kudus. Baru setelah ia sendiri bertobat dan berakar dalam sakramen, ia dapat melihat dengan lebih jelas apa yang menjadi panggilan hidupnya. Selama proses ini, dianjurkan agar ia memohon bantuan dari Romo, dan konselor di paroki. Jika ia memang terpanggil dan ia telah mengalami kuasa Roh Kudus yang memampukannya untuk menolak dosa, ia bahkan dapat melayani orang-orang lain yang memiliki kecenderungan seperti dia. (Namun tentu setelah ia sendiri telah mengalami pertobatan yang terus-menerus dan melaksanakan buah-buah pertobatan itu)

Namun demikian, seumur hidupnya ia harus tetap waspada dan berjaga-jaga. Ia tak boleh berbangga hati bahwa seolah- olah ia tidak mungkin jatuh lagi ke dalam dosa homoseksual. Perjuangan untuk hidup kudus merupakan perjuangan seumur hidup, dan untuk itu maka ia harus mengandalkan pertolongan Tuhan Yesus sendiri, yang dapat diterimanya melalui doa-doa, sakramen-sakramen dan komunitas umat beriman.

Apakah Kriteria Seorang Nabi?

15

Nabi umumnya diartikan sebagai seseorang yang berbicara atas nama Tuhan dan menyampaikan apa yang menjadi pesan Tuhan kepada manusia; entah pesan itu yang sudah lampau, saat itu atau masa yang akan datang. Maka umumnya nabi adalah seseorang yang diterangi/ dikaruniai Tuhan untuk memberikan nubuatan, berkhotbah menyampaikan pesan, petunjuk, perintah Tuhan dan kehendak-Nya kepada umat-Nya (lih. 1Kor 14:37, 1 Raj 22:7), secara khusus pesan nubuatan rencana kasih karunia keselamatan Allah (lih. 1Pet 1:10) di dalam Kristus. Selain menyampaikan nubuatan, para nabi juga menegur umat Tuhan jika mereka menyimpang dari kehendak Tuhan.

Katekismus Gereja Katolik menyebutkan demikian tentang para nabi:

KGK 64    Dengan perantaraan para nabi, Allah membina bangsa-Nya dalam harapan akan keselamatan, dalam menantikan satu perjanjian yang baru dan kekal, yang diperuntukkan bagi semua orang (Bdk. Yes 2:2-4) dan ditulis dalam hati mereka (Bdk. Yer 31:31-34; Ibr 10:16). Para nabi mewartakan pembebasan bangsa Allah secara radikal, penyucian dari segala kejahatannya Bdk. Yeh 36., keselamatan yang mencakup semua bangsa (Bdk. Yes 49:5- 6; 53:11). Terutama orang yang miskin dan rendah hati di hadapan Allah (Bdk. Zef 2:3). menjadi pembawa harapan ini. Wanita-wanita saleh seperti Sara, Ribka, Rahel, Miriam, Debora, Hana, Yudit, dan Ester tetap menghidupkan harapan akan keselamatan Israel itu; tokoh yang termurni di antara mereka adalah Maria (Bdk. Luk 1:38).

KGK 201    Tuhan sebagai Yang Esa mewahyukan Diri kepada Israel, bangsa yang dipilih-Nya: “Dengarlah, hai orang Israel. Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul 6:4-5). Dengan perantaraan para nabi, Allah mengajak Israel dan semua bangsa supaya berpaling kepada-Nya, Allah yang satu-satunya: “Berpalinglah kepada-Ku, dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi. Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain… semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku, dan akan bersumpah setia dalam segala bahasa, sambil berkata: Keadilan dan kekuatan hanya ada di dalam Tuhan” (Yes 45:22-24, Bdk. Flp 2:10-11).

KGK 522    Kedatangan Putera Allah ke dunia adalah satu kejadian yang sekian dahsyat, sehingga Allah hendak mempersiapkannya selama berabad-abad. Semua ritus dan kurban, bentuk dan lambang “perjanjian pertama” (Ibr 9:15) diarahkan-Nya kepada Yesus; Ia memberitahukan kedatangan-Nya melalui mulut para nabi, yang susul-menyusul di Israel. Sementara itu Ia menggerakkan dalam hati kaum kafir satu pengertian yang samar-samar mengenai kedatangan ini.

KGK 762    Persiapan jarak jauh dari pengumpulan Umat Allah, mulai dengan panggilan Abraham, kepada siapa Allah menjanjikan bahwa ia akan menjadi bapa suatu bangsa besar (Bdk. Kej 12:2: 15:5-6). Persiapan langsung mulai dengan pemilihan Israel sebagai Umat Allah (Bdk. Kel 19:5-6; Ul 7:6). Israel dipilih untuk menjadi tanda penghimpunan segala bangsa pada masa mendatang (Bdk. Yes 2:2-5; Mi 4:1-4). Tetapi para nabi menuduh Israel bahwa ia telah memutuskan perjanjian dan bertingkah bagaikan seorang pelacur (Bdk. misalnya Hos 1; Yes 1:2-4; Yer 2). Mereka mengumumkan satu perjanjian baru dan abadi (Bdk. Yer 31:31-34; Yes 55:3). “Kristus mendirikan perjanjian baru ini” (LG 9).

KGK 2581    Kenisah harus menjadi tempat latihan doa untuk Umat Allah. Ziarah, pesta–pesta dan kurban-kurban, kurban malam, kemenyan, dan “roti sajian” adalah tanda–tanda kekudusan dan kemuliaan Allah yang agung namun yang sangat dekat. Semuanya itu merupakan ajakan untuk doa dan jalan-jalan doa. Tetapi pelaksanaan lahiriah dari kegiatan religius sering kali menggoda umat untuk suatu ibadah yang hanya bersifat lahiriah. Ia membutuhkan pendidikan dalam iman dan pertobatan hati. Inilah tugas para nabi sebelum dan sesudah pembuangan.

KGK 2595    Para nabi menyerukan pertobatan hati dan mengajukan permohonan (doa syafaat) untuk umat, sedangkan mereka sendiri – sebagaimana Elia – dengan semangat berapi-api mencari wajah Allah.

Berdasarkan pengertian ini, terdapat dua kelompok:

1. Nabi- nabi pada Perjanjian Lama

Pertama-tama adalah Abraham, Bapa umat beriman (Kej 20:7).
Selanjutnya, nabi besar lainnya adalah Musa, pendiri dan yang memberikan hukum Taurat, pengantara pemberian Perjanjian Lama, yang tidak dapat disetarakan dengan siapapun sampai kedatangan Kristus (lih. Ul 34:10-)
Selanjutnya terdapat para nabi pada tingkatan berikutnya, seperti Harun dan Miriam, Eldad dan Medad, yang kepada mereka Tuhan menyatakan DiriNya dalam mimpi dan penglihatan, tetapi tidak dengan suara seperti yang dibuat-Nya terhadap Musa yang paling setia (Bil 12:7)
Lalu, pada jaman hakim- hakim ada juga Debora (Hak 4 -5) [yang menjadi ibu bagi umat Israel], demikian pula Samuel, Elia dan Elisa.

Sedangkan jika dilihat dari perannya menyampaikan pesan Allah secara tertulis, maka berikut ini adalah pengelompokan nabi yang menjadi penulis Kitab Suci yaitu para nabi besar (major prophets) dan para nabi kecil (minor prophets).

1. Nabi besar (major prophets) tersebut ada empat orang, yaitu: Yesaya, Yeremia, Yehezkiel dan Daniel
2. Sedangkan Nabi kecil (minor prophets) ada dua belas orang, yaitu: Hosea, Yoel, Amos, Obadiah, Yunus, Mikha, Nahum, Habakkuk, Zefanya, Hagai, Zakariah, Maleakhi.
3. Nabi perempuan. Kitab Perjanjian Lama memberikan karunia kenabian kepada beberapa perempuan: Nabi Miriam (saudara Nabi Musa), Debora, Hulda, (yang sejaman dengan Nabi Yeremia, seperti 2 Raj 22:14), dan juga kepada istri Nabi Yesaya.

2. Para Nabi Perjanjian Baru

Nabi- nabi pada Perjanjian Baru yang menyampaikan nubuatan rencana keselamatan Allah adalah Zakaria, Elisabet, Bunda Maria, Simeon, Hana, termasuk juga para nabi di Antiokhia (Kis 13: 1,8), Agabus, para anak perempuan dari Filipus.

Uraian selanjutnya tentang Nabi dan nubuat, silakan di link ini, silakan klik.

3. Misi sebagai nabi yang diberikan melalui Pembaptisan

Kita semua yang telah dibaptis mengambil bagian di dalam ketiga misi Kristus, yaitu sebagai nabi, imam dan raja. Sebagaimana disampaikan di atas, seorang nabi dapat didefinisikan sebagai seseorang yang mewartakan kebenaran dari Allah, yang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu, kini dan masa depan dan juga memberitakan kebenaran Allah lewat pengajaran. Hal ini dapat kita lihat bagaimana Tuhan berbicara dengan perantaraan para nabi untuk memberitakan kedatangan Sang Mesias. Maka kita sebagai anggota Gereja harus juga menjadi saksi untuk mewartakan kebenaran Kristus.

KGK 1268    Orang yang sudah dibaptis menjadi “batu hidup” yang dipergunakan untuk membangun “rumah rohani” dan “imamat kudus” (1 Ptr 2:5). Oleh Pembaptisan mereka mengambil bagian dalam imamat Kristus, dalam perutusan-Nya sebagai nabi dan raja. Mereka adalah “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya [mereka] memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil [mereka] keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Ptr 2:9). Pembaptisan memberi bagian dalam imamat bersama umat beriman.

KGK 785    “Umat Allah yang kudus mengambil bagian juga dalam tugas kenabian Kristus“, terutama karena cita rasa iman adikodrati yang dimiliki seluruh umat, awam dan hierarki. Karena cita rasa iman itu “umat berpegang teguh pada iman yang sekali telah diserahkan kepada para kudus” (Lumen Gentium 12), memahaminya semakin dalam dan menjadi saksi Kristus di tengah dunia ini.

 

Apakah Nilai-nilai Ajaran Sosial Gereja?

4

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan tentang prinsip nilai ajaran sosial Gereja sebagai berikut (silakan klik di situs ini untuk membaca Katekismus Gereja Katolik secara on-line):

A. Prinsip Umum Partisipasi dalam Masyarakat

Gereja Katolik menekankan pentingnya tiga hal dalam kehidupan bermasyarakat:

1. Peran otoritas dalam kemasyarakatan, sebab setiap komunitas manusia membutuhkan otoritas untuk memimpinnya (lih. KGK 1897-1904, 1918-1921)
2. Kesejahteraan Umum menjadi tujuan prinsip kehidupan bermasyarakat (lih. KGK 1905-1912, 1922-1927)
3. Prinsip tanggung jawab dan partisipasi setiap pihak dalam masyarakat untuk mencapai kesejahteraan (lih. KGK 1913-1917)

B. Prinsip Keadilan Sosial

Keadilan sosial tercapai jika masyarakat menjamin setiap kelompok ataupun individu untuk memperoleh hak mereka sesuai dengan kodrat dan panggilan hidup mereka. Maka keadilan sosial terkait dengan kesejahteraan sosial dan pelaksanaan otoritas. (lih. KGK 1928)

1. Penghormatan akan martabat manusia (KGK 1929-1933, 1943-1944)
2. Persamaan dan perbedaan yang ada di antara umat manusia (KGK 1934-1938, 1945-1947)
3. Solidaritas umat manusia (KGK 1939- 1942, 1948)

Surat Ensiklik Paus Leo XIII yang terkenal tentang Ajaran Sosial Gereja, yang berjudul Rerum Novarum, menyebutkan beberapa prinsipnya sebagai berikut: (silakan klik di sini untuk membaca lebih lanjut ensiklik ini)

1. Menghormati kepemilikan pribadi (private ownership) (RN 4-5)
2. Manusia dapat memimpin dirinya sendiri untuk bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri (RN 6-8)
3. Menghormati hak- hak keluarga (RN 9-10)
4. Sistem sosialisme harus ditentang, karena mengambil alih hak dan tanggung jawab orang tua dalam keluarga (RN 12)
5. Gereja dibutuhkan untuk membantu mengarahkan nilai- nilai kehidupan dan perbuatan manusia (RN 13-14)
6. Hubungan antara para pengusaha/ pemilik dan pekerja, harus selaras, untuk menjaga keseimbangan kehidupan politik dan masyarakat (RN 15-17)
7. Kebenaran yang besar/ penting: Kristus menyatukan kedua kelas dalam masyarakat dengan ikatan persahabatan dan saling pengertian (RN 18)
8. Penggunaan uang dengan bijaksana (RN 19)
9. Martabat pekerja, harus diperhatikan dengan semangat persaudaraan (RN 20-21)
10. Gereja dapat berperan membantu negara, dengan berpihak pada kaum miskin (RN 22-26)
11. Keadilan untuk semua pihak (RN 27)
12. Pemerintah bertugas sebagai pelindung masyarakat, terutama dalam melindungi secara hukum akan hak kepemilikan pribadi (RN 29-30)
13. Hak- hak para pekerja juga harus dilindungi, yaitu kepemilikan mereka, dan terutama hak/ kepentingan mereka dalam hal rohani dan mental (RN 31-33)
14. Jam kerja, harus memberikan waktu istirahat; dan dimungkinkannya kaum wanita agar dapat mengasuh anak- anak mereka (RN 34)
15. Keuntungan adanya kepemilikan: manusia akan dapat bekerja lebih keras demi mendukung kehidupan keluarganya (RN 35)
16. Asosiasi pekerja, membantu para pekerja dan menghubungkan mereka dengan pemilik/ pengusaha (RN 36-38)
17. Prinsip organisasi/ asosiasi: membantu memperbaiki kaum pekerja memperbaiki keadaan mereka: yaitu jiwa, raga dan kepemilikan mereka, dan juga terutama hubungan mereka dengan Tuhan (RN 41-44)

Ajaran Sosial Gereja sesungguhnya merupakan topik yang panjang untuk dibahas. Sementara hanya ini dulu yang dapat kami sampaikan. Dokumen-dokumen Gereja Katolik yang mengajarkan tentang ajaran Sosial Gereja, yaitu:

1. Rerum Novarum, Tentang kondisi pekerja, surat ensiklik Paus Leo XIII (1891)
2. Quadragesimo Anno, Rekonstruksi keteraturan Sosial, surat ensiklik Paus Pius XI (1931)
3. Mater et Magistra, Kristianitas dan Perkembangan Sosial, surat ensiklik Paus Yohanes XXIII (1951)
4. Pacem in Terris, Damai di Buni, surat ensikli Paus Yohanes XXIII (1963)
5. Konsili Vatikan II: Dignitatis Humanae, Deklarasi tentang Kebebasan Beragama (1965)
6. Konsili Vatikan II: Gaudium et Spes, Gereja di Dunia Modern (1965)
7. Populorum Progressio, surat ensiklik Paus Paulus VI, tentang Perkembangan Bangsa- bangsa (1967)
8. Octogesima Adveniens, surat apostolik Paus Paulus VI, memperingati Rerum Novarum (1971)
9. Keadilan di Dunia, (Justice in the World), Sinoda para Uskup, 30 Nov 1971
10. Laborem Exercens, surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Martabat Pekerjaan (1981)
11. Sollicitudo Rei Socialis, surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, memperingati 20 tahun Populorum Progressio (1987)
12. Centesimus Annus, surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, memperingati 100 tahun Rerum Novarum (1991)
13. Caritatis in Veritate, Kasih dan Kebenaran, surat ensiklik Paus Benediktus XVI (2009)

Jika ingin diringkas, beberapa nilai ajaran sosial Gereja adalah:

1. Membela martabat manusia, menghargai hak- haknya, membangun keluarga dan kebebasan beragama
2. Bertujuan untuk kesejahteraan umum
3. Solidaritas, mendukung partisipasi dan kerja sama di dalam kelompok dan antar kelompok masyarakat.
4. Subsidiaritas, memberdayakan kelompok- kelompok masyarakat
5. Mengutamakan/ berpihak kepada kaum miskin

Kompendium Ajaran Sosial Gereja dapat dibaca di website Vatikan – silakan klik.

Paus Benediktus XVI Memulai Pekan Doa bagi Persatuan

1

Dalam kesempatan Audiensi Umum mingguan pada hari Rabu di auditorium Paulus VI, Bapa Suci Paus Benediktus XVI, di hadapan ribuan peziarah yang hadir, mencanangkan Pekan Doa bagi Persatuan Umat Kristiani, yang mengundang semua pengikut Kristus untuk memohon karunia persatuan bagi semua umat Kristen di seluruh dunia.

Tema pekan doa tahun ini dipilih oleh wakil-wakil Gereja Katolik dan Konsili Ekumene Polandia, yaitu “Kita Semua Akan Diubahkan Oleh Kemenangan Tuhan Kita Yesus Kristus”.

Bapa Suci mengatakan, “Pengalaman Polandia akan penindasan dan penganiayaan melahirkan permenungan yang lebih mendalam terhadap arti kemenangan Kristus atas dosa dan maut, sebuah kemenangan di mana kita berbagi landasan iman yang sama.”

Melalui pengajaran, teladan, dan misteri Paskah Kristus, Tuhan memperlihatkan kepada kita jalan kepada kemenangan, yang diraih tidak melalui kekuasaan, melainkan melalui cinta dan kepedulian yang tulus kepada mereka yang membutuhkan. Iman di dalam Kristus dan pertobatan batin, baik secara pribadi maupun di dalam komunitas, harus terus menerus menyertai doa kita bagi persatuan umat Kristiani.

Bapa Paus Benediktus juga memusatkan perhatian pada kebutuhan umat Kristen untuk memohon Tuhan memperkokoh iman mereka.

Dalam Pekan Doa ini, marilah kita memohon secara khusus kepada Tuhan untuk memperkokoh iman semua orang Kristen, untuk mengubah hati kita, dan memampukan kita memberikan kesaksian yang terpadu akan kebenaran Injil. Dengan cara ini, kita memberikan kontribusi kepada pewartaan Injil secara baru dan memberikan jawaban yang lebih menyeluruh terhadap kelaparan rohani dari umat manusia zaman ini.

Bapa Benediktus menyapa para peziarah dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris. Beliau juga menyambut secara khusus dua kelompok peziarah: yang pertama adalah delegasi ekumene dari Finlandia, yang mempunyai tradisi untuk berziarah ke Roma selama Pekan Doa bagi Persatuan Umat Kristiani, dan yang kedua adalah kelompok para pria dan wanita yang tergabung dalam Kesatuan Angkatan Laut dan Korps Marinir Amerika Serikat (Naval Service and Marine Corps of the United States).

Saya menyambut dengan hormat semua peziarah dan para tamu yang hadir dalam Audiensi hari ini. Sambutan khusus saya kepada peziarah Lutheran dari Finlandia. Saya juga menyambut para pelaut dan marinir dari Amerika Serikat. Saya memohon dengan sungguh berkat Tuhan yang berlimpah bagi Anda sekalian dan seluruh keluarga Anda.

Pekan Doa bagi Persatuan Umat Kristen telah dirayakan selama lebih dari satu abad; setiap tahun, dari tanggal 18 hingga 25 Januari. Paul Wattson, seorang convert/ yang berpindah menjadi seorang Katolik, mengusulkan tanggal itu di tahun 1908, bersamaan dengan peringatan Tahta St. Petrus dan pertobatan Rasul Paulus.

Sumber: Vatican News, silakan klik di link ini

Oktaf bagi Persatuan Gereja

Hari ini kita mengawali apa yang disebut selama puluhan tahun sebagai Oktaf Persatuan Gereja, dari tanggal 18 hingga tanggal 25 Januari. Tujuan dari oktaf ini adalah berdoa bagi persatuan seluruh Gereja Katolik. Oktaf ini awalnya ditetapkan oleh Santo Paus Pius X di tahun 1909. Paus Benediktus XV meresmikan pemakaiannya bagi Gereja universal di tahun 1916. Pelaksanaannya tidak wajib, namun sangat disarankan.

Oktaf Doa 18 sampai dengan 25 Januari (untuk didoakan setiap hari selama delapan hari)

Antifon : Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. (Yoh 17:21)

V. Aku berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus

R. Dan di atas Batu Karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku

Mari kita berdoa: Oh Tuhan Yesus Kristus, Yang berkata kepada para murid-Mu: damai kuberikan padamu, damai-Ku Kuberikan padamu, janganlah memperhitungkan dosa-dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu, dan karuniakanlah kepada Gereja-Mu, kedamaian dan persatuan, yang sesuai dengan Kehendak-Mu, Tuhan yang hidup dan bertahta, kini dan sepanjang segala masa, Amin.

Oktaf Hari Pertama (18 Januari): Hari raya peringatan Tahta St Petrus di Roma

Intensi hari ini: Untuk pulangnya kembali “domba-domba yang lain” kepada Satu Kawanan dalam Kristus

Doa bagi kembalinya domba-domba yang lain

Imam: Marilah kita berdoa: Ya Tuhan, dalam kerahiman-Mu, Engkau memanggil pulang mereka yang telah pergi menjauh dariMu dan Engkau menyelamatkan mereka yang telah Kau kumpulkan dalam satu kawanan. Kami memohon Engkau mencurahkan rahmat persatuan denganMu kepada semua umat Kristiani, agar mereka menyingkirkan segala bibit perpecahan dan menyerahkan diri mereka kepada gembala sejati dari Gereja-Mu, sehingga mereka dapat melayani Engkau dengan segenap kasih dan kerendahan hati. Demi Kristus Tuhan kami

Umat : Amin.

Doa kepada Bunda Maria yang Terberkati

Imam dan umat: O Perawan Yang Dikandung Tanpa Dosa, yang telah dikuduskan dengan rahmat istimewa, dibebaskan dari dosa asal, pandanglah dengan penuh belas kasihan saudara-saudara kami yang memisahkan diri, yang masih tetap anak-anakmu, dan panggillah mereka kembali kepada Pusat Segala Kesatuan. Banyak anak-anakmu, sekalipun dari jauh, tetap memiliki devosi yang tulus kepadamu, O Ibu, ganjarlah devosi mereka itu dengan memperolehkan bagi mereka rahmat pertobatan. Perbaharuilah kemenangan atas kuasa kegelapan sejak sangat awal keberadaanmu, terutama saat ini, saat keperluan akan hal itu telah semakin mendesak, tanda kemenanganmu, seperti di waktu dahulu. Permuliakanlah Puteramu, O Ibu, dengan membawa pulang kepada Satu Kawanan, domba-domba-Nya yang sedang terhilang. Dan biarlah menjadi kemuliaan bagimu, O Perawan Maria, untuk melenyapkan kesalahan dari bumi, untuk mengakhiri segala perpecahan dan memulihkan kedamaian bagi dunia. Amin.

Imam: Bunda Pertobatan, doakanlah kami

Umat: Agar mereka dipenuhi oleh doa Puteramu yang Kudus, yaitu “ Supaya mereka semua menjadi satu”

Doa kepada St Petrus, Pangeran Para Rasul

Imam: O Santo Petrus yang mulia, sebagai ganjaran atas imanmu yang hidup dan teguh, kerendahan hatimu yang tulus dan kuat, dan cintamu yang besar, engkau telah dipilih oleh Allah, dan dikaruniai dengan keistimewaan khusus. Engkau bahkan digelari Pangeran Para Rasul dengan kuasa atas seluruh Gereja, di mana engkau dijadikan Batu dan Pondasi. Kami berdoa, perolehkanlah bagi kami, iman yang hidup dan semangat yang kuat, sehingga kami semua mau turut berusaha demi kembalinya saudara-saudara kami yang terhilang. Kiranya kerinduan Penebus Kami Yang Ilahi, supaya hanya ada “satu Kawanan dan satu Gembala”, menjadi bagi kami, sebagaimana bagimu, inspirasi untuk bekerja dan berdoa demi kembalinya mereka semua yang masih berada di luar kawanan. Dengan kekuatan Rahmat Ilahi, kiranya mereka dipimpin kembali dengan segera ke pangkuan Ibu kita bersama, Gereja Katolik.

Umat: Amin.

Sumber: Blog Pastor John Zuhlsdorf, silakan klik di link ini

Kekayaan Ekaristi bagiku

4

“Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!”
(1 Kor 11: 24b)

Suatu hari saya mendapat kartu undangan pernikahan seorang kerabat. Undangan itu hadir dalam warna dan format yang menawan, berhias ornamen mengesankan. Karena si pengundang adalah kerabat dekat, saya segera bersiap untuk meluangkan waktu, merencanakan buah tangan/hadiah yang sesuai, dan memikirkan pakaian pesta yang terbaik untuk dikenakan.

Demikian juga saya melihat Ekaristi sebagai sebuah kartu undangan berhias pita emas yang diletakkan di meja saya setiap hari, dan setiap Minggu. Hanya bedanya, undangan itu dari Yang Mempunyai Hidup, lebih dari sekedar kerabat dekat. Dan seperti halnya saya membayangkan betapa senangnya “yang punya acara” jika saya hadir dengan sepenuh hati untuk memenuhi undangannya, saya sedih kalau membayangkan saya mengabaikan begitu saja undangan Tuhan melalui Gereja-Nya, atau hadir dengan persiapan ala kadarnya, seperti yang masih sering saya lakukan.

Undangan Tuhan dalam perayaan Ekaristi merupakan wujud cinta dan kerinduan-Nya supaya saya bisa merasakan hadirat-Nya secara lebih khusus, supaya Ia bisa bersama-sama saya secara spesial. Pikir saya, Tuhan yang mestinya sibuk luar biasa dengan berbagai keperluan alam semesta, ternyata selalu punya waktu yang khusus untuk saya, hadir secara nyata dalam perayaan Ekaristi, buat saya. Sayangnya, saya yang manusia ciptaan ini kadang justru merasa sok sibuk, tidak punya waktu, kadang memutuskan melakukan kegiatan-kegiatan lain di hari Minggu, hari yang sebenarnya dimaksudkan Tuhan supaya saya berjumpa dengan-Nya, mengucap terima kasih atas karunia hidup yang diberikan Dia, Sang Empunya Waktu itu sendiri. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu (Kej 2: 3). Waktu bukan milik saya, Ada Pihak yang menciptakan dan memberikannya kepada saya, walau karena cinta-Nya, Ia membebaskan saya memakainya sekehendak hati saya.

Beberapa kenalan dan saudara saya sudah lama berhenti merayakan Misa di gereja, karena merasa kering, merasa tidak menemukan apa-apa di sana, merasa semua itu tidak mengubah apa-apa dalam hidupnya. Mereka memutuskan bahwa merasa mencintai dan menghormati Yesus, hidup baik, tidak menyakiti sesama, beramal, itu saja sudah cukup. Tidak perlu merayakan Misa di gereja dan berjumpa saudara-saudara seiman untuk bersekutu memuji Tuhan. Tidak ada pengaruhnya. Saya hanya manggut-manggut dalam hati, oh, ….merasa kering dan tidak menemukan apa-apa. Ya, dulu saya pun merasa demikian.

Walau sudah menjadi Katolik sejak bayi, tidak dalam sekejap mata pengalaman saya merayakan Ekaristi bertumbuh dari sekedar kewajiban, menjadi suatu kerinduan yang menumbuhkan iman. Perkenalan pertama saya dengan Ekaristi adalah melalui rutinitas hari Minggu di masa kecil, di mana saya hadir di gereja karena disuruh oleh orangtua, dan bersama dengan mereka. Ketika menginjak usia remaja dan dewasa awal, ada perkembangan sedikit, tidak banyak, di mana saya mengikutinya lebih karena sekedar kepatuhan kepada agama saya. Semua motivasi awal itu belum membuat saya menghayati makna terdalam dari Perayaan Ekaristi dan mengalaminya sebagai sumber kehidupan saya sebagai pengikut Kristus. Tetapi motivasi awal karena kebiasaan keluarga dan sekedar kepatuhan itu dipakai Tuhan untuk menuntun saya perlahan-lahan, sehingga akhirnya saya mengalami keindahan Ekaristi sebagaimana Tuhan menginginkan saya mengalaminya.

Bagaikan seuntai kalung yang indah yang disusun dari butir demi butir manik-manik tunggal yang membentuknya, pengalaman merayakan Ekaristi karena kewajiban itu teruntai perlahan-lahan, menjadi sebuah untaian penuh makna di mana Tuhan Yesus membimbing saya merangkai semua pengalaman saya bersama-Nya menjadi pengalaman yang menumbuhkan iman dan kasih saya kepada-Nya. Sampai akhirnya saya menemukan bahwa kehadiran saya di gereja bersama umat beriman mengenangkan kurban kasih-Nya adalah jawaban bagi sebuah kerinduan yang mengisi hati.

Salah seorang kakak saya menemukan dalam permenungannya, bahwa hadir dalam Misa adalah all about HIM, it’s not about me. Seperti halnya ketika saya datang memenuhi undangan pesta pernikahan atau ulang tahun sahabat, semua itu adalah mengenai yang punya acara, bukan mengenai saya. Fokus perhatian, kasih, atensi kita, diberikan demi kepentingan yang mengundang, bukan kepentingan saya yang diundang. Yang mengundang pasti juga telah menyiapkan penyambutan dan hidangan yang terbaik. Ketika saya berfokus pada apa yang saya inginkan, saya merasa kering dan tidak menemukan apapun. Ketika saya berfokus pada Tuhan yang ingin saya sembah dan puji, saya merasakan kerelaan dan kegembiraan. Semakin saya aktif mencari apa yang diinginkan Tuhan dalam Ekaristi, semakin Ia membiarkan diri-Nya ditemukan.

Sekalipun merayakan Misa setiap Minggu atau setiap hari sekilas nampak sebagai sebuah rutinitas belaka, sesungguhnya perayaan Ekaristi adalah suatu sarana yang Tuhan berikan supaya saya bisa selalu berada dalam perlindungan kerahiman-Nya, untuk memastikan bahwa anak-anak-Nya tidak kekurangan rahmat-Nya yang Maha Memelihara. Di sana, Ia bahkan memberikan Diri-Nya secara nyata dalam Tubuh dan Darah-Nya supaya Ia bersatu sepenuhnya dengan kita dan memastikan kita tetap aman bersama-Nya, walau kita sedang dalam berbagai tantangan hidup dan aneka pencobaan yang tak hentinya kita alami dalam kehidupan ini. Aktif mencari dan tidak pasif menunggu sampai kita menemukan sesuatu, membuat undangan Tuhan dalam Ekaristi mencapai sasarannya, karena reaksinya dua arah, timbal balik. Cinta Tuhan yang tanpa pamrih dan selalu mengampuni, kubalas dengan sembah dan puji yang menyenangkan hati-Nya. Ekaristi adalah sebuah ungkapan penuh kesungguhan dan keindahan untuk mengucapkan syukur atas kurban salib-Nya yang memberiku hidup yang penuh makna, yaitu hidup yang bermakna kasih dan pengurbanan.

Ekaristi mengubah cara saya memandang hidup dan menjalani hidup. Saya hampir tidak menyadari prosesnya, tetapi menyadari buahnya. Ketika Allah yang Maha Tak Terbatas dan Tak Terselami merendahkan diri-Nya begitu bersahaja dalam rupa roti dan anggur supaya Darah-Nya menjadi satu dengan darah saya, dan Tubuh-Nya menyatu dengan tubuh saya, perlahan-lahan dan dengan lembut, hati saya diubahkan, keinginan-keinginan duniawi saya dimurnikan menjadi selaras dengan keinginan untuk menemukan hidup yang sejati di dalam Dia. Saya mulai merasakan kerinduan akan kekekalan bersama Tuhan, walaupun saya masih menjalani hidup badaniah di dunia yang fana, dan masih dibanjiri dengan berbagai persoalan, kepedihan, kekecewaan, maupun urusan dan tawaran dunia yang serba menyenangkan namun sementara.

Inilah mutiara-mutiara Ekaristi, sebuah pesta penebusan Tuhan bagiku, puncak hidupku sebagai seorang Kristiani. Ekaristi mengajar saya untuk:

Terus menerus “in tune” (sinkron) dengan Allah dan menyelaraskan diri dengan apa yang menjadi kehendak-Nya dalam hidupku.

Mengucap syukur secara khusus dan indah sambil mengenangkan dengan istimewa kurban kasih Kristus bagi hidupku.

Belajar diam dan mendengarkan, karena sehari-hari saya sudah terlalu banyak bicara.

Mengenali bagaimana Tuhan berbicara kepada manusia melalui bacaan Firman-Nya, dan menjadi semakin mengenal jalan-jalan-Nya.

Menguji diri sendiriku apakah aku sungguh mencintai Tuhan dan rela menyisihkan semua urusan duniaku untuk sungguh-sungguh meluangkan waktuku bersama Dia, dan hanya buat Dia.

Menambah rasa cinta kepada Tuhan Yesus dan memperkuat rasa engganku untuk berbuat dosa, karena takut melukai hati-Nya yang lemah lembut dan sabar luar biasa.

Mengenali Tuhan yang selalu bisa diandalkan, melalui anak-anak Tuhan yang selalu Ia siapkan untuk menyelenggarakan Misa, setiap hari, dengan tata perayaan yang selalu konsisten dan sama, di manapun aku berada, di desa, kota, atau negara yang berbeda di berbagai belahan bumi ini.

Menyadari bahwa Tuhan adalah inti dan tujuan hidupku, menyadari kerinduanku yang terdalam, untuk berada di hadirat kebijaksanaan-Nya yang kudus.

Berada bersama-Nya, di hadirat-Nya, adalah sebuah pengalaman surgawi di dunia, memberi secercah “sampel” dari pengalaman yang akan kualami sepenuhnya di dalam kekekalan nanti.

Mengalami secara nyata apa yang dinyatakan dalam Mazmur 34:9, “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan !”

Menyadari lagi bahwa hidup adalah suatu perayaan, suatu karunia yang indah, dan Ekaristi mengingatkanku akan hadiah istimewa yang bernama hidup.

Membuatku belajar untuk tidak cepat mengadili situasi yang buruk dan sesama yang bersalah.

Merenungkan bahwa di tengah berita tentang kematian yang selalu kudengar di sekitarku, Ekaristi menyemangatiku bahwa hidup tidak berakhir dengan kematian, tapi ada kelanjutannya, dan justru itulah saat dimulainya kehidupan yang kekal bersama Tuhan.

Mengingatkanku bahwa penderitaan, kepahitan, penolakan, adalah bukanlah kekalahan, karena bersama Kristus yang mengalah kepada penderitaan, aku memenangkan peperangan melawan ego. Penderitaan bukan akhir segalanya.

Membawa tanda sengsara Kristus dan keteladanan Kristus di dalam diriku, melalui Ekaristi, sehingga hidup Kristus terus menerus dinyatakan dalam hidupku.

Lapar dan hausku disegarkan secara rohani.

Mengingatkanku di tengah berbagai urusan dunia, bahwa ” what life is all about”, apa sesungguhnya hidup itu, yaitu suatu perjalanan pulang kepada Bapa.

Mengalami bahwa bukan aku yang mencari Bapa, tetapi Bapalah yang mencariku, setelah aku kelelahan mencari kedamaian dan capai bergumul dengan berbagai persoalan hidup.

Merasakan cinta Tuhan, yang mendorongku mencintai Tuhan yang tak kelihatan di dalam diri sesamaku yang kelihatan.

Menyadari pengurbanan Kristus mengatasi semua kerapuhan dan keraguanku, cinta-Nya mengatasi segala ketakutan dan keterbatasanku.

Mengerti bahwa berkurban itu indah, bukan kalah. Ekaristi memberi makna baru pada pengurbanan dan penderitaan manusia.

Mengajakku memikirkan hal-hal yang di atas, dan bukan yang fana semata di dunia ini.

Mengalami persekutuan dengan sesama umat beriman, sebuah persekutuan roh untuk menimba sukacita dan semangat dalam mengikuti jejak teladan Kristus. Aku diajak sehati sepikir bersama sesama umat beriman untuk membuat imanku kepada Kristus hidup dan berbuah.

Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal; dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan, sesuai dengan kesaksian tentang Kristus, yang telah diteguhkan di antara kamu (1 Kor 1 : 5-6)

Doa: Terima kasih Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus, atas keindahan Ekaristi dan kurban cinta Tuhan kami Yesus Kristus, yang membuat hidupku disegarkan dan diteguhkan secara nyata. Ajarilah diriku menghargai dan mensyukurinya dengan segenap hidup dan hatiku. Ampunilah aku bila aku belum menghargai Ekaristi dengan pantas dan belum mengusahakan persiapan yang terbaik untuk berjumpa denganMu di dalam Ekaristi Kudus. Dengan kerendahan hati, kuserahkan juga kepadaMu saudara-saudara dan sahabatku yang tidak lagi mempunyai gairah untuk hadir dalam perayaan Ekaristi bersama umat seiman, atau memilih melakukan kegiatan lain di hari Minggu. Sudilah Engkau melawati mereka dan menyentuh hati mereka, agar mereka kembali menyadari keindahan undangan peringatan kurban kudusMu di kayu salib, kurban yang telah menebus hidup kami dan mengisinya dengan rahmatMu yang berlimpah. Ajarilah diriku yang tak pantas ini untuk ikut memberikan teladan hidup kasih dan pengurbananMu yang indah kepada mereka. Hingga kelak kami semua layak memasuki Pesta Abadi dalam KerajaanMu yang tak berkesudahan. Semua ini kami mohon dalam nama Yesus Kristus Tuhan dan Juruselamat kami, Amin. (Triastuti)

Mendayagunakan Kemampuan Intangibles di Lembaga Pendidikan Katolik

5

Usaha dan persiapan yang matang

Seorang warga negara Italia bernama Vincenzo Lombardi mengatakan: “Setiap orang memiliki hak untuk menjadi pemenang, tetapi sedikit sekali yang menyiapkan dirinya sunguh-sungguh untuk menjadi pemenang”. Keberhasilan seseorang atau sebuah lembaga khususnya pendidikan Katolik tidak mungkin terjadi tanpa sebuah usaha dan persiapan yang matang. Sebagai contoh: kalau anda mencermati tayangan TV dalam judul American got talent atau Indonesian got talent anda akan melihat dengan jelas kemampuan luar biasa dari seseorang atau kelompok yang diragukan dan diremehkan baik oleh dewan juri maupun penonton menjadi pemenang dalam acara tersebut oleh karena sebuah faktor yang tidak tersentuh. Contoh, siapa menyangka seorang ibu rumah tangga bernama Susan Boyle berumur 47 tahun, wajahnya mirip seorang nenek, tubuhnya gemuk dan bongsor mengikuti kontestan Britain’s got talent memesona dewan juri dan penonton dengan suaranya yang indah dan merdu mengingatkan akan artis Josh Groban. Dia mengatakan: “Kalau saya berhasil saya ingin mengubah dunia, mengubah pandangan orang-orang”. Demikianlah dalam dunia lembaga pendidikan Katolik (LPK) perlu adanya usaha dan persiapan yang matang dalam mengelola pendidikan terutama mendayagunakan kemampuan yang tidak tersentuh (intangibles).

Melakukan perubahan mulai dari yang inti

Para filsuf modern (George Axtile, William O. Stanley, Lawrence B. Thomas) yang tergabung dalam aliran filsafat pendidikan progresivisme mengatakan  bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang maka diperlukan perubahan. Bagi mereka, perubahan itu adalah sesuatu yang tetap. Walau prinsip ini dapat mengacu kepada konsep relativism (yaitu kebenaran menjadi sesuatu yang relatif dan berubah- ubah) dan karena itu ditolak oleh Paus Pius X dan Paus Benediktus XVI, namun dalam lingkup dunia pendidikan, perubahan itu mutlak diperlukan untuk kebaikan dan kemajuan sesuai dengan konteksnya. Maksudnya adalah perubahan dibutuhkan agar kebenaran yang diajarkan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan inti pendidikan. Perubahan itu dimulai dari melihat dan berpijak pada jati diri pendidikan yang tidak lain adalah inti (core) pendidikan. Apa itu?  Inti pendidikan Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) sesuai dengan Nota Pastoral KWI tentang Pendidikan tahun 2008 adalah : (1) setia terhadap pencerdasan kehidupan bangsa, (2) setia terhadap ciri khas Katolik, dan (3) setia terhadap semangat luhur (spiritualitas)  pendiri. (Untuk memahami hal ini bacalah: UU 20/2003 Sistem Pendidikan Nasional, Dokumen Konsilili Vatikan II, 1965 tentang Deklarasi Pendidikan Kristen Gravissimum Educationis, Dokumen Kongregasi Suci  untuk Pendidikan Katolik, 1977 tentang Sekolah Katolik, Dokumen Kongregasi Suci 1982 tentang Awam Katolik di Sekolah: Saksi-Saksi Iman, Dokumen Kongregasi Suci, untuk Pendidikan Katolik, 1988 tentang Dimensi Religius Pendidikan di Sekolah Katolik, Kitab Hukum Gereja 1983 tentang Pendidikan Katolik dan Yohanes Paulus II, Konstitusi Apostolik, Ex Corde Ecclesiae tentang Universitas Katolik).

Bila kita telisik lebih jauh kesetiaan terhadap pencerdasan kehidupan bangsa itu merupakan tugas dan tanggungjawab Gereja Katolik juga, khususnya LPK. Tanggungjawab itu terwujud dalam partisipasi masyarakat Katolik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain tanggungjawab dalam partisipasi itu, tugas dan tanggungjawab ikut mencerdaskan bangsa merupakan wujud kesetiaan terhadap ciri khas Katolik. Itu berarti harus mengindahkan pedoman dan ajaran Gereja Katolik pada tingkat universal dan lokal. Kesetiaan terhadap ciri khas tercermin pula dalam kesetiaan terhadap semangat luhur (spiritualitas) pendiri. Berarti pula, LPK berkewajiban mengemban visi dan misi pendiri masing-masing sesuai dengan konteks zamannya.

Namun perlu diingat bahwa perubahan yang hanya terjadi pada aspek fisik (yang kasat mata bisa tersentuh) tidak akan bertahan lama. Perubahan yang dibutuhkan adalah menyangkut tata nilai yang menjadikan brand image LPK di mata masyarakat. Untuk itu hanya bisa dilakukan pada aspek non- fisik (yang tidak kasat mata, yang tidak tersentuh). Banyak hal pengembangan LPK dilihat dari sisi fisik (yang tersentuh) saja seperti bangunan, dan kita belum melihat sisi non- fisik (yang tidak tersentuh). Padahal sekarang ini yang membuat lembaga, perusahaan, tetap eksis dan bermutu adalah pengembangan (development) dari sisi yang tidak tersentuh (intangibles). Kekuatan daya saing di era kompetisi untuk keunggulan pendidikan terletak pada sisi intangibles. Apa itu?

Intangibles apa itu?

Intangibles adalah sesuatu tata nilai yang melekat secara utuh dalam diri seseorang dan membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan sesuatu peningkatkan kinerja (performance) dalam diri seseorang (bdk. Prof. Rhenald Kasali: “Myelin mobilisasi intangibles menjadi kekuatan perubahan”, PT. Gramedia Jakarta 2010, p.45). Mutatis mutandis dalam dunia lembaga pendidikan Katolik seperti sekolah akan berkembang dengan kualitas yang luar biasa dan memiliki daya saing yang kuat dengan Lembaga pendidikan lain jika membangun intangibles dalam bentuk tata nilai seperti: disiplin, kerja keras, kejujuran, bertangungjawab dan lainnya menjadi sebuah brand image lembaga pendidikan di mata masyarakat. Salah satu cara menanamkan tata nilai dalam pribadi-pribadi yang bergiat di LPK adalah dengan pelatihan (training). Training tersebut berintikan pada tata nilai yang harus dimiliki dan menjadi habitus bagi insan pendidikan sehingga mampu mendayagunakan untuk pengembangan diri dan lembaga dimana dia bekerja. Intangibles itu terdiri dari dua hal yakni internal intangibles dan external intangibles. Internal lebih kepada pembentukan karakter pribadi seseorang karena dari dalam dirinya, perubahan dimulai dari motivasi dirinya sedangkan eksternal lebih karena latihan dari luar dirinya (adanya faktor pemicu atau daya dongkrak) yang harus dilakukan secara ketat dan rutin. Lama kelamaan yang eksternal akan menjadi miliknya sendiri (internal) meski tanpa ada latihan berikutnya

Membangun intangibles dalam bentuk tata nilai

Seorang penggiat bidang pendidikan sebelum melakukan aktivitas di LPK hendaknya menjalankan proses penanaman nilai yang menjadi brand image LPK tersebut. Dalam pelatihan membangun intangibles dalam bentuk tata nilai menempuh tiga tahapan. Tahap pertama disampaikan pentingnya nama baik LPK di mata masyarakat. Karena nama baik LPK menyangkut citra lembaga. Guru misalnya diimbau untuk menjunjung tinggi citra lembaga pendidikan (sekolah Katolik) di mana dia bekerja. Guru wajib memahami pentingnya image branding, dan jangan sampai citra sekolah dirusak oleh tindakan guru yang berperilaku tidak baik. Tata nilai ini harus ditanamkan sejak dini ketika dia memasuki dunia pendidikan Katolik. Karena memakai nama Katolik, berarti secara hukum (bdk. kan. 803, §3, KHK 1983) mengatasnamakan Gereja Katolik, maka wajib nilai-nilai spiritual dan moral agama Katolik diajarkan kepada seluruh insan pendidikan. Seperti misalnya nilai kejujuran adalah suatu ibadah sehingga diharapkan tidak ada korupsi waktu maupun uang. Guru misalnya diharapkan bekerja dengan tujuan beribadah mengamalkan nilai-nilai iman Katolik di lembaga tersebut. Tahap kedua adalah pelatihan pengembangan diri (development training). Di sinilah diadakan diskusi, pelatihan pengajaran bermutu, pelbagai macam masalah pendidikan disosialisasikan dan diberi ketrampilan tentang menjadi guru Katolik yang bermutu. Tahap ketiga adalah pelatihan evaluasi kinerja. Guru dibekali dengan ketrampilan mengevaluasi kinerja pendidikan, membahas tentang bagaimana secara sadar melakukan evaluasi kinerja pribadi dan sekolah guna mencapai mutu pendidikan Katolik sesuai dengan visi misi LPK tersebut.

Ketiga tahapan ini hendaknya dijalankan secara ketat dan berkelanjutan, niscaya LPK menjadi lembaga pendidikan Katolik yang bukan hanya baik, melainkan menjadi hebat karena memiliki kekuatan yang tidak tersentuh (intangibles) dan dapat menghasilkan insan-insan pendidikan yang bermutu. Salah satu kunci dari keberhasilan setelah melalui ketiga tahapan tersebut adalah bagaimana setiap insan pendidikan memiliki budaya disiplin. Budaya disiplin adalah salah satu kunci keberhasilan perubahan LPK yang hebat dan bermutu. Budaya disiplin itu meliputi: bekerja sesuai dengan perencanaan dan menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk bekerja, melakukan proses kerja yang teratur dan terencana, meningkatkan kualitas kinerja setiap insan pendidikan, melakukan hubungan/komunikasi yang positif guna membangun lembaga pendidikan, bekerja untuk menghasikan sesuatu sesuai target. Teori ini dapat diringkas ke dalam PDCA circle: plan, do, check, action.

“Pekerjaan merupakan kebanggaan dan rasa bangga itu muncul ketika seorang insan pendidikan melakukan pekerjaannya dengan baik”.

 

Penulis: Pemerhati bidang pendidikan, alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Biologi Universitas Udayana Denpasar 1982.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab