Home Blog Page 180

Siapakah ‘anak-anak Allah’ dalam Kitab Ayub?

2

‘Anak-anak Allah’ (Ay 2:1) yang dimaksud di sini adalah para malaikat. St. Thomas Aquinas, dalam penjelasannya mengenai Kitab Ayub (Commentary on the Book of Job, Ch.1, the 2nd lesson) mengajarkan demikian:

Perlu diketahui bahwa penyelenggaraan ilahi mengatur segala sesuatu dengan ketentuan bahwa sesuatu yang lebih rendah diatur melalui sesuatu yang lebih tinggi…. Demikianlah maka jiwa manusia diarahkan melalui mahluk rohani yang lebih tinggi. Tradisi Gereja mengajarkan bahwa beberapa di antara para mahluk rohani tersebut, adalah mahluk rohani yang baik, yang tidak pernah melawan kehendak Allah, dan mereka ini kadang disebut sebagai para malaikat di dalam Kitab Suci yaitu pembawa pesan, sebab mereka memaklumkan pesan ilahi kepada manusia. Kadang mereka disebut anak- anak Allah, sebab mereka diciptakan seperti Tuhan (‘are made like to God‘) dengan mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. Namun, terdapat juga beberapa mahluk rohani yang jahat, bukan karena dari kodratnya ataupun penciptaannya, sebab Tuhan adalah pencipta kodrat setiap ciptaan-Nya; dan karena Allah yang adalah Kebaikan yang tertinggi tidak dapat menjadi sebab bagi apapun yang tidak baik; tetapi roh-roh ini adalah jahat karena kesalahan mereka sendiri. Roh-roh ini disebut sebagai setan di dalam Kitab Suci, dan pemimpin mereka disebut Iblis, atau Setan, yang artinya permusuhan. Kedua jenis mahluk rohani ini mempengaruhi manusia untuk bertindak, malaikat mempengaruhi manusia untuk berbuat baik, sebaliknya setan mempengaruhi manusia untuk berbuat jahat…. Maka untuk menunjukkan bahwa baik hal-hal yang baik maupun yang jahat yang dilakukan oleh manusia ada di bawah penghakiman ilahi, maka teks mengatakan, “Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di antara mereka datang juga Iblis untuk menghadap TUHAN.” (Ayb 2:1)

Dengan demikian, ‘istilah ‘anak- anak Allah’ (sons of God) di kitab Ayub tidak untuk dipertentangkan dengan Kristus ‘Anak Allah yang tunggal’ (the only Son of God) sebagaimana tertulis dalam Yoh 1:18, 3:16; 1 Yoh 4:9. Sebab para malaikat disebut sebagai ‘anak- anak Allah’ karena mereka diciptakan menyerupai Allah dan mengambil bagian dalam kemuliaan Allah; namun istilah ‘anak-anak Allah’ di sana tidak menunjukkan kesetaraan dengan Allah. Sedangkan istilah ‘Anak Allah yang Tunggal’ dengan konteks ayat- ayat lain yang menjabarkannya memberi implikasi bahwa Sang Anak, yaitu Sang Firman Allah (lih. Yoh 1:1) tersebut adalah Allah sendiri, sebab Ia dan Bapa adalah satu (lih. Yoh 10:30), dan Ia setara dengan Allah Bapa dan Roh Kudus (lih. 1 Yoh 5:7). Demikian juga ayat yang menyebutkan bahwa kita semua yang telah dibaptis adalah ‘anak- anak Allah’, juga tidak untuk dipertentangkan dengan Kristus Sang Anak Allah yang tunggal, sebab kita disebut ‘anak- anak Allah’ karena kita diangkat sebagai anak- anak-Nya di dalam Kristus (lih. Gal 3:26) melalui Pembaptisan sehingga kita mengambil bagian dalam kodrat ilahi (lih. 2 Kor 5:17; 2Pet 1:4; Gal 4:5-7); sedangkan Kristus Sang Sabda Allah lahir (begotten) dari Allah Bapa sejak awal mula, sebelum segala abad (lih. Yoh 1:1).

Selengkapnya tentang penjelasan St. Thomas Aquinas tentang Kitab Ayub, dapat dibaca di link ini, silakan klik.

Definisi Agama, Keprihatinan dan Tantangannya

13

Tanya jawab ini adalah untuk melihat definisi agama, apa yang memprihatinkan dan membanggakan dari kehidupan beragama, serta bagaimana menciptakan hidup beragama yang ideal. Mari kita mengupasnya satu persatu.

I. Definisi agama

Ada beberapa definisi tentang agama. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikannya sebagai “Ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya: — Islam; — Kristen; — Buddha;” Dari sini, kita melihat adanya dimensi iman, ibadah, moralitas di dalamnya. Dimensi yang sama ini, juga diberikan oleh kamus Webster, yang mendefinisikan agama sebagai “Religion, in its most comprehensive sense, includes a belief in the being and perfections of God, in the revelation of his will to man, in man’s obligation to obey his commands, in a state of reward and punishment, and in man’s accountableness to God; and also true godliness or piety of life, with the practice of all moral duties. It therefore comprehends theology, as a system of doctrines or principles, as well as practical piety; for the practice of moral duties without a belief in a divine lawgiver, and without reference to his will or commands, is not religion.” Dalam Glossary Katekismus Gereja Katolik dikatakan bahwa agama adalah “A set of beliefs and practices followed by those committed to the service and worship of God. The first commandment requires us to believe in God, to worship and serve him, as the first duty of the virtue of religion” atau “Satu perangkat kepercayaan dan tindakan yang diikuti oleh mereka yang berkomitmen untuk melayani dan menyembah Allah. Perintah pertama menuntut kita untuk percaya pada Tuhan, untuk menyembah dan melayani Dia, sebagai tugas pertama dari kebajikan agama.”
KGK 2135 “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti ” (Mat 4:10). Menyembah Allah, berdoa kepadaNya, menyampaikan penghormatan yang wajar kepada-Nya, dan memenuhi janji serta ikrar yang telah dibuat kepada-Nya, adalah tindakan-tindakan kebajikan agama, yang ada di bawah ketaatan terhadap perintah pertama.

Dari beberapa definisi ini, maka kita melihat bahwa agama mengajarkan satu perangkat kepercayaan atau iman dan bagaimana mewujudkan iman atau kepercayaan ini, baik dengan doa, ritual atau liturgi yang mengatur bagaimana untuk menyembah Tuhan yang dipercayai, maupun dengan satu pengajaran moral yang mengatur bagaimana untuk hidup dengan baik sesuai dengan apa yang dipercayai.

Itu adalah agama dalam arti yang sangat luas. Kalau kita melihat sumbernya, ada agama atau kepercayaan berdasarkan kebijaksanaan manusia maupun berdasarkan wahyu Allah. Agama berdasarkan wahyu Allah adalah agama Yahudi, agama Islam dan agama Kristen. Dalam agama wahyu, maka Allah yang berbicara kepada umat-Nya, memperkenalkan Diri-Nya sehingga umat dapat tahu secara lebih mendalam tentang siapakah Allah yang mereka sembah, serta memberikan perintah kepada umat-Nya. Dalam konteks agama Kristen, maka kita melihat bagaimana Allah telah berfirman mulai dari Perjanjian Lama melalui perantaraan para nabi, dan digenapi dengan kedatangan Kristus, yang datang ke dunia untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa serta memberikan contoh bagaimana seharusnya menjadi umat Allah. Dan dalam konteks agama Katolik, maka tugas untuk meneruskan ajaran ini dilanjutkan oleh Gereja Katolik melalui Magisterium Gereja, yang senantiasa mendasarkan pengajarannya pada Kitab Suci dan Tradisi Suci. Anda dapat membaca artikel mengapa memilih Gereja Katolik ini – silakan klik.

II. Yang memprihatinkan dan membanggakan dalam agama

Dari pengertian agama di atas, maka kita dapat melihat bahwa orang yang mengikuti agama kodrat (natural religion) mendasarkan kepercayaannya pada kebijaksanaan seseorang atau satu tradisi. Agama yang bersifat kodrat ini merupakan perwujudan dari kodrat manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, yang mempunyai kemampuan untuk mengetahui dan mengasihi pencipta-Nya. Namun, di satu sisi, karena pemikiran orang dapat salah, maka orang yang mengikuti agama atau kepercayaan ini dapat juga salah.

Di sisi lain, ada orang yang mengatakan bahwa agamanya adalah “free thinker“. Namun, kalau kita meneliti, sungguh sulit menjadi free thinker yang sesungguhnya, karena seseorang dalam satu tatanan sosial mempunyai satu aturan atau kebiasaan yang harus diikuti oleh orang yang tergabung dalam masyarakat tersebut. Orang yang tidak mempunyai agama juga dapat didorong oleh alasan karena tidak mau terikat oleh satu tatanan – baik iman maupun moral – dari satu agama. Orang seperti ini adalah orang yang mengedepankan pemikiran sendiri, atau dengan kata lain, agamanya adalah apa yang dia pandang baik menurut dirinya sendiri. Namun, dalam sejarah umat manusia, telah dibuktikan bahwa ada banyak orang yang salah dengan pemikirannya, juga termasuk kaum cerdik pandai. Jadi, orang dalam kategori ini mempunyai resiko untuk mempercayai apa yang salah.

Di kategori lain adalah orang-orang yang mempercayai agama berdasarkan wahyu Allah. Setiap orang harus mempelajari dan mempertanyakan agamanya masing-masing, apakah memang Allah sendiri yang mewahyukan Diri-Nya secara lengkap? Gereja Katolik mempercayai bahwa kepenuhan kebenaran ada di dalam Gereja Katolik, karena Allah secara lengkap telah mewahyukan Diri-Nya dari Perjanjian Lama dan dipenuhi dalam diri Yesus, dan Yesus – yang sungguh Allah dan sungguh manusia, yang juga adalah Kepala Gereja – telah mendirikan Gereja dan memberikan kuasa kepada Gereja Katolik, yang adalah Tubuh Mistik Kristus. Kebanggaan dan tanggung jawab ini harus disertai dengan pembinaan umat Allah, sehingga mereka dapat dengan tekun dan setia menjalankan apa yang diajarkan oleh Kristus melalui Gereja. Dan Gereja akan semakin bersinar dengan orang-orang kudus yang hidup sepanjang sejarah Gereja. Orang akan semakin mengerti pengajaran Gereja Katolik, ketika seseorang melihat yang terberkati Bunda Teresa dari Kalkuta, St. Maximilian Kolbe yang mengurbankan dirinya untuk keselamatan orang lain, St. Damien yang melayani orang-orang kusta sampai akhirnya dia sendiri meninggal karena penyakit ini. Sebaliknya, Gereja akan berduka jika anggotanya ada yang tidak menjalankan apa yang diajarkan. Kita dapat melihat bahwa dalam kehidupan banyak umat Katolik justru dapat menjadi batu sandungan. Contoh-contoh ini merupakan keprihatinan dari Gereja, yaitu ketika ada jurang antara iman dan kehidupan nyata sehari-hari atau dengan kata lain, ada orang yang percaya, namun tidak tercermin dalam tindakan sehari-hari.

III. Menciptakan kehidupan beragama

Kehidupan beragama yang baik bukanlah berdasarkan toleransi yang semu, yang mempunyai tendensi untuk mengatakan bahwa semua agama sama saja. Gereja Katolik tetap menghormati agama-agama yang lain, mengakui adanya unsur-unsur kebenaran di dalam agama-agama yang lain, namun tanpa perlu mengaburkan apa yang dipercayainya, yaitu sebagai Tubuh Mistik Kristus, di mana Kristus sendiri adalah Kepala-Nya. Oleh karena itu, Gereja Katolik tetap melakukan evangelisasi, baik dengan pengajaran maupun karya-karya kasih. Dengan kata lain, Gereja terus mewartakan Kristus dengan kata-kata dan juga dengan perbuatan kasih. Konsili Vatikan II dalam dokumen Nostra Aetate menuliskan demikian:

Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.

Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka.

Jadi, kehidupan beragama yang baik, hanya dapat terlaksana jika terjadi suasana dan lingkungan yang memberikan kebebasan beragama dan setiap umat dapat melaksanakan agama masing-masing dengan bijaksana. Pada saat yang bersamaan, maka umat Katolik juga harus tetap berakar pada doktrin yang kuat, serta bijaksana dalam proses evangelisasi. Evangelisasi yang paling efektif adalah dengan memberikan kesaksian akan Kristus dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dalam perjuangan untuk hidup kudus.

Tiga Hukum dalam Perjanjian Lama

3

Banyak orang salah paham apakah hukum-hukum dan peraturan-peraturan di dalam Perjanjian Lama masih berlaku atau sebenarnya tidak berlaku lagi. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus membedakan hukum-hukum di Perjanjian Lama dan senantiasa membaca segala sesuatu di dalam Perjanjian Lama dalam terang Perjanjian Baru. St. Thomas Aquinas (ST, I-II, q. 98-108) mengatakan bahwa ada 3 macam hukum di dalam Perjanjian Lama, yaitu:

1. Hukum Moral (Moral Law)

Moral Law atau hukum moral adalah menjadi bagian dari hukum kodrati, hukum yang menjadi bagian dari kodrat manusia, sehingga Rasul Paulus mengatakan “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela” (Rom 2:15). Contoh dari hukum ini adalah yang tertulis di 10 perintah Allah, dimana terdiri dari dua loh batu, yang mencerminkan kasih kepada Allah (perintah 1-3) dan juga kasih kepada sesama (perintah 4-10). Hukum kodrati ini adalah hukum yang tetap mengikat (bahkan sampai sekarang) dan dipenuhi dengan kedatangan Kristus, karena hukum kodrati ini adalah merupakan partisipasi di dalam hukum Tuhan.

2. Hukum Seremonial (Ceremonial law)

Hukum ini merupakan ekspresi untuk memisahkan sesuatu yang sakral dari yang duniawi yang juga berdasarkan prinsip hukum kodrat, seperti: hukum persembahan, tentang kesakralan, proses penyucian untuk persembahan, tentang makanan, pakaian, sikap, dll. Hukum ini tidak lagi berlaku dengan kedatangan Kristus, karena Kristus sendiri adalah persembahan yang sempurna; sebab Kristus menjadi Anak Domba Allah yang dikurbankan demi menebus dosa-dosa dunia. Maka kurban sembelihan seperti yang disyaratkan di dalam Perjanjian Lama tidak lagi diperlukan, karena telah disempurnakan di dalam kurban Kristus di dalam Perjanjian Baru. Itulah sebabnya di Gereja Katolik sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Yesus dan juga para rasul (Petrus dan Paulus) tidak mempermasalahkan makanan-makanan persembahan, karena bukan yang masuk yang najis, namun yang keluar.

3. Hukum Yudisial (Judicial Law)

Ini adalah merupakan suatu ketentuan yang menetapkan hukuman (sangsi) sehingga peraturan dapat dijalankan dengan baik. Oleh karena itu, maka peraturan ini sangat rinci, terutama untuk mengatur hubungan dengan sesama, seperti: peraturan untuk penguasa, bagaimana memperlakukan orang asing, dll. Dalam Perjanjian Lama, Judicial law ini ditetapkan sesuai dengan tradisi bangsa Yahudi. Contoh dari judicial law: kalau mencuri domba harus dikembalikan empat kali lipat (Kel 22:1), hukum cambuk tidak boleh lebih dari empat puluh kali (Ul 25:3), memberikan persembahan persepuluhan (Mal 3:6-12). Setelah kedatangan Kristus di Perjanjian Baru, maka hukum yudisial/ judicial law ini tidak berlaku lagi; sebab Kristus membuka pintu keselamatan bagi bangsa-bangsa lain, sehingga ketentuan hukuman (sangsi) diserahkan kepada pemerintahan bangsa-bangsa lain tersebut, dan di dalam konteks umat Kristiani, maka hukum yudisial/  judicial law ditetapkan oleh Gereja Katolik yang memiliki anggota dari seluruh bangsa.

Hukum Moral adalah tetap dan yang lain dapat berubah

Kalau kita perhatikan, hukum seremonial dan hukum yudisial senantiasa bersumber dari hukum moral. Dan hukum moral inilah yang terus tetap ada dan harus terus dijalankan, karena hukum moral adalah partisipasi dalam hukum Tuhan.  Manifestasi sempurna dari hukum moral adalah sebagaimana nyata dalam 10 perintah Allah, yang terdiri dari dua perintah utama, yaitu: Mengasihi Tuhan lebih dari segala sesuatu dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Sedangkan hukum seremonial, segala yang bersifat kurban sembelihan/ kurban bakaran atau kurban sesajian bagi perayaan ibadah, tidak lagi disyaratkan, sebab dalam kurban Kristus, segala kurban Perjanjian Lama tersebut telah sempurna digenapi. Maka kurban yang kita hantarkan dalam ibadah  adalah kurban kita yang kita persatukan dengan kurban Kristus. Demikian juga hukum yudisial, setelah Kristus naik ke Surga, maka tugas pengaturan hukum yudisial  di Gereja diberikan kepada para pemimpin Gereja, sedangkan hukum yudisial di luar Gereja, kepada negara dengan hukum yang dijiwai oleh nilai-nilai keadilan dan kasih sebagaimana diajarkan oleh Kristus.

 

Bagaimana membentuk OMK dan Pendamping OMK yang Ideal?

41

1. Pengantar

Orang Muda Katolik (OMK) Indonesia sebagaimana orang muda pada umumnya ialah penentu masa depan. Gelora semangat orang muda menjadikan orang  yang tidak muda lagi, memiliki berpengharapan. Jika Gereja dan bangsa memiliki orang muda yang bersemangat, penuh kasih, bertanggung jawab, berwatak luhur, beriman, maka sebagian besar dari kita tentu sepakat bahwa kita memiliki masa depan yang cerah, bahwa Gereja kita bukan calon museum belaka, dan bangsa kita bukan calon negara gagal. Tanggungjawab kita-lah untuk menentukan masa depan itu, sebagaimana kita dididik oleh para pendahulu kita sampai menjadi seperti sekarang ini. OMK memerlukan bimbingan dari para pendamping.  Para pembina OMK mesti mewujudkan syukur  atas pendidikan yang mereka terima dengan ikut bertanggungjawab mendidik orang muda demi masa depan. Maka kita mesti mengenal ciri pokok orang muda, dan mengenal apa kompetensi menjadi pendamping OMK.

2. Tiga Ciri Orang Muda: Jati Diri, Ketidakpastian, Hubungan-Hubungan

Jati Diri: OMK dipanggil untuk menjadi dirinya sendiri – yaitu menjadi  diri sendiri seperti yang dikehendaki Tuhan.  Hanya dengan mengetahui jati dirinya sesuai yang dikehendaki Tuhan, maka OMK bisa membangun dunia dan handal. Meminjam kata-kata Santa Katharina dari Siena (1347-1380), “Be who God meant you to be and you will set the world on fire”.

Namun, orang muda masa kini, tak terkecuali di tempat kita, sedang mengalami ketimpangan biologis-psikososial.   Kebutuhan untuk meningkatkan pendidikan dan pelatihan telah memperpanjang masa muda mereka, dan menunda masa “mentas” mereka. Di alam pedesaan tradisional pemuda dinyatakan lulus dari remaja ke dewasa dengan pernikahan dini. Sekarang orangtua diharapkan untuk merawat orang dewasa muda  lebih lama lagi. Sementara itu perbaikan diet dan kondisi lingkungan yang lebih baik telah mengakibatkan pubertas awal. Jadi, anak-anak secara biologis siap untuk menikah lebih awal daripada di masa lalu, namun kini mereka harus menunda pernikahan karena alasan psikososial. Ada ketimpangan antara perkembangan biologis yang lebih cepat dan kematangan psikososial yang lebih lambat. Pengenalan Jati diri menjadi makin susah dalam situasi ini.

Ketidakpastian: Dari sisi sosio-ekonomi,  Umat Katolik Indonesia terbagi menjadi dua: sekitar separuh menikmati kesejahteraan yang membuat mereka gampang meraih apa yang mereka inginkan, dan separuh masih berjuang untuk meningkatkan taraf kesejahteraan mereka.  Bagi Orang Muda Katolik (OMK) dari kalangan kaum beruntung, sering ada beberapa pilihan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka. Bagi OMK yang dari kalangan kurang beruntung, hampir tidak ada pilihan sama sekali. Setengah pengangguran atau pindah-pindah kerja (bekerja tidak sesuai dengan ilmu yang dipelajari) mengalami peningkatan jumlah. Bagi kebanyakan OMK, wajah mereka menampakkan ketidakpastian masa depan.

Hubungan-Hubungan: Sementara OMK masih bergulat dengan jati diri yang tak kunjung jelas, dan berjuang mendapatkan pekerjaan, maka OMK harus belajar membangun relasi antar-pribadi dalam keluarga, teman sebaya dan menemukan jodoh atau panggilan hidup (mau pacaran dan menikah, atau melajang, atau selibat demi Kerajaan Allah?). Suatu relasi-relasi yang membelit mereka dan bisa membingungkan jika tidak didampingi secara bijaksana. Mereka membutuhkan relasi yang bermakna, bukan hanya “just for fun” maupun main-main.

3. Dunia Kita

OMK, seperti sebagian dari kita juga, hidup dalam beberapa dunia. Tidak aneh, karena kita ini multidimensional. Sekularisasi yang baik membawa di dalamnya cara pandang buruk sekularistik: penyembahan dewa-dewi ilmu pengetahuan (idols of science), teknologi dan kemajuan wahana elektronika, pengejaran tiada henti atas pertumbuhan ekonomi, agama konsumeristis dengan “katedral-katedral shopping mall”, proses peningkatan budaya, bukan saja gaya hidup impor dan perilaku, atau jeans dan KFC yang tampak fisik, namun juga penerimaan tanpa sadar atas nilai-nilai konsumeristis dalam budaya instan dan budaya “klik copy-paste”.

Sekarang, giliran kita berpikir. Bagaikan permainan bola sodok, manakah bola putih  yang ketika kita sodok, maka akan mengenai bola-bola lainnya? Manakah yang pertama-tama kita bidik, agar OMK bisa memecahkan aneka masalah mereka sekaligus membuat mereka beranjak dewasa?  Saya setuju dengan pandangan bahwa semua persoalan mesti kita dekati mula-mula dengan Spiritualitas. Namun spiritualitas yang mana? Tentu saja Spiritualitas Katolik/Kristiani, dengan mengindahkan spiritualitas lokal kita yang khas sebagai bangsa Indonesia atau Asia Tenggara, atau khas Asia. Karena Yesus orang Asia dan para nabi pun tiada beda dengan-Nya, ialah orang Asia.

4. Spiritualitas Dialog

Gereja mengharapkan OMK tangguh imannya dan tanggap –peduli terhadap keprihatinan masyarakat. ”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan warga masyarakat khususnya yang miskin dan menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan OMK pula ” (bdk GS 1). Jika kunci yang bisa membuka pembinaan OMK ialah spiritualitas, maka spiritualitas dialog merupakan jalan utama menuju pembinaan OMK di berbagai pembinaan.

Sekarang, dialog merupakan cara satu-satunya bagi perdamaian dan bahkan bagi pembentukan karakter manusia. Karena itu, dengan memperhatikan ciri-ciri dan konteks di atas, kita hendaknya mengembangkan spiritualitas dialog sebagai dasar dari pembinaan OMK.

5. Jago Kandang Saja ?

Ada ungkaan mengatakan: ”OMK itu jago kandang saja. Beraninya berkokok di kandang sendiri seperti ayam jantan kate, tidak berani bergaul dengan kelompok di luar kelompoknya sendiri.” Benarkah? Ada benarnya walaupun tidak sepenuhnya. Jika demikian, prinsip-prinsip kaderisasi macam apa yang dibutuhkan untuk menjawab harapan OMK yang beriman mendalam dan tangguh serta berani terlibat dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia yang plural ini?

Saya menawarkan spiritualitas dialog sebagai landasan kaderisasi. Spiritualitas yang pada dasarnya tidak asing bagi OMK, yaitu yang mengalir dari dialog Allah sendiri dengan manusia, melalui Yesus Kristus Putera-Nya dalam Roh Kudus. OMK sendiri harus mengalami hidup nyata yang dibimbing oleh-Nya, mengalami Allah dalam kehidupan. Mereka mesti diajak refleksi untuk menemukan makna iman atau nilai kehidupan tertentu dalam peristiwa dan perjumpaan dengan sesama yang beraneka ragam.

Setelah prinsip dasar spiritualitas, barulah menyusul aneka kemampuan lainnya untuk diberikan dalam kursus kaderisasi. Namun demikian, kaderisasi sejati bukan pada kursus kaderisasi yang hanya empat-lima hari atau satu minggu atau satu bulan. Tidak demikian. Kaderisasi sejati ada dalam pendampingan OMK terus menerus sampai mereka mentas. Biarkan mereka mengalami sendiri dinamika hidup itu, kemudian didampingi dengan mengajak mereka merefleksikan pengalaman dalam Tuhan, lalu beraksi kembali dan seterusnya. Inilah prinsip ”see-judge-act” yang menjadi pokok pendampingan dan kaderisasi. Sebenarnya, inti kaderisasi sederhana saja, yaitu penemuan jatidiri yang dikasihi dan dikehendaki Allah untuk berbuat nyata dalam kehidupan yaitu mau berdialog dengan realitas kemiskinan, dialog dengan realitas budaya-budaya dan dialog dengan agama-agama. Intinya, OMK yang berbuat kebaikan konkret.

6. Pendamping yang Tangguh

Di balik sosok OMK yang tangguh dan berkiprah dalam masyarakat, ada pendamping yang tangguh pula. Tak mungkin seorang pemain sepakbola berprestasi tanpa seorang pelatih yang bertangan dingin dan berpengalaman. Maka yang diperlukan sekarang ialah para pendamping yang sadar akan jati dirinya sebagai pendamping, mengalami kasih Allah sendiri dan mengasihi OMK. Justru sekarang, fokus kami Komisi Kepemudan KWI ialah para pendamping yang kami cita-citakan: memiliki pengalaman rohani yang dalam, mau belajar mengembangkan diri, memiliki hati dan cinta yang besar untuk OMK yang didampingi, serta menjadi teladan dalam menggereja dan memasyarakat. Para pendamping itu pertama-tama ialah orangtua dalam keluarga. Berikutnya ialah para pendamping yang ditugasi oleh paroki serta keuskupan. Sedangkan kami membantu melengkapi dengan pendidikan para pendamping di tingkat regio dan keuskupan.

7. Kemampuan Pembina:  Penggerak (Animator), Pendamping (Chaplain), Pembina/Pemimpin (Leader)

7.1 Penggerak (Animator)

Kemampuan yang dituntut dari seorang penggerak adalah:

1. Kepribadian: mengenal diri (kecenderungan psikologis, seksual-hormonal, sosial-budaya sekitar); daya empati-simpati; daya juang, ingin lebih maju/ menanggapi secara positif.

2. Hidup Rohani: punya kemauan untuk makin mengenal Kristus dlm GerejaNya (keinginan menggeluti Kitab Suci, Sakramen, pernah mengerti dokumen Gereja dan beberapa kutipan penting).

3. Hidup Intelektual: keingintahuan (indikasi: membaca, menulis). Menguasai bidang minat tertentu..

4. Berminat pada Pergaulan – Budaya – Kesenian – dan Badan yg sehat

5. Memiliki (dan dimiliki oleh) sebuah Komunitas

6. KETRAMPILAN :

– memimpin animasi (gerak-lagu) bahkan secara spontan.

– memimpin pertemuan terbatas, misalnya 10-20 orang

– memimpin doa bersama dan ibadat sabda ringkas

7.2 Pendamping (Chaplain)

Memiliki Kemampuan Dasar Penggerak ditambah beberapa hal berikut ini:

1. Kepribadian: Daya Tahan (asertif), terbuka terhadap perkembangan, memiliki penguasaan diri secara emosional.

2. Rohani: Mulai mengalami kedalaman relasi dengan Kristus dalam Gereja-Nya

3. Penghubung antar komunitas

4. Ketrampilan memotivasi agar yang didampingi berani maju / Public appearance meyakinkan.

7.3. Pembina/Pemimpin (Leader)

Memiliki kemampuan Penggerak + Pendamping  ditambah hal-hal berikut ini:

1. Kepribadian: Daya ubah dari dalam (transformatif) menuju keadaan rendah hati.

2. Rohani: Kemampuan menangkap rahmat untuk tetap tinggal bersama Kristus dalam GerejaNya pada situasi tekanan, kesimpangsiuran,  maupun kesepian rohani yang akut. Mulai menjadi pesan Injil, bukan hanya penyampai pesan Injil. Menjadi tanda harapan. Berserah, semua untuk Tuhan saja. Demi makin besarnya kemuliaan Tuhan dan keselamatan jiwa-jiwa OMK (bdk. St Ignatius Loyola, ”Latihan Rohani”no 23, azas dan dasar), yang bisa diartikan demi makin besarnya  OMK yg kupimpin.

3. Intelektual: Visioner dan memiliki kebijaksanaan.

8. Penutup

Sebagai pembina OMK, kita di tingkat mana? Semoga Pembina OMK mendampingi Orang Muda Indonesia, bersemangat dan terampil menyambut estafet kepemimpinan dan pembudayaan Gereja Katolik dan bangsa Indonesia sekarang dan ke depan.

Jakarta, Februari 2012

(Penulis: Yohanes Dwi Harsanto Pr, Imam Keuskupan Agung Semarang, saat teks ini diunggah masih bertugas sebagai Sekretaris Eksekutif  Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia/KWI. Teks ini diolah ulang dari teks sama yang dimuat di Majalah ”Inspirasi” bulan Oktober 2011. Pemikiran ini diilhami oleh tantangan Dr John Manford Prior SVD, dalam makalah untuk FABC Office of Laity and Family Southeast Asia 2 Consultation Meeting on Youth: “ Youth and Asian Spirituality” Juni 2011).

Apakah Yohanes Pembaptis mempunyai keraguan bahwa Yesus adalah Sang Mesias?

3

Dalam Injil Matius, ketika Yohanes Pembaptis di penjara, maka dia menyuruh murid-muridnya bertanya kepada Kristus, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Mat 11:3). Apakah ini merupakan ungkapan kekecewaan dari Yohanes? Sama sekali tidak, karena Yohanes menyadari bahwa tugasnya telah selesai dan dia menginginkan agar para muridnya mendengar secara langsung jawaban dari Sang Mesias.

1. Yohanes Pembaptis menyadari tugasnya telah selesai

Yohanes Pembaptis adalah nabi yang begitu penting, karena dia adalah nabi yang membuka jalan bagi Sang Mesias (lihat tanya jawab ini – silakan klik). Ketika murid Yohanes Pembaptis mengatakan bahwa Yesus telah memberikan kesaksian, membaptis dan semua orang pergi kepadanya (lih. Yoh 3:26), maka Yohanes Pembaptis berkata, “Tidak ada seorangpun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari sorga. Kamu sendiri dapat memberi kesaksian, bahwa aku telah berkata: Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya. Yang empunya mempelai perempuan, ialah mempelai laki-laki; tetapi sahabat mempelai laki-laki, yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh. Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.” (Yoh 3:27-30) Dari jawaban Yohanes, kita dapat melihat bahwa dia menyadari bahwa dirinya harus semakin kecil dan Yesus harus semakin besar. Dengan kata lain, dia menyadari bahwa tugasnya telah selesai ketika mempelai laki-laki (Yesus) telah menyatakan dirinya kepada mempelai perempuan (umat Allah).

2. Yohanes Pembaptis menginginkan agar para muridnya mendengar langsung jawaban dari Sang Mesias

Kalau demikian, mengapa Yohanes menyuruh murid-muridnya untuk bertanya kepada Yesus, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Mat 11:3) Mungkin, sekilas terkesan bahwa ini adalah bentuk kekecewaan Yohanes terhadap Yesus. Bahwa Yohanes menyuruh muridnya untuk bertanya kepada Kristus adalah benar, namun tidak disebutkan bahwa itu adalah ungkapan keraguan Yohanes terhadap Yesus. Di satu sisi, kita juga dapat melihat kemungkinan yang lain. Yohanes Pembaptis menyadari bahwa kehidupannya di dunia telah mendekati akhirnya, [dalam keadaannya dipenjara oleh Herodes], sehingga dia mengkhawatirkan keadaan para murid-nya. Dengan mengutus murid-muridnya bertanya kepada Yesus, maka Yohanes Pembaptis menginginkan agar para muridnya dapat mendengar langsung kabar sukacita tentang Sang Mesias dari mulut Yesus sendiri, sehingga merekapun dapat mengikuti Yesus.

Tanggapan Gereja Katolik terhadap Kapitalisme

6

1. Definisi Kapitalisme

Kata ‘kapitalisme’ (kapital + isme) mengacu kepada sistem perekonomian di mana para individu (dan bukan pemerintah secara kolektif seperti halnya pada sistem sosialisme dan komunisme) diperbolehkan memiliki harta milik dan bisnis. Bahwa sekarang kapitalisme mungkin dapat dikonotasikan negatif, itu karena kemudian dengan sistem itu dimungkinkan adanya individu-individu yang serakah dan ingin terus melipatgandakan harta miliknya sampai menginjak pihak yang lemah, dengan mengendalikan mekanisme pasar. Tetapi jika dilihat pengertian awalnya sesungguhnya tidak otomatis negatif.

2. Apakah Gereja Katolik menentang Kapitalisme?

Nampaknya perlu didefinisikan dahulu apakah yang dimaksud dengan Kapitalisme. Sebab jika yang dimaksud adalah sistem perekonomian yang menomorsatukan keuntungan pasar dengan mengabaikan nilai- nilai etika dan moralitas -yang umum dikenal juga dengan istilah liberal kapitalisme/ neo-liberalisme- maka tentu saja Gereja Katolik menentangnya. Sedangkan kalau maksudnya adalah sistem perekonomian yang berdasarkan keuntungan yang legitim (sah) tanpa mengabaikan nilai- nilai etika dan moralitas, maka sistem tersebut dapat diterima Gereja Katolik.

3. Apakah pandangan Gereja Katolik tentang kapitalisme?

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian:

KGK 2425     Gereja telah menolak ideologi totaliter dan ateis, yang dalam waktu-waktu akhir ini bergandengan dengan “komunisme” atau dengan “sosialisme”. Di pihak lain ia juga telah menolak individualisme dan keunggulan absolut dari hukum pasar terhadap karya manusia dalam cara kerja “kapitalisme” (Bdk. Centesimus Annus/ CA 10; 13;44). Pengaturan ekonomi secara eksklusif oleh rencana sentral merusak hubungan masyarakat secara radikal; pengaturan yang semata- mata melalui hukum pasar melawan keadilan sosial, karena “ada berbagai kebutuhan manusia yang tidak mendapat tempat di pasar” (CA 34). Karena itu harus diusahakan satu pengaturan pasar yang bijaksana dan usaha-usaha perekonomian yang diarahkan kepada tata nilai yang tepat dan kepada kesejahteraan semua orang.

Dengan demikian, walaupun nampaknya kapitalisme tidak berkaitan langsung dengan ideologi (seperti dalam komunisme), namun penerapannya yang semena- mena mengandalkan mekanisme pasar tanpa prinsip keadilan, akhirnya juga dapat mengakibatkan kepincangan keadaan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Praktek kapitalisme yang sedemikian ditentang oleh Gereja Katolik.

Paus Yohanes Paulus II menjawab pertanyaan tentang apakah kapitalisme dapat disarankan oleh orang- orang Katolik, demikian:

“… Jawabnya nampaknya kompleks. Jika dengan “kapitalisme” yang dimaksud adalah sistem ekonomi yang mengenal peran  bisnis secara mendasar dan positif, [peran] pasar, hak milik individu dan tanggung jawab bagi cara- cara produksi, seperti juga kreativitas bebas manusia di dalam sektor ekonomi, maka jawabnya tentu positif [Ya], meskipun mungkin lebih tepat itu disebut sebagai “ekonomi bisnis”, “ekonomi pasar” atau “ekonomi bebas.” Tetapi jika dengan “kapitalisme yang dimaksud adalah sebuah sistem di mana kebebasan sektor ekonomi tidak dibatasi di dalam kerangka yuridis yang kuat yang menempatkannya di pelayanan terhadap kemerdekaan manusia di dalam keseluruhannya, dan yang melihatnya sebagai aspek khusus dari kemerdekaan itu yang dasarnya bersifat etis dan religius, maka jawabannya tentu adalah negatif [Tidak].” (Centesimus Annus, 42)

Jika Paus Benediktus XV mengkritik Kapitalisme, nampaknya ia mengacu kepada konsep neo-liberalisme sebagaimana disebut oleh Paus Yohanes II dalam Ecclesia in America:

“Lebih dan lebih lagi, di banyak negara di Amerika, sebuah sistem yang dikenal dengan “neo-liberalisme” mencuat; berdasarkan atas konsepsi ekonomis yang murni, sistem ini menganggap keuntungan dan hukum pasar sebagai parameter satu- satunya, dengan mengorbankan martabat dan penghormatan yang layak bagi pribadi-pribadi manusia dan bangsa-bangsa. Sering sistem ini telah menjadi pembenaran ideologis bagi sikap- sikap tertentu dan tingkah laku di dalam bidang sosial dan politik, yang mengarah kepada pengabaian anggota- anggota yang lebih lemah dalam masyarakat. Memang, kaum miskin menjadi semakin banyak jumlahnya, korban- korban kebijakan- kebijakan dan struktur tertentu yang seringkali tidak adil.” (Ecclesia in America, 56)

Paus Benediktus XVI dengan tegas menyatakan bahwa jika sistem perekonomian tidak ditopang oleh moralitas yang baik, maka terdapat kecenderungan egosime yang saling bersaing untuk mencapai keuntungan sebanyak- banyaknya. Oleh karena itu, diperlukan dasar pondasi moral bagi para pelaku pasar, sehingga diperoleh rekonsiliasi antara moralitas dan efisiensi pasar, yang tidak berorientasi semata- mara kepada keuntungan maksimum, melainkan kepada pengendalian diri (self-restraint) dan pelayanan bersama (common service). Selanjutnya tentang hal ini dapat dibaca di bukunya, Market Economy and Ethics, silakan klik.

Dalam suratnya kepada para Uskup Amerika Latin, Paus Benediktus XVI menulis bahwa baik Kapitalisme (maksudnya liberal- kapitalisme) maupun Marxisme, yang mengesampingkan nilai- nilai religius- keduanya menciptakan jenjang yang semakin lebar antara kaum miskin dan yang kaya; dan kedua sistem ini menurunkan martabat manusia. Oleh karena itu, perlu dipikirkan sebuah struktur yang adil yang dapat menggabungkan nilai- nilai politik, ekonomi dan sosial, dengan memasukkan nilai- nilai moralitas yang jika diperlukan melibatkan pengorbanan, meskipun hal ini dapat bertentangan dengan kepentingan pribadi. Demikian kutipan pernyataan Paus Benediktus XVI:

Both capitalism and Marxism promised to point out the path for the creation of just structures, and they declared that these, once established, would function by themselves; they declared that not only would they have no need of any prior individual morality, but that they would promote a communal morality. And this ideological promise has been proved false. The facts have clearly demonstrated it. The Marxist system, where it found its way into government, not only left a sad heritage of economic and ecological destruction, but also a painful oppression of souls. And we can also see the same thing happening in the West, where the distance between rich and poor is growing constantly, and giving rise to a worrying degradation of personal dignity through drugs, alcohol and deceptive illusions of happiness.

Just structures are, as I have said, an indispensable condition for a just society, but they neither arise nor function without a moral consensus in society on fundamental values, and on the need to live these values with the necessary sacrifices, even if this goes against personal interest.

Where God is absent—God with the human face of Jesus Christ—these values fail to show themselves with their full force, nor does a consensus arise concerning them. I do not mean that non-believers cannot live a lofty and exemplary morality; I am only saying that a society in which God is absent will not find the necessary consensus on moral values or the strength to live according to the model of these values, even when they are in conflict with private interests.

On the other hand, just structures must be sought and elaborated in the light of fundamental values, with the full engagement of political, economic and social reasoning. They are a question of recta ratio and they do not arise from ideologies nor from their premises. Certainly there exists a great wealth of political experience and expertise on social and economic problems that can highlight the fundamental elements of a just state and the paths that must be avoided. But in different cultural and political situations, amid constant developments in technology and changes in the historical reality of the world, adequate answers must be sought in a rational manner, and a consensus must be created—with the necessary commitments—on the structures that must be established….” (Inaugural Session of the fifth General Conference of the Bishops of Latin America and the Caribbean, Address of His Holiness Benedictus XVI, 4)

Jika kapitalisme yang dimaksud adalah sistem yang mengutamakan keuntungan/ profit semata, tak mengherankan bahwa sistem ini dapat menjadi sistem yang tergantung dari kontrol absolut para kapitalis/ pemilik modal. Dalam keadaan demikian dapat terjadi hal- hal yang negatif, seperti: 1) para kapitalis menjadi penentu segalanya (me- monopoli), dan ini dapat merusak persaingan yang bebas dan memperburuk kondisi buruh; 2) negara menjadi pelayan bagi para kapitalis/ pemilik modal, 3) kebijakan nasional dapat diarahkan untuk menguntungkan orang- orang kaya, daripada mengusahakan kebaikan bersama. Ketiga hal ini secara mendasar menentang prinsip ajaran sosial Gereja Katolik, yang menekankan keadilan bagi semua pelaku pasar, mengusahakan kebaikan/ kesejahteraan bersama, menjunjung tinggi martabat manusia dan mengutamakan perhatian kepada kaum miskin.

Selanjutnya tulisan Paus Yohanes Paulus II tentang ajaran sosial Gereja yang antara lain menyampaikan kritik terhadap praktek- praktek liberal kapitalisme, adalah: Laborem Exercens (tentang Pekerjaan Manusia), Centesimus Annus (Peringatan Seratus Tahun Ensiklik Paus Leo XIII, Rerum Novarum), Sollicitudo rei socialis (Peringatan dua puluh tahun Ensiklik Paus Paulus VI, Popularum Progressio).

Sedangkan prinsip ajaran keadilan dan kasih yang ditulis oleh Paus Benediktus XVI dalam Caritas in Veritate, yang menjadi salah satu prinsip penting dalam ajaran sosial Gereja Katolik, dapat dibaca terjemahannya di sini, silakan klik.

 

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab