Home Blog Page 179

Apa Perbedaan antara Liturgi Sabda dan Ibadat Sabda?

6

Perbedaan antara ibadat dan liturgi, sebagaimana disampaikan oleh Rm. Emanuel Martasudjita, Pr. ((lih. Rm. Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hl. 28-30)), adalah:

1. Dari segi bahasa

Dari sisi bahasa, pengertian ibadat lebih luas daripada liturgi. Ibadat mencakup tindakan ungkapan iman (doa) dan sekaligus perwujudannya dalam perbuatan kasih kepada sesama; sedangkan liturgi memang hanya merupakan tindakan untuk mengungkapkan iman. Maka liturgi berhubungan dengan doa ungkapan iman kita kepada Allah.

2. Dari segi teologis

Dari sisi ini, pengertian liturgi justru lebih luas daripada ibadat. Liturgi merupakan komunikasi dua arah sekaligus yang langsung terkait; yaitu Allah yang menguduskan dan menyelamatkan manusia (‘katabatis‘= gerakan dari Allah ke manusia) dan sekaligus manusia yang menanggapi pengudusan Allah dengan memuliakan Dia (‘anabatis‘= gerakan dari manusia ke Allah). Komunikasi ini berlangsung melalui Kristus di dalam Roh Kudus. Kedua gerakan ini merupakan dua unsur yang tidak terpisahkan yang terjadi di dalam liturgi. Sedangkan dalam ibadat, penekanan lebih terletak kepada gerakan naik dari manusia ke Allah (‘anabatis‘) saja.

3. Dari segi liturgis

Liturgi selalu merupakan tindakan komunal atau tindakan bersama, yakni perayaan seluruh Gereja, bukan tindakan perayaan pribadi (lih. Sacrosanctum Concilium, 26). Liturgi merupakan perayaan yang bersifat resmi karena di dalamnya Gereja mengungkapkan hakekat dirinya secara resmi (lih. Sacrosanctum Concilium, 2). Sedangkan pengertian ibadat masih bisa mengacu kepada tindakan pribadi, dan ibadat tidak selalu pada tingkatan resmi.
Contoh liturgi adalah liturgi sakraman-sakramen; sedangkan contoh ibadat adalah ibadat sakramentali seperti ibadat pertunangan dan bermacam ibadat berkat.

Dengan memahami pengertian ini maka dapat diketahui bahwa Liturgi Sabda berbeda maknanya dengan Ibadat Sabda, sehingga persyaratannya-pun berbeda. Liturgi Sabda yang merupakan ungkapan iman Gereja secara resmi, mensyaratkan cara pengungkapannya yang sesuai dengan Tradisi Suci Gereja, yaitu dengan membacakan bacaan Kitab Suci sesuai dengan kalender liturgis Gereja, yang disertai dengan homili oleh para tertahbis (yaitu uskup, imam atau diakon tertahbis). Sedangkan Ibadat Sabda tidak mensyaratkan ketentuan ini, sehingga dapat merupakan pembacaan perikop Kitab Suci tertentu, yang tidak harus diambil dari bacaan liturgis pada hari itu; dan dapat disertai oleh sharing iman ataupun pengajaran dari kaum awam (baik laki-laki maupuan perempuan) yang memang berkompeten untuk itu.

 

Pesan Bapa Suci Benediktus XVI untuk Masa Prapaskah 2012

3

Catatan: Berikut ini adalah terjemahan tidak resmi (unofficial  translation)  pesanBapa Suci Benediktus XVI untuk masa prapaskah 2012, yang diterjemahkan oleh katolisitas.org dari dokumen aslinya dalam Bahasa Inggris, seperti yang tertulis di sini silakan klik. Mohon agar pengutipan terjemahan ini dapat menyertakan sumbernya, yaitu: www.katolisitas.org, sehingga usulan atau masukan dapat disampaikan kepada kami.

PESAN BAPA SUCI BENEDIKTUS XVI
UNTUK MASA PRAPASKAH 2012

“Dan  marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik“ (Ibr 10:24).

Saudara dan saudari yang terkasih,

Masa Prapaskah sekali lagi memberikan kepada kita sebuah kesempatan untuk merenungkan inti terdalam dari kehidupan seorang Kristen, yaitu: perbuatan amal kasih. Ini adalah waktu yang tepat untuk memperbaharui perjalanan iman kita, baik sebagai seorang individu maupun sebagai bagian dari komunitas, dengan bimbingan Sabda Tuhan dan sakramen-sakramen Gereja. Perjalanan ini adalah perjalanan yang ditandai dengan doa dan berbagi, hening dan berpuasa, sebagai antisipasi menyambut sukacita Paskah.

Tahun ini saya ingin mengajukan beberapa pemikiran dalam terang ayat-ayat Kitab Suci yang diambil dari Surat kepada umat Ibrani: “Dan marilah kita kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik”. Kata-kata ini adalah bagian dari perikop di mana sang penulis surat yang kudus menghimbau kita untuk menaruh kepercayaan di dalam Yesus Kristus sebagai Imam Agung yang telah memenangkan pengampunan Allah bagi kita dan membuka jalan kepada Tuhan. Mengimani Kristus membuat kita mampu menghasilkan buah di dalam hidup yang ditopang oleh tiga kebaijkan teologis: hal itu berarti menghampiri Tuhan “dengan hati tulus dan penuh iman (ay.22), tetap “teguh dalam harapan yang kita nyatakan” (ay.23) dan senantiasa berusaha untuk menjalani hidup yang dibangun di atas “cinta kasih dan pekerjaan-pekerjaan baik” (ay.24), bersama dengan saudara dan saudari kita. Sang penulis surat tersebut menyatakan bahwa untuk mempertahankan hidup yang dibentuk oleh Injil, adalah penting untuk berpartisipasi secara aktif dalam liturgi dan doa bersama komunitas, dengan mengingat akan tujuan eskatologis untuk bersatu secara penuh dengan Tuhan (ay.25). Di sini saya ingin membuat refleksi atas ayat 24, yang memberikan pengajaran yang ringkas, bernilai, dan tepat di segala zaman, atas tiga aspek hidup Kristiani, yaitu: kepedulian kepada sesama, kasih timbal balik, dan kekudusan pribadi.

1. “Dan  marilah kita saling memperhatikan..” : tanggung jawab terhadap para saudara dan saudari kita.

Aspek pertama adalah sebuah undangan untuk “peduli” : kata kerja bahasa Yunani yang dipakai di sini adalah katanoein, yang artinya adalah untuk memeriksa (menyelidiki), untuk menaruh perhatian, untuk mengamati dengan seksama dan percaya akan sesuatu. Kita menjumpai kata ini di dalam Injil ketika Yesus mengundang para murid untuk “memperhatikan” burung-burung gagak, yang tanpa bekerja keras, berada di tengah perhatian dan pemeliharaan Penyelenggaraan Ilahi (bdk. Luk 12:24) dan untuk “memeriksa” balok di dalam mata kita sendiri sebelum mengeluarkan selumbar dari mata saudara kita (bdk. Luk 6:41). Di dalam ayat yang lain dari Surat kepada orang-orang Ibrani, kita menemukan ajakan untuk “mengarahkan pikiranmu kepada Yesus” (3:1), Rasul dan Imam Besar dari iman kita. Maka kata kerja yang mengantar pengajaran kita mengatakan kepada kita untuk memperhatikan sesama, pertama-tama kepada Yesus, untuk saling memperhatikan satu sama lain, dan tidak tinggal dalam keterasingan serta sikap acuh tak acuh kepada keadaan sesama kita. Namun demikian, terlalu sering sikap yang kita tunjukkan justru sebaliknya: yaitu pengabaian dan keacuhan yang lahir dari keegoisan yang disamarkan sebagai tindakan menghargai “privasi”. Saat ini pun, suara Tuhan meminta kita semua untuk saling memperhatikan satu sama lain. Bahkan hari ini, Tuhan meminta kita untuk menjadi “penjaga” saudara dan saudari kita (Kej 4:9), untuk membangun suatu relasi yang didasarkan atas kepedulian satu sama lain dan perhatian kepada kesejahteraan integral jasmani dan rohani dari sesama kita. Perintah yang utama untuk mengasihi satu sama lain menuntut kita untuk mengenali tanggung jawab kita kepada sesama yang, sebagaimana halnya kita sendiri, adalah ciptaan dan anak-anak Tuhan sendiri. Menjadi saudara dan saudari dalam kemanusiaan dan, dalam banyak hal,  juga dalam iman, selayaknya menolong kita untuk mengenali di dalam diri sesama kita, sebuah kebalikan dari diri kita (alter ego), yang dicintai tanpa batas oleh Tuhan. Jika kita menanamkan pada diri kita cara ini yang memandang sesama sebagai saudara dan saudari kita, maka solidaritas, keadilan, belas kasihan dan bela rasa akan secara alamiah berkembang di dalam hati kita. Sang Pelayan Tuhan Paus Paulus VI pernah menyatakan bahwa dunia saat ini menderita terutama karena kurangnya persaudaraan: “Kebudayaan umat manusia sedang sangat sakit. Penyebabnya bukanlah karena berkurangnya sumber-sumber daya alam, dan bukan juga karena kontrol monopoli dari segelintir orang: melainkan lebih karena melemahnya ikatan persaudaraan di antara pribadi-pribadi dan di antara bangsa-bangsa (Populorum Progressio, 66).

Kepedulian kepada sesama berkaitan juga dengan menginginkan segala yang baik untuk mereka dari setiap sudut pandang: baik fisik, moral, maupun spiritual. Budaya kontemporer nampaknya telah kehilangan naluri untuk membedakan yang baik dari yang jahat, namun disadari tetap ada suatu kebutuhan yang nyata untuk menyatakan kembali bahwa kebaikan itu ada dan akan mengatasi [yang jahat], karena Allah “baik dan berbuat baik” (Mzm 119:68). Kebaikan adalah segala sesuatu yang bersifat memberi, melindungi, dan menjunjung tinggi kehidupan, persaudaraan, dan persekututuan. Maka tanggung jawab kepada sesama berarti menginginkan dan mengusahakan kebaikan sesama, dalam harapan bahwa mereka pun menjadi mudah menerima kebaikan dan tuntutan- tuntutannya. Peduli kepada sesama berarti menjadi peka akan kebutuhan-kebutuhan mereka. Injil Suci memperingatkan kita akan bahaya bahwa hati kita dapat menjadi keras karena “ketidaksadaran spiritual”, yang membuat kita tidak peka dan mati rasa terhadap penderitaan sesama. Penulis Injil Lukas mengaitkan dua perumpaan Yesus dengan membuat contoh. Di dalam perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati, sang imam dan sang orang Lewi lewat begitu saja,  tidak peduli akan keberadaan seseorang yang dirampok dan dipukuli oleh para perampok (bdk. Luk 10:30-32). Dalam kisah perumpamaan Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin, si orang kaya tidak peduli pada kemiskinan Lazarus, yang sedang kelaparan hingga sekarat di depan pintu rumahnya yang ada di depan matanya (bdk. Luk 16:19). Kedua perumpamaan tersebut menunjukkan contoh-contoh kebalikan dari  “menjadi peduli”, yaitu sikap menaruh perhatian kepada sesama dengan penuh cinta dan belas kasihan. Apa yang menghalangi pandangan kemanusiaan dan penuh cinta kepada saudara dan saudari kita ini? Seringkali, penyebabnya adalah kepemilikan kekayaan materi dan perasaan berkecukupan akan segala sesuatu, namun bisa juga penyebabnya adalah kecenderungan untuk meletakkan segala kepentingan/ keinginan, dan masalah kita sendiri di atas semua yang lain. Kita tak pernah boleh gagal untuk “menunjukkan belas kasihan” kepada mereka yang menderita. Hati kita tak pernah boleh terlalu terbungkus rapat oleh urusan-urusan dan masalah-masalah kita sehingga hati kita tak mampu mendengar jeritan kaum miskin. Kerendahan hati dan pengalaman pribadi akan penderitaan dapat membangkitkan dalam diri kita, suatu naluri belas kasihan dan empati. “Orang benar mengetahui hak orang lemah, tetapi orang fasik tidak memahaminya” (Ams 29:7). Kita kemudian dapat memahami sikap dari “mereka yang meratap” (Mat 5:5), mereka yang mampu melihat melampaui diri sendiri dan merasakan belas kasihan terhadap penderitaan orang lain. Menjangkau orang lain dan membuka hati kita kepada kebutuhan-kebutuhan mereka dapat menjadi sebuah kesempatan bagi  keselamatan dan keadaan terberkati.

“Menjadi peduli satu sama lain” juga mengikutsertakan sikap menaruh perhatian pada kesejahteraan jasmani dan rohani satu sama lain. Di sini saya ingin menyebutkan sebuah aspek hidup Kristiani, yang saya percaya telah cukup terlupakan selama ini: koreksi persaudaraan dalam pandangan keselamatan abadi. Dewasa ini, secara umum, kita menjadi sangat peka kepada gagasan perbuatan amal kasih dan kepedulian kepada kesejahteraan fisik dan materi dari sesama, namun hampir sepenuhnya diam mengenai tanggung jawab spiritual kita kepada saudara dan saudari kita. Hal ini tidak menjadi persoalan di dalam jemaat Gereja perdana atau di dalam komunitas yang telah sangat dewasa dalam iman, [yaitu] mereka yang peduli tidak hanya terhadap kesehatan fisik sesama mereka, tetapi juga terhadap kesehatan spiritual dan kehidupan kekal mereka. Kitab Suci berkata kepada kita: “Janganlah mengecam seorang pencemooh, supaya engkau jangan dibencinya, kecamlah orang bijak, maka engkau akan dikasihinya” (Ams 9:8). Kristus sendiri memerintahkan kita untuk menasehati saudara kita yang berbuat dosa (bdk. Mat 18:15). Kata yang dipergunakan untuk mengekpresikan koreksi persaudaraan – elenchein – adalah sama seperti yang biasa digunakan untuk menunjukkan misi kenabian dari orang-orang Kristen untuk menentang generasi yang mengikuti kejahatan (bdk. Ef 5:11). Tradisi Gereja juga memasukkan “memberi nasehat kepada para pendosa” di antara karya-karya karitatif rohani (belas kasihan secara rohani). Adalah penting untuk mengembalikan dimensi ini dari perbuatan amal kasih Kristiani. Kita tidak boleh tinggal diam dalam menghadapi kejahatan. Saya berpikir tentang semua umat Kristen itu yang,  karena pertimbangan manusiawi atau semata-mata karena pertimbangan kenyamanan pribadi, memilih berkompromi dengan mentalitas yang umum, daripada mengingatkan saudara dan saudarinya terhadap cara berpikir dan bertindak yang bertentangan dengan kebenaran dan yang tidak mengikuti jalan kebaikan. Menasehati secara Kristiani, tidak pernah dimotivasi oleh semangat menuduh atau menuntut balas, melainkan selalu digerakkan oleh cinta dan belas kasihan, dan tumbuh dari kepedulian yang tulus, demi kebaikan orang lain. Sebagaimana Rasul Paulus mengatakan:”Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.” (Gal 6:1). Di dalam dunia yang diliputi oleh semangat individualisme, adalah esensial untuk menemukan kembali pentingnya koreksi persaudaraan, sehingga bersama-sama kita dapat berjalan menuju kekudusan. Kitab Suci mengatakan pada kita bahwa  bahkan “tujuh kali orang benar jatuh” (Ams 24:16); semua dari kita adalah lemah dan tak sempurna (bdk. 1 Yoh 1:8). Maka, adalah suatu bentuk pelayanan yang amat berarti, untuk membantu sesama kita, dan mengizinkan mereka membantu kita, sehingga kita dapat terbuka terhadap seluruh kebenaran mengenai diri kita, memperbaiki diri kita dan berjalan dengan lebih setia di jalan Tuhan. Selalu akan ada kebutuhan terhadap sebuah pandangan yang penuh kasih dan mengingatkan, yang mengetahui dan memahami, yang membedakan secara bijak dan mengampuni (bdk. Luk 22:61), sebagaimana yang Tuhan telah kerjakan dan masih akan terus mengerjakannya di dalam diri kita masing- masing.

2. “Saling memperhatikan satu sama lain”: sebuah karunia kasih timbal balik”

Panggilan untuk “menjaga” sesama kita adalah berkebalikan dengan mentalitas yang, dengan mengurangi nilai hidup hanya kepada dimensi duniawinya saja, gagal untuk melihatnya dalam perspektif eskatologis dan menerima sembarang pilihan moral apapun atas nama kebebasan pribadi. Masyarakat seperti masyarakat kita dapat menjadi buta terhadap penderitaan fisik dan tuntutan spiritual dan moral kehidupan. Hal ini tak boleh terjadi dalam komunitas Kristiani! Rasul Paulus mendorong kita untuk mengejar “apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun” (Rom 14:19) demi kebaikan sesama, “untuk mendukung satu sama lain” (Rom 15:2), mencari bukan keuntungan pribadi melainkan lebih kepada “kebaikan setiap orang yang lain, sehingga mereka dapat diselamatkan” (1Kor 10:33). Koreksi yang saling membangun, dukungan dalam semangat kerendahan hati, dan perbuatan amal kasih harus menjadi bagian dari kehidupan komunitas Kristiani.

Murid-murid Tuhan, dipersatukan dengan Dia melalui Ekaristi, hidup dalam persaudaraan yang menyatukan mereka satu dengan yang lain sebagai anggota-anggota dari satu tubuh. Hal ini berarti bahwa sesama adalah bagian dari diriku, dan bahwa hidupnya, keselamatannya, berkaitan dengan hidup dan keselamatanku sendiri. Di sini kita menyentuh aspek yang mendasar dari persekutuan: keberadaan kita berkaitan erat dengan keberadaan orang lain, baik dalam suka maupun duka. Baik dosa-dosa kita maupun perbuatan-perbuatan kasih kita, sama-sama mempunyai dimensi sosial. Hubungan kasih timbal balik ini nampak di dalam Gereja, tubuh mistik Kristus: komunitas tersebut senantiasa melakukan pertobatan, dan memohon pengampunan atas dosa-dosa anggotanya, namun juga tak pernah gagal untuk bersukacita dalam teladan-teladan kebajikan dan perbuatan amal kasih yang hadir di tengah-tengahnya. Sebagaimana St. Paulus berkata: “supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan (1 Kor 12:25), sebab kita semua adalah anggota dari satu tubuh. Perbuatan amal kasih kepada saudara dan saudari kita – sebagaimana dinyatakan dalam pemberian derma, sebuah perbuatan yang diiringi dengan doa dan puasa, adalah perbuatan yang menjadi ciri khas masa Prapaskah – berakar dari kepemilikan bersama. Umat Kristiani juga dapat menyatakan keanggotaannya di dalam satu tubuh yang adalah Gereja melalui kepedulian yang konkrit bagi mereka yang paling miskin dari yang miskin. Kepedulian kepada satu sama lain juga berarti mengakui kebaikan yang sedang dikerjakan Tuhan dalam diri sesama dan menaikkan ucapan syukur atas keajaiban rahmat di mana Allah Yang Maha Besar di dalam segala kebaikan-Nya terus menerus menggenapinya di dalam diri anak-anak-Nya. Ketika umat Kristen memandang bahwa Roh Kudus sedang terus bekerja di dalam diri sesama, mereka tidak dapat berbuat yang lain selain bersukacita dan memuliakan Allah Bapa di surga (bdk. Mat 5:16).

3. “Supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik”: berjalan bersama dalam kekudusan.

Kata-kata dari Surat kepada orang Ibrani ini (10:24) mendorong kita untuk merefleksikan panggilan universal kepada kekudusan, sebuah perjalanan yang terus menerus dari kehidupan spiritual sebagaimana kita mengusahakan untuk memperoleh karunia-karunia spiritual yang lebih utama dan kepada perbuatan amal kasih yang lebih bermakna dan berhasil guna (bdk. 1 Kor 12:31-13:13). Menjadi peduli satu sama lain selayaknya menggerakkan kita kepada kasih yang bertambah dan lebih efektif di mana, “seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari” (Ams 4:18), membuat kita hidup setiap hari sebagai antisipasi akan datangnya hidup kekal yang menantikan kita di dalam Tuhan. Waktu yang dikaruniakan kepada kita dalam hidup ini adalah berharga untuk menilai secara bijaksana dan menampilkan perbuatan-perbuatan yang baik dalam cinta kasih kepada Tuhan. Dengan cara ini, Gereja sendiri senantiasa tumbuh kepada kedewasaan penuh di dalam Kristus (bdk. Ef 4:13). Ajakan kita untuk mendorong satu sama lain untuk meraih kepenuhan cinta dan perbuatan baik berada di dalam prospek pertumbuhan yang dinamis ini.

Sayangnya, senantiasa ada godaan untuk menjadi suam-suam kuku, untuk memadamkan Roh, untuk menolak menanamkan berbagai talenta yang telah kita terima, demi kebaikan kita sendiri dan kebaikan sesama kita (lih. Mat 25:25–). Semua dari kita telah menerima kekayaan spiritual atau material yang dimaksudkan untuk digunakan bagi kepenuhan rencana Allah, demi kebaikan Gereja dan demi keselamatan kita sendiri (bdk. Luk 12:21b; 1 Tim 6:18). Pakar-pakar rohani mengingatkan kita, bahwa dalam kehidupan beriman, mereka yang tidak bertumbuh akan dengan sendirinya mengalami kemunduran. Saudara dan saudari yang terkasih, marilah kita menerima undangan ini, hari ini, seperti tak ada waktu lain yang lebih baik, untuk menuju ke “standar yang tinggi dari kehidupan Kristiani” (Novo Millennio Ineunte, 31). Kebijaksanaan Gereja dalam mengenali dan memproklamasikan orang-orang Kristen tertentu yang luar biasa sebagai Yang Terberkati dan para Santo/a juga dimaksudkan untuk menginspirasi sesama agar mencontoh kebajikan mereka. Santo Paulus menghimbau kita untuk “saling mendahului dalam memberi hormat” (Rom 12:10).

Dalam dunia yang menuntut dari umat Kristen sebuah kesaksian yang diperbaharui akan cinta dan kesetiaan kepada Tuhan, kiranya kita semua merasakan kebutuhan yang mendesak untuk saling mendahului dalam berbuat amal kasih, pelayanan dan pekerjaan-pekerjaan baik (bdk. Ibr 6:10). Permohonan ini terutama ditekankan dalam bulan yang suci ini sebagai persiapan Paskah. Sebagaimana saya menaikkan harapan-harapan yang baik dalam doa-doa saya demi masa Prapaskah yang penuh berkat dan menghasilkan banyak buah, saya mempercayakan Anda semua dalam perantaraan doa Bunda Maria Tetap Perawan dan dengan penuh kehangatan saya memberikan Berkat Apostolik saya.

Dari Vatikan, 3 November 2011
Bapa Paus Benediktus XVI

Takdir dan pencobaan dari Tuhan?

20

1. Tentang takdir

Tuhan telah mengetahui segala sesuatu sejak awal mula dunia, akan apa yang akan kita alami dalam hidup kita masing-masing (termasuk pekerjaan dan pasangan hidup, dll). Hal ini disebabkan karena Tuhan tidak dibatasi oleh waktu, jadi bagi Allah tidak ada waktu dulu dan waktu yang akan datang; semua hadir di hadapanNya sebagai “saat ini“. Kedua, Allah mengetahui segala sesuatu karena segala sesuatu terjadi atas izin Tuhan. Tuhan yang mendukung segala sesuatu, memberi hidup dan keberadaan pada setiap orang. Jadi Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tahu mengetahui segala sesuatu yang akan kita putuskan sesuai dengan kehendak bebas kita; namun ini tidak berarti bahwa Ia mentakdirkan kita akan segala sesuatu, sehingga kita seperti boneka/wayang saja. PengetahuanNya akan keputusan kehendak bebas kita bukan berarti Allah mengharuskan kita melakukan sesuatu yang sudah digariskan. Ibaratnya, seperti kitapun dapat melihat bagaimana orang lain memutuskan sesuatu, namun tidak memaksa mereka untuk melakukan hal yang tertentu; demikian pula Tuhan pada kita.

Kita adalah manusia yang bebas sebab kita punya akal budi dan keinginan bebas. Akal budi kita dapat meneliti banyak pilihan dan kita bebas untuk memilih apa yang kita pikir terbaik pada suatu saat tertentu. Tuhan telah mengetahui sejak awal mula siapa yang menjadi pasangan kita, apa yang menjadi pekerjaan kita, dst. Tetapi Dia tidak mengharuskan kita untuk memilih/ berbuat demikian. Kita bebas memilih pasangan hidup kita dan pekerjaan kita, namun tentu kita harus berdoa agar dapat mengetahui apa yang menjadi rencana Tuhan bagi kita di dalam hal- hal tersebut. Untuk itulah maka sebelum membuat keputusan-keputusan penting di dalam hidup, kita dapat mengikuti retret, seperti yang dianjurkan oleh St. Ignatius dari Loyola.

Rencana Tuhan yang abadi bagi kita adalah agar kita menjadi kudus. Rencana ini berbeda dan tentu saja lebih kaya dari pada rencana kita sebagai manusia; sebab rencana ini melibatkan kehendak bebas kita, apakah kita mau bekerja sama dengan menerima rahmat-Nya, ataukah kita menolak rahmat tersebut, yang ditawarkan pada kita berkali-kali di dalam hidup kita. Jadi, pada setiap saat, ada rencana Tuhan yang baik yang ditawarkan pada kita. Meskipun demikian, kita dapat terus menolak rencana Allah itu, dengan menolak untuk bekerja sama dengan rahmat-Nya. Tapi, kabar baiknya adalah: meskipun kita menolak rencana-Nya pada suatu saat dalam kehidupan kita, misalnya dengan menolak panggilan hidup sebagai biarawan/ biarawati, ini tidak berarti bahwa kita menghancurkan seluruh rencana Tuhan; sebab adalah rencana-Nya juga untuk melibatkan pengalaman kesalahan/ kegagalan kita di masa silam untuk mendatangkan kebaikan bagi kita, asal kemudian kita bekerja sama dengan Dia. Karena itu kita berdoa, agar kita dapat mengetahui rencana-Nya, sehingga kita dapat menanggapinya dengan lebih baik. Lebih lanjut tentang penjelasan ini silakan baca artikel : Apakah Berdoa itu Percuma, bagian ke-2.

2. Apakah Tuhan mencobai manusia?

Mengenai apakah Tuhan mencobai kita, kita melihat pada Kitab Suci. Pada satu sisi kita percaya bahwa Tuhan tidak mencobai kita (Yak 1:13), namun pada sisi lain kita dapat melihat bahwa Tuhan memang menguji kita (seperti pada kasus Abraham dan Musa). Namun, Tuhan tidak pernah mencobai atau lebih tepatnya menguji kita agar kita terjatuh (seperti setan mencobai kita), tetapi hanya untuk memberikan pada kita sesuatu yang lebih baik, untuk maksud membuat kita lebih kudus, melalui kesetiaan kita dalam menghadapi ujian tersebut. Dalam hal ini kita melihat bahwa seluruh hidup kita terdiri dari banyak ujian dan jika kita setia dalam iman, maka kita beroleh hidup yang kekal seperti yang dijanjikan-Nya.

Jadi, Tuhan memperbolehkan cobaan terjadi dalam hidup kita untuk alasan yang lebih baik: untuk pertobatan dan pengudusan. Sebaliknya, setan mencobai kita sehingga kita berdosa dan mengarahkan diri ke neraka. Kecenderungan kita berbuat dosa (concupiscence) dan nafsu yang tidak terarah juga mencobai kita, sebagai akibat dari dosa asal, yang mendorong kita mencari kesenangan yang semu dan berlebihan dari yang seharusnya. Kesombongan kita mencobai kita untuk mencari kemuliaan sendiri daripada kemuliaan Tuhan.
Jadi di sini kita melihat bahwa Tuhan tidak mencobai kita dengan cara yang sama seperti setan. Namun ada kalanya Tuhan mengizinkan cobaan terjadi di dalam hidup kita untuk mendatangkan sesuatu yang lebih baik dan memberikan kepada kita kesempatan untuk menunjukkan kasih kita kepada-Nya lewat kesetiaan iman kita dalam menghadapi cobaan tersebut.

Ingatlah ayat Roma 8:28: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia”

‘Segala sesuatu’ di sini termasuk pekerjaan, pasangan hidup, tetapi juga kegagalan, pencobaan, dst. Pertanyaannya adalah: apakah kita sudah mengasihi Dia? Sebab jika kita mengasihi Dia maka ayat ini adalah janji Tuhan yang pasti akan dipenuhi-Nya di dalam kita.

Allah Pencipta Langit dan Bumi

20

Tuhan menciptakan segala sesuatu karena kasih dan dari sesuatu yang tidak ada. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan untuk bersatu dengan-Nya, untuk berpartisipasi dalam kasih ilahi-Nya.

I. Dasar Kitab Suci:

  • Kej 1:1-31– Pada awal mula Tuhan menciptakan segala sesuatu dan semuanya baik.
  • Ayb 38:4-39:30– Tuhan yang dalam kemahakuasaannya menciptakan dan mengetahui segala sesuatu, adalah Pencipta semua mahluk, yang menopang dan memelihara semuanya.
  • Mzm 148– Seluruh ciptaan harus memuji Tuhan Sang Pencipta.
  • Keb 11:24-26– Tuhan menciptakan semuanya, mengasihi ciptaan-Nya dan menghendaki agar ciptaannya tetap bertahan.
  • Yer 27:5– Tuhan di dalam kekuatan-Nya menciptakan bumi dan segala isinya.
  • 2Mak 7:20-23– Tuhan adalah asal usul segala sesuatu; Ia memberi hidup dan nafas pada setiap manusia.
  • Kis 17:22-28– Pencipta kita Mahakuasa mengatasi semua, tetapi juga memelihara dan hadir di dalam hati manusia.
  • Ibr 1:1-3– Dunia diciptakan melalui Putera Allah, yang menopang seluruh alam semesta.
  • Why 21:1-5– Penglihatan akan suatu langit dan bumi yang baru.

II. Dasar dari Katekismus Gereja Katolik:

  • KGK 279, 290: Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi (Kej 1:1).
  • KGK 280-281, 315: Penciptaan adalah awal sejarah keselamatan, sebagaimana direnungkan dalam liturgi Paska.
  • KGK 282-285: Katekese tentang penciptaan menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar manusia tentang asal usul dan tujuan manusia.
  • KGK 286: Adanya seorang Pencipta dapat diketahui dari karya- karya-Nya, berkat akal budi manusia.
  • KGK 290-292, 316: Allah menciptakan segala sesuatu oleh Sang Sabda yang adalah Putera-Nya, dan segalanya dihidupkan oleh Roh Kudus (Penciptaan= karya Trinitas)
  • KGK 293-294, 319: “Dunia diciptakan demi kemuliaan Allah”
  • KGK 295-301, 317-320: Tentang misteri Penciptaan
  • KGK 302-305, 321,322:  Tentang Penyelenggaraan ilahi
  • KGK 306-308, 323: Allah memberi manusia kemungkinan untuk mengambil bagian dalam penyelenggaraan-Nya
  • KGK 309-314, 324: Allah menciptakan satu dunia yang berada “di jalan” menuju kesempurnaan.
  • KGK 328-336: Penciptaan malaikat
  • KGK 337-349: Dunia yang kelihatan
  • KGK 355-379: Manusia yang diciptakan menurut gambaran Allah

III. Dasar dari Bapa Gereja:

  • St. Klemens dari Roma (wafat tahun 98)
    “Dengan Sabda kebesaran-Nya Ia telah menciptakan segala sesuatu; dan dengan satu perkataan-Nya Ia dapat melenyapkan semua itu.”(St. Klemens, Letter to the Corinthians, Ch. 27:4)
  • St. Irenaeus (abad ke-2)
    “Sementara manusia, memang tidak dapat menciptakan apapun dari ketidak-adaan, tetapi hanya dari sesuatu yang sudah ada, namun Tuhan … adalah sangat mengatasi manusia, bahwa Ia sendiri dapat menciptakan hakekat ciptaan-Nya, ketika sebelumnya itu tidak ada.” (St. Irenaeus, Against Heresies, Bk 2, Ch.10).
  • St. Yustinus Martir (100-165)
    “Tetapi, yang benar, [Tuhan] telah memanggil tubuh kepada kebangkitan, dan menjanjikan kehidupan kekal kepadanya. Sebab ketika Ia berjanji untuk menyelamatkan manusia, di sana Ia memberikan janji kepada tubuh [akan kebangkitan]. Sebab apakah manusia selain daripada mahluk berakal budi yang terdiri dari tubuh dan jiwa? Apakah jiwa dengan sendirinya adalah manusia? Tidak; tetapi jiwa manusia. Apakah tubuh dikatakan adalah manusia? Tidak, tetapi itu disebut tubuh manusia. Jika baik tubuh maupun jiwa, dari dirinya sendiri tidak disebut manusia, tetapi apa yang terbentuk dari keduanya baru disebut manusia, dan Tuhan telah memanggil manusia menuju kehidupan dan kebangkitan. Ia telah memanggil bukan sebagian tetapi keseluruhan, yaitu jiwa dan tubuh.” (St. Justin Martyr, Fragments of the Lost Work on the Resurrection, Ch. 8)
  • St. Theofilus dari Antiokhia (120-185)
    “Jika Tuhan mencipta dunia dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya, apakah yang istimewa dalam hal itu? Seorang seniman dapat membuat sesuatu dari bahan yang ada sesuai kehendaknya, tetapi Tuhan menunjukkan kuasa-Nya dengan memulai sesuatu dari ketidakadaan untuk membuat apa yang dikehendaki-Nya.” (St. Theophilus of Antioch, Ad Autolycum II, 4: PG 6, 152)
  • St. Agustinus (354-430)
    “Dan dengan perkataan, “Tuhan melihat semuanya itu baik” (Kej 1:10), adalah cukup untuk diartikan bahwa Tuhan menciptakan apa yang diciptakan bukan atas keharusan, ataupun demi memenuhi suatu kebutuhan, tetapi murni dari kebaikan-Nya sendiri, yaitu, karena itu adalah baik.” (St. Augustine, The City of God, Bk 11, Ch.24)
  • St. Leo Agung (391- 461)
    “Jika… kita memahami dengan setia dan dengan bijaksana, awal penciptaan kita, kita akan menemukan bahwa manusia diciptakan menurut gambaran Allah, sampai akhir agar ia dapat meniru Penciptanya, dan agar kita manusia mencapai martabat kodrati yang tertinggi, dengan mencerminkan bentuk kebaikan Ilahi, seperti di dalam cermin. Dan yakinlah bahwa ke arah ini, setiap hari rahmat Sang Penyelamat senantiasa memperbaharui kita, sejauh bahwa yang telah jatuh di dalam Adam, dibangkitkan kembali di dalam Adam yang kedua [yaitu Kristus].” (St. Leo Agung, Sermons, No. 12:1)
  • St. Yohanes Damaskus (645-749)
    “Ia [Allah] sendiri adalah Pembuat dan Pencipta para malaikat: sebab Ia menciptakan mereka dari ketidakadaan dan menciptakan mereka menurut gambaran-Nya, sebagai ras yang tidak fana, semacam roh atau nyala api yang tidak merupakan api material: di dalam perkataan Daud, “… [Tuhan] yang membuat..api yang menyala sebagai pelayan- pelayan-Mu.” (Mzm 104:4) (St. John Damascus, Exposition of the Orthodox Faith, Bk 2, Ch.3.

IV. Pendahuluan

Setelah kita membahas tentang Pencipta di beberapa pertemuan sebelumnya, baik dari hakekat-Nya, kehidupan di dalam Diri-Nya, dan bagaimana Ia mewahyukan diri-Nya kepada kita, maka sekarang kita akan membahas tentang ciptaan, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Penciptaan adalah awal dari sejarah keselamatan Allah, yang mencapai puncaknya di dalam Kristus. Kristus sendiri menyingkapkan tujuan awal dari penciptaan dan bagaimana Kristus menata kembali seluruh karya ciptaan, agar dapat kembali seperti yang direncanakan oleh Allah, sehingga akhirnya Kristus akan “menjadi semua di dalam semua” (1Kor 15:28).

Dengan mengenal penciptaan, maka kita akan dapat menjawab pertanyan-pertanyaan tentang mengapa kita diciptakan, tujuan dari keberadaan kita, dari mana kita berasal, hubungan manusia dengan ciptaan yang lain. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut menentukan bagaimana kita hidup, cara kita menjalankan hidup, sehingga menentukan apakah kita akan sampai ke tempat tujuan akhir atau tidak (lih. KGK, 282).

V. Penciptaan adalah karya Allah Tritunggal Maha Kudus

“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”, artinya adalah: 1) Allah yang kekal memberi awal mula pada segala sesuatu; 2) Tuhan sendiri adalah Sang Pencipta; 3) semua ciptaan tergantung pada Allah yang menciptakannya. (lih KGK 290)

Kitab Suci mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan menciptakan semuanya oleh Firman-Nya (lih. Yoh 1:1-3), yaitu Putera-Nya (Kol 1:16-17). Gereja juga mengakui bahwa penciptaan juga adalah karya Roh Kudus, “pemberi kehidupan” (lih. KGK 291).

Kitab Suci menyatakan bahwa karya penciptaan Allah Putera dan Roh Kudus tidak terpisahkan dari karya Bapa… Penciptaan adalah karya bersama Allah Trinitas (lih. KGK 292)

VI. Tujuan Penciptaan

1. Tuhan tidak membutuhkan apapun dan siapapun, namun Dia mencipta karena kebijaksaan-Nya.

Tuhan adalah sempurna dan bahagia secara absolut, yang berarti Dia tidak membutuhkan apapun dan siapapun untuk membuat-Nya bahagia. Inilah sebabnya, tiga Pribadi dalam satu hakekat menjadi sungguh fitting, karena kebahagiaan hanya mungkin kalau seseorang mengasihi atau memberikan dirinya. Karena Tuhan berbahagia di dalam diri-Nya, maka sebenarnya Tuhan tidak pernah kesepian tanpa adanya ciptaan, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dengan demikian, penciptaan adalah karya dari Tritunggal Maha Kudus (lih. KGK, 290-292), yang dilakukan secara bebas tanpa paksaan dan di dalam kebijaksaan-Nya, Tuhan memandang baik.

2. Penciptaan sebagai wujud kasih dan menyalurkan kebaikan Tuhan untuk menyatakan kemuliaan Allah.

Kalau memang Tuhan tidak memerlukan makhluk ciptaan, mengapa Tuhan menciptakan langit dan bumi, menciptakan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan? St. Thomas Aquinas memberikan prinsip “Bonum Diffusivum Sui” atau the good is diffusive in itself atau kebaikan adalah menyebar. Kalau Tuhan adalah kasih dan kebaikan itu sendiri, maka menjadi kodrat dari kebaikan dan kasih untuk semakin dibagikan. Kebaikan Tuhan terjadi secara sempurna, kekal di dalam kehidupan interior Tritunggal Maha Kudus. Secara terbatas, kebaikan ini diwujudkan dalam ciptaan atau kebaikan yang dinyatakan di luar diri Tuhan. Kebaikan Tuhan dinyatakan dengan menciptakan makhluk, baik yang paling rendah sampai yang paling tinggi, yaitu dari benda ciptaan, makhluk hidup yang tidak berakal budi – seperti tumbuhan dan binatang, makhuk hidup yang berakal budi – seperti manusia sampai malaikat.

Kita melihat Tuhan ingin menyampaikan kebaikannya kepada makhluk ciptaan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Dengan kata lain, Tuhan membagikan kebaikannya kepada mahluk-makhluk ciptaan yang mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Tingkatan ini tidak hanya dalam perbedaan spesies atau kelompok, namun juga terdapat tingkatan dalam satu kelompok. Tingkatan ini dilihat dari kodrat kelompok tersebut dalam kaitannya dengan tujuan akhir. Sebagai contoh, ada tingkatan di dalam manusia, sehingga di dalam Sorga, manusia juga akan menempati tingkatan yang berbeda-beda. Tingkatan ini juga terjadi di dalam kelompok malaikat.

Katekismus Gereja Katolik, 293-294 menuliskan hal ini dengan begitu indahnya.

KGK, 293. Kitab Suci dan tradisi selalu mengajar dan memuji kebenaran pokok: “Dunia diciptakan demi kemuliaan Allah” (Konsili Vatikan I: DS 3025). Sebagaimana santo Bonaventura jelaskan, Tuhan menciptakan segala sesuatu “bukan untuk menambah kemuliaan-Nya melainkan untuk mewartakan dan menyampaikan kemuliaan-Nya” (sent. 2,1,2,2, 1). Tuhan tidak mempunyai alasan lain untuk mencipta selain cinta-Nya dan kebaikan-Nya: “Makhluk ciptaan keluar dari tangan Allah yang dibuka dengan kunci cinta” (Tomas Aqu. sent.2, prol.). Dan Konsili Vatikan I menjelaskan:

“Satu-satunya Allah yang benar ini telah mencipta dalam kebaikan-Nya dan ‘kekuatan-Nya yang maha kuasa’ – bukan untuk menambah kebahagiaan-Nya, juga bukan untuk mendapatkan [kesempurnaan], melainkan untuk mewahyukan kesempurnaan-Nya melalui segala sesuatu yang Ia berikan kepada makhluk ciptaan – karena keputusan yang sepenuhnya bebas, menciptakan sejak awal waktu dari ketidak-adaan sekaligus kedua ciptaan, yang rohani dan yang jasmani” (DS 3002).

KGK, 294. Adalah kemuliaan Allah bahwa kebaikan-Nya menunjukkan diri dan menyampaikan diri. Untuk itulah dunia ini diciptakan. “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia” (Ef 1:5-6). “Karena kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup; tetapi kehidupan manusia adalah memandang Allah. Apabila wahyu Allah melalui ciptaan sudah sanggup memberi kehidupan kepada semua orang yang hidup di bumi, betapa lebih lagi pernyataan Bapa melalui Sabda harus memberikan kehidupan kepada mereka yang memandang Allah” (Ireneus, haer. 4,20,7). Tujuan akhir ciptaan ialah bahwa Allah “Pencipta akhirnya menjadi ‘semua di dalam semua’ (1 Kor 15:28) dengan mengerjakan kemuliaan-Nya dan sekaligus kebahagiaan kita” (Ad Gentes, 2).

Dari teks KGK di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Tuhan menciptakan seluruh ciptaan untuk menyatakan kemuliaan-Nya, sehingga akhirnya seluruh ciptaan yang berakal budi dapat menikmati kebahagiaan bersama-Nya, Sang Tritunggal Maha Kudus.

VII. Apa yang diciptakan oleh Tuhan?

1. Pada mulanya, Tuhan menciptakan alam spiritual/ rohani dan material.

Pada awal mula sebelum ada segala sesuatu, hanya ada Tuhan. Waktu dimulai dengan adanya bumi dan tata surya, sehingga sebelum penciptaan bumi dan tata surya, belum ada waktu. Kitab Kejadian mengatakan bahwa pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan bumi (Kej 1:1). Langit di sini adalah tempat kediaman para malaikat dan para kudus-Nya, sehingga perkataan, “Tuhan menciptakan langit,” dimaksudkan agar manusia ingat akan tujuan akhirnya. Dunia spiritual terdiri dari para malaikat dan surga di mana mereka tinggal. Sedangkan dunia material disebut bumi, sebab bumi adalah bagian yang terpenting dari dunia material.

2. Dunia material pada mulanya tidak berbentuk, tanpa penghuni dan tanpa terang.

Tuhan mencipta elemen-elemen material, yang olehnya dunia dibentuk (lih. Kej 1:1-2).

3. Tuhan menjadikan alam material menjadi seperti sekarang ini dalam enam hari.

Hari pertama, Ia menciptakan terang; hari kedua, cakrawala; hari ketiga, daratan dan tumbuh-tumbuhan; hari keempat, matahari, bulan dan bintang-bintang; hari kelima, segala ikan dan burung-burung di udara; hari ke-enam, binatang dan akhirnya, manusia. (lih. Kej 1,2)

4. Tuhan menciptakan hari Sabat

Hari Sabat, hari ketujuh, merupakan akhir pekerjaan Allah. Tuhan beristirahat pada hari ini, memberkati dan menguduskannya (lih. Kej 1:31). Maka Penciptaan diadakan dengan pandangan ke hari Sabat, yaitu kepada pujian dan penyembahan kepada Tuhan (lih. KGK 345-348). Namun bagi kita, hari yang baru telah datang: hari yang kedelapan, yaitu hari Kebangkitan Kristus. Hari ketujuh menyelesaikan Penciptaan yang pertama; hari kedelapan memulai Penciptaan yang baru. Penciptaan yang pertama memperoleh maknanya dan puncaknya di dalam Penciptaan yang baru di dalam Kristus (lih. KGK 349).

VIII. Bagaimana Tuhan menciptakannya?

1. Allah mencipta dengan Sabda-Nya (Firman-Nya)

Tuhan bersabda, maka semuanya terjadi. Ia tidak perlu berbicara, sebab yang diperlukan adalah Ia menginginkannya, dan apa yang dikehendakinya terjadi. Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama- sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah… Segala sesuatu dijadikan oleh Dia [Firman]…. (Yoh 1:1-3). Allah, “..menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada.” (Rom 4:17)

2. Penciptaan bukanlah kebetulan namun dari kebijaksanaan dan cinta Tuhan

Segala alam raya dan yang hidup di dalamnya bukan terjadi secara kebetulan atau takdir yang buta, melainkan diciptakan berdasarkan kebijaksanaan Tuhan (lih. KGK 295, Keb 9:9, Mzm 104:24). Tuhan yang mencipta seturut kehendak bebas-Nya, ingin agar ciptaan-Nya mengambil bagian di dalam keberadaan-Nya, kebijaksanaan-Nya dan kebaikan-Nya (lih. Why 4:11). “Tuhan itu baik kepada semua orang, penuh belas kasihan kepada segala yang dijadikan-Nya” (Mzm 145:9). Tuhan mencipta, sebab Ia menghendaki agar ciptaan-Nya berbahagia!

3. Allah menciptakan dari ketidakadaan

Makhluk ciptaan hanya dapat menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada. Namun, Tuhan yang maha kuasa dapat menciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang sudah ada ataupun bantuan apapun agar dapat mencipta. Juga ciptaan bukan semacam pancaran yang terjadi dengan sendirinya dari hakekat Allah (lih. KGK 296).

Kitab Suci mencatat hal tentang penciptaan dari ketidak-adaan ini dalam kitab ke-dua dari Makabe: “Aku tidak tahu bagaimana kamu muncul dalam kandunganku. Bukan akulah yang memberi kepadamu napas dan hidup atau menyusun bagian-bagian pada badanmu masing-masing. Melainkan Pencipta alam semestalah yang membentuk kelahiran manusia dan merencanakan kejadian segala sesuatunya. Tuhan akan memberikan kembali roh hidup kepadamu, justru oleh karena kamu kini memandang dirimu bukan apa-apa demi hukum-hukum-Nya… Aku mendesak, ya anakku, lihatlah ke langit dan ke bumi dan kepada segala sesuatu yang kelihatan di dalamnya. Ketahuilah bahwa Allah tidak menjadikan kesemuanya itu dari barang yang sudah ada. Demikianlah bangsa manusia dijadikan juga…” (2 Mak 7:22-23,28).

Karena Tuhan dapat menciptakan segalanya dari ketidak-adaan, maka Ia dapat juga, melalui Roh Kudus, memberikan kehidupan rohani kepada para pendosa dan menciptakan hati yang murni di dalam diri mereka; dan memberikan kehidupan jasmani kepada orang- orang yang telah wafat melalui Kebangkitan badan. Allah, “menghidupkan orang mati dan menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada.” (Rom 4:17). Dan karena Tuhan dapat membuat terang bersinar dalam kegelapan dengan Firman-Nya, maka Ia juga dapat memberikan terang iman kepada mereka yang belum mengenal Dia.” (Kej 1:3; 2 Kor 4:6, KGK 298)

4. Allah menciptakan segala sesuatunya dengan baik dan teratur

“Akan tetapi segala-galanya telah Kauatur menurut ukuran, jumlah dan timbangan (Keb 11:20). Alam semesta diciptakan Allah untuk manusia, yang dipanggil untuk mempunyai hubungan yang pribadi dengan Tuhan (lih. KGK 299). Karena ciptaan dihasilkan dari kebaikan Allah maka ciptaan mengambil bagian dalam kebaikan Allah (lih. Kej 1:4,10, 12,18,21,31). Allah menghendaki ciptaan sebagai hadiah bagi manusia, sebagai warisan yang dipercayakan kepadanya.

5. Allah memelihara dan menopang ciptaan-Nya

Allah tidak meninggalkan ciptaan-Nya sendirian, namun memelihara dan menopang keberadaannya, membuatnya mampu bertindak dan membawanya kepada tujuan akhirnya. “Sebab Engkau mengasihi segala yang ada, dan Engkau tidak benci kepada barang apapun yang telah Kaubuat. Sebab andaikata sesuatu Kaubenci, niscaya tidak Kauciptakan. Bagaimana sesuatu dapat bertahan, jika tidak Kaukehendaki, atau bagaimana dapat tetap terpelihara, kalau tidak Kaupanggil? Engkau menyayangkan segala-galanya sebab itu milik-Mu adanya, ya Penguasa penyayang hidup!” (Keb 11:24-26)

IX. Penyelenggaraan Ilahi

1. Tuhan peduli pada ciptaan-Nya

Walau ciptaan diciptakan baik adanya, namun pada saat yang sama seluruh ciptaan diciptakan dalam keadaan “dalam perjalanan” menuju kesempurnaan akhir sebagaimana dikehendaki Tuhan (lih. KGK 302). Tuhan memelihara semua ciptaan-Nya. Yesus mengajarkan tentang penyelenggaraan Tuhan, demikian, “Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? ….Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mat 6:31-33; lih. 10:29-31)

2. Tuhan menghendaki ciptaan-Nya bekerja sama dengan Dia

Tuhan tidak saja menciptakan, tetapi memberikan kesempatan untuk bekerjasama dengan-Nya mewujudkan rencana-Nya (lih. KGK 306). Kepada manusia diberikan kuasa untuk memenuhi dan menaklukkan bumi (lih Kej 1:26-28); mengambil bagian dalam karya penciptaan, dan mengusahakan keseimbangannya demi kebaikannya dan kebaikan sesama. Manusia diundang untuk mengambil bagian dalam rencana Allah, melalui perbuatannya, doa- doanya maupun penderitaannya, dan dengan demikian menjadi “kawan sekerja Allah” (1 Kor 3:9, 1 Tes 3:2; Kol 4:11).

Tuhan berkarya di dalam diri ciptaan-Nya, Ia menjadi Penyebab utama yang bekerja melalui manusia, “Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (lih. Flp 2:13, 1Kor 12:6). Namun demikian, tanpa bantuan rahmat Allah, manusia tidak dapat sampai kepada tujuan akhirnya (lih. KGK 308)

3. Penyelenggaraan Tuhan tidak menghapus skandal kejahatan

Tidak ada jawaban yang cepat yang memuaskan atas pertanyaan, mengapa jika Tuhan Maha Besar, peduli dan memelihara ciptaan-Nya, tetapi ada kejahatan di dunia? Sebab segala hal pesan iman Kristiani (ajaran tentang penciptaan dan kejatuhan manusia ke dalam dosa, kasih Allah, penjelmaan Kristus, pengutusan Roh Kudus, Gereja, kuasa sakramen, panggilan untuk hidup kudus) adalah sebagian dari jawaban untuk pertanyaan ini (lih.KGK 309).

Tuhan mengizinkan adanya kejahatan, sebab dalam kebijaksanaan-Nya, Tuhan menjadikan  keseluruhan ciptaan di dalam tahap perjalanan menuju kesempurnaan akhir (lih. KGK 310).

Malaikat dan manusia harus menempuh perjalanan menuju tujuan akhir mereka melalui pilihan mereka sendiri, sehingga karena kebebasan ini, mereka dapat menyimpang. Maka, kejahatan moral lebih parah dari kejahatan fisik. Tetapi Tuhan tidak pernah baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi penyebab kejahatan moral (KHK 311). Sebaliknya, dalam kemahakuasaan-Nya Allah dapat mendatangkan kebaikan dari sesuatu yang buruk (lih. Rom 8:28), seperti dalam kasus Yusuf yang dibuang oleh saudara-saudaranya (lih. KGK 312,313).

Akhirnya kita percaya akan Tuhan yang mengatasi dunia dan sejarah. Walau penyelenggaraan-Nya sering tak dapat kita pahami, tetapi pada akhirnya ketika kita memandang Tuhan muka dengan muka, kita akan mengetahui dengan sempurna  bagaimana bahkan jalan- jalan kejahatan dan dosa, telah mengarahkan ciptaan-Nya kepada perhentian terakhir, seperti rencana-Nya.

X. Tuhan menciptakan langit dan bumi

1. Langit dan bumi

Tuhan adalah Pencipta langit dan bumi, segala yang kelihatan dan tak kelihatan (lih. KGK 325). Langit dan bumi di sini adalah segala ciptaan secara keseluruhan. Bumi adalah dunia manusia, sedangkan langit mengacu kepada cakrawala dan surga tempat Tuhan sendiri. Langit juga mengacu kepada para orang kudus, tempat bagi para mahluk rohani, para malaikat yang mengelilingi Tuhan (lih. KGK 326).

2. Para malaikat

Para malaikat adalah para pelayan dan pembawa pesan Tuhan (KGK 329). Mereka adalah mahluk rohani murni (yang tidak mempunyai tubuh), yang ber- akal budi dan berkehendak bebas (lih KGK 330). Para malaikat “selalu memandang wajah Tuhan” (lih. Mat 18:10); mereka adalah “pahlawan-pahlawan perkasa yang melaksanakan firman-Nya dengan mendengarkan suara firman-Nya” (Mzm 103:20).

3. Kristus dan para malaikat-Nya

Kristus adalah pusat dunia malaikat. Para malaikat itu adalah malaikat-malaikat-Nya (lih. Mat 25:31). Para malaikat itu adalah milik Kristus sebab mereka diciptakan melalui Dia dan untuk Dia (lih. Kol 1:16). Mereka adalah milik Kristus, sebab Ia telah menunjuk mereka sebagai pembawa kabar bagi rencana keselamatan-Nya: “Bukankah mereka [para malaikat] semua adalah roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani mereka yang harus memperoleh keselamatan?”

Para malaikat telah ada sejak penciptaan dan terus ada sepanjang sejarah keselamatan (lih.KGK  332), sejak zaman para nabi menyampaikan rencana Allah, sampai saat malaikat Gabriel menyampaikan kabar gembira untuk kelahiran Yohanes Pembaptis dan Kristus sendiri. Sejak penjelmaan Kristus di dunia sampai kenaikan-Nya ke surga, kehidupan Yesus senantiasa dikelilingi oleh para malaikat. Para malaikat memuja-Nya saat kelahiran-Nya, melindungi-Nya, menguatkan-Nya di saat di Taman Getsemani. Merekalah yang mewartakan kabar gembira saat Inkarnasi dan Kebangkitan-Nya; dan akan menyertai Yesus pada saat kedatangan-Nya kembali di akhir zaman (lih. KGK 333, Kis 1:10-11; Mat 13:41;24:31; Luk 12:8-9).

4. Para malaikat di dalam hidup Gereja

Seluruh kehidupan Gereja juga, secara rahasia memperoleh bantuan dari para malaikat (lih. KGK 334). Dalam liturginya, Gereja menggabungkan diri dengan para malaikat untuk memuji dan menyembah Tuhan (KGK 335). Sejak awal kehidupan sampai wafatnya, setiap manusia berada di dalam perlindungan malaikat dan doa syafaatnya (lih.KGK 336).

XI. Tuhan yang menciptakan dunia yang kelihatan

a. Setiap ciptaan Tuhan mempunyai keindahan tersendiri

Tuhan menciptakan dunia dengan segala keanekaragaman di dalamnya. Segala yang ada memperoleh keberadaannya dari Allah. Setiap ciptaan mempunyai keindahan/ kebaikannya sendiri, karena itu manusia harus menghormati ciptaan yang lain dan menghindari penggunaan yang tidak teratur akan alam dan ciptaan yang lain tersebut (lih. KGK 337-339).

b. Setiap ciptaan saling tergantung, saling melengkapi dan melayani

Tuhan menghendaki saling ketergantungan antara ciptaan-Nya, agar saling melengkapi dan melayani satu sama lain (lih. KGK 340). Keindahan alam: Keteraturan dan keseimbangan alam tercapai dari keberagaman ciptaan dan dari hubungan di antara mereka (lih. KGK 341).

Penghormatan akan hukum kodrat yang diperoleh dari keadaan alami ciptaan merupakan dasar kebijaksanaan dan dasar hukum moral (lih.KGK 354).

Solidaritas antara mahluk ciptaan ada karena semuanya diciptakan oleh Tuhan dan semua ditentukan untuk memuliakan Tuhan (lih. KGK 344).

c. Manusia merupakan puncak dari karya Sang Pencipta.

Manusia merupakan “puncak karya Sang Pencipta” (KGK 343), sebab manusia menempati posisi yang unik dalam Penciptaan, yaitu: 1) diciptakan menurut gambaran Allah; 2) dalam kodratnya, manusia mempersatukan dunia rohani dan jasmani; 3) manusia diciptakan laki-laki dan perempuan; 4) Tuhan menentukan manusia di dalam persahabatan dengan-Nya (lih. KGK 355).

XII. Tuhan menciptakan Manusia

1. Manusia diciptakan untuk mengenal dan mengasihi Allah:

a. untuk mengambil bagian di dalam hidup Allah.

Dari segala ciptaan, hanya manusia yang diciptakan untuk dapat mengenal dan mengasihi Pencipta-Nya. Di bumi, hanya manusia-lah ciptaan yang dikehendaki Tuhan demi kebaikan manusia itu sendiri; dan hanya manusialah yang dipanggil untuk mengambil bagian -melalui pengetahuan dan kasih- di dalam kehidupan Allah sendiri (lih. KGK 356)

b. untuk melayani dan mengasihi Tuhan

Tuhan mencipta segalanya untuk manusia; dan sebaliknya manusia diciptakan untuk melayani dan mengasihi Tuhan dan mempersembahkan semua ciptaan kepada-Nya (lih. KGK 358)

2. Manusia dapat mengenal dirinya sendiri, dan memberikan dirinya kepada Tuhan dan sesama.

Dengan menjadi gambaran Allah, maka manusia tidak hanya ‘sesuatu’ tetapi ‘seseorang’. Ia mempunyai pengetahuan akan dirinya sendiri, memiliki dirinya sendiri dan dapat memberikan dirinya dan masuk dalam persekutuan dengan orang-orang lain. Manusia dipanggil oleh rahmat Tuhan untuk memberikan tanggapan iman dan kasih kepada-Nya, yang tidak dapat diberikan oleh ciptaan yang lain (lih. KGK 357)

3. Hanya dalam misteri Inkarnasi, misteri manusia menjadi jelas

Rasul Paulus membandingkan Adam dengan Kristus: “Adam pertama menjadi jiwa yang hidup, Adam yang terakhir adalah Roh yang memberi hidup. Adam pertama diciptakan oleh Adam yang terakhir, yang dari-Nya Adam yang pertama memperoleh jiwa dan hidupnya… Adam yang kedua ini memeteraikan gambaran-Nya di dalam Adam yang pertama saat menciptakannya…. Adam yang pertama mempunyai awal, sedangkan Adam yang terakhir tidak berakhir. Adam yang terakhir merupakan awal segalanya, sebab Ia sendiri berkata, “Aku adalah yang pertama dan terakhir… “ (lih. St. Petrus Krisologus, Sermo 117, KGK 359)

4. Karena berasal dari asal yang sama, maka seluruh umat manusia membentuk kesatuan dan merupakan satu saudara

“O penglihatan yang menakjubkan, yang membuat kita memandang umat manusia di dalam kesatuan asalnya di dalam Tuhan…. di dalam kesatuan kodratnya, yang terdiri dari tubuh material dan jiwa spiritual; di dalam kesatuan akhirnya dan misinya di dunia; di dalam kesatuan di dalam tempat kediamannya, yaitu di bumi yang mendatangkan kebaikan bagi manusia yang dapat mempergunakannya untuk mengembangkan kehidupan; di dalam kesatuan kepada tujuan akhirnya yang adikodrati: yaitu Tuhan sendiri, yang kepada-Nya semua mahluk harus menuju; di dalam kesatuan cara mencapai tujuan ini; …. di dalam kesatuan penebusan yang dikerjakan oleh Kristus bagi semua orang.” (Paus Pius XII, Summi Pontificatus, 3, KGK 360)

5. Tubuh dan jiwa manusia membentuk kesatuan

Manusia, yang diciptakan menurut gambaran Allah adalah sekaligus mahluk jasmani dan mahluk rohani. Tuhan membentuknya dari debu tanah, dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya (lih Kej 2:7); maka manusia keseluruhannya, tubuh dan jiwa, dikehendaki oleh Tuhan (KGK 362).

a. Jiwa manusia

Jiwa manusia mengacu kepada ‘kehidupan manusia atau keseluruhan pribadi manusia’ (lih. KGK 363), dan mengacu kepada hal terdalam dalam diri manusia. Oleh jiwa, manusia menjadi sangat istimewa sesuai dengan gambaran Allah: jiwa menandai prinsip rohani di dalam diri manusia. Jiwa menjadi ‘bentuk’ bagi tubuh; karena adanya jiwa maka tubuh menjadi hidup. Di dalam manusia bukan dua kodrat yang menyatu, tetapi kesatuan antara jiwa dan tubuh itu yang membentuk satu kodrat (lih. KGK 365).

b. Tubuh manusia

Tubuh manusia mengambil bagian di dalam martabat ‘gambaran Allah’. Disebut tubuh manusia sebab ia dihidupkan oleh jiwa yang rohani. Keseluruhan pribadi manusia di dalam Tubuh Kristus, dimaksudkan untuk menjadi bait Allah (lih. 1Kor 6:19-20; 15:44-45)

Gereja mengajarkan bahwa: 1) setiap jiwa manusia diciptakan langsung oleh Allah dan bukan dihasilkan oleh orang tua; dan bahwa 2) jiwa itu kekal. Jiwa tidak mati ketika terpisah dari tubuh pada saat kematian, dan akan kembali bersatu dengan tubuhnya pada saat kebangkitan badan (lih. KGK 366)

Kadangkala jiwa dibedakan dari roh, “roh, jiwa dan tubuh” (lih. 1 Tes 5:23); namun Gereja mengajarkan bahwa pembedaan ini tidak menunjukkan adanya dualitas di dalam jiwa. Roh menunjukkan bahwa sejak penciptaannya, manusia diarahkan kepada tujuan akhir yang adikodrati (rohani) dan bahwa jiwa tersebut dapat diangkat melampaui apa yang layak baginya kepada persekutuan dengan Tuhan (KGK 367).

6. “Laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka”

a. Laki-laki dan perempuan sama martabatnya

Manusia laki-laki dan perempuan diciptakan Allah, dengan kesamaan derajat sebagai pribadi manusia, namun di dalam perbedaannya sebagai laki-laki dan perempuan. Baik laki-laki dan perempuan mempunyai martabat yang sama sebagai ‘gambaran Allah’. Di dalam kelaki-lakiannya dan keperempuanannya, mereka mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan Sang Pencipta (lih. KGK 369).

b. Tuhan bukan laki-laki atau perempuan

Namun perlu diketahui, bahwa rumusan ‘gambaran’ ini tidak terjadi sebaliknya, sebab Tuhan tidak sama sekali menurut gambaran manusia: Ia bukan laki-laki ataupun perempuan. Tetapi kesempurnaan laki-laki dan perempuan mencerminkan kesempurnaan Allah yang tak terbatas: yaitu kesempurnaan sebagai ibu dan sebagai ayah dan suami (lih. KGK 370).

c. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan bersama, untuk saling menolong

Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kej 2:18). Tidak ada satupun binatang dapat menjadi pasangan bagi manusia. Perempuan diciptakan Allah untuk menjawab kerinduan laki-laki akan pasangan baginya (lih. Kej 2:23), yang sama-sama mempunyai kodrat manusia (lih. KGK 371).

Manusia diciptakan satu untuk yang lainnya, bukan artinya menjadikan mereka tidak lengkap tanpa yang lain, tetapi Allah menciptakan keduanya supaya membentuk persekutuan, di mana yang satu menolong yang lain. Di dalam perkawinan, Allah mempersatukan keduanya menjadi ‘satu daging’ (Kej 2:24) dan mereka dapat meneruskan kehidupan manusia: “Beranak cuculah….” (Kej  1:28). Dengan meneruskan kehidupan kepada keturunan mereka, laki-laki dan perempuan sebagai pasangan dan orang tua, bekerjasama dengan cara yang unik dalam karya Sang Pencipta.

d. Manusia dipanggil untuk menaklukkan bumi sebagai pengelola

Menjadi penakluk bumi bukan dengan merusak bumi, sebab Tuhan memanggil manusia laki- laki dan perempuan untuk menjadi gambaran Allah yang menyayangi semua yang ada dan mengambil bagian dalam penyelenggaraan bagi ciptaan yang lain dan manusia bertanggungjawab atas bumi kepada Tuhan yang telah mempercayakannya kepadanya (lih. KGK 373)

XIII. Kesimpulan

Penciptaan adalah karya Allah Tritunggal Mahakudus. Allah mencipta langit dan bumi. Allah mencipta langit dan bumi, karena ingin menyampaikan cinta kasih dan kebaikan-Nya kepada sesuatu yang di luar diri-Nya sendiri. Maka dunia diciptakan demi kemuliaan Allah. Kemuliaan Allah ditunjukkan oleh kebaikan-Nya yang menunjukkan diri dan menyampaikan diri. Allah menciptakan dunia spiritual (yaitu surga dan para malaikat-Nya) dan dunia material (yaitu bumi dan segala isinya). Penciptaan bukan kebetulan namun karena kebijaksanaan dan cinta Tuhan. Tuhan mencipta dari ketidakadaan, Ia menciptakan segala sesuatu dengan baik dan teratur, memelihara dan menopang hidup mereka. Tuhan peduli akan segala ciptaan-Nya dan menghendaki ciptaan-Nya bekerjasama denganNya untuk mewujudkan rencana-Nya.

Manusia merupakan puncak karya penciptaan Allah, karena ia diciptakan menurut gambaran dan rupa Allah. Maka, kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup, namun hidup manusia adalah memandang Allah. Maka asal usul manusia adalah dari Allah dan tujuan akhir manusia adalah Allah sendiri. Manusia diciptakan untuk mengenal, mengasihi dan melayani Allah, serta mengambil bagian di dalam hidup Allah. Inkarnasi menjelaskan misteri hidup manusia, sebab di dalam Kristuslah seluruh umat manusia membentuk kesatuan sebagai satu saudara. Manusia merupakan kesatuan antara tubuh dan jiwa spiritual, yang diciptakan laki-laki dan perempuan. Keduanya diciptakan agar saling menolong dalam persekutuan kasih.

XIV. Appendix:

1. Tentang tingkatan malaikat

Hal pembagian tugas para malaikat ini tidak dapat dikatakan sebagai ajaran iman yang termasuk “the truth of Faith” setingkat dengan Dogma, melainkan masih ada dalam katagori ‘free theological opinion‘, sehingga para teolog masih dapat mempunyai pandangan yang berbeda tentang hal ini. Berikut ini adalah penjabaran yang mengambil sumber utama dari pengajaran St. Thomas Aquinas dalam Summa Theology.

Menurut St. Thomas Aquinas, keempat tingkatan malaikat yang pertama merupakan tingkatan malaikat yang tidak diutus untuk menyampaikan pesan Allah, sedangkan kelima tingkat sesudahnya memiliki tugas untuk diutus ke luar /external ministry (lih. ST. I, q. 112, a.4). Ia mengutip St. Gregorius (Hom. xxxiv in Evang) dan Dionysius (Coel. Hier. xiii) yang mengatakan bahwa Malaikat yang ada di tingkat yang lebih tinggi tidak menjalankan pelayanan ke luar. Sehingga tugas para malaikat menurut tingkatannya, menurut St. Thomas Aquinas adalah:

1. Seraphim/ Serafim berasal dari kata Ibrani, saraph, artinya “untuk menghanguskan dengan api”. Para Bapa Gereja mengajarkan bahwa Serafim adalah para malaikat surgawi yang ada di sekitar tahta pengadilan Tuhan. Serafim ini sering dihubungkan dengan kelompok malaikat yang memuji- muji Allah dengan kidung surgawi di sekitar tahta Allah.

2. Cherubim/ Kerubim, berasal dari kata Assyria, kirubu, karabu, artinya “dekat”, maka diartikan sebagai malaikat yang dekat dengan Allah, yang ada di sekitar kemuliaan Tuhan, dan melayani Tuhan. Dengan demikian baik Serafim maupun Cherubim keduanya menempati hirarki tertinggi dalam tingkatan malaikat di surga.

3. Thrones/ Singgasana/ Tahta suci, tidak disebutkan secara khusus, namun dari namanya, dapat diperkirakan bahwa para malaikat pada tingkatan ini juga yang ada di daerah sekitar tahta Allah.

4. Dominations/ Pemerintah, (bersama dengan ketiga tingkatan malaikat di atasnya) membimbing para malaikat di bawahnya tentang misteri Allah (St. Thomas Aquinas, Summa Theology, I, q.112, a.3)

5. Virtues/ Kebajikan: para malaikat yang menjaga/ melindungi semua mahluk ciptaan corporeal; Virtues bertugas melakukan mukjizat dalam dunia material/ corporeal (ST, I, q.113, a.2).

6. Powers/ para malaikat yang bertugas mengatasi kuasa jahat (ST, I, q.113, a.2).

7. Principalities/ Kerajaan bertugas untuk menjaga semua jiwa- jiwa yang baik (ST, I, q.113, a.3).

8&9. Archangels/ penghulu malaikat dan angels/ malaikat (dan kemungkinan juga Principalities/ Kerajaan) bertugas untuk melindungi manusia (ST, I, q.113, a.3 dan 4). Hal ini disebutkan dalam Mazmur 90:11. Menurut St. Thomas para malaikat inilah yang sering disebut sebagai malaikat pelindung manusia.

Hal nama- nama maupun urutan tingkatan para malaikat ini bukanlah dogma, sehingga memang para Teolog masih dapat mempunyai pandangan sendiri- sendiri tentang hal ini. Urutan yang disampaikan di atas adalah berdasarkan tulisan St. Thomas Aquinas, namun ia  tidak memberikan secara rinci urutan nama- nama malaikat satu- persatu secara pribadi. Secara umum, menurut St. Thomas, para malaikat yang diutus kepada manusia (Mikael, Gabriel, Rafael) adalah tingkatan malaikat yang terendah/ dua terendah (angels/ archangels) (Summa Theology, Ia, 113.3).

Namun tentang tingkatan Malaikat Mikael, terdapat pandangan lain: St. Basil (dalam Hom. de angelis) dan Bapa Gereja Yunani seperti Salmeron dan Bellarminus menempatkan St. Mikael di atas semua para malaikat. St. Bonaventura mengatakan bahwa St. Mikael adalah pangeran dari Malaikat Serafim, yang pertama dari kesembilan tingkatan malaikat. Kemungkinan ini disebabkan karena pada Why 12:7 disebutkan bahwa Mikael dan para malaikatnya bertarung melawan Iblis (ular naga) tersebut.

Demikian juga terdapat pandangan yang berbeda tentang kedudukan Lucifer. Para Teolog ada yang menempatkan dia di tingkatan Serafim, namun juga ada yang menempatkan dia di tingkatan di bawahnya, di bawah tingkatan Serafim, Kerubim dan Tahta Suci. Dalam hal ini, Gereja sendiri memberi kebebasan kepada para Teolog untuk mempunyai pandangan berbeda karena ini bukan masalah prinsip yang berhubungan dengan hal dogmatik.

2. Tentang Teori Evolusi dan hubungannya dengan Iman

Teori Evolusi yang kita kenal sebenarnya merupakan suatu hipotesa, yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, sebelum dapat dikatakan sebagai kebenaran. Sementara ini, bukti ilmiah belum dapat dikatakan cukup mendukung hipotesa tersebut.

Ada dua inti besar teori Evolusi- yang dikenal sebagai “Macroevolution/ evolusi makro” yang dipelopori oleh Darwin:

  1. Semua mahluk hidup berasal dari mahluk sederhana yang terdiri dari satu sel atau lebih, yang terbentuk secara kebetulan.
  2. Species baru terbentuk dari species lain melalui seleksi alam, dengan melibatkan kemungkinan variasi, di mana variasi tersebut dapat bertahan dan berkembang biak. Dalam abad ke-20, hal ini diperjelas dengan memberi penekanan pada kemungkinan mutasi sebagai cara pembentukan variasi. Posisi ini dikenal sebagai Neo- Darwinism.

Sebelum kita membahas lebih lanjut, kita melihat bahwa di sini terdapat 2 jenis evolusi, yaitu Evolusi makro, dan evolusi mikro. Evolusi makro membicarakan evolusi melewati batas-batas species, di mana species secara berangsur-angsur berubah menjadi species yang lain. Sedangkan evolusi mikro adalah evolusi yang berada di dalam batas satu species. Evolusi mikro adalah suatu realita yang dapat kita amati secara langsung pada alam, jadi tidak perlu dipermasalahkan. Umumnya, evolusi mikro ini berhubungan dengan adaptasi dengan lingkungan baru, dan berupa pengurangan organ dan bukan penambahan dan penyesuaian.

Sedangkan teori evolusi yang kita kenal umumnya adalah evolusi makro. Ini bertentangan dengan iman, karena definisinya, teori evolusi makro merujuk pada asumsi bahwa tidak ada campur tangan Tuhan, sebagai Divine Intelligence, sebagai Pencipta umat manusia.

Beberapa problem mengenai teori Evolusi makro, baik dari segi filosofi maupun ilmu pengetahuan, adalah sebagai berikut:

A. Problem Evolusi makro dari sudut pandang filosofi:

  1. Teori Darwin berpendapat bahwa dari mahluk yang lebih rendah dapat dengan sendirinya naik/ membentuk mahluk yang lebih tinggi, yang disebabkan oleh kebetulan semata-mata, (dan bukan disebabkan karena campur tangan ‘Sesuatu’ yang lebih tinggi derajatnya). Ini bertentangan dengan prinsip utama akal sehat: sesuatu/ seseorang tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya.
  2. Teori Darwin tidak berdasarkan fakta konkrit bahwa species tertentu memiliki ciri khusus yang tidak dipunyai oleh species lain; sebab teori ini beranggapan bahwa semua species seolah-olah tidak punya ciri tertentu dan dapat berubah menjadi species yang lain, seperti tikus menjadi kucing, kucing menjadi anjing, dst. Hal ini tentu tidak terjadi dalam kenyataan.
  3. Teori ini mengajarkan bahwa kemungkinan variasi terjadi karena ‘kesalahan’/ hanya kebetulan; dan ini seperti mengatakan bahwa musik disebabkan oleh ‘keributan’ semata-mata.
  4. Teori Darwin tidak dapat menjelaskan perbandingan paralel antara hasil karya manusia dan satu sel mahluk hidup. Karena akal sehat dapat melihat secara objektif bahwa hasil karya manusia/ teknologi betapapun bagus dan rumitnya tidak memiliki kehidupan sedangkan mahluk satu sel memiliki kerumitan tertentu yang dapat menyebabkan ia hidup dan berkembang. Maka jika teknologi tersebut (yang lebih rendah jika dibandingkan dengan mahluk satu sel) dihasilkan oleh mahluk dengan akal yang tinggi (yaitu manusia), maka betapa hal itu harus lebih nyata dalam hal penciptaan mahluk satu sel tersebut, yang seyogyanya diciptakan oleh mahluk yang jauh lebih tinggi dari manusia.
  5. Evolusi tidak dapat menjelaskan keberadaan keindahan alam di dunia. Jika segala sesuatu adalah hasil kebetulan yang murni, maka hal itu tidak dapat menjelaskan bagaimana kebetulan itu bisa menghasilkan keindahan yang ditimbulkan oleh keteraturan/ ‘order’. Dari pengalaman sehari-hari, kita mengetahui tidak mungkin terdapat kebetulan-kebetulan murni yang bisa menghasilkan keteraturan dan keindahan.
  6. Teori Darwin tidak membuktikan bahwa Tuhan Sang Pencipta tidak ada, melainkan teori ini mengambil asumsi ketidak-adaan Tuhan sebagai titik tolak. Bahwa kemudian dikatakan bahwa pembuktian ‘kebetulan secara ilmiah’ tersebut menunjukkan demikian, itu hanya merupakan demonstrasi untuk mengulangi suatu pernyataan yang diasumsikan sebagai kebenaran.

B. Problem Evolusi makro dari segi Ilmu Pengetahuan:

  1. Kenyataannya, species mahluk hidup sudah jelas memiliki keterbatasan ciri-ciri yang secara genetik tidak dapat berubah. Sampai saat ini tidak ada bukti nyata tentang pembentukan species baru dari species lain menurut seleksi alam.  Jikapun ada, maka mahluk persilangan ini tidak mempunyai kemampuan untuk berkembang biak. Contoh: ‘mule’ , persilangan antara kuda dan keledai, tidak dapat berkembang biak/ steril.
  2. Hasil penemuan fosil tidak menunjukkan perubahan yang berangsur secara terus menerus pada species yang satu dan yang lain. Yang ditemukan adalah bentuk yang stabil untuk jangka waktu yang lama, dan tidak ditemukan fosil species perantara  yang menghubungkan satu species dengan yang lain. Jika benar ada mahluk antara kera dengan manusia, tentu fosil mahluk antara kera dan manusia harus banyak ditemukan, namun sampai saat ini tidak demikian, sehingga dikatakan bahwa terdapat ‘missing links’ antara fosil kera dan fosil manusia. Betapa ini menunjukkan bahwa mahluk penghubungnya tidak ditemukan karena memang tidak ada!
  3. Mutasi menunjukkan adanya pengurangan organ ataupun modifikasi organ yang sudah ada, karena kebetulan dan tidak essensial, seperti perubahan warna, bentuk, dst. Namun mutasi tidak dapat menjelaskan sesuatu yang tadinya tidak ada jadi ada. Jadi prinsipnya ‘indifferent/regressive’ dan bukan ‘progressive’.
  4. Darwin sendiri mengamati dengan teliti evolusi mikro, namun masalahnya dia menjadikannya sebagai rumusan untuk evolusi makro, walaupun sesungguhnya tidak dapat menjawab bagaimana sesuatu yang lebih sederhana membentuk sesuatu yang lebih rumit. Tidak usah jauh-jauh bicara soal keseluruhan tubuh; sebab bagaimana perkembangan dari satu sel menjadi organ mata atau telinga (yang walaupun kecil tapi kompleksitasnya cukup tinggi) saja belum dapat dibuktikan.
  5. Perhitungan matematika, yaitu teori probabilitas menunjukkan bahwa kemungkinan perubahan dari mahluk sederhana (1 sel atau lebih) menjadi mahluk yang kompleks adalah sangat kecil dan seluruh sejarah manusia tidak cukup untuk merealisasikan perubahan itu. Mungkin alibi ini termasuk yang paling mungkin dari pandangan ilmiah untuk membuktikan bahwa evolusi makro itu tidak mungkin terjadi. Salah satu tokoh evolusi seperti  Jacques Monod (1910-1976) sendiri mengakui bahwa kemungkinan evolusi dari mahluk bersel satu adalah “hampir nol” dan kemungkinan terjadi hanya sekali (Jacques Monod, Chance and Necessity, NY, Alfred A. Knopf, 1971, p.114-145). Monod seorang ahli biologi, menyuarakan pendapat dalam hal biologis, namun hal ini tidak sejalan dengan kemungkinan secara matematika, yaitu bagaimana satu kemungkinan yang langka tersebut dapat terjadi, dan dapat menjadi dasar perkembangan manusia dalam kurun waktu sejarah manusia yang terbatas. Menurut statistik, hal ini tidak mungkin.
  6. Seandainya benar, maka diperlukan waktu yang sangat panjang untuk realisasi kemungkinan mutasi/ ‘kebetulan’ ini. Keterbatasan waktu sejarah manusia yang menunjukkan paling lama sekitar 10.000- 15.000 tahun tidak memberikan jawaban untuk kemungkinan teori ini. George Salet menulis, “…ilmu pengetahuan menemukan fungsi DNA, duplikasinya dan perkembangannya memberi dasar bagi spekulasi matematika bahwa, … periode geologis harus dikalikan dengan 10 diikuti dengan ber-ratus atau ber-ribu-ribu nol, untuk memberikan waktu bagi terbentuknya sebuah organ baru, walaupun organ yang paling sederhana sekalipun.” (diterjemahkan dari George Salet, “Hasard et certitude. Le transformisme devant la biologie actualle, Paris, 1972, p. x)
  7. Ilmu pengetahuan mengakui kompleksitas mahluk hidup ber-sel satu, dan tidak dapat menjelaskan bagaimana asal usul kehidupan. Dalam hal ini tokoh evolusi menawarkan penyelesaian dengan teori ‘blind chance’, tetapi seperti Monod sendiri mengakui, hal ini masih problematik, dan lebih tepat disebut sebagai ‘teka-teki’. (Jacques Monod, Ibid., p. 143)

Kenyataan di atas sesungguhnya dapat membantu kita untuk melihat hal evolusi tersebut secara lebih objektif. Kini, mari kita lihat pandangan Gereja mengenai hal evolusi ini, yang dapat saya rumuskan dalam beberapa point:

  1. Kita percaya bahwa jiwa manusia diciptakan secara langsung oleh Allah, dari yang tadinya tidak ada jadi ada. Jiwa ini dihembuskan kedalam embrio manusia yang terbentuk dari hubungan suami istri. Jadi jiwa manusia bukan berasal dari produk evolusi. Dalam surat ensiklik Humani Generis (1950), Paus Pius XII menolak ide evolusi total (yang menyangkut tubuh dan jiwa) manusia dari kera (primate). Dalam Humani Generis 36, Paus Pius XII mengajarkan bahwa meskipun dalam hal asal usul tubuh manusia, masih dapat diselidiki apakah terjadi dari proses evolusi, namun yang harus dipegang adalah: semua jiwa manusia adalah diciptakan langsung oleh Tuhan. Namun demikian mengenai evolusi tubuh manusia itu sendiri, masih harus diadakan penyelidikan yang cermat, dan tidak begitu saja disimpulkan bahwa manusia yang terbentuk dari ‘pre-existing matter’ tersebut sebagai sesuatu yang definitif.
  2. Jadi ide evolusi total ini sama sekali bukan hipotesa bagi orang katolik. Namun demikian, para ilmuwan dapat terus menyelidiki hipotesa bahwa tubuh manusia dapat diambil dari kehidupan yang sudah ada (ancestral primate), walaupun juga dengan sikap hati-hati, “great moderation and caution”. Tetapi ia harus memegang bahwa semua manusia diturunkan dari satu pasang manusia (monogenism), bukan dari banyak evolusi paralel (polygenism) seperti pada hipotesa tertentu, sebab semua manusia diturunkan dari Adam dan Hawa. Dan hal ini sesuai dengan konsep “dosa asal” yang diturunkan oleh manusia pertama.
  3. Mengenai penciptaan tubuh manusia dari materi yang sudah ada sebenarnya tidak bertentangan dengan sabda Tuhan yang menciptakan tubuh Adam dari tanah/ debu, yang kemudian dihembusi oleh kehidupan, yang menjadi jiwa manusia (Kejadian 2:7). Namun hal ini tidak bertentangan dengan penciptaan manusia seturut gambaran Allah, sebab yang dimaksudkan di sini adalah manusia sebagai mahluk rohani yang berakal dan memiliki kehendak bebas.
  4. Jadi diperbolehkan jika orang berpikir bahwa kemungkinan tubuh kera dapat berkembang mendekati tubuh manusia dan pada titik tertentu (di tengah jalan), Tuhan menghembusi jiwa manusia ke dalam tubuh manusia itu yang kemudian terus berevolusi (evolusi mikro) sampai menjadi manusia yang kita ketahui sekarang. St. Thomas Aquinas I, q.76, a.5, menyebutkan bahwa teori  yang menyebutkan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari kera (evolusi makro), harus kita tolak. Tubuh Adam haruslah merupakan hasil dari campur tangan Tuhan untuk mengubah materi apapun yang sudah ada (pre-existing matter) dan menjadikannya layak sebagai tubuh yang dapat menerima jiwa manusia. Campur tangan ini mungkin saja luput dari pengamatan ilmiah, seperti yang diakui sendiri oleh Monod, saat mengatakan bahwa asal usul hidup manusia adalah suatu teka-teki.
  5. Tidak mungkin bahwa dalam satu tubuh dapat terdapat dua macam jiwa, yang satu adalah rational (manusia) dan yang kedua, irrational (kera), sebab terdapat perbedaan yang teramat besar, yang tidak terjembatani antara jiwa kera dan jiwa manusia. Lagipula tubuh kera bersifat spesifik yang diadaptasikan dengan lingkungan hidup yang tertentu. Jadi tidak mungkin bahwa tubuh manusia merupakan hasil dari perubahan-perubahan ‘kebetulan’ dari tubuh kera.
  6. Kemungkinan yang lebih masuk akal adalah, jika manusia diciptakan melalui ‘pre-existing matter’ seperti dari tubuh kera sekalipun, terdapat campur tangan Tuhan untuk mengubah tubuh tersebut menjadi tubuh manusia, yang tidak merupakan kelanjutan dari tubuh kera tersebut, seperti halnya terdapat campur tangan Tuhan untuk menghembuskan jiwa manusia ke dalam tubuh manusia itu, yang bukan merupakan kelanjutan dari jiwa kera. Inilah yang secara ilmiah dikenal sebagai ‘lompatan genetik’, namun bedanya, ilmuwan mengatakan itu disebabkan karena kebetulan semata, sedangkan oleh Gereja dikatakan sebagai sesuatu yang disebabkan oleh campur tangan Tuhan.
  7. Cardinal Schonborn dalam artikel di New York Times menjelaskan bahwa pengamatan pada mahluk hidup yang telah menunjukkan ciri-ciri yang final menyebabkan kita terkagum dan mengarahkan pandangan kepada Sang Pencipta. “Membicarakan bahwa alam semesta yang kompleks dan terdiri dari mahluk-mahluk yang ciri-cirinya sudah final ini, sebagai suatu hasil ‘kebetulan’, sama saja dengan ‘menyerah’ untuk menyelidiki dunia lebih lanjut. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa akibat terjadi tanpa sebab. Ini tentu saja seperti membuang pemikiran akal manusia yang selalu mencari solusi dari masalah.” (Cardinal Schonborn, in New York Times, July,7, 2005, “The Designs of Science”, in First things 159 (January 2006) 34-38)
  8. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa, akal sehat manusia pasti dapat memperoleh jawaban untuk pertanyaan yang menyangkut asal usul manusia. Keberadaan Tuhan Pencipta dapat diketahui secara pasti melalui karya-karya ciptaan-Nya, dengan terang akal budi manusia (lih. KGK 286). “Kita percaya bahwa Allah menciptakan dunia menurut kebijaksanaan-Nya. Dunia bukan merupakan hasil dari kebutuhan apapun juga, ataupun takdir yang buta atau kebetulan.” (KGK 296)

Uraian di atas adalah merupakan prinsip dasar mengapa kita sebagai orang Katolik tidak dapat menerima teori evolusi makro ala Darwin, sebab prinsip ajaran Gereja adalah manusia diciptakan bukan sebagai hasil kebetulan, tetapi karena sungguh diinginkan oleh Allah. Sedangkan mengenai evolusi mikro di dalam batas species, kita semua dapat menerimanya, sesuai dengan penjelasan di atas. Prinsipnya, jikapun ada evolusi, tidak mungkin melangkahi batas penyelenggaraan Allah. Allah-lah yang menciptakan manusia, yaitu jiwa dan tubuh. Jiwa manusia diciptakan dari ketiadaan, (out of nothing) dan tubuh dari materi yang sudah ada (pre-existing matter) namun Allah mempersiapkan tubuh itu agar layak menerima jiwa manusia.  Kesatuan tubuh dan jiwa manusia tersebut diciptakan menurut gambaran Allah.

Yesus Lahir di Gua atau di Kandang?

0

Kitab Suci tidak menyebutkan secara eksplisit apakah Tuhan Yesus lahir di gua, atau di kandang. Yang disebutkan ialah bahwa Yesus lahir di kota Betlehem (lih. Luk 2:4; Mrk 2:6; Mi 5:1); dan setelah lahir Ia dibaringkan di dalam palungan, yaitu sebuah tempat makan hewan/ ternak; sehingga disimpulkan bahwa Tuhan Yesus lahir di kandang hewan, karena tidak ada tempat bagi Tuhan Yesus, Bunda Maria dan St. Yusuf, di rumah penginapan, “Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin dan ia melahirkan seorang anak laki-laki,…. dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” (Luk 2:6-7)

Dengan keterangan yang tidak rinci tentang tempat kelahiran Yesus di Betlehem itu, maka berkembanglah beberapa hipotesa tentang keadaan tempat kelahiran Yesus, yaitu di gua tempat ternak berlindung, atau di kandang hewan, atau di ruang kandang di bawah rumah penginapan/ ruang tamu kerabat St. Yusuf di Betlehem. Dikatakan bahwa ‘rumah penginapan’ sebenarnya juga dapat berarti tempat tamu/ kataluma, namun tetaplah ini tidak menyangkal fakta bahwa jika hipotesa yang terakhir ini benar,   kerabat St. Yusuf tidak menerima mereka (Yusuf, Maria dan Yesus dalam kandungannya) di bangunan rumah yang wajar untuk tempat tinggal orang. Jadi penekanannya bukan kepada katalumanya, tetapi pada kenyataan bahwa ‘tidak ada tempat buat mereka’, sehingga mereka harus menginap di tempat hewan, entah itu di kandang, di gua ataukah di ruangan untuk hewan di bawah lantai rumah/ kataluma tersebut. Konon, hanya orang yang miskin saja yang menerima tamu di kandang, dan itupun umumnya hanya laki-laki yang biasanya diterima di kandang itu. Jadi, tentu gua ataupun kandang bukan tempat umum untuk melahirkan, bahkan untuk kalangan miskin sekalipun. Kenyataan bahwa St. Yusuf dan Bunda Maria sampai harus tinggal di kandang, merupakan suatu bentuk ‘penolakan’ yang memang sudah dinubuatkan jauh hari oleh Nabi Yesaya, yaitu bahwa lembu dan keledai saja mengenal pemiliknya, namun Israel tidak mengenal Pemilik-Nya (yaitu Kristus),…. umat Allah tidak mengenal Penyelamat-Nya (lih. Yes 1:3). Dengan demikian, tradisi mengatakan, bahwa Kristus lahir di kandang, di mana ada lembu dan keledai. Namun demikian, sering juga dilukiskan bahwa Kristus lahir di kandang domba, yang kemungkinan dihubungkan dengan keadaan masyarakat di daerah tersebut (terdapat banyak penggembala domba) dan dihubungkan dengan analogi yang diajarkan tentang Kristus sendiri, sebagai Sang Gembala baik yang rela menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya (lih. Yoh 10:11).

 

Dalam Kitab Ayub, Mengapa Iblis Bercakap-cakap dengan Allah?

6

Dalam tulisannya, Commentary on the Book of Job (Uraian tentang Kitab Ayub)- silakan klik, St. Thomas Aquinas menjelaskan tentang hal ini, yang telah kami ringkas, demikian:

Perlu diketahui bahwa para malaikat yang disebut di sini sebagai ‘anak-anak Allah’, melayani di hadirat Allah dengan dua cara: 1) di dalam seberapa jauh Tuhan dipandang/ dilihat oleh mereka, sebagaimana dikatakan oleh Nabi Daniel, “… seribu kali beribu-ribu melayani Dia, dan selaksa kali berlaksa-laksa berdiri di hadapan-Nya…” (Dan 7:10); dan 2) di dalam sejauh mana para malaikat itu sendiri dan tindakan mereka dilihat oleh Tuhan, sebab para malaikat yang ‘berdiri di hadapan-Nya’ adalah mereka yang melihat Allah dan dilihat oleh Allah. Oleh karena itu, cara pertama hanya berkaitan dengan para malaikat yang berdiri di hadapan-Nya, yang menikmati penglihatan ilahi,… yaitu para malaikat di derajat yang lebih tinggi (higher angels) yang menurut pandangan Dionysius tidak pergi diutus untuk melaksanakan pelayanan ke dunia. Untuk alasan ini, para malaikat yang berdiri di hadapan Allah dibedakan dengan para malaikat yang melayani Allah dalam teks kitab Nabi Daniel. Namun demikian, dengan cara pandang yang kedua, adalah layak bahwa tidak hanya para malaikat yang baik, namun juga malaikat yang jahat dan bahkan manusia berdiri di hadapan Allah, sebab apapun yang dilakukan oleh mereka ada di bawah pandangan dan penyelidikan ilahi. Karena itu, teks mengatakan, “… datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di antara mereka datang juga Iblis untuk menghadap TUHAN.” (Ayb 2:1)

Meskipun hal- hal yang menjadi perhatian malaikat-malaikat yang baik dan jahat selalu terus berada di dalam pandangan dan penyelidikan Allah, dan karena itu anak- anak Allah selalu ada di hadapan Allah dan Iblis-pun ada di antara mereka, namun demikian, teksnya mengatakan, “pada suatu hari…” menurut penggunaannya di dalam Kitab Suci, yang kadang menjelaskan hal- hal yang mengatasi waktu melalui hal- hal yang ada di dalam waktu. Contohnya, di awal Kitab Kejadian, Tuhan telah bersabda beberapa hal di hari pertama dan kedua, meskipun tindakan-Nya bersabda itu ada dalam kekekalan, namun apa yang disabdakan-Nya terjadi di dalam waktu. Maka, karena perbuatan yang tentangnya dicatat dalam kitab Ayub ini terjadi di dalam suatu waktu tertentu, maka mereka yang melakukannya dikatakan ‘berdiri di hadapan Allah pada suatu hari’, meskipun [sesungguhnya] mereka tidak pernah berhenti berdiri di hadapan Allah.

Perlu dipertimbangkan bahwa hal-hal yang dilakukan melalui malaikat yang baik berhubungan dengan penghakiman Tuhan dengan cara yang berbeda dengan hal-hal yang dilakukan oleh malaikat yang jahat (setan). Sebab para malaikat yang baik bermaksud bahwa segala yang mereka lakukan mengacu kepada Tuhan. Maka teks mengatakan bahwa anak- anak Allah ‘datang menghadap TUHAN,’ seolah dengan dorongan dan maksud mereka sendiri, mereka menyerahkan segalanya di bawah penghakiman ilahi. Tetapi, para malaikat yang jahat, tidak bermaksud agar apa yang mereka lakukan mengacu kepada Tuhan. Tetapi faktanya apapun yang mereka lakukan berada di bawah kuasa penghakiman ilahi…. Maka teks tidak mengatakan bahwa Iblis datang ke hadapan Allah, tetapi hanya, “Iblis ada di antara mereka.” Ia dikatakan “ada di antara mereka”, karena persamaan kodrat mereka dan juga untuk menyampaikan secara tidak langsung bahwa hal- hal yang jahat tidak terjadi/ berasal dari maksud utama Tuhan, tetapi terjadi pada orang-orang yang baik karena kebetulan.

Ada perbedaan antara hal-hal yang dilakukan malaikat-malaikat yang baik, dan yang dilakukan malaikat-malaikat yang jahat. Para malaikat yang baik melakukan hal-hal sesuai dengan perintah dan kehendak ilahi; sedangkan para malaikat yang jahat menentang Allah di dalam kehendak mereka sehingga apa yang mereka lakukan bertentangan dengan Tuhan, dalam hal maksudnya…. Maksud setan selalu jahat dan menentang Tuhan, sehingga Iblis ditanya, “Dari mana engkau?” (bukan “Apa yang sedang kaulakukan? atau Di mana engkau?), sebab maksud/ intensinya yang darinya keseluruhan tindakannya berasal- bertentangan dengan maksud Tuhan.

Berbicara dapat diartikan di dalam dua cara: 1) mengacu kepada konsep batin/ di dalam hati; 2) mengacu kepada konsep yang diungkapkan ke luar. Di dalam cara yang pertama tindakan Allah berbicara adalah kekal dan tidak ada yang lain selain melahirkan Putera-Nya yang adalah Firman-Nya sendiri. Di cara kedua, Tuhan berbicara di dalam waktu, namun dengan berbagai cara sesuai dengan apa yang berkaitan dengan mereka yang diajak-Nya berbicara. Sebab Tuhan kerap berbicara dengan manusia yang mempunyai indera jasmani dengan suara jasmani di dalam obyek ciptaan, seperti suara yang dikatakan di saat Pembaptisan dan Transfigurasi Kristus, “Inilah Anak yang Kukasihi.” (Mat 3:17; 17:5). Kadangkala Ia telah berkata melalui penglihatan imajiner sebagaimana kita baca di dalam kitab para Nabi. Kadangkala melalui pernyataan intelektual, dan Tuhan harus dipahami sebagai berbicara dengan cara sedemikian dengan Iblis, sejauh Tuhan membuat Iblis mengerti bahwa segala yang sesuatu yang dilakukannya dilihat oleh Tuhan.

Maka, seperti di dalam tindakan Tuhan berbicara kepada Iblis, Ia memberitahukan sesuatu kepada Iblis, maka Iblis yang menjawab Tuhan tentunya tidak memberitahukan Tuhan apapun; melainkan membuat Iblis paham bahwa segala sesuatu yang berkenaan dengannya ada di bawah penyelidikan Tuhan. Menurut cara bicaranya, teks berkata, “Iblis menjawab Tuhan, “Dari perjalanan mengelilingi dan menjelajahi bumi.”…. seolah memberi pertanggungjawaban kepada Tuhan…. Dengan berkeliling menjelajahi bumi, Iblis menunjukkan kelicikannya untuk mencari orang yang dapat ditelannya (lih. 1 Pet 5:8)….

Pikirkanlah bahwa Tuhan tidak hanya mengatur kehidupan orang-orang benar untuk kebaikan mereka sendiri, tetapi juga menampilkan kehidupan orang benar agar orang- orang lain dapat melihatnya…. Karena itu Tuhan menjawab Iblis, “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub?”, seperti seolah Ia hendak berkata: Engkau berkeliling dan menjelajahi bumi, tapi dapatkah engkau memperhatikan hambaku Ayub dan kagum akan kebajikannya.

Orang-orang yang menyimpang, yang dipimpin oleh Iblis… umumnya secara tidak adil menuduh orang-orang yang kudus tidak bertindak dengan maksud yang benar, sebab mereka tidak dapat menemukan kesalahan di dalam kehidupan orang-orang kudus. [Demikianlah yang dimaksudkan oleh Iblis saat ia berkata, “Kulit ganti kulit! Orang akan memberikan segala yang dipunyainya ganti nyawanya”]…sepertinya Ayub melayani Tuhan karena ia telah menerima banyak berkat jasmani dari Tuhan dalam hidupnya. ….

Iblis menunjukkan bahwa Ayub mencapai kekayaan di dunia ini dengan dua cara. Pertama, karena ia dibebaskan Tuhan dari pertentangan/ kesulitan. Kedua karena kekayaannya dilipatgandakan oleh Tuhan. Maka Iblis menuduh bahwa perbuatan-perbuatan Ayub yang baik hanya dilakukannya dengan maksud agar memperoleh kebaikan/ berkat duniawi. Padahal, jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan tidak mengacu kepada kemakmuran duniawi sebagai ganjarannya; jika tidak, bukanlah menjadi maksud yang menyimpang jika orang melayani Tuhan untuk maksud memperoleh kemakmuran duniawi. Namun keadaan kebalikannya juga benar: Kesulitan/ pencobaan duniawi bukanlah hukuman atas dosa-dosa. Hal ini menjadi topik yang dibahas di keseluruhan kitab Ayub.

Iblis ingin menunjukkan bahwa Ayub melayani Tuhan karena kemakmuran duniawi yang telah diperolehnya. Maka ia menambahkan, “Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah tulang dan dagingnya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu”… Maka Iblis menuduh bahwa Ayub hanya berpura-pura baik….

Tetapi, seperti telah saya katakan, Tuhan berkehendak agar kebajikan orang-orang kudus-Nya menjadi diketahui oleh semua orang, …adalah menyenangkan hati-Nya bahwa semua orang melihat perbuatan- perbuatan baik Ayub, dan bahwa maksud Ayub yang benar juga diketahui semua orang. Maka Tuhan berkehendak menarik Ayub dari kemakmuran dunia, agar ketika ia tetap berteguh dalam takut akan Tuhan, akan menjadi jelas bahwa ia takut akan Tuhan dengan maksud yang benar dan bukan karena berkat- berkat duniawi. Perhatikanlah bahwa Tuhan menghukum orang-orang jahat melalui para malaikat yang baik dan malaikat yang jahat, tetapi tidak pernah mengirimkan pencobaan/bencana pada orang- orang baik kecuali melalui malaikat yang jahat. Maka Tuhan tidak menghendaki bahwa pencobaan dibawa kepada Ayub kecuali melalui Iblis, dan karena ini teks mengatakan, “Maka firman Tuhan kepada Iblis: Nah, ia dalam kuasamu; hanya sayangkan nyawanya.” Dari teks ini kita dibuat mengerti bahwa Iblis tidak dapat mengganggu orang-orang benar sekehendak hatinya, tetapi hanya sejauh yang diizinkan Tuhan saja. Ketahuilah juga bahwa Tuhan tidak memerintahkan Iblis untuk menyerang Ayub, namun hanya memberikan dia kuasa untuk melakukan itu…

Jelaslah bahwa sebab dari bencana yang dialami oleh Ayub adalah bahwa kebajikannya harus dibuat menjadi jelas bagi semua orang. Maka Kitab Suci berkata, “…kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya….” (Yak 5:11). Hati-hatilah agar jangan percaya bahwa Tuhan telah dibujuk oleh perkataan Iblis untuk memperbolehkan Ayub dicobai, tetapi Allah memerintahkan hal ini dari kekekalan untuk membuat kebajikan Ayub menjadi jelas, melawan tuduhan- tuduhan yang salah dari mereka yang tidak saleh. Karena itu, tuduhan-tuduhan yang salah ditempatkan lebih dulu, baru kemudian diikuti oleh izin ilahi.

Dengan penjelasan St. Thomas Aquinas ini, kita memahami bahwa percakapan antara Allah dan Iblis terjadi sebagai pernyataan intelektual yang dinyatakan Allah kepada Iblis, agar Iblis mengetahui bahwa segala sesuatu yang dilakukannya berada di bawah penglihatan dan penyelidikan Allah. Percakapan ini dan keseluruhan implikasinya dimaksudkan Allah agar manusia mengetahui bahwa: 1) pencobaan/ bencana yang terjadi pada orang-orang benar bukan terjadi karena perintah Allah, namun terjadi atas izin Allah; 2) hal itu terjadi agar segala kebajikan orang-orang benar dan maksudnya yang benar, dapat dinyatakan kepada semua orang. Dengan prinsip ini pula kita ketahui bahwa Iblis bukanlah hamba yang melayani Allah, namun sebagai penentang Allah yang tak akan dapat melampaui Allah.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab