Home Blog Page 113

Penciuman Salib, apakah itu berhala?

20

Pada perayaan Jumat Agung, Gereja Katolik mengadakan upacara penghormatan/ penciuman Salib Kristus. Ada sejumlah orang yang mempertanyakannya, bahkan mencurigainya sebagai ‘berhala’. Untuk itu kita perlu memahami makna penciuman Salib, dan apakah pengertian berhala, agar kita dapat membedakannya.

Penciuman Salib pada perayaan Jumat Agung bukan berhala, karena yang dihormati bukan salib itu, tetapi maknanya, yaitu Kristus yang tersalib, yang rela mengurbankan diri-Nya demi menebus dosa-dosa kita. Penghormatan kepada Kristus yang tersalib, adalah sesuai dengan ajaran Sabda Tuhan sebagaimana tertulis dalam Surat Rasul Paulus, “Aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain dari Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor 2:2). Itulah juga sebabnya, mengapa salib di Gereja Katolik menyertakan tubuh (corpus) Kristus, yang disebut sebagai Crucifix, yang arti literalnya adalah: Seseorang yang disalibkan. Penghormatan terhadap Crucifix ini disebut sebagai dulia relatif, yang arti dan dasar Kitab Suci-nya sudah pernah dijabarkan di sini, silakan klik. Silakan membandingkannya dengan pengertian berhala, sebagaimana pernah diulas di sini, silakan klik.

Selama masa Prapaskah, Gereja mengajak seluruh umat untuk merenungkan peristiwa iman yang menjadi dasar seluruh iman Katolik, yaitu Allah Bapa yang mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk datang ke dunia untuk menyelamatkan kita dari belenggu dosa. Dan kasih-Nya kepada umat manusia mencapai puncaknya pada hari Jumat Agung, hari di mana Yesus mengurbankan diri-Nya dengan wafat-Nya di kayu salib untuk menyelamatkan kita manusia. Dari pengorbanan di salib inilah, maka seluruh berkat dari Allah mengalir dan Roh Kudus juga tercurah kepada umat-Nya. Jadi kita melihat bahwa tanpa peristiwa wafat Yesus di salib atau Jumat Agung tidak akan ada kebangkitan Kristus atau Minggu Paskah. Untuk inilah salib menjadi tanda kemenangan dan kekuatan Allah (1 Kor 1:18). Penghormatan salib Kristus dalam liturgi Jumat Agung dimulai sekitar abad ke-4 di Yerusalem, yang kemudian berkembang ke seluruh dunia, sampai sekarang. Kita tidak dapat merayakan dan menekankan Kebangkitan Kristus tanpa merenungkan sengsara dan wafat-Nya di kayu salib, yang mendahului Kebangkitan-Nya.

Jadi penciuman salib adalah berakar dari tradisi yang mempunyai dasar teologi yang dalam. Kalau kita perhatikan semua yang dilakukan di dalam liturgi adalah merupakan ungkapan ekspresi iman yang keluar dari hati. Juga penciuman salib Kristus adalah suatu ekspresi yang keluar dari dalam hati, yaitu suatu ekspresi syukur dan kasih kepada Yesus yang telah terlebih dahulu mengasihi kita. Tentang dalamnya Makna Tanda Salib, silakan membaca di sini, silakan klik.

Pertanyaannya, apakah di ibadat Jumat Agung, kita boleh maju dan menghormati Kristus tanpa mencium salib? Boleh saja, sejauh hati kita benar-benar mengasihi Kristus dan menghormati dan mensyukuri pengorbanan-Nya. Namun bagi kami pribadi, kami memilih untuk mencium salib. Tidak ada penghormatan bagi Kristus Tuhan yang terlalu berlebihan. Semua penghormatan yang kita lakukan adalah selalu kurang dibandingkan apa yang seharusnya diterima oleh YesusPada saat kita menghormati salib Kristus kita mensyukuri rahmat kasih-Nya yang tak terbatas, yang telah menyelamatkan kita. Kita mensyukuri kasih-Nya yang terbesar, sebab tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabat-Nya (Yoh 15:13). Dan penyerahan diri ini nyata terlihat dari Sang Crucifix, yaitu Kristus yang tersalib.

Tuhan Yesus, terima kasih atas pengorbanan-Mu di kayu salib bagiku. Bantulah aku untuk bersama Rasul Paulus, mengatakan ini dengan iman: “Aku telah disalibkan dengan Engkau. Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Engkau yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Engkau, yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Mu untuk aku.” (Gal 2:19-20)

Apakah Injil Yohanes tidak ditulis oleh Rasul Yohanes?

2

Berikut ini adalah tanggapan terhadap pandangan yang meragukan bahwa Injil Yohanes ditulis oleh Rasul Yohanes.

Hal otentisitas Injil Yohanes -yaitu bahwa Rasul Yohaneslah yang menulis Injil Yohanes-  tidak pernah diragukan oleh Gereja Katolik. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik. Bukti yang meneguhkan otentisitas Injil Yohanes (yaitu bahwa Rasul Yohaneslah yang menulis Injil Yohanes), berasal dari tulisan para Bapa Gereja yang hidup lebih dekat dengan masa kehidupan Rasul Yohanes, sehingga kebenarannya lebih terjamin daripada hipotesa para teolog modern yang hidup terpisah sekian abad dengan Rasul Yohanes itu sendiri.

Kalau kita mau mengetahui informasi yang akurat tentang suatu kecelakaan, misalnya, yang terbaik adalah mendengarkan kesaksian saksi kecelakaan itu sendiri daripada mendengarkan dari tetangga dari  kakak temannya teman dari orang yang mengalami kecelakaan itu. Pointnya adalah semakin dekatnya narasumber terhadap terjadinya peristiwa, semakin akuratlah informasi yang disampaikan, karena jika tidak sesuai, ada para saksi lainnya yang masih hidup yang dapat membantahnya. Nah kesaksian tentang otentisitas Injil Yohanes diperoleh langsung dari tulisan para murid Rasul Yohanes itu sendiri. St. Irenaeus adalah murid dari St. Polycarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes.

1. Injil Yohanes ditulis oleh Cerinthus seorang Gnostik?

Sejujurnya pandangan yang mengatakan bahwa Cerinthus (seorang Gnostik) adalah pengarang Injil Yohanes adalah pandangan yang tidak masuk akal. Karena ajaran Cerinthus itu justru bertentangan dengan ajaran yang dituliskan dalam Injil Yohanes. Justru karena bertentangan inilah maka dikatakan bahwa Injil Yohanes ditulis antara lain juga untuk meluruskan ajaran sesat Cerinthus yang memang hidup sezaman dengan Rasul Yohanes. Menurut catatan ahli sejarah Gereja abad awal, Eusebius, dalam bukunya Church History, Buku III, bab 28, disebutkan tentang Cerinthus dan ajarannya (silakan membaca teks selengkapnya di link ini, silakan klik). Penatua/ presbyter Caius menulis demikian:

But Cerinthus also, by means of revelations which he pretends were written by a great apostle, brings before us marvelous things which he falsely claims were shown him by angels; and he says that after the resurrection the kingdom of Christ will be set up on earth, and that the flesh dwelling in Jerusalem will again be subject to desires and pleasures. And being an enemy of the Scriptures of God, he asserts, with the purpose of deceiving men, that there is to be a period of a thousand years for marriage festivals.”

Maka justru menurut catatan sejarah, penatua Caius malah menulis bahwa Cerinthus itu adalah seorang pengajar yang menyimpang, seorang musuh Kitab Suci “an enemy of the Scriptures of God“. Tidak mungkin malah Caius mengatakan bahwa Cerinthuslah yang mengarang Injil Yohanes. Cerinthus itu mengajarkan kenikmatan daging selama seribu tahun setelah kebangkitan Kristus. Hal ini sama sekali tidak diajarkan dalam Injil Yohanes.

2. Injil Yohanes menuliskan ajaran yang terpengaruh ajaran pagan?

Tentang adanya pandangan yang mencurigai adanya pengaruh teori pagan dalam Injil Yohanes, itu adalah sebuah asumsi. Sebab hal bahwa Allah menyatakan diri-Nya dalam Firman-Nya itu sejalan dengan pengajaran dalam kitab Perjanjian Lama. Sang Kebijaksanaan itu sudah diajarkan sejak Kitab Perjanjian Lama, jadi bukan inovasi Injil Yohanes.

Dikatakan demikian dalam Kitab Kebijaksanaan:

Pada-Mu adalah kebijaksanaan yang mengenal segala pekerjaan-Mu, yang ada tatkala dunia semesta Kaujadikan, dan mengetahui apa yang diperkenankan oleh-Mu, dan lagi apa yang lurus menurut perintah-Mu. Maka sudilah kiranya mengirimkan dia dari sorga-Mu yang suci, dan mengutusnya dari takhta kemuliaan-Mu, agar ia ada padaku dan berusaha bersama denganku, dan aku mengetahui apa yang berkenan pada-Mu. Sebab kebijaksanaan mengetahui dan memahami segala-galanya, dan dengan bijak dapat memimpin aku dalam segala langkah lakuku serta menjaga aku dengan kemuliaannya.” (Keb 9:9-11)

Sedangkan dalam Injil Yohanes dikatakan:

Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan…. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” (Yoh 1:3, 14)

Di sini terlihat bahwa Injil Yohanes dalam kitab Perjanjian Baru merupakan penggenapan dari apa yang sudah secara samar-samar disampaikan dalam Kitab Kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama. Sang Kebijaksanaan yang sudah ada tatkala dunia dijadikan Allah, adalah Sang Firman, dan kini Firman itu telah menjadi manusia, yaitu sebagai Anak Tunggal Bapa.

Berikut ini adalah tanggapan atas beberapa point yang ditanyakan:

1. Akal dan Logos berhubungan dengan dewa dewi Yunani?

Bahwa ada penggambaran tentang Akal dan Logos dalam filosofi Yunani, itu tidak berarti bahwa Allah “meniru-niru” filsafat Yunani. Sebaliknya, Allah dapat mendorong para filsuf Yunani itu untuk mendekati-Nya hanya dengan akal budi, yaitu ilmu fisafat. Namun untuk sampai kepada pemahaman akan apa yang diwahyukan-Nya dalam Kitab Suci diperlukan iman. Dengan demikian, akal budi dan iman memang keduanya diperlukan untuk sampai kepada pemahaman akan Allah. Itulah sebabnya, Gereja mengajarkan bahwa Allah yang menciptakan manusia menurut gambar-Nya, memang menciptakan manusia dengan akal budi dan kehendak. Itulah sebabnya manusia dapat mencari, mengenali dan mengasihi Allah Penciptanya. Bahwa hanya dengan akal budi saja, seseorang dapat sampai kepada pengertian akan adanya “Sang Penyebab segala sesuatu” dan “Sang Pemikir/Perencana segala sesuatu”, itu benar. Namun dibutuhkan iman untuk dapat mengetahui bahwa Sang Penyebab, Pemikir, Perencana itu adalah Allah. Allah sendiri mewahyukan Diri-Nya demikian, yaitu bahwa Ia, menjadikan segala sesuatunya dengan Firman-Nya. Maka Allah Sang Pemikir, yang menjadi satu kesatuan dengan Pikiran-Nya (Sang Firman), itulah yang menjadi Penyebab/ Pencipta segala sesuatu.

Maka hal bermacam dewa dewi Yunani tentu saja tidak sesuai dengan ajaran iman Kristiani, yang mengajarkan tentang Allah yang satu/ esa. Namun prinsip bahwa dalam keesaan Allah itu, ada Sang Firman Allah, itu sudah diwahyukan Allah dalam kitab Kebijaksanaan (abad-2 sebelum Masehi), dan bahkan jauh sebelumnya, yaitu di Kitab Kejadian (beratus-ratus ataupun beribu tahun sebelum Masehi), di mana dikatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan Firman-Nya (lih. Kej 1:1-dst).

2. Inkarnasi berhubungan dengan kultus kesuburan?

Menghubungkan kultus kesuburan dengan Inkarnasi, menurut saya adalah sesuatu yang dipaksakan.  Sebab bukan baru pada saat Inkarnasi Sang Firman itu baru ada. Sang Firman, yang disebut sebagai Putera Allah, sudah ada sejak awal mula, sejak kekekalan, dan bukan dilahirkan dari hubungan perkawinan seperti yang terjadi pada perkembangbiakan manusia. Putera ini berasal dari Bapa sebagaimana Sang Pengetahuan lahir dari Sang Yang Mahatahu. Hal Inkarnasi ada karena rencana Allah untuk membebaskan manusia dari dosa, sebab Allah tahu bahwa dari kekuatannya sendiri, manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri.

Hal rencana Allah mengutus Sang Firman itu untuk menjadi manusia, untuk mengalahkan kuasa dosa/ iblis itu juga sudah dicatat dalam Kitab Kejadian (lih. Kej 3:15), sesaat setelah manusia pertama, Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, yang menurunkan dosa kepada segenap umat manusia. Untuk mengalahkan kuasa dosa, maka Sang Firman itu, ketika saatnya telah genap, menjadi manusia, sengsara, wafat dan bangkit dari kematian. Ia menjadi manusia, supaya bisa mewakili manusia, namun Ia tetap adalah Tuhan, sehingga pengorbanan-Nya mempunyai nilai yang tak terbatas untuk menebus dosa segenap umat manusia. Karena ke-Tuhan-an-Nya, Sang Firman itu, yaitu Yesus Kristus dapat bangkit dari kematian, dan inilah yang dirayakan oleh umat Kristen pada hari Raya Paska. Jika perayaan Paska itu kebetulan jatuh berdekatan dengan masa panen, itu adalah dua hal yang berbeda. Sebab Paska yang dirayakan oleh umat Kristiani lebih mengacu kepada penggenapan makna hari Raya Paska Yahudi, dan tidak ada acuan sama sekali kepada dewa dewi kesuburan. Pembahasan tentang hal ini, sudah pernah ditulis di artikel ini, silakan klik.

3. Dualisme Tuhan Kebenaran dan Cahaya dipengaruhi Doktrin Majusi Persia?

Sejujurnya, ada banyak sebutan lain bagi Tuhan Yesus yang tertulis dalam Kitab Suci, bukan hanya Kebenaran dan Cahaya/ Terang. Dalam Injil Yohanes, Tuhan Yesus mengatakan bahwa Ia adalah “Jalan, Kebenaran dan Hidup” (Yoh 14:6), “Terang Dunia” (Yoh 8:12), “Roti Hidup” (Yoh 6:35,48,51), “Pokok Anggur” (Yoh 15:1), “Gembala yang baik” (Yoh 10:11,14), “Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat” (Yoh 10:9), “Akulah kebangkitan dan hidup” (Yoh 11:25). Maka sebutan untuk Tuhan dalam Kitab Suci bukan hanya bahwa Ia adalah Sang Kebenaran dan Terang, tetapi juga banyak yang lain, terutama juga, Allah adalah Kasih (lih. Yoh 4:8).

Maka jika doktrin majusi Persia menyebut dualisme kebenaran dan terang bagi apa yang mereka kenal sebagai Tuhan, itu tidak membuktikan apapun. Sebab dalam Kitab Suci Kristiani, Tuhan tidak hanya dualisme Kebenaran dan Terang. Sejujurnya malah yang jelas tertulis dalam Kitab Suci adalah kesatuan antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (lih. Mat 28:19-20), yang umum dikenal dengan sebutan Trinitas atau Allah Tritunggal Maha Kudus.

3. Karena nama Yohanes bin Zebedeus tidak disebut di Injil Yohanes, maka tidak otentik?

Sejujurnya, kita tidak dapat memaksakan kriteria bahwa setiap penulis Kitab Suci harus menyebutkan namanya sendiri dalam penulisan Injil tersebut. Adalah hak penulis itu apakah ia mau menyatakan nama jelasnya, atau nama samaran, atau bahkan tidak menyatakan sama sekali namanya. (Hal ini juga berlaku sampai sekarang terhadap suatu karya tulis). Adalah hak Rasul Yohanes untuk menuliskan dirinya sebagai “murid yang dikasihi” oleh Tuhan Yesus, sebab memang nyatanya ia adalah salah seorang dari murid-murid yang terdekat dengan Tuhan Yesus (lih. Yoh 13:23).

Dalam Kitab Suci Kristiani, bukan hanya Injil Yohanes yang tidak menyatakan nama jelas penyusunnya. Sejujurnya, mayoritas kitab-kitab dalam Kitab Suci tidak menuliskan dengan jelas, “….(nama) adalah pengarang kitab ini”. Bahkan kelima Kitab Musa dalam Perjanjian Lama tidak secara eksplisit menuliskan bahwa kitab-kitab tersebut ditulis oleh Nabi Musa. Namun demikian Gereja menerima kitab-kitab tersebut sebagai kitab-kitab yang otentik. Demikian juga banyak kitab lainnya, yang tidak mencantumkan dengan jelas nama pengarangnya di dalam kitab itu sendiri, seperti di kitab Yosua, Hakim-hakim, Rut, 1&2 Raja-raja, 1& Tawarikh, Ayub, dst.

Bahkan otentisitas Injil yang pertama ditulis, yaitu Injil Matius, diketahui dari tulisan-tulisan lain di abad-abad awal, dari para Bapa Gereja yaitu para penerus Rasul, yang memberikan kesaksian bahwa Rasul Matiuslah menuliskan Injil Matius. (Namun perkataan “Matiuslah yang menulis Injil ini”, tidak ada di dalam Injil Matius itu sendiri). Yang memberikan kesaksian ini adalah para Bapa Gereja (penerus Rasul), yang dikenal dengan istilah Tradisi Suci, yaitu Surat St. Klemens dari Roma (1 Ep. ad Cor, 95 AD), Surat Barnabas (100-130), Surat St. Ignatius dari Antiokhia (115), Didache (100), tulisan St. Papias, murid langsung St. Yohanes, (Explanation of the Lord’s Discourses, 125), St. Irenaeus (Adversus Haereses 3:1, 180 AD), Origen (dikutip dalam Eusebius, Church History 6:25, 233 AD). Di sini terlihat kaitan yang tak terpisahkan antara Kitab Suci, Tradisi Suci, dan kuasa mengajar Gereja (Magisterium) yang mengajarkannya.

Dengan demikian, kita tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa jika tidak ditulis nama asli pengarangnya dalam Injil, artinya Injil tersebut tidak otentik. Gerejalah yang menentukan atas inspirasi Roh Kudus dan berdasarkan bukti-bukti otentik lainnya, bahwa Injil tersebut sungguh ditulis oleh pengarangnya, dan apa yang dituliskan di sana merupakan Wahyu Ilahi. Nah, walaupun ada banyak kitab injil di abad-abad awal itu, hanya ada empat saja yang memenuhi kriteria tersebut, yaitu Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Pada tahun 387, Paus Damasus I (juga kemudian Konsili Hippo 393 dan Karthago 397, dst) menetapkan daftar kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang kemudian dikenal dengan kanon Kitab Suci. Kitab-kitab yang termasuk dalam kanon inilah yang dikenal sampai sekarang sebagai Kitab Suci.

4. Tentang waktu penulisan Injil Yohanes, baru tahun 40-140?

Menurut perkiraan para ahli sejarah dan Kitab Suci, Injil Yohanes ditulis sekitar tahun 90-100, sekitar tahun 96.

Dasarnya adalah:

1. Menurut kesaksian para Bapa Gereja, Injil Yohanes (Injil ke-empat) ditulis setelah ketiga Injil lainnya (yang disebut Injil Sinoptik) selesai ditulis. Eusebius, dan sejumlah pakar lainnya memperkirakan bahwa Injil Matius ditulis sekitar tahun 38-45, Injil Lukas dan Markus sekitar 62-68 AD. Dengan demikian, tidak mungkin Injil Yohanes ditulis sekitar tahun 40an.

2. Injil Yohanes ditulis setelah kematian Rasul Petrus (sekitar tahun 68), sebab bab terakhir Injil tersebut, secara khusus bab 21:18-19 mengacu kepada kematian Petrus, sang pemimpin para Rasul tersebut.

3. Injil tersebut ditulis setelah kejatuhan Yerusalem dan Bait Allah, sebab apa yang ditulis oleh sang pengarang Injil tentang bangsa Yahudi (secara khusus dalam Yoh 11:18; 18:1; 19:41) nampak mengindikasikan bahwa kejatuhan kota tersebut dan kejatuhan Israel sebagai bangsa telah terjadi.

4. Teks Yoh 21:23 seakan menunjukkan bahwa Rasul Yohanes telah berusia lanjut ketika ia menuliskan Injilnya tersebut.

5. Mereka yang menolak keTuhan-an Yesus- yaitu topik yang secara khusus dibahas oleh Rasul Yohanes di sepanjang Injilnya- mulai menyebarkan ajaran-ajaran mereka yang menyimpang di sekitar akhir abad ke-1 tersebut.

6. Bukti langsung tentang penyusunan Injil ke-empat ini diperoleh dari tulisan yang disebut “Monarchian Prologue” yang ditulis sekitar tahun 200, tentang waktu penulisan Injil Yohanes: “Ia (Rasul Yohanes) menulis Injil ini di provinsi Asia, setelah ia telah menyusun kitab Wahyu di Pulau Patmos.” Pembuangan Rasul Yohanes ke pulau Patmos terjadi di akhir tahun Kaisar Domitian (sekitar tahun 95). Beberapa bulan sebelum kematiannya (18 September, 96), Kaisar Domitian menghentikan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen dan menarik kembali orang-orang yang diasingkan (lih. Eusebius, Church History III.20.5-7). Maka bukti ini menempatkan penyusunan Injil Yohanes di sekitar tahun 96 atau satu atau dua tahun berikutnya.

7. St. Irenaeus, murid dari St. Polycarpus yang adalah murid Rasul Yohanes, menulis bahwa Rasul Yohanes menuliskan Injilnya di Efesus, Asia. (lih. Against Heresies, III.1.2)

8. Eusebius dari Kaisarea -seorang sejarawan abad awal, (313-323) menulis demikian, “Mari mengindikasikan tulisan-tulisan yang tidak diragukan lagi dari Rasul ini [Yohanes]. Dan pertama-tama, Injilnya yang dikenal oleh semua Gereja di bawah kolong langit harus memperoleh pengakuan sebagai tulisan yang asli (otentik).” (Eusebius, Church History III.24.1-2)

Maka bukti-bukti ini menunjukkan kecocokan satu sama lain. Demikian pula, fakta bahwa tahun 1920 ditemukan fragmen papyrus yang disebut dengan PRG 457 di Mesir, yang dipublikasikan oleh C.H Roberts di Manchester University Press tahun 1935. Fragmen tersebut adalah salinan Injil Yohanes, yaitu Yoh 18:31-33, 37-38. Para ahli paleografi memperkirakan bahwa fragmen tersebut berasal dari awal abad ke-2, tak lebih dari tahun 150. Ini memperkuat pandangan bahwa Injil Yohanes memang ditulis di Asia sekitar tahun 100-an, dan dalam waktu sekitar 20-50 tahun, salinannya sampai ke Mesir, untuk juga dibacakan kepada jemaat di sana.

5. Perkataan “Dialah murid” (Yoh 21:24) bukan “Akulah murid” membuktikan penulisnya bukan Rasul Yohanes?

Nampaknya, kita tidak dapat memaksakan kriteria ini. Sebab ini merupakan gaya bahasa penulis, yang memang mempunyai karakter “reserved“, tidak ingin menonjolkan dirinya, dan ini tercermin dalam caranya menuturkan Injilnya. Lagipula ada juga kitab- kitab lainnya dalam Kitab Suci, yang walaupun nama penulisnya jelas tertulis, tetapi penulis itu juga menyebutkan namanya sebagai orang ketiga.

Contohnya dalam kitab Barukh:

“Inilah segala perkataan kitab yang ditulis oleh Barukh bin Neria bin Mahseya bin Zedekia bin Asadia bin Hilkia di negeri Babel….     Segala perkataan kitab ini dibacakan oleh Barukh sendiri di hadapan Yekhonya putera Yoyakim, raja Yehuda, dan di depan seluruh rakyat yang telah datang untuk pembacaan kitab itu….” (Bar 1:1,3)

Di sana dikatakan bukan “dibacakan oleh aku sendiri”, namun dikatakan “dibacakan Barukh [dia] sendiri”, seolah penulis itu melaporkan suatu kejadian sebagai pihak ketiga.

Contoh lainnya juga di Kitab Kejadian, disampaikan bahwa Allah-pun menggunakan kata ganti orang ketiga untuk menyebutkan tentang diri-Nya sendiri kepada Abraham:

“Berpikirlah TUHAN: “Apakah Aku akan menyembunyikan kepada Abraham apa yang hendak Kulakukan ini? Bukankah sesungguhnya Abraham akan menjadi bangsa yang besar serta berkuasa, dan oleh dia segala bangsa di atas bumi akan mendapat berkat? Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya.” (Kej 18:17-19)

Di sini terlihat bahwa umum dalam Kitab Suci, terlihat penyampaian dengan cara sedemikian, di mana pribadi yang menyampaikan pesan ditulis sebagai orang ketiga.

Demikianlah yang terjadi di Injil Yohanes ketika Rasul Yohanes menyebutkan, “Dialah murid, yang memberikan kesaksian tentang semuanya ini”. Murid yang disebutkan di sini mengacu kepada “murid yang dikasihi Tuhan Yesus”, sebagai istilah yang digunakan oleh Rasul Yohanes untuk mengacu kepada dirinya sebagai penulis Injil tersebut. Cara penuturan sebagai orang ketiga, tidaklah aneh untuk karya tulis pada masa itu. Itulah sebabnya para Bapa Gereja abad awal seperti St. Yohanes Krisostomus, St. Sirilus dan St. Agustinus, yang banyak menuliskan penjelasan tentang Injil Yohanes, tidak meragukan keotentikan Injil Yohanes, walaupun ada ayat-ayat yang menuliskan penyampaian seolah dari pihak ketiga, dengan menggunakan kata “ia” (lih. Yoh 19:35).

6. Injil Yohanes tidak otentik karena tidak melaporkan kejadian Transfigurasi?

Perlu diketahui bahwa cara penuturan Injil Yohanes memang tidak sama dengan cara penuturan ketiga Injil lainnya, namun ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menolak otentisitasnya. Jangan lupa bahwa memang Yohanes adalah salah seorang Rasul yang terdekat dengan Yesus, yang bersandar kepada-Nya di saat Perjamuan Terakhir, dan yang setia menyertai Yesus sampai ke kayu salib, sementara murid-murid yang lain meninggalkan Dia. Kepada Rasul Yohaneslah, Tuhan Yesus mempercayakan ibu-Nya, Bunda Maria, sesaat sebalum wafat-Nya (lih. Yoh 19:25-27). Maka tidak mengherankan, keeratan hubungan dengan Kristus ini mewarnai cara penuturan Injil-Nya, sehingga fokusnya lebih kepada Pribadi Kristus sendiri, dan bukan semata menjabarkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Kristus. Penjabaran peristiwa hidup Yesus sudah dengan lebih lengkap disampaikan oleh Injil-Injil sinoptik (Matius, Markus dan Lukas). Mengingat bahwa Injil ini ditulis terakhir setelah ketiga Injil lainnya dituliskan, maka nampaknya Rasul Yohanes memang sengaja tidak mengulangi apa yang menurutnya sudah disampaikan dengan cukup jelas oleh Injil-injil sinoptik tersebut. Rasul Yohanes hanya menambahkan bebeberapa penekanan, untuk melengkapi pemahaman akan suatu kejadian ataupun ajaran Yesus.

Maka bukan hanya peristiwa Transfigurasi yang tidak diulangi oleh di Injil Yohanes. Peristiwa lainnya yang juga sangat penting, yang tidak diulangi penjabarannya oleh Rasul Yohanes adalah peristiwa Perjamuan Terakhir. Ketiga Injil sinoptik menjabarkan tentang detail perjamuan itu, saat Kristus memecahkan roti mengangkat piala anggur, dan mengubahnya menjadi Tubuh dan Darah-Nya, suatu mukjizat yang kemudian dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus dalam setiap perayaan Ekaristi oleh Gereja-Nya sejak saat itu, sekarang dan sampai akhir zaman. Namun Rasul Yohanes, walaupun ia adalah murid yang bersandar pada Yesus pada peristiwa itu, memilih untuk tidak mengulangi penjabaran peristiwa makan bersama itu. Rasul Yohanes memilih untuk menjabarkan hal pencucian kaki para rasul, yang terjadi pada saat perjamuan terakhir itu, yang memang belum disebutkan dalam ketiga Injil Sinoptik. Demikianlah maka Gereja melihat bahwa apa yang dikisahkan dalam Injil-injil merupakan narasi yang saling melengkapi, dan bukan untuk dipertentangkan satu sama lain, mengingat semua Injil (dan kitab-kitab lainnya) ditulis atas inspirasi Roh Kudus yang sama.

Dengan prinsip ini, Gereja tidak membedakan tingkat kebenaran, apakah suatu kejadian dituliskan hanya di satu Injil atau di keempat Injil. Semuanya yang tertulis dalam Kitab Suci tetap adalah ajaran yang benar (lih. 2 Tim 3:16), sebab diwahyukan oleh Allah sendiri. Justru adanya fakta bahwa kejadian-kejadian dituliskan dari sisi yang berbeda oleh penulis yang berbeda dapat menyampaikan maksud yang sama dan saling melengkapi, itu merupakan suatu bukti yang menyatakan bahwa Roh Kudus yang mengilhami penulisan Injil-injil itu adalah Roh Kudus yang sama, dan bahwa Injil bukan hanya karya tulis manusia semata.

Kenyataannya Injil ditulis oleh Gereja, yaitu oleh para Rasul (Matius dan Yohanes) dan para pembantu mereka (Markus yang adalah penerjemah Rasul Petrus dan Lukas yang adalah rekan pembantu Paulus); dan juga ditujukan kepada Gereja, yaitu jemaat. Maka Gereja-lah pula yang paling mengetahui apakah suatu tulisan itu otentik atau tidak, dan bagaimana mengartikannya. Orang-orang yang terpisah sekian abad dengan Gereja awal, apalagi yang memang sejak awal tidak mengimani apa yang diajarkan oleh Gereja, tidak dapat memaksakan pandangannya tentang Kitab Suci yang diimani oleh Gereja. Sebagai umat Katolik, kami menyadari bahwa ada banyak orang yang tidak meyakini kebenaran Kitab Suci sebagaimana Gereja meyakininya. Hal ini tidak menghalangi kami umat Katolik untuk mengasihi dan menghormati pandangan mereka; namun sebaliknya, tidak juga menggoyahkan iman kami bahwa apa yang disampaikan dalam Kitab Suci adalah kebenaran.

Back on track

0

Sebab Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi,  memeteraikan tanda milik-Nya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita.  (2 Kor 1: 21-22)

Pengalaman mencintai dan dicintai merupakan pengalaman terindah dalam hidup manusia. Cinta juga adalah salah satu kebutuhan paling mendasar dalam kehidupan, sebenarnya bukan hanya bagi manusia, namun bagi semua mahluk hidup.  Kehidupan menjadi utuh dan berfungsi sebagaimana mestinya, selama cinta kasih dialami dan dibagikan di dalamnya.

Saya teringat syair lagu cinta di masa remaja, di mana saat jatuh cinta adalah saat dunia terasa begitu indah, apa saja yang diucapkan kekasih selalu diingat, semua begitu sedap dipandang, rasanya selalu ingin tersenyum sepanjang waktu. Cinta bisa begitu memberi semangat dan arti bagi hidup kita, sehingga semua aktivitas kita digerakkan dan dimotivasi olehnya seperti energi bahan bakar menggerakkan mesin atau energi listrik menyalakan lampu. Padahal itu baru cinta dari sesama manusia, yang bisa pudar, dapat lenyap, berubah seiring perjalanan kehidupan, atau pindah ke lain hati.

Sebelum manusia mengerti arti cinta untuk pertama kalinya, yaitu dicintai oleh ayah dan ibu sebagai manusia pertama yang memberikan cinta di awal kehidupannya, dan bahkan sebelum manusia menyadari bahwa ia membutuhkan cinta, sebenarnya Tuhan adalah pihak pertama yang telah terlebih dahulu dan pertama kali, mencintai manusia. (1 Yoh 4:19). Tuhan adalah Sumbernya cinta di dalam kehidupan, dan sedari sangat awal, semua ciptaan ada karena cinta kasih-Nya.

Namun pengalaman dicintai Tuhan kadang-kadang belum merupakan pengalaman yang mengubah dan menggerakkan hidup manusia, terutama bagi kita yang masih meragukan bahwa Tuhan itu ada, bagi yang hatinya pahit oleh karena berbagai kepedihan dan kesusahan hidup, bagi yang tenggelam dalam rutinitas hidup, juga yang terbuai dalam berbagai kemudahan hidup sehingga merasa bahwa segala karunia yang diterima dari Tuhan adalah sudah biasa atau sudah seharusnya ada tanpa merasa perlu untuk mengapresiasinya secara khusus.

Ada sebuah teminologi berbunyi demikian, “hurt people hurt people” (orang yang terluka, melukai orang lain). Banyak masalah ketidakharmonisan antar manusia hingga berbagai tindak kejahatan, jika ditarik akar penyebabnya, sebenarnya terjadi karena pelakunya merasa tidak dicintai dan tidak mengalami cinta. Transfer kepahitan ini bisa menjadi suatu lingkaran yang tidak ada habisnya.  Sebab kita memang tidak bisa memberikan kepada orang lain apa yang tidak kita punyai. Manusia yang tidak merasakan cinta dan dicintai pertama-tama cenderung melukai dirinya sendiri. Ia menjadi murung dan membiarkan ketidakbahagiaan merundung dirinya. Bila ia sampai melukai orang lain karena kepahitan hatinya, sesungguhnya itu juga manifestasi dari melukai diri sendiri karena pada dasarnya, manusia tidak diciptakan untuk berkeinginan melukai dan mencelakakan orang lain. Manusia lahir karena cinta dan semua yang ada padanya adalah wujud cinta kasih Allah yang telah mendesainnya demikian indah dan rumit baik dari segi fisik, jiwa dan pikirannya.

Cinta Tuhan kepada setiap orang sesungguhnya sangat personal dan dinyatakanNya dengan seribu satu macam cara. Bapa telah menciptakan kita dengan keajaiban sistem tubuh dan  jiwa, bersama segala talenta dan keunikan setiap pribadi, di dalam keajaiban kekayaan alam yang menopangnya. Yesus Sang Putra telah mencurahkan cinta sehabis-habisnya untuk kita di kayu salib, yang senantiasa memberikan Diri-Nya secara nyata di dalam Ekaristi Kudus dan menyiapkan tempat bagi kita di Surga. Dan Roh Kudus yang adalah Cinta antara Bapa dan Putra, selalu hadir mendampingi kita kapan pun kita mengundangNya dan pasti menolong kita jika kita setia meminta Ia bekerja di dalam hati kita. (Mat 7:7-8 dan Luk 11:13). Roh Kudus adalah Roh Cinta kasih Tuhan, Ia yang selalu mengingatkan kita untuk “back on track”, kepada jati diri kita yang sebenarnya, pribadi-pribadi yang sangat indah, unik, dan berharga di mata Tuhan, yang selalu dicintaiNya, yang selalu Ia inginkan untuk bahagia dan bersemangat, apapun juga keadaan kita. Dia membawa kita kembali ke tujuan akhir kita untuk selalu bersama Tuhan.

Yesus meninggalkan 99 ekor domba demi mencari seekor yang hilang. Saya membayangkan jika saya gembalanya, saya pasti merelakan yang satu itu pergi, supaya jangan dari yang 99 itu akan hilang lebih banyak lagi kalau saya tinggalkan. Namun tidak demikian dengan Yesus Tuhan kita, yang peduli kepada kita dan mengasihi kita secara personal, kasih-Nya justru mencari kita di kala kita sedang menjauh dariNya. Domba-domba yang ditinggalkanNya itu, karenaTuhan mempercayai bahwa mereka yang selalu dalam kasihNya, dapat menjaga diri dan mampu menjaga satu sama lain agar kawanan itu tetap bersama dalam naungan kasih Tuhan yang maha memelihara. Tetapi domba yang sendirian rawan terhadap aneka bahaya dan tersesat, ia memerlukan perlindungan, ia perlu ditemukan dan dipulihkan lagi oleh Sang Gembala.

Bagi setiap kita, jati diri yang sebenarnya adalah cinta kasih Allah yang telah membentuk dan memelihara kita. Roh Kudus akan selalu mengingatkan kita untuk “becoming the best version of ourselves”, menjadi yang terbaik dari diri kita, yang sudah diciptakan amat baik sejak semula. Yang layak untuk dicintai, karena berharga dan indah di mata Penciptanya. Kebahagiaan karena dicintai itu meluap ke luar, memampukan kita berbagi dan meneruskan cinta kasih Allah kepada semua orang yang kita jumpai, untuk turut membuat orang lain mengalami, bahwa Tuhan mencintai setiap dari mereka. Melalui segala bentuk kepedulian, pelayanan, pengorbanan, kerendahan hati, dan pengertian kita. Diawali dengan mencintai diri sendiri, bukan secara egois, namun secara Tuhan memandang diri kita yang berharga sejak semula. Itulah sebabnya Tuhan meminta kita untuk mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita sendiri, karena diri sendiri adalah pribadi pertama untuk dikasihi dan dihargai, tidak dibiarkan dihukum terus menerus oleh perasaan bersalah, tidak dibiarkan jatuh ke dalam berbagai godaan yang menjauhkan kita dari cinta kasih Allah. Cinta-Nya yang menyentuh dan mengubah hati, memampukan kita melepaskan fokus pada diri sendiri dan mengarahkannya kepada Tuhan dan sesama, sehingga cinta-Nya dialami dan menjadi nyata bagi orang lain di sekitar kita.

Ya Roh Kudus, Roh Cinta Bapa dan Putera, bawalah selalu aku kembali, ke dalam cahaya Hati Kudus Kristus Tuhanku, tempat kutemukan semua alasan dan tujuan, seluruh kekuatan dan harapan, segenap cinta dan kedamaian. Amin.

Paus: Roh Kudus mempersatukan kita!

0

Berikut adalah terjemahan Audiensi Umum Paus Fransiskus pada tanggal 22 Mei 2013:

Saudara saudari yang terkasih, selamat pagi!

Dalam Syahadat, segera setelah mengakui iman kita akan Roh Kudus, kita mengucapkan: “Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik”. Terdapat hubungan yang mendalam di antara dua realita iman ini: memang Roh Kuduslah yang memberi kehidupan pada Gereja, yang memandu langkahnya. Tanpa kehadiran dan kerja Roh Kudus yang terus menerus, Gereja tidak dapat hidup dan melanjutkan tugas yang dipercayakan Yesus yang Bangkit kepadanya: pergi dan jadikan semua bangsa murid-Ku (bdk. Mat 28:19).

Penginjilan adalah misi Gereja. Ini bukanlah misi sebagian kecil orang, namun ini milik saya, misi kalian dan misi kita bersama. Rasul Paulus menegaskan: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil”(1 Kor 9:16). Kita semua harus menjadi penginjil, terutama dengan hidup kita! Paus Paulus VI menekankan bahwa “Penginjilan adalah…rahmat dan merupakan tugas sebenarnya dari Gereja, identitasnya yang paling hakiki. Gereja ada untuk menginjili” (Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi, no. 14).

Siapa sebenarnya tenaga pendorong dari penginjilan dalam hidup kita dan dalam Gereja? Paus Paulus VI menuliskan dengan jelas: “adalah Roh Kudus, yang saat ini, seperti pada permulaan Gereja, bekerja dalam setiap penginjil yang membiarkan dirinya dirasuki dan dituntun olehNya. Roh Kudus meletakkan pada bibirnya perkataan yang tidak didapati olehnya sendiri, dan pada saat yang sama Roh Kudus mempengaruhi jiwa yang mendengarkan untuk terbuka dan menerima Kabar Baik dan sampai Kerajaan-Nya menjadi nyata. Oleh karena itu, untuk menginjili, penting untuk membuka diri kita sekali lagi kepada cakrawala Roh Allah, tanpa merasa takut terhadap apa yang Ia minta atau ke mana Ia akan menuntun kita. Mari kita mempercayakan diri kita padaNya! Ia akan memampukan kita untuk hidup dan menjadi saksi keimanan kita, dan akan menyinari hati mereka yang kita temui.

Ini adalah pengalaman pada saat Pentakosta. “Dan tampaklah” kepada para Rasul yang berkumpul di Ruang Atas bersama Maria, “lidah-lidah seperti nyala api, yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya”(Kis 2:3-4). Saat turun atas Para Rasul, Roh Kudus membuat mereka meninggalkan ruangan yang mengurung mereka dan menjadi bebas dari ketakutan, Ia mendorong mereka untuk melangkah keluar dari diri mereka sendiri dan merubah mereka menjadi pewarta dan menjadi saksi dari “karya mulia Allah” (ayat 11). Lebih jauh lagi, perubahan ini membawa Roh Kudus bergema kepada banyak orang yang datang “dari segala bangsa di bawah kolong langit (ay.5) dan tiap orang dari mereka mendengar Para Rasul seperti “berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri” (ay. 6).

Hal ini adalah dampak pertama dan yang paling penting dari kerja Roh Kudus yang membimbing dan menghidupkan pernyataan Injil: persatuan dan kerukunan. Saat di Babel, menurut catatan Alkitab, orang-orang tercerai berai dan terjadilah kekacauan bahasa, hasil dari kesombongan dan keangkuhan manusia yang ingin membangun dengan usahanya sendiri, tanpa Allah, “sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit”(Kej 11:4). Pada saat Pentakosta, perpecahan ini disatukan. Tidak ada lagi keangkuhan terhadap Allah, tidak ada pula perdebatan antara manusia dengan sesamanya; namun, ada keterbukaan pada Allah, ada keterbukaan untuk menyerukan perkataan-Nya: bahasa baru, karena kasih Allah telah dicurahkan dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Rom 5:5); bahasa yang dapat dimengerti setiap orang dan, yang sekalinya diterima, dapat diekspresikan dalam tiap kehidupan dan tiap kebudayaan. Bahasa Roh, bahasa Injil, adalah bahasa persatuan yang mengundang kita untuk menjadi lebih baik dari sikap tertutup, sikap masa bodoh, perpecahan, dan permusuhan.

Kita harus bertanya pada diri kita sendiri: bagaimana saya dapat membiarkan diri saya dituntun oleh Roh Kudus sedemikian rupa sehingga hidup saya dan saksi iman saya dapat bersatu dan rukun? Apakah saya mengucapkan tobat dan kasih, yang merupakan Injil, kepada sekitar kita. Terkadang, sepertinya kita mengulangi kembali apa yang terjadi di Babel: perpecahan, ketidakmampuan untuk memahami sesama,  perseteruan, iri dengki, egoisme. Apa yang saya lakukan dengan kehidupan saya? Apakah saya menciptakan persatuan di sekitar saya? Atau apakah saya menyebabkan perpecahan, dengan bergosip, mengkritik, atau iri? Apa yang dapat saya lakukan? Mari kita pikirkan hal ini.

Menyebarkan Injil artinya kita menjadi pertama yang menyatakan dan menghidupkan pertobatan, pengampunan, perdamaian, persatuan, dan kasih yang dikaruniakan Roh Kudus pada kita. Mari kita ingat sabda Yesus: “dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”(Yoh 13: 34-35).

Elemen kedua adalah hari Pentakosta. Petrus dipenuhi oleh Roh Kudus dan berdiri “bersama kesebelas rasul lainnya”, “mengangkat suaranya”  (Kis 2:14) dan “dengan percaya diri” (ay. 29), menyatakan Kabar Baik mengenai Yesus, yang memberikan dirinya untuk menebus kita dan yang dibangkitkan Allah dari kematian. Ini adalah dampak lain dari aksi Roh Kudus: keberanian untuk menyatakan kebaruan Injil Yesus kepada semua orang, dengan percaya diri, (dengan berani) dalam suara yang lantang, di setiap waktu dan di setiap tempat.

Ini pun terjadi hari ini untuk Gereja dan untuk setiap kita; api Pentakosta, dari aksi Roh Kudus, melepaskan tenaga yang baru untuk melaksanakan misi, cara baru untuk menyatakan pesan penebusan, keberanian baru untuk menginjili. Mari kita hidup dalam Injil dengan rendah hati, namun berani!

Mari kita menjadi saksi akan pembaharuan, harapan, dan sukacita yang Tuhan bawa pada kehidupan. Mari kita rasakan dalam diri kita “kegembiraan dan sukacita yang menghibur dari menginjili” (Paus Paulus VI, Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi, no. 80). Karena menginjili, menyatakan Yesus, memberikan kita sukacita. Sebaliknya, egoisme membuat kita pahit, sedih, dan membuat kita gundah. Menginjili mengangkat [semangat] kita.

Saya hanya akan menyebutkan elemen ketiga, yang bagaimanapun juga, cukup penting: penginjilan yang baru, Gereja yang menginjili, harus selalu memulai dengan doa, dengan memohon, seperti Para Rasul di Ruang Atas, memohon akan api Roh Kudus. Hanya yang beriman teguh dan memiliki hubungan yang erat dengan Allah yang dapat memungkinkan untuk keluar dari kebekuan diri kita dan menyatakan Injil dengan berani. Tanpa doa, tindakan kita kosong, dan pernyataan kita tidak memiliki jiwa dan tidak diilhami oleh Roh.

Teman-teman terkasih, seperti yang diucapkan Paus Benediktus XVI, saat ini Gereja “merasakan hembusan Roh Kudus yang menolong kita, yang menuntun kita ke jalan yang benar, sehingga kita berada di jalan yang benar, bagi saya, dengan antusiasme yang baru, kita mengucap syukur pada Tuhan” (ditujukan pada Sidang Umum Sinode Uskup-Uskup, 27 Oktober 2012). Mari kita memperbaharui tiap hari kepercayaan kita pada aksi Roh Kudus, kepercayaan bahwa Ia bekerja dalam kita, bahwa Ia memberikan kita semangat, damai, dan suka cita seperti para rasul. Mari kita membiarkan Ia membimbing kita. Semoga kita menjadi pria dan wanita yang penuh doa, yang menjadi saksi Injil dengan keberanian, menjadi alat pemersatu bagi dunia kita dan bagi persatuan kita dengan Allah. Terima kasih.

Salam:

Saya mengundang kita semua untuk berdoa dengan saya untuk para korban, khususnya anak-anak korban bencana di Oklahoma. Semoga Allah sendiri menghibur semua orang, secara khusus orangtua yang kehilangan anaknya dengan tragis. Saya dengan tulus menyapa semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang hadir pada audiensi hari ini, termasuk dari Inggris, Irlandia, India, Kanada, dan Amerika Serikat. Salam istimewa saya sampaikan pada peziarah dari Keuskupan Agung Hartford dan Asosiasi Alumni dari Universitas Katolik Amerika. Saat ini ketika Gereja merayakan turunnya Roh Kudus pada saat Pentakosta, saya memohonkan berkat-Nya kepada kalian dan keluarga akan kebajikan dan kedamaian. Allah memberkati kalian semua.

Akhirnya, sebuah perhatian yang penuh kasih sayang kepada orang muda, orang sakit, dan pengantin baru. Semoga Perawan Maria, menjadi pengajar kelembutan dan cinta kasih; semoga Ia menguatkan kalian para orang sakit yang terkasih, terutama penderita talasemia di Roma, pada saat kesepian dan penderitaan terdalam kalian; dan semoga ia menjadi contoh bagi anda, para pengantin baru, bagaimana untuk menjalani kehidupan pernikahan dalam persatuan dan kedamaian.

Permohonan:

Jumat, 24 Mei adalah hari peringatan Perawan Maria yang Terberkati, Penolong orang Kristen, dihormati dengan devosi di Kapel Sheshan di Shanghai.

Saya meminta semua orang Katolik di seluruh dunia untuk bersatu dalam doa bersama dengan saudara saudari kita di Cina, untuk memohon pada Allah berkat-Nya untuk menyatakan dengan rendah hati dan penuh sukacita, Kristus yang telah wafat dan bangkit, untuk beriman pada Gereja-Nya dan kepada penerus Petrus, dan untuk menjalani kehidupan sehari-hari untuk melayani negara mereka dan sesama warga negara, dengan sikap yang sejalan dengan keyakinan mereka.

Membuat beberapa kata doa kepada Bunda Sheshan, saya ingin memohonkan kepada Maria: “Bunda dari Sheshan, dukunglah komitmen mereka di Cina, dalam pekerjaan sehari-hari mereka agar mereka terus percaya, beriman, dan mengasihi, sehingga mereka tidak takut untuk berbicara kepada dunia mengenai Yesus dan mengenai dunia kepada Yesus”.

Bunda Maria, Perawan yang taat, sokonglah para penganut Katolik di Cina, buatlah tugas mereka yang menantang menjadi lebih berharga di mata Tuhan, dan berikan pertumbuhan kasih sayang dan juga partisipasi Gereja di Cina yang masih dalam perjalanan menuju Gereja yang universal.

(OSP)

Paus Fransiskus,

Lapangan Santo Petrus, 22 Mei 2013

Diterjemahkan dari : www.vatican.va

 

Tulisan-tulisan kuno pendukung otentisitas Mrk 16:9-20

1

Ada sejumlah orang menanyakan otentisitas Mrk 16:9-20, dan sekilas sudah pula dibahas di situs ini, silakan klik. Umumnya mereka yang meragukan keotentikan ke-12 ayat terakhir dalam Injil Markus itu menyebutkan alasannya, yaitu karena ayat-ayat itu tidak tercantum dalam salinan Codex Vaticanus dan Codex Sianiticus, dua manuskrip kuno yang cukup terkenal. Codex Vaticanus menyisakan kolom yang kosong pada akhir Injil Markus, sebelum penulisan Injil Lukas. Demikian pula, Codex Sinaiticus dan manuskrip-manuskrip Armenian dan Georgian.

Namun nyatanya, tidak semua manuskrip Injil Markus berakhir dengan ayat Mrk 16:8. Demikian pula, tulisan para Bapa Gereja di abad-abad awal juga menunjukkan bahwa apa yang disampaikan dalam ayat-ayat itu telah dikenal oleh jemaat, dan telah menjadi kesatuan dengan pesan yang disampaikan dalam pengajaran mereka. Kesaksian para Bapa Gereja abad-abad awal sangatlah penting untuk menentukan otentisitas suatu ajaran. Sebab dapat terjadi, karena satu dan lain hal, salinan teks Kitab Suci dalam manuskrip kuno itu tidak lengkap atau rusak karena termakan usia. Namun, tidak berarti bahwa karena tidak tercantum di semua manuskrip kuno, lalu teks Mrk 16:9-20 tersebut layak diragukan. Sebab dalam Codex Sianiticus, ada juga beberapa ayat lain dari Kitab Suci yang ‘hilang’, entah karena rusak, atau tidak tercantum. Silakan membaca di link ini, silakan klik, atau sumber lainnya untuk mengetahui Kitab-kitab mana yang tercantum, dan juga ayat-ayatnya dalam Codex tersebut. Tidak semua ayat dalam Kitab Suci yang kita kenal sekarang tercantum di sana. Namun bukan berarti karena tidak tercantum dalam Codex Sianiticus, maka kita harus mencoret atau meniadakan ayat- ayat tersebut. Mengapa? Sebab ayat-ayat itu tercantum dalam salinan manuskrip kuno lainnya dan telah diajarkan oleh para Bapa Gereja.  Maka untuk menentukan apakah satu ayat itu otentik atau tidak, Gereja mengacu kepada keseluruhan bukti-bukti manuskrip Kitab Suci di abad-abad awal, termasuk juga tulisan- tulisan dari para Bapa Gereja, yang disebut sebagai Tradisi Suci.

Demikianlah beberapa bukti dari tulisan para Bapa Gereja di abad-abad awal, yang mendukung otentisitas teks Mrk 16:9-20, sebagai bagian dari keseluruhan Injil Markus:

1. St. Papias dari Hierapolis (wafat tahun 120)

Salah seorang murid Rasul Yohanes, St. Papias, dalam tulisannya mengatakan tentang Yustus Barsabbas (yang disebut dalam Kis 1:23) yang meminum racun namun tidak mati (St. Papias, Explanation of the Lord’s Sentences (110-140), dan pernyataan ini dipertahankan oleh St. Irenaeus (180), Eusebius (260-340), Philip dari Side (434-439), St. Apollinaris dari Laodikea dan Andreas dari Kaisarea) Kemungkinan St. Papias menyebutkan tentang hal ini untuk menggambarkan penggenapan makna ayat Mrk 16:18.

2. Epistula Apostolorum (150)

Epistula Apostolorum yang disusun sebagai surat dari para Rasul, mencantumkan kisah bahwa Yesus menampakkan diri kepada seorang wanita, namun para Rasul tidak percaya kepadanya, sehingga Ia menampakkan diri kepada mereka juga. Teks ini nampaknya ditulis berdasarkan teks Mrk 16:9-14.

3. St. Yustinus Martir (160)

St. Yustinus, sewaktu menginterpretasikan Mzm 110 sebagai nubuat tentang Mesias, bab 45 dalam First Apology, menyatakan Mzm 110:2 adalah “menubuatkan sabda yang penuh kuasa yang akan diwartakan ke segala penjuru oleh para Rasul-Nya, yang bermula dari Yerusalem”. Pewartaan sabda ke segala penjuru oleh para Rasul, itu disebutkan dalam Mrk 16:9,15,20. Dalam bab 50, St. Yustinus sepertinya mengacu kepada kejadian yang ditulis dalam Mrk 16:14, “Sesudah itu ketika Ia bangkit dari mati dan menampakkan diri kepada mereka…. ”

4. St. Tatian (172)

Dalam kompilasi tulisannya Diatessaron, St. Tatian menggambungkan teks dari Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes menjadi satu kisah yang berkesinambungan. Dalam teks Diatessaron ini, Ia memasukkan teks dari Mrk 16:9-20.

5. St. Irenaeus (184)

St. Irenaeus dalam bukunya mengatakan, “Menjelang akhir Injilnya, Markus mengatakan, “Maka, sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, Ia terangkat ke surga dan  duduk di sebelah kanan Allah.” (St. Irenaeus, Book 3, Against Heresies, mengacu kepada Mat 16:19)

6. Tertullian (204)

Tertullian mengumpamakan ajaran sesat sebagai racun. Ia mengacu kepada teks Mat 16:18, dengan mengatakan bahwa ajaran yang benar adalah antidot terhadapa racun ajaran sesat. (Tertullian, Scorpiace, ch. 15.) Ia juga menyatakan bahwa Yesus terangkat te surga “setelah memberi tugas kepada mereka [para Rasul] untuk mewartakan [Injil] ke seluruh dunia” yang mengacu kepada Mrk 16:15. Dalam tulisannya yang lain, Tertullian mengatakan, “Kita mewartakan [Injil] ke seluruh penjuru dunia,” kemungkinan juga mengacu kepada Mrk 16:15.

7. St. Klemens dari Aleksandria (210)

Dalam komentarnya terhadap surat Rasul Yudas, ayat 24, ia nampaknya mengacu kepada Mrk 16:19, bahwa Yesus naik ke surga dan duduk di sisi kanan Allah (Clement of Alexandria, Adumbrationes, as preserved by Cassiodorus).

8. St. Hippolytus (220)

Dalam Apostolic Tradition, St. Hippolytus menyatakan bahwa seseorang harus mengambil bagian dalam Perjamuan Tuhan sebelum makan apapun yang lain, “Sebab jika mengambil bagian [dalam Perjamuan] dengan iman, maka bahkan jika racun maut (thanasimon) diberikan kepadanya, sesudah itu ia tak mendapat celaka.” St. Hippolytus menggunakan kata Yunani thanasimon yang digunakan dalam Mrk 16:18, yang menyebutkan bahwa umat beriman yang tetap selamat dari bahaya racun maut.

9. Vincentius dari Thibaris (256)

Vincentius, Uskup dari Afrika Utara, dalam Konsili ketujuh di Karthago, menegaskan, “Kita mempunyai ketentuan kebenaran yang diperintahkan Tuhan kepada para Rasulnya, oleh ketentuan ilahi, “Pergilah kamu, tumpangkanlah tangan dalam nama-Ku, usirlah setan-setan.’ Dan di tempat lain, “Pergilah kamu dan ajarlah seluruh bangsa dan baptislah mereka di dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus.” Dengan demikian Vincentius mengacu kepada Mrk 16:14-18 dan perikop paralelnya Mat 18:19-20.

10. Porphyry (270)

Porphyry, seorang penulis pagan, yang menulis di bukunya Against the Christians, daftar keberatan terhadap perikop-perikop Injil. Salah satu perikop yang dikutip adalah tentang tanda-tanda yang menyertai mereka yang percaya, bahwa mereka akan menumpangkan tangan pada orang-orang sakit dan mereka akan sembuh; dan mereka yang minum racun maut tidak akan celaka. Porphyry kemudian menantang para pemimpin Kristen untuk meminum racun.

11. Akta Pilatus/ Acts of Pilate (tahun 300-an)

Tulisan apokrif ini memasukkan teks Mrk 16:15-16 di bab 14, dan beberapa salinan Akta Pilatus ini juga memasukkan ayat 17-18.

12. The Old Latin Capitula (200-300)

The Old Latin Capitula adalah kumpulan bab-dan judul dalam manuskrip-manuskrip Latin kuno, termasuk Codex Latin Kuno Corbeiensis. Injil Markus dibagi menjadi 47 bab, dan bab 47 adalah tentang kebangkitan Kristus, penampakan kepada para Rasul, dan perintah-perintah-Nya kepada mereka dan kenaikan-Nya ke Surga. Keempat bentuk the Old Latin Capitula  yang lain, juga mencantumkan kejadian-kejadian sebagaimana tercatat dalam Mrk 16:9-20.

13. The Peshitta (300-an)

The Peshitta, terjemahan standar Syriac dari (hampir semua) kitab Perjanjian Baru, mencatumkan Mrk 16:9-20.

14. Korespondesnsi antara Marinus dan Eusebius dari Kaisarea (325)

Marinus (325) menulis kepada Eusebius dari Kaisarea, menanyakan bagaimana mengharmoniskan Mrk 16:9 dan Mat 28:1. Dan dan Eusebius menulis, “beberapa salinan” Injil Markus menyebutkan bahwa Yesus mengusir tujuh setan keluar dari Maria Magdalena (lih. Mrk 16:9), artinya Eusebius telah mengenal Injil Markus yang tidak berakhir di ayat Mrk 16:8.

15. Aphrahat (336)

Aphrahat, penulis Syria, mengutip Mrk 16:16-18 dalam sesi 17 dalam tulisannya, First Demonstration.

16. The Claromontanus Catalogue (200-300)

adalah daftar buku dan cakupan panjang buku-buku tersebut. Untuk Injil Markus panjangnya termasuk Mrk 16:9-20.

17. Wulfilas (350)

Wulfilas, Uskup dan penerjemah Kitab Suci dari Kapadokia, memasukkan Mrk 16:9-20 dalam terjemahan Kitab Suci dalam bahasa Gothic.

18. St. Ephrem Syrus (370)

St. Ephrem dalam bukunya, Commentary on Tatian’s Diatessaron, dan dalam lagu pujian, menggunakan kata-kata dari Mrk 16:15.

19. St. Ambrosius (375),

St. Ambrosius, Uskup Milan, mengutip Mrk 16:17-18 dalam tulisannya: The Prayer of Job and David 4:14, dan dalam Concerning Repentance 1:8, Of the Holy Spirit 2:13. Sedangkan Mrk 16:15, dikutip dalam tulisannya, In Of the Christian Faith 1:14:

“Kita telah mendengar perikop yang menuliskan bahwa Tuhan berkata, “Pergilah kamu ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala mahluk,” dan dengan demikian menunjukkan bahwa Mrk 16:15 telah dibacakan kepada jemaat pada saat itu.

19. Apostolic Composition (380)

Teks Apostolic Composition yang disusun dengan memasukkan tulisan St. Hippolytus, mengutip Mrk 16:17-18.

20. St. Hieronimus (382)

St. Hieronimus memasukkan Mrk 16:9-20 dalam Injil Markus ketika ia menyelaraskan teks-teks Injil yang beragam ke dalam bahasa Latin kuno ketika menyusun Injil Vulgata, sebagaimana dibuktikan dalam salinan Codex Amiatinus. St. Hieronimus mengatakan bahwa ia menyesuaikan teks Latin sesuai dengan isi salinan-salinan Yunani kuno.

St. Hieronimus menyebutkan tentang manuskrip yang mengandung Mrk 16:9-20; sebagaimana yang disebutkannya dalam tulisannya, Against the Pelagians 2:14. Kemungkinan salinan ini dilihatnya ketika ia mengunjungi Mesir (386).

21. St. Epiphanius dari Salamis (385)

St. Epiphanius dalam tulisannya The Medicine-Chest (3:6:3), menulis bahwa Markus menyebutkan bahwa Yesus naik ke surga dan duduk di sisi kanan Allah Bapa, sebuah acuan yang jelas kepada Mrk 16:19.

22. St. Agustinus (400)

Manuskrip St. Agustinus (400) memasukkan Mrk 16:9-20. Ia mengutip keseluruhan perikop dalam tulisannya, On the Harmony of the Gospels 3:24-25. Dalam On the Harmony of the Gospels 3:25, St. Agustinus mengutip Mrk 16:12. Tidak ada indikasi bahwa ia mengetahui Injil yang hanya berakhir di Mrk 16:8.

Dalam Augustine’s North African Lectionary (400), St. Agustinus memasukkan Mrk 16:9-20 sebagai bacaan di masa Paska, sebagaimana terlihat dalam Sermons 231,233 dan 239. Ia mengatakan, “Kami mendengar sebagaimana disebut dalam Injil, “Pergilah ke seluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada segala mahluk”, menunjukkan bahwa Mrk 16:16 dan ayat-ayat di sekitarnya telah dibacakan kepada jemaat di sana.

23. Codex Washingtoniensis (400)

Codex Washingtoniensis juga dikenal dengan Codex W, memuat Mrk 16:9-20, dengan interpolasi oleh the Freer Logion, antara Mrk 16:14-Mrk 16:15.

24. Macarius Magnes (405)

Macarius, Uskup Magnesia, seorang apologis Kristen di akhir abad ke-4, menyusun Apocriticus, yaitu tanggapan terhadap keberatan-keberatan Porphyry. Dalam tanggapannya sehubungan dengan tantangan untuk minum racun, Macarius tidak mengatakan bahwa ayat-ayat yang diacu tersebut diragukan keasliannya, tetapi ia mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut harus diinterpretasikan secara simbolis.

25. The Apocryphal Acts of John (400an atau sebelumnya)

Tulisan-tulisan ini mengacu kepada Mrk 16:9-20 dalam berbagai bentuk. Dalam salinan Syriac, The Story of John the Son of Zebedee (500-an), Mrk 16:16 diacu beberapa kali. Di Sesi 20, Leucian Acts of John, disampaikan bahwa Yohanes berkata, “Kalau kamu memberikan aku racun untuk diminum, saat aku memanggil nama Tuhan, itu tidak akan dapat mencelakai saya;” kejadian ini sepertinya ditulis untuk memberi contoh penggenapan Mrk 16:18.

26. The Doctrine of Addai (410)

Doktrin Addai ini menggunakan Mrk 16:15, dengan menggambarkan lakon utamanya berkata kepada Abgar, raja kota Syria di Edessa, “Kita diperintahkan untuk mewartakan Injil-Nya kepada semua mahluk.” Ahli sejarah abad awal, Eusebius dari Kaisarea juga menyebutkan dalam bukunya Ecclesiastical History, hal serupa tentang Abgar.

27. The Curetonian Syriac manuscript (425)

Manuskrip Kuretonian ini adalah salinan Injil dalam bahasa Syria, yang rusak cukup parah. Namun satu-satunya teks yang dapat terbaca dengan baik dari manuskrip ini adalah dari Injil Mark 16:17-20.

28. St. Yohanes Krisostomus (407)

St. Yohanes Krisostomus (407), dalam Homilies on First Corinthians, sepertinya mengacu kepada Mrk 16:9-20:

Di bagian 3:6, ia mengatakan bahwa adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk diselamatkan tanpa baptisan, pernyataan yang mengacu kepada Mrk 16:16 dan juga Yoh 3:5.
Di bagian 14:1, St. Yohanes mengatakan bahwa para Rasul menegaskan kebenaran dengan tanda-tanda, seperti halnya yang digambarkan di Mrk 16:20.
Di bagian 38:5, ia mengatakan bahwa Injil menegaskan bahwa Yesus (yang bangkit) pertama kali dilihat oleh Maria Magdalena, sepertinya mengacu kepada Mrk 16:9.

29. Marcus Eremita (435)

Marcus Eremita, seorang teolog Kristen abad- 5, dalam tulisannya, Against Nestorius, di akhir bab 6, jelas menggunakan Mrk 16:18.

30. St. Sirilus dari Aleksandria (tahun 400-an)

St. Sirilus dalam tulisannya Against Nestorius, 2:6, menampilkan kutipan Nestorius yang diambil dari Mrk 16:19-20.

31. St. Macarius Mercator (pertengahan tahun 400)

St. Macarius Mercator, menggunakan teks Latin kuno, mengutip Mrk 16:20, di khotbahnya yang ke-10.

32. Codex Alexandrinus (pertengahan tahun 400)

Teks Injil Markus dalam Codex Alexandrinus/ Codex A, termasuk ayat Mrk 16:19-20.

33. St. Patrick (450)

St. Patrick, misionaris terkenal di Irlandia, mengutip Mrk 16:16 dalam suratnya, Letter to Coroticus (part 20), dan Confession (part 40).

34. St. Petrus Krisologus (450)

St. Petrus Krisologus, Uskup Ravenna, mengutip Mrk 16:14-20, dalam khotbahnya (83rd Sermon).

35. Codex Ephremi Rescriptus (pertengahan tahun 400)

Teks Injil Markus dalam Codex Ephremi Rescriptus, dikenal dengan Codex C, mencakup Mrk 16:9-20.

36. Victor dari Antiokhia (pertengahan tahun 400)

Catatan dalam Penjelasan Victor dari Antiokhia, setelah menampilkan komentar Eusebius dari Kaisarea tentang perikop itu, menyatakan bahwa pengarang tersebut menyelidiki manuskrip- manuskrip dan menemukan bahwa perikop tersebut adalah salinan yang akurat, termasuk salinan Palestina yang dianggap terhormat.

37. St. Prosper dari Aquitaine (450)

Prosper, dalam tulisannya Call of All Nations 2:2, secara eksplisit mengutip Mrk 16:15-16.

38. St. Leo Agung (453)

St. Leo Agung, Uskup Roma, mengutip Mrk 16:16 dalam suratnya kepada Theodoret, Letter 70, tanggal 11 Juni 453.

39. Codex Latin Kuno, Corbeiensis (awal tahun 400-an)

Codex Corbeiensis, mencakup Mrk 16:9-20, walaupun ayat 15-18nya rusak.

40. Fragmen Latin Kuno, Sangallensis (pertengahan tahun 400)

Fragmen Latin Kuno, Sangallensis, dikenal juga sebagai naskah Latin Kuno, “n”, telah rusak, namun fragmen itu mencakup ayat Mrk 16:9-13; dan teks supplemen-nya  (yang dikenal dengan teks “o”), kemungkinan disalin dari halaman yang mengandung ayat-ayat berikutnya dalam perikop itu.

41. Codex Bezae (akhir tahun 400-an)

Codex Bezae, manuskrip teks Barat tentang Injil dan Kisah Para Rasul, telah rusak, tetapi teks tersebut mencantumkan Mrk 16:9-15 dalam bahasa Yunani.

42. Codex Latin Kuno, Monacensis (sekitar tahun 500 dan 600)

Codex Monacensis atau dikenal dengan Codex “q”, merupakan salinan teks Injil yang dibuat sebelum pembuatan Vulgata (383). Teks Codex ini mencakup Mrk 16:19-20, dengan beberapa variannya.

43. St. Severus dari Antiokia (awal 500-an)

St. Severus mengulangi komentar Eusebius kepada Marinus, dan dengan jelas menggunakan Mrk 16:19 sebagai pernyataan yang independen, dalam pernyataannya di akhir homilinya, 77th Homily.

44. Synopsis Scriptura Sacrae (sekitar tahun 500-an)

Synopsis Scriptura Sacrae, atau sinopsis Kitab Suci yang ditulis dalam bahasa Yunani, memasukkan kejadian- kejadian dalam Mrk 16:9-20.

45. Salinan Injil Garima (tahun 400-600-an)

Salinan Injil Garima, salinan Injil berbahasa Ethiopia yang tertua, mencakup Mrk 16:9-20.

46. Leontius dari Yerusalem (tahun 530-an)

Leontius, seorang teolog abad-6 dari Jerusalem dalam tulisannya Against the Monophysite, menggunakan ayat Mrk 16:20.

Bukti-bukti di atas mendukung otentisitas Mrk 16:19-20 sebagai ayat-ayat kelanjutan Mrk 16:8. Tulisan-tulisan tersebut termasuk dalam bukti-bukti yang mendukung bahwa teks Mrk 16:9-20 merupakan teks yang tidak asing bagi para Bapa Gereja, dan telah dikutip ataupun menjadi acuan bagi pengajaran mereka kepada jemaat di abad-abad awal. Selanjutnya, manuskrip-manuskrip di abad-abad berikutnya yang mendukung Injil Mrk 16:9-20, yaitu sekitar 1.500 teks Yunani, ratusan lectionaries dan salinan non- Yunani- juga perlu dipertimbangkan.

Pada akhirnya, kita perlu menyadari bahwa Sabda Allah dalam Injil diberikan kepada Gereja -yang dipimpin oleh para Rasul an para penerus mereka- sehingga Gereja-lah yang berhak menentukan kitab-kitab mana yang otentik, beserta dengan ayat-ayatnya. Interpretasi para ahli Kitab Suci modern berdasarkan penyelidikannya sendiri tidak mempunyai kuasa mengubah apapun yang telah ditentukan oleh Gereja. Sebab Gereja selalu mempunyai pertimbangan yang lebih luas dan bukti-bukti yang lebih akurat, atas dasar berbagai salinan manuskrip kuno KItab Suci maupun tulisan para Bapa Gereja di abad-abad awal. Kita tidak dapat membuat kesimpulan hanya dari pertimbangan beberapa salinan Codex tertentu, tanpa memperhitungkan bukti-bukti lainnya, yang mewakili iman para Rasul dan para penerus mereka.

Taking a break (Pakai remnya dong)

2

Aku menduga banyak pengendara motor zaman ini yang kampas remnya masih mulus. Soalnya, hampir nggak pernah dipakai. Kok bisa? Lha waktunya ngerem malah mengklakson. Kejadian ini sering sekali dijumpai di jalanan. Setiap kali kendaraan di depan sebuah motor mengerem, bukannya ikut menginjak rem, motor tersebut malah mengklakson keras. Seakan protes karena kelancaran berkendara mereka terhambat karena harus mengerem sekian detik. Sudah begitu, mereka selalu mengendarai motor mepet sekali dengan mobil atau motor lainnya. Biasanya mereka menunggu kesempatan menyelip dan menerobos pergi. Tapi, resikonya, mereka jadi mudah kaget saat mobil atau motor di depannya mengerem, sehingga mereka mengklakson. Sebagai sesama pengendara motor, aku tidak habis pikir. Ngapain mengklakson? Emangnya yang di depan nggak boleh ngerem? Seharusnya belajar mengendalikan diri sedikit dong, jangan maunya sendiri di jalan.

Permenungan di atas motor ini membawa diriku lebih lanjut. Mungkin ibaratnya hidup ini seperti mengendarai mobil atau motor. Tidak boleh terlalu fokus pada menginjak gas. Sesekali tetap perlu menginjak rem, untuk melambat atau berhenti sejenak dan mengendalikan diri sebelum melanjutkan hidup. Jika tidak, tentu bisa celaka karena hidup kita menjadi tidak teratur.

Jika dipikir-pikir, hidupku kok seperti itu ya? Kelihatannya hidupku mulai terlalu nge-gas. Pagi-pagi bangun, cuma berdoa sebentar, lalu mandi, sarapan, langsung berangkat kantor. Begitu di kantor, langsung melakukan kesibukan kantor. Istirahat siang hanya makan siang dan berinteraksi dengan keluarga, lalu lanjut kerja lagi. Pulang juga masih banyak kegiatan lain, terutama di bulan ini, seperti proyek paduan suara, kegiatan komunitas, persekutuan doa, atau pergi bersama keluarga/teman. Rata-rata, aku pulang ke rumah hampir tengah malam. Seringkali masih aku lanjutkan bermain komputer hingga dini hari untuk refreshing. Lalu, besok pagi dan pagi seterusnya lanjut lagi seperti itu.

Belakangan, aku merasa aku perlu merubah pola hidup yang terlalu padat ini. Perlu ada rem agar ada sebuah waktu luang di tengah kegiatan untuk menyapa dan berinteraksi denganNya. Tentu saja banyak kegiatan yang tidak dapat diubah, tapi ada beberapa kebiasaan yang dapat dihilangkan. Salah satunya kebiasaan bermain komputer di tengah malam. Walaupun menyenangkan, sebenarnya kebiasaan ini tidak menguntungkan Seharusnya aku istirahat dari kelelahan, bukannya malah bermain komputer dan menambah kelelahanku. Kebiasaan ini hanya untuk memuaskan keinginan saja. Ini perlu direm. Selain itu, aku bisa bangun lebih pagi karena tidur lebih awal, untuk menyediakan waktu berdoa. Lalu, siang hari setelah makan siang dapat aku manfaatkan juga untuk mengerem sejenak semua kegiatan dan bersyukur padaNya. Di malam hari, waktu bermain komputer dapat aku gunakan untuk refleksi dan berdoa malam. Jika dilihat, ada banyak hal lain yang masih dapat aku rem, terutama hal-hal kecil yang hanya demi kesenanganku.

Dengan mengorbankan kesenangan-kesenangan pribadiku, aku dapat mengerem perjalanan hidup sejenak untuk melihat karya dan kebaikan Allah dalam hidupku. Mengerem kesenangan pribadi dapat menjadi matiraga untuk belajar mengendalikan diri, tidak hanya memuaskan keinginan diri. Mengerem kesenanganku juga dapat aku persembahkan pula sebagai salib yang aku pikul sehari-hari (Luk 9:23). Terutama, jika aku bisa memperbaiki hubungan denganNya melalui ini. Perlu istirahat di tengah memintal gulali kehidupan, dan peristirahatan yang paling nyaman adalah bersama Allah.

Tolaklah kesenangan-kesenangan pribadi setidaknya tiga kali sehari demi cinta akan Allah” – Ven. Fulton J. Sheen.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab