Home Blog Page 114

Paus Fransiskus : Wajah yang cemberut tak bisa mewartakan Yesus

0

Roh Kudus adalah “sang empunya” sukacita Kristiani dan untuk mewartakan Injil, kita perlu memiliki sukacita dalam hati kita yang dikaruniakan kepada kita oleh Roh Allah. Ada sebuah pemahaman tertentu dari kehidupan Kristiani yang ditandai dengan kesedihan, tetapi wajah yang cemberut tidak bisa mewartakan Yesus. Sukacita sendirilah dan pujian bagi Allah satu-satunya cara untuk menyebarkan Injil. Ini adalah fokus dari homili Paus Fransiskus pada Misa pagi [31/05/2013] di Casa Santa Marta. Emer McCarthy melaporkan:

Paus Fransiskus mulai dengan memberikan komentar pada bacaan hari itu. Bacaan pertama, dari nabi Zefanya, berisi seruan “Bersukacitalah! Teriakan sukacita, Tuhan berada di tengah-tengah kalian.” Yang kedua, dari Injil, menceritakan kisah Elizabeth dan anaknya yang “bersukacita” dalam rahim pada saat mendengar kata-kata Maria. Paus mencatat, “itu semua berbicara tentang sukacita, sukacita yang merupakan perayaan.” Namun, ia melanjutkan, “kita orang Kristen tidak begitu terbiasa untuk berbicara tentang sukacita, tentang kebahagiaan”, “Saya berpikir seringnya kita lebih memilih untuk mengeluh”. Padahal, “Roh Kuduslah yang memberi kita sukacita”:

“Roh lah yang membimbing kita: Dia adalah sang empunya sukacita, Pencipta sukacita. Dan sukacita dalam Roh Kudus ini memberi kita kebebasan Kristen sejati. Tanpa sukacita, kita orang-orang Kristen tidak bisa menjadi bebas, kita menjadi budak dari penderitaan-penderitaan kita. Paus Paulus VI yang agung mengatakan bahwa kalian tidak dapat memajukan Injil dengan orang-orang Kristen yang sedih, putus asa, kecil hati. Kalian tidak bisa. Sebuah perilaku yang penuh kesedihan, bukan? Seringkali orang-orang Kristen berperilaku seolah-olah mereka sedang pergi ke sebuah prosesi pemakaman daripada memuji Allah, bukan? Dan sukacita ini berasal dari pujian, pujian Maria, pujian ini yang Zefanya bicarakan, pujian Simeon dan Anna: pujian bagi Allah!”

Dan bagaimana kita memuji Allah? Kita memujiNya dengan keluar dari diri kita sendiri, kita memuji Dia “dengan bebas, seperti anugerah yang Dia berikan ini adalah bebas,” kata Paus Fransiskus. Hal ini mendorong kita pada sebuah pemeriksaan batin mengenai bagaimana untuk berdoa kepada Allah, ujar Paus Fransiskus, yang kemudian beralih kepada mereka yang hadir dengan sebuah pertanyaan:

“Kalian yang hadir di Misa, apakah kalian memuji Allah atau apakah kalian hanya mengajukan petisi kepada Allah dan bersyukur kepada Allah? Apakah kalian memuji Allah? Ini adalah sesuatu yang baru, baru dalam kehidupan rohani kita yang baru. Memberikan pujian bagi Allah, yang keluar dari diri kita sendiri untuk memberikan pujian; menghabiskan sedikit waktu untuk memberikan pujian. Tapi ‘Misa ini begitu lama!’ Jika kalian tidak memuji Allah, kalian tidak akan pernah tahu rasa tanpa pamrih dari menghabiskan waktu untuk memuji Allah itu, Misa itu panjang! Tetapi jika kalian datang dengan sikap sukacita ini, sikap memuji Allah ini, itu indah! Inilah yang akan terjadi dalam kekekalan: memberikan pujian kepada Allah! Dan itu tidak akan membosankan: ini indah! Sukacita ini membuat kita bebas.”

Teladan dari pujian ini, dan sukacita ini, sekali lagi adalah Bunda Yesus. “Gereja – Paus Fransiskus mengingatkan – menyebutnya”sebab sukacita kita,” Causa Nostrae Laetitiae. Mengapa? Karena dia [Bunda Maria] membawa sukacita terbesar itu yakni Yesus”:

“Kita perlu berdoa kepada Bunda Maria, sehingga membawa Yesus memberikan kita rahmat sukacita, sukacita kebebasan. Semoga hal tersebut memberikan kita rahmat untuk memuji, untuk memuji dengan doa pujian yang tanpa pamrih, karena Dia layak menerima pujian, selalu. Berdoalah kepada Bunda Maria dan katakan padanya apa yang Gereja katakan:. Veni, Precelsa Domina, Maria, tu nos visita, Wanita, engkau yang begitu luar biasa, kunjungi kami dan berikan kami sukacita.”

(AR)

 

Paus Fransiskus,

Domus Sanctae Marthae, 31 Mei 2013

Diterjemahkan dari : www.news.va

 

Doa Penyerahan diri kepada Keluarga Kudus Nazaret

0

Keluarga Kudus, Teladan dan Pelindung segenap keluarga Kristiani,
di bawah naunganmu kami serahkan keluarga kami.

Bila hidupmu kami renungkan kembali,
tergeraklah hati kami untuk menimba semangatmu.

Bapa Yusuf dan Bunda Maria, sejak terbentuknya keluargamu,
nyatalah kesediaan untuk saling menerima dan mendukung
yang ditopang oleh tanggapanmu atas panggilan Allah.

Seluruh perjuangan hidupmu diwarnai oleh iman, kelutusan dan kerendahan hati,
ikut membantu menangkap kehendak Allah
yang terwujud dalam tanggung jawab dan cintamu kepada Yesus.

Dalam hidup tersembunyi di Nazaret, Bapa dan Bunda bekerja keras
membanting tulang dan hidup sederhana.

Asuhlah kami untuk menyambut kehadiran Yesus di antara kami;
menciptakan keheningan di tengah kesibukan,
berani menyimpan sabda-Nya di dalam hati
sebagai pegangan hidup persaudaraan sehari-hari;
mau bekerjasama, saling membantu dan meneguhkan dan bukan menambah penderitaan.

Tuhan Yesus, semoga berkat kedudukan-Mu sebagai titik temu dalam keluarga kami,
kami bersedia meluangkan waktu untuk saling bertemu,
menjalin relasi manusiawi yang matang,
sehingga rumah kami terasa mengerasankan aman tenteram dan penuh kasih sayang.

Ajarilah kami untuk mengambil sikap yang tepat
antara tugas dan kepentingan pribadi maupun keluarga.

Keluarga Kudus Nazaret, kami percaya bahwa dengan menimba semangat hidupmu
semakin terpancarlah dari hidup kami
kesaksian dan pewartaan mengenai kasih sebagai pengikat
yang mempersatukan dan menyempurnakan.

Terpujilah nama Yesus, Maria dan Yusuf,
sekarang dan selama-lamanya.

Amin.

(Dikutip dari buku: Devosi kepada Keluarga Kudus, penyusun: Pusat Pendampingan Keluarga MSF, (Jakarta: Obor, 2011), hl. 26-28)

Paus : Mengikuti Kristus bukanlah sebuah karier, melainkan jalan Salib

0

Kita seharusnya tidak mereduksi pewartaan akan Yesus menjadi sebuah kebudayaan yang ‘berkilauan’ atau ‘topeng’ belaka, melainkan harus ‘langsung ke hati’ dan mengubah kita. Kemudian, mengikuti Yesus ‘tidak berarti mendapatkan lebih banyak kekuasaan’, seperti sebuah ‘karir’ karena jalan-Nya adalah jalan Salib. Ini adalah fokus dari homili Paus Fransiskus pada Misa Selasa pagi [28/05/2013] di kapel kediaman Paus Casa Santa Marta. Emer McCarthy melaporkan:

Apa upah kami dalam mengikuti Engkau? Paus Fransiskus mengawali dengan pertanyaan Petrus kepada Yesus. Sebuah pertanyaan, katanya, yang mana pada akhirnya menyangkut kehidupan setiap orang Kristen. Yesus mengatakan bahwa mereka yang mengikuti Dia akan memiliki “banyak hal yang baik” tetapi “dengan penganiayaan.” Jalan Tuhan, ia melanjutkan, “adalah jalan kerendahan hati,  sebuah jalan yang berujung pada Salib.” Itu sebabnya, ia menambahkan, “akan selalu ada kesulitan,” “penganiayaan.” Akan selalu ada, “karena Dia melalui jalan ini sebelum kita”. Paus memperingatkan bahwa “ketika seorang Kristen tidak memiliki kesulitan-kesulitan dalam hidup – ketika semuanya baik-baik saja, semuanya indah – Ada sesuatu yang salah.” Ini menuntun kita untuk berpikir bahwa si ini atau si itu adalah “seorang teman yang hebat dari roh dunia, dari keduniawian.” Paus mencatat ini “merupakan godaan utama bagi orang Kristen”:

“Mengikuti Yesus, ya, tetapi sampai titik tertentu: mengikuti Yesus karena budaya: Aku seorang Kristen, saya bagian dari budaya ini … Tapi tanpa perlu pemuridan sejati Yesus, kebutuhan untuk melalui jalan-Nya. Jika kalian mengikuti Yesus sebagai rencana budaya, maka kalian sedang menggunakan jalan ini untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi, untuk memiliki kekuasaan lebih. Dan sejarah Gereja penuh dengan hal ini, mulai dengan beberapa kaisar dan kemudian [dengan] banyak penguasa dan banyak orang, bukan? Dan bahkan beberapa – saya tidak akan mengatakan banyak, tetapi beberapa – imam, uskup, bukan? Beberapa orang mengatakan bahwa ada banyak [yang seperti itu] … tapi mereka itu adalah orang-orang yang berpikir bahwa mengikuti Yesus adalah sebuah karir.”

Paus mengingatkan bahwa pada satu waktu, “dalam kepustakaan dari dua abad yang lalu,” kadang-kadang dikatakan bahwa seseorang “dari waktu ia masih kecil sudah ingin berkarir dalam gereja.” Di sini Paus menegaskan bahwa “banyak orang Kristen, tergoda oleh roh dunia, berpikir bahwa mengikuti Yesus itu baik karena dapat menjadi sebuah karir, mereka bisa maju.” Tapi ini “bukan roh-Nya”. Sebaliknya itu adalah sikap Petrus ketika dia berbicara kepada Yesus tentang karir dan Yesus menjawab: “Ya, Aku akan memberikan segalanya dengan penganiayaan.” “Kalian tidak dapat menghapus Salib dari jalan Yesus, itu selalu ada.” Namun, Paus Fransiskus mengingatkan, ini tidak berarti bahwa orang Kristen harus menyakiti diri sendiri. Orang Kristen “mengikuti Yesus dari kasih dan saat kalian mengikuti Yesus karena kasih, iri hati iblis melakukan banyak hal.” “Roh dunia tidak akan mentolerir hal ini, tidak mentolerir kesaksian ini”:

“Pikirkan tentang Ibu Teresa: Apa yang roh dunia katakan tentang Ibu Teresa? ‘Ah, Beata Teresa adalah seorang wanita cantik, dia melakukan banyak hal baik bagi orang lain …’ Roh dunia ini tidak akan pernah mengatakan bahwa Beata Teresa menghabiskan, setiap hari, berjam-jam, dalam adorasi … Tidak pernah! Hal ini mereduksi aktivitas Kristiani sebatas kegiatan sosial saja. Seolah-olah kehidupan Kristiani adalah sebuah permukaan halus yang berkilau – kilau, sebuah topeng yang indah. Pewartaan Yesus tidak hanya di permukaan: Pewartaan Yesus langsung tertuju ke tulang, hati, jauh ke dalam dan mengubah kita. Dan roh dunia tidak mentolerir hal itu, tidak akan mentolerir hal itu, dan karena itu, ada penganiayaan.”

Paus Fransiskus mengatakan mereka yang meninggalkan rumah mereka, keluarga mereka, untuk mengikuti Yesus, menerima kembali seratus kali lipat “sekarang pada saat ini.” Seratus kali bersama-sama dengan penganiayaan. Dan ini tidak boleh dilupakan:

“Mengikuti Yesus hanya seperti itu: pergi bersamaNya karena kasih, di belakang-Nya: Pada perjalanan yang sama, jalan yang sama. Dan roh dunia tidak akan mentolerir ini dan inilah apa yang akan membuat kita menderita, tetapi menderita seperti yang Yesus alami. Mari kita meminta rahmat ini: mengikuti Yesus dalam jalan yang Dia telah tunjukkan kepada kita dan yang telah Dia ajarkan kepada kita. Ini  indah, karena Dia tidak pernah meninggalkan kita sendirian. Tidak pernah! Dia selalu bersama kita. Maka jadilah itu”.

Misa ini dikonselebrasikan oleh Uskup Agung Rino Fisichella dan Mgr. José Octavio Ruiz Arenas, presiden dan sekretaris Dewan Kepausan untuk Evangelisasi Baru. Acara ini dihadiri oleh sekelompok imam dari Dewan Kepausan di atas dan staf dari Pembangkit Listrik Vatikan dan Laboratorium Teknis Gubernurat Pertukangan Vatican, didampingi oleh Insinyur Pier Carlo Cuscianna, Direktur Pelayanan Teknis Gubernurat.

(AR)

 

Paus Fransiskus,

Domus Sanctae Marthae, 28 Mei 2013

Diterjemahkan dari : www.news.va

 

 

Paus : Ijinkanlah diri kita ditemui oleh Tuhan

0

Masalahnya bukan bahwa kita adalah orang berdosa, tetapi bahwasanya kita tidak mengijinkan diri kita untuk diubah oleh perjumpaan dengan Kristus dalam cinta: ini adalah fokus utama dari pesan Paus Fransiskus pada Misa Jumat pagi [17/05/2013] di kapel Domus Sanctae Marthae di Vatikan, yang dihadiri oleh para karyawan dari Museum Vatikan.

Pusat homili adalah bacaan Injil hari itu, di mana Yesus Kristus yang bangkit bertanya tiga kali kepada Petrus apakah Petrus mengasihiNya. “Ini,” kata Paus Fransiskus, adalah “dialog kasih antara Tuhan dan murid-Nya,” yang menelusuri kembali seluruh sejarah pertemuan Petrus dengan Yesus, dari [mulai] panggilan pertama Petrus dan undangan untuk mengikuti Tuhan, sampai penerimaan nama Kefas – Batu Karang – dan dengan nama, misi yang khas, “yang mana,” kata Paus Fransiskus, “telah ada di sana, meskipun Petrus tidak mengerti apa-apa tentang hal tersebut [pada saat itu].” Kemudian, ketika Petrus mengakui Yesus sebagai Kristus dan melanjutkan untuk menolak jalan Salib, dan Yesus berkata kepadanya, “Pergilah, setan!” Dan “Petrus menerima penghinaan ini.” Petrus sering kali “meyakini dirinya untuk menjadi teman yang baik,” yang “berapi-api“ di Taman Getsemani, dan “mengambil pedang”untuk membela Yesus, namun kemudian menyangkal Dia tiga kali – dan ketika Yesus memandangnya dengan pandangan itu, “begitu indah hal itu,” kata Paus, bahwa Petrus menangis. “Yesus dalam pertemuan-pertemuan ini sedang mendewasakan jiwa Petrus, hati Petrus,” membantu Petrus untuk bertumbuh dalam kasih. Jadi Petrus, ketika dia mendengar Yesus tiga kali bertanya kepadanya, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”, merasa malu, karena dia mengingat saat, tiga kali, dia bilang dia tidak mengenal Tuhan:

“Petrus sedih bahwa, untuk ketiga kalinya, Yesus bertanya kepadanya,” Apakah engkau mengasihi Aku ?” Kepedihan ini, rasa malu ini – seorang pria luar biasa, Petrus ini – dan seorang berdosa, orang berdosa. Tuhan membuatnya merasa bahwa dia adalah orang berdosa – membuat kita semua merasa bahwa kita adalah orang berdosa. Masalahnya bukan bahwa kita adalah orang berdosa: masalahnya adalah tidak bertobatnya dari dosa, tidak menjadi malu dengan apa yang telah kita lakukan. Itulah masalahnya. Dan Petrus memiliki rasa malu ini, kerendahan hati ini, bukan? Dosa tersebut, dosa Petrus, adalah fakta bahwa, dengan hati sebesar hati yang Petrus miliki, membawa dia pada sebuah perjumpaan baru dengan Yesus: pada sukacita pengampunan.”

Tuhan tidak menelantarkan janji-Nya, ketika mengatakan, “Engkau adalah Batu Karang.” Dalam episode yang diceritakan kembali dalam bacaan Injil Jumat [17/05/2013], kita lihat Yesus berkata, “Gembalakanlah domba-Ku,” dan Tuhan “memberikan kawanan domba-Nya kepada orang berdosa.”:

“Petrus adalah orang berdosa, tetapi tidak korup,  kan? Orang-orang berdosa, ya, semua orang: korup, tidak. Saya pernah mengenal seorang imam, seorang pastor paroki yang baik yang bekerja dengan baik. Ia diangkat menjadi uskup, dan ia merasa malu karena ia merasa tidak layak, ia memiliki siksaan spiritual. Dan dia pergi ke bapa pengakuan. Bapa pengakuan mendengarkan dia dan berkata, “Tapi jangan khawatir. Jika setelah kesimpangsiuran yang Petrus buat dari hal-hal itu, mereka membuatnya [menjadi] Paus, maka kamu teruslah maju ! “Intinya adalah bahwasanya ini merupakan bagaimana Tuhan itu. Itulah cara-Nya. Tuhan membuat kita dewasa dengan banyak pertemuan dengan-Nya, bahkan dengan kelemahan-kelemahan kita, ketika kita menyadari kelemahan-kelemahan tersebut, dengan dosa-dosa kita.”

Paus Fransiskus melanjutkan dengan mengatakan bahwa Petrus membiarkan dirinya dibentuk oleh sekian banyak perjumpaannya dengan Yesus, dan bahwa hal ini, katanya, “adalah sesuatu yang kita semua harus lakukan juga, karena kita berada di jalan yang sama.” Bapa Suci menekankan bahwa Petrus luar biasa, bukan karena dia baik, tetapi karena ia memiliki kemuliaan hati, yang membuatnya menangis, mengarahkannya pada rasa sakit ini, rasa malu ini – dan juga mengambil pekerjaannya untuk menggembalakan domba”:

“Mari kita minta Tuhan, hari ini, semoga contoh dari kehidupan seseorang yang terus-menerus bertemu dengan Tuhan, dan kepadanya Tuhan memurnikan, membuat lebih menjadi dewasa melalui pertemuan-pertemuan ini, membantu kita untuk kita untuk bergerak maju, mencari Tuhan dan berjumpa dengan Dia, memungkinkan kita benar-benar untuk menjumpaiNya. Lebih dari ini, adalah penting agar kita membiarkan diri berjumpa dengan Tuhan: Dia selalu mencari kita, Dia selalu dekat dengan kita. Sering kali, meskipun kita melihat ke jalan lain karena kita tidak ingin berbicara dengan Tuhan atau mengijinkan diri kita untuk menjumpai Tuhan. Berjumpa dengan Tuhan itu penting, tetapi yang lebih penting, [ialah] membiarkan diri kita ditemui oleh Tuhan: ini adalah rahmat. Ini adalah anugerah tersebut yang Petrus ajarkan kita. Kita mohon rahmat ini hari ini. Maka jadilah demikian.”

(AR)

 

Paus Fransiskus,

Domus Sanctae Marthae, 17 Mei 2013

Diterjemahkan dari : www.news.va

Paus: Budaya kesejahteraan ekonomi dan ketertarikan terhadap yang sementara mencegah kita untuk mengikuti Yesus

0

Untuk mengikuti Yesus kita harus menyingkirkan budaya kita yang didasarkan pada kesejahteraan ekonomi dan daya tarik kita terhadap yang sementara. Ini adalah pesan yang disorot pagi ini [27/05/2013] oleh Paus Fransiskus dalam misa di Domus Sanctae Marthae. Menyapa mereka yang hadir Paus mengundang kita untuk memeriksa hati nurani kita dan mengadakan pemeriksaan dari kekayaan yang mencegah kita untuk menjadi dekat kepada Yesus. Misa, yang dikonselebrasikan bersama Kardinal Philippe Barbarin, Uskup Agung Lyon, juga terlihat berpartisipasi para anggota Dewan Kepausan untuk Pelayanan Pastoral bagi Pekerja Kesehatan yang dipimpin oleh Presiden mereka Uskup Agung Zygmunt Zimowski, dan sekelompok kolaborator dari Departemen Vatikan untuk Pelayanan Ekonomi, yang dipimpin oleh Mr Sabatino Napolitano.

Yesus meminta seorang pemuda untuk memberikan semua kekayaannya kepada orang miskin dan kemudian mengikutiNya. Tetapi ketika orang muda itu mendengar ini, dia pergi dengan sedih. Homili Paus Fransiskus menemukan inspirasi dalam episode tenar yang dikisahkan dalam Injil dan ia menggarisbawahi bahwa “kekayaan merupakan penghalang” yang “tidak memfasilitasi perjalanan kita menuju Kerajaan Allah”. Dan ia menunjukkan: “Masing-masing dan setiap orang dari kita memiliki kekayaan”. Selalu ada, katanya, kekayaan yang “menghentikan kita untuk semakin dekat kepada Yesus”. Dan ini harus dihilangkan. Kita semua harus, lanjutnya, memeriksa hati nurani kita dan menentukan apa kekayaan kita karena mereka menghentikan kita untuk semakin dekat kepada Yesus dalam alur kehidupan kita”. Dan Paus berfokus pada apa yang ia sebut dua “kekayaan dalam budaya kita”: pertama, “budaya kesejahteraan ekonomi yang menyebabkan kita kekurangan keberanian, membuat kita malas, membuat kita egois”. Kesejahteraan, katanya, “membius kita, itu adalah obat bius”.

“Tidak, tidak, tidak lebih dari satu anak, karena jika tidak kita tidak akan bisa pergi berlibur, kita tidak akan bisa pergi keluar, kita tidak akan mampu membeli rumah. Semuanya mengikuti Tuhan dengan sangat baik, tapi hanya sampai titik tertentu saja. Ini adalah apa yang kesejahteraan ekonomi lakukan terhadap kita: kita semua tahu apa itu kesejahteraan, tapi itu menghilangkan keberanian kita, keberanian yang kita perlukan untuk dekat kepada Yesus. Ini adalah kekayaan pertama dari budaya hari ini, budaya kesejahteraan ekonomi”.

Ada juga, ia menambahkan, “kekayaan lain dalam budaya kita”, kekayaan lain yang mencegah kita untuk semakin dekat kepada Yesus: itu merupakan kekaguman kita untuk “yang sementara”. Kita, ia mengamati, “cinta akan hal yang sementara”. Kita tidak suka “proposal-proposal Yesus yang pasti”. Sebaliknya kita menyukai apa yang sementara karena “kita takut akan waktu Tuhan” yang pasti.

“Dia adalah Tuhan dari waktu, kita adalah penguasa dari momen saat ini. Kenapa? Karena kita memiliki kuasa akan saat ini: aku akan mengikuti Tuhan sampai pada titik ini, dan kemudian aku akan lihat [nantinya]… Saya dengar dari seorang pria yang ingin menjadi seorang imam – tapi hanya untuk sepuluh tahun, tidak lebih lama dari itu…” Ketetarikan untuk yang sementara: ini adalah sebuah kekayaan. Kita ingin menjadi tuan akan waktu, kita hidup untuk momen ini. Kedua kekayaan adalah hal-hal yang, pada saat ini, mencegah kita untuk bergerak maju. Saya memikirkan begitu banyak pria dan wanita yang telah meninggalkan tanah air mereka untuk bekerja sepanjang hidup mereka sebagai misionaris: yang pasti !”

Dan, katanya, saya juga berpikir akan begitu banyak pria dan wanita yang “telah meninggalkan rumah mereka untuk berkomitmen pada sebuah pernikahan seumur hidup”, yaitu “untuk mengikuti Yesus secara dekat! Inilah hal yang pasti”. Yang sementara itu, tekan Paus Fransiskus, “tidak mengikuti Yesus”, itu adalah “wilayah kita”.

Di hadapan undangan dari Yesus, di hadapan kedua kekayaan budaya ini, marilah kita berpikir akan para murid: mereka bingung. Kita juga bisa menjadi bingung dengan permintaan Yesus. Ketika Yesus menjelaskan sesuatu, orang-orang mendengarkan dengan takjub. Mari kita minta Tuhan untuk memberikan kita keberanian untuk maju, untuk membebaskan diri dari budaya kesejahteraan ekonomi ini, berharap pada waktu – pada akhir dari perjalanan di mana Dia menunggu kita. Bukan dengan harapan kecil dari momen saat ini yang tidak akan ada lagi gunanya. Dan maka jadilah itu.

(AR)

Paus Fransiskus,

Domus Sanctae Marthae, 27 Mei 2013

Diterjemahkan dari : www.news.va

Paus : Roh Kudus yang menciptakan kesatuan dalam Gereja!

0

Berikut adalah terjemahan pesan Paus Fransiskus dalam doa Regina Caeli (Ratu Surga) pada Minggu Pentakosta:

Saudara – saudari yang terkasih,

Perayaan iman ini hampir berakhir. Dimulai kemarin dengan Vigil dan mencapai puncaknya  pagi ini dengan Ekaristi. Semuanya itu merupakan sebuah Pentakosta baru yang mengubah Lapangan Santo Petrus menjadi Ruang Atas (Senakel) di bawah langit terbuka. Kita telah menghidupkan kembali pengalaman Gereja yang baru lahir, diselaraskan dalam doa bersama Maria, Bunda Yesus (lih. Kis 1:14). Dalam berbagai bentuk karisma kita juga mengalami indahnya persatuan, pengalaman menjadi satu. Utamanya ini merupakan tindakan Roh Kudus yang menciptakan kesatuan dalam Gereja yang selalu baru.

Saya ingin berterima kasih kepada semua gerakan, asosiasi, komunitas dan kelompok gerejani. Kalian adalah hadiah dan harta Gereja! Itulah kalian! Saya berterima kasih khususnya pada kalian semua yang datang dari Roma dan dari begitu banyak belahan dunia. Sampaikanlah kuasa Injil selalu! Jangan takut!  Bersukacitalah dan antusias senantiasa untuk persatuan dalam Gereja! Semoga Tuhan yang Bangkit bersama kalian terus-menerus dan semoga Bunda kita melindungi kalian!

Mari kita ingat dalam doa kita masyarakat Emilia Romagna yang dilanda gempa bumi pada tanggal 20 Mei tahun lalu. Saya juga berdoa untuk Federazione Italiana delle Associazioni di Volontariato in Oncologia [Federasi Italia untuk Asosiasi Relawan dalam bidang Onkologi]

Setelah pendarasan doa Ratu Surga (Regina Caeli):

Saudara dan saudari, terima kasih banyak untuk cinta kalian bagi Gereja! Saya harap kalian semua memiliki hari Minggu yang baik, hari pesta dan makan siang yang baik!

(NT)

 

Paus Fransiskus,

Lapangan Santo Petrus, 19 Mei 2013

Diterjemahkan dari : www.vatican.va

 

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab