Home Blog Page 112

Aku di sini, jangan takut

0

“Once we take our eyes away from ourselves, from our interests, from our own rights, privileges, ambitions – then they will become clear to see Jesus around us.”
– Beata Teresa dari Kalkuta-

Mengikuti Misa harian, di manapun itu, biasanya saya akan menjumpai wajah-wajah yang hampir selalu sama. Bahkan beberapa orang hampir bisa dipastikan akan selalu hadir karena senantiasa bertugas entah dalam koor kecil, petugas tata laksana, petugas lektor, atau misdinar remaja. Kalau agak lama mereka tidak muncul saya jadi bertanya-tanya jangan-jangan orang itu sedang sakit atau mungkin tengah berlibur ke luar kota. Terasa sukacita bisa melihat wajah-wajah yang sama itu hampir setiap hari di dalam Misa pagi. Sebab di dalam wajah-wajah yang damai itu, baik yang diam dalam sikap doa di bangku, yang sedang menyanyi dengan semangat walau hari masih pagi, atau yang sedang sibuk menyiapkan pernak pernik ibadat di altar atau ambo, saya menyadari karya kasih Tuhan sedang bergerak dengan sangat dinamis di dalam diri mereka.

Suatu hari, saya berkesempatan menyapa seorang ibu yang selalu saya lihat hadir sendirian dan duduk di deretan depan. “Ibu, selamat pagi,” sapa saya. Ia membalas dengan senyum lebar dan tak lama kemudian ia telah asyik bercerita mengenai anak-anaknya yang telah berkeluarga dan tinggal di kota-kota lain. Ia merayakan Misa pagi setiap hari untuk membawa anak-anaknya dan setiap pergumulan mereka kepada Kristus di dalam Ekaristi. Itulah caranya menyatakan cinta dan dampingannya kepada anak-anaknya yang secara fisik sudah tidak lagi berada di sisinya dan tak lagi dapat segera ia tolong manakala mereka membutuhkannya, seperti ketika mereka dulu masih kanak-kanak.

Agak sukar bagi saya sendiri, untuk menuliskan dengan kata-kata, keindahan mengawali sebuah hari yang baru yang diberikan Tuhan, dalam keheningan pagi bersama orang-orang lain yang juga begitu rindu kepadaNya, mengalami lagi momen teramat berharga di mana Kristus hadir dan memecah-mecahkan Diri-Nya, supaya saya menjadi utuh kembali, saya yang juga sudah pecah akibat berbagai tekanan hidup dan rutinitas kesibukan, akibat kelelahan melayani ego yang tiada habisnya, dan akibat dosa dan kelalaian saya. Tentu saya bisa berdoa di rumah dan merenungkan Kitab Suci di kamar, namun hadir dalam Misa di mana Kristus menantikan saya untuk menyambutNya bersama teman-teman seiman, membuat saya merasa dipeluk olehNya, merasakan relasi yang demikian intim dengan Kristus. Kasih di dalam hati yang terbatas dan kering, dibarui lagi dan dimampukan untuk memberikan kasih kepada dunia, sebagaimana Dia telah memberikannya tanpa syarat untuk saya.

Saya dibaptis sejak bayi. Di awal masa remaja, saya kadang merasa bosan dan mengantuk saat merayakan Misa. Pikiran melayang ke berbagai penjuru kecuali ke altar. Mata agak segar jika sudah tiba pada lagu “Bapa Kami”, karena berarti Misa sudah hampir usai. Wajah semakin ceria ketika tiba pada ‘salam damai’. Memasuki pujian lagu “Anak Domba Allah”, saya mulai membayangkan sepulang dari gereja enaknya sarapan di mana ya bersama bapak ibu saya. Yang tidak saya ketahui pada saat itu adalah bahwa nyanyian “Kudus” dan “Anak Domba Allah” adalah nyanyian bala tentara surgawi yang tengah tak henti memuji Allah Tritunggal, sebuah aktivitas puji-pujian yang kelak seluruh umat beriman akan lakukan di dalam kekekalan (Why 4: 8) dalam persekutuan dengan Kristus dan para Kudus, dalam kemuliaan dan sukacita abadi di Surga. Scott Hahn menulis bahwa dalam Kitab Wahyu, Yesus disebut sebagai ‘Anak Domba’ setidaknya sebanyak 28 kali dalam 22 bab.

Saya tidak ingat persisnya kapan saya mulai sedemikian rindu buat merayakan Misa, mungkin terbantu terpupuk sejak mengikuti Legio Maria di bangku SMP dan melakukan rantai Misa pagi, bergiliran dengan teman-teman sesama legioner. Ada dorongan kerinduan tak tertahankan kepada Kristus, Kristus yang begitu rindunya dan kasihnya padaku, hingga memberikan Diri-Nya sehabis-habisnya di kayu salib, Tuhan yang sedemikian rendah hati, untuk hadir dalam rupa roti anggur yang begitu sederhana, agar Tubuh dan Darah-Nya itu selalu dapat dipersatukan-Nya dengan tubuh dan darahku yang fana ini di setiap perayaan Ekaristi. Sukacita akan kehadiran-Nya yang nyata itu, secara sederhana terasa seperti saat saya menerima sebuah kartupos yang dikirimkan sahabat saya di negeri yang jauh, kartu pos dengan gambar indah dengan perangko yang unik, yang bisa saya pegang dengan tangan dan dapat saya simpan sebagai kenangan, walaupun dengan sahabat saya itu saya email-emailan dan kontak dengan BB messenger hampir setiap hari.

Demi kasih Kristus dan kenangan kurban kudus-Nya bagi seluruh umat manusia, perayaan Misa adalah saat untuk sesaat saja meninggalkan apa yang menarik bagi saya atau apa yang menguntungkan diriku. Saya sudah memakai hampir seluruh waktu saya untuk memikirkan diri sendiri dan demi mencari apa yang menyenangkan diriku. Ini saatnya untuk mengarahkan seluruh perhatianku kepada Kristus di Tabernakel dan menyenangkan hati-Nya, Kristus dalam perayaan Ekaristi, yang sudah melupakan Diri-Nya sendiri menjadi nol dan mati, agar saya juga belajar mati bagi sendiri, sehingga mampu berbuah bagi sesama, dan hidup bagi Dia.

Tuhan, aku datang memenuhi undangan-Mu dalam Ekaristi, mengenang kurban salib-Mu, yang tlah membuat aku hidup. Ya, untuk aku, seorang pendosa yang suka membuat keonaran, yang begitu sering memalingkan diri dariMu. Di Tubuh Kudus-Mu yang telah Engkau serahkan buatku dengan penuh cinta dan kerelaan, yang kuterima dengan kedua tanganku, kusambut dengan segenap hatiku, di tengah segala kegalauan dan kepedihanku, kudengar Engkau berbisik, “ Aku ini, …Aku di sini, jangan takut”.

Mengapa Salib Katolik ada Corpusnya?

15

Ada sejumlah orang mempertanyakan mengapa salib di Gereja Katolik ada Corpus-nya (patung tubuh Yesus-nya) sedangkan salib pada gereja-gereja non Katolik tidak ada Corpus-nya. Kebanyakan pertanyaan ini berhubungan dengan anggapan bahwa: 1) kalau begitu Gereja Katolik percaya kepada Yesus yang wafat, bukan kepada Yesus yang bangkit; 2) karena ada Corpus-nya, maka Gereja Katolik menyembah berhala. Tentu saja kedua anggapan ini keliru. Pertama, pengakuan iman Gereja Katolik  telah dinyatakan secara jelas dan eksplisit dalam Syahadat para Rasul, yaitu: Aku percaya … akan Yesus Kristus, Putera Allah yang tunggal, yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria, yang menderita sengsara…., disalibkan, wafat dan dimakamkan…., pada hari ketiga Ia bangkit …yang naik ke Surga… Maka tidak benar, jika Gereja Katolik hanya percaya kepada Kristus yang wafat. Kedua, walaupun Gereja Katolik menghormati  salib Kristus itu, namun yang dihormati bukan patung Yesus di salib tersebut, tetapi Pribadi Yesus yang digambarkan oleh patung salib itu. Ini disebut dulia-relatif. Tentang apakah itu dulia relatif dan dasar Kitab Sucinya, silakan membaca artikel ini, silakan klik. Oleh karena itu, penghormatan kepada Salib Kristus bukanlah berhala, sebab yang dihormati tetaplah Kristus Tuhan yang digambarkan oleh Crucifix (Corpus) itu, dan bukan patung-nya itu sendiri.

Memang penggambaran salib yang ‘polos’ (tanpa corpus) atau salib dengan corpus, seolah memberikan penekanan makna yang berbeda. Salib yang polos sepertinya lebih menekankan kepada Kristus yang bangkit, sedangkan salib dengan corpus menekankan kepada pengorbanan Kristus sampai kepada wafat-Nya. Sebagai sesama murid Kristus, tentu kita sama-sama mengimani Kristus yang wafat dan bangkit. Namun jika Gereja Katolik memilih penggambaran corpus Kristus di salib, itu karena penggambaran tersebut lebih jelas menyampaikan inti ajaran Kristiani sebagaimana dikatakan oleh Rasul Paulus:

“Aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa- apa di antara kamu, selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.” (1Kor 2:2)

Rasul Paulus mengajarkan bahwa pewartaan iman Kristiani adalah iman akan Kristus yang disalibkan, sebab dengan salib suci-Nya inilah Yesus telah menebus dosa umat manusia.

Maka, setidak-tidaknya, ada 4 alasan mengapa penggambaran corpus Kristus di salib lebih mengarahkan kita agar semakin menghayati ajaran iman kita:

1. Corpus Kristus itu mengingatkan kita kepada penggenapan nubuat para nabi akan Sang Mesias yang menderita, dalam diri Kristus. “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, …. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh… ” (Yes 53:2-5)

2. Corpus Kristus itu mengajarkan kita akan keadilan Allah. Sebab Kristus yang tersalib mengingatkan kita akan kejamnya akibat dosa kita, hingga Allah sendiri harus mengutus Kristus Putera-Nya untuk menanggung sengsara dan wafat sebagai tebusan dosa-dosa kita (lih. Gal 3:13). Kesadaran akan hal ini mendorong kita menjauhi dosa, sebab kita mengetahui bahwa dosa-dosa kitalah yang menyebabkan sengsara-Nya.

3. Corpus Kristus itu mengajarkan kita akan kasih Allah yang tak terbatas. Sebab Kristus sendiri mengatakan, “Tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya” (lih. Yoh 15:13). “Kristus, terima kasih, Engkau mau menderita dan wafat di salib untuk menebus dosa-dosaku”, biarlah doa singkat ini menjadi seruan hati kita setiap kali memandang corpus Kristus yang terentang di kayu salib itu.

4. Corpus Kristus itu mengingatkan dan mendorong kita agar kita-pun mau mengasihi, memberikan diri kita kepada orang lain tanpa pamrih, rela berkorban dan tak mudah putus asa dalam memikul salib kita sehari-hari (lih. Luk 9:23). Sabda Tuhan dalam Injil Yohanes mengajarkan agar kita saling mengasihi seperti Kristus telah mengasihi kita, “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” (1 Yoh 3:16) Tak mengherankan bahwa dengan merenungkan makna Kristus yang tersalib inilah, para martir dan Santa- Santo, dengan rela menyerahkan segala-galanya demi iman mereka akan Kristus.

Nah, maka penggambaran Kristus yang tersalib, tidak berarti bahwa kita umat Katolik hanya percaya kepada Kristus yang wafat. Tentu saja kita percaya kepada Kristus yang wafat dan bangkit, namun penggambaran corpus Kristus di salib, lebih jelas mengingatkan kita akan penebusan Kristus yang dicapai melalui sengsara dan wafat-Nya. Sebab tidak mungkin ada kebangkitan Kristus tanpa sengsara dan wafat-Nya di salib. Selanjutnya penggambaran corpus Kristus ini adalah untuk mendorong kita agar kitapun rela berkorban untuk mengasihi Tuhan dan sesama. Maka corpus Kristus di salib itu, jika direnungkan maknanya, sesungguhnya mengingatkan kita akan dalamnya makna hukum cinta kasih, yang menjadi inti ajaran Kristiani. Yaitu, karena begitu besarnya kasih Allah, kita diselamatkan oleh Kristus Putera-Nya, dan kitapun dipanggil untuk mengasihi Allah dan sesama seperti Dia mengasihi kita.

Akhirnya, berikut ini adalah doa yang dianjurkan oleh Gereja, saat kita memandang salib Kristus:

“Lihatlah kepadaku, Tuhan Yesus yang baik dan lemah lembut, di hadapan-Mu aku berlutut dan dengan jiwa yang berkobar aku berdoa dan memohon kepada-Mu agar menanamkan di dalam hatiku, citarasa yang hidup akan iman, pengharapan dan kasih, pertobatan yang sungguh dari dosa-dosaku, dan kehendak yang kuat untuk memperbaikinya. Dan dengan kasih dan dukacita yang mendalam, aku merenungkan kelima luka-luka-Mu, yang terpampang di hadapanku, yang tentangnya Raja Daud, nabi-Mu, telah menubuatkan perkataan ini yang keluar dari mulut-Mu, ya Tuhan Yesus: “Mereka telah menusuk tangan-Ku dan kaki-Ku; mereka telah menghitung semua tulang-Ku….”

Amin.

(Indulgensi Penuh dapat diperoleh dengan mengucapkan doa ini pada hari Jumat di masa Prapaska dan setiap hari di dalam dua minggu sebelum Paskah (masa Passiontide), ketika doa ini diucapkan setelah Komuni di hadapan gambar/ image Kristus yang tersalib. Pendarasan doa ini pada hari-hari lainnya, memperoleh indulgensi sebagian. Tentang persyaratan agar memperoleh indulgensi penuh adalah: 1) mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa; 2) menerima Komuni kudus; 3) berdoa bagi intensi Bapa Paus; 4) tidak ada keterikatan terhadap dosa, bahkan terhadap dosa ringan. Selanjutnya tentang apa itu Indulgensi, silakan klik di sini; dan tentang Bagaimana Agar Memperoleh Indulgensi, klik di sini.)

 

Pemancing Ikan Tuhan (rekoleksi dan rekreasi pembina Bina Iman Anak)

0

Pandangan yang indah ada di sekitar  kapal yang kami tumpangi.
Anak-anak kecil  mengayuh sampan  mengintari pulau itu.
Mereka menyelam seharian menangkapi ikan-ikan yang berenang.
Tawa mereka merekah memegang hasil tangkapannya.
Kebahagiaan  anak-anak  sebagai nelayan  mengingatkan  mereka akan panggilan Tuhan kepada murid-Nya : “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia”.

Ket. foto: Bersama lima puluh pembina Bina Iman Anak Paroki St Odilia Citra Raya siap menuju kepal kecil
odilia-1

Aku menyusuri pantai bersama  para  pembina iman anak  yang masih remaja.
Nelayan-nelayan kecil memberikan permenungan yang mendalam atas  foto-foto anak-anak  bimbingan mereka yang berada dalam blackberry.
Ketiga anak remaja  yang pandai di kelas mengungkapkan  syair kehidupan : “Apa gunanya juara di sekolah kalau hidup tanpa  pelayanan”.

Ket. foto: Rm. Felix , Diakon Lucki, 50 para pembina Bina Iman Anak. Mantap menjadi pemancing ikan kecil alias mendapatkan hati anak-anak

Kami pun pulang dengan semangat menggelora di dada.
Dengan menundukkan kepala, kami masuk dalam pengolahan pengalaman iman  : “Kami memang belum menjadi penjala ikan yang besar, tetapi kami bahagia sudah menjadi  seorang pemancing ikan yang kecil-kecil. Anak-anak bina iman akan mempengaruhi banyak manusia yang besar” .

Ket. foto: Para pembina iman anak yang masih remaja mengenang pelayanan dengan melihat anak-anak didik mereka di BB. Apa gunanya juara kelas kalau tanpa pelayanan. Itulah hasil permenungan mereka.

Ket. foto: Inilah foto kenangan tentang anak-anak  didik mereka. Walaupun sederhana, anak-anak ini penuh harapan karena iman. Penuh perhatian mendengarkan pengajaran.

Tuhan pun pasti menepuk bahu mereka : “Kalian adalah anak-anakku yang tersayang.  Walaupun engkau masih remaja dan ibu-ibu sederhana, tetapi engkau mempunyai kasih sayang yang besar”.

Ket. foto: Menyongsong pelayanan Bina Iman Anak dengan penuh antusias.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Paus : Allah menjadi Daging adalah sebuah Skandal!

3

“Gereja bukanlah sebuah organisasi budaya,” tapi, “keluarga Yesus.” Ini adalah fokus dari homili Paus Fransiskus kepada umat beriman yang berkumpul pada Misa Sabtu pagi [01-06-2013] di kapel kediaman Paus, Domus Sanctae Marthae, di Vatikan. Paus mengatakan bahwa orang Kristen seharusnya tidak malu untuk hidup dengan skandal akan Salib, dan mendesak mereka tidak “terperangkap oleh roh dunia.”

Paus Fransiskus mengambil pertanyaan yang diberikan kepada Yesus oleh para ahli Taurat dan imam-imam kepala, “Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal ini?” sebagai titik tolaknya. Sekali lagi, katanya, mereka sedang mencari [kesempatan] untuk mengatur perangkap bagi Tuhan, mencoba untuk menyudutkanNya, untuk memaksa Dia untuk berbuat kesalahan. Bapa Suci melanjutkan dengan bertanya mengapa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ingin mempermalukan Yesus. “Masalah yang dimiliki orang-orang tersebut,” kata Bapa Suci bukanlah soal Yesus yang telah melakukan mukjizat-mukjizat. Melainkan, ia menjelaskan, “Mereka terkejut karena setan-setan berseru kepada Yesus, ‘Engkau adalah Putra Allah, Engkau adalah Yang Kudus” Ini adalah hal sesungguhnya tentang Yesus yang menjadi skandal. “Dia adalah Allah yang berinkarnasi.” Bagi kita, juga, “mereka memasang perangkap-perangkap dalam hidup,” meskipun, “[itulah karakteristik] dari Gereja, yang menjadi skandal, adalah misteri Penjelmaan Sabda, dan, ini tidak dapat ditoleransi, iblis tidak mau menderita karena hal ini”:

“Berapa kali kalian mendengar orang berkata: ‘Tapi kalian orang Kristen, jadilah sedikit lebih normal, seperti orang lain:  yang masuk akal!’ Ini adalah ucapan si ular yang menggoda, sudah pasti: “Tapi, -yang normal-normal saja, OK? Sedikit lebih normal, jangan terlalu ketat.” Tapi di balik ini adalah: ‘Tolong, jangan datang dengan dongeng [kalian], tentang Allah yang menjadi manusia!’ Inkarnasi Sang Sabda: inilah skandal di balik itu (red-godaan si ular)! Kita bisa melakukan semua pekerjaan sosial yang kita inginkan, dan mereka akan mengatakan, ‘Betapa baiknya, Gereja, betapa baiknya karya sosial yang Gereja lakukan.’ Tetapi jika kita berkata bahwa kita melakukan ini karena orang-orang [yang kita bantu] itu adalah daging Kristus, muncul skandal. Dan itu adalah kebenaran, itulah wahyu Yesus: kehadiran Yesus yang berinkarnasi.”

Dan “inilah poinnya,” kata Paus Fransiskus. “Selalu akan ada godaan untuk melakukan hal-hal baik tanpa skandal Inkarnasi Sang Sabda, tanpa skandal tentang Salib.” Sebaliknya, kita harus berada dalam “kebenaran dari skandal ini, dengan kenyataan ini yang menjadi skandal.” Itu adalah, “lebih baik dengan cara ini: konsistensi iman.” Paus lantas teringat bagaimana Rasul Yohanes mengatakan: “mereka yang menyangkal bahwa Sabda datang menjadi daging, adalah dari golongan antikristus, mereka adalah antikristus.” Sebaliknya, ia melanjutkan, “Hanya mereka yang mengatakan bahwa Sabda telah menjadi daging berasal dari Roh Kudus.” Paus Fransiskus kemudian berkata, “Kiranya baik bagi kita semua untuk berpikir demikian: Gereja bukanlah sebuah organisasi budaya yang [mencakup] karya agama dan karya sosial.”:

“Gereja adalah keluarga Yesus. Gereja mengakui bahwa Yesus adalah Putra Allah yang datang dalam daging: itulah skandalnya, itulah alasannya mengapa mereka menganiaya Yesus. Alhasil, Yesus yang tidak ingin memberikan jawaban mengenai hal ini, untuk pertanyaan, ‘Dengan kuasa manakah Engkau melakukan ini?’ Dia [justru] menjawab imam besar. ‘Tapi, pada akhir dari: apakah Engkau Putera Allah? – Ya!’ Dia dihukum mati untuk itu. Ini adalah inti dari penganiayaan itu. Jika kita menjadi Kristen yang “wajar”, Kristen “sosial”, orang Kristen yang hanya melakukan kedermawanan, apa yang akan menjadi konsekuensinya? Kita tidak akan pernah memiliki martir: itu yang akan menjadi konsekuensinya.”

Saat, bagaimanapun juga, kita orang Kristen mengatakan kebenaran, bahwa “Putra Allah telah datang, dan telah menjadi daging,” ketika kita “mewartakan skandal Salib, penganiayaan akan datang, Salib akan datang,” dan “kita akan baik-baik saja,” karena “itulah hidup kita”:

“Kita mohon kepada Tuhan [agar kita] tidak menjadi malu untuk hidup dengan skandal Salib ini. [Kita mohon kepadaNya] akan kebijaksanaan: kebijaksanaan untuk memohon agar tidak terjebak oleh roh dunia, yang akan selalu memberikan kita saran-saran yang sopan, usulan-usulan yang santun, rencana-rencana yang baik – yang akan tetapi di belakang itu justru ada peniadaan fakta bahwa Sabda telah datang dalam daging, bahwa Sabda berinkarnasi. Hal itulah, yang pada akhirnya, menjadi skandal bagi mereka yang menganiaya Yesus, hal itulah menghancurkan pekerjaan setan. Maka jadilah itu.”

Uskup Agung Havana,  Kardinal Jaime Ortega, mengkonselebrasi Misa, dengan sekelompok pelayan awam Bapa Suci, the Gentlemen of His Holiness, dalam kongregasi.

(AR)

 

Paus Fransiskus,

Domus Sanctae Marthae, 1 Juni 2013

Diterjemahkan dari : www.news.va

 

Paus Fransisiskus: Koruptor merugikan Gereja; Para Kudus adalah terang bagi semua

1

Pendosa, koruptor, dan para kudus: Paus Fransiskus berfokus pada tiga kelompok ini dalam homilinya saat Misa Senin pagi [3/6/2013] di Casa Santa Marta. Paus mengatakan para koruptor sangat merugikan bagi Gereja karena mereka adalah penyembah dirinya sendiri, sebaliknya orang-orang kudus melakukan kebaikan besar, mereka adalah terang dalam Gereja.

Apa yang terjadi ketika kita ingin menjadi pemilik kebun anggur? Perumpamaan tentang penggarap kebun yang lalim dalam bacaan Injil hari Senin [3/6/2013] mengawali homili Paus Fransiskus, yang berfokus pada “tiga model orang-orang Kristen dalam Gereja: [yaitu] orang-orang berdosa, para koruptor, dan orang-orang kudus.” Paus mencatat bahwa “tidak perlu berbicara terlalu banyak tentang orang-orang berdosa, karena kita semua adalah pendosa.” “Kita mengakui ini dari dalam,” lanjutnya, “dan kita tahu seperti apa orang berdosa itu. Jika salah satu dari kita tidak merasa demikian, ia seharusnya melakukan kunjungan ke dokter rohani” karena “ada sesuatu yang salah.” Bagaimanapun perumpamaan itu menyajikan kepada kita sebuah sosok lain, sosok mereka yang ingin “mengambil kepemilikan kebun anggur, dan yang telah kehilangan hubungan dengan Tuan [Pemilik] kebun anggur,” Tuan yang, “telah memanggil kita dengan kasih, yang melindungi kita, namun kemudian memberi kita kebebasan.” Mereka yang akan mengambil kepemilikan kebun anggur, “berpikir mereka kuat, mereka pikir mereka tidak bergantung pada Allah”:

“Mereka, perlahan-lahan, tergelincir pada zona otonomi, bebas dari hubungan mereka dengan Allah: “Kita tidak membutuhkan Sang Tuan, yang seharusnya tidak usah datang dan mengganggu kita!” Dan kita melangkah maju dengan ini. Mereka ini adalah para koruptor! Mereka ini adalah orang-orang berdosa sama seperti kita semua, tapi mereka telah melangkah lebih jauh, seolah-olah mereka diteguhkan dalam dosa mereka: mereka tidak membutuhkan Allah! Tapi itu hanya kelihatannya saja, karena di dalam kode genetik mereka ada hubungan dengan Allah. Dan karena mereka tidak dapat menyangkal hal ini, mereka membuat allah lain: menjadikan diri mereka sendiri sebagai allah. Mereka sudah terkorupsi.”

“Ini merupakan bahaya bagi kita juga,” tambahnya. Dalam “komunitas Kristen,” katanya, para koruptor hanya memikirkan kelompok mereka sendiri: “Bagus, bagus. Ini semua tentang kita – pikir mereka – tetapi, pada kenyataannya, “mereka hanya [bertindak] untuk diri mereka sendiri”:

“Yudas [adalah orang pertama]: dari seorang pendosa yang serakah, berakhir dalam korupsi. Jalan otonomi adalah sebuah jalan yang berbahaya: para koruptor adalah orang yang sangat pelupa, yang telah melupakan kasih, dengan apa Tuhan membuat kebun anggur itu, telah menciptakan mereka! Mereka telah memutuskan hubungan dengan kasih ini! Dan mereka menjadi para penyembah diri mereka sendiri. Betapa buruknya para koruptor dalam komunitas Kristen ini! Semoga Tuhan menjauhkan kita agar tidak terperosok ke jalan korupsi ini.”

Paus berbicara juga tentang orang-orang kudus, mengingat bahwa hari ini adalah ulang tahun ke-limapuluh wafatnya Beato Paus Yohanes XXIII, “seorang teladan kesucian.” Pada Injil hari ini, ia menambahkan, orang-orang kudus adalah mereka yang “pergi untuk menagih uang sewa” di kebun anggur itu. “Mereka tahu apa yang mereka hadapi, tetapi mereka harus melakukannya, dan mereka melakukan tugas mereka”:

“Para kudus adalah mereka yang mentaati Tuhan, yang menyembah Tuhan, mereka tidak kehilangan ingatan akan kasih yang dengannya Tuhan telah membuat kebun anggur itu: orang-orang kudus dalam Gereja. Sementara para koruptor sangat merugikan Gereja, [sebaliknya] orang-orang kudus begitu banyak melakukan kebaikan. Rasul Yohanes mengatakan tentang para koruptor bahwa mereka adalah antikristus, bahwa mereka berada di antara kita, tetapi mereka bukan bagian dari kita. Tentang orang-orang kudus, Sabda Allah mengatakan kepada kita mereka seperti cahaya, ‘bahwa mereka akan berada di hadapan takhta Allah dalam adorasi.” Hari ini kita mohon  kepada Tuhan karunia untuk mengerti bahwa kita adalah orang-orang berdosa, tapi pendosa yang sesungguhnya, bukan pendosa secara umum, melainkan orang berdosa yang berkaitan dengan hal ini, itu, dan hal lainnya, dosa-dosa yang konkrit , dengan kekonkritan dosa. Kasih karunia untuk tidak menjadi korup: pendosa, ya, korup, tidak! Dan rahmat untuk melangkah dalam jalan kekudusan. Maka jadilah itu.”

Kardinal Angelo Amato, Prefek dari Kongregasi bagi Penyebab Penganugerahan Gelar Santo-Santa, mengkonselebrasi Misa yang dihadiri oleh sekelompok imam dan para kolaborator dari Kongregasi tersebut, serta kelompok pelayan awam pria Bapa Suci (Gentlement of His Holiness).

(AR)

 

Paus Fransiskus,

Domus Sanctae Marthae, 3 Juni 2013

Diterjemahkan dari : www.news.va

 

Paus Fransiskus: Yesus memperkaya kemiskinan kita!

0

Berikut adalah homili Paus Fransiskus pada hari raya Pesta Tubuh Kristus:

Saudara-saudari yang terkasih,

Dalam Injil yang telah kita dengar, Yesus mengatakan sesuatu yang selalu saya rasa istimewa: “Kamu harus memberi mereka makan” (Luk 9:13). Dimulai dengan kalimat ini saya biarkan diri saya dibimbing oleh tiga kata; mengikuti [sequela], persekutuan (komuni), berbagi.

1. Pertama-tama: siapakah mereka yang harus diberi makan? Kita menemukan jawabannya pada bagian awal Injil: mereka adalah orang banyak, keramaian. Yesus berada di tengah-tengah orang-orang itu, Ia menyambut mereka, Ia berbicara kepada mereka, Ia menyembuhkan mereka, Ia menunjukkan mereka belas kasihan Allah; dari antara mereka Ia memilih ke-Dua Belas Rasul untuk bersama-sama denganNya dan, seperti Dia, membenamkan diri dalam situasi praktis di dunia. Selanjutnya orang-orang itu mengikutiNya dan mendengarkanNya, karena Yesus berbicara dan berperilaku dengan cara yang baru, dengan otoritas seorang yang otentik dan konsisten, seorang yang berbicara dan bertindak dengan kebenaran, seorang yang memberi harapan yang datang dari Allah, seorang yang merupakan pewahyuan dari Wajah Allah yang adalah kasih. Dan orang-orang dengan penuh sukacita memberkati Allah.

Malam ini kitalah kerumunan orang banyak dalam Injil, kita juga berupaya untuk mengikuti Yesus untuk mendengarkan Dia, untuk masuk ke dalam persekutuan denganNya dalam Ekaristi, untuk menemaniNya dan agar Dia menemani kita. Mari kita bertanya kepada diri sendiri: bagaimana kita mengikuti Yesus? Yesus berbicara dalam keheningan Misteri Ekaristi. Dia mengingatkan kita setiap kali bahwa mengikutiNya berarti pergi keluar dari diri kita sendiri dan tidak membuat hidup kita menjadi milik kita sendiri, melainkan sebuah hadiah kepadaNya dan kepada orang lain.

2. Mari kita melangkah lagi. Apa permintaan Yesus kepada para murid, agar mereka sendiri memberi makanan kepada orang banyak itu, dari mana itu berasal? Itu berasal dari dua hal: pertama-tama dari orang banyak itu, yang dalam mengikuti Yesus menemukan diri mereka di udara terbuka, jauh dari daerah yang dihuni, sementara malam mulai tiba, dan kemudian dari keprihatinan para murid yang meminta Yesus untuk menyuruh orang banyak itu pergi sehingga mereka dapat pergi ke desa–desa tetangga sekitar untuk mencari makanan dan tempat penginapan (bdk. Luk 9:12).

Dihadapkan dengan kebutuhan dari orang banyak itu, solusi para murid adalah: membiarkan masing-masing  orang untuk memikirkan dirinya sendiri – dengan mengirim orang banyak itu pergi! Seberapa sering kita orang Kristen memiliki godaan ini! Kita tidak menanggung ke atas diri kita sendiri segala kebutuhan orang lain, tetapi mengabaikan mereka dengan saleh: “Allah menolong kalian”, atau dengan tidak begitu saleh “semoga beruntung”, dan jika aku tidak bertemu kamu lagi …. Tapi solusi Yesus pergi ke arah lain, ke arah yang mengejutkan para murid-Nya: “Kamu harus memberi mereka makan”. Namun bagaimana kami bisa memberi makan begitu banyak orang? “Kami memiliki tidak lebih dari pada lima roti dan dua ikan – kecuali kalau kami pergi membeli makanan untuk semua orang banyak ini” (Luk 9:13). Namun Yesus tidak putus asa. Dia meminta murid-murid-Nya untuk membagi orang-orang itu duduk berkelompok – kelompok, sekitar 50 orang tiap kelompoknya. Ia menengadah ke langit, mengucap berkat, memecah-mecahkan roti dan ikan itu menjadi potongan-potongan dan memberikannya kepada murid-murid-Nya untuk dibagi-bagikan (bdk. Luk 9:16). Ini merupakan sebuah momen [komuni] persekutuan yang mendalam: orang banyak itu dipuaskan oleh pengajaran Tuhan dan kini dipelihara oleh roti hidup-Nya. Dan mereka semua puas, catat Penginjil (bdk. Luk 9:17).

Malam ini kita juga berkumpul di sekeliling meja Tuhan, meja kurban Ekaristi, yang mana di dalamnya Ia sekali lagi memberikan kita tubuh-Nya dan menghadirkan kurban Salib satu-satunya. Dalam mendengarkan Sabda-Nya, dalam mengasupi diri kita dengan Tubuh dan Darah-Nya Ia mengubah kita dari sekedar keramaian banyak orang menjadi sebuah komunitas, dari saling tidak kenal menjadi persekutuan. Ekaristi adalah sakramen pemersatu yang membawa kita keluar dari individualisme sehingga kita boleh mengikutiNya bersama-sama, menghidupi iman kita dalam Dia. Oleh karena itu kita semua seharusnya bertanya pada diri sendiri di hadapan Tuhan: bagaimana aku menghidupi Ekaristi? Apakah aku menghidupinya asal-asalan atau sebagai sebuah momen persatuan sejati dengan Tuhan, dan juga dengan semua saudara-saudari yang berbagi perjamuan yang sama ini? Seperti apakah perayaan-perayaan Ekaristi kita?

3. Unsur terakhir: dari mana penggandaan roti itu berasal? Jawabannya terletak dalam permintaan Yesus kepada murid-murid-Nya: “Kamu harus memberi mereka …”, “memberi”, untuk berbagi. Apa yang para murid bagikan? Sedikit yang ada pada mereka: lima roti dan dua ikan. Namun sungguh roti dan ikan itulah yang di dalam tangan Tuhan yang memberi makan seluruh orang banyak itu. Dan para murid itu sendirilah, yang bingung saat mereka menghadapi ketidakcukupan sarana, yang dari kemiskinan akan kemampuan untuk mencukupi, yang menyuruh orang-orang itu duduk dan yang – percaya pada kata-kata Yesus – lalu membagi-bagikan roti dan ikan itu hingga memuaskan orang banyak itu. Dan ini memberitahukan kita bahwa [tidak hanya] dalam Gereja, tetapi juga dalam masyarakat, sebuah kata kunci yang darinya harus tidak kita takuti ialah “solidaritas”, yaitu, kemampuan untuk membuat apa yang kita miliki, kapasitas-kapasitas sederhana kita, tersedia bagi Allah, karena hanya dalam berbagi, dalam memberi, akan menjadikan hidup kita berbuah melimpah. Solidaritas adalah kata yang dianggap buruk oleh roh dunia!

Malam ini, sekali lagi, Tuhan membagi-bagikan untuk kita roti itu yang adalah Tubuh-Nya, Ia membuat diri-Nya sendiri [menjadi] sebuah hadiah, dan kita juga mengalami “solidaritas Allah” dengan manusia, solidaritas yang tidak pernah habis, solidaritas yang tidak pernah berhenti untuk memukau kita: Allah membuat diri-Nya dekat dengan kita, dalam pengorbanan Salib Dia merendahkan diri, memasuki kegelapan kematian untuk memberikan hidup-Nya yang mengalahkan kejahatan, keegoisan dan kematian. Yesus, malam ini juga, memberikan diri-Nya kepada kita dalam Ekaristi, berbagi dalam perjalanan kita, memang Dia membuat diri-Nya [menjadi] santapan, makanan sejati yang menopang hidup kita juga pada saat-saat ketika jalan menjadi sulit dan hambatan-hambatan memperlambat langkah kita. Dan dalam Ekaristi Tuhan membuat kita melangkah di jalan-Nya, jalan pelayanan, jalan berbagi, jalan memberi; dan jika hal itu dibagikan, yang sedikit kita miliki, yang kecil kita adanya, menjadi kaya, karena kuasa Allah – yang merupakan kekuatan kasih – datang turun ke dalam kemiskinan kita untuk mengubahnya.

Jadi mari kita bertanya pada diri sendiri malam ini, dalam memuja Kristus yang benar-benar hadir dalam Ekaristi: apakah aku membiarkan diriku diubah olehNya? Apakah aku membiarkan Tuhan yang memberikan diri-Nya kepada-ku, membimbingku untuk keluar lebih banyak dari penjara kecilku, untuk memberi, untuk berbagi, untuk mengasihi diri-Nya dan orang lain?

Saudara-saudari, mengikuti, persekutuan, berbagi. Mari kita berdoa agar partisipasi dalam Ekaristi selalu menjadi sebuah dorongan: untuk mengikuti Tuhan setiap hari, menjadi alat persatuan dan berbagi apa yang kita miliki dengan Dia dan dengan sesama kita. Hidup kita akan benar-benar berbuah limpah. Amin.

(AR)

Paus Fransiskus,

Basilika St. Yohanes Lateran, 30 Mei 2013

Diterjemahkan dari : www.vatican.va

 

 

 

 

 

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab