Home Blog Page 111

Apakah Sekolah Katolik Sungguh Katolik?

38

“Anakku pandai tapi tak percaya Tuhan”

Ini adalah keluhan seorang ibu di zaman ini, yang mungkin pernah juga Anda dengar. “Anakku pandai tapi sekarang ia jadi tak percaya Tuhan.” Anak perempuan ibu ini, yang berusia sekitar 14 tahun, termasuk anak yang kritis dan pandai luar biasa, sehingga di sekolahnya ia termasuk dalam kelas istimewa, yang dikhususkan untuk anak-anak super pandai. Namun kebanggaan sang ibu juga dibarengi dengan rasa prihatin yang sangat, sebab kepandaian anak itu diikuti dengan sikap penolakan akan Tuhan. Sang anak yang gemar membaca itu, telah melahap berbagai macam buku, baik tentang filosofi modern maupun tentang aneka tokoh dan peristiwa di dunia, yang menghantarnya kepada keyakinan itu. Sang ibu tak berdaya, dan mulai bertanya-tanya, apakah kesalahannya sehingga ia gagal mewariskan iman kepada anaknya? Siapakah yang bersalah dalam hal ini, sang ibu, ataukah sekolahnya, sehingga anak itu tidak lagi mengakui adanya Sang Pencipta?

Pentingnya pendidikan Katolik

Sejujurnya masalah ibu itu bukannya tidak mungkin, akan menjadi masalah umum bagi para orang tua, baik di masa ini maupun di waktu mendatang, jika baik pihak orang tua, sekolah maupun Gereja tidak segera menyikapinya dengan bijak. Pendidikan anak memang pertama-tama merupakan tanggung jawab orang tua, namun sekolah maupun Gereja, juga terlibat di dalamnya. Pentinglah bagi kita semua untuk memberikan perhatian kepada masalah pendidikan anak, karena kita semua bertanggung jawab untuk membekali generasi penerus kita dengan pengetahuan dan iman, agar mereka kelak dapat menjadi orang-orang yang tidak hanya pandai, namun juga berhati mulia sebagai anak-anak Tuhan. Anak-anak perlu diarahkan agar tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri tetapi kepentingan orang lain juga; agar mereka tidak hanya mengejar kebaikan dalam kehidupan di dunia ini, tetapi juga di kehidupan yang akan datang. Pendeknya, anak-anak dididik agar menjadi semakin menyerupai Kristus.

Prinsip pendidikan Katolik

Pihak Vatikan melalui Kongregasi untuk Pendidikan Katolik mengeluarkan suatu dokumen yang berjudul The Catholic School (Sekolah Katolik), klik di sini, yang menjabarkan tentang garis-garis besar sehubungan dengan pendidikan Katolik. Secara mendasar, ciri Katolik dari suatu sekolah Katolik nampak dalam konsep Kristiani tentang hidup yang terpusat pada Kristus. ((Sacred Congregation for Catholic Education, The Catholic School, 10)) Maksudnya adalah, Kristus menjadi pondasi dari kegiatan pendidikan di sekolah Katolik, dan Kristus memberikan arti yang baru bagi hidup dan membantu semua pihak yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar untuk mengarahkan diri mereka kepada Kristus, sesuai ajaran Injil. Sekolah-sekolah Katolik mempunyai tugas untuk melengkapi pembentukan Kristiani dari para muridnya. Tugas ini menjadi penting dewasa ini, karena tugas pembentukan anak-anak tidak lagi dapat secara memadai diberikan oleh keluarga dan masyarakat. ((Lih. The Catholic School, 12))

Maka Berikut ini adalah ciri-ciri khas sekolah Katolik, sebagaimana disebutkan oleh Tahta Suci ((lih. Archbishop J. Michael Miller CSB, The Holy See’s Teaching on Catholic Schools)), yaitu sekolah yang:

1. Diinspirasikan oleh visi adikodrati

2. Didirikan atas dasar antropologi Kristiani

3. Dihidupi oleh kesatuan persekutuan dan komunitas

4. Diresapi oleh pandangan Katolik di seluruh kurikulumnya

5. Didukung oleh kesaksian Injil

Paus Yohanes Paulus II di tahun 2004 pernah menyatakan bahwa adalah penting bahwa setiap institusi Katolik menjadi benar-benar Katolik, artinya semakin Katolik dalam pemahamannya dan semakin Katolik dalam identitasnya. ((Paus Yohanes Paulus II mengingatkan para Uskup Amerika dalam kunjungan ad limina, di tahun 2004)) Maka sekolah-sekolah Katolik, yang mengemban tugas penting dalam mewujudkan misi Gereja untuk memperkenalkan Kristus kepada dunia dan untuk menyampaikan Terang Kristus kepada semua orang, juga perlu untuk menjadi semakin menyadari dan memahami identitasnya.

Mari sekarang kita melihat apa yang memberikan identitas Katolik kepada suatu sekolah:

1. Diinspirasikan oleh visi adikodrati

Gereja tidak menganggap pendidikan sebagai suatu proses yang berdiri sendiri terpisah dari perjalanan iman seseorang agar mencapai tujuan akhir hidup manusia, yaitu Surga. Dalam terang inilah, Gereja menganggap bahwa pendidikan adalah suatu proses yang membentuk pribadi seorang anak secara keseluruhan dan mengarahkan mata hatinya kepada Surga. Maka tujuan pendidikan adalah untuk membentuk anak-anak agar dapat menjadi warga yang baik bagi dunia, dengan mengasihi Tuhan dan sesamanya dan memperkaya masyarakat dengan ragi Injil, dan yang kelak akan menjadi warga Kerajaan Surga. Dengan demikian, tujuan pendidikan terarah kepada pembentukan anak-anak agar mereka dapat  memenuhi panggilan hidup mereka untuk menjadi orang-orang yang kudus, yaitu untuk menjadi seperti Kristus. Visi Kristiani ini harus dimiliki oleh seluruh komunitas sekolah, agar nilai-nilai Injil dapat diterapkan sebagai norma-norma pendidikan di sekolah.

Maka sebagaimana sering diajarkan oleh para Paus (Yohanes Paulus II, Benediktus XVI, dan sekarang, Paus Fransiskus), adalah penting agar manusia di masa sekarang ini, diajarkan untuk menghargai martabat manusia, secara khusus dimensi rohaninya. Sebab dewasa ini terdapat kecenderungan banyak orang, baik pemerintah, atau mereka yang berkecimpung di dunia bisnis maupun media, yang menganggap pendidikan hanya sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang dapat meningkatkan kesuksesan duniawi dan standar kehidupan yang lebih nyaman – itu saja. Nah, visi pendidikan yang sempit semacam ini, bukan visi pendidikan Katolik.

Kalau para pendidik, orang tua dan siapa saja yang mempersembahkan diri mereka dalam karya pendidikan Katolik itu gagal untuk memperhatikan visi adikodrati yang tinggi ini, yaitu untuk mengarahkan anak-anak didik mereka ke arah kekudusan, maka segala pembicaraan mereka tentang sekolah Katolik itu tidak lebih dari sekedar “gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.” (1 Kor 13:1)

Di tengah-tengah tawaran berbagai tokoh idola, entah itu dari film kartun, bintang film Korea, atau dari permainan kartu dari Jepang, sekolah-sekolah Katolik perlu memperkenalkan kepada anak-anak figur para Santo dan Santa, yaitu para tokoh teladan dalam Gereja Katolik, yang dapat mendorong anak-anak untuk juga hidup seperti mereka. Sebab pada dasarnya kita semua dipanggil oleh Allah untuk menjadi anak-anak-Nya, untuk mengenal, mengasihi dan melayani Dia, baik dalam kehidupan kita di dunia ini, maupun dalam kehidupan yang akan datang.

Secara khusus, dalam proses pendidikan di sekolah-sekolah Katolik, para murid perlu diajarkan untuk memilih dengan kesadaran dan kehendak yang bebas, untuk hidup sesuai dengan tuntunan ajaran imannya. Dalam suasana yang membangun iman ini, anak-anak dapat dibantu untuk menemukan panggilan hidupnya, sebab bukannya tidak mungkin, kehidupan panggilan hidup membiara dapat tumbuh sejak masa kanak-kanak dan remaja.

2. Didirikan atas dasar antropologi Kristiani

Penekanan kepada tujuan akhir kepada setiap anak didik, yaitu kepada kekudusan, akan mengakibatkan penghargaan yang mendalam akan kebutuhan untuk melengkapi anak-anak dalam segala segi, agar mereka semakin dapat bertumbuh sesuai dengan gambar dan rupa Tuhan (lih. Kej 1:26-27). Iman Katolik mengajarkan bahwa rahmat Allah menyempurnakan kodrat, “grace perfects nature“. Dalam hidup manusia ada kesatuan antara hal-hal yang sifatnya kodrati dan adikodrati. Maka penting bagi semua pendidik untuk mempunyai pemahaman akan kepribadian manusia yang utuh, baik ditinjau dari hal jasmani maupun rohani. Para pendidik perlu membentuk anak didik mereka agar mencapai kesempurnaan baik dari segi lahiriah maupun rohaniah.

Maka dalam proses pembentukan karakter anak di sekolah- yang melibatkan orang tua, guru, para staf pengajar, pengurus maupun komite- harus memahami apakah artinya manusia itu. Tentang hal ini Gereja mengajarkan:

2.1 Pendidikan Katolik berfokus kepada manusia secara keseluruhan

“Proses pendidikan ….. berfokus pada pribadi manusia dalam keseluruhannya, transenden, dalam identitas historisnya.  Dengan proyek pendidikan yang diinspirasikan oleh Injil, sekolah Katolik dipanggil menanggapi tantangan ini [yaitu kecenderungan anggapan bahwa pendidikan dikatakan harus terlepas dari agama], dengan keyakinan bahwa “hanya dalam misteri Sang Fiman yang menjadi manusia-lah, misteri manusia sungguh-sungguh menjadi jelas.” ((Sacred Congregation for Catholic Education, The Catholic School, 10))

Selanjutnya, dalam dokumen yang berjudul “Sekolah Katolik” (The Catholic School) tersebut , Kongregasi Tahta Suci menyatakan:

“Karena itu, sekolah Katolik berkomitmen untuk perkembangan manusia seutuhnya, sebab di dalam Kristus, manusia yang sempurna, semua manusia menemukan kepenuhannya dan kesatuannya. Di sini terletak secara khusus sifat Katolik dari sekolah itu. Tugas sekolah Katolik untuk menumbuhkan nilai-nilai manusiawi… dalam kesesuaian dengan misi khususnya untuk melayani semua manusia, mempunyai asalnya dari figur Kristus. Ia adalah Seseorang yang menghormati manusia, memberikan makna bagi hidup manusia, dan adalah teladan yang ditawarkan oleh sekolah Katolik kepada para muridnya. ((Sacred Congregation for Catholic Education, The Catholic School, 35))

2.2 Pendidikan Katolik menekankan hak-hak azasi manusia, martabat sebagai anak Tuhan, solidaritas dan kasih

“Dalam dunia yang beraneka ragam, para pendidik Katolik harus dengan sadar mendorong aktivitasnya dengan konsep Kristiani tentang pribadi manusia, dalam persatuan dengan Magisterium Gereja. Konsep itu termasuk konsep untuk mempertahankan hak-hak azasi manusia, tetapi juga menunjukkan bahwa pribadi manusia mempunyai martabat sebagai anak Tuhan. Konsep ini memberikan kemerdekaan yang sepenuhnya, [yaitu] dimerdekakan dari dosa oleh Kristus sendiri, melalui kasih. Konsep ini menghasilkan kepastian akan hubungan solidaritas di antara semua manusia; melalui sikap saling mengasihi dan komunitas gerejawi. Konsep ini mencanangkan pengembangan yang sepenuhnya dari semua yang bersifat manusiawi, sebab kita telah dijadikan penguasa dunia oleh Sang Penciptanya. Akhirnya, konsep ini memperkenalkan Kristus, Putera Allah yang menjelma dan Manusia yang sempurna, sebagai baik teladan maupun sarana. Bagi semua orang, meneladani Kristus adalah sumber yang tak pernah habis, untuk mencapai kesempurnaan pribadi maupun kesempurnaan kelompok.” ((The Sacred Congregation for Catholic Education, Lay Catholics in Schools: Witnesses to Faith, 18))

2.3. Sekolah Katolik bertugas menyatukan para muridnya dengan Kristus

Maka Gereja menekankan bahwa sebuah sekolah layak disebut Katolik, jika sekolah itu, yang didirikan di atas dasar Kristus Yesus Sang Penebus, mempersatukan Kristus dengan setiap muridnya. Kristus bukan sesuatu yang ditambahkan kemudian atau sebagai faktor tambahan dalam filosofi pendidikan dan kegiatan belajar mengajar di sekolah, tetapi menjadi pusat dan tonggak penyangga dari keseluruhan kehidupan di sekolah, sebagai terang yang mencerahkan bagi setiap murid yang datang ke sekolah (lih. Yoh 1:19).

Maka Injil Kristus dan Pribadi Kristus, adalah Sumber inspirasi dan Pembimbing bagi sekolah Katolik dalam setiap segi: filosofi pendidikan, kurikulum, kehidupan komunitas, pemilihan guru dan bahkan lingkungan fisik sekolah. Supaya dalam segala yang ada di sekolah itu dapat mengarahkan siapapun kepada Kristus. Adalah tugas pendidikan Katolik untuk menyampaikan Kristus kepada setiap murid, dan membentuk mereka agar menjadi semakin menyerupai Kristus.

3. Dihidupi oleh kesatuan persekutuan dan komunitas

Penekanan akan aspek komunitas di sekolah Katolik mengambil dasar dari kodrat sosial dan pribadi manusia dan kenyataan Gereja sebagai rumah dan sekolah bagi persatuan. Bahwa sekolah Katolik adalah komunitas pendidikan adalah salah satu dari perkembangan-perkembangan yang memperkaya bagi sekolah di masa sekarang ini.

3.1. Sekolah Katolik sebagai suatu komunitas iman untuk mewujudkan nilai-nilai Kristiani

“Deklarasi Gravissimum educationis menyatakan kemajuan yang penting tentang citra sekolah Katolik: suatu peralihan dari sekolah sebagai sebuah lembaga, menuju sekolah sebagai suatu komunitas. Dimensi komunitas ini, mungkin adalah hasil dari kesadaran akan kodrat Gereja sebagaimana dinyatakan oleh Konsili (Vatikan II). Dalam teks-teks Konsili, dimensi komunitas secara mendasar adalah konsep teologis…. di mana Gereja digambarkan sebagai umat Tuhan…” ((Congregation for Catholic Education, Religious Dimension of Education in a Catholic School, Guidelines for Reflection and Renewal, 31))

Paus Paulus VI mengatakan bahwa sekolah-sekolah Katolik harus dilihat sebagai “tempat bertemunya semua orang yang berkehendak untuk mewujudkan nilai-nilai Kristiani dalam bidang pendidikan”. ((Pope Paul VI, Allocution to the 9th Congress of the OIEC in, L’Osservatore Romano, June 9, 1974)) Dengan demikian, sekolah adalah sebuah komunitas dari para pribadi, komunitas yang asli tentang iman. Kesadaran akan sekolah sebagai sebuah komunitas iman, akan mempengaruhi suasana yang harus diusahakan di sekolah.

 

3.2 Sekolah Katolik harus merupakan sekolah dengan atmosfir kekeluargaan

“… Sekolah-sekolah dasar harus berusaha untuk menciptakan iklim komunitas sekolah yang menghasilkan, sedapat mungkin, atmosfir kehidupan keluarga yang hangat dan akrab. Karena itu, mereka yang bertanggungjawab untuk sekolah-sekolah ini akan melakukan segalanya yang dapat mereka lakukan untuk meningkatkan semangat kebersamaan untuk saling percaya dan spontanitas. Tambahan lagi, mereka akan memperhatikan untuk mendorong kolaborasi yang dekat dan konstan dengan para orang tua murid. Integrasi antara sekolah dan rumah adalah keadaan yang esensial bagi lahirnya dan perkembangan semua potensi yang dapat dinyatakan oleh anak-anak ini…. termasuk keterbukaan mereka terhadap agama dan segala sesuatu yang menjadi konsekuensinya.” ((Religious Dimension of Education in a Catholic School, 40))

3.3. Sekolah Katolik harus melibatkan para orang tua dalam proses pendidikan

Dengan demikian, semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan harus bekerjasama sebagai satu tim: para guru, kepala sekolah, bersama para orang tua, demi kebaikan bersama dan hak mereka untuk terlibat dalam tugas tanggungjawab mereka sebagai pendidik. Tahta Suci mendorong keterlibatan yang sepantasnya dari para orang tua dalam sekolah-sekolah Katolik. ((lih. The Catholic School, 21)) Para guru dan administrator sekolah harus lebih sering mendorong partisipasi orang tua. Kerjasama ini tidak saja untuk urusan masalah akademis anak-anak, dan turut memantau perkembangan mereka, namun juga untuk merencanakan dan mengevaluasi ke-efektifan misi sekolah tersebut.

3.4 Sekolah Katolik adalah sekolah yang menerapkan/ menekankan dialog yang wajar

Filosofi pendidikan Katolik selalu menekankan kepada hubungan timbal balik antara komunitas pendidikan di sekolah, secara khusus antara guru dan murid. Sebab di masa kanak-kanak dan remaja, seorang murid perlu mengalami adanya hubungan personal dengan para pendidiknya. Apa yang diajarkan oleh guru akan mempunyai efek yang lebih besar, ketika pengajaran itu ditempatkan dalam konteks keterlibatan pribadi, saling timbal balik yang tulus, sikap-sikap guru itu sendiri yang sesuai dengan apa yang diajarkannya, dan tingkah laku sehari-hari yang wajar. Maka kontak langsung dan personal antara para guru dan murid adalah suatu ciri khas sekolah Katolik. Demikian yang dikatakan dalam dokumen Kongregasi Pendidikan Katolik dari Vatikan:

“… Hubungan personal selalu berupa dialog dan bukan monolog, dan guru itu harus yakin bahwa hubungan sedemikian akan saling memperkaya. Tetapi misi tidak pernah boleh terlupakan: sang pendidik tidak dapat melupakan bahwa para murid memerlukan seorang pendamping dan pembimbing sepanjang waktu perkembangan mereka; mereka membutuhkan bantuan dari yang lain untuk mengalahkan keraguan dan kebingungan. Juga, hubungan dengan para murid harus merupakan gabungan antara hubungan yang dekat dan hubungan yang berjarak. Hubungan yang dekat membuat hubungan personal menjadi lebih mudah, tetapi jarak tertentu juga diperlukan. Para murid perlu belajar untuk mengekspresikan kepribadian mereka tanpa dikondisikan sebelumnya (pre-conditioned); mereka perlu dibebaskan dari rasa takut dihukum, dengan melaksanakan kebebasan mereka secara bertanggungjawab.” ((The Sacred Congregation for Catholic Education, Lay Catholics in Schools: Witnesses to Faith, 33))

Sekolah Katolik, merupakan perlindungan bagi pribadi manusia, baik murid maupun guru. Mereka mengusahakan hubungan yang pantas di antara mereka dalam proses belajar mengajar. Dengan cara inilah proses pembentukan karakter murid dapat berjalan dengan baik, sebab dimulai melalui hubungan personal antara kedua belah pihak. Dengan penekanan akan hubungan personal antara mereka yang terlibat dalam pendidikan di sekolah, maka sekolah menjadi kelanjutan dari suasana kekeluargaan di rumah. Dan dengan menerapkan prinsip-prinsip iman Katolik dalam hubungan personal ini, maka lingkungan tersebut dapat dikenali sebagai lingkungan sekolah Katolik.

3.5. Sekolah Katolik adalah komunitas pendidikan yang bercirikan Katolik

Melalui Inkarnasi, Kristus Sang Putera Allah menjelma menjadi manusia, Sabda menjadi daging. Ia menjalani setiap jengkal kehidupan sebagai manusia, dan dengan demikian meninggalkan suatu ‘meterai’ dalam setiap aspek dalam kehidupan Kristiani yang kita alami di dunia ini. Maka Inkarnasi mengajarkan kepada kita bahwa dunia ini merupakan alat yang dipilih Tuhan, untuk menyampaikan kehidupan-Nya kepada kita. Maka apa yang bersifat manusiawi dan kelihatan dapat mengandung apa yang ilahi. Demikianlah, sekolah Katolik juga harus dapat menunjukkan kehidupan sakramental ini. Dalam sekolah Katolik, perlu ditampilkan secara fisik dan kelihatan, semua tanda-tanda tradisi Katolik, melalui gambar-gambar, tanda, simbol, ikon, dan berbagai macam devosi. Sebuah kapel, ruang kelas dengan crucifix, tanda-tanda, dan perayaan, serta segala yang menggambarkan kehidupan gerejawi, termasuk seni rupa yang baik, harus nampak di sekolah. Tanda-tanda ini mengingatkan semua anggota komunitas akan fokus utama kegiatan belajar dan mengajar di sekolah, yaitu agar bersama-sama mencapai kekudusan.

Ciri Katolik ini juga ditampakkan oleh komunitas yang bersama berdoa, membaca Sabda Tuhan, yang mengambil bagian di dalam liturgi dan sakramen. Setelah dikuatkan oleh Kristus yang hadir di dalam doa, firman, liturgi dan sakramen, semua anggota komunitas dapat berusaha untuk bersama menerapkan ajaran Kristus, dan dengan demikian menjadi para saksi iman. Dijiwai oleh ajaran iman inilah maka baik para guru maupun sesama murid berusaha untuk saling membantu. Maka ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak hanya digunakan untuk kemajuan diri sendiri, tetapi untuk melayani dan saling bertanggungjawab satu sama lain. ((lih. The Catholic School, 14)) Dalam komunitas ini, saling menghargai berarti melayani Kristus yang hadir di dalam sesama, sehingga segala sesuatu yang dilakukan di sekolah bertujuan untuk juga memajukan kebaikan bersama ((lih. The Catholic School, 16))

4. Diresapi oleh pandangan Katolik di seluruh kurikulumnya

Ciri ke-empat ini adalah ciri yang ditekankan oleh Tahta Suci.Pendidikan iman Katolik harus menjiwai keseluruhan kurikulum dan bukan hanya dibahas pada saat pelajaran agama atau kegiatan pastoral di sekolah. Gereja menganjurkan pendidikan yang menyeluruh, yang menanggapi semua kebutuhan pribadi manusia. Untuk itulah Gereja mendirikan sekolah-sekolah Katolik, sebab di sanalah tempat istimewa untuk membentuk keseluruhan manusia, baik itu dimensi intelektualnya, psikologis, moral maupun religius.

Agar maksud pendidikan secara keseluruhan ini, maka pendidikan di sekolah Katolik harus secara terus menerus mengambil kekuatannya dari Injil, yaitu dari teladan Kristus itu sendiri. Banyak orang menyangka bahwa identitas pendidikan Katolik terletak dari kualitas ajaran religiusnya, pelajaran agama dan aktivitas pastoral. Namun sebenarnya, sekolah Katolik itu disebut Katolik, bahkan di luar program ajaran religius. Ciri katolik-nya nampak dari keseluruhan upaya untuk mendidik muridnya secara keseluruhan, untuk mencapai kesempurnaannya secara kodrati maupun adikorati. Maka pendidikan tidak hanya mengejar kepandaian intelektual, tetapi juga kebajikan moral, untuk mempersiapkan para murid kepada kehidupan yang penuh untuk melayani sesama, dan untuk kehidupan setelah kehidupan di dunia ini.

Memang pihak Vatikan tidak menentukan dokumen yang menyebutkan tentang “lesson planning” atau berbagai mata pelajaran yang disarankan, ataupun metodologi yang diterapkan. Namun Tahta Suci memberikan prinsip dan tolok ukur yang mendorong penentuan isi kurikulum, agar para murid dapat diarahkan kepada pendidikan yang menyeluruh. Berikut ini adalah aspek yang penting, yaitu: 1) prinsip kebenaran dan 2) integrasi antara iman, kebudayaan dan kehidupan.

4.1 Mencari Kebijaksanaan dan Kebenaran

Sekolah Katolik perlu mengupayakan agar tidak hanya menyampaikan informasi kepada para murid yang pasif. Para pendidik perlu mengajarkan kebijaksanaan, mendorong para murid untuk bersikap aktif, mempunyai hasrat untuk belajar sehingga mereka menemukan suka cita dalam proses belajar, mereka menjadi ‘senang belajar’.

Dalam proses belajar mencari kebijaksanaan, Gereja mengajarkan bahwa manusia, walaupun terbatas dalam banyak hal, tetap mempunyai kapasitas untuk sampai kepada pengetahuan akan kebenaran. Keyakinan akan kebenaran ini sangatlah penting untuk ditekankan di sekolah. Tidak seperti orang-orang yang skeptik dan relativistik, para pendidik Katolik perlu menyampaikan tentang keyakinan akan kebenaran: yaitu bahwa kita -walaupun secara terbatas namun tetap nyata- dapat mengejar, mencapai dan menyampaikan kebenaran. Sekolah Katolik mengemban tugas yang penting untuk membebaskan para muridnya dari akibat-akibat yang membahayakan terhadap apa yang disebut oleh Paus Benediktus XVI sebagai “dictatorship of relativism” (pemaksaan paham relativisme), sebuah pemaksaan yang melumpuhkan hakekat pendidikan yang murni. Maka para pendidik juga perlu memiliki di dalam diri mereka sendiri, dan mendorong para muridnya untuk mencari kebenaran, yang mengalahkan paham relativisme dalam hal moral maupun budaya. Anak-anak harus dididik di dalam kebenaran, sehingga mereka mampu membuat keputusan yang benar dan bijaksana, meskipun di sekeliling mereka melakukan hal yang keliru secara moral, menurut ajaran Injil Kristus.

Pendidikan Katolik menganggap ilmu pengetahuan sebagai kebenaran untuk ditemukan. Penemuan dan kesadaran akan kebenaran memimpin manusia kepada penemuan akan Sang Kebenaran, itu sendiri. Maka walaupun sekolah-sekolah Katolik menyampaikan kurikulum yang disyaratkan, namun mereka mengimplementasikannya dengan keseluruhan perspektif religius. Perspektif ini termasuk kriteria seperti keyakinan akan kemampuan kita mencapai kebenaran, walau dalam cara yang terbatas- keyakinan yang berdasar akan iman dan bukan atas dasar perasaan, dan kemampuan untuk membuat penilaian akan sesuatu yang benar, dan sesuatu yang salah. Keyakinan semacam ini harus ada dalam sekolah-sekolah Katolik.

4.2. Integrasi iman, budaya dan kehidupan

Prinsip penting yang kedua, yang berlangsung sejak zaman para rasul sampai sekarang adalah bahwa umat beriman harus berperan dalam mengubah budaya dalam terang Injil. Sekolah-sekolah harus mempersiapkan para murid untuk menghubungkan iman Katolik dengan budaya mereka dan untuk menghidupi imannya itu dalam perbuatan.

“Dari hakekat sekolah Katolik, juga memancar satu dari elemen-elemen yang paling penting untuk proyek pendidikannya: sintesis antara budaya dan iman. Sungguh, pengetahuan yang diletakkan di dalam konteks iman menjadi kebijaksanaan dan visi kehidupan. Usaha untuk menggabungkan akal budi dan iman, yang telah menjadi inti dari setiap mata pelajaran, menciptakan persatuan, artikulasi dan koordinasi, yang menghasilkan dalam apa yang dipelajari di sekolah, sebuah visi Kristiani tentang dunia, kehidupan, budaya dan sejarah. Dalam proyek pendidikan di sekolah Katolik, tidak ada pemisahan antara waktu belajar dan waktu membentuk karakter, antara mendapatkan pengetahuan dan bertumbuh dalam kebijaksanaan. Berbagai mata pelajaran di sekolah tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai untuk diperoleh dan kebenaran-kebenaran untuk ditemukan. Semua ini menuntut atmosfir yang ditandai dengan pencarian kebenaran, yang di dalamnya para pendidik yang kompeten, yakin dan koheren, para guru pelajaran dan guru kehidupan, menjadi cerminan, walaupun tidak sempurna, namun tetap jelas, dari Sang Guru yang satu. Dalam perspektif ini, dalam proyek pendidikan Kristiani, semua tokoh yang bekerjasama, masing-masing menurut bagiannya yang khusus, untuk pembentukan pribadi-pribadi yang dewasa” ((Congregation for Catholic Education, The Catholic School on the Threshold of the Third Millennium, 14))

Sekolah-sekolah membentuk para murid, di dalam budaya mereka di mana mereka mengajarkan penghargaan akan elemen-elemen positifnya dan berusaha membantu mereka untuk memajukan selanjutnya inkulturasi Injil di dalam keadaan mereka sendiri. Namun demikian, mereka, selayaknya menurut umur para murid, menjadi kristis dan evaluatif. Iman dan budaya secara erat berhubungan, dan para murid harus diarahkan, denga cara yang cocok/ sesuai dengan perkembangan tingkat intelektualnya, untuk menangkap pentingnya hubungan ini. Kita harus selalu mengingat bahwa iman tidak untuk diidentifikasikan dengan budaya apapun, dan iman harus tidak tergantung oleh semua budaya, tetapi iman harus menginspirasikan setiap budaya.

Maka sekolah Katolik menjadi tempat di mana terdapat keharmonisan iman, budaya dan kehidupan. Yang menjadi pusat dalam sekolah Katolik adalah misinya akan kekudusan, untuk menjadikan para muridnya sebagai orang-orang yang kudus. Sekolah Katolik bertujuan membentuk para muridnya dalam kebajikan-kebajikan yang memampukan mereka hidup di dalam Kristus dan membantu mereka untuk memainkan peran mereka untuk membangun Kerajaan Allah, sesuai dengan tanggung jawab yang mereka terima melalui Sakramen Baptis.

Di samping pentingnya penerapan prinsip pendidikan Katolik di seluruh kurikulum secara terintegrasi, adalah penting dan mendasar bagi sekolah Katolik untuk memberikan ajaran agama dengan baik. Pendidikan iman merupakan bagian yang penting dan menentukan baik tidaknya sekolah Katolik. Bagi anak-anak, ajaran ini merupakan pengetahuan iman namun juga penerapannya dalam kehidupan. Namun sekali lagi, pendidikan agama bukan hanya satu-satunya yang menentukan ciri sekolah Katolik. Pandangan yang hanya membatasi pendidikan iman Katolik dengan pelajaran agama Katolik, menyuburkan kesalahpahaman bahwa iman dan kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang terpisah, dan bahwa agama hanya merupakan urusan pribadi pada waktu-waktu tertentu saja, yang tidak memberikan kewajiban moral yang terus berlaku di dalam kehidupan sehari-hari.

5. Didukung oleh kesaksian Injil

Akhirnya, identitas sekolah Katolik ditentukan juga oleh peran yang vital/ sangat penting dari para gurunya. Pada pundak mereka, baik secara pribadi maupun bersama-sama, terletak tanggungjawab untuk menciptakan iklim sekolah Kristiani. Maka Tahta Suci menekankan bahwa panggilan sebagai guru adalah suatu panggilan, bukan hanya sekedar profesi atau pekerjaan. Sebab dengan melakukan panggilan ini, seorang guru mengambil bagian dalam misi Gereja untuk mendidik generasi penerusnya.

Dengan kata lain, mereka yang Katolik dan terlibat di dalam sekolah-sekolah Katolik, harus menghayati pekerjaannya sebagai pemenuhan panggilan hidupnya. Berikut ini adalah beberapa ciri yang semestinya dimiliki oleh seorang guru di sekolah Katolik:

5.1. Seorang Katolik yang melaksanakan imannya, yang mempunyai ketaatan kepada Gereja dan menghidupi kehidupan sakramental Gereja.

Guru-guru yang mempunyai pemahaman yang jelas dan tepat tentang hakekat dan peran pendidikan Katolik, sangatlah diperlukan. Maka pemilihan guru-guru Katolik dengan cermat juga akan memajukan katolisitas sekolah tersebut. Guru-guru Katolik yang mengenali imannya dan melaksanakannya dalam kehidupan mereka, merupakan saksi iman yang diperlukan oleh Gereja untuk pendidikan Katolik.

Kesetiaan terhadap maksud pendidikan sekolah-sekolah Katolik mensyaratkan sikap yang kritis dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, agar terus memeriksa diri, kembali ke prinsip-prinsip dasar dan kepada hal-hal yang mendorong keterlibatan Gereja dalam hal pendidikan. ((The Catholic Church, 18)) Artinya, agar seseorang dapat menjadi seorang guru yang baik di sekolah Katolik, ia pertama-tama harus mempunyai visi rohani, yang mampu melihat tugas-tugasnya sebagai guru adalah jalan yang dipilihnya untuk melaksanakan imannya, dalam kesatuan dengan Gereja untuk memperkenalkan Kristus kepada anak-anak didiknya dan mengarahkan anak-anak didiknya kepada Kristus.

5.2. Seorang yang dapat menjadi teladan dalam hal iman, kebajikan dan kasih

Untuk memajukan pandangan Katolik di seluruh kurikulum, bahkan dalam mata pelajaran yang sekuler, maka teladan para guru dan para pendidik menjadi sangat penting. Kesaksian iman para pendidik di komunitas sekolah memainkan peran yang sangat vital bagi identitas sekolah. Anak-anak lebih cepat meniru dari teladan, daripada dari teknik-teknik yang diajarkan, terutama dalam mempraktekkan kebajikan Kristiani. Para pendidik diharapkan menjadi teladan bagi para murid dengan menjadi saksi Injil. Maka benarlah perkataan Paus Paulus VI, “Orang modern lebih mau mendengarkan para saksi iman daripada para pengajar, dan jika mereka mendengarkan para pengajar, itu disebabkan karena mereka adalah para saksi iman.” ((Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, 41)) Dalam pendidikan Katolik, pesan Kristiani yang disampaikan tidak tergantung dari mata pelajaran atau metodologi yang dipergunakan, tetapi oleh para guru itu sendiri, yaitu bagaimana di dalam diri mereka para murid dapat melihat bagaimana ajaran iman diterapkan dan menjadi satu dengan kehidupan sehari-hari. ((lih. The Catholic School, 11))

Jadi apa yang dilakukan oleh para guru dan bagaimana mereka bertindak menjadi sangat penting daripada apa yang mereka katakan, baik di luar maupun di dalam kelas. Demikianlah caranya Gereja melakukan evangelisasi. Semakin sempurnanya seorang pendidik dapat memberikan kesaksian yang nyata tentang teladan Kristus kepada para muridnya, semakin contoh ideal ini dipercaya dan ditiru. Maka, jika para guru gagal untuk menjadi teladan kesetiaan kepada kebenaran dan kebajikan, bahkan kurikulum yang terbaik sekalipun tidak akan dapat menghasilkan ethos yang baik bagi sekolah Katolik tersebut.

5.3. Seseorang yang menjalankan semangat Injil: berpihak kepada yang lemah

Sesuai dengan semangat Injil untuk berpihak kepada yang lemah dan miskin, sekolah-sekolah Katolik juga dipanggil untuk mengambil bagian dalam semangat ini, yang perlu nampak pula dalam sikap para gurunya. Seorang guru yang baik tidak memusatkan perhatian hanya kepada anak-anak yang pandai, tetapi justru kepada anak-anak yang kurang pandai, yang bermasalah di sekolah, karena kurang mendapat perhatian dan kasih dari keluarganya, atau mereka yang jauh dari imannya. ((lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis, 8)) Sejujurnya, peran para guru sangatlah besar untuk mendukung mereka yang lemah ini, dan bahkan berperan untuk mengubah sikap dan karakter anak-anak yang sedemikian agar mereka kembali mempunyai rasa percaya diri, mempunyai semangat belajar, dan bersikap positif menghadapi kehidupan. Anak-anak seperti ini, yang oleh pertolongan gurunya dapat mengejar ketinggalannya dan meraih prestasi, tidak akan pernah melupakan pengorbanan gurunya seumur hidupnya. Demikian juga, adalah suatu suka cita yang besar di pihak sang guru, karena dengan bertindak demikian, ia sungguh telah mengambil bagian dalam menampakkan kasih Kristus, yang selalu memihak kepada yang lemah dan miskin.

5.4. Seseorang yang menjalankan tugas panggilan sebagai guru dengan suka cita!

Injil adalah Kabar Gembira, maka adalah wajar bahwa tugas mewartakan Injil selayaknya dilakukan dengan gembira. Kristuslah sumber suka cita kita, Dia-lah yang menyertai dan mengerjakan di dalam kita, pekerjaan-Nya untuk membimbing anak-anak didik kita. Rasul Paulus mengajarkan: “Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu bagik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia…. Dan kamu juga harus bersukacita…“ (Flp 2:14-15,18)

Marilah kita melakukan tugas panggilan kita dengan suka cita, agar kita dapat meneruskan terang Kristus kepada dunia di sekitar kita.

Kesimpulan

Tahta Suci melihat bahwa sekolah-sekolah Katolik merupakan sarana yang tak tergantikan untuk melanjutkan misi Gereja di milenium yang ketiga ini. Adalah tantangan Gereja untuk menentukan identitas Katolik dalam sekolah-sekolah ini. Sekolah-sekolah Katolik dapat berperan membantu peran para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Sekolah-sekolah ini harus terbuka untuk semua, untuk membangun komunitas umat beriman, untuk meng-evangelisasi budaya dan melayani kepentingan bersama dalam masyarakat.

Anak-anak perlu diajarkan untuk mengenali keberadaan dan kebesaran Tuhan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini akan membentuk karakter anak sebagai seorang yang menghargai kebaikan Tuhan dan campur tangan-Nya mengatur dan menyelenggarakan kehidupan mahluk ciptaan-Nya, sehingga kelak mereka akan terdorong untuk melestarikannya, ataupun menyikapinya dengan penuh tanggungjawab demi kesejahteraan manusia dan seluruh mahluk ciptaan lainnya. Akhirnya,  kesadaran akan kebaikan dan kasih Tuhan ini mendorong anak-anak untuk membalas kasih Tuhan dan mengasihi sesama. Dengan hidup dalam kasih yang dijiwai oleh iman inilah, anak-anak mengarahkan hati mereka kepada tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu Sorga.

Mungkinkah Menerapkan Prinsip Pendidikan Katolik?

2

[Dari editor Katolisitas:

Sekolah Katolik…, riwayatmu dulu….

Dewasa ini sering terdengar selentingan, atau bahkan keluhan dari kalangan umat Katolik, bahwa sepertinya pendidikan Katolik di tanah air dewasa ini tidaklah seperti dulu. Di satu generasi sebelum zaman ini, bahkan beberapa generasi sebelumnya, hampir semua sekolah Katolik di tanah air terkenal baik mutunya dan banyak diminati. Kini, nampaknya tidak otomatis demikian. Terlepas dari ada banyak alasan yang ada di luar kompetensi kami di Katolisitas untuk membahasnya, namun ada satu hal yang memang dapat kembali kita renungkan bersama. Apakah sekolah-sekolah Katolik di tanah air sudah sungguh-sungguh mencerminkan pendidikan Katolik? Apakah yang dapat diusahakan agar pendidikan di sekolah-sekolah Katolik menjadi semakin “Katolik”?

Hal inilah yang hendak kami ketengahkan, agar menjadi bahan permenungan kita bersama. Salah seorang narasumber di situs Katolisitas, Maria Natalia Brownell MTS,  ibu dari 5 orang anak, yang kini tinggal di Wisconsin, Amerika Serikat, kami undang untuk membagikan pengalamannya lewat tulisan. Lia- demikian kami memanggilnya- dan suaminya Kyle Brownell, turut berperan aktif dalam peningkatan kualitas sebuah sekolah Katolik, yang bernama St. Adalbert Catholic School, di kota Rosholt, Wisconsin. Lia dan suaminya Kyle, adalah anggota Komite Pendidikan di sekolah tersebut. Bagi kami, pengalaman mereka sangatlah menarik. Mereka berdua, bersama dengan beberapa keluarga Katolik lainnya terpanggil untuk ‘membenahi’ sekolah tersebut yang di sekitar tahun 2009 tahun silam hampir ‘ditutup’, karena semakin berkurangnya jumlah murid. Namun kini setelah sekitar 6 tahun, jerih payah mereka mulai menghasilkan buah yang menggembirakan.  Menurut hasil test nasional Amerika (ITBS) yang baru-baru ini diadakan, prestasi sekolah tersebut mencapai tingkat yang sangat memuaskan. Para pelajar di sekolah itu berhasil masuk dalam golongan 4% ranking teratas dari seluruh pelajar di Amerika Serikat (dari kelas TK sampai kelas 8). Bahkan untuk Science, mereka termasuk golongan 2%, artinya hanya 7 dari 1000 sekolah di seluruh Amerika yang lebih baik di bidang Science, daripada sekolah St. Adalbert.

Namun di balik semua prestasi akademis itu, nampaknya ada suatu ‘mutiara’ yang jauh lebih berharga.  Yaitu, bagaimana sekolah itu menerapkan cara pendidikan Katolik dalam kehidupan belajar dan mengajar; antara para murid, guru, orang tua, pastor dan kepala sekolah. Dalam lingkungan yang saling menunjang, para guru membagikan ilmu mereka dan para pelajar menjadi semakin terdorong untuk mencapai prestasi sebaik-baiknya, sambil terus bertumbuh di dalam iman dan kecintaan mereka kepada Kristus dan Gereja Katolik. Artikel ini ditulis untuk para pendidik, terutama mereka yang menjalankan tugas sebagai guru di sekolah-sekolah Katolik. Semoga dapat berguna dan membangun semangat untuk meningkatkan kualitas pendidikan Katolik di sekolah- sekolah Katolik di tanah air. ]

Pendidikan di sekolah Katolik: Apakah definisi dan tujuannya?

Sebenarnya, definisi pendidikan di sekolah Katolik adalah sederhana, yaitu pendidikan dan pengajaran sekolah yang didasarkan oleh iman Katolik sebagaimana diajarkan oleh Gereja Katolik.  Artinya, iman Katolik-lah yang mendasari segala aspek pendidikan, dari mulai guru-guru/ staf pengajar, kurikulum, lingkungan belajar, cara disiplin, peraturan-peraturan sekolah, dan hal-hal lainnya. Dengan kata lain, sekolah Katolik menjadi lingkungan yang sungguh Katolik, sehingga menjadi tempat yang kondusif bagi anak-anak untuk mengenal dan mengasihi iman Katolik, serta bertumbuh di dalamnya.

Apa yang membedakan antara pengajaran secara umum dengan pengajaran/ pendidikan Katolik?

Secara umum, proses pengajaran dipahami sebagai proses penyaluran informasi dari guru kepada muridnya. Namun pendidikan Katolik tidak hanya terbatas kepada penyaluran informasi dari guru kepada murid. Pendidikan Katolik tidak hanya mencakup pengajaran dan pembekalan akal budi ataupun pemikiran seorang anak dengan informasi yang sebanyak-banyaknya. Sebab di samping membekali murid dengan ilmu pengetahuan, pendidikan Katolik juga membekali, membangun, dan membentuk iman dan spiritualitasnya. Iman dan spiritualitas ini tidak saja mencakup pengajaran agama secara teoritis, tetapi juga pembentukan watak, karakter dan moralitas tiap-tiap murid.

Untuk pendidikan spiritual inilah, kita kembali mengingat akan apa hakekat kita sebagai manusia yang diciptakan Allah. Secara sempurna, manusia diciptakan Tuhan sebagai ciptaan yang spiritual atau mahluk rohani. Inilah yang membuat kita berbeda dengan mahluk ciptaan lainnya. Tidak saja kita memiliki akal budi, perasaan, dan hati nurani;  kitapun diberikan anugerah yang termulia untuk bisa menjalin hubungan yang khusus dengan Allah Sang Pencipta. Tuhan menciptakan kita manusia supaya kita bisa menjalin hubungan yang akrab denganNya. Allah memanggil kita untuk menjadi kudus, seperti para Santo dan Santa di surga. Ya, kita semua dipanggil untuk menjadi serupa seperti Kristus.

Maka, tujuan utama kita hidup di dunia ini adalah untuk hidup kudus. ((Konsili Vatikan II, Lumen Gentium Bab 5. Panggilan universal untuk hidup kudus )) Tuhan memberikan kepada kita anugerah untuk bisa mencari Dia, mengenal Dia lebih lanjut, menjalin hubungan denganNya melalui doa, renungan harian, sakramen, dan mencintai Dia dengan segenap akal budi, hati nurani, dan keberadaan kita di dunia.  Yesus katakan di dalam hukum cinta kasih: “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Mrk 12:30) Oleh karena itu, segala yang kita miliki: kepandaian, akal budi, keberadaan, hati nurani dan iman kepercayaan- segala yang ada pada kita, selayaknya kita arahkan kepada Tuhan.  Semuanya itu adalah untuk digunakan sebagai sarana untuk mengenal Allah, mencintai Dia, dan mendekatkan diri kita kepada-Nya. Dengan tujuan hidup yang berpusat kepada Tuhan inilah, kita akan dikuduskan sesuai dengan gambaran dan rupa Allah, agar dapat bertemu denganNya kembali di Surga. Dengan pengertian tersebut, pendidikan menurut iman Kristiani adalah pendidikan yang tidak hanya berpusat kepada penyempurnaan akal budi manusia, tetapi juga penyempurnaan hati nurani, moralitas, karakter pribadi, dan iman kepercayaannya. Pendidikan yang seperti inilah yang menjadi tujuan sekaligus ciri khas pendidikan Katolik.

Apa yang membedakan pendidikan Katolik dari pendidikan Kristen non-Katolik?

Pendidikan Katolik berbeda dari pendidikan Kristen non-Katolik, karena pendidikan Katolik juga mengikutsertakan peran Gereja Katolik di dalam pembangunan dan pembentukan karakter seseorang anak. Peran Gereja sangat penting, karena Gereja sudah dipercayakan oleh Kristus sendiri untuk menggembalakan umat-Nya agar dapat mencapai Surga.  Melalui sakramen-sakramen kudus, Kitab Suci, devosi kudus (seperti rosario, doa-doa, litani, renungan harian), pengajaran ataupun penghayatan akan kehidupan para santo/santa, dan banyak tradisi Gereja lainnya; seorang anak diajar, dibimbing, diarahkan, dan dibentuk hati nurani-nya, karakternya, dan iman kepercayaannya untuk menjadi seseorang yang kudus.

Sebagai contohnya, kalau seorang anak tidak mau menurut kepada gurunya, berbuat salah dan tidak mau mengerjakan pekerjaan sekolah sebagaimana semestinya, anak tersebut akan ditegur dan diperingati oleh gurunya.  Dia akan dihadapkan kepada dua pilihan : kembali menjadi anak benar, atau terus menjadi anak nakal.  Karena Kristus mengajar kita untuk kembali ke jalan yang benar, maka di dalam hati nuraninya, umumnya anak tersebut akan terpanggil dan tergerak untuk menjadi anak yang baik kembali. Gereja Katolik berperan dalam hal ini, dengan memberikan dia kesempatan untuk menerima sakramen Pengakuan Dosa dan menerima sakramen Ekaristi kudus.  Dengan cara dan kesempatan ini, anak tersebut dibantu oleh karunia Roh Kudus, agar terus tergerak untuk kembali ke jalan yang benar dan menjadi murid yang baik kembali.  Motivasi-nya adalah bukan saja untuk mempunyai nilai yang baik, dan menjadi anak yang bertanggung jawab, tetapi juga untuk menyenangkan hati Tuhan dan orang tuanya.  Dengan proses sedemikian, anak tersebut akan menjadi lebih dekat dengan Tuhan, dan karenanya lebih kudus.

Maka, tujuan utama sekolah Katolik, sesungguhnya sama dan sejalan dengan tujuan utama Gereja Katolik, yaitu menjadi sarana umat Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan sarana umat untuk bertumbuh dalam kekudusan, agar dapat memperoleh janji keselamatan di Surga.   Dengan tujuan misi yang mulia seperti inilah, sekolah-sekolah Katolik harus terus berusaha dengan segenap tenaga untuk senantiasa memperbaiki dan menyempurnakan keberadaannya, agar menjadi saluran berkat dan anugerah Allah kepada umat-Nya, yaitu para murid dan semua pihak yang terlibat di dalam proses pendidikan di sekolah tersebut.

Dengan demikian, alangkah baiknya kalau sekolah Katolik dihubungkan dengan Gereja Katolik di sekitarnya.  Sekolah Katolik selayaknya memberikan kesempatan beberapa kali seminggu (misalnya : satu ataupun dua kali) bagi murid-muridnya untuk mengikuti perayaan Ekaristi di pagi hari.  Anak-anak perlu didorong dan diberi kesempatan yang rutin untuk menerima sakramen Pengakuan Dosa, melakukan devosi bersama seperti Rosario, Kerahiman Ilahi, Jalan Salib, Litani kepada para Orang Kudus, dan Adorasi Sakramen Mahakudus.  Kesempatan semacam ini sangatlah penting untuk membimbing spiritualitas dan karakter seseorang, baik para murid, maupun para pengajar. Tambahan lagi, peran Pastor sebagai gembala juga sesungguhnya cukup penting, untuk membimbing dan mengarahkan anak-anak agar menerapkan ajaran Kristus di dalam tingkah lakunya sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah.  Peran Pastor juga berperan penting bagi para guru/staff di sekolah, untuk membantu memberi motivasi dan pengarahan kepada mereka agar menjadi guru yang baik, dalam mendidik dan membimbing anak-anak didik mereka.

Secara garis besar, kurikulum yang bagaimana yang harus diterapkan di sekolah Katolik ?

Kurikulum yang baik harus disesuaikan dengan ajaran iman Katolik. Sesuai dengan tujuan dan misi dari sekolah Katolik, kurikulum ini harus membantu membina akal budi, iman, dan karakter seorang anak secara maksimal, sesuai dengan keberadaan mereka masing-masing sebagai ciptaan Tuhan yang unik.  Kurikulum yang dipakai harus bisa membangun keberadaan seorang anak secara menyeluruh, membangun keseluruhan pribadi anak, baik tubuh maupun jiwa, termasuk pikiran/ akal budi dan hati nurani.  Semua mata pelajaran yang diterapkan selayaknya disampaikan dari perspektif dan sudut pandang Gereja Katolik. Ini bukan berarti bahwa kurikulum hanya dipenuhi dengan pelajaran agama Katolik sepanjang hari. Tetapi ajaran Kristiani harus menjadi fokus utama dalam menganalisa semua pelajaran yang diberikan. Dengan kata lain, pelajaran yang diberikan atau buku-buku yang dipakai harus selaras dan tidak bertentangan dengan ajaran iman Katolik.  Sebagai contohnya : pemilihan buku-buku bacaan di dalam kelas adalah buku-buku yang menyampaikan ajaran moralitas yang baik, yang menyampaikan unsur-unsur kebenaran dan kekudusan.  Maka kalau kita dihadapkan kepada pilihan antara buku : “Chronicles of Narnia: the Lion, the Witch, and the Wardrobe”, atau “Harry Potter”, sekolah Katolik seharusnya memilih buku “Chronicles of Narnia”.  Alasannya adalah karena buku “Chronicles of Narnia” lebih jelas menerapkan ajaran Kristiani, yang mengutamakan unsur persahabatan, pengorbanan dan perjuangan teguh dalam melawan kejahatan, dan pada akhirnya iblis akan dikalahkan dengan iman dan kebenaran, heroisme, dan unsur-unsur kebaikan lainnya.  Tokoh karakter utamanya pun adalah orang  biasa yang berjuang dengan motivasi menegakkan kebenaran. Juga tokoh singa ‘Ashland’ menyerupai gambaran Kristus Sang Penyelamat.  Sedangkan kisah Harry Potter, tokoh utamanya adalah seorang anak yang mempunyai kepandaian sebagai penyihir dengan kuasa kegelapan, yang dapat melakukan banyak trik penyihir yang ajaib.  Kalau dibanding dengan seksama, buku manakah di antara kedua buku itu yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Kristiani? Tentu saja buku “Chronicles of Narnia”!

Kurikulum yang baik juga membantu anak-anak untuk bisa berpikir sendiri, yang dilandasi oleh prinsip Kristiani.  Kurikulum yang baik juga harus dapat memotivasi seorang anak untuk menyukai proses belajar (‘to know how to learn, and to love learning’).  Karenanya, kurikulum yang benar tidak hanya memberikan mereka dasar cara belajar yang baik, tetapi juga memberikan dasar prinsip yang kuat dalam membaca, menulis, matematika, dan iman Katolik. Dari dasar yang kuat inilah, pelajaran berikutnya akan terus disusun di atasnya.  Pelajaran-pelajaran lain, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, musik, seni rupa, dll; bertolak dari empat pelajaran utama tersebut.

Selanjutnya, adalah penting bahwa dalam menyampaikan mata pelajaran, para guru menyampaikan nilai-nilai iman Kristiani sehubungan dengan mata pelajaran tersebut. Misalnya, dalam mempelajari ilmu pengetahuan alam, anak-anak dibimbing untuk melihat Tuhan sebagai Sang Pencipta alam semesta, dengan segala keindahan dan keagungannya.  Dalam mempelajari ilmu sosial, anak-anak diberi pengertian bahwa Tuhan menginginkan kita untuk bekerja sama, antara bangsa yang satu dan bangsa yang lain, sehingga terjadi kedamaian dan kemakmuran di segala penjuru dunia.  Dalam mempelajari musik, alangkah baiknya kalau para murid diberi kesempatan untuk mempelajari musik klasik yang umum mewarnai musik-musik gerejawi, agar para murid mempunyai penghargaan terhadap musik gerejawi.  Dalam mempelajari seni rupa, para murid diajar untuk dapat mengagumi keindahan seni rupa klasik  yang menggambarkan keagungan Tuhan dan ciptaanNya.

Maka, secara garis besar, dalam penyampaian kurikulum, ada tiga prinsip yang perlu ditekankan: yaitu mengajarkan anak-anak akan ‘kebenaran, kebaikan, dan keindahan’ -the truth, the good, and the beautiful.  Ini adalah prinsip dasar dari ‘Classical Education’ yang tradisional yang menghasilkan banyak santo/santa, para penemu, pemikir, pemimpin, dan  tokoh-tokoh utama di Gereja dan di dunia.

Siapa saja yang harus mengerti akan peran, tujuan ataupun misi dari sekolah Katolik ini?

Pengertian akan pentingnya pendidikan Katolik, tujuan ataupun misi utama yang mulia dari sekolah Katolik ini harus dimengerti, dihayati dan dilaksanakan oleh semua staf pengajar, kepala sekolah, pembimbing, dan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah tersebut.

Alangkah baiknya kalau para guru ataupun staf pengajar memiliki misi dan tujuan hidup yang sesuai dengan tujuan dan misi Gereja.  Tujuan hidup untuk menjadi serupa seperti Kristus, dan para orang kudus seharusnya menjadi tujuan hidup pribadi dari semua staf pengajar.  Hal ini sangatlah penting, karena guru-guru ini berperan sebagai uluran tangan Tuhan untuk mengajar, membimbing dan membentuk anak-anak didik mereka. Para guru adalah penyalur berkat Tuhan kepada murid-muridnya.  Maka seorang guru berperan sebagai teladan hidup bagi anak-anak muridnya. Umumnya pikiran seorang anak sangatlah sederhana. Seringkali sulit bagi mereka untuk memahami karakter seseorang yang tidak pernah mereka lihat, seperti karakter para Santo ataupun Santa.  Karenanya, pengaruh orang-orang di sekitar mereka yang mereka lihat setiap hari, yang berinteraksi dengan kehidupan mereka sehari-hari, akan mempunyai dampak yang sangat penting dalam pertumbuhan karakter mereka.  Kalau guru-guru di sekolah dan orang tua mereka di rumah berusaha sedapat mungkin untuk melaksanakan ajaran Kristus, mempunyai kehidupan rohani yang dekat dengan Tuhan; bertingkah laku dan bertutur kata yang baik dan bijaksana, penuh pengertian, dan cinta kasih; maka secara otomatis anak-anak pun akan terpanggil untuk menjadi seperti mereka. Dengan cara inilah akhirnya, mereka dapat bertumbuh dalam iman dan kekudusan, seperti para orang kudus yang mengikuti teladan Kristus.

Selain dari pihak sekolah, orangtua juga perlu mengetahui peran dan tujuan pendidikan dan sekolah Katolik. Sejujurnya, peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka, tidaklah tergantikan (lih. KGK 1653). Maka, para orang tua berperan sangat penting dalam perkembangan rohani dan karakter seorang anak.  Sebab sebelum anak-anak bertemu dan berinteraksi dengan orang lain, mereka mengenal orangtua mereka terlebih dulu.  Oleh karena itu, secara kodrati, Tuhan memberikan orangtua kepercayaan tunggal yang begitu besar untuk menjadi uluran tangan Tuhan dalam mendidik, membina dan mengarahkan anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Dengan demikian, menjadi kudus, seperti para orang kudus di Surga, sudah selayaknya juga menjadi tujuan hidup setiap orang tua. Tujuan untuk hidup kudus ini harus menjadi tujuan hidup para orang tua secara pribadi, bukan hanya menjadi tujuan ideal yang ‘di awang-awang’ oleh para orang tua secara kolektif. Sebab jika orang tua juga berjuang untuk hidup kudus, ini akan sangat berpengaruh kepada nilai-nilai yang mereka terapkan dalam keluarga, yaitu tentang apa- apa yang diperbolehkan ataupun tidak diperbolehkan di dalam rumah tangga mereka.  Di sinilah penting agar proses pendidikan di sekolah melibatkan juga peran orang tua, atau tepatnya berjalan seiring dengan pendidikan dari orang tua, agar apa yang diajarkan di sekolah dilanjutkan secara konsisten di rumah, terutama yang menyangkut nilai-nilai positif sehubungan dengan pembentukan karakter anak.

Relevan di sini untuk disebutkan besarnya pengaruh media sekular, termasuk internet, hand phone, berbagai entertainment -seperti film, video game, musik- dan buku-buku bacaan, bagi pikiran, perkembangan karakter dan kerohanian seorang anak.  Tak dapat dipungkiri, bahwa dalam hal ini orangtua adalah pondasi dan benteng keluarga yang utama untuk menjaga dan mengawasi hal-hal apa saja yang mempengaruhi pikiran seorang anak, yang dapat berpengaruh juga terhadap pembentukan karakternya.  Orang tua, bersama para pendidik di sekolah harus dapat menentukan hal-hal yang baik bagi perkembangan anak dan hal-hal yang bersifat merusak dan mengotori pikiran seorang anak. Segala jenis buku, media, entertainment, dll yang tidak sesuai dengan ajaran Kristiani, sedapat mungkin harus dijauhkan dan dicegah pemakaiannya dan sirkulasinya dari kehidupan anak-anak sehari-hari.  Termasuk di sini adalah jenis film yang mereka lihat, buku cerita yang mereka baca, website yang mereka cari di komputer, video game yang mereka mainkan, dll. Semua hal ini perlu diarahkan agar membantu dan bukannya merusak kerohanian anak ataupun mempengaruhi karakter anak secara negatif.  Banyak sekali penelitian yang sudah dilakukan, yang mempelajari pengaruh buruk dari film, video game, musik sekular, dan media sekular lainnya terhadap perkembangan akal budi, moralitas, dan karakter anak. Akses terhadap film atau video game tertentu dapat mengakibatkan anak-anak menjadi hiper-aktif, tidak bisa berkonsentrasi saat belajar, tidak senang membaca, tidak dapat bersosialisasi dengan baik, tidak dapat berimajinasi, dll; karena otak mereka sudah dibiasakan untuk terstimulasi dengan entertainment yang sifatnya cepat, menarik, ber-glamour, dan materialistis. Belum lagi tambahan pengaruh buruk dari segi moralitas, yang berpotensi membawa anak-anak untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran dan pandangan iman Kristiani. Untuk membentengi anak-anak dari pengaruh negatif ini, orang tua bukan saja perlu secara aktif menjaga jenis entertainment dan pengaruh media di dalam keluarganya, mereka juga harus membatasi pemakaiannya. Jika diperlukan, para pendidik di sekolah perlu untuk mengingatkan orang tua akan hal ini, terutama jika karena hal-hal ini, anak-anak tidak dapat berkonsentrasi belajar di sekolah. Orang tua perlu diingatkan agar tidak mengandalkan media, entertainment untuk menjadi baby-sitter bagi anak-anak mereka. Ini bukan berarti bahwa semua media entertainment buruk sifatnya. Tetapi baik orang tua maupun para pendidik di sekolah perlu mengawasi, agar anak-anak dapat memilih permainan ataupun tayangan yang mendukung pertumbuhan moral yang positif untuk perkembangan karakter anak, dan adalah perlu agar jumlah waktu penggunaan ataupun akses kepada hal-hal tersebut dibatasi.

Apakah peranan sekolah Katolik terhadap masyarakat ?

Peran sekolah Katolik terhadap masyarakat juga sejalan dengan peran Gereja Katolik terhadap masyarakat di sekitarnya. Tuhan memanggil kita untuk menjadi garam dunia dan terang dunia (Mat 5:13, 14), artinya untuk menjadikan dunia menjadi lebih baik dan agar kita bersinar di tengah kegelapan. Oleh karena itu, sekolah Katolik berperan penting dalam mendidik, membina dan membangun suatu generasi, yang tidak hanya percaya dan beriman kepada Tuhan, tetapi juga peka terhadap kehidupan dan masyarakat di sekitarnya.  Anak-anak semestinya dibimbing untuk menjadi pemimpin masa depan yang tidak hanya penuh dengan ilmu, ketrampilan, dan kepandaian; tetapi juga menjadi pemimpin yang takut akan Tuhan, rendah hati dan mempunyai jiwa melayani sesama.  Untuk itulah pendidikan Katolik ini sangat penting peranannya, karena pendidikan Katolik bertujuan untuk menghasilkan orang-orang yang berintegritas, terbentuk secara keseluruhan (‘well rounded people’). Berintegritas di sini, bukan saja hanya dalam hal pemikiran, tetapi juga dalam perkataan dan perbuatan. Alangkah baik dan mulianya kalau dunia ini mempunyai pemimpin-pemimpin utama di masyarakat yang tidak saja pandai, tetapi juga beriman kepada Tuhan, rendah hati, adil, bijaksana dan penuh kasih terhadap sesama, terutama mereka yang lemah dan menderita.

Seperti banyak Santo/Santa yang diberikan kepercayaan untuk menjadi pemimpin suatu organisasi di dalam Gereja ataupun di masyarakat, atau lebih lagi suatu negara; misalnya St. Patrick dengan peranannya untuk membimbing dan memimpin masyarakat di Irlandia kepada Tuhan, atau Mother Teresa dalam memimpin Sisters of Charity menjadi berkat pelayanan masyarakat miskin di India,  atau St. Fransiskus dari Asisi dalam mendirikan ordo Fransiskan, atau St. Thomas Aquinas yang melalui tulisannya dan pengajarannya menjadi salah seorang Pujangga Gereja yang berperan penting dalam menyampaikan ajaran iman secara sistematik, dan lain lain.  Semua orang kudus tersebut mempunyai peran yang sangat besar dalam mewujudkan panggilan hidup untuk menjadi garam dan terang dunia.  Tuhan menggunakan mereka, satu-persatu secara pribadi, dengan cara-Nya yang khusus untuk menjadi saluran berkat-Nya dalam karya-Nya menyelamatkan dunia.

Bagaimana mewujudkan sekolah Katolik yang baik?

Sejujurnya kami percaya bahwa dewasa ini masih ada sejumlah sekolah Katolik yang baik dan bermutu, namun karena kami tidak mempunyai akses untuk membahas apa yang diterapkan di sana, maka kami memutuskan untuk membagikan pengalaman kami bersama dengan beberapa keluarga lainnya, bersama dengan Pastor paroki untuk mengembangkan sebuah sekolah Katolik kecil di Amerika. Sekolah ini bernama St. Adalbert School di Rosholt, Wisconsin. Kami yang tergabung dalam Komite Pendidikan, selama enam tahun terakhir ini berusaha dengan segenap hati dan tenaga, untuk memperbaiki keberadaannya, untuk menjadi lebih menyerupai gambaran sekolah Katolik yang dikehendaki oleh Gereja Katolik.

Case Study : St. Adalbert Catholic School di Rosholt, Wisconsin, USA

Latar Belakang

St. Adalbert Catholic School adalah sekolah Katolik kecil, yang berlokasi di kota kecil Rosholt, Wisconsin.   Sekolah ini terdiri dari kelas Pre-Kindergarten (TK kecil) sampai Middle School  (SMP). Jumlah muridnya hanya terdiri dari sekitar 45 sampai 50 orang.  Penduduk di kota kecil Rosholt ini pada umunya adalah petani atau pekerja di daerah pertanian/ perkebunan, buruh pabrik, atau pekerja kantoran.  Keadaan perekonomian di kota ini termasuk menengah ke bawah, yang pasti bukan seperti gambaran glamour kehidupan di kota besar Amerika yang digambarkan lewat media TV/ film. Penduduk di Rosholt ini umumnya beragama Katolik dan Kristen non-Katolik, yaitu Lutheran. Mereka umumnya adalah keturunan dari pendatang Eropa, seperti Polandia, Germany, Irlandia, dan Norwegia. St. Adalbert Catholic school ini terletak berseberangan dengan St. Adalbert Catholic Church.  Seperti keadaannya dengan banyak sekolah Katolik di Amerika, sekolah adalah bagian dari paroki; istilahnya: sekolah paroki (parish school).  Karenanya, Pastor dari Gereja St. Adalbert juga menjadi pastor di St. Adalbert school.

Di tahun 2008, Saint Adalbert school merubah kurikulum yang dipakai hampir secara total. Mereka berusaha untuk menjadi sekolah yang lebih berkualitas baik, dari segi akademis dan dari segi iman Katolik. Perubahan ini merupakan titik balik utama dalam sejarah sekolah ini. Tahun itu merupakan tahap pertama dari proses perkembangan kualitas secara berkesinambungan untuk menjadi sekolah Katolik yang ideal, seperti yang diharapkan oleh Gereja Katolik.

Misi Sekolah dan Pelaksanaan

Misi dari St. Adalbert school adalah “to teach children as Jesus did, so that they become future leaders and the new saints of the new millennium”- “mengajarkan kepada anak-anak sebagaimana Yesus mengajar, sehingga kelak mereka dapat menjadi para pemimpin dan para orang kudus di era milenium.” Maka, St. Adalbert school tidak saja mengutamakan tingginya kualitas akademis, tetapi juga tingginya pembentukan iman Katolik dari murid-muridnya. Sekolah ini selalu berusaha sedapat mungkin untuk memberikan kualitas pelajaran dan lingkungan belajar yang terbaik bagi semua muridnya, sesuai dengan ajaran iman Katolik. Motto yang sering dipakai dalam menggambarkan keberadaan sekolah ini adalah mendorong agar, “anak-anak yang biasa dapat mengerjakan hal-hal yang luar biasa” (ordinary children doing extra-ordinary things).

Dari usaha pertama yaitu mencari guru, St. Adalbert school sedapat mungkin mencari guru Katolik yang benar-benar mengerti dan mempraktekkan ajaran Katolik di dalam kehidupannya sehari-hari. Guru-guru di sekolah ini benar-benar berdedikasi tinggi. Mereka meluangkan waktu dan tenaga sepenuhnya untuk mengajar murid-murid di sekolah ini. Terlebih lagi, karena sekolah ini sangat kecil, satu orang guru harus mengajar dua level (grades) di dalam satu ruang kelas. Mereka hanya mempunyai waktu yang singkat sekali untuk ‘break-time’. Karena paroki St. Adalbert ini juga adalah paroki kecil yang tidak banyak umatnya, paroki ini hanya dapat memberikan gaji yang kecil/ secukupnya kepada guru-gurunya. Walaupun demikian, mereka tetap datang mengajar dan membina murid-muridnya dengan sabar dan penuh berjiwa pelayanan.  Ketika ditanya mengapa mereka mau bekerja di sekolah Katolik, jawabannya adalah: karena mereka ingin dan dengan senang hati mau melayani Tuhan dan Gereja-Nya.  Ini adalah panggilan pelayanan, bukan untuk mencari uang semata, tetapi sungguh-sungguh untuk melayani Tuhan dan Gereja. Motivasi ini terlihat sekali sewaktu para guru ini mengajar. Walaupun lelah bekerja, mereka selalu tersenyum dan nampak bahagia melakukan tugas-tugas mereka.  Mereka sangat peduli akan keberadaan dan perkembangan murid-murid mereka; bukan hanya yang ada di dalam kelasnya sendiri, tetapi juga murid-murid lainnya di sekolah tersebut.  Mereka mengikuti kurikulum yang sudah ditetapkan dengan komitmen yang tinggi.

Para guru itu menyalurkan bakat ketrampilan dan kreasi mereka dengan memberikan anak-anak tugas-tugas kreatif yang beraneka ragam, sehingga menambah ‘kehidupan’ di sekolah tersebut. Sedapat mungkin, para guru mengadaptasikan iman Katolik ke dalam mata pelajaran yang mereka ajarkan. Dengan demikian, iman Katolik bukan hanya terbatas pada pelajaran agama, tetapi menjadi suatu kehidupan yang bisa dirasakan, dilihat dan dinikmati di setiap hari di sekolah tersebut. Iman Katolik menjadi semacam udara yang dihirup dan langkah yang dijalani di sekolah. Misalnya: di bulan Mei yang baru saja berlalu, untuk memperingati dan menghormati Bunda Maria, setiap kelas diwajibkan untuk menggambar Bunda Maria dari segala penjuru dunia, sebesar satu pintu masuk kelas.  Ada kelas yang menggambar Bunda Maria dari Polandia, Bunda Maria dari Lourdes, Bunda Maria dari Guadalupe- Mexico, Bunda Maria dari Korea/Japan, dst.  Semua gambar ini adalah upaya kerja sama dari anak-anak di kelas masing-masing.  Gambar yang indah ini kemudian mereka pasang di pintu masuk ruang kelas.  Mereka juga menggambar bunga-bunga, taman, burung, kupu-kupu, pohon, dll sepanjang korridor dan langit-langit sekolah.  Tujuannya adalah mereka ingin menciptakan “Mother Mary’s Garden” (kebun Bunda Maria), supaya selama bulan Mei ini, anak-anak diberi kesempatan khusus untuk menghayati dan menghormati Bunda Maria, yang adalah Bunda Tuhan Yesus dan Bunda semua umat Kristen. Anak-anak sangat bangga dan senang sekali dengan kreativitas ciptaan mereka. Proyek ini bukan saja menghasilkan sesuatu karya yang indah, yang bisa dinikmati setiap orang, tetapi juga membantu mendekatkan hati anak-anak dan semua orang yang melihat kepada Bunda Maria dan kepada Tuhan kita yang telah memilihnya untuk melahirkan Yesus Kristus Putera-Nya.

Idealisme para guru

Karena paroki St. Adalbert ini juga adalah paroki kecil yang tidak banyak umatnya, paroki ini hanya dapat memberikan gaji yang kecil/ secukupnya kepada guru-gurunya. Walaupun demikian, mereka tetap datang mengajar dan membina murid-muridnya dengan sabar dan penuh berjiwa pelayanan.  Ketika ditanya mengapa mereka mau bekerja di sekolah Katolik, jawabannya adalah: karena mereka ingin dan dengan senang hati mau melayani Tuhan dan Gereja-Nya.  Ini adalah panggilan pelayanan, bukan untuk mencari uang ataupun berbisnis semata, tetapi sungguh-sungguh untuk melayani Tuhan dan Gereja. Motivasi ini terlihat sekali sewaktu para guru ini mengajar. Walaupun lelah bekerja, mereka selalu tersenyum dan nampak bahagia melakukan tugas-tugas mereka.  Mereka sangat peduli akan keberadaan dan perkembangan murid-murid mereka; bukan hanya yang ada di dalam kelasnya sendiri, tetapi juga murid-murid lainnya di sekolah tersebut. Mereka mengikuti kurikulum yang sudah ditetapkan dengan komitmen yang tinggi.

Guru-guru di St. Adalbert school menganggap bahwa menjadi guru di sekolah ini adalah suatu pelayanan kepada Tuhan dan Gereja Katolik. Bagi mereka, menjadi guru di sekolah Katolik adalah kesediaan memenuhi kehendak Tuhan dan panggilan hidup dari Tuhan, agar mereka dapat memberikan dampak positif dan pengaruh yang besar kepada anak-anak didik yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Para guru ini melihat kesempatan mendidik anak-anak tersebut sebagai berkat yang besar, karena dipercayakan untuk turut membentuk akal budi dan karakter setiap dari anak-anak itu. Sebagai pendidik, para guru berperan sebagai “saluran” berkat Tuhan kepada anak-anak didik mereka. Dengan demikian, para guru mengabdikan diri mereka sebagai pelayan Tuhan, seperti yang dikatakan oleh Mother Teresa, “I am like a pencil in the hand of God”.

Dengan menganggap tugas sebagai guru sebagai tugas pelayanan kepada Tuhan, maka para guru di sekolah St. Adalbert adalah para guru yang termotivasi dari dalam. Mereka terpanggil untuk membawa para murid mereka tidak hanya sukses secara akademis, tetapi juga secara rohani. Mereka terdorong untuk turut mengarahkan anak-anak didik mereka agar dapat sampai ke Surga. Mereka tidak termotivasi dengan uang ataupun ketenaran/ prestige. Sejujurnya, bagi saya, semangat pengabdian mereka sangatlah “too good too be true”, dan tentulah mereka dapat melakukan hal ini karena bantuan rahmat Tuhan.

Menurut pengamatan saya, idealisme yang tinggi dari para guru ini terjadi karena:

  1. Mereka bukan hanya Katolik di KTP saja, tetapi adalah orang-orang yang hidup melaksanakan imannya, dan berusaha semampu mereka untuk mengikuti ajaran Gereja. Mereka mempunyai kehidupan rohani sendiri, rajin membaca Kitab Suci dan buku-buku Katolik lainnya, melaksakan devosi seperti rosario, dan Adorasi, mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa secara rutin, dst.
  2. Mereka mencintai iman Katolik mereka, mereka meyakini bahwa Gereja Katolik mengajarkan kepenuhan kebenaran iman Kristiani, dan bahwa Kristus telah mendirikan Gereja sebagai sarana keselamatan.
  3. Mereka tidak melakukan hal-hal yang menentang ajaran Gereja. Mereka tidak hidup bersama pasangannya sebelum menikah, mereka yang sudah menikah, tidak menggunakan alat-alat kontrasepsi, mereka tidak mendukung aborsi, tidak mendukung perkawinan sesama jenis, dst yang dilarang oleh Gereja. Memang dalam penerimaan guru mereka harus menandatangani bahwa mereka harus menyetujui semua ajaran Gereja Katolik, termasuk ketaatan untuk tidak melakukan hal-hal yang ditolak oleh Gereja. Ketaatan ini penting agar para guru itu dapat menjadi teladan iman bagi anak-anak didik mereka.
  4. Mereka menyukai aktivitas mengajar. Mereka menjadi guru bukan karena semata-mata pekerjaan. Para guru itu menyukai anak-anak, dan berbahagia dapat terlibat dalam pembentukan karakter mereka.

Garis Besar Kurikulum

Kurikulum yang diterapkan di sekolah ini mengikuti kurikulum dengan pandangan ‘traditional/classical education’. Dari kelas Pre-Kindergarten sampai kelas 2, fokus yang diutamakan adalah belajar membaca, menulis, berhitung dan Katekismus Katolik dasar. Penekanan diberikan pada pentingnya membaca melalui diktasi, phonics, ’decoding’ words, dan basic grammar English. Buku-buku yang mereka baca adalah buku-buku yang sesuai dengan level mereka masing-masing, dengan kesempatan untuk naik ke level yang berikutnya jika dipandang memadai.  Dari segi literatur, anak-anak diarahkan untuk membaca buku-buku novel klasik yang memiliki pemilihan bahasa yang baik, disertai dengan jalan cerita yang menarik untuk anak-anak di level mereka masing-masing.  Untuk matematika, mereka dilatih mengenal dunia matematika dengan ‘hands-on’ aktivitas, menghapal Math’s facts, berhitung dasar, dan pengulangan yang rutin.  Tujuan utama sampai kelas 2 ini adalah agar mereka bisa membaca dengan lancar buku novel klasik anak (tanpa gambar) setebal ± 150 – 200 halaman.  Di sekolah ini, komputer sama sekali tidak digunakan sampai murid-murid mencapai kelas 3, waktu mereka mengetik karangan/tulisannya yang pertama.

Dari kelas 3 sampai kelas 5, penekannya adalah : menggunakan bahasa Inggris untuk belajar pelajaran yang lain, seperti mengarang bahasa Inggris (writing), sejarah, geografi, ilmu alam, classical literature yang lebih mendalam.  Karena anak-anak ini sudah terlatih sejak TK kecil untuk mendengar buku bacaan yang baik, dan belajar berhitung dengan cepat; mereka akan terus terdorong untuk membaca buku dengan tata bahasa yang baik, dan mengerjakan tugas pekerjaan Matematika yang cukup challenging.

Dari kelas 6 sampai kelas 8 (SMP), penekanan baru ditambahkan pada mengajar anak untuk menganalisa dan berpikir secara lebih dalam. Pelajaran-pelajaran yang diterapkan harus disesuaikan sehingga melatih daya pikir anak untuk menganalisa suatu keadaan yang lebih abstrak, dengan cara dialogue dan pembahasan dari pandangan Gereja Katolik.  Penekanan logika menganalisa harus mulai diterapkan di dalam kurikulum pelajaran. Hal ini penting, supaya anak-anak mulai diajar untuk mengaplikasikan pelajaran Katolik yang mereka sudah dapat, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Pelajaran Agama

Adalah sangat penting, bahwa kurikulum pelajaran agama yang diberikan adalah kurikulum yang sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Sekolah St. Adalbert menggunakan buku terbitan Ignatius Press yang berjudul Faith and Live series.  Di sana disampaikan ajaran iman Katolik dengan penuh (tidak dikompromikan) walaupun disampaikan sesuai dengan umur anak. Prinsipnya ajaran iman Katolik tidak dapat diubah ataupun dikurangi, namun cara penyampaiannya saja, yang disesuaikan.

Di sekolah St. Adalbert, pelajaran agama diadakan setiap hari, di setiap kelas, sekitar 20 menit; kecuali hari Jumat, karena setiap Jumat sudah diadakan perayaan Ekaristi, dan Benediction setelahnya di gereja.  Guru yang mengajarkan agama sama dengan guru kelasnya. Kekecualian adalah pada kelas yang gurunya adalah non-Katolik. Pelajaran agama bagi kelas ini diberikan oleh guru yang Katolik, dan guru yang non-Katolik ini ‘bertukar tugas’ sementara dengan guru ini, dengan mengajarkan mata pelajaran spelling (membaca) pada kelas yang lain. Guru yang non- Katolik ini menghormati apa yang diajarkan di sekolah. Ia berpartisipasi dalam doa Rosario maupun doa-doa lainnya. Walaupun tidak menerima Komuni dalam perayaan Ekaristi, ia mengikuti perayaan tersebut dengan khidmat. Pada saat pembagian Komuni ia maju ke depan untuk menerima berkat dari Father.

Kehidupan Spiritualitas komunitas sekolah

Berikut adalah jadwal rutinitas rohani setiap minggu yang dilakukan di St. Adalbert School:

  1. Waktu masuk sekolah adalah jam 8:00 pagi.  Doa pagi dilakukan di kelas masing-masing.
  2. Pada hari Rabu pagi dan Jumat pagi, semua murid dan staf guru pergi ke gereja untuk mengikuti perayaan Ekaristi pagi.
  3. Pada hari Jumat pagi, setelah Misa pagi, semua murid dan staf guru mengikuti Adorasi Sakramen Mahakudus,  Litani para kudus, dan devosi Kerahiman Ilahi/ “Divine Mercy”.
  4. Pada hari Selasa dan Kamis, murid-murid belajar mengenai Santo/santa tertentu (disesuaikan dengan kalendar liturgi), atau berdoa rosario.
  5. Kurang lebih 3 minggu sekali, setiap anak diberikan kesempatan untuk menerima Sakramen Pengakuan Dosa.
  6. Setiap anak laki-laki dari kelas 3 sampai kelas 8 menjadi misdinar secara bergantian.
  7. Pada waktu makan siang (jam 11:20 a.m), doa makan dilakukan di kelas masing-masing.
  8. Tepat pada jam 12:00 siang, semua staf/ murid berdoa Angelus (Malaikat Tuhan).
  9. Setelah istirahat siang/waktu main selama 30 menit, pelajaran di sekolah kembali dilakukan dan diakhiri jam 3:00 siang dengan doa penutup.

Di samping jadwal rutinitias di atas, ada acara-acara lain yang dilakukan untuk membantu mendalami iman:

  1. Acara Natal dilakukan di bulan Desember, dengan topik yang berfokus pada kelahiran Kristus dan keselamatan melalui Inkarnasi Kristus.
  2. Semasa Adven dan Prapaskah, murid-murid diberikan aktivitas yang mempersiapkan mereka kepada Natal/Paskah.
  3. Seni rupa/musik yang diajarkan sepanjang tahun seringkali bertemakan Kristiani, disesuaikan dengan perayaan/hari-hari khusus Gereja.
  4. Selain pendidikan agama, murid-murid juga belajar mengenal dan memperdalam pengertian mereka akan orang-orang kudus.  Terutama pada waktu merayakan hari ‘para orang kudus’ (All Saints’ Day) 1 November, mereka melakukan perayaan khusus dengan memberikan kesempatan bagi murid-muridnya untuk memakan pakaian seperti Santo/santa yang dipilih.  Anak- anak yang lebih besar memberikan presentasi akan Santo/santa yang mereka pilih.
  5. Pada waktu masa Prapaskah, murid-murid mengikuti acara Jalan Salib.
  6. Pada bulan Mei, diadakan upacara ‘May Crowning’, di mana murid-murid memberikan mahkota bunga yang mereka rangkai kepada patung Bunda Maria.
  7. Di akhir tahun ajaran, diadakan konser /pementasan yang bertemakan ajaran Kristiani.
  8. Beberapa kali dalam tahun pelajaran diadakan field trip/tour/ziarah ke tempat-tempat kudus, seperti grotto (taman gua Maria), Gereja Katedral, Shrine, dll.
  9. Pada tanggal December 5, Pastor dari St. Adalbert Church memakai jubah menyerupai Santo Nicholas (bukan sebagai santa Klaus) dan mengunjungi setiap kelas.
  10. Anak-anak diajar untuk peka terhadap masalah sosial dengan mengunjungi/ berpartisipasi dalam acara sosial di sekitarnya, seperti: mengunjungi panti jompo, atau para homeless, membantu membungkus makanan untuk dikirim ke daerah yang membutuhkan, berpartisipasi dalam ‘pro-life’ movement untuk memerangi aborsi di Amerika, membuat selimut untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan dll.

Pengaruh positif pelaksanaan devosi terhadap perilaku anak-anak

Salah satu ciri khas sekolah Katolik yang menonjol adalah pelaksanaan doa bersama di sekolah. Pelaksanaan doa bersama, devosi, perayaan Ekaristi Kudus, dan penerimaan sakramen-sakramen lainnya, seperti sakramen Pengakuan dosa, Komuni pertama dan Penguatan/ Krisma berperanan sangat besar sekali terhadap perilaku anak-anak. Melalui doa-doa devosi, anak-anak diajar untuk meluangkan waktu mereka bagi Tuhan. Di tengah-tengah kesibukan belajar dan kegiatan sekolah yang banyak memakan waktu, mengadakan waktu untuk Tuhan adalah penting sekali untuk diajarkan kepada anak.

Maka berdoa bersama, selayaknya tidak dipandang sebagai ‘membuang-buang waktu’, namun sebagai kesempatan untuk mendidik anak-anak untuk mengutamakan Tuhan dalam hidup mereka. Berikut ini adalah hal-hal positif yang ditimbulkan dengan pelaksanaan devosi dalam komunitas sekolah:

  1. Pelaksanaan devosi membuat anak-anak menjadi lebih tenang di dalam hatinya, lebih memiliki self-control/ pengendalian diri untuk menjaga kelakuannya sehari-hari di sekolah.
  2. Secara tidak langsung, mereka juga belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah lainnya dengan lebih fokus -karena keterbatasan waktu- dan sistematis.
  3. Pelaksanaan devosi juga mengajar anak-anak untuk memulai harinya dengan Tuhan dan menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan.
  4. Hubungan yang baik dengan Tuhan akan membawa akibat hubungan yang baik antara anak-anak dan para guru juga dengan sesama murid dan sesama guru.
  5. Hubungan yang baik dengan Tuhan membuat Roh Kudus akan bekerja di dalam hati setiap murid dan guru, untuk memberikan segala sesuatu yang terbaik di sekolah, dan untuk bersikap seperti Kristus di dalam segala hal.

Peran guru dalam mendisiplinkan murid yang nakal

Tentu saja pengaruh guru-guru penting sekali dalam membantu anak-anak untuk bersikap baik di sekolah. Jika anak-anak nakal, para guru mengingatkan mereka dengan memberikan pertanyaan, “What would Jesus do?” jika Ia ada dalam keadaan tersebut. Karena anak-anak sudah dengan sendirinya ingin berlaku baik, peringatan ini cukup dilakukan sekali ataupun dua kali saja.

Cara mendisiplinkan murid yang dilakukan di St. Adalbert school adalah sistem disiplin secara Kristiani. Yang dimaksud di sini adalah disiplin atas dasar ‘kasih Kristus kepada anak-anak-Nya’.  Maka disiplin ini bukan didasarkan atas kemarahan ataupun pelampiasan kekesalan guru dan juga bukan dengan pendidikan dengan sistem militer.  Disiplin ini didasarkan pada motivasi, “Apa yang sebaiknya dilakukan untuk membantu pembentukan karakter anak ini untuk menjadi lebih baik?”

Misalnya, terhadap anak-anak kelas TK kecil sampai kelas dua, apabila seorang murid sedang nakal, tindakan yang dilakukan adalah:

  1. Memperingatkan dengan nada suara yang biasa -tetapi cukup bisa didengar oleh anak- untuk memberhentikan perbuatan nakalnya dan kembali menjadi anak baik.
  2. Apabila anak tersebut mengabaikan peringatan tersebut, guru akan memberikan peringatan yang kedua kalinya dengan nada suara yang lebih tegas, dan bisa juga lebih keras, sebab kemungkinan murid itu benar-benar tidak mendengar sebelumnya.
  3. Apabila anak tersebut tetap mengabaikan peringatan yang kedua kalinya, maka guru akan mendekatkan dirinya kepada sang murid, melihat murid tersebut dengan seksama dalam jarak yang dekat -maksudnya adalah supaya bisa berkomunikasi dengan lebih personal- mengingatkan anak tersebut akan apa yang mungkin Yesus lakukan dalam keadaan seperti itu, atau juga mengingatkan akibat perbuatan anak tersebut terhadap dirinya sendiri, terhadap orang di sekitarnya, dan terhadap Tuhan -karena dia mengabaikan Tuhan dan membuat Tuhan sedih). Penting bagi guru untuk mengambil nada suara yang tenang, tetapi tegas; tidak perlu marah-marah atau berteriak-teriak dengan suara yang keras. Nada suara yang membentak-bentak akan memberikan dampak yang tidak produktif.  Hal ini akan membuat anak menjadi takut atau bertambah marah-tergantung karakter anaknya, tetapi tidak membantu mereka memperbaiki diri. Tambahan lagi, guru tersebut juga menjadi kehilangan pengendalian dirinya sendiri.
  4. Kadang-kadang anak tersebut perlu dipindahkan dari situasi/lingkungannya, dengan cara pergi ke tempat lain, atau masih di dalam kelas yang sama atau kalau perlu, ke kantor kepala sekolah), untuk ‘take a break’, supaya dia bisa punya waktu untuk berpikir dan merenungkan akibat perbuatannya tersebut pada dirinya sendiri, orang lain, dan Tuhan.
  5. Setelah selesai merenungkan perbuatannya, anak tersebut sebaiknya berdoa singkat, minta ampun pada Tuhan, karena telah membuat Tuhan bersedih. Anak itu juga harus minta maaf kepada orang lain (murid lainnya ataupun guru) yang terkena akibat perbuatannya.

Untuk murid-murid yang lebih besar, caranya kurang lebih sama. Perbedaannya adalah, mereka harus kembali diingatkan kepada hukum 10 perintah Allah, hukum cinta kasih, atau hukum Gereja yang lainnya.  Mereka diingatkan bahwa apa yang dilakukan mereka sudah melanggar hukum Allah, dan membuatNya berduka.  Penting juga untuk diingat bahwa anak yang lebih besar sangat terpengaruh akan teman-temannya.  Mereka mudah sekali merasa malu, kalau dikoreksi di depan anak-anak lainnya. Karenanya, kadangkala akan lebih efektif kalau waktu untuk komunikasi dengan anak dilakukan di ruangan yang lain / di luar kelas atau di kantor kepala sekolah.  Dalam situasi tertentu, perlu juga untuk melibatkan Pastor (kalau ada kesempatan) untuk berbicara kepada anak tersebut secara pribadi.  Peranan Pastor/ Romo sebagai bapa rohani, sesungguhnya mengambil bagian dalam peran kebapaan Tuhan sendiri. Karena itu, Pastor dapat memberikan pengarahan kepada anak tersebut tentang bagaimana Tuhan memandangnya, dan bagaimana tindakan yang dilakukannya dapat menimbulkan akibat yang negatif bagi orang lain, dan bagaimana ke depannya agar anak tersebut dapat menjadi lebih baik. Cara untuk meminta maaf kepada orang lain bisa dilakukan dengan menulis kartu, atau surat dengan tata-bahasa dan tulisan yang sebaik-baiknya.

Perlunya melibatkan orang tua dalam pendidikan anak-anak

Orang tua sangat besar pengaruhnya dalam mendidik anak. Dalam melibatkan orangtua, pertama kali pentingnya bagi pihak sekolah dan orangtua berada dalam pengertian yang sama mengenai cara mendidik anak.  Maksudnya, pihak sekolah dan orang tua harus kurang lebih melihat dari cara pandang yang sama, sehingga apa yang dilakukan di sekolah juga ditunjang oleh orangtua di rumah.  Contohnya:

  1. Mengerjakan pekerjaan sekolah/ rumah. Orangtua sebaiknya ikut terlibat (disesuaikan dengan umur anak) akan perkejaan sekolah anak.  Maksudnya, orangtua harus mengetahui akan apa yang dikerjakan/ dipelajari oleh anaknya di sekolah.  Tujuannya adalah apabila ada hal-hal yang tidak sesuai/ tidak baik yang didapat dari anak di sekolah (misalnya dari buku bacaan, teman, internet, dll), orangtua bisa lebih pro-aktif mencegah pengaruhnya bagi anak.
    Alangkah baiknya bagi orang tua untuk benar-benar memahami peran utamanya dalam pendidikan dan pembentukan anak.  Katekismus Gereja Katolik sendiri mengajarkan bahwa peran orang tua tersebut adalah yang pertama dan utama apabila dibanding dengan peranan sekolah.  Sekolah fungsinya hanya membantu orangtua dalam mendidik anak.  Pada akhirnya, tujuan orang tua yang utama adalah membawa dan mengarahkan anaknya ke Surga.
  2. Dalam masalah mendisiplinkan anak. Apabila seorang anak didisiplinkan di sekolah, lalu pulang ke rumah dengan complain-complain atau menyalahkan gurunya, orangtua tidak boleh langsung membela anaknya dan menyalahkan gurunya.  Orangtua harus dengan kepala dingin mendengar masalah yang dikemukakan anaknya, dan berusaha menjelaskan kepada anaknya mengapa guru/ pihak sekolah melakukan kebijaksanaan yang demikian.
    Apabila orangtua merasa ada hal yang tidak jelas akan keadaan yang dilaporkan oleh anak, orang tua bisa menghubungi pihak sekolah dan berbicara dengan guru/kepala sekolah untuk mencari tahu duduk perkara yang sebenarnya. Satu hal penting untuk diingat adalah jangan mengkoreksi/ berselisih pendapat dengan guru di depan anak-anak. Kalau hal ini dilakukan, anak-anak akan kehilangan rasa hormat pada gurunya. Dan di kemudian hari, apabila ada masalah baru, dia akan menggunakan orangtuanya sebagai ‘senjata’ atau ‘tameng’ untuk tidak mengikuti perkataan gurunya.  Hal ini bisa terjadi terutama pada anak-anak yang lebih besar. Jika secara umum para guru mengalami keadaan di mana para orang tua justru tidak kooperatif dengan upaya pihak sekolah untuk mendidik anak-anak mereka, mungkin ada baiknya diadakan pertemuan antara para murid, guru, kepala sekolah dan hal-hal semacam ini dapat dibicarakan dengan baik, sehingga dapat terjadi rasa saling pengertian di antara semua pihak.
  3. Ada baiknya juga dari pihak sekolah untuk melaporkan apa yang terjadi di sekolah kepada orang tua, lewat surat, telpon atau e-mail; sebelum anak tersebut pulang ke sekolah. Kadangkala, jika diperlukan malah orangtua harus dipanggil ke sekolah untuk bertemu/ berkomunikasi langsung dengan guru yang bersangkutan. Komunikasi yang terbuka antara pihak sekolah dan orang tua harus selalu diusahakan, agar terbentuk rasa saling percaya, dan kerjasama yang efektif di antara orangtua dan pihak sekolah.
  4. Orangtua harus menerapkan disiplin yang benar, efektif dan konsisten di rumah. Misalnya sehubungan dengan waktu tidur malam yang cukup banyak bagi anak. Tidur malam penting sekali bagi anak sekolah, karena mempengaruhi kelakuan anak di esok harinya, dan prestasi belajarnya.  Kalau seorang anak dibiasakan tidur terlalu malam, ia akan terlalu lelah besoknya, cenderung lebih emosional (gampang kesal, marah, atau menjadi ‘trouble-maker’ di sekolah).  Lebih lagi, ia akan tidak fokus dalam pelajaran (karena lelah), tidak mau melakukan pekerjaan sekolahnya dengan seksama, dll.

Hal lain yang penting untuk dikontrol adalah pengaruh rekreasi media di rumah, seperti TV, video game dan penggunaan telepon.  Waktu istirahat yang dihabiskan di depan media seperti ini sifatnya counter productive. Penggunaan alat-alat semacam ini dalam  jangka waktu yang lama, akan membawa pengaruh bagi anak-anak, terutama membuat anak-anak menjadi malas berpikir, membuat perilaku jadi hyper-active, dan menurunkan kreativitas / daya imajinasi anak.

Contoh cara menumbuhkan rasa kasih persaudaraan

Rasa kasih persaudaraan sesama murid bisa ditanamkan dengan banyak cara.  Berikut adalah beberapa contoh yang mudah untuk dilakukan:

  1. Kalau ada murid yang sakit, guru dapat mengkoordinasikan agar teman-teman sekelasnya dapat mengirimi kartu sederhana yang ditandatangani oleh mereka, dengan ucapan singkat yang membangun semangat, seperti:  semoga cempat sembuh, we miss you, dll.  Waktu doa pagi di kelas tersebut, bisa juga mendoakan murid/ guru yang sedang sakit. Kalau sakitnya berat, bisa didoakan di bagian doa umat dalam perayaan Misa Kudus.
  2. Pada waktu istirahat main, dapat diadakan permainan yang menyangkut banyak anak, seperti team work, untuk menjalin kerjasama dan kekompakan.
  3. Beberapa perkerjaan sekolah sebaiknya dilakukan di dalam kelompok.  Misalnya, dekorasi untuk perayaan tertentu, perkerjaan ketrampilan, pertunjukan musik/drama, dll.
  4. Melakukan perkerjaan sosial secara bersama-sama, misalnya: membuat selimut untuk orang yang berkekurangan, membersihkan gereja, membuat paket Natal atau Paska untuk anak-anak panti asuhan, dll.

St. Adalbert School’s Achievements

  1. Tahun 2012 – 2013 : St. Adalbert school menerima penghargaan khusus dari Keuskupan; se bagai satu di antara tujuh sekolah terbaik “Top Winning Schools” di Keuskupan Agung  LaCrosse, Wisconsin; dari segi akademis dan kualitas pendidikan.
  2. Tahun 2012 – 2013 : St. Adalbert school meraih nilai yang sangat tinggi dari national test score (ITBS score), 96% percentile untuk seluruh mata pelajaran yang diberikan (Top 4% dari seluruh sekolah di Amerika).  Bisa dilihat berita ‘press release’ di bawah artikel ini, yang dipublikasikan di media setempat.

Marilah kita terus berusaha untuk memperbaiki keadaan pendidikan di masyarakat, terutama di sekolah Katolik untuk menjadi lebih baik, sesuai dengan gambaran dan ajaran Gereja Katolik.  Pendidikan adalah masa depan suatu bangsa, dan masa depan Gereja.

 

Ditulis oleh :

Maria Natalia Brownell, M.S, MTS
seorang istri dan ibu dari lima orang anak
High School Mathematics and Chemistry Instructor, Curriculum Coordinator,
Education Committee member of St. Adalbert Catholic School in Rosholt, Wisconsin, USA
Adjuct Faculty, Northcentral Technical College
Wisconsin Certified Technical College Instructor for Mathematics and Chemistry

_____________________________________________________________________________

Saint Adalbert ITBS ScoresTop National Average for the entire School

Rosholt, WI – Saint Adalbert students once again topped national averages on the Iowa Tests of Basic Skills (ITBS) and posted increases in percentile rank scores for the third straight year (see Figure I). The ITBS is administered in November of each year to students in grades K through 8 and provides a measuring stick for how Saint Adalbert students compare to other students across the country taking the same test.  The entire school scored extremely well on this test putting Saint Adalbert students in the top 4% of all students across the nation!  The Science test scores for the school put Saint Adalbert in the top 2% of all students across the nation for Science. Only 7 out of every 1,000 schools in the country scored better in science than the St. Adalbert Students.

These composite percentile scores represent an eight percentage point increase for the composite of the entire school over the 2012 scores and a 6 percentage point increase over previous high score from 2011.

Administration of the ITBS allows the school to compare the performance of its students to that of other students across the nation who took the same test at the same time of year. ITBS results are particularly helpful in identifying reading or math skills where students may need additional instruction; by administering the test in the fall, teachers have time to adjust the curriculum in areas that need additional work.

Core subjects tested by the ITBS include Reading, Language Arts, and Math.  The 2012-2013 scores showed a significant increase in all of these core learning areas, making Saint Adalbert the top Catholic School in Portage county! Saint Adalbert can also be compared to the local public school test scores by going on the Wisconsin DPI website.

The ITBS is a norm-referenced test that ranks student performance according to percentiles. For example, a student in the 75th percentile scored equal to or better than 75 percent of all students across the nation who participated in the ITBS at the same grade level. Also reported are grade equivalents, or GE scores. The numbers in the GE score that come before the decimal represent the grade level of the student’s performance, while the digits that follow the decimal represent the month within the grade. A GE score of 5.2 means the student’s performance was similar to that expected of a fifth grader taking the same test during the second month of school.  Saint Adalbert Students, on average, scored 1-2 grades higher in K-4 and 2-4 grades higher in grades 5-8 than the comparison students around the nation.

Para bapa adalah imam dalam keluarga?

15

Kitab Perjanjian Lama mencatat bahwa di zaman Patriarkh bangsa Israel, ayah/ kepala keluarga bertindak sebagai imam bagi keluarganya, dengan mempersembahkan kurban (lih. Kej 8:20;12:7; Ayb 1:5). Peran bapa dan imam merupakan dua peran yang berhubungan satu sama lain (lih. Hak 17:10;18:19). Maka Kitab Suci mencatat adanya peran imam dan bapa dalam lingkup keluarga (yaitu para bapa), maupun imam dan bapa dalam lingkup bangsa Israel, yang dilakukan oleh mereka yang menjabat sebagai imam, yaitu mereka yang berasal dari keluarga/ keturunan Harun dan suku Lewi (Kel 19:22, 29:1-37; 40:12, Im 8:1-36).

Dalam Perjanjian Baru, kita semua melalui sakramen Pembaptisan mengambil bagian dalam ketiga misi Kristus, sebagai imam, nabi dan raja (lih. KGK 783). Artinya kita semua yang dibaptis memperoleh peran imamat bersama (lih. 1 Pet 2:9); walaupun peran ini tidak meniadakan adanya peran imamat jabatan. Imamat bersama ini dilaksanakan dalam keluarga dengan menyambut sakramen-sakramen Gereja. Namun dalam kesehariannya, orang tua (secara khusus bapa) menjalankan peran sebagai imam dalam keluarga, yang adalah Gereja rumah tangga (ecclesia domestica).

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan tentang hal ini:

KGK 783    Yesus Kristus diurapi oleh Bapa dengan Roh Kudus dan dijadikan “imam, nabi, dan raja“. Seluruh Umat Allah mengambil bagian dalam ketiga jabatan Kristus ini, dan bertanggung jawab untuk perutusan dan pelayanan yang keluar darinya (Bdk. RH 18-21).

KGK 784    Siapa yang oleh iman dan Pembaptisan masuk ke dalam Umat Allah, mendapat bagian dalam panggilan khusus umat ini ialah panggilannya sebagai imam. “Kristus Tuhan, Imam Agung yang dipilih dari antara manusia (lih. Ibr 5:1-5), menjadikan umat baru kerajaan dan imam-imam bagi Allah dan Bapa-Nya (Why 1:6; lih. 5:9- 10). Sebab mereka yang dibaptis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh Kudus disucikan menjadi kediaman rohani dan imamat suci” (LG 10).

KGK 1656    Dewasa ini, di suatu dunia yang sering kali berada jauh dari iman atau malahan bermusuhan, keluarga-keluarga Kristen itu sangat penting sebagai pusat suatu iman yang hidup dan meyakinkan. Karena itu Konsili Vatikan II menamakan keluarga menurut sebuah ungkapan tua “Ecclesia domestica” [Gereja-rumah tangga] (LG 11, Bdk. FC 21). Dalam pangkuan keluarga “hendaknya orang-tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani” (LG 11,2).

KGK 1657    Disini dilaksanakan imamat yang diterima melalui Pembaptisan, yaitu imamat bapa keluarga, ibu, anak-anak, semua anggota keluarga atas cara yang paling indah “dalam menyambut Sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif” (LG 10). Dengan demikian keluarga adalah sekolah kehidupan Kristen yang pertama dan “suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan” (GS 52,1). Di sini orang belajar ketabahan dan kegembiraan dalam pekerjaan, cinta saudara sekandung, pengampunan dengan jiwa besar, malahan berkali-kali dan terutama pengabdian kepada Allah dalam doa dan dalam penyerahan hidup.

St. Thomas Aquinas, sebagaimana dikutip oleh Paus Yohanes Paulus II juga mengajarkan akan peran imamat orang tua (bapa dan ibu) dalam keluarga:

“Betapa besarlah dan agungnya pelayanan pendidikan dari para orang tua Kristiani sehingga St. Thomas tidak ragu membandingkannya dengan pelayanan para imam: “Sejumlah orang meneruskan dan membimbing kehidupan rohani dengan pelayanan rohani: ini adalah peran sakramen Tahbisan suci; sejumlah orang lainnya melakukan hal ini bagi kehidupan jasmani dan rohani dan ini diwujudkan dengan sakramen Perkawinan, yang dengannya seorang pria dan wanita bersatu untuk melahirkan keturunan dan mendidik mereka dalam penyembahan kepada Tuhan.” (Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostolik Familiaris Consortio, 38)

Selanjutnya, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:

“…. Hanya dengan berdoa bersama dengan anak-anak mereka, seorang bapa dan ibu -yang melaksanakan peran agung imamat mereka – dapat menembus kedalaman hati anak-anak mereka yang terdalam dan meninggalkan kesan yang tak dapat terhapuskan oleh kejadian-kejadian yang akan mereka alami dalam hidup mereka. Mari mendengarkan kembali himbauan Paus Paulus VI kepada para orang tua: “Para ibu, apakah engkau mengajarkan anak-anakmu doa-doa Kristiani? Apakah engkau mempersiapakan mereka, bersama dengan para imam, bagi sakramen-sakramen yang mereka terima di saat mereka muda: Pengakuan Dosa, Komuni, dan Penguatan? Apakah engkau menguatkan mereka ketika mereka sakit untuk merenungkan penderitaan Kristus, untuk memohon pertolongan dari Perawan Maria yang terberkati dan para orang kudus? Apakah kalian berdoa rosario bersama? Apakah engkau, para bapa, berdoa dengan anak-anakmu, dan dengan seluruh komunitas rumah tangga…? Teladan kejujuranmu dalam pikiran dan tindakan, yang disatukan dengan doa bersama, adalah pelajaran kehidupan, sebuah tindakan penyembahan yang tidak tertandingi…. (Familiaris Consortio, 60)

Nah, maka memang baik bapa dan ibu melaksanakan tugas imamat bersama dalam keluarga, dengan mendidik anak-anak dalam iman. Bahwa bapa memiliki peran yang khusus dalam keluarga sehingga disebut ‘imam dalam keluarga’ itu berhubungan dengan fakta bahwa seorang bapa adalah kepala rumah tangga (suami adalah kepala istri 1 Kor 11:3); dan bahwa peran bapa-lah yang sering dihubungkan dengan peran imam dalam Kitab Suci (lih. Hak 17:10;18:19), sebagaimana telah disebutkan di atas.

Mengapa Gereja Katolik Menentang ‘Perkawinan’ Homoseksual?

13

Gereja Katolik mengajarkan bahwa perkawinan bukan merupakan hubungan ‘apa saja’ antara manusia. Perkawinan ditentukan oleh Allah Sang Pencipta dengan kodratnya tersendiri, dengan sifat-sifat dan maksudnya yang hakiki (lih. Gaudium et Spes 48). Maka perkawinan hanya dapat diadakan antara seorang pria dan seorang wanita, yang dengan saling memberikan diri yang sepantasnya dan eksklusif hanya antara mereka berdua, mengarah kepada persekutuan pribadi mereka. Dengan cara ini, mereka saling menyempurnakan dalam rangka bekerjasama dengan Tuhan di dalam penciptaan dan pengasuhan (upbringing) kehidupan-kehidupan manusia yang baru.

Berikut ini adalah ringkasan dari dokumen yang dikeluarkan oleh Kongrgasi Ajaran Iman tentang beberapa pertimbangan mengapa Gereja tidak menyetujui pengakuan legal/ hukum terhadap ‘perkawinan’ homoseksual (homosexual union), untuk teks selengkapnya, klik di sini:

1. Perkawinan ditentukan oleh Allah dengan kodrat, sifat dan esensi tertentu

Gereja Katolik mengajarkan bahwa perkawinan bukanlah hanya terbatas pada hubungan antara manusia, namun hubungan yang ditentukan oleh Sang Pencipta dengan kodrat tertentu, dengan sifat esensi dan maksud yang tertentu. (#2)

Perkawinan dimaksudkan Allah agar pasangan manusia itu -yaitu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan- mengambil bagian dalam karya penciptaan Tuhan dan pendidikan/pengasuhan kehidupan baru. (#2)

2. Tiga elemen dasar perkawinan menurut rencana Tuhan

Tiga prinsip dasar tentang rencana Allah untuk perkawinan adalah (#3)

1. Manusia sebagai gambaran Allah, diciptakan “laki-laki dan perempuan” (Kej 1:27).

Pria dan wanita adalah sama sebagai pribadi dan saling melengkapi sebagai laki-laki dan perempuan. Seksualitas adalah sesuatu yang tidak hanya berhubungan dengan hal fisik dan biologi, tetapi telah diangkat ke tingkat ‘pribadi’, di mana kodrat dan roh disatukan.

2. Perkawinan ditetapkan oleh Tuhan sebagai bentuk kehidupan di mana sebuah persekutuan pribadi dinyatakan dengan melibatkan kemampuan seksual.

“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej 2:24)

3. Tuhan telah menghendaki untuk memberikan kepada persatuan antara pria dan wanita sebuah partisipasi/ kerjasama yang istimewa di dalam karya penciptaan-Nya.

Oleh karena itu Allah memberkati pria dan wanita dengan perkataan, “Beranakcuculah dan bertambah banyak” (Kej 1:28). Dengan demikian, di dalam rencana Tuhan, kodrat perkawinan adalah saling melengkapi dalam hal seksual dan kemampuan berkembang biak. Persatuan homoseksual tidak dapat memberikan kontribusi yang layak terhadap prokreasi dan kelanjutan generasi umat manusia (survival of the human race).

Selanjutnya, persatuan perkawinan antara pria dan wanita telah diangkat oleh Kristus ke martabat sakramen. Gereja mengajarkan bahwa perkawinan Kristiani adalah tanda yang nyata akan perjanjian Kristus dan Gereja (lih. Ef 5:32). Makna Kristiani tentang perkawinan meneguhkan dan memperkuat persatuan perkawinan antara pria dan wanita.

3.Perbuatan homoseksual adalah perbuatan yang menyimpang

Kitab Suci mengecam perbuatan homoseksual (lih. Rm 1:24-27, 1Kor 6:10; 1Tim 1:10), karena secara mendasar perbuatan itu menyimpang. Ajaran Kitab Suci ini tentu tidak memperbolehkan kita untuk menyimpulkan bahwa mereka yang mengalami kecenderungan homoseksual ini bertanggungjawab untuk keadaan yang khusus ini, tetapi ajaran ini menyatakan bahwa tindakan-tindakan homoseksual secara mendasar menyimpang.” (CDF, Deklarasi, Persona Humana (29 Desember, 1975), 8). Ketetapan moral ini ditemukan di banyak tulisan Kristen di abad-abad awal ((lih. contohnya, St. Polycarp, Letter to the Philippians, V, 3; At. Justin Martyr, First Apology, 27, 1-4; Athenagoras, Supplication for the Christians, 34)) dan secara mutlak disetujui dan diterima oleh Tradisi Katolik. Perkawinan adalah kudus, sedangkan tindakan homoseksual menentang kodrat hukum moral. Tindakan-tindakan homoseksual “melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan. Perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual. Bagaimanapun perbuatan itu tidak dapat dibenarkan.” (Katekismus Gereja Katolik 2357).

Namun demikian, menurut ajaran Gereja, mereka yang mempunyai kecenderungan homoseksual harus diterima dengan hormat, dengan belas kasih dan dengan sensitivitas. Setiap tanda diskriminasi yang tidak adil yang dikarenakan oleh kecenderungan tersebut harus dihindari. “Mereka harus dilayani dengan hormat, dengan kasih sayang dan dengan biiaksana. Orang jangan memojokkan mereka dengan salah satu cara yang tidak adil.” (KGK 2358). Mereka, seperti halnya semua umat beriman, dipanggil untuk hidup murni, namun kecenderungan homoseksual tetaplah menyimpang (KGK 2358) dan perbuatan homoseksual adalah dosa melawan kemurnian (KGK 2396). (#4) Dengan demikian, tidak ada dasar untuk mempertimbangkan persatuan homoseksual sebagai sesuatu yang mirip ataupun bahkan sedikit menyerupai gambaran rencana Tuhan untuk perkawinan dan keluarga.

4. Sikap Gereja: menolak perbuatan homoseksual, namun menolak diskriminasi terhadap kaum homoseksual

Sikap yang diajarkan Gereja adalah: menolak untuk menyetujui perbuatan-perbuatan homoseksual, namun juga menolak diskriminasi yang tidak adil terhadap mereka yang mempunyai kecenderungan homoseksual. (#5)

Gereja mengajarkan bahwa penghormatan kepada orang- orang yang homoseksual tidak dapat mengarah kepada menyetujui tindakan homoseksual atau kepada pengakuan persatuan homoseksual (homosexual union) secara hukum. Kesejahteraan umum mensyaratkan bahwa hukum mengenali, mendukung dan melindungi perkawinan sebagai dasar keluarga, unit terkecil dalam masyarakat. Pengakuan secara hukum akan persatuan homoseksual atau penempatan hal itu sejajar dengan perkawinan akan berarti tidak saja sebagai pengakuan akan tindakan/pola tingkah laku yang menyimpang tersebut, tetapi juga menghalangi nilai- nilai dasar yang menjadi warisan bersama umat manusia. Gereja tidak dapat gagal untuk mempertahankan nilai- nilai ini, demi kebaikan para pria dan wanita dan demi kebaikan masyarakat itu sendiri.

Di area di mana ‘perkawinan’ homoseksual dilegalkan, maka oposisi yang jelas merupakan tugas semua umat Katolik. Seorang Katolik harus menghindari kerjasama formal untuk pelaksanaan/ penerapan hukum itu, sedapat mungkin, juga menghindari kerjasama secara material, di tingkat penerapannya.

5. Hukum yang melegalkan ‘perkawinan’ homoseksual tidak sejalan dengan akal budi yang benar

Hukum yang melegalkan ‘perkawinan’ homoseksual tidak sejalan dengan akal budi yang benar/ adil, sebab hukum itu memberi jaminan hukum terhadap hubungan sesama jenis seperti kepada pria dan wanita yang menikah, dan dengan demikian mengaburkan nilai-nilai moral dasar tertentu dan memerosotkan makna perkawinan. (#6)

Kesatuan homoseksual kekurangan dalam hal biologis dan anthropologis bagi perkawinan, yang menjadi dasar, diberikannya jaminan pengakuan legal/ hukum. Sebab ‘perkawinan’ sesama jenis tidak dapat memberikan kontribusi yang selayaknya bagi pro-kreasi dan survival suatu suku bangsa manusia, sebab tidak ada kemungkinan meneruskan kehidupan baru. (#7)

Pengalaman menunjukkan dari ‘perkawinan’ ini, terjadi hambatan bagi perkembangan anak-anak yang ada dalam asuhan mereka, karena mereka kekurangan figur kebapaan atau figur keibuan. Memperbolehkan mereka mengadopsi anak-anak, sesungguhnya merupakan tindakan yang melukai anak-anak tersebut, sebab menjadi tidak kondusif bagi perkembangan anak-anak tersebut secara utuh. (#7)

6. Konsekuensi pengakuan hukum perkawinan homoseksual dapat berpengaruh negatif terhadap kepentingan bersama

Konsekuensi dari pengakuan hukum terhadap perkawinan homoseksual adalah perubahan definisi perkawinan yang dapat berpengaruh negatif terhadap kepentingan bersama, terhadap perkembangan kemasyarakatan yang layak. (#8)

7. Pengakuan hukum perkawinan homoseksual tidak sama dengan pengakuan terhadap hak-hak sebagai warganegara

Tidaklah valid argumen yang mengatakan pengakuan hukum dari ‘perkawinan’ homoseksual adalah agar mereka diakui haknya sebagai warganegara. Sebab kenyataannya, mereka akan tetap dapat menggunakan hak-hak mereka menurut hukum sebagaimana para warganegara lainnya atas dasar otonomi pribadi. (#9)

8.  Semua umat Katolik berkewajiban menentang pengakuan hukum terhadap perkawinan sesama jenis

Semua umat Katolik berkewajiban untuk menentang pengakuan legal/ hukum terhadap ‘perkawinan’ sesama jenis (homosexual union), dan tokoh politik Katolik berkewajiban untuk melakukannya dengan cara yang khusus sesuai dengan tanggungjawab mereka sebagai seorang tokoh politik. (#10)

9. Penghormatan kepada kaum homoseksual tidak dapat mengarah kepada persetujuan terhadap prilaku homoseksual ataupun pengakuan hukum terhadap perkawinan homoseksual

Gereja mengajarkan bahwa penghormatan kepada orang-orang yang mempunyai kecenderungan homoseksual tidak dapat mengarah kepada persetujuan terhadap prilaku homoseksual ataupun pengakuan legal/ hukum terhadap ‘perkawinan’ sesama jenis (homosexual union). Pengakuan hukum terhadap ‘perkawinan’ homoseksual atau menempatkan hubungan tersebut setingkat dengan perkawinan [heteroseksual], berarti tidak saja persetujuan terhadap prilaku yang menyimpang, dengan konsekuensi menjadikannya model bagi masyarakat sekarang, tetapi juga akan mengaburkan nilai-nilai dasar yang menjadi warisan bersama umat manusia. Gereja tidak dapat gagal untuk mempertahankan nilai-nilai ini, demi kebaikan para laki-laki maupun perempuan, dan demi kebaikan masyarakat itu sendiri. (#11)

Sumber:
Diterjemahkan dan disarikan dari dokumen CDF (Congregation for the Doctrine of the Faith, Considerations regarding Proposals to Give Legal Recognition to Unions between Homosexual Persons). Dokumen tersebut disetujui oleh Paus Yohanes Paulus II, pada audiensi tanggal 28 Maret 2003.

Patokan bagi Para Katekis

1

Dewasa ini para katekis memainkan peran yang sangat penting dalam hal evangelisasi. Paus Yohanes Paulus II menegaskan tentang hal ini dalam surat ensikliknya Redemptoris Missio, dan dalam pesannya kepada Plenary Assembly, mengatakan bahwa dalam daerah-daerah misi, peran katekis merupakan sesuatu kontribusi yang mutlak dan penting untuk penyebaran iman dan Gereja. ((lih. Ad Gentes 17))

The Congregation for the Evangelization of Peoples (CEP) mempunyai perhatian tentang para katekis, dan mengeluarkan dokumen yang berjudul, Guide for Catechists (GC), 1993, untuk teks selengkapnya dalam bahasa Inggris, klik di sini. Berikut ini adalah ringkasannya:

1. Katekis: mempersiapkan para katekumen dan pertumbuhan iman mereka

CEP mengakui adanya ke-efektifan keberadaan para katekis awam. Mereka berperan untuk mempersiapkan para katekumen untuk menerima Baptisan dan bertumbuh di dalam hidup Kristiani melalui penyampaian ketentuan-ketentuan religius, persiapan sakramen, doa dan perbuatan kasih.

2. Asal usul panggilan sebagai seorang katekis

Asal usul panggilan sebagai seorang katekis adalah panggilan dari Roh Kudus yang mereka terima dalam sakramen Baptis dan Krisma. ((lih KGK 900)) Atas panggilan ini umat beriman dapat terpanggil untuk turut membangun Gereja dan melibatkan diri dalam kegiatan misi.

3. Katekis: anggota Gereja dengan formasi yang layak dan teladan iman

Melalui pewartaan ajaran Kristiani, pendampingan kepada para katekumen dan mereka yang baru saja dibaptis menuju kedewasaan iman Kristiani, peran para katekis mencakup kehadiran maupun kesaksian hidup, dan keterlibatan mereka dalam perkembangan iman, inkulturasi dan dialog, sehingga nilai-nilai Injil dapat tertanam di daerah misi tersebut. ((lih. GC, 3))

Paus Yohanes Paulus dalam surat Ensikliknya, Redemptoris Missio, menyebutkan bahwa “para katekis adalah “para pekerja yang khusus, para saksi iman yang langsung, para evangelis yang tak tergantikan, yang mewakili kekuatan dasar komunitas Kristiani ….” Kitab Hukum Kanonik menyebutkan bahwa para katekis adalah “anggota umat beriman yang telah menerima formasi yang layak, dan teladan dalam hal menghidupi kehidupan Kristiani. Di bawah arahan para misionaris, mereka menghadirkan Injil dan terlibat dalam penyembahan liturgi dan karya belas kasih.” ((GC 3))

4. Katekis: pendidik iman yang juga adalah saksi iman

Para katekis bertugas untuk mendidik para katekumen untuk menerima sakramen inisiasi, baik kepada orang muda, maupun dewasa; membantu mengadakan retret maupun pertemuan sehubungan dengan katekese. Para katekis dapat terdiri dari orang tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, dan ini berpengaruh kepada penugasan mereka…. Orang-orang dewasa yang menikah yang menjadi katekis memberikan kesaksian tentang nilai-nilai perkawinan Kristiani. ((lih. GC 4))

5. Walaupun jumlah katekis tidak banyak, namun tetap kualitas katekis perlu dicapai

Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Untuk pelayanan pengabaran Injil yang mendasar, diperlukan jumlah pekerja. Namun demikian, walau kita berusaha mencapai jumlah katekis, kita tetap harus berusaha untuk mencapai kualitas para katekis. ((lih. GC 5, 17))

Paus mengatakan bahwa: “Seorang misionaris yang sejati adalah seorang yang kudus”, dapat diterapkan kepada seorang katekis. Seperti setiap anggota jemaat, para katekis “dipanggil kepada kekudusan dan misi”, yaitu untuk menghidupi panggilan hidup mereka “dengan semangat para santo/a”….Bagi para katekis yang menikah, kehidupan perkawinan mereka merupakan satu kesatuan dengan kehidupan rohani mereka. Para katekis yang menikah diharapkan untuk memberikan kesaksian secara terus menerus terhadap nilai Kristiani tentang perkawinan, menghidupi sakramen dalam kesetiaan penuh dan mendidik anak-anak mereka, dengan penuh tanggung jawab.” ((lih. GC 6))

6. Katekis: menunjukkan kesesuaian dan kesejatian hidup

Karya para katekis melibatkan keseluruhan diri mereka. Sebelum mereka mengajarkan Sabda Allah, mereka harus memilikinya sendiri dan hidup sesuai dengan Sabda-Nya. Kebenaran hidup mereka meneguhkan pesan yang mereka ajarkan. Adalah sesuatu yang menyedihkan, jika mereka tidak “melaksanakan apa yang mereka ajarkan” dan mereka mewartakan Tuhan yang mereka ketahui secara teoritis, tetapi yang dengan-Nya mereka tidak mempunyai kontak sama sekali. ((lih. GC 8))

7. Katekis: mempunyai semangat misioner

Para katekis diharapkan juga untuk mempunyai semangat misioner untuk memperkenalkan Kristus kepada mereka yang belum mengenal-Nya. Dengan demikian mereka menjadi perpanjangan tangan Kristus yang berkehendak menjangkau mereka ke dalam kawanan domba-Nya (lih. Yoh 10:16); dan dengan demikian melaksanakan kehendak Yesus agar Injil diwartakan kepada segenap mahluk (lih. Mrk 16:15). Para katekis diundang untuk mempunyai semangat seperti Rasul Petrus dan Paulus, yang tak dapat berbuat lain kecuali mewartakan Kristus (lih. Kis 4:20), sebab “kasih-Nya menguasai kami” (2 Kor 5:14). Maka para katekis harus mempunyai semangat misionaris yang tinggi, yaitu semangat yang lebih efektif jika mereka yakin tentang apa yang mereka wartakan, mereka antusias dan berani, tanpa malu mewartakan Injil (lih. Rm 1:16). Sebab dari pengenalan akan Kristus muncullah hasrat untuk mewartakan Dia, agar semakin banyak orang menerima Kristus dan mengimani-Nya.

Para katekis dipanggil untuk menjadi gembala yang mencari dombanya yang sesat sampai menemukannya (lih. Luk 15:4), atau seorang wanita yang mencari koinnya yang hilang sampai menemukannya kembali (Luk 15:8). Atau seperti Rasul Paulus, mau mengusahakan berbagai cara untuk memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus (lih. 1Kor 9:22-23; 2Kor 12:15), dan menganggap bahwa pewartaan Injil merupakan suatu keharusan (lih. 2Kor 9:16).

Akhirnya, otentisitas dari semangat misioner adalah semangat salib. Sebab Kristus yang diwartakan, adalah Kristus yang disalibkan (1Kor 2:2), yang menjadi batu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang Yunani (1Kor 1:23), tetapi juga adalah Kristus yang bangkit pada hari ketiga (lih. Kis 10:40); sehingga Kristus yang tersalib ini menunjukkan hikmat dan kekuatan Tuhan (lih. 1Kor 1:24). Maka misteri kematian dan kebangkitan Kristus ini yang harus diwartakan agar menjiwai kehidupan umat beriman, menjadi kekuatan di saat menghadapi kesulitan, penderitaan, masalah keluarga, hambatan-hambatan dalam karya kerasulan tatkala mereka berjuang untuk mengikuti Kristus. Dengan demikian para katekis mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, demi Tubuh-Nya, yaitu Gereja (lih. Kol 1:24). ((lih. GC 9))

8. Kriteria dasar katekis: iman yang dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari

Ketentuan umum untuk kriteria dasar sebagai  seorang katekis adalah bahwa ia mempunyai motivasi yang positif, bukan sekedar melakukan pekerjaan itu karena tidak ada lagi pekerjaan lain. Kualitas positif yang harus dimilikinya adalah bahwa mereka mewujudkan iman dalam kesalehan dan kehidupan mereka sehari-hari; dalam kasih kepada Gereja dan persekutuan dengan para imam, mempunyai semangat kerasulan dan misionaris, kasih kepada sesama saudara dan keinginan untuk melayani dengan murah hati, mempunyai pendidikan yang cukup; menghormati komunitas, dan memiliki kualitas yang disyaratkan sebagi seorang katekis: dalam hal kemanusiaan, moral dan teknis, seperti pribadi yang dinamis, mampu berelasi yang baik dengan sesama, dst. ((lih. GC 18))

9. Formasi umum dan khusus bagi para katekis

Dokumen Magisterium mensyaratkan formasi secara umum maupun khusus bagi para katekis. Secara umum: mempunyai karakter dan kepribadian yang sesuai, yang perlu terus dikembangkan; dan secara khusus, formasi untuk tugas-tugas tertentu yang perlu ditambahkan, seperti mewarta baik kepada sesama umat Kristiani ataupun yang non-Kristiani, kemampuan untuk memimpin komunitas, memimpin doa-doa liturgis, membantu di berbagai hal dalam hal rohani maupun jasmani. Paus Yohanes Paulus II mengatakan: “Mencanangkan standar yang tinggi maksudnya adalah menyediakan pelatihan mendasar dan menjadikannya terus ‘updated’. Ini adalah tugas mendasar, agar menjamin orang-orang yang berkualitas bagi misi Gereja, dengan pelatihan yang baik, mencakup formasi manusiawi, rohani, doktrin, kerasulan dan profesional.” ((GC 19))

10. Dasar formasi katekis yang terpenting: kehidupan rohani yang mendalam

Untuk dapat mendidik orang lain tentang iman, para katekis sendiri harus mempunyai kehidupan rohani yang mendalam. Ini adalah aspek yang terpenting dari kepribadian para katekis, dan karena itumerupakan hal yang terpenting dalam formasi katekis (baik katekis full-time/ purna waktu maupun katekis paruh waktu). Katekis yang sejati adalah seorang yang kudus. ((GC 22))

Cara yang terbaik untuk mencapai kedewasaan rohani adalah kehidupan sakramental dan kehidupan doa yang mendalam, yang diperoleh melalui:

1. penerimaan Ekaristi yang regular, bahkan setiap hari, untuk meimba kekuatan dari Kristus Sang Roti Hidup (Yoh 6:34), untuk membentuk satu tubuh dengan komunitas (lih. 1 Kor 10:17) dan untuk menawarkan dirinya kepada Allah Bapa bersama dengan Tubuh dan Darah Kristus.

2. menghidupi liturgi dalam dimensinya yang beragam bagi pertumbuhan pribadi dan untuk membantu komunitas.

3. mendaraskan sebagian dari Doa Ibadat Harian (doa the Divine Office/ doa brevier), terutama Doa pagi/ Lauds dan Dosa sore/ Vespers dalam kesatuan dengan pujian Gereja setiap hari kepada Allah Bapa, “dari terbitnya matahari sampai terbenamnya” (Mzm 113:3).

4. melakukan meditasi harian, terutama tentang sabda Tuhan, dalam sikap kontemplatif dan responsif. Pengalaman menunjukkan bahwa bagi kaum awam, meditasi yang teratur dan lectio divina memberikan keteraturan hidup dan menjamin pertumbuhan rohani.

5. berdoa pribadi, menjamin hubungan dengan Tuhan di sepanjang pekerjaan sehari-hari, dengan perhatian khusus kepada doa-doa devosi kepada Bunda Maria.

6. penerimaan sakramen Pengkuan dosa secara sering, dan teratur, meminta ampun untuk segala kesalahan dan memperbaharui semangat.

7. mengikuti retret rohani untuk pembaruan pribadi maupun komunitas.

Melalui kehidupan doa, para katekis memperkaya kehidupan rohani dan mencapai kedewasaan rohani yang disyaratkan bagi peran mereka. Doa sangat diperlukan agar pelayanan mereka berbuah, sebab penyampaian iman Kristiani lebih bergantung kepada rahmat Tuhan yang bekerja di dalam hati para pendengarnya daripada kepada kemampuan sang katekis itu sendiri.

11. Formasi doktrinal: pelatihan tentang doktrin Gereja.

Perlunya pelatihan tentang doktrin bagitu nyata, sebab para katekis harus pertama-tama memahami hakekat ajaran Kristiani dengan jelas -tanpa kesalahan maupun pengurangan- sebelum mereka menyampaikannya kepada orang lain.

Penting disebut di sini bahwa pemahaman akan Katekismus Gereja Katolik merupakan persiapan katekis secara doktrinal. Sebab dalam Katekismus terdapat sintesis yang sistematik tentang Wahyu Allah dan iman Katolik yang diimani Gereja di sepanjang sejarahnya, sebagaimana yang diajarkan oleh Gereja. ((lih. GC 23))

12. Formasi misioner: bagaimana mempersembahkan diri bagi karya kerasulan awam

Para katekis harus diajarkan, baik secara teoretis maupun praktek, tentang bagaimana mempersembahkan diri mereka sebagai kaum awam Kristiani bagi karya kerasulan: ((GC 25))

1. Aktif dalam kemasyarakatan, menawarkan kesaksian hidup sebagai seorang Kristiani yang sejati, berdialog dengan orang lain, terlibat dalam karya cinta kasih.

2. Mewartakan dengan berani kebenaran tentang Kristus dan Putera-Nya Yesus Kristus (lih. Kis 4:13; 28:31), yang diutus ke dunia bagi keselamatan semua umat manusia (lih.2Tim 1:9-10), sehingga semua orang dapat terbuka kepada Roh Kudus (lih. Kis 16:14), dan mereka dapat menjadi percaya.

3. Berdialog dengan mereka yang berbeda agama, dengan semangat keterbukaan dan dialog.

4. Memperkenalkan para katekumen misteri keselamatan dan pelaksanaan norma-norma kebajikan Injil, dan kehidupan religius, liturgis dan komunitas Umat Tuhan.

5. Membangun komunitas dan membantu para kandidat (katekumen) untuk penerimaan Baptisan dan sakramen lainnya untuk inisiasi Kristen.

6. Dalam arahan para imam dan dalam kerjasama dengan semua umat beriman, memenuhi tugas-tugas itu, demi kemajuan Gereja.

Maka para katekis yang misioner akan menjadi penggerak di komunitas mereka, dan mau bekerja bahkan keluar daerahnya, jika diutus oleh imam gembala mereka.

13. Sikap ketaatan kepada Gereja

Tidak boleh dilupakan adalah sikap ketaan kepada Gereja, artinya ketaatan kepada imam/ gembala mereka, dengan semangat iman, seperti yang ditunjukkan oleh Kristus yang, “mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba… dan taat sampai mati (lih. Flp 2:7-8;lih. Ibr 5:8; Rm 5:19). Ketaatan diikuti oleh tanggungjawab, sebab katekis dalam pelayanan mereka dipanggil untuk menanggapi rahmat Roh Kudus yang mempersatukan. Maka kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain di berbagai tingkatan, dalam kesatuan, adalah sangat penting. ((lih. GC 26))

14. Formasi katekis: senantiasa seterusnya (ongoing-formation)

Para katekis perlu menyadari bahwa proses formasi/ pembentukannya untuk menjadi seorang katekis tidak pernah berakhir. Sebab selalu diperlukan pembaruan semangat secara terus menerus, yang diperoleh melalui pembelajaran, doa, dan relasi dengan sesama.

Mengingat pentingnya (dan juga besarnya) tugas katekis ini, mari kita memohon kepada Tuhan agar jika Tuhan telah memanggil kita untuk tugas ini, Ia juga akan menopang kita dengan rahmat-Nya, agar kita mampu melaksanakan apa yang disyaratkan untuk menjadi seorang katekis. Mari kita berpegang kepada janji Tuhan bahwa Ia akan menyertai kita, Gereja-Nya sampai akhir zaman (lih. Mat 28:19-20) dan bahwa segala perkara yang dipercayakan-Nya kepada kita, akan dapat kita lakukan di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepada kita (lih. Flp 4:13).

Menggugat jawaban Allah

3

Seorang sahabat menggugat! Bukan kepadaku, karena aku nggak punya apa-apa seandainya kalah di pengadilan. Ia menggugat kepada Tuhan. Kasusnya kasus lama tapi jamak ditemui : merasa Tuhan tidak kunjung menjawab doanya dan memberi jalan keluar atas problema hidup. Ia telah berdoa, berusaha hidup kudus dan berusaha keras menjalankan perintah-Nya. Tapi, tiada jawaban datang. Ia marah besar. Saat menghubungiku, ia sedang di kantin gereja dan bertanya apakah perlu berdoa atau langsung pergi. Aku hanya terpikir untuk menyuruhnya masuk ke dalam dan berlutut di hadapan tabernakel, mendengarkan apa yang Yesus mau katakan sebagai jawaban atas gugatannya. Setelah melakukannya, ia lalu pergi dengan hati masih membara, berbeda dengan damai yang biasanya ia rasakan setelah ia berdoa. Aku hanya bisa mengelus dada sambil berdoa untuknya.

Apakah dia membuka hati saat berdoa? Nggak tau. Mungkin dia cuma menuntut tapi tidak berusaha mendengarkan Tuhan? Mungkin aja. Apakah dia selanjutnya akan bertindak menurut caranya sendiri? Bisa jadi. Apakah ia akan meninggalkan Yesus? Jangan dong L Begitu banyak pikiran dan kekhawatiran yang melintas. Aku tidak bisa menghakimi atau meng-audit cara dan proses doanya. Kedongkolannya pada Tuhan sungguh terasa di tiap kata-katanya hingga aku tidak akan heran jika ia mendongkol sepanjang doa. Aku percaya, seandainya dia mau membuka hati untuk mendengar, Tuhan setidaknya akan memberikan kelegaan dan kekuatan baru baginya untuk menghadapi masalah.

Dalam ensiklik terbarunya, Lumen Fidei, Paus Fransiskus menjelaskan bahwa iman terkait erat dengan harapan. Ketika seseorang percaya pada Allah, ia akan memiliki harapan kuat. Harapan yang mendorong kita melangkah menembus masalah, bahkan menjadi saksi mukjizat Allah dalam hidup bila Ia berkehendak. Iman juga tidak lepas dari pengetahuan, pengetahuan akan siapa Allah dan apa yang diperbuatNya. Dengan demikian, seseorang bisa memahami alasan dan karya Allah di balik suatu peristiwa atau masalah. Rancangan Allah bukanlah rancangan manusia, dan jelas bukan rancangan kecelakaan dan pasti lebih indah (Yes 55:8).

Akan tetapi, iman adalah pemberian Allah. Anugerah yang tidak mungkin dimiliki jika tidak diberikan Allah. Saat diberikan, iman juga dapat ditolak oleh manusia karena Allah tidak akan memaksakan kehendak pada manusia. Aku percaya bahwa hadiah Ilahi inilah yang menguatkanku menembus permasalahan dan pergumulanku sejauh ini. Hadiah Ilahi inilah yang memanggilku untuk memberikan diri sepenuhnya mengikuti Yesus. Hadiah Ilahi ini pula yang memberi kekuatan untuk percaya akan pertolongan Allah dan membuatku melihat beberapa jawaban-Nya sudah muncul dalam hidup ini. Hadiah Ilahi inilah yang diperlukan oleh sahabatku itu.

Dalam kasus ini, aku tidak akan berdiri sebagai pengacara sahabatku, yang membantu memberondongi Tuhan dengan permohonan solusi atas problemanya. Aku jelas bukan hakim, yang menghakimi sahabatku, apalagi menghakimi Tuhan atas “keterlambatan” jawaban-Nya untuk sahabatku. Aku juga belum bisa menjadi saksi karena kesaksianku akan kasih Allah masih ditolak oleh hati sahabatku yang masih dongkol. Apalagi, menjadi penonton yang tidak melakukan apapun selain menyiram bensin dalam api. Jelas tidak masuk daftar pilihan.

Aku akan menjadi penjaja gulali di depan gerbang gedung pengadilan, yang berusaha memintal gulali ketaatanku sepenuh hati sebagai persembahan pada Allah. Semoga melalui persembahan ini, sahabatku boleh mendapat anugerah iman yang membantunya percaya akan pertolongan Allah, yang akan datang tepat waktu menurut waktu-Nya.

Semoga semua orang yang sedang mengalami kesusahan tetap percaya akan pertolongan Allah dan tidak putus harapan. Amin.

Iman mempercayai apa yang engkau tidak lihat. Hadiah untuk iman ini adalah melihat  apa yang engkau percayai” – St. Agustinus dari Hippo

 

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab