Perbedaan antara ibadat dan liturgi, sebagaimana disampaikan oleh Rm. Emanuel Martasudjita, Pr. ((lih. Rm. Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hl. 28-30)), adalah:

1. Dari segi bahasa

Dari sisi bahasa, pengertian ibadat lebih luas daripada liturgi. Ibadat mencakup tindakan ungkapan iman (doa) dan sekaligus perwujudannya dalam perbuatan kasih kepada sesama; sedangkan liturgi memang hanya merupakan tindakan untuk mengungkapkan iman. Maka liturgi berhubungan dengan doa ungkapan iman kita kepada Allah.

2. Dari segi teologis

Dari sisi ini, pengertian liturgi justru lebih luas daripada ibadat. Liturgi merupakan komunikasi dua arah sekaligus yang langsung terkait; yaitu Allah yang menguduskan dan menyelamatkan manusia (‘katabatis‘= gerakan dari Allah ke manusia) dan sekaligus manusia yang menanggapi pengudusan Allah dengan memuliakan Dia (‘anabatis‘= gerakan dari manusia ke Allah). Komunikasi ini berlangsung melalui Kristus di dalam Roh Kudus. Kedua gerakan ini merupakan dua unsur yang tidak terpisahkan yang terjadi di dalam liturgi. Sedangkan dalam ibadat, penekanan lebih terletak kepada gerakan naik dari manusia ke Allah (‘anabatis‘) saja.

3. Dari segi liturgis

Liturgi selalu merupakan tindakan komunal atau tindakan bersama, yakni perayaan seluruh Gereja, bukan tindakan perayaan pribadi (lih. Sacrosanctum Concilium, 26). Liturgi merupakan perayaan yang bersifat resmi karena di dalamnya Gereja mengungkapkan hakekat dirinya secara resmi (lih. Sacrosanctum Concilium, 2). Sedangkan pengertian ibadat masih bisa mengacu kepada tindakan pribadi, dan ibadat tidak selalu pada tingkatan resmi.
Contoh liturgi adalah liturgi sakraman-sakramen; sedangkan contoh ibadat adalah ibadat sakramentali seperti ibadat pertunangan dan bermacam ibadat berkat.

Dengan memahami pengertian ini maka dapat diketahui bahwa Liturgi Sabda berbeda maknanya dengan Ibadat Sabda, sehingga persyaratannya-pun berbeda. Liturgi Sabda yang merupakan ungkapan iman Gereja secara resmi, mensyaratkan cara pengungkapannya yang sesuai dengan Tradisi Suci Gereja, yaitu dengan membacakan bacaan Kitab Suci sesuai dengan kalender liturgis Gereja, yang disertai dengan homili oleh para tertahbis (yaitu uskup, imam atau diakon tertahbis). Sedangkan Ibadat Sabda tidak mensyaratkan ketentuan ini, sehingga dapat merupakan pembacaan perikop Kitab Suci tertentu, yang tidak harus diambil dari bacaan liturgis pada hari itu; dan dapat disertai oleh sharing iman ataupun pengajaran dari kaum awam (baik laki-laki maupuan perempuan) yang memang berkompeten untuk itu.

 

6 COMMENTS

  1. ok. terimakasih pastor atas penjelasannya, mudah-mudahan umat semakin mengerti makna ekaristi dan tentunya harus didukung para imam juga yang mau memberitahu mana tata cara yang lebih tepat dan benar, sehingga setiap tindakan harus mempunyai makna yang bisa dijelaskan dan tentunya menurut aturan gereja yang sudah ada, bukan membuat tata/gerak dan cara yang baru menurut selera namun tidak ada dalam aturan. terimakasih Pastor. Tuhan memberkati

  2. terimaksi pst atas penjelasannya, saya mau tanya satu hal lagi mengenai Adorasi yang dilaksanakan bersamaan dengan misa yang biasa dalam Misa jumat pertama, ditempat saya selalu dibuat sebelum komuni, padahal menurut aturan Sacramentum Redemptus sebaiknya dilakukan sesudah komuni (walaupun sebaiknya dilakukan terpisah)
    yang mau saya tanyakan jika harus dilakukan dalam misa dan adorasi dilakukan setelah komuni, apakah harus dipersiapkan 2 hosti besar, karena sesudah komuni hosti besar sudah disantap, dan jika mau adorasi biasanya hosti besar yang dimasukkan dalam monstran…terimakasih…Tuhan memberkati

    Salam

    Juls

    • Salam Jul Em,
      Liturgi merupakan “ongoing formation”, karena itu kita harus sangat sabar untuk menuju yang benar dan ideal menurut instruksi. Liturgi pun merupakan teologi praktis, yang langsung menyentuh hidup umat. Karena itu, kita tetap memberitahukan pada seluruh umat mengenai hal-hal yang benar secara liturgis. Mengenai pelaksanaannya secara teknis, langkahnya harus jelas dan tegas, namun tetap memberi ruang pula untuk kesalahan yang menuju perbaikan demi terjadinya yang benar dan ideal itu.
      Jika memakai cara yang tidak sesuai dengan “Redemptoris Sacramentum” itu maka hosti besar yang dikonsakrir hanya satu saja. Jika mau taat pada Redemptoris Sacramentum, maka hosti besar yang akan dikonsekrir dua buah. Jika taat pada “Redemptoris Sacramentum” dilaksanakan dalam gereja di mana ada tabernakel tempat disimpan hosti besar yg sudah dikonsakrir, maka hanya dikonsakrir satu hosti besar.
      Saya sendiri imam yang berusaha selalu taat pada instruksi “Redemptoris Sacramentum”, tidak mengikuti selera sendiri, dalam rangka “ongoing formation” saya sendiri, syukur juga membuat umat pun mengalami pembinaan diri yang terus menerus menuju kesempurnaan.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  3. Salam Jul Em,
    Jawaban Romo Bosco Da Cunha O Carm, Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI ialah sebagai berikut:
    1. Hari Minggu adalah hari paroki, pada prinsipnya tidak diperkenankan perayaan Ekaristi kelompok, termasuk Misa peringatan arwah dalam keluarga atau kelompok.
    2. Ordinarium pada masa Prapaskah mau memakai bahasa Latin atau bahasa lain bukan menjadi masalah.

    Salam
    Yohanes Dwi Harsanto Pr

    PS: Namun jika yang dilakukan adalah mengajukan ujud untuk mendoakan arwah pada Misa hari Minggu itu diperkenankan.

    • Ya, Misa peringatan arwah pada hari Minggu hendaknya tidak dilakukan. Kemudian saya tambahkan, Ordinarium Latin pada hari Rabu Abu dan masa Prapaskah tidak diharuskan tetapi boleh dipakai kalau diketahui lagunya. Bila diketahui (baik sekali kalau dilatih untuk dinyanyikan bersama umat) alangkah baiknya dipakai karena lagu ordinnarium Latin itu digubah khusus untuk masa Prapaskah. Boleh pakai lagu ordinarium biasa (dalam bahasa Indonesia, gubahan orang Indonesia) apalagi kalau lagu ordinarium itu digubah khusus untuk masa Prapaskah. Sejauh saya tahu, hampir tidak ada lagu ordinarium Indonesia yang digubah untuk masa khusus tertentu saja, sehingga lagu ordinarium yang sama dipakai untuk semua masa khusus dan juga untuk masa biasa bahkan untuk Hari Raya, Pesta dan Peringatan. Ini sebenarnya suatu pemiskinan semangat liturgis sesuai dengan kekhasan masa liturgis. Dengan kata lain lagu-lagu ordinarium yang dipakai pada segala masa liturgis kurang membantu kita untuk menyadari dan menghayati keistimewaan spiritualitas masa liturgis. Selebihnya semakin umum dipakai lagu-lagu itu (dipakai pada segala masa khusus dan biasa), semakin kurang liturgis lagu tersebut. Contohnya lagu Misa Dolo-dolo (baik proprium maupun odinarium) yang dipakai pada segala masa liturgis, lagunya bagus dan disenangi umat tetapi menjadi kurang liturgis karena kurang membantu kita untuk menyadari dan menghayati keistimewaan spiritualitas masa-masa liturgis. Ini dapat kita bandingkan dengan lagu-lagu yang sudah dikhususkan untuk masa-masa liturgis, umumnya sangat berdaya sentuh menyadarkan kita akan kekhususan semangat masa-masa liturgis, seperti Pujian Paskah (Exultet) dan Alleluia untuk malam Paskah, atau Maklumat Kelahiran Tuhan dan Malam Kudus untuk malam Natal, Hosanna Putera Daud untuk Minggu Palma.

      Salam dan doa. Gbu.
      Rm B.Boli, SVD.

  4. Terimakasih atas penjelasannya,pengasuh yang terkasih, saya mau tanya mengenai misa memperingati arwah mengenai penjelasan larangan yang disebutkan dalam PUMR, apakah pada setiap hari Minggu termasuk Minggu biasa tidak diperbolehkan mengadakan misa memperingati arwah? Yang kedua, apakah pada Misa Rabu Abu bagian ordinarium sudah harus memakai bahasa latin, dan pada masa Prapaskah apakah ada aturan yang mengharuskan ordinarium yang latin atau boleh yang biasa dengan tidak memakai Kemuliaan? Terimakasih. Tuhan memberkati

Comments are closed.