Kasih itu sabar; kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu ( 1 Kor 13 : 4-7).


Dari semua pengajaran mengenai sikap-sikap kasih yang saya baca di Korintus 13 di atas, sikap “menutupi segala sesuatu” selalu menarik perhatian saya semenjak masa kanak-kanak, karena artinya tidak langsung jelas bagi saya, sebagaimana arti dari sikap-sikap kasih yang lainnya. Apa yang harus saya tutupi, mengapa harus saya tutupi, dan bagaimana saya menutupinya? Tetapi dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit hati saya menuntun saya untuk mengerti bagaimana saya dipanggil untuk menutupi kelemahan sesama dan tidak membeberkannya di depan orang lain, kecuali dalam kasus-kasus di mana informasi itu diperlukan. Tetapi di dalam sebagian besar peristiwa dalam hidup ini, pengetahuan mengenai keburukan orang lain seringkali tidak perlu dibeberkan di muka umum atau diberitahukan kepada pihak lain, karena memang tidak ada perlunya, walau kadang itu mengasyikkan. Ya, itulah yang dalam kehidupan sehari-hari sering disebut sebagai bergosip, memang ibarat sebuah jalan yang lebar dan mengasyikkan, namun yang tidak membawa kepada hidup. Membicarakan keburukan orang lain juga kadang dilakukan sebetulnya untuk menutupi kekurangan-kekurangan diri sendiri. Mengenai kelemahan orang lain, kalau kebetulan kita tahu, cukuplah diri kita sendiri yang mengetahuinya, dan menyimpannya rapat-rapat. Ajaran kasih dalam ayat di atas mengajak saya mengatakan apa yang perlu saja, apa yang membangun dan positif mengenai orang lain, bahkan memuji orang lain, sekalipun sesungguhnya saya juga mengetahui kelemahan, kegagalan,atau kealpaan yang dilakukan orang lain tersebut.

Kemudian, pada suatu hari, ada satu peristiwa kecil yang menguatkan saya untuk terus melangkah dalam menutupi segala sesuatu, bahkan lebih lagi, yaitu justru dengan terus menerus mengingat dan mengabadikan kebaikan dan kelebihan orang lain, serta kenangan yang baik tentang dia, termasuk orang-orang yang telah menyakiti hati saya, atau yang tidak sejalan dengan saya. Siang itu, saya sedang berada di ruang tunggu sebuah rumah sakit, hendak bertemu dengan seorang dokter untuk mengkonsultasikan hasil pemeriksaan rutin kesehatan saya. Ada sebuah foto berbingkai di dinding ruang tunggu itu, yang sangat menarik perhatian saya, karena tidak biasa. Foto itu menggambarkan suatu daerah di permukaan bumi di atas permukaan lautan luas. Sebetulnya daerah itu sangat biasa dan tidak terdapat detil apapun di situ, tetapi dalam foto itu bentuknya sangat unik, yaitu seperti suatu lidah raksasa dengan latar belakang yang kontras di belakangnya. Saya mengamati ada tanda tangan yang digoreskan di bagian kanan bawah foto itu. Dan di bawah bingkainya, saya membaca sebaris keterangan yang diketik dengan rapih, “The Tongue of The Ocean and the Bahamas” (Lidah Lautan dan Bahama).  Kalimat selanjutnya di bawah keterangan itu yang membuat saya tercenung, bunyinya demikian, “The key to this picture is getting in position to take it – Walt Cunningham – Apollo 7”. Jadi rupanya daerah itu adalah salah satu sudut kepulauan Bahama, difoto oleh salah satu awak pesawat Apollo 7, astronot Walt Cunningham. Ia memotretnya dari sebuah pesawat ruang angkasa yang sedang mengorbit ribuan kilometer di atas permukaan bumi, sehingga sudut pengambilan gambar yang dihasilkan adalah sudut yang tidak biasa, dan tentu saja, dari sebuah ketinggian yang tidak biasa pula. Hasilnya adalah sebuah “sudut pandang” atau “sudut fotografi” yang menghasilkan bentuk yang unik dari daerah yang difoto itu, yang tentu saja tidak dapat dihasilkan oleh kamera-kamera yang dioperasikan di bumi, secanggih apapun juga kameranya. Sang astronot menuliskan bahwa rahasia keindahan foto permukaan bumi yang ia hasilkan adalah menemukan posisi yang tepat untuk mengabadikannya. Ya, dengan posisi setinggi itu di atas permukaan bumi,  sudut pengambilan gambar memang jadi tidak ada duanya, mampu menghasilkan citra sebuah daerah yang sebetulnya gersang tidak ada apa-apanya itu, menjadi berbentuk unik dan menarik, yang akhirnya menjadi suatu karya seni yang pantas menghiasi ruang tunggu rumah sakit yang nyaman itu.

Seni menemukan posisi yang tepat untuk mengabadikannya. Bagaimana kalau saya ‘memotret’ sesama dari sudut terbaiknya, dan menyimpannya dalam suatu bingkai yang indah, untuk kemudian saya letakkan di dinding hati saya, menghiasinya dengan kenangan akan kasih, kelebihan, kebaikan yang tentu ada pada diri setiap orang, bahkan kadang tanpa perlu dicari-cari, dan mungkin bahkan pernah kita alami juga dalam relasi pergaulan kita dengannya. Bila sudut terbaik itu yang selalu kita kenang dan ingat, kita pandangi selalu dalam ruang hati kita, apakah akan lebih mudah bagi kita untuk menerima kekurangan orang lain, mengasihinya apa adanya sebagaimana Tuhan mengasihi dia dan saya, serta mengampuni kesalahan-kesalahannya ? Apakah ‘foto lidah lautan dari ruang angkasa’ itu, yang dihasilkan dari sudut niat baik untuk menghargai setiap yang baik dari sesama kita, mampu menolong kita untuk tetap bersabar dan mencintai di saat ia sedang melakukan hal-hal yang sangat meresahkan hati kita? Hanya hati kita masing-masing yang dapat menjawabnya, dan usaha kita yang selalu ingin mencari dan mengabadikan hal-hal yang indah dan baik dari setiap orang, yang akan menentukan keberhasilan kita . Berfokus kepada kebaikannya, mengabadikan keindahan dan keunikan sesama, dan melupakan serta mengampuni kekurangan-kekurangannya. Semoga kita terus berusaha mencari dan mengusahakan sudut terbaik itu untuk dapat mengabadikan kebaikan dan keunikan sesama di dalam hati kita.

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah; apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. (Roma 12 : 2). Semoga Tuhan menyertai kita. (triastuti)

4 COMMENTS

  1. apa yang dimaksud dengan “Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”?

    • Shalom Slammy,

      Penjabaran tentang kasih dalam perikop 1 Kor 13:1-13 menjelaskan tentang makna kasih agape, kasih yang total dan sempurna. Untuk memahami maksud 1 Kor 13:7, “Kasih menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” mari kita melihat kepada kata aslinya Yunani:

      stégō;  artinya, to cover over in silence, menutupi dengan diam, sering diartikan sebagai: kasih menutupi kesalahan orang lain. Maka dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata, ‘bear‘/ ‘endure‘ yang artinya menanggung: [Love] beareth all things, believeth all things, hopeth all things, endureth all things… (Duoay Rheims Bible), Love bears all things, believes all things, hopes all things, endures all things. (Revised Standard Version).

      Maka kasih agape selalu mengarahkan perhatiannya kepada hal-hal yang baik. Kasih yang sejati tidak membicarakan kesalahan orang lain, memilih untuk percaya kepada hal-hal yang baik tentang sesama (dan hanya percaya kepada yang buruk kalau ada fakta yang mendukungnya). Dengan kasih ini, kita selalu mempunyai pengharapan akan masa depan, dan tidak lekas menjadi pesimis. Selanjutnya kasih yang sempurna ini selalu bertahan selamanya untuk menanggung segala sesuatu, percaya dan berharap.

      Di sini, nyatalah betapa Kristus merupakan pernyataan sempurna akan kasih Allah, sebab Kristus dapat ditempatkan di sana untuk menggantikan kata ‘kasih’. Kristus itu sabar, Kristus itu murah hati,…. dst.

      Jika kita ingin memeriksa sejauh mana kita sudah menyerupai Kristus, maka kita dapat mencoba untuk meletakkan nama kita untuk menggantikan kata ‘kasih’ di sana (1Kor 13:4-7), dan jika hati nurani kita menuduh kita bahwa kita ‘belum sampai’ ke sana, artinya dalam hal itulah kita harus berjuang untuk menjadi orang yang lebih baik dan agar kita semakin bertumbuh di dalam kasih.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • terimakasih. penjelasan yang sederhana, memampukan pembaca untuk
        mengerti dan memahami. sekarang tinggal mewujudkannya.

  2. Like this…
    terkadang kita memang terlalu fokus pada keburukan orang lain, sehingga kita kurang mampu melihat kebaikannya dalam hidup kita. Terima kasih atas renungannya, sungguh menggugah hati saya untuk menjadi pribadi yg lebih baik.

Comments are closed.