[Hari Minggu Prapaska III: Kel 17:3-7; Mzm 95:1-9; Rm 5:1-8; Yoh 4:5-42]
“Berilah Aku minum.” Demikian kata Yesus kepada seorang perempuan Samaria yang datang hendak menimba air di sumur Yakub di Sikhar. Suatu kalimat singkat sederhana, yang mungkin terdengar sangatlah normal dari seorang yang sedang melakukan perjalanan di siang hari bolong, karena teriknya matahari. Namun jika kita mengetahui latar belakang bangsa Yahudi dan Samaria, yang tidak akur selama berabad-abad, ditambah lagi bahwa menurut adat Yahudi tidaklah umum bagi seorang pria bercakap-cakap dengan perempuan di muka umum; maka tak heran, perkataan Yesus ini menimbulkan tanda tanya. Sebab bangsa Yahudi umumnya tidak bergaul dengan bangsa Samaria yang dianggap sebagai bangsa yang berkhianat, sebab mereka dulunya juga bangsa Israel, namun mau bercampur dengan bangsa-bangsa lain, sehingga tidak lagi meneruskan kemurnian tradisi Yahudi. Perempuan itu bertanya-tanya, apalagi ketika Yesus melontarkan perkataan yang baginya seperti ‘teka-teki’, bahwa Yesus yang meminta minum, menyatakan bahwa sebenarnya Ia-lah yang mampu memberikan air hidup sehingga orang tidak akan haus lagi (Yoh 4:13). Kontras dengan air sumur itu yang memuaskan dahaga hanya sekejap, air yang ditawarkan Yesus adalah sumber mata air akan terus mengalir di dalam diri orang yang meminumnya, dan akan menuntunnya sampai ke hidup yang kekal. St. Agustinus mengajarkan, bahwa di sini Yesus menyatakan kehausan, tidak saja secara jasmani, namun juga secara rohani. Ia haus akan pertobatan jiwa perempuan itu. Tuhan Yesus haus akan pertobatan setiap orang. Ia menawarkan ‘air hidup’ kepada setiap orang yang datang kepada-Nya.
Kenyataan bahwa Yesus mengetahui apa yang telah diperbuat oleh perempuan itu, bahwa ia telah mempunyai lima suami dan yang ada padanya sekarang bukan suaminya, membuat perempuan itu menyadari bahwa Yang berbicara dengannya adalah Seorang yang istimewa. “Nyatalah bagiku engkau adalah seorang nabi” (Yoh 4:19). Selanjutnya, ketika Yesus mengajarkan kepadanya tentang Allah sebagai Bapa yang menyatukan bangsa- bangsa, yaitu Allah yang disembah dalam Roh dan Kebenaran, perempuan itu mulai menghubungkan Seorang yang mengajaknya bicara itu, dengan Mesias, Sang Kristus. Ini membuatnya segera meninggalkan tempayannya di situ dan langsung menuju kota, untuk mewartakan pengalaman perjumpaannya dengan Yesus.
Menarik untuk disimak bahwa di sinilah pertama kalinya dicatat dalam Injil Yohanes, bahwa Yesus mengajarkan kepada orang lain tentang Allah sebagai “Bapa” (Yoh 4:23). Yesus memilih untuk menyatakan rahasia agung ini, di hadapan seseorang yang dianggap berdosa, yang tidak termasuk hitungan dalam anggapan orang Yahudi: seorang wanita Samaria, yang hidup bersama dengan seorang yang bukan suaminya. Pernyataan Yesus tentang Allah, yang adalah Bapa, Roh dan Kebenaran: Allah yang mengetahui segala sesuatu, namun juga yang lebih dahulu menyapa dan merindukan pertobatan anak-anak-Nya, sungguh mengubah hati perempuan itu. Demikian juga, di kesempatan inilah, pertama kalinya dicatat dalam Injil Yohanes Yesus secara implisit menyatakan bahwa Diri-Nya sebagai YHWH, dengan mengatakan, “Akulah Dia” (“I AM”, Yoh 4:26), sebab dalam Perjanjian Lama, Allah juga telah menyatakan diri-Nya sebagai “Akulah Aku” (“I AM”, Kel 3:14) dan dikenal oleh umat-Nya dengan sebutan YHWH (“HE IS”). Pengalaman perjumpaannya dengan Yesus, mendorong perempuan itu untuk mengimani Dia sebagai Tuhan dan mewartakan imannya itu kepada orang lain. Paus Fransiskus, dalam surat ensikliknya yang pertama, Lumen Fidei, mengajarkan pentingnya pengalaman perjumpaan dengan Allah ini: “Iman lahir dari perjumpaan dengan Allah yang hidup yang memanggil kita dan menunjukkan kasih-Nya, sebuah kasih yang mendahului kita dan yang padanya kita dapat bersandar ….. Diubah oleh kasih ini, kita mendapatkan … mata yang baru untuk melihat; kita menyadari bahwa kasih-Nya mengandung sebuah janji pemenuhan yang besar, dan sebuah penglihatan akan masa depan terbuka di hadapan kita” (LF 4).
Di masa Prapaska ini, kita diundang oleh Allah untuk selalu mengenang dan merayakan perjumpaan kita dengan-Nya, yang telah mengubah kita, dan yang akan selalu mengubah kita. Mari kita mengenang pengalaman kasih dan pengampunan Tuhan di masa yang lalu dan semoga kita dapat kembali mengalaminya di masa Prapaska ini.
“Ya Bapa, bantulah aku untuk mempunyai mata yang dapat melihat kedalaman kasih-Mu, sehingga aku dapat menjadi manusia baru di dalam Kristus.”
Saya amat berminat dengan web ini. Saya perlu mendalami lagi iman saya sebagai Katolik.
Saya berasal dari Kuching, Sarawak, East Malaysia.
di West malaysia kami dilarang menggunakan perkataan ALLAH sebab kata muslim di West Malaysia perkataan itu hanyalah untuk umat Islam saja dan kami boleh di penjara kalau degil juga mau mengguna perkataan itu di gereja-gereja kami di West Malaysia.
Salam damai Kristus
Paul Steward Pelok
Umat Katolik dari Malaysia
[dari katolisitas: Salam kami untuk teman-teman di Sarawak. Semoga Tuhan terus memberikan kekuatan kepada kita untuk terus mewartakan Kristus.]
Terima kasih Pak Stef dan Bu Ingrid untuk tulisannya hari ini, sehingga bisa saya jadikan bahan untuk APP nanti malam.
Tuhan memberkati.
Comments are closed.