Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya (Galatia 5 : 24)
Saat saya masih remaja, ada yang khas di rumah orangtua saya ketika masa Prapaskah tiba, yaitu sebuah kertas putih yang ditempelkan di pintu lemari makan keluarga, dimana di kertas itu Ayah menulis memakai spidol hitam tiga buah kata dengan huruf besar “Pantang dan Puasa”. Lemari makan berwarna putih itu adalah lemari favorit saya dan kedua kakak saya, karena di situ Ibu menyimpan segala macam makanan keluarga serta persediaan aneka kue dan cemilan untuk bisa dinikmati oleh anak-anak kapan saja kami menginginkannya. Maka pintu lemari itu adalah termasuk salah satu pintu di rumah kami yang paling sering dibuka-tutup, dan menjadi benda yang paling banyak dipegang oleh kami bertiga dibandingkan benda-benda lain di rumah. Namun manakala tulisan di kertas putih itu telah terpampang di pintunya, lemari putih itu biasanya mendadak seperti terlupakan, karena kami berpikir bahwa menahan diri untuk tidak makan jajan dan kue-kue di hari pantang akan menjadi siksaan yang lebih berat lagi kalau kami membuka pintu lemari itu dan melihat isinya tanpa boleh menyentuh apalagi memakan kue-kue yang ada di dalamnya. Satu hari pantang lewat dengan berhasil menahan diri tidak menikmati kue kesukaan sudah membuat kami merasa senang dan lega, namun saat itu saya belum memahami arti yang lebih dalam dari berpantang. Kami juga tidak pernah diberi uang jajan, sehingga tidak ada uang yang bisa kami sisihkan untuk amal karena kami memang tidak punya uang. Ketika saya memasuki usia remaja, saya menambahkan ritual pantang dengan juga berpantang melakukan hobi yang saya sukai, yaitu menyetel radio dan mendengarkan lagu-lagu kesukaan saya dari radio. Karena saat itu saya juga mengikuti Legio Maria remaja, saat-saat tidak ada musik itu membuat saya mempunyai lebih banyak saat hening untuk berdoa Tessera dan Rosario yang menjadi tugas rutin para anggota Legio Maria.
Setelah sepenuhnya menjadi dewasa, kadang-kadang saya masih mencari arti yang lebih dalam di balik sikap menahan diri tidak melakukan hal-hal yang disukai, berpantang makanan yang digemari, menahan diri untuk tidak melakukan kebiasaan yang jelek serta lebih banyak beramal kasih itu. Mungkin karena saya membandingkan dengan ibadah puasa yang dilakukan umat beragama Islam yang secara fisik jauh lebih berat, saya terdorong menemukan arti yang sesungguhnya dari ibadat ini, yang kadang karena terasa ringan, membuat saya tidak terlalu memikirkan maknanya sehingga masa-masa puasa dan pantang ini lewat begitu saja tanpa meninggalkan kesan spiritual yang mendalam pada jiwa saya.
Kesadaran demi kesadaran bagi saya datang perlahan-lahan melalui perayaan Ekaristi, homili, merenungkan Kitab Suci dan renungan harian, serta lewat pengalaman sehari-hari. Saya merasakan Tuhan menuntun saya dan mengijinkan semua pengalaman itu saling menjalin dan saling melengkapi menjadi kesadaran yang utuh tentang makna berpantang dan berpuasa bagi saya. Salah satu kesadaran itu datang melalui sebuah lemari. Ya, lagi-lagi lemari. Suatu hari saya membereskan sebuah lemari tua di rumah. Karena besar, lemari itu difungsikan untuk menaruh berbagai macam barang. Mulai dari aneka kemasan plastik, alat-alat tulis dan kertas, hingga buku-buku resep. Lama-lama aneka benda dari berbagai kategori bercampur jadi satu sehingga keseluruhan lemari itu menjadi berantakan dan menyulitkan saya mencari benda-benda yang saya butuhkan. Saya harus mengeluarkan semua isinya dan mengosongkannya lebih dahulu untuk kemudian menata kembali satu persatu agar isinya tersusun menurut jenisnya dan kembali rapi sehingga lemari itu kembali berfungsi dengan baik sebagai tempat penyimpanan.
Semakin saya bertambah usia dan semakin banyak saya mendapat kepercayaan untuk memikul berbagai tugas dibarengi perkembangan kehidupan pribadi yang menuntut tanggungjawab dan perhatian saya, semakin mudah saya menjadi tidak fokus terhadap panggilan saya yang pertama dan utama di dalam kehidupan ini. Panggilan itu menyangkut relasi saya dengan Tuhan yang mengutus saya ke dalam kehidupan ini dengan tujuan yang indah untuk mengasihi dan melayani Dia melalui seluruh aspek kehidupan saya. Hal ini juga berlaku bagi setiap orang. Kesibukan dan kenikmatan dunia dengan mudah membuat fokus saya terbelah dan kadang saya mendapati diri saya bingung dengan arah hidup saya, sembari terkejut mendapati sifat-sifat egois, sombong, atau ketakutan yang tidak perlu mewarnai kehidupan saya. Masa-masa berpuasa dan berpantang untuk lebih banyak menahan diri dan melakukan perbuatan yang sejalan dengan teladan Tuhan adalah bagaikan mengosongkan lemari hidup saya, mengenali kebutuhan-kebutuhan saya yang sebenarnya, dan menata kembali fokus perhatian saya kepada Tuhan agar hidup saya berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan pada saat saya diciptakan. Yaitu untuk terus berjalan bersama Dia dan di dalam Dia, apapun yang terjadi.
Banyak meluangkan waktu untuk berdoa dalam saat teduh dan membaca Firman Tuhan membuat saya kembali fokus dan melanjutkan melangkah lagi dalam hidup dengan penuh iman, harapan, serta percaya akan penyertaanNya. Sambil terus menyikapi berbagai peristiwa hidup ini dalam teladan kasih pengorbanan dan cinta seperti yang diajarkan Yesus Kristus melalui seluruh hidup, wafat, dan bangkitNya bagi kita. Di tengah riuh rendahnya berbagai dinamika hidup, kesuksesan dan kegagalan, kesedihan dan kegembiraan, persaingan hidup dan perkembangan pribadi, adalah sangat penting untuk menjaga langkah kita tetap “on the right track”, tetap berada di jalan yang seharusnya, yang telah Tuhan amanatkan kepada kita. Sehingga kapanpun Tuhan memanggil kita pulang, kita didapatiNya tetap di dalam perkenananNya, sebagaimana Tuhan Yesus sendiri menyampaikan kepada kita, “Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang” (Matius 24 : 46). Mengosongkan diri bagi Tuhan memberi kita kesempatan untuk menemukan tugas kita yang sebenarnya dan untuk terus dikuatkan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan itu.
Di balik menahan diri tidak melakukan hal-hal yang saya gemari atau menyantap makanan yang saya sukai, saya belajar untuk mengetahui sampai di mana saya mampu mengendalikan diri saya terhadap berbagai godaan kehidupan dan mendahulukan hal-hal yang lebih berharga dan memberikan hidup yang sejati, dibandingkan sekedar mengikuti kemauan pribadi semata yang tidak selalu mengarahkan saya kepada hidup. Seorang teman saya pernah mengatakan bahwa hidup mengikuti teladan dan ajaran Yesus yang menurutnya sangat radikal dalam hal cinta itu, mustahil dilakukan manusia dengan segala keterbatasannya. Manusia dengan segala keangkuhan, kecenderungan untuk membalas, iri hati, dan kebutuhannya untuk membela diri dan mengutamakan kepentingannya sendiri. Tetapi Allah Bapa memanggil kita untuk menjadi sempurna dan kudus. Bapa tahu bahwa kita bisa, Dia telah melengkapi kita dengan segala rahmat yang kita perlukan untuk menjadi kudus dalam segala hal. Kalau pada dasarnya kita tidak mampu, Tuhan Yesus tidak akan mengatakan demikian kepada kita, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu di yang di Sorga adalah sempurna” (Matius 5 : 48). Tuhan Yesus tahu benar bagaimana kita diciptakan dan kelengkapan apa yang Bapa karuniakan kepada kita sehingga tuntutan untuk menjadi sempurna itu bukan sesuatu yang di luar kemampuan kita. Jika kita tidak pernah menguji diri kita melalui tindakan mati raga, berani tidak melakukan hal-hal yang kita sukai, berani berbuat kebaikan melawan kecenderungan untuk jatuh ke dalam kelemahan, sebagaimana halnya latihan laku tapa yang kita lakukan dalam masa puasa dan pantang ini, bagaimana kita akan pernah tahu bahwa kita ini mampu? Masa pantang dan puasa yang kita gunakan dengan sebaik-baiknya akan membuktikan bahwa kita ini mampu, karena kita adalah anak-anak Allah, seperti yang Tuhan telah kemukakan berdasarkan Matius 5 : 13-14, “Kamu adalah garam dunia dan terang dunia” dan melalui pesan Rasul Petrus, “ Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Petrus 2 : 9).
Si jahat akan selalu berusaha meyakinkan kita bahwa kita tidak akan mampu, bahwa kita tidak pantas untuk menjadi sempurna. Tetapi Roh Kudus yang berkarya di dalam diri anak-anak Tuhan senantiasa menyemangati kita dan membuat kita percaya bahwa kita bisa dan bahwa segala rahmat pengampunan Allah akan selalu tersedia bagi kita jika kita selalu terbuka kepada kerahimanNya. Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup. Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “ya Abba, ya Bapa!” Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah (Roma 8 : 13 – 16). Saat saya masih kecil, saya kadang mengatakan pada diri saya, “Ah saya tak akan mampu berpantang menghindari makanan kesukaan saya itu.” Tetapi dengan bertambahnya usia, saya tidak mau percaya kepada perasaan kecil hati dan malas mencoba itu. Saya bisa, karena Tuhan bersama saya. Hal itu tidak hanya berlaku pada menahan diri mengenai makanan jasmani, tetapi juga menahan diri untuk tidak bergosip dan menghakimi orang lain, atau menjaga diri agar tidak tenggelam dalam kenikmatan duniawi yang berlebihan dan mengabaikan kebutuhan sesama. Selama saya terus di dalam Tuhan dan mengandalkan Dia terus menerus, saya pasti bisa.
Latihan bermati raga dan mengekang keinginan-keinginan duniawi juga membuat kita mampu untuk mengenali mana-mana yang sungguh-sungguh merupakan kebutuhan kita, dan mana yang sebenarnya hanya keinginan kita untuk memuaskan hawa nafsu kita, baik itu nafsu untuk memiliki, nafsu untuk menguasai, nafsu untuk makan minum berlebihan, atau nafsu untuk memuaskan kesombongan kita. Kita ingat bahwa kadang permohonan yang kita panjatkan kepada Tuhan tidak atau belum dikabulkan karena permohonan itu sebenarnya didasari oleh keinginan duniawi kita. Tetapi Tuhan selalu tahu apa yang sungguh-sungguh kita butuhkan, dan untuk hal-hal yang benar-benar kita butuhkan –bukan hanya yang kita inginkan- tanpa diminta pun Ia pasti akan menyediakannya bagi kita pada waktunya.
Dan akhirnya, setelah kita menjadi terlatih untuk mengenali kekuatan kita dan memisahkan dengan jelas apa yang sebenarnya paling kita butuhkan di antara keinginan duniawi, kita akan menemukan diri kita siap untuk diubah, dibentuk, dan dibarui, sesuai dengan rencana kerahimanNya yang indah tak ternilai bagi kita. Di sana Tuhan menyadarkan kita bahwa kita bisa menjadi jauh lebih indah daripada apa yang selama ini kita pikirkan tentang diri kita. Ada hal-hal yang belum kita pahami dan gali sepenuhnya dari diri kita sebagai anak-anak Allah yang telah ditebus dengan darah Kristus yang mahal. Tuhan ingin kita mengenali potensi-potensi kekudusan yang berharga itu. “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yohanes 10 : 10b). Apakah kita bersedia untuk mengosongkan diri supaya kelimpahan yang Tuhan janjikan itu terwujud sempurna di dalam diri kita? Jawaban ya adalah berarti merespon dengan tepat tawaran kasih Allah dimana kita siap untuk menjadi manusia baru memasuki hidup berkelimpahan dalam iman dan kasih yang utuh kepadaNya. Itulah saat di mana puasa dan pantang kita menemukan maknanya yang sejati, melepaskan kita dari ikatan duniawi dan orientasi kepada diri sendiri yang menarik kita ke bawah, menyalibkan dosa dan kelemahan kita bersama Yesus di kayu salib, dan membawa kita naik ke atas, hidup dan bangkit bersama Tuhan di hari Paskah yang cerah, menghasilkan buah-buah kasih dengan berkelimpahan di dalam Tuhan. (uti)
Saya merasa berterima kepada Tuhan karena melalui pencerahan ini, saya merasa mengerti dan memahami puasa dengan iman yang saya miliki untuk dapat berbagi kasih dengan sesama yang mungkin tidak memahami arti puasa umat katolik.Tuhan memberkati
Saya sudah lama doa & puasa, dan Tuhan sudah menjawab doa saya, tetapi saya merasa jawaban doa ada yang menghalangi (kuasa kegelapan). Apakah saya perlu doa & puasa lagi untuk merebut jawaban doa tersebut? Bagaimana jika pengguna kuasa kegelapan tersebut saya temui untuk rekonsiliasi?
Salam Edward Budi Setiawan,
Doa berarti mengarahkan hati kepada Allah. Ketika seorang berdoa, ia masuk dalam hubungan yang hidup dengan Allah. Doa itu ungkapan relasi kasih dengan Allah. Sedangkan puasa merupakan ungkapan kerapuhan kita di hadapan Allah sekaligus solidaritas pada sesama. Karena itu, motivasi doa dan puasa pertama-tama adalah relasi dengan Sang Mahakasih dan kuat itu serta kasih kepada sesama. Gereja meminta kita berdoa dan berpuasa bukan hanya karena ada perkara atau permohonan khusus, melainkan setiap saat. Doa bukan hanya mengenai permohonan, namun lebih-lebih syukur dan suka cita atas rahmat Allah serta mendengarkan Allah. Karena itu, seperti anjuran St Paulus, hendaknya kita selalu berdoa, dan berpuasa sesuai anjuran Gereja. Ciri roh jahat ialah anti-kasih, anti-damai, anti rahmat Allah. Namun kuasa jahat kalah oleh kasih Allah. Maka, tetaplah rutin berdoa, berpuasa, dan mengasihi siapapun.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Admin yg terhormat…melalui form ini saya mau bertanya..: bagaimana berpuasa menurut iman Katolik? Dan kapan saja itu? Apakah puasa Senin-Kamis (seperti yang biasa di lakukan di Jawa) berkenan dengan iman Katolik?
Terimakasih untuk penjelasannya…
Shalom Luhut,
Sebenarnya tentang bagaimana perpuasa menurut iman Katolik, sudah pernah dibahas di 2 artikel ini (mohon anda membacanya lagi):
Berpuasa dan berpantang menurut Gereja Katolik, silakan klik;
dan aturan puasa ini menyangkut makna puasa dan pantang bagi umat Katolik, yaitu sebagai ungkapan tobat dan salah satu bentuk mati raga sebagai partisipasi kita dalam penderitaan dan kematian Kristus untuk menyelamatkan dunia. Tentang ini sudah pernah dijabarkan di sini, Mengapa Kita Berpantang dan Berpuasa?, silakan klik.
Dari pengertian di atas, maka tujuan pantang dan puasa bukan pertama- tama untuk melatih diri berpuasa atau demi alasan kesehatan, tetapi mempunyai dimensi keselamatan di dalam Kristus. Oleh karena itu, waktu pertobatan (waktu diadakannya puasa dan pantang) yang ditentukan oleh Gereja Katolik adalah di Masa Prapaska, dan di hari Jumat sepanjang tahun, untuk mengenang sengsara dan wafat Kristus. Jika di luar Masa Prapaska dan hari Jumat sepanjang tahun itu anda mau menambahkan sendiri waktu puasa dan pantang anda, silakan saja, sebab ketentuan yang diberikan Gereja itu adalah ketentuan minimum, dan tentu boleh ditambah sendiri, demi motivasi menyatakan kasih kepada Tuhan dan sesama. Sebab, jangan dilupakan pula bahwa pantang dan puasa menurut iman Katolik tidak terlepas dari doa dan amal kasih kepada sesama.
Demikian semoga menjadi masukan buat anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Puji Tuhan,
Terima kasih Mb Uti.
Bagus banget..menyentuh dan sungguh inpiratif..
Kadang memang benar, seiring dengan kita menjadi dewasa, kita semakin bingung terhadap banyak pilihan hidup. Tawaran-tawaran yang membingungkan, dan waktu yg tersita semakin banyak untuk kehidupan duniawi kita.
Tanpa sadar, kadang kita merasa kekeringan, kosong dan hampa..
Semoga masa prapaskah ini membantu kita menjadi lebih fokus terhada panggilanNya dalam hidup sehari-hari kita..
Tuhan memberkati,
B. WIdi H
Widi yang dikasihi Tuhan, terima kasih kembali. Ditunggu ya sharing-sharing iman Widi lagi bersama Kristus, yang selalu memberi kita hidup dan harapan. Tuhan berkati juga, salam kasih dalam Dia.
Comments are closed.