Saya meletakkan gagang telepon dengan kesal, setelah sebelumnya mengakhiri percakapan dengan ketus. Kemudian saya tercenung, sesaat terbayang perasaan wanita yang menawarkan produk kepada saya tadi, dan seketika perasaan menyesal pun datang. Ya ampun, gagal lagi deh saya, pikir saya dengan sendu. Teringat tadi ketika bangun tidur, saya mengatakan kepada Tuhan dalam doa pagi, “Tuhan, hari ini saya hendak menyapa semua orang dengan lemah lembut dan tidak menghakimi siapapun juga”. Saya begitu bersemangat ketika menyampaikan tekad itu. Pasti Tuhan gembira bahwa dalam Masa Prapaskah ini, saya mengusahakan satu niat baik yang berbeda setiap hari untuk diusahakan sekuat tenaga, sehingga masa pantang dan puasa menjelang Paskah ini sungguh merupakan kesempatan untuk bertransformasi, berubah menuju pembaharuan budi, menyalibkan kebiasaan-kebiasaanku yang buruk bersama Yesus di kayu salib, supaya aku boleh ikut mati bagi dosa dan hidup bersama dan bagi Yesus. Tetapi kini saya merasa kecil dan malu. Semangatnya boleh, pikir saya, tapi baru dapat tantangan sedikit saja, sudah keok.
Pagi itu saya sedang banyak pekerjaan. Saat sedang sibuk membagi konsentrasi dan berjibaku membagi tangan saya yang hanya dua untuk mengurus beberapa kepentingan sekaligus, telepon berbunyi, dari seorang customer service bank di mana saya menabung. Ia memberikan informasi terkini mengenai produk-produk perbankan dan mengajak saya bicara sedikit mengenai investasi keuangan. Telepon yang amat sangat tidak penting, pikir saya, di saat pekerjaan sedang begitu menumpuk, ditambah uraian penjelasan staf bank itu, yang terpaksa harus saya dengarkan. Kelembutan bicara saya segera menguap entah ke mana dan saya menjawab penawaran staf itu dengan ketus, tanpa senyum, tanpa kasih sedikitpun. Saya gagal menahan diri dan berusaha tetap bersikap ramah, berusaha meluangkan waktu sedikit saja bagi sesama. Dengan kekasaran sikap saya itu, dalam hati saya telah menghakimi wanita itu seolah sebagai seorang customer service yang tak tahu sopan santun, padahal sebetulnya saya tahu, dengan sedikit kasih saja, saya akan berhasil mengerti dia sebagai seseorang yang sekedar tengah melakukan pekerjaannya. Kasih dan pengertian sesungguhnya selalu mampu mematahkan segala bentuk penghakiman negatif kepada sesama. Saya malu dan sedih bahwa janji saya pada Tuhan di awal hari itu segera menjadi teori belaka, padahal waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi, hari masih panjang, menanti saya membuktikan tekad-tekad saya berikutnya kepada Tuhan.
Menurut catatan saya, kisah niat baik yang dalam sekejap sudah gagal, karena pencetus yang sederhana, masih bisa panjang daftarnya. Kita mungkin mengalaminya juga. Niat untuk tidak bergosip mengenai kelemahan orang lain, yang segera runtuh ketika teman-teman sekantor mengeluhkan sikap salah seorang teman yang menyebalkan. Seolah-olah sikap seseorang yang menyebalkan menghalalkan saya untuk membicarakan keburukannya di belakang punggungnya. Atau gagal menahan laju mobil saya untuk memberi kesempatan pada pengendara sepeda motor yang hendak menyeberang. Gagal meredam nada tinggi suara saya saat si kecil menumpahkan makanannya secara tidak sengaja di atas meja. Gagal bersikap rendah hati dan mau mengakui kesalahan ketika orang serumah menegur saya. Dan masih banyak lagi. Lebih sering saya menganggap orang lain yang perlu diperbaiki, daripada mengintrospeksi diri untuk mengakui bahwa diri saya sendirilah yang sesungguhnya perlu untuk berubah dan diperbaiki. Kemudian, apakah aku telah memperhatikan apakah sesama di sekitarku membutuhkan sapaan kasih dan uluran tanganku, kadang kudapati diriku sibuk dengan urusan diriku sendiri saja. Kemudian apakah aku mampu mengenali perasaan iri hati dan mengendalikannya manakala orang lain lebih berhasil, apakah aku sudah mengendalikan diri untuk tidak terlalu larut dalam kesenangan duniawi misalnya dalam hal berbelanja atau menyantap makanan. Memang semua itu hanya hal-hal kecil saja, tetapi dari hal-hal kecil saya belajar untuk berdisiplin juga dalam hal-hal yang besar. Ketika kita setia dalam perkara kecil, Tuhan akan mempercayakan perkara yang lebih besar kepada kita (Mat 25:23). Lagipula, Yesus memanggil kita untuk menjadi sempurna, sama seperti Bapa di sorga adalah sempurna (Mat 5:48).
Demikianlah yang selalu saya alami bila saya hanya mengandalkan kekuatan dan hikmat saya sendiri, menjadi begitu mudahnya saya gagal dan jatuh lagi. Tadinya saya begitu bersemangat, merasa diri saya begitu penting, begitu yakin, bahwa peperangan hari itu akan menjadi milik saya. Saya lupa, bahwa Tuhan tidak pernah bermaksud meminta saya untuk seorang diri saja dalam melawan dosa, dengan segala kesombongan saya, kebijaksanaan saya yang sempit, dan perbuatan kasih saya yang masih sering berpamrih. Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. (Filipi 2 : 12-13)
Begitu saya bertumpu pada kekuatan diri sendiri, tak makan waktu lama untuk menyerah kalah pada dominasi ego dan bujukan si jahat yang sigap memanfaatkan kelengahan saya setiap saat. Tetapi bersama Firman-Nya, bersama hikmat kasih-Nya yang sabar dan lemah lembut, saya lebih mudah mengerti akan situasi yang tidak enak dan sesama yang sulit, bahagia mengendalikan diriku bersama Dia. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Mat 11 : 29-30).
Soal marah, memang ada kalanya saya juga harus marah bila situasi menuntut demikian, misalnya berhadapan dengan kemalasan atau ketidakadilan pada sesama, tetapi bersama Tuhan, saya marah dengan cara Tuhan, yang sangat jauh berbeda hasilnya bila saya marah dengan cara saya sendiri yang cenderung merusak dan melukai.
Minggu ini kita memperingati Tuhan Yesus yang lembut dan rendah hati, yang mengendarai seekor keledai memasuki kota Yerusalem, menyongsong dengan penuh kerelaan sengsara dan wafat-Nya di kayu salib, demi ketaatan-Nya kepada Bapa, demi cinta-Nya kepada kita. Tuhan sudah mati untuk saya, Ia telah menyerahkan segala-galanya supaya kita selamat dan bahagia, supaya kita belajar arti memikul salib dan menyangkal diri yang membawa kita kepada kemenangan dan kedamaian sejati. Semoga kita juga berusaha sekuat tenaga menyerahkan segala-galanya dalam kekuatan kasih-Nya, untuk memikul salib dan berubah oleh pembaharuan budi, supaya kurban Salib-Nya dan keselamatan yang telah disediakan-Nya bagi kita, mencapai tujuannya, menghasilkan buah-buah kehidupan, dan tidak sia-sia.
Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. (Yes 53 : 5)
Ya, berpegang pada salib Yesus, dan hanya bersama Yesus, kita bisa !
(Triastuti)
ibu tri, terimakasih atas renungan ini, renungan yg diperlukan adalah renungan seperti ini, yg menyentuh ke hidup sehari hari, semoga tdk ada renungan yg melayang layang aja, tdk menyentuh bumi, tp harus menyentuh hati nurani, dan terexpresi dlm hidup harian kita..trims ibu tri dan katolisitas.
Comments are closed.