[Hari Minggu biasa ke XXII; Sir 3:17-18.20.28-29; Mzm 68:4-11; Ibr 12:18-19.22-24; Luk 14:7-14]
Bacaan Sabda Allah hari ini mengingatkan kepada kita sikap yang paling berkenan di mata Tuhan: kerendahan hati. Walaupun “kerendahan hati” mudah diucapkan, tetapi tidak sedemikian mudah diterapkan dalam hidup. Sebab kecenderungan umum manusia adalah menunjukkan diri sebagai yang terbaik agar dikagumi orang lain. Namun hari ini, Allah meminta agar kita mematikan kecenderungan tersebut. Bacaan Pertama mengingatkan kita, “Makin besar engkau, patutlah makin kaurendahkan dirimu, supaya engkau mendapat karunia di hadapan Tuhan” (Sir 3:18). Hal inipun dikatakan oleh Tuhan Yesus dengan cara yang berbeda, dalam Bacaan Injil. “Kalau engkau diundang ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan… tetapi… duduklah di tempat yang paling rendah…” (Luk 14:8,10). Pada akhirnya ‘pesta perkawinan’ mengingatkan kita pada pesta perkawinan Anak Domba di kota Allah yang hidup, Yerusalem Surgawi, di mana kita akan berhadapan dengan Tuhan Yesus, Pengantara Perjanjian Baru (lih. Ibr 12:22,24). Semoga kita telah melalui latihan kerendahan hati di dunia ini, agar jika saat itu tiba, kita telah memiliki kebajikan kerendahan hati yang berkenan kepada Tuhan.
Kerendahan hati yang sejati, tidak bertentangan dengan keinginan yang sehat untuk mencapai kemajuan diri, baik dalam hal prestasi maupun pekerjaan. Tapi orang yang yang rendah hati tidak suka pamer. Ia sepenuhnya sadar bahwa tujuan hidupnya bukan untuk dikagumi dan dipuji orang, tetapi untuk melaksanakan tugas dan misi yang Tuhan percayakan kepadanya, demi kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesamanya. Maka sikap kerendahan hati tidak ada hubungannya dengan sikap pemalu atau senang dengan apa yang “sedang-sedang saja”. Untuk menjadi rendah hati, kita perlu menyadari bahwa kita ini bukan siapa-siapa, tetapi sangat dikasihi oleh Tuhan. Kita bukan apa-apa, tetapi diberi talenta dan rahmat-Nya serta diangkat menjadi anak-anak-Nya. Jika kita mempunyai sikap ini, kita dapat berkata bersama pemazmur, “Bukan kepada kami, ya Tuhan, bukan kepada kami, tetapi kepada nama-Mu lah beri kemuliaan….” (Mzm 113:1).
Jadi, agar kita dapat bertumbuh dalam kerendahan hati, kita perlu menghargai di satu sisi kerendahan kita, dan di sisi lain, semua karunia pemberian Tuhan, termasuk talenta yang Tuhan beri, yang daripadanya Tuhan mengharapkan buah. “Di samping kekurangan-kekurangan kita, kita adalah pembawa harta ilahi yang tak terbilang harganya: kita adalah alat-alat Tuhan. Dan karena kita ingin menjadi alat-alat yang baik, semakin kecil dan miskin kita memandang diri kita sendiri dalam kerendahan hati yang sejati, semakin Tuhan akan menyediakan segalanya yang kurang pada kita” (St. Josemaria Escriva, Letter 24, 24 March 1931). Ini akan membuat kita selalu bisa tersenyum dan bersuka cita dalam pelayanan maupun tugas-tugas kita: Tuhanku akan menyediakan apa yang kurang padaku.
Sikap kerendahan hati juga akan membuat kita menyadari bahwa segala yang baik itu berasal dari Tuhan dan segala yang buruk itu dari kita sendiri. Dengan kesadaran ini, kita dapat belajar untuk menerima dengan lapang hati, kejadian-kejadian yang membuat kita merasa malu. Dan ini, tidak usah dicari-cari, sebab dapat datang dengan sendirinya, entah karena kelalaian kita, atau karena kesalahan kita. Dalam keadaan ini, memang kecenderungan manusia mendorong kita untuk marah, tidak terima atau berusaha menutup-nutupi kesalahan kita. Kita mesti meminta rahmat Tuhan agar jika ini terjadi, kita tidak terlalu gengsi untuk meminta maaf. Juga, agar kita dapat melihat peristiwa ini dari sudut pandang yang berbeda. Marilah kita mengingat bahwa dulupun Tuhan Yesus pernah melalui pengalaman dipermalukan sedemikian rupa di Jalan Salib-Nya sampai wafat-Nya. Bahkan, lebih lagi, karena semua itu diterima-Nya padahal Ia sama sekali tidak bersalah. Maka penghinaan yang kita terima tidak ada apa-apanya dengan penghinaan yang pernah diterima oleh Tuhan Yesus. Jika kita dipermalukan, mari kita memohon kepada-Nya agar kejadian tersebut dapat menyatukan diri kita dengan-Nya, dan agar kita menjadikan pengalaman itu sebagai kesempatan untuk berbuat silih atas dosa-dosa kita. Semoga dengan demikian, hati kita dimurnikan dan kita semakin dipenuhi dengan kasih dan rahmat-Nya. Agar tergenapilah firman Tuhan ini, “Siapa yang merendahkan diri, akan mendapat karunia di hadapan Tuhan” (lih. Mzm 3:18).
Namun St. Fransiskus dari Sales juga mengingatkan kita supaya kita jangan berpura-pura rendah hati. Atau, punya kerendahan hati yang palsu, yaitu “bahwa ketika kita berkata bahwa kita bukan apa-apa… kita akan sangat menyesal dan kecewa jika orang menganggap kita benar-benar bukan apa-apa… Sebaliknya, kita berpura-pura mundur dan menyembunyikan diri, supaya seluruh dunia mengejar dan mencari kita. Kita berpura-pura menginginkan diri kita sebagai yang terakhir dan duduk di tempat terendah, tetapi dengan pandangan supaya kita dapat beralih dengan lebih mudah ke tempat yang tertinggi. Kerendahan hati tidak memamerkan diri atau menggunakan banyak kata-kata yang merendah….” (St. Francis de Sales, Introduction to the Devout Life, III,5.).
Akhirnya, baiklah jika kita belajar dari Bunda Maria, yang merupakan teladan kita dalam hal kerendahan hati. Ia sungguh menyadari kerendahannya namun pada saat yang sama, besarnya perbuatan-perbuatan Tuhan kepada-Nya. Semoga kita pun dapat melambungkan pujian ini bersama Bunda Maria, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya…. karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus…” (Luk 1:46-49).