[Minggu Paskah III Kis 5:27-41; Mzm 30:2-13; Why 5:11-14; Yoh 21:1-19]
“Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia….” (Kis 5:29) Demikianlah, dalam minggu ini, beberapa kali kita diingatkan akan ayat ini, yang menyatakan keteguhan iman para rasul. Memang, setelah kebangkitan Kristus, para rasul menjadi semakin yakin dan percaya bahwa Kristus adalah Pemimpin dan Penyelamat yang kepada-Nya mereka harus taat. Sebab mereka telah melihat dan mengalami, bahwa semua yang dikatakan oleh Tuhan Yesus sebelum wafat-Nya, tergenapi. Yaitu bahwa Ia akan diserahkan ke tangan para tua-tua Yahudi, akan menderita sengsara, wafat dan bangkit pada hari yang ketiga. Ini sudah dikatakan oleh Yesus sebelum wafat-Nya, bahkan sampai tiga kali, tetapi hal tersebut tidak langsung dipahami oleh para rasul. Baru, pada waktu mereka melihat kubur-Nya yang kosong, lalu Yesus menampakkan diri di tengah-tengah mereka dan bahkan makan bersama mereka, maka mereka menjadi percaya. Para rasul pun mengalami semacam “proses” pertumbuhan iman, saat mereka mengalami kehadiran Kristus secara baru dalam hidup mereka.
Mari secara khusus kita renungkan apa yang terjadi pada Rasul Petrus. Sebagai pemimpin para rasul, di banyak kesempatan Rasul Petrus tampil sebagai yang pertama bertindak maupun berkomentar. Sering tanpa berpikir terlalu jauh. Di malam sebelum Yesus menderita sengsara, Yesus telah mengingatkan para murid-Nya bahwa mereka semua akan tergoncang imannya. Namun menanggapi pernyataan itu, Petrus spontan menjawab, “Biarpun mereka [para rasul lainnya] tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak” (Mat 22:33). Suatu jawaban yang terkesan “sombong”; menganggap diri lebih kuat iman daripada para rasul lainnya, dan juga menganggap diri lebih mengenal dirinya sendiri daripada Tuhan Yesus mengenalnya. Baru ketika nubuat Yesus terpenuhi, yaitu bahwa ia ternyata menyangkal Yesus sampai tiga kali sebelum ayam berkokok (Mat 22:69-75); akhirnya Rasul Petrus mengakui kelemahannya dalam tangis dan air mata. Dan mungkin di saat itu lah ia berjanji kepada Tuhan dan kepada dirinya sendiri untuk bersikap lebih rendah hati di kemudian hari.
Kesempatan bagi Rasul Petrus untuk memperbaiki kesalahannya itu akhirnya tiba, saat Tuhan Yesus menampakkan diri ketiga kalinya setelah kebangkitan-Nya, di pantai danau Tiberias. Saat itu Rasul Petrus bersama enam orang rasul lainnya sedang berusaha menangkap ikan, walaupun semalaman mereka tidak memperoleh apa-apa. Yesus datang, tapi mereka tidak mengenali-Nya, mungkin karena jarak, atau mungkin juga karena mereka telah kelelahan akibat kerja keras semalaman tanpa hasil. Yesus bertanya apakah mereka mempunyai lauk pauk; yaitu, apakah mereka telah mendapatkan ikan. Ketika “tidak” adalah jawab mereka, Yesus menyuruh mereka menebarkan jala ke kanan perahu. Dan secara ajaib, mereka lantas memperoleh banyak ikan. Sontak Rasul Yohanes mengenali Siapakah itu yang telah berkata-kata kepada mereka. “Itu Tuhan,” katanya kepada Petrus. Petrus langsung terjun ke air menuju ke tepi, untuk menemui Tuhan Yesus. Tak terbayangkan bagaimana perasaan Rasul Petrus saat itu. Mungkin ingin menebus kesalahannya, mungkin pula rasa haru, melihat Tuhan Yesus datang lagi menemui mereka dan bahkan memberi mukjizat banyaknya ikan yang mereka tangkap. Tahu persis isi hati Petrus, Tuhan Yesus bertanya, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau,” jawab Petrus. Kali ini Petrus tidak menambahkan, “melebihi mereka.” Yesus pun bertanya dua kali lagi pertanyaan yang sama. Dan Rasul Petrus pun memperoleh kesempatan untuk menyatakan kasihnya tiga kali, seolah untuk “mengobati” penyangkalannya akan Yesus yang telah dilakukannya sebanyak tiga kali juga. Rasul Petrus akhirnya menjawab, bahwa Tuhan Yesus yang mengetahui segala sesuatu, tentunya mengetahui apa yang ada di dalam hatinya, yaitu bahwa ia mengasihi Yesus. Tuhan Yesus menerima pernyataan kasih Petrus itu, dan memercayakan kepadanya tugas yang sangat besar: menggembalakan domba- domba-Nya, yaitu semua orang yang percaya kepada-Nya. Tuhan Yesus menerima pertobatan Rasul Petrus dan tidak memperhitungkan kesalahannya yang dahulu. Yang diperhitungkan Tuhan Yesus adalah kasihnya. Ya, yang dipandang Tuhan adalah sejauh mana kita mengasihi Dia. “O Tuhan, tambahkanlah kasihku kepada-Mu!”
Injil ditutup dengan nubuat Yesus akan kematian Rasul Petrus. Di usia tuanya, Petrus akan dibawa ke tempat yang tidak dikehendakinya; dan dengan demikian ia sungguh-sungguh mengikuti Yesus, bahkan sampai pada caranya wafat disalibkan (lih. Yoh 21:18-19). Dengan kagum St. Agustinus menulis tentang kemartiran Rasul Petrus demikian, “Sang penyangkal namun juga sang kekasih, yang dulu congkak oleh kesombongan, jatuh oleh penyangkalan, dimurnikan oleh air mata, diteguhkan oleh pengakuan, dimahkotai oleh ketahanan akan penderitaan, menemui akhirnya, bahwa ia wafat demi kasih sempurna kepada Kristus, yang kepada-Nya ia dengan terburu-buru tanpa pikir telah berjanji akan mati. Dikuatkan oleh Kebangkitan-Nya, ia [Petrus] melakukan apa yang dalam kelemahannya telah ia janjikan. Dan kini ia tidak takut akan pembongkaran hidupnya di dunia, sebab Tuhan yang sudah bangkit telah menunjukkan kepadanya pola kehidupan yang lain.” (St. Augustine)