[Hari Raya St. Petrus dan St. Paulus: Kis 12:1-11; Mzm 34:2-9; 2 Tim 4:6-8.17-18; Mat 16:13-19]
Bagaikan cerita bersambung, tiga Minggu terakhir ini, kita merenungkan tiga hal yang saling berkaitan. Pertama, setelah Pentakosta kita diingatkan akan asal dan tujuan akhir hidup kita, yaitu kesatuan kasih dalam Allah Tritunggal Mahakudus. Kedua, bahwa kesatuan kasih itu telah mulai dapat kita alami di dunia ini melalui Ekaristi kudus. Dan ketiga, bahwa kesatuan kasih itu kita peroleh melalui Gereja-Nya yang telah didirikan di atas Rasul Petrus, yang bersama dengan Rasul Paulus, telah menyerahkan nyawa mereka, demi iman mereka akan Kristus. Sebab melalui Gereja, kita menerima Ekaristi kudus; dan dari para Rasul itu kita melihat betapa sempurnanya mereka mengikuti teladan kasih Kristus sampai sehabis-habisnya. Kerelaan mereka untuk wafat sebagai martir menjadikan mereka seperti roti Ekaristi yang terpecah bagi orang lain. Hari Minggu ini kita memperingati Hari Raya St. Petrus dan St. Paulus. Kita merenungkan teladan iman dan kasih mereka, namun juga kasih dan kebijaksanaan Allah yang telah memilih mereka meskipun mereka pernah bersalah terhadap-Nya. Yang satu pernah mengkhianati Kristus, bahkan sampai tiga kali, dan yang lain pernah menolak-Nya dengan menganiaya dan membunuh begitu banyak murid-murid-Nya. Namun belas kasih Allah jauh lebih besar daripada semua dosa itu. Pertobatan kedua Rasul itu membukakan harapan nyata bagi kita, bahwa jika kita bertobat, kitapun akan diterima kembali oleh Allah. Allah siap sedia mengangkat kita agar kita kembali masuk ke dalam kesatuan kasih- Nya yang sempurna. Roh Kudus-Nya akan mengubah kita menjadi orang-orang yang berani menjadi saksi-Nya sampai akhir.
Injil hari ini mengisahkan bahwa Kristus telah mendirikan Gereja-Nya di atas Rasul Petrus, setelah pengakuan imannya akan Kristus sebagai Anak Allah yang hidup (lih. Mat 16: 16-19). Walau tak mudah bagi Rasul Petrus untuk menerima konsekuensi dari pengakuan imannya ini, namun oleh rahmat Allah, ia dimampukan untuk mengikuti jejak Gurunya. Tradisi Roma mengatakan bahwa pada masa penganiayaan jemaat di Roma oleh Kaisar Nero (67 AD), Rasul Petrus mengikuti desakan jemaat untuk meninggalkan kota Roma, dan melanjutkan kepemimpinan Gereja dari luar kota. Namun sesampainya di luar pintu gerbang kota, konon ia bertemu dengan Kristus yang sedang memanggul salib. Lalu Rasul Petrus bertanya, “Mau ke manakah Engkau, Tuhan? (Quo vadis, Domine?)”. Tuhan Yesus menjawab, “Ke Roma, untuk membiarkan Diri-Ku disalibkan kembali.” Petrus memahami makna ungkapan ini sepenuhnya. Ia segera kembali ke kota Roma, di mana salib telah menunggunya. Tak lama kemudian, Rasul Petrus menerima ajalnya sebagai martir. Para sejarawan mencatat bahwa Rasul Petrus wafat disalib dengan kepala di bawah, sebab ia menganggapnya tidak layak untuk wafat dengan cara yang sama dengan Tuhannya. Ini merupakan penggenapan nubuat akan kematian Rasul Petrus yang dikatakan oleh Kristus (Yoh 21:18-19). Demikian pula, Rasul Paulus-pun wafat sebagai martir di kota Roma, dengan dipenggal kepalanya.
Setidaknya, sejak abad ke-3, Gereja telah merayakan tanggal 29 Juni sebagai Hari Raya kemartiran St. Petrus dan Paulus. Di hari inilah Gereja merayakan hari yang istimewa bagi keduanya, saat mereka membuktikan iman dan kasih mereka kepada Tuhan sampai ke tingkat yang tertinggi, dan dengan demikian, mengikuti Yesus dengan sempurna. Kitapun sesungguhnya dipanggil untuk menjadi saksi iman, seperti para Rasul itu. Mungkin bentuk kemartiran kita tidak seperti yang dialami oleh mereka, tetapi tetaplah dalam keseharian kita, kita ditantang untuk berani mengasihi dan rela berkorban sampai akhir. Tantangan ini selalu ada, baik di dalam keluarga, komunitas gerejawi, lingkungan pekerjaan, dst. Di kala ada banyak kesulitan ataupun salah paham dalam keluarga, maupun dalam kegiatan paroki, apakah kita cenderung menarik diri dan tidak lagi mau terlibat? Mengundurkan diri, atau bahkan keluar dari Gereja? Semoga pengalaman Rasul Petrus dapat menegur kita, agar kita justru kembali menghadapi permasalahan kita bersama Yesus. Mari, berjuang mematikan ke-egoisan kita, dan membiarkan Kristus mengubah kita menjadi orang- orang yang terus mengasihi, walau pihak yang kita kasihi tidak menghargai, atau bahkan melukai hati kita. Sebab dengan demikian, kita membuktikan kasih kita kepada Tuhan, dan menjadikan diri kita bagaikan roti Ekaristi yang terpecah bagi orang lain, seperti Kristus yang telah lebih dulu melakukannya untuk kita. Maka kita disatukan dengan Kristus, tidak saja dengan menerima Ekaristi, namun juga dengan mengikuti teladan kasih-Nya sampai ajal menjemput kita. Dan dengan penuh harap kita menantikan saatnya agar kita dapat digabungkan dengan para kudus-Nya dalam Kerajaan Surga. Rasul Petrus dan Rasul Paulus, doakanlah kami!
Terimakasih Pak Stef dan Ibu Inggrid, kurasakan sungguh lewat tulisan anda ini Roh Kudus, Roh Penghibur hadir menguatkan kami domba2Nya yg masih berjuang didunia ini “…. Mungkin bentuk kemartiran kita tidak seperti yang dialami oleh mereka, tetapi tetaplah dalam keseharian kita, kita ditantang untuk berani mengasihi dan rela berkorban sampai akhir….. Mari, berjuang mematikan ke-egoisan kita, dan membiarkan Kristus mengubah kita menjadi orang- orang yang terus mengasihi, walau pihak yang kita kasihi tidak menghargai, atau bahkan melukai hati kita. Sebab dengan demikian, kita membuktikan kasih kita kepada Tuhan, dan menjadikan diri kita bagaikan roti Ekaristi yang terpecah bagi orang lain, seperti Kristus yang telah lebih dulu melakukannya untuk kita…”. Terimakasih. Semoga Kasih Yesus dan teladan kerendahan hatiNya selalu tercurah dalam kehidupan anda dan pelayanan anda semakin berbuah lebat. Amin..
[Dari Katolisitas: Terima kasih atas dukungan doa Anda. Teriring doa juga untuk Anda sekeluarga.]
Comments are closed.