Katekismus Gereja Katolik mengajarkan prinsip dasar untuk melakukan bisnis/ ekonomi, yaitu:
1. Penghormatan terhadap martabat manusia, penguasaan diri, keadilan, solidaritas dan kemurahan hati.
KGK 2407 Di bidang ekonomi, hormat kepada martabat manusia menuntut kebajikan penguasaan diri, supaya mengendalikan ketergantungan kepada barang-barang dunia ini: kebajikan keadilan, supaya menjamin hak-hak sesama dan memberi kepadanya apa yang menjadi haknya; dan solidaritas sesuai dengan kaidah emas dan sikap suka memberi dari Tuhan, karena “Ia, sekalipun Ia kaya, telah menjadi miskin karena kamu, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (2 Kor 8:9).
2. Janji dan kontrak yang telah disetujui harus dipenuhi; peraturan yang ditetapkan oleh pihak otoritas yang sah harus diikuti
KGK 2410 Janji dan kontrak harus dipenuhi dengan saksama, sejauh kewajiban yang telah disetujui itu adil secara moral. Kehidupan ekonomi dan masyarakat sebagian besarnya bergantung pada kesetiaan orang kepada kontrak yang dibuat antara badan-badan fisik atau moral: kontrak penjualan atau pembelian, kontrak sewa-menyewa, atau kontrak kerja. Tiap kontrak harus dibuat dan dilaksanakan dengan kehendak baik.
KGK 2429 Tiap orang berhak atas usaha ekonomi; tiap orang dapat dan harus mempergunakan talenta-talentanya, supaya dapat memberi sumbangan kepada kesejahteraan yang berguna bagi semua orang, dan supaya dapat menuai hasil-hasil yang adil dari jerih payahnya. Ia harus selalu memperhatikan agar berpegang pada peraturan-peraturan, yang otoritas sah telah tetapkan demi kesejahteraan umum (Bdk. CA 32; 34).
3. Kontrak disusun atas dasar keadilan dengan mempertimbangkan hak-hak pribadi yang terlibat.
KGK 2411 Kontrak-kontrak berada di bawah tuntutan keadilan komutatif, yang mengatur pertukaran antara pribadi-pribadi dengan memperhatikan hak-hak mereka dengan saksama. Keadilan komutatif wajib sifatnya. Ia menuntut bahwa orang melindungi hak-hak pribadi, membayar kembali utang, dan memegang teguh kewajiban-kewajiban yang telah diterima dengan sukarela. Tanpa keadilan komutatif, tidak mungkin ada suatu bentuk keadilan yang lain.Keadilan komutatif dibedakan dari keadilan legal, yang menyangkut kewajiban para warga negara terhadap persekutuan dan dari keadilan distributif yang mengatur, apa yang harus diberikan persekutuan kepada para warganya, sesuai dengan sumbangan dan kebutuhan mereka.
4. Barangsiapa yang telah mencuri milik orang lain, harus mengembalikannya.
KGK 2412 Demi keadilan komutatif, kewajiban untuk ganti rugi menuntut bahwa orang mengembalikan barang yang dicuri kepada pemiliknya. Yesus memuji Zakheus karena janjinya: “Sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang, akan kukembalikan empat kali lipat” (Luk 19:8). Siapa yang secara langsung atau tidak langsung mengambil milik orang lain, berkewajiban untuk mengembalikannya, atau membayarnya kembali dengan uang tunai atau dalam natura; demikian juga mengganti kerugian bunga atau manfaat yang pemilik sah dapat terima darinya. Siapa yang dengan salah satu cara telah mengambil keuntungan darinya dengan radar, umpamanya siapa yang menyuruhnya atau yang telah bekerja sama atau yang melindunginya, berkewajiban untuk ganti rugi sesuai dengan tanggung jawab dan keuntungannya.
5. Perkembangan ekonomi/produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, melayani keseluruhan manusia dan persekutuan manusia
KGK 2426 Pengembangan kehidupan ekonomi dan peningkatan produksi harus melayani kebutuhan manusia. Kehidupan ekonomi bukan hanya ada untuk melipatgandakan barang-barang produksi dan meningkatkan keuntungan atau kekuasaan; pada tempat pertama sekali ia harus melayani manusia: manusia seutuhnya dan seluruh persekutuan manusia. Kegiatan ekonomi harus – menurut metodenya sendiri – dilaksanakan dalam kerangka tata moral dan keadilan sosial sedemikian, sehingga ia sesuai dengan apa yang Allah maksudkan untuk manusia (Bdk. GS 64).
KGK 2429 Tiap orang berhak atas usaha ekonomi…
6. Pekerjaan merupakan: 1) kewajiban untuk melanjutkan karya penciptaan Allah; 2) mengembangkan talenta dari Allah untuk memberikan sumbangan bagi kesejahteraan bersama; 3) kesempatan melatih kemampuan kodrati; 4) alat untuk memperoleh harta milik secukupnya untuk diri sendiri dan sesama; 5) sesuatu yang harus dapat diperoleh tanpa diskriminasi yang tak adil
KGK 2427 Karya manusia adalah tindakan langsung dari manusia yang diciptakan menurut citra Allah. Mereka ini dipanggil, supaya bersama-sama melanjutkan karya penciptaan, kalau mereka menguasai bumi (Bdk. Kej 1:28; GS 34; CA 31). Dengan demikian pekerjaan adalah satu kewajiban: “Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes 3:10, Bdk. 1 Tes 4:11). Pekerjaan menghargai anugerah-anugerah dan talenta-talenta yang diterima dari Pencipta. Tetapi ia juga dapat menyelamatkan. Apabila manusia dalam persatuan dengan Yesus, Tukang dari Nasaret dan Yang Tersalib di Golgota, menerima jerih payah pekerjaan (Bdk. Kej 3:14-19), ia boleh dikatakan bekerja bersama dengan Putera Allah dalam karya penebusan-Nya. Ia membuktikan diri sebagai murid Kristus, kalau ia, dalam kegiatannya yang harus ia laksanakan hari demi hari, memikul salibnya (Bdk. LE 27). Pekerjaan dapat menjadi sarana pengudusan dan dapat meresapi kenyataan duniawi dengan semangat Kristus.
KGK 2428 Waktu bekerja, manusia melatih dan melaksanakan sebagian dari kemampuan kodratinya. Nilai utama dari pekerjaan itu datang dari manusia sendiri yang melaksanakannya dan untuk siapa pekerjaan itu ditentukan. Pekerjaan memang untuk manusia, dan bukan manusia untuk pekerjaan (Bdk. LE 6).Tiap orang harus dapat menghasilkan melalui pekerjaan itu harta milik secukupnya, supaya dapat memelihara diri sendiri dan orang-orangnya dan supaya ia dapat menyumbang bagi persekutuan manusia.
KGK 2429 Tiap orang berhak atas usaha ekonomi; tiap orang dapat dan harus mempergunakan talenta-talentanya, supaya dapat memberi sumbangan kepada kesejahteraan yang berguna bagi semua orang, dan supaya dapat menuai hasil-hasil yang adil dari jerih payahnya. Ia harus selalu memperhatikan agar berpegang pada peraturan-peraturan, yang otoritas sah telah tetapkan demi kesejahteraan umum (Bdk. CA 32; 34).
KGK 2433 Tanpa diskriminasi yang tidak adil, semua orang, pria dan wanita yang sehat dan yang cacat, pribumi dan pekerja asing harus bisa mendapat pekerjaan dan profesi (Bdk. LE 19; 22-23). Sesuai dengan situasi, masyarakat harus membantu para warga, supaya memperoleh pekerjaan dan tugas (Bdk. CA 48).
7. Konflik yang terjadi harus diupayakan diselesaikan dengan musyawarah dengan memperhatikan hak dan kewajiban tiap pihak; tidak diperkenankan menggunakan kekerasan
KGK 2430 Dalam kehidupan ekonomi tercakup beberapa kepentingan yang sering kali bertentangan. Dari situlah timbul konflik-konflik, yang mewarnainya (Bdk. LE 11). Orang harus berikhtiar supaya menyelesaikannya dengan jalan musyawarah, yang memperhatikan hak dan kewajiban dari tiap pelaku sosial: majikan, buruh, dan wakil-wakilnya, umpamanya serikat buruh, dan jika perlu petugas pemerintah.
KGK 2435 Pemogokan dapat dibenarkan secara moral, apabila ia merupakan satu cara yang tidak dapat dihindarkan, malahan satu cara yang perlu demi satu manfaat yang seimbang. Ia tidak dapat diterima secara moral, kalau ia dibarengi dengan kekerasan atau kalau bersama itu orang mengejar tujuan-tujuan yang tidak langsung berkaitan dengan persyaratan pekerjaan yang bertentangan dengan kesejahteraan umum.
8. Tugas negara: 1) menentukan norma yuridis dan politik; 2) menjamin keamanan agar proses ekonomi/ produksi dapat berjalan efektif; 3) mengawasi dan mengatur cara mewujudkan hak-hak manusia di bidang ekonomi
KGK 2431 Tanggung jawab negara. “Kegiatan ekonomi, terutama yang menyangkut ekonomi pasar, tidak dapat dikembangkan tanpa ketentuan-ketentuan hukum dan norma-norma yuridis maupun politik. Sebaliknya kegiatan itu mengandaikan jaminan yang sungguh andal terhadap kebebasan dan milik perorangan, begitu pula situasi moneter yang stabil dan pelayanan umum yang tepat guna. Maka dari itu, tugas utama negara ialah menjamin keamanan sehingga kaum pekerja maupun para produsen dapat menikmati hasil kerja mereka, dan dengan demikian didorong untuk bekerja secara efektif dan jujur … Selanjutnya negara wajib juga mengawasi dan mengatur cara-cara merealisasikan hak-hak manusia di bidang perekonomian. Tetapi dalam hal itu tanggung jawab utama tidak ada pada negara, tetapi pada warga perorangan dan pelbagai serikat serta kelompok, yang semuanya membentuk masyarakat” (CA 48).
9. Pengusaha/ majikan: 1) bertanggungjawab kepada masyarakat terhadap akibat perekonomian dan ekologi; 2) wajib memperhatikan kesejahteraan manusia; 3) tidak hanya cari untung
KGK 2432 Para majikan bertanggung jawab kepada masyarakat untuk akibat-akibat perekonomian dan ekologi (Bdk. CA 37) dari kegiatan mereka. Mereka berkewajiban supaya memperhatikan kesejahteraan manusia dan tidak hanya peningkatan keuntungan. Memang keuntungan itu penting. Keuntungan memungkinkan investasi yang menjamin masa depan perusahaan dan lapangan kerja.
10. Pekerjaan yang sah harus menghasilkan upah yang adil (berdasarkan kebutuhan dan prestasi), dan upah tak dapat ditahan/ ditangguhkan.
KGK 2434 Upah yang adil adalah buah pekerjaan yang sah. Tidak memberikannya atau menahannya adalah ketidakadilan yang sangat besar (Bdk. Im 19:13; Ul 24:14-15; Yak 5:4). Untuk memperhitungkan pembayaran yang adil, haruslah diperhatikan baik kebutuhan-kebutuhan maupun prestasi dari setiap orang. Pekerjaan harus “mendapat imbalannya sedemikian rupa, sehingga bagi manusia tersedialah kemungkinan untuk secara layak mengembangkan bagi dirinya maupun kaum kerabatnya kehidupan jasmani, sosial, budaya, dan rohani, dengan mempertimbangkan tugas serta produktivitas masing-masing, pun juga situasi perusahaan dan kesejahteraan umum” (GS 67,2). Persetujuan dari pihak yang bersangkutan saja tidak cukup untuk membenarkan secara moral tingginya upah.
Hal-hal yang tidak diperkenankan dalam melakukan bisnis/ usaha adalah:
1. Tidak diperkenankan mencuri/mencaplok harta milik orang lain, menipu, membayar upah dengan tidak adil atau menahan upah, menaikkan harga dengan menyalahgunakan ketidaktahuan atau kesusahan orang lain, spekulasi semena-mena, korupsi, tidak bekerja dengan baik, mencuri ataupun merusak milik umum, pengelakan pajak, pemalsuan cek, pemborosan, pelanggaran hukum moral.
KGK 2408 Perintah ketujuh melarang pencurian yang berarti mencaplok harta milik orang lain dengan melawan kehendak pemiliknya. Bukanlah pencurian, kalau orang dapat mengandaikan persetujuan pemilik, atau kalau penolakannya bertentangan dengan akal budi atau dengan peruntukan barang-barang untuk semua orang. Misalnya seandainya dalam keadaan darurat yang mendesak dan nyata, pencaplokan dan penggunaan harta milik orang lain itu merupakan jalan yang satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar (sandang, pangan, papan, Bdk. GS 69,1).
KGK 2409 Mencaplok milik orang lain dengan cara yang bagaimanapun atau tetap memegangnya, juga apabila tidak bertentangan dengan ketentuan hukum masyarakat, merupakan pelanggaran melawan perintah ketujuh. Demikian pula berlaku kalau menyimpan dengan sengaja barang-barang pinjaman atau barang temuan, kalau menipu dalam perdagangan (Bdk. Ul 25:13-16), kalau membayar upah secara tidak adil (Bdk. Ul 24:14-15; Yak 5:4) dan menaikkan harga dengan menyalahgunakan ketidaktahuan atau keadaan susah orang lain (Bdk. Am 8:4-6). Demikian juga harus dikecam secara moral: spekulasi, yang olehnya orang menaikkan atau menurunkan harga secara semena-mena, agar mendapat keuntungan darinya dengan merugikan orang lain; korupsi, yang olehnya mereka menggoda orang yang bertanggung jawab, supaya menjatuhkan keputusan melawan hukum; pencaplokan dan penggunaan secara privat harta milik umum suatu perusahaan; pelaksanaan pekerjaan yang buruk, pengelakan pajak, pemalsuan cek dan rekening, pengeluaran dan pemborosan secara berlebihan. Merusak dengan sengaja harta milik privat atau umum, melanggar hukum moral dan menuntut ganti rugi.
KGK 2434 Upah yang adil adalah buah pekerjaan yang sah. Tidak memberikannya atau menahannya adalah ketidakadilan yang sangat besar (Bdk. Im 19:13; Ul 24:14-15; Yak 5:4)….
2. Tidak diperkenankan mengadakan taruhan yang tidak adil atau menipu dalam permainan.
KGK 2413 Main judi (umpamanya main kartu) atau taruhan sebenarnya tidak melanggar keadilan. Tetapi itu tidak dapat dibenarkan secara moral, kalau merugikan seseorang dalam apa, yang ia butuhkan untuk keperluan hidupnya dan keperluan hidup orang lain. Nafsu bermain dapat memperhamba pemain. Mengadakan taruhan yang tidak adil atau menipu dalam permainan adalah kesalahan besar, kecuali kalau kerugian itu begitu minim, sehingga yang dirugikan tidak terlalu menghiraukan sesuai dengan akal sehat.
3. Tidak diperkenankan melakukan usaha yang menyebabkan manusia diperhamba, diperkosa martabatnya atau haknya, dibeli atau dijual seperti benda.
KGK 2414 Perintah ketujuh melarang perbuatan atau usaha, yang karena salah satu alasan – egoisme, ideologi, nafsu – mengambil untung atau karena sikap totaliter menyebabkan, bahwa manusia diperhamba, diperkosa dalam martabat pribadinya atau dibeli, dijual, atau ditukar bagaikan benda. Adalah dosa melawan martabat manusia dan hak asasinya, dengan segala kekerasan memperlakukan mereka bagaikan barang keperluan sehari-hari atau menjadikan mereka sumber keuntungan. Santo Paulus menghimbau kepada seorang majikan Kristen, agar memperlakukan hambanya yang Kristen “bukan lagi sebagai hamba melainkan lebih daripada hamba yaitu sebagai saudara yang kekasih” (Flm 16).
Dear Katolisitas,
Saya ingin bertanya mengenai transaksi bisnis sebagai berikut.
Dalam hal transaksi properti, ada beberapa pajak2 yang harus dibayarkan. Pajak dihitung dari harga jual tertinggi (minimal NJOP).
Seringkali Pembeli / Penjual tidak menaati hal ini (langsung menggunakan NJOP nya), supaya pajak yang dibayarkan lebih kecil.
Karena kalau salah satu pihak tidak setuju terhadap besaran pajak, maka transaksi tidak terjadi.
Apakah ini termasuk hal yang salah ?
[dari katolisitas: Intinya, kita harus mentaati peraturan yang diberikan.]
Syalom
Saya ada pertanyaan : apakah saya dapat melakukan kegiatan bisnis pada hari Minggu ? Misalnya buka toko atau restoran, jika boleh jam berapa dimulai,
trims
Shalom Richard,
Pada dasarnya, Gereja mengajarkan bahwa kita harus menguduskan hari Tuhan pada hari Minggu dan hari-hari perayaan wajib lainnya. Maka pada hari-hari tersebut, kita harus mengikuti perayaan Ekaristi kudus, dan tidak melakukan kegiatan yang dapat menghalangi ibadat dan beristirahat, demi kesehatan jiwa dan raga kita.
Ketentuannya adalah dari Kitab Hukum Kanonik dan dari Katekismus Gereja Katolik, demikian:
KHK Kan. 1247 Pada hari Minggu dan pada hari raya wajib lain umat beriman berkewajiban untuk ambil bagian dalam Misa; selain itu, hendaknya mereka tidak melakukan pekerjaan dan urusan-urusan yang merintangi ibadat yang harus dipersembahkan kepada Allah atau merintangi kegembiraan hari Tuhan atau istirahat yang dibutuhkan bagi jiwa dan raga.
Sedangkan menurut Katekismus, adalah demikian:
KGK 2182 Mengambil bagian pada perayaan Ekaristi pada hari Minggu secara bersama memberi kesaksian tentang keanggotaan dan kesetiaan kepada Kristus dan Gereja-Nya. Dengan demikian, umat beriman meneguhkan persekutuannya di dalam iman dan di dalam kasih. Bersama-sama mereka memberi kesaksian tentang kekudusan Allah dan harapan mereka akan keselamatan. Mereka saling meneguhkan di bawah bimbingan Roh Kudus.
KGK 2183 “Jika tidak ada pelayan rohani atau karena alasan berat lainnya tidak mungkin ambil bagian dalam perayaan Ekaristi, sangat dianjurkan agar kaum beriman ambil bagian dalam Ibadat Sabda yang mungkin diadakan di gereja paroki atau di tempat suci lainnya, menurut ketentuan Uskup diosesan; atau hendaknya secara perorangan atau di dalam keluarga atau jika mungkin beberapa keluarga, bersama, meluangkan waktu untuk berdoa untuk selama waktu yang pantas” (KHK, Kan. 1248, 2).
KGK 2184 Sebagaimana Allah berhenti pada hari ketujuh, setelah Ia menyelesaikan seluruh pekerjaan-Nya” (Kej 2:2), demikianlah kehidupan manusia mendapat iramanya melalui pekerjaan dan istirahat. Adanya hari Tuhan memungkinkan bahwa semua orang memiliki waktu istirahat dan waktu senggang yang cukup untuk merawat kehidupan keluarganya, kehidupan kultural, sosial, dan keagamaan Bdk. GS 67,3.
KGK 2185 Pada hari Minggu dan hari-hari pesta wajib lainnya, hendaknya umat beriman tidak melakukan pekerjaan dan kegiatan-kegiatan yang merintangi ibadat yang harus dipersembahkan kepada Tuhan atau merintangi kegembiraan hari Tuhan atau istirahat yang dibutuhkan bagi jiwa dan raga (Bdk. KHK, Kan. 1247). Kewajiban-kewajiban keluarga atau tugas-tugas sosial yang penting memaafkan secara sah perintah mengikuti istirahat pada hari Minggu. Tetapi umat beriman harus memperhatikan bahwa pemaafan yang sah tidak boleh dijadikan kebiasaan yang merugikan penghormatan kepada Allah, kehidupan keluarga, dan kesehatan.
“Kasih akan kebenaran mendorong untuk mencari waktu senggang yang kudus; kasih persaudaraan mendesak untuk menerima pekerjaan dengan sukarela” (Agustinus, civ. 19,19).
KGK 2186 Warga Kristen yang mempunyai waktu luang, harus ingat akan saudara dan saudarinya, yang mempunyai kebutuhan dan hak yang sama, namun karena alasan kemiskinan dan kekurangan tidak dapat istirahat. Di dalam tradisi kesalehan Kristen, hari Minggu biasanya dipergunakan untuk karya amal dan pengabdian rendah hati kepada orang sakit, orang carat, dan orang lanjut usia. Orang Kristen hendaknya juga menguduskan hari Minggu dengan memperhatikan sanak-saudara dan sahabat-sahabatnya yang kurang mendapat perhatian mereka pada hari-hari lain dalam minggu. Hari Minggu adalah hari untuk permenungan, keheningan, pembinaan, dan semadi yang memajukan pertumbuhan kehidupan Kristen.
KGK 2187 Pengudusan hari Minggu dan hari-hari pesta menuntut usaha bersama. Seorang Kristen harus berhati-hati, supaya jangan tanpa alasan mewajibkan seorang lain melakukan sesuatu yang dapat menghalang-halanginya untuk merayakan hari Tuhan. Juga apabila kegiatan-kegiatan (umpamanya yang bersifat olahraga dan ramah-tamah) dan kepentingan-kepentingan sosial (seperti pelayanan umum) menuntut, agar orang tertentu bekerja pada hari Minggu, tiap orang harus mencari waktu luang yang cukup untuk dirinya. Orang Kristen hendaknya berusaha dengan tenang dan penuh kasih, supaya menghindarkan kekacauan dan kekejaman, yang biasanya timbul dalam pergelaran-pergelaran massa. Kendati ada paksaan ekonomi, para penguasa harus mengusahakan bagi para warganya waktu yang diperuntukkan bagi istirahat dan ibadat. Para majikan mempunyai kewajiban yang serupa terhadap karyawannya.
KGK 2188 Orang Kristen harus berusaha agar hari Minggu dan hari-hari pesta Gereja diakui sebagai hari libur umum, sambil memperhitungkan kebebasan beragama dan kesejahteraan umum bagi semua. Mereka harus memberi teladan publik mengenai doa, penghormatan, dan kegembiraan, dan membela adat kebiasaan mereka sebagai sumbangan yang sangat bernilai untuk kehidupan rohani dari masyarakat manusia. Seandainya perundang-undangan negara atau alasan-alasan lain mewajibkan orang bekerja pada hari Minggu, namun hari ini hendaknya tetap dirayakan sebagai hari penebusan kita, yang membuat kita mengambil bagian pada “suatu kumpulan yang meriah”, pada “jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di surga” (Ibr 12:22-23).
Dengan patokan di atas ini, maka pertanyaannya adalah apakah keadaan memaksa Anda harus bekerja pada hari Minggu? Misalnya kalau tidak bekerja, kebutuhan keluarga tidak tercukupi atau bisnis Anda akan merugi dst sehingga Anda tidak dapat melakukan kewajiban sebagai kepala rumah tangga dengan baik? Jika ya, maka seperti dikatakan dalam KGK 2185, Anda dapat bekerja, sepanjang Anda tetap meluangkan waktu untuk merayakan Ekaristi, dan sedapat mungkin menyediakan waktu juga untuk keluarga. Namun jika Tuhan sudah memberikan rezeki yang cukup untuk Anda dan keluarga, maka sesungguhnya tidak ada alasan yang kuat untuk tetap bekerja seperti biasa pada hari Minggu, apalagi sampai tidak merayakan Ekaristi bersama keluarga.Sesungguhnya ketentuan untuk menguduskan hari Tuhan adalah salah satu perintah Tuhan dalam kesepuluh perintah Allah, yang dimaksudkan agar kita manusia mempunyai waktu untuk beristirahat, merenungkan dan mensyukuri rahmat dan kebaikan Tuhan, dan berbagi kasih dengan sesama, secara khusus dengan keluarga. Silakan Anda mengusahakannya, bagaimana Anda dapat memenuhi kehendak Allah ini dalam situasi Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Kasih Tanpa Pamrih dan MOtivasi Dasar Bisnis
Mgr Soegijapranata pernah mengatakan kepada umat Katolik Indonesia : Harus menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia.
Dalam konteks yang berbeda ,dapat pula dikatakan kepada umat Katolik sebagai berikut : ” Harus menjadi 100% Katolik dan 100 % Pebisnis Murni”.
1. Apakah idealisme pebisnis katolik demikian ada di dunia yang fana ini ?
2. Apakah idealisme sedemikian hanya merupakan suatu utopia?
3. Rasanya sulit dan mustahil menggabungkan dan menyintesakan motivasi kasih tanpa pamrih dan motivasi bisnis ( baca : harus untung ) dalam diri seorang pebisnis katolik.
4. Apabila idealisme itu dipaksakan untuk diwujudkan maka akan terjadi suatu kemunafikan dalam diri pebisnis yang bersangkutan. Pebisnis mau tidak mau ( dari kodratnya ) harus memperhitungkan untung rugi dari setiap kegiatan.
5. Bahkan pekerja pun sangat sulit mewujudkan motivasi tersebut, karena para karyawan katolik tetap harus berupaya mendapatkan penghasilan dengan “menjual dirinya” ke perusahaan.Perilaku dan motivasi dasar sebagai pekerja adalah tidak lain gaji naik dan ada suasana kerja yang harmonis.
Submitted on 2014/01/21 at 10:52 am
Tambahan untuk : “Kasih Tanpa Pamrih dan Motivasi Dasar Bisnis
6.Perbedaan hakiki antara ajaran kasih Kristus dengan filosofi dasar dari bisnis membuat seorang katolik sebenarnya mengalami split personality dalam kehidupannya. Mana yang harus diutamakannya : cinta kasih tanpa pamrih ataukah bisnis yang memberikan keuntungan ? Ujung2nya, seorang pebisnis katolik sangat sulit menjadi orang beriman katolik sejati.
7. Oleh karena itu menjadi tanda tanya besar apakah berbisnis merupakan wujud dari kehidupan beriman yang total, dalam arti tidak hanya beribadat pada hari minggu. Bagaimana memaknai bisnis sebagai suatu bentuk ibadah kalau hakekat bisnis sendiri adalah suatu usaha untuk mendapatkan keuntungan demi kelangsungan hidup usaha itu sendiri ( going concern , kata ilmu akunting), sedangkan hidup beriman yang konsisten mengikuti teladan Kristus adalah menjalankan kasih tanpa pamrih.
8. Apakah pilihan hidup berbisnis dapat menjadi kehendak Allah jika ujung2nya mencari profit juga, jadi tidak murni lagi kasih tanpa pamrih.
9.Dalam kaitan ini , KWI sebagai organisasi gereja juga punya banyak usaha yang dibentuk melalui beberapa Perseroan Terbatas untuk mengelola keuangan gereja.Apakah bisnis KWI sejalan dengan ajaran kasih tanpa pamrih dari Yesus? Bukankah KWI justru menjadi pemimpin umat yang perlu memberi contoh penerapan kasih tanpa pamrih dari Yesus?
10. Semoga pemikiran ini yang pada dasarnya berupa berbagai pertanyaan mendapat suatu tanggapan terobosan yang dapat mencerahkan sehingga para pebisnis ( awam maupun rohaniwan/ti tertentu )tidak terjebak dalam slogan bekerja dengan “kasih tanpa pamrih” tetapi tetap saja punya pamrih karena di balik itu masih punya motivasi profit baik yang diungkap secara terang2an maupun yang diumpetin ( seperti usaha penyelenggaraan badan usaha pendidikan yang dikelola banyak tarekat suster atau bruder ).
Shalom Herman Jay,
Nampaknya harus didefinisikan terlebih dahulu, apa yang Anda maksud dengan ‘pebisnis murni’. Sebab Gereja Katolik tidak menihilkan kenyataan bahwa adalah sah bagi seorang yang melakukan bisnis untuk memperoleh keuntungan dari usahanya itu. Hal itu adalah sesuatu yang adil, dan tidak dapat dipertentangkan dengan hukum kasih tanpa pamrih.
Silakan membaca artikel, Apa Prinsip Dasar untuk Melakukan Bisnis secara Kristiani, silakan klik, dan temukanlah di sana prinsip-prinsip dasar melakukan bisnis, menurut Katekismus Gereja Katolik.
Saya ingin menggarisbawahi beberapa point, untuk menanggapi pernyataan Anda yang saya pikir kurang tepat. Yaitu bahwa sepertinya Anda menganggap bahwa Gereja melarang pengusaha untuk memperoleh keuntungan. Ini tidak benar, sebab adalah sesuatu yang adil jika pelaku bisnis memperoleh keuntungan dari bisnisnya. Hanya saja, harus diperhatikan prinsip-prinsip lain dalam meraih keuntungan itu, agar si pengusaha itu tidak hanya memusatkan perhatian untuk mencari keuntungan. Prinsip-prinsip lain itu, misalnya adalah, pentingnya memperhatikan prinsip keadilan bagi semua pihak yang terlibat, martabat manusia, pengaruh ekologis dari kegiatan bisnisnya, harus taat kepada peraturan, dst, sebagaimana disebutkan di artikel di link tersebut.
Maka pengusaha tak boleh hanya semata mencari keuntungan, sebab kegiatan ekonomi harus melayani kebutuhan manusia, dan memperhatikan kesejahteraan manusia seutuhnya, dan ini tak semata diukur dari keuntungan. Tentang ini Katekismus mengajarkan:
KGK 2426 Pengembangan kehidupan ekonomi dan peningkatan produksi harus melayani kebutuhan manusia. Kehidupan ekonomi bukan hanya ada untuk melipatgandakan barang-barang produksi dan meningkatkan keuntungan atau kekuasaan; pada tempat pertama sekali ia harus melayani manusia: manusia seutuhnya dan seluruh persekutuan manusia. Kegiatan ekonomi harus – menurut metodenya sendiri – dilaksanakan dalam kerangka tata moral dan keadilan sosial sedemikian, sehingga ia sesuai dengan apa yang Allah maksudkan untuk manusia (Bdk. GS 64).
KGK 2428 …. Tiap orang harus dapat menghasilkan melalui pekerjaan itu harta milik secukupnya, supaya dapat memelihara diri sendiri dan orang-orangnya dan supaya ia dapat menyumbang bagi persekutuan manusia.
KGK 2432 Para majikan bertanggung jawab kepada masyarakat untuk akibat-akibat perekonomian dan ekologi (Bdk. CA 37) dari kegiatan mereka. Mereka berkewajiban supaya memperhatikan kesejahteraan manusia dan tidak hanya peningkatan keuntungan. Memang keuntungan itu penting. Keuntungan memungkinkan investasi yang menjamin masa depan perusahaan dan lapangan kerja.
Maka Gereja tidak mengatakan bahwa orang kalau berusaha tidak usah cari untung, atau kalau bekerja tidak usah cari nafkah, tetapi hanya menolong saja. Tidak demikian. Sebab adalah sesuatu yang adil, bahwa seseorang memperoleh hasil dari pekerjaannya, agar dapat menghidupi dirinya dan keluarganya, dan memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitarnya.
Nah, dari aktivitas pekerjaan itu, kita akan terhubung dengan sesama pekerja, atau dengan atasan dan bawahan, di mana kita tetap dapat mempraktekkan ajaran kasih tanpa pamrih. Misalnya, kalau ada sesama karyawan yang sakit atau terkena bencana, kita dapat menunjukkan bela rasa, dengan mengunjunginya, atau turut mendukung dengan sejumlah dana, jika kita melihat bahwa ia dan keluarganya sangat membutuhkan; dan ini dilakukan tanpa memperhitungkan apakah kelak orang itu dapat membalas kebaikan kita atau tidak. Jadi perbuatan kasih tanpa pamrih ini jangan diartikan terbatas bahwa orang kalau bekerja tidak usah mengharapkan upah/ gaji; atau kalau berusaha tidak usah mengharapkan untung. Rasanya pemikiran sedemikian ini yang tidak adil dan malah tidak masuk akal.
Jika prinsip dasar ini sudah dipahami, maka saya pikir, Anda akan dapat menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang Anda tuliskan itu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Berkah Dalem,
Saya mau bertanya kepada katolisitas.
1.Dalam praktik bisnis di zaman modern sekarang ini, sangat sering terlihat para pelakunya melakukan hal segala cara untuk meraih keuntungan bisnisnya. Bagaimana pandangan Gereja Katolik terhadap hal ini? Apakah pelaku bisnis (misalnya adalah orang Katolik) harus tetap berkelakukan jujur meskipun bisnisnya lama kelamaan akan bangkrut?
2. Bagaimana pandangan Gereja Katolik terhadap praktik nepotisme?
Terima kasih
Shalom Titus,
1. Silakan terlebih dulu membaca artikel yang baru saja kami tayangkan untuk menanggapi pertanyaan Anda, silakan klik.
Gereja tidak mengatakan bahwa orang tak boleh memperoleh keuntungan dengan melakukan usaha/ bisnis. Keuntungan itu tetap penting, dan harus ada, sebab dengan keuntungan itu orang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengusahakan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Namun yang dibutuhkan adalah kesadaran bahwa melakukan bisnis itu bukan hanya semata mencari untung sebesar-besarnya untuk diri sendiri, tetapi tidak atau kurang memperhatikan hak-hak dan kebutuhan sesamanya, ataupun merusak lingkungannya.
2. Tentang nepotisme
Dari catatan sejarah Gereja, kita ketahui bahwa ada saatnya bahwa jabatan-jabatan gerejawi diberikan berdasarkan hubungan keluarga, daripada berdasarkan jasa/ kemampuan mereka. Keadaan ini pernah dipraktekkan bahkan oleh sejumlah Paus dan uskup, yang memberikan jabatan gerejawi tertentu kepada keponakannya (asal kata nepotism adalah dari kata Latin: nepos, nephew). Namun praktek ini kemudian ditentang oleh Gereja, secara khusus oleh bulla Romanum decet Pontificem di tahun 1692 oleh Paus Innocentius XII.
Katekismus Gereja Katolik tidak secara khusus menulis tentang nepotisme, namun atas dasar prinsip keadilan yang disyaratkan, kita mengetahui bahwa praktek pemilihan seseorang untuk jabatan tertentu atas dasar hubungan keluarga dan bukan atas dasar prestasi/ kemampuan, adalah hal yang tidak adil, dan karena itu tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar Kristiani.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.