Ah, jangan sok suci
Banyak orang mendengar kata ‘kekudusan’ menjadi ciut hati, atau ‘keder’ dalam bahasa ‘slang’ Jawa. Apalagi kalau dalam percakapan sehari-hari, kudus atau suci sering dihubungkan dengan konotasi negatif, misalnya, ‘jangan sok suci’. Padahal kekudusan atau kesempurnaan di mata Tuhan itu adalah sesuatu yang indah, yang harusnya diinginkan oleh semua orang, karena itulah sesungguhnya yang diajarkan oleh Yesus sendiri (lihat Mat 5:48). Bagi kita yang sudah dibaptis, sesungguhnya kita telah diberikan oleh Allah rahmat awal kekudusan itu, ((Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1265, “Pembaptisan tidak hanya membersihkan dari semua dosa, tetapi sernentak menjadikan orang yang baru dibaptis suatu ‘ciptaan baru’ (2Kor 5:17), seorang anak angkat Allah (lih. Gal 4:5-7); ia ‘mengambil bagian dalam kodrat ilahi’ (2Ptr 1:4), adalah anggota Kristus (lih. 1Kor 6:15;12:27), ‘ahli waris’ bersama Dia (Rm 8:17) dan kanisah Roh Kudus (1Kor 6:19).)) yang selayaknya kita pertahankan dan kita tingkatkan (lihat artikel: Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus)
Kekudusan adalah ciri khas Tuhan
Kekudusan adalah salah satu dari sifat utama Tuhan yang menjadi ciri khas-Nya. Kekudusan adalah kasih yang sempurna, sehingga kekudusan dan kasih adalah sesuatu yang tidak terpisahkan, sebab Tuhan adalah Kudus (Im 19:2, Lk 1: 49, 1Ptr 1:15) dan Kasih (1Yoh 4: 10,16).
Kekudusan adalah “dipisahkan” untuk Tuhan
Jika mengacu kepada asal katanya, kekudusan artinya adalah “dipisahkan”, dalam hal ini maksudnya adalah dipisahkan untuk menjadi milik Tuhan. Kekudusan atau ‘sanctitas‘ dalam Kitab Suci Vulgata Perjanjian Baru, mengacu kepada kata hagiosyne (1 Tes 3:13) dan hosiotes (Luk 1:75; Ef 4:24). Kedua kata Yunani ini menyatakan dua arti kekudusan, yaitu: yang berkenaan dengan pemisahan sebagaimana terlihat dalam hagios dari hagos, yang menandai “hal apapun tentang penghormatan religius” (bahasa Latinnya: sacer); dan yang berkenaan dengan apa yang dikuduskan (sanctitus), yaitu hosios yang menerima meterai dari Tuhan. ((Sumber: New Advent Encyclopedia, http://www.newadvent.org/cathen/07386a.htm.))
Kekudusan adalah kehendak Allah bagi semua orang
Kekudusan adalah kehendak Allah untuk kita semua (1Tes 4:3, Ef 1:4; 1Pet 1:16) walaupun kita mempunyai jalan dan status kehidupan yang berbeda-beda. Kita semua, dipanggil untuk hidup kudus dengan menerapkan kasih kepada Tuhan dan sesama (Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31), sehingga kita mencapai kepenuhan hidup Kristiani. ((Lihat Lumen Gentium (LG) 40, juga LG 42, “Maka semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka.”))
Konsili Vatikan II, di dalam dokumennya tentang Gereja (Lumen Gentium) menyerukan panggilan kekudusan untuk semua orang yang berkehendak baik:
“…Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya. Mereka dibenarkan dalam Tuhan Yesus, dan dalam Baptis iman sungguh-sungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat ilahi, maka sungguh menjadi suci. Maka dengan bantuan Allah mereka wajib mempertahankan dan mengembangkan dalam hidup mereka kesucian yang telah mereka terima. Oleh rasul mereka dinasehati, supaya hidup “sebagaimana layak bagi orang-orang kudus” (Ef 5:3); supaya “sebagai kaum pilihan Allah, sebagai orang-orang Kudus yang tercinta, mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran” (Kol 3:12); dan supaya menghasilkan buah-buah Roh yang membawa kepada kesucian (lih. Gal 5:22; Rom 6:22). Akan tetapi karena dalam banyak hal kita semua bersalah (lih. Yak 3:2), kita terus-menerus membutuhkan belas kasihan Allah dan wajib berdoa setiap hari: “Dan ampunilah kesalahan kami” (Mat 6:12). Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih…” (LG, 40)
Kekudusan adalah persekutuan dengan Tuhan dan sesama dalam kasih
Persatuan atau persekutuan dengan Tuhan adalah inti dari kekudusan, ((Lihat Joseph Cardinal Ratzinger, Called to Communion, (Ignatius Press, San Francisco, 1996), p.33, “The ultimate goal…is perfect unity- it is “unification” with the Son, which at the same time makes it possible to enter into the living unity of God Himself so that God might be all in all (1Cor 15:28).”)) sebab Tuhan Allah Tritunggal sendiri adalah contoh dari persekutuan kasih antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Ia yang telah memanggil semua manusia kepada kekudusan, telah juga menanamkan kemampuan pada kita untuk mengasihi dan hidup di dalam persekutuan. ((Lihat Katekismus Gereja Katolik (KGK), 2331. “Allah itu cinta kasih. Dalam diri-Nya Ia menghayati misteri persekutuan cinta kasih antar pribadi (dalam hal ini Pribadi Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus). Seraya menciptakan umat manusia menurut citra-Nya sendiri… Allah mengukirkan panggilan dalam kodrat manusia pria dan wanita, dan karena itu juga kemampuan serta tanggung jawab untuk hidup dalam cinta dan dalam persekutuan.”)) Maka kekudusan adalah persekutuan dengan Allah dan sesama dalam kasih, dan dengan mengasihi inilah kita dapat menjadikan hidup kita berarti dan bahagia, sebab sejak semula memang untuk Allah menciptakan kita agar kita beroleh kebahagiaan.
Jadi, manusia yang diciptakan menurut gambaran Allah, baik itu para religius maupun kaum awam, yang menikah ataupun lajang, tua ataupun muda, semua dipanggil kepada kesempurnaan kasih yang disebut kekudusan ini. ((Lihat LG 39, “Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih.”)). Kekudusan ini diperoleh melalui pemenuhan hukum yang terutama, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama (lih. Mrk 12:30-31). ((Lihat LG 40, “Kamu harus sempurna, seperti Bapamu yang di sorga sempurna adanya” (Mat 5:48). Sebab kepada semua diutus-Nya Roh Kudus, … supaya mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap tenaga mereka (lih. Mrk 12:30), dan saling mencintai seperti Kristus telah mencintai mereka (lih. Yoh 13:34; 15:12). )) yang dicapai dengan mengikuti jejak Tuhan sesuai dengan karunia yang diberikan kepada tiap-tiap orang untuk memberi kemuliaan bagi Tuhan dan pelayanan kepada sesama. ((Lihat LG 40, “Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus, supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan menyerupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama.”)) Mengapa? Sebab jika kita mengasihi Tuhan, kita didorong untuk mengasihi sesama, karena kita melihat Kristus di dalam sesama kita terutama yang lemah dan membutuhkan pertolongan (lih. Mat 25:40). Kasih kepada Tuhan dan sesama inilah yang menunjukkan bahwa kita adalah pengikut Kristus. ((Lihat LG 42, “Maka cinta kasih akan Allah maupun akan sesama merupakan ciri murid Kristus yang sejati.”)) Persekutuan yang erat dengan Tuhan juga mendorong kita menjadikan kehendak Tuhan sebagai kehendak kita sendiri, pikiran Tuhan sebagai pikiran kita sendiri. Dan karena Tuhan menghendaki segala sesuatu utuh dan sempurna, maka persekutuan dengan-Nya juga membawa kita kepada persekutuan dengan sesama dan keutuhan diri sendiri.
Kekudusan itu dimulai dari hal- hal kecil dan sederhana
Dalam hal ini janganlah kita berpikir bahwa kekudusan adalah sesuatu yang terlalu tinggi yang tidak dapat diraih. Sebab, menurut Santa Teresia Kanak-kanak Yesus, kekudusan berawal dari hal-hal kecil dan sederhana yang dilakukan dengan motif kasih yang besar kepada Tuhan, karena “perbuatan kasih adalah jalan utama yang memimpin kita kepada Tuhan.” ((St. Therese of Lisieux, The Story of a Soul, The Autobiography of St. Therese of Lisieux, translated by John Clark, O.C.D., (ICS Publications, Washington DC., Third Edition 1996), p. 194)). Contohnya, kita dapat bangun tidur lebih awal 10 menit untuk berdoa, kita dapat menyapa anggota keluarga, tetangga atau Pak Satpam dengan tersenyum, atau membantu membuang sampah pada tempatnya di rumah atau di tempat kerja. Singkatnya, dalam keseharian kita, kita menyadari akan kehadiran Tuhan, sehingga kita berusaha untuk menyenangkan hati-Nya dengan setiap perkataan dan perbuatan kita. Dimulai dari hal-hal kecil inilah, kemudian kita dibentuk oleh Kristus untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya, yaitu mengikuti kerendahan hati-Nya dengan memikul salib kita sehari-hari, supaya kita dapat turut serta dalam kemuliaan-Nya (1 Pet 4: 13, LG 41).
Kekudusan itu adalah rahmat yang kita peroleh dari Kristus contoh dan sumber kekudusan
Walaupun kita dapat berusaha untuk mengejar kekudusan, namun tidak berarti bahwa kekudusan itu dapat diperoleh dari kekuatan kita sendiri. Sebab kekudusan itu sesungguhnya adalah rahmat Tuhan. Tuhan telah memberikan teladan kesempurnaan kasih dengan memberikan diri-Nya sendiri melalui Yesus Kristus Putera-Nya kepada kita (1Yoh 4:10). Di dalam Kristus, Tuhan memberitahukan kepada kita kesempurnaan kasih-Nya, yaitu kekudusan. Maka terdorong oleh Roh Kudus, dan dikuatkan oleh rahmat Tuhan yang kita terima pada saat Pembaptisan, kita dipanggil oleh Tuhan untuk mengikuti teladan-Nya, dengan memberikan diri kita kepada orang lain.
Maka kita tidak dapat mengandalkan kemampuan kita sendiri untuk mencapai kekudusan; sebab kita baru bisa menjadi kudus, jika kita menerima rahmat Allah dan bekerjasama dengannya. Gereja memberikan rahmat pengudusan Allah itu melalui sakramen- sakramennya; ((lih. KGK 1123: Sakramen-sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah. Tetapi sebagai tanda, Sakramen juga dimaksudkan untuk mendidik. Sakramen tidak hanya mengandaikan iman, melainkan juga memupuk, meneguhkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata dan tindakan. Maka juga disebut Sakramen iman” (Sacrosanctum Concilium 59).)) terutama sakramen Ekaristi dan sakramen Tobat.
Kristus, Sumber segala kekudusan, memanggil kita untuk mengambil bagian di dalam misteri KeselamatanNya, yaitu salib dan kebangkitanNya (1Pet 4:13). Dengan mengambil bagian dalam misteri Paska Kristus ini, yang dihadirkan oleh GerejaNya terutama di dalam sakramen Ekaristi, ((Lihat KGK 1085, “Di dalam liturgi Gereja, Kristus menyatakan dan melaksanakan misteri Paska-Nya…” dan 1088, “Ia (Kristus) hadir dalam kurban misa baik dalam pribadi pelayan (imam yang mempersembahkan misa)… maupun terutama dalam rupa Ekaristi.”)) kita dikuduskan oleh Allah dan kasihNya menjadi sempurna di dalam kita. Di dalam Kristus inilah, kita dapat mentaati Bapa dan menyembah-Nya di dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23-24).
Kesimpulan
Marilah kita semua menginginkan kekudusan, yaitu kesempurnaan hidup sebagai pengikut Kristus. Karena pada Penghakiman terakhir, setiap orang akan diukur berdasarkan kekudusannya, dan hanya dengan kekudusan setiap dari kita dapat masuk ke surga (2 Pet 3:11, Why 21:27). Kekudusan ini diperoleh dari banyaknya kasih yang kita perbuat di dunia; dan pertumbuhan di dalam kasih ini membuat kita menjadi tak bercela di hadapan Allah (Flp 1:9-10, 1 Tes 2 :12-13). Kristus sendiri mengajarkan pentingnya kekudusan, sebab tanpa itu kita tidak dapat melihat Allah (Mat 5:8; Ibr 12:14). Untuk maksud pengudusan inilah Kristus turun ke dunia, dengan wafat di salib dan bangkit bagi kita, agar kita dapat mengambil bagian dalam misteri Keselamatan, bersekutu dengan Nya, dan melalui Dia, kita bersekutu dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Inilah yang menjadi tujuan hidup kita, yaitu dipersatukan dengan Allah, Pencipta kita, sehingga pada akhirnya dipenuhilah FirmanNya yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “Allah menjadi semua di dalam semua” (1Kor 15:28) dan Ia dimuliakan di dalam semua.
Shalom tim katolisitas, saya ingin bertanya:
1. saya sangat mengagumi dan mengasihi St. Theresia Kecil. Untuk itu saya berusaha meneladaninya, tapi masalahnya ialah saya tidak tahu bagaimana sikap hati yang tepat untuk kata-kata ini, “lakukanlah hal-hal kecil dengan cinta yang besar..” saya bingung, bagaimanakah kita mewujudkan kata-kata itu?apakah dengan sukacita?atau sambil memikirkan kebaikan yang bisa orang lain terima dengan perbuatan kecil kita?atau hanya dengan melakukan hal-hal kecil tersebut seperti menyapu, buang sampah, dsb. dengan sempurna?mohon pencerahannya…
2. saya selalu menolak untuk membeli barang-barang palsu atau bajakan karena sepertinya itu sama dengan mencuri dan tidak menghargai hasil karya orang lain. suatu ketika saya menolak untuk membeli spatu merk ternama tapi palsu dan teman saya mengatakan tidak apa-apa kan masih kuliah (ini juga berlaku untuk software komputer, film, mp3 dsb.) kalau sudah kerja baru beli yang asli. apakah ini benar? ataukah saya yang terlalu “kaku” dengan agama seperti kata teman-teman?
3. saya pernah membaca tentang relativisme yang ditulis oleh paus emeritus Benediktus XVI, tapi saya masih belum mengerti, apakah memang benar ada kebenaran mutlak untuk iman dan moral di samping science?karena untuk iman dan moral ini sepertinya semua orang bisa memiliki pandangannya masing-masing, tapi terhadap science semua setuju dan sependapat. apakah walaupun umat Islam dan Yahudi contohnya, tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan, tapi apakah Yesus tetap Tuhan?
Terima kasih sebelumnya untuk jawabannya.
Shalom Kefas,
1. Bagaimana “Melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar?”
Silakan membaca terlebih dahulu, artikel yang baru saja kami tayangkan untuk menanggapi pertanyaan Anda, silakan klik.
2. Tentang menolak membeli barang palsu/ bajakan
Dalam hal ini, Anda benar. Membeli barang bajakan sama dengan berbuat tidak adil bagi para pengarang asli/ pembuat asli dari barang tersebut. Sebab jika kita menempatkan diri di posisi pengarang itu, maka kita juga tidak akan senang jika orang membajak begitu saja apa yang dengan susah payah kita ciptakan.
Jika kita menggunakan prinsip yang diajarkan oleh Yesus, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat 7:12), maka kita ketahui bahwa perbuatan membajak hasil karya orang lain bukanlah perbuatan yang baik.
Bahwa harga software asli itu umumnya mahal, adalah suatu realita, dan ini membuka dua kemungkinan: 1) Anda mencari software serupa tetapi yang gratis dan dapat didownload dari internet. 2) Anda mengusahakan dengan swadaya (mendorong kreativitas Anda) untuk dapat membelinya dengan uang hasil kerja Anda sendiri.
3. Tentang kebenaran obyektif dalam hal ajaran iman dan moral
Gereja Katolik mengajarkan bahwa dalam hal iman dan moral, ada yang disebut sebagai kebenaran mutlak. Prinsip ini juga sesuai dengan akal sehat. Sebab kebenaran tentang Tuhan haruslah merupakan kebenaran obyektif yang tidak dipengaruhi oleh pemahaman manusia; sebab hakekat Tuhan tidak tergantung dari pengertian manusia. Jika Allah sendiri sudah mewahyukan Diri-Nya kepada manusia, maka apa yang diwahyukan Allah itu adalah yang seharusnya dipegang oleh manusia sebagai patokan kebenaran. Maka tidak mungkin Tuhan Yesus itu Tuhan dan bukan Tuhan, dan kedua paham itu sama-sama benar, seperti yang diajarkan dalam paham relativisme.
Selanjutnya tentang topik ini, silakan Anda membaca kedua artikel ini:
Dominus Iesus (ini adalah Deklarasi yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman, yang saat itu dipimpin oleh Kardinal Ratzinger, yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI)Penjelasan tentang Dominus Iesus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih tim katolisitas atas jawabannya…semoga karya tim katolisitas selalu dibimbing Tuhan sendiri. saya ingat dulu sulit sekali menemukan situs berbahasa Indonesia yang menjelaskan dan menanggapi secara langsung dan objektif serta menggunakan bahasa yang sederhana mengenai permasalahan-permasalahan seputar iman Katolik. tapi puji Tuhan sekarang ada tim katolisitas. tetap semangat, doa kami walaupun miskin, tetap menyertai kalian…Shalom.
Sudah lama saya seneng buka-buka Katolisitas, dan kebetulan ada yang ingin kami tanyakan, walaupun topiknya bukan dari Katolisitas, tetapi dari Mgr.Suharyo
Kalau mungkin kami bisa mendapatkan pencerahan.
Mgr.Suharyo memaparkan bahwa kita SAMA-SAMA orang Katolik, ternyata Yesusnya beda-beda, (Yesus sedang naik motor Harley, Yesus sebagai Manager, Yesus sebagai hakim dlsb ) karena waktu tanya jawab sempit, maka belum bisa bertanya. Sekarang pertanyaannya adalah : bagaimana menyikapi hal tsb dalam hubungan sesama orang Katolik, terima kasih
Shalom Gunarto,
Saya tidak tahu apa yang disampaikan oleh Mgr. Suharyo secara persis. Dengan informasi yang sedikit, maka akan sangat sulit untuk memberikan jawaban yang tepat. Saya yakin, maksud beliau bukanlah untuk mengatakan bahwa kita mempunyai Yesus yang berbeda di antara umat. Namun, mungkin yang dimaksud adalah sebagai murid Kristus, maka kita juga harus memancarkan terang Kristus dalam segala hal yang kita lakukan, entah pada waktu senggang, entah dalam kapasitas sebagai manager, sebagai hakim, dan dalam setiap hal yang kita lakukan. Dengan demikian, maka orang lain dapat melihat Yesus dalam diri kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Terima kasih pak Stef ats responnya ,
Sekarang pertanyaan saya selanjutnya adalah ,
bagaimana mensikapi orang di gereja yang saya lihat sendiri
adanya tindak manipulasi ( ambil uang kolekte , tidak buat laporan keuangan ) yang saya inginkan adalah sikap hati saya
melihat kasus tsb .sekian terima kasih
Shalom Gunarto,
Menurut saya, tidak membuat laporan keuangan dan mengambil uang kolekte adalah bertentangan dengan prinsip keadilan, karena uang yang seharusnya digunakan untuk perkembangan umat dan gereja kemudian dipakai untuk kepentingan individu. Ada baiknya kalau Anda sungguh-sungguh yakin [hanya kalau sungguh-sungguh yakin] akan penyelewengan ini, cobalah berbicara baik-baik dengan pastor paroki. Sampaikan tentang penyelewengan ini dan diskusikan dengan beliau bagaimana mengatasi hal ini. Tentu saja bendahara paroki (kalau dia tidak terlibat) harus ikut dalam diskusi. Kalau sampai pastor terlibat, maka cobalah diskusikan dengan beliau bersama-sama dengan bendahara paroki dalam suasana kasih, agar terjadi perubahan. Kalau sampai tidak ada perubahan, tidak ada cara lain kecuali Anda melaporkannya kepada atasan pastor tersebut, yaitu superior atau uskup. Dalam keadaan seperti ini, diperlukan sikap yang tegas namun juga penuh kasih. Menjadi bagian dari solusi dan bukan menjadi bagian dari masalah. Jadi, kita perlu menghadapi situasi seperti ini dan jangan menghindarinya. Dengan demikian, maka kita menginginkan tercapainya kebaikan yang lebih tinggi, yaitu kebaikan seluruh umat. Bawa juga hal ini dalam doa, sehingga dapat mengambil langkah yang bijaksana.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear Katolisitas..
pertanyaan saya….
Sebagai umat ALLAH..apa yang harus saya lakukan supaya kalau saya mati masuk surga…..meskipun banyak orang tahu tetapi tentunya saya kepingin sekali mengerti secara alkitabiah ..dan bukan hanya anggapan atau ukuran kebenaran pribadi yg justru sering menyesatkan……trimakasi.(saya pribadi baru 2,5 thn menjadi katholik dan ingin belajar dan belajar tentang Yesus.”KARENA ANDA KATAKAN TAK KENAL MAKA TAK SAYANG”
Berkah Dalem
Shalom Cornelius Sigit,
Kitab Suci mengajarkan bahwa kita diselamatkan karena kasih karunia Allah oleh iman (lih. Ef 2:8). Iman akan Allah Trinitas yang menyelamatkan ini dinyatakan lewat Pembaptisan, yaitu ketika seseorang dilahirkan kembali dalam air dan Roh; sehingga ia dapat masuk dalam Kerajaan Surga (Yoh 3:5). Selanjutnya iman yang menyelamatkan ini tentu adalah iman yang hidup, yaitu iman yang disertai dengan perbuatan kasih (lih. Yak 2:24,26).
Oleh karena itu, kita semua yang sudah dibaptis dan mengimani Kristus, sebenarnya telah menerima rahmat pengudusan dari Allah yang memungkinkan kita untuk dapat masuk surga. Langkah selanjutnya yang harus kita lakukan adalah menjaga dan mempertahankan rahmat pengudusan yang telah Tuhan berikan dalam Pembaptisan itu, dengan berjuang untuk hidup kudus. Silakan anda membaca artikel seri tentang kekudusan di situs ini:
Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus
Apa itu Kekudusan?
Refleksi Praktis tentang kekudusan
Kerendahan Hati: Dasar dan Jalan Menuju Kekudusan
Ekaristi sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani
Memang, kekudusan itu pada hakekatnya adalah kesempurnaan kasih. Nah anda benar sewaktu mengatakan, “tak kenal maka tak sayang”, maka jika kita ingin mengasihi Tuhan, kita perlu terlebih dahulu mengenal Dia, dan ajaran- ajaran-Nya. Pengenalan akan Tuhan ini kita peroleh dari Sabda-Nya yang tertulis dalam Kitab Suci, dan juga melalui Gereja-Nya. Dengan demikian, pertanyaannya kembali kepada kita masing- masing: sudahkah kita berjuang dengan segenap kekuatan kita untuk mengenal Allah dan kehendak-Nya?
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom,saudari Ingrid..
Trimakasih,atas penjelasanya..dan mudah2an,,bisa menjadi..pertumbuhan rohani saya untuk slalu lebih dekat dgn Yesus.ada hal baru yg timbul dalam pikiran saya mengingat..tentang leluhur kami..yg org jawa dan jg sepertinya..selama saya mengenal katolik..seperti kurang adanya perhatian terhadap hal2 yg bersifat supranatural atau okultisme dimana kalau di kristen protestan hal itu lebih di cermati.atau mungkin saya belum menemukan artikel yg menyangkut hal ini..yg kebanyakan mantan2 dukun bertobat melalui pertarungan dgn pendeta.yg byk saya baca,jg tentang jimat2..yg menurut pengamatan saya byk jg org katolik yg semakin menjahui gereja hanya krn bergelut dgn dunia mistis tsbt.dan fenomena ini sungguh2 byk terjdi dan sgt memprihatinkan dan menurut pengamatan saya gereja kurang begitu menyentuh padahal ini jelas satu penyesatan yg efeknya sgt berbahaya bg perkembangan iman kristiani .Dilingkungan tempat tggl saya ini sungguh saya sangat peduli krn kebetulan saya belajar byk untuk tau resiko apabila kita sering mengandalkan dukun/ menggunakan jimat.krn kebetulan kakek saya jg bapak saya sebelum di panggil Tuhan dia seorang paranormal.jd sedikit banyak saya mengetahui ttg hal tsb.dr hal yg saya lihat waktu itu jg yg ingi saya tanyakan sampai sejauh mana gereja menjngkau permasalan ini agar saya tidak salah langkah dlm ikut membawa rekan2 untuk menjahui hal2 tsb.
Selamat bekerja diladang Tuhan,Bekah Dalem
c sigit sukmono
Cornelius Yth
Jelas dalam Kitab Suci dan ajaran Gereja Katolik baca di katolisitas.org bahwa mengimani Allah, hanya kepadanya saja kita percaya, merupakan doktrin credo kita. Bacaan Sabda Allah hari Minggu ini sangat tepat dibaca dan direnungkan bahwa kita tidak bisa menghamba pada dua tuan. Itu tidak mungkin, maka sebagai orang Katolik hanya satu kepercayaan pada Allah. Paranormal dan dukun itu berbeda. Orang yang percaya pada Allah tidak lagi mempercayakan kekuatan gaib alam atau benda. Saya dari Bali tahu juga tentang hal itu. Banyak orang Bali telah bertobat dan menyerahkan benda benda magis dari dukun yang diserahkan ke rama kemudian di baptis dan lepas dari ikatan kegelapan. Itu pandangan saya
salam
Rm Wanta
Trimakasih Romo Wanto atas jawabanya tetapi yg saya lihat byk org katolik yg tdk memahami hal itu adalah sesat seandainya tau apakah Romo2 diparoki mau menerima benda2 gaib itu untk dimusnahkan apakah jg waktu Romo2 dulu menempuh pendidikan jg ad cr gmana tuk mengatasi masalah2 tst…krn saya pernah diolog tp justru Romonya malah takut…tuk menerima..bagaimana ya Mo sebaiknya..
Berkah Dalem
C. Sigit S. Yth
Selama pendidikan calon imam tidak diajarkan untuk mengumpulkan benda benda gaib. Lebih baik benda benda berhala itu dimusnahkan saja tidak perlu diberikan pastor paroki. Tidak perlu takut bakar saja karena itu benda biasa tidak ada apa-apanya. Penting imanmu pada Tuhan Yesus mengalahkan kuasa jahat.
salam
rm Wanta
Terimakasih atas bantuannya…tapi aku masih ingin tanyakan sesuatu:
1. Bagaimana mewujudkan kesucian pada masa kini?
2. Apa manfaat ajaran kekudusan kepada kita, mengingat orang sering melihat bahwa kesucian hanya tertemukan dalam hal-hal yang bersifat rohani, seperti hidup para religius?
3. Perumusan kesucian oleh konsili vatikan II telah lama, tapi tampaknya umat sedikit saja yang mengetahuinya, mengapa demikian?
4. kalau bisa tolong dikirim tanggapannya di email saya: zebuaeman@yahoo.com
Shalom Eman Zebua,
1. Bagaimana mewujudkan kesucian pada masa kini?
Ada banyak cara untuk mewujudkan kekudusan/ kesucian, silakan anda membaca terlebih dahulu di sini tentang bagaimana caranya untuk hidup kudus, silakan klik; dan juga refleksi sederhana untuk hidup kudus, silakan klik.
Silakan anda membaca di link tersebut; dan bertanya kembali jika masih ada yang kurang jelas.
2. Apa manfaat ajaran kekudusan kepada kita, mengingat orang sering melihat bahwa kesucian hanya tertemukan dalam hal-hal yang bersifat rohani, seperti hidup para religius?
Kekudusan merupakan sesuatu yang harusnya kita kejar dan lakukan di dunia ini, karena hanya dengan kekudusan itulah kita dapat mencapai surga dan memandang Allah (lih. Ibr 12:14). Adalah keliru jika kita berpikir bahwa kekudusan itu hanya bersangkutan dengan hal rohani. Sebab justru kekudusan, yang artinya kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama, itu dapat dilakukan dalam keadaan apapun dan oleh siapapun; tidak harus oleh para rohaniwan dan rohaniwati. Kekudusan itu bahkan dimulai dari hal- hal kecil dan sederhana, seperti yang diajarkan oleh St. Theresia Kanak-kanak Yesus, “Lakukanlah perbuatan- perbuatan kecil dengan kasih yang besar”; karena dengan demikian kita melakukan segala sesuatunya demi kasih kita kepada Tuhan.
Kita ketahui Allah menghendaki semua orang diselamatkan (lih. 1 Tim 2:4); tidak hanya para rohaniwan dan rohaniwati. Tuhan-pun telah menunjukkan caranya, yaitu agar kita menerima kasih karunia Allah dengan mengimani Kristus, bertobat, dibaptis, melakukan perbuatan- perbuatan kasih [kepada Tuhan dan sesama], mengikuti teladan Kristus dan hidup di dalam Kristus; melalui doa, Firman dan sakramen- sakramen-Nya. Nah, kesetiaan kita untuk melakukan semua ini adalah perjuangan kita untuk hidup kudus, dengan mengandalkan rahmat Tuhan.
3. Perumusan kesucian oleh Konsili Vatikan II telah lama, tapi tampaknya umat sedikit saja yang mengetahuinya, mengapa demikian?
Ya, inilah tantangan bagi anda dan saya dan umat Katolik yang sekarang telah mengetahuinya, untuk meneruskan pengajaran ini. Ya, Tuhan menghendaki kita semua untuk hidup kudus. Jika sampai “Panggilan untuk hidup kudus” (Universal call to holiness, Konsili Vatikan II, tentang Gereja, Lumen Gentium, bab V) ini belum sepenuhnya dikenal, mungkin disebabkan karena kurang cukup disosialisasikan dalam khotbah para imam ataupun oleh para pengajar/katekis. Tetapi marilah, jika kita sudah mengetahuinya, kita saling bahu membahu untuk meluaskannya.
4. Ya, anda secara otomatis akan mendapatkan jawaban di link ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
1. bagaimana dipahami ide panggilan umum kepada kesucian dalam gereja katolik?
2. buku-buku apa saja yang dapat dipakai sebagai referensi atas pertanyaan di atas?
Shalom Eman,
1. Secara sederhana, kita semua dipanggil untuk hidup kudus itu karena Tuhan menginginkan agar kita hidup bahagia. Manusia bisa mendefinisikan kebahagiaan kita sendiri, namun pada akhirnya, yang paling bisa memberitahukan kepada kita, bagaimana supaya kita bisa mencapai kebahagiaan adalah Allah sendiri. Karena kita manusia diciptakan oleh Allah sesuai dengan gambaran-Nya, maka kita tidak dapat menemukan kebahagiaan sejati di luar Allah. Singkatnya, karena kita asalnya dari Allah maka tujuan akhir hidup kita adalah bersatu dengan Allah. Nah, untuk bersatu itu, maka kita harus bertumbuh untuk ‘menyerupai’ Dia, supaya pada saatnya nanti, kita dapat bersatu dengan-Nya.
Dalam hal ini, Allah memberikan ‘kunci’nya, yaitu: kita harus hidup kudus, sebab Allah itu kudus. Tanpa kekudusan, kita tidak bisa bersatu dengan Allah. Apa itu kekudusan? Seperti sudah dituliskan di artikel di atas, arti kekudusan pada hakekatnya adalah mengasihi Tuhan dengan segenap jiwa dan kekuatan kita, dan mengasihi sesama demi kasih kita kepada Tuhan.
Selanjutnya, silakan membaca artikel berikut ini, dan jika masih ada yang kurang jelas silakan bertanya di bawah artikel tersebut:
Semua orang dipanggil untuk hidup kudus, silakan klik
Refleksi praktis tentang kekudusan, silakan klik
Kebahagiaan kita hanya ada dalam Tuhan, silakan klik
Kerendahan hati, dasar dan jalan menuju kekudusan, silakan klik
2. Contoh buku-buku yang baik untuk membantu kita bertumbuh dalam kekudusan adalah:
Lumen Gentium, Chapter V, Universal Call to Holiness, (Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium Bab V, Panggilan Umum untuk Kekudusan/ Kesucian, silakan klik di sini)
An Introduction to the Devout Life, St. Francis de Sales, (Illinois, USA: Tan Books and Publishers, 1942, reprint 1994)
Humility of Heart, Fr. Cajetan Mary da Bergamo (Illinois, USA: Tan Books and Publishers, 1978)
The Imitation of Christ, Thomas a Kempis (New York, USA: Image Books, Double Day, 1955, reprint, 1989)
Way of Perfection, St. Teresa of Avila, translated by Kieran Kavanaugh OCD (Washington DC, USA: ICS Publications, 1980, reprint 2000)
Story of a Soul, The Autobiography of St. Therese of Liseux, translated by John Clarke, OCD (Washington DC, USA: ICS Publications, 1996)
Tentu saja masih banyak buku yang lain yang dapat kita baca untuk bertumbuh dalam kekudusan, namun terutama, di atas semua buku itu adalah Kitab Suci itu sendiri. Alangkah baiknya kalau kita mengkhususkan waktu untuk membaca dan merenungkan Kitab suci setiap hari. Kita dapat juga membaca buku renungan harian, untuk membantu kita untuk merenungkan bacaan Kitab Suci pada hari itu. Lebih baik lagi jika kita bisa mengikuti Misa Kudus harian di paroki, sebab dengan demikian kita dapat merenungkan Sabda Tuhan dan menyambut Kristus sendiri dalam Ekaristi yang akan memimpin kita sepanjang hari itu dan seterusnya. Dengan demikian, sungguh Tuhan sendiri yang akan membantu kita untuk hidup lebih baik dan lebih kudus, dari hari ke hari.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Comments are closed.