Allah mengasihi kita

Mungkin kita pernah bertanya dalam hati: apakah topik yang dapat dibicarakan jika pertama kali kita ingin memperkenalkan iman kita kepada orang lain. Ya, tidak ada hal yang lebih utama daripada ini: Allah mengasihi kita manusia sehingga Ia mengutus Yesus Putera-Nya ke dunia untuk menghapus dosa-dosa kita, agar kita memperoleh hidup yang kekal (Yoh 3:16). Mungkin hal ini sudah sering kita dengar, tetapi baiklah kita meresapkannya kembali, sebab semakin kita menghayati pesan ini, semakin kita diubahkan oleh Tuhan menjadi orang-orang yang selalu bersyukur, dan bertumbuh di dalam iman dan kasih kepada-Nya. Jika kita hidup sesuai dengan pesan yang akan kita wartakan, maka pewartaan kita akan menjadi lebih berdaya guna. Paus Yohanes Paulus II dengan jelas menyampaikan pesan kasih Allah ini dalam surat ensikliknya yang berjudul “Penyelamat Manusia” (Redemptor Hominis ((Redemptor Hominis adalah Surat Ensiklik pertama Paus Yohanes Paulus II setelah beliau diangkat menjadi Paus pada tahun 1978.)) /RH) dan “Belas Kasihan Tuhan” (Dives in Misericordia /DM). Tulisan berikut ini adalah ulasan yang mengambil sumber utama dari kedua surat ensiklik tersebut.

Yesus, Allah yang menjadi manusia

Allah yang Maha Besar bersemayam dalam terang yang tak terhampiri (1Tim 6:16). Kita dapat melihat kebesaran Allah itu lewat alam semesta dan segala ciptaanNya, namun semua itu tidak dapat menggambarkan dengan jelas tentang DiriNya. ((Dives in Misericordia (DM 2). )) “Tak ada seorangpun yang pernah melihat Allah”, kata Rasul Yohanes, “dan hanya Kristus yang ada di pangkuan Allah yang menyatakan Dia” (Yoh 1:18). Di dalam Kristus, Allah yang tidak kelihatan menjadi kelihatan. Melalui perkataan dan perbuatan Kristus, dan terutama melalui kurban salib dan kebangkitan-Nya, kita melihat bukti kasih Allah itu. “Tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya…” (Yoh 15:13). Kristus menggenapi perkataan-Nya ini dengan wafat-Nya di kayu salib. Salib Kristus menjadi tanda misteri kasih Allah yang tak terbatas. Di sana kita melihat kasih yang lebih besar dari segala dosa dan kelemahan; kasih yang lebih kuat daripada maut, kasih Allah yang selalu siap mengampuni selalu siap merangkul anak-anak-Nya yang bertobat. Ya, kasih Allah ini menjelma menjadi manusia ((Ibid.)); sehingga dalam sejarah manusia, pernyataan kasih Tuhan itu mengambil bentuk dan nama, yaitu, Yesus Kristus. ((Redemptor Hominis (RH 9). ))

Siapa yang melihat Yesus, melihat Bapa

Filipus, salah seorang dari kedua belas rasul pernah meminta pada Yesus untuk menunjukkan Allah Bapa kepada mereka. Rupanya tiga tahun hidup bersama Yesus, tidak membuatnya mengenali bahwa Yesus adalah gambaran Allah Bapa sendiri. Yesus menjawabnya, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh 14:9). Gambaran Allah Bapa yang dinyatakan Yesus adalah Bapa yang penuh belas kasihan, yang mau menyelamatkan kita manusia.  Maka misteri Keselamatan adalah cerminan kasih Ilahi dari Allah. ((RH 9, Paus Yohanes Paulus II menyebutkan hal ini sebagai the Divine dimension of the Mystery of Redemption.))

Maka mari kita melihat ke dalam diri kita sendiri. Mungkin, kita juga mempunyai pertanyaan seperti Rasul Filipus, walaupun tidak persis sama. Kita mempertanyakan sejauh mana Allah mengasihi kita; kita meminta bukti  kasih Allah dengan memohon mukjizat atau pengabulan doa. Walaupun memohon pertolongan Tuhan tidaklah salah, namun ada baiknya selalu kita resapkan di dalam hati bahwa dalam keadaan apapun, Allah itu peduli, dan menaruh belas kasihan kepada kita yang berharap kepada-Nya. Sebab perbuatan kasih yang terbesar sudah dilakukan-Nya, yaitu memberikan hidup-Nya sendiri bagi kita, agar kita memperoleh anugerah kehidupan yang kekal.

Siapa yang melihat Yesus, melihat gambaran dirinya sendiri

Manusia tidak dapat hidup tanpa kasih. ((RH 10)) Jika manusia tidak pernah mengalami kasih, dan tidak membuat kasih sebagai bagian dari hidupnya sendiri, ia tidak akan pernah mengalami kebahagiaan di dalam hidupnya. Itulah sebabnya, salib Kristus menunjukkan pada kita bagaimana seharusnya kita hidup. Sebagaimana Kristus hidup di dunia untuk mengasihi kita dan berkurban untuk kita, maka kita-pun hidup untuk membagikan kasih kepada orang lain dan memberikan diri kita kepada orang lain. ((Ibid., Paus Yohanes Paulus II menyebutkan bahwa pengurbanan Kristus menunjukkan bahwa hakekat dan tujuan manusia diciptakan adalah untuk membagikan kasih. Ini disebut sebagai the human dimension of the Mystery of Redemption.)) Hanya dengan hidup melaksanakan kasih yang mau ‘berkurban’ seperti yang kita lihat dalam diri Kristus, kita akan menemukan arti hidup ini.

Dengan merenungkan pengorbanan Kristus di salib, dan membawa hidup kita -beserta semua pergumulan, kelemahan dan dosa-dosa kita- kehadirat-Nya, kita disadarkan akan kedalaman misteri kasih Allah itu. Kita akan menyembah Tuhan dengan kekaguman di dalam hati: betapa sungguh berharganya kita ini di mata Tuhan, sehingga Ia memberikan AnakNya sendiri untuk wafat bagi kita (Yoh 3:16). Kristus menjadi pernyataan belas kasihan Allah yang sempurna, yang menyempurnakan belas kasih-Nya yang telah dinyatakan sejak penciptaan dunia. Belas kasih Allah kepada kita manusia yang berdosa inilah yang menjadi pesan utama pewartaan kita. Betapa dunia sekitar kita perlu untuk mendengar kabar gembira ini, sebab belas kasihan Allah inilah yang sanggup memulihkan dan memperbaharui hidup kita, sehingga kita benar-benar dapat menjadi ciptaan baru yang menjalani hidup yang baru di dalam Tuhan, yang memampukan kita untuk mengasihi dan menemukan kebahagiaan sejati.

Belas kasih Allah di dalam Perjanjian Lama

Di Perjanjian Lama, kita telah melihat pengalaman akan belas kasihan Allah yang tak terputuskan, baik yang ditujukan kepada perorangan maupun kepada bangsa Israel. Bangsa Israel yang dipilih Allah sering tidak setia, mereka berkali-kali melanggar perjanjian dengan Allah. Namun jika mereka bertobat, Allah menerima mereka kembali. Belas kasihan di sini menunjuk pada kasih yang lebih besar daripada dosa dan ketidak-setiaan bangsa Israel.

Di Perjanjian Lama kita melihat bagaimana penderitaan karena dosa membawa orang-orang Israel untuk memohon belas kasihan Tuhan. Belas kasihan Tuhan seolah-olah dipertentangkan dengan keadilan Tuhan yang tidak berkompromi dengan dosa. Padahal walaupun berbeda dengan keadilan, belas kasihan Tuhan tidak bertentangan dengan keadilan. Belas kasihan Allah lebih besar dari keadilan. Untuk memahami hal ini kita harus melihat kepada awal mula penciptaan, di mana Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga besar seluruh manusia yang berdasarkan kasih, yang tidak menginginkan segala yang jahat terhadap sesama. ((DM 4.)) Jadi keadilan yang dinyatakan Tuhan, adalah demi kasih-Nya kepada manusia.

Belas kasih Allah di dalam Perjanjian Baru

Belas kasihan Allah digambarkan dengan sangat indah di dalam perumpamaan Anak yang hilang, pada Injil Lukas (Luk 15:11-32). ((Lihat DM 5)) Dalam kisah ini, diceriterakan bahwa setelah menerima bagian kekayaan dari ayahnya, si anak bungsu menghambur-hamburkan harta itu, sampai akhirnya ia kehabisan segala miliknya, dan menjadi pekerja di kandang babi. Begitu kelaparannya si anak itu, sehingga ia sampai sangat ingin mengambil makanan babi itu, tetapi tak seorangpun memberikannya kepadanya. Dalam keterpurukannya ini, si anak bungsu itu terhenyak dan berpikir untuk kembali ke rumah bapanya. Melalui segala dosa dan kesalahannya, si bungsu merasakan kehilangan martabatnya sebagai anak bapa. Ia ingin kembali ke rumah bapanya dan bekerja sebagai orang upahan saja. Ia siap menanggung malu, karena menyadari bahwa ia tidak layak disebut ‘anak’ lagi. Si bungsu kemudian pulang ke rumah bapa, yang ternyata telah menunggunya sejak lama untuk menerimanya kembali. Alkitab menulis, “Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia”. Ia bertobat, dan bapanya menyambutnya dengan gembira (Luk 15:20).

Betapa besar belas kasihan bapa itu, yang mengalahkan batas-batas keadilan. Karena jika menurut keadilan, anak bungsu itu layak untuk menjadi orang upahan. Sedikit demi sedikit, ia akan dapat mengumpulkan uang, walaupun mungkin tak akan pernah sama dengan apa yang dulu telah diterimanya dari bapanya. Ini adalah ukuran keadilan, karena dia bukan hanya telah menghambur-hamburkan uang bapanya, tetapi juga telah melukai hati bapanya oleh karena perbuatannya. Namun lihatlah, betapa besar belas kasihan sang bapa. Ia setia sebagai seorang bapa; ia setia untuk selalu mengasihi anaknya. Kesetiaan ini ditunjukkan tidak hanya dengan kesediaannya mengampuni anaknya, tetapi juga karena ia mengampuni dengan suka cita. Sebab, anaknya yang telah ‘mati’, hidup kembali; hilang namun didapat kembali (Luk 15:32). Bapanya bersuka cita, sebab si bungsu dapat memperoleh martabatnya kembali sebagai ‘anak’-nya. ((Lihat DM 6)) Inilah gambaran Bapa kita di Surga, yang dengan belas kasihNya selalu menanti kita kembali dari segala pelanggaran dan dosa kita, agar Ia dapat mengembalikan martabat kita sebagai anak-anak-Nya.

Belas kasih Allah dialami melalui pertobatan

Perumpamaan Anak yang Hilang (lih. Luk 15:11-32) menggambarkan kenyataan yang sederhana dan mendalam tentang pertobatan. Pertobatan adalah pernyataan tentang rahmat kasih yang bekerja dan kehadiran belas kasihan Allah dalam kehidupan seseorang. ((Ibid.)) Belas kasih Allah di sini tidak dimaksudkan untuk merendahkan si penerima tetapi untuk memberikan martabat yang sepantasnya kepadanya. Dalam perumpamaan Anak yang Hilang tersebut, kenyataan belas kasih bapanya inilah yang disadari oleh si anak bungsu itu sehingga ia dapat melihat dirinya sendiri dan segala perbuatannya dalam terang kebenaran. Belas kasih bapanya inilah yang kemudian mengembalikan martabatnya sebagai ‘anak’ dan memperbolehkannya untuk kembali mengambil bagian dalam kehidupan bapanya.

Dengan kadar yang berbeda, mungkin kita semua pernah mengalami sebagai ‘anak yang hilang’ di dalam hidup kita. Pada saat kita terpuruk oleh berbagai masalah, misalnya sakit, masalah pekerjaan atau keuangan, masalah keluarga, kita menjadi sadar bahwa kita telah sekian lama meninggalkan Tuhan, terlalu disibukkan oleh urusan kita sendiri, atau kurang bergantung pada Tuhan. Kitapun mengalami pertobatan seperti di anak bungsu. Sepantasnya kita mengingat bahwa belas kasih Allah-lah yang menggerakkan kita untuk berbalik kembali kepada-Nya, namun kitapun harus menjawab dorongan tersebut dengan kehendak kita sendiri. Semakin kita menyadari akan belas kasih Tuhan, semakin kita harus selalu mempunyai keinginan untuk selalu bertobat,  yaitu ‘pulang’ kembali ke rumah Bapa. Allah Bapa selalu menantikan kita; Ia siap mengampuni dan menerima kita kembali. Namun kita harus membuat keputusan: “Aku mau pulang. Ampunilah aku, ya Tuhan, sebab aku telah berdosa terhadap Engkau… ” Dan sungguh, belas kasih Allah akan menyambut kita dan seluruh isi Surga bersuka cita atas pertobatan kita.

Belas kasih Allah mencapai puncaknya dalam Misteri Paska Kristus

Jadi belas kasih Allah itu lebih besar dari pada dosa manusia. Belas kasih Allah mengalahkan segala yang jahat untuk mendatangkan kebaikan bagi kita manusia. Belas kasih Allah ini mencapai puncaknya di dalam Yesus Kristus,  yang telah menyerahkan Diri-Nya untuk menyelamatkan kita melalui Misteri Paska-Nya -yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. Melalui Misteri Paska Kristus ini, kita menerima pengampunan dan belas kasih Allah yang mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya, dan di dalam Kristus, kita mengambil bagian dalam kehidupan Ilahi-Nya.

Misteri Paska ini diawali dengan sengsara Kristus yang menghantar-Nya ke bukit Golgota, tempat Ia disalibkan. Salib Kristus menjadi saksi akan begitu dahsyatnya pengaruh kejahatan terhadap Putera Allah, walaupun Ia tidak berdosa. Di atas kayu salib, Yesus menanggung akibat dosa-dosa kita, karena kasih-Nya kepada kita manusia. Karenanya, salib Kristus menjadi bukti keadilan dan belas kasih Tuhan yang mengalahkan akar dari segala kejahatan di dalam sejarah kehidupan manusia, yaitu dosa dan maut. Salib menjadi sentuhan kasih ilahi pada luka kehidupan manusia yang terdalam. ((Lihat DM 8)) Pandanglah Salib itu, dan temukanlah bukti kasih Allah yang melampaui segalanya!

Namun, kasih Allah tidak berhenti pada Salib. Sebab salib  Kristus diikuti oleh kebangkitan-Nya. Di dalam kebangkitan-Nya, Kristus menyatakan belas kasih Tuhan, justru karena Ia menerima Salib sebagai jalan untuk mencapai kebangkitan. ((Ibid.)) Karena itu, saat kita merenungkan salib Kristus, iman dan pengharapan kita tertuju pada Kristus yang bangkit. Kristus yang bangkit dari mati adalah bukti yang nyata bahwa kasih Allah mengalahkan maut. Kepada belas kasih Bapa inilah kita menggantungkan harapan iman kita, bahwa jika kita setia menanggung salib kehidupan kita bersama Kristus, kitapun akan dibangkitkan bersama-sama dengan Dia (Rom 8:17). Karena itu, hidup kita hanya berarti jika kita mempersatukannya dengan kehidupan Kristus, sebab oleh-Nya kita menerima belas kasih Tuhan yang tiada batasnya. Kita memang dapat senantiasa mempersatukan hidup kita dengan misteri kehidupan Yesus, yaitu pada saat kita berdoa, bekerja dan kapan saja, tetapi persatuan kita dengan Kristus yang paling nyata adalah di dalam Ekaristi. Sebab di dalam Ekaristi, oleh kuasa Roh Kudus, Misteri Paska Kristus ini dihadirkan kembali oleh Gereja dan kita memperoleh buah-buahnya (Lihat artikel tentang Sudahkah kita pahami pengertian Ekaristi?). Kristus yang telah mengalahkan maut, menjadikan misteri kehidupan-Nya tetap ‘hidup’ sampai sekarang. Ia tetap bekerja melalui Gereja-Nya sampai akhir zaman untuk mendatangkan keselamatan bagi kita yang percaya kepada-Nya.

Misteri Kristus sebagai dasar misi Gereja

Karena Gereja adalah Tubuh Kristus, maka karya Gereja adalah karya Kristus. Apa yang menjadi titik perhatian Kristus, juga menjadi perhatian Gereja. Karena Kristus menaruh perhatian pada setiap orang maka Gereja-pun harus bersikap demikian. Kristus menjadi manusia, supaya Ia dapat mempersatukan diri-Nya dengan setiap orang. ((RH 13)) Dengan demikian, manusia dapat melihat cerminan kehidupannya di dalam diri Yesus. Sebab dengan menjadi manusia, Yesus menjalani tahap-tahap kehidupan mulai dari bayi sampai dewasa, seperti kita manusia, hanya saja Ia tidak berdosa. Ia sengaja memilih tempat terendah saat menjalani kehidupanNya itu: dilahirkan di kandang hewan, hidup miskin sebagai tukang kayu, mengajar tanpa mengenal lelah, mengabarkan belas kasih Allah, yang digenapinya sendiri dengan sengsara, wafat dan kebangkitanNya. Dengan menjadi manusia inilah, Yesus Sang Kehidupan merangkul setiap dari kita untuk mengambil bagian dalam kehidupan-Nya, terutama dalam misteri keselamatanNya, agar kita memperoleh kepenuhan hidup sebagai manusia.

Misteri Paska Kristus dihadirkan oleh kuasa Roh Kudus di dalam Gereja. Sebelum Kristus naik ke surga, Kristus mempercayakan karya penyelamatan kepada Gereja (lih. Mat 16:18-19; 28:19-20; Yoh 20:21-23). Para rasul, yang mewakili Gereja diberi perintah oleh Kristus untuk membaptis, untuk mengampuni dosa orang yang bertobat, dan mengajar segenap ajaran Kristus kepada dunia agar sebanyak mungkin orang dapat diselamatkan (lih. 1Tim 2:4). Kita yang dibaptis, artinya adalah, kita telah digabungkan ke dalam kematian Kristus, agar kita dapat dibangkitkan bersama dengan Dia dan memperoleh hidup yang kekal yaitu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus (lih. Rom 6:3-11).

Misteri Paska Kristus dihadirkan oleh Gereja, secara khusus melalui sakramen-sakramennya, maka sakramen-sakramen ini merupakan tanda dan sarana yang dipilih oleh Tuhan untuk menyertai dan menguduskan umat-Nya. Jika dalam Perjanjian Lama penyertaan Tuhan dinyatakan dengan bagaimana Tuhan menguduskan umat-Nya melalui bermacam kurban – seperti: kurban bakaran, kurban sajian, kurban keselamatan, kurban penghapus dosa, dst (lih. Im 1-7) – betapa lebih sempurnanya Allah menguduskan umat pilihan-Nya yang baru, yaitu Gereja, dalam Perjanjian Baru. Allah menguduskan Gereja-Nya dengan kurban yang sempurna, yaitu Kristus, Putera-Nya sendiri. Jika dahulu dalam Perjanjian Lama, darah anak domba jantan dan lembu jantan dan percikan abunya dapat menguduskan bangsa Israel secara lahiriah, betapa lebih sempurna-nya darah Kristus sebagai kurban yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita (lih. Ibr 9:12-14). Oleh kuasa Roh Kudus yang mengatasi ruang dan waktu, kurban Kristus yang satu dan sama ini dihadirkan kembali secara sakramental; agar kita dapat memperoleh buah-buahnya yaitu: persatuan kita dengan Kristus dikuatkan, kehidupan rahmat yang kita terima pada saat dibaptis ditingkatkan, kita dipisahkan dari dosa dan dikuatkan untuk menolak dosa, untuk berbuat kasih, untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan dosa-dosa ringan, dan kita dipersatukan dengan sesama anggota Tubuh Kristus, serta kita didorong untuk memperhatikan kaum miskin. Singkatnya, oleh kurban Kristus, Sang Anak Domba Allah, kita dikuduskan oleh Allah; sebab pengudusan kita adalah kehendak-Nya bagi kita (lih.1Tes 4:3).

Kekudusan: kasih kepada Tuhan dan sesama menjadi hukum utama yang diwartakan

Kekudusan, yaitu kasih kepada Tuhan dan kepada sesama, menjadi hukum yang terutama untuk diwartakan. Karena Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8, 16) maka sudah menjadi sifat Allah bahwa Ia mengasihi kita manusia. Kasihnya tidak berhenti hingga manusia dapat mengalaminya; melainkan lebih dari itu, yaitu hingga manusia dapat diubah untuk menjadi semakin mirip dengan Diri-Nya yang adalah Kasih itu sendiri. Panggilan terhadap kesempurnaan kasih, atau yang disebut sebagai kekudusan ini, adalah panggilan Allah yang ditujukan kepada semua orang, sebagaimana disebutkan dalam Konsili Vatikan II. ((lih. Lumen Gentium bab V)) Oleh karena itu, jika kita ingin turut menyebarkan Kabar Gembira, kita juga perlu menyampaikan panggilan ini: bahwa Allah begitu mengasihi kita, namun Allah tidak berhenti sampai di situ; Ia menghendaki kita untuk bertumbuh di dalam kasih dan kekudusan, sehingga kita dapat semakin menyerupai Dia.

Karena berharganya manusia di mata Kristus, maka Gereja sebagai Tubuh Kristus membawa misi untuk memperhatikan martabat semua manusia. Konsili Vatikan II menggarisbawahi pentingnya Gereja membuat dunia menjadi semakin manusiawi. ((Lihat Gaudium et Spes, Dokumen Vatikan II tentang Peran Gereja di dalam Dunia Modern, 40.)) Hal ini dicapai dengan mempraktekkan belas kasihan dan pengampunan. Kasih dan pengampunan ini harus nyata diberikan, pertama-tama kepada orang-orang yang terdekat dengan kita; antara suami dan istri, orang tua dan anak, antara sahabat, dan hal ini harus diajarkan di dalam pendidikan dan pelayanan Gereja. Dari sini belas kasih Tuhan kemudian diteruskan ke dalam lingkungan masyarakat. Dengan mengampuni, maka kita menjadi saksi hidup akan belas kasih yang lebih kuat daripada dosa. ((Lihat DM 14.)) Belas kasihan yang kita terima dari Tuhan hendaknya menjadi sumber pertobatan kita yang terus menerus, agar kita selalu hidup dalam persekutuan dengan Tuhan. ((Lihat DM 13.)) Mari kita memohon belas kasihan Tuhan, dan agar setelah menerima belas kasihan-Nya, kitapun dapat meneruskan belas kasih itu kepada semua orang, terutama mereka yang membutuhkan uluran tangan kita. Dengan demikian, kita sebagai anggota-anggota Gereja memperoleh kehidupan sejati, yaitu pada saat kita mengakui dan mewartakan belas kasih, dan pada saat kita membawa semua orang kepada Sang Sumber Belas Kasih, yaitu Kristus Penyelamat kita. ((Ibid.))

Kesimpulan

Belas kasihan Tuhan adalah Kabar Gembira utama yang harus kita wartakan. Belas kasih Tuhan yang sempurna kita lihat dalam diri Kristus. Melalui salib dan kebangkitan Kristus (Misteri Paska), kita melihat belas kasihan Allah yang mengalahkan dosa dan maut. Kita menerima kembali belas kasih ini setiap kali kita mengambil bagian di dalam perayaan Ekaristi. Setelah menerima belas kasihan dari Tuhan, kita selayaknya juga berbelas kasih pada orang lain, dan untuk seterusnya kita hidup dalam pertobatan yang terus menerus. Dengan demikian kita menjadi saksi hidup akan belas kasih Tuhan.

Bapa Surgawi, terima kasih atas belas kasih-Mu yang kami terima melalui Yesus Putera-Mu. Bantulah kami agar mampu menjadi pembawa belas kasih-Mu kepada sesama kami. Amin.”


3 COMMENTS

  1. Terima kasih atas usaha team katolisitas dalam pencerahan pemahaman iman Katolik. GBU

  2. …Tuhan tidak pernah meninggalkan umatNya,tetapi Tuhan selalu memberikan ujian ujian agar kita semakin sadar akan kasih karuniaNya kepada kita.
    Terimakasih Tuhan atas Belas KasihanMu

  3. Amen semoga doa ku dikabulkan aku yakin aku akan masuk ke syurga tuhan memaafkan aku

    [Dari Katolisitas: Ya, kita semua berharap agar Tuhan mengampuni segala dosa kita dan mengabulkan permohonan kita. Namun mari kita juga melakukan bagian kita, yaitu bertobat sepenuhnya dan berjuang untuk tidak jatuh ke dalam dosa itu lagi]

Comments are closed.