Pertanyaan:

Hi Tay dan Ingrid.
Banyak orang sangat takut untuk di kremasikan, sehubungan dengan pada kedatangan Yesus yang ke dua kali akan dibangkitkan karena sudah dibakar jadi tidak dapat bangkit. meskipun jadi tanah atau dibakar sama2 habis. Pertanyaannya: Yang akan dibangkitkan itu tubuh rohani atau tubuh jasmani(fana).
Yks. Gbu

Jawaban:

Shalom Meyta,

Ini dokter Meyta ya? Terima kasih atas pertanyaannya dokter Meyta. Memang ada banyak orang yang mempertanyakan apakah kremasi bertentangan dengan pengajaran Gereja Katolik tentang kebangkitan badan. Berikut ini adalah sedikit latar belakang dan penjelasan sehubungan dengan masalah ini:

I. Penguburan dan Kremasi:

(1) Jemaat Kristen perdana memang tidak menggunakan cara kremasi, karena mengikuti Kristus yang dikuburkan. Dan kita dapat melihat dalam sejarah bahwa banyak orang yang mencoba untuk menyelamatkan bagian tubuh dari para martir untuk diadakan penguburan secara kristen. Bahkan orang-orang kafir pada masa-masa awal mencoba untuk menghancurkan iman Kristen dengan membakar para martir Kristen, dengan harapan bahwa mereka tidak dapat bangkit lagi.

(2) Alasan utama bahwa pada masa-masa awal, Gereja tidak memperbolehkan kremasi karena begitu banyak praktek-praktek dari para “kafir” dan juga “freemasons” yang mengkremasi orang yang meninggal. Dan bagi jemaat Kristen yang mengkremasikan tubuh orang yang meninggal dikhawatirkan mengikuti jejak para kafir dan freemasons, yang tidak percaya akan kebangkitan badan. Hal ini juga diungkapkan di dalam:

Katekismus Gereja Katolik, 2301 “Otopsi jenazah demi pemeriksaan pengadilan atau demi penyelidikan ilmiah diperbolehkan secara moral. Penyerahan organ tubuh secara cuma-cuma sesudah kematian, diperbolehkan dan dapat sangat berjasa. Gereja mengizinkan pembakaran mayat, sejauh ini tidak ingin menyangkal kepercayaan akan kebangkitan badan.”
Dan kanon 1176 § 3. “Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani.

(3) Hal yang lain juga ada banyak alasan kepraktisan, dimana ada banyak negara yang mempunyai keterbatasan tanah, misalkan Singapura, yang tidak mempunyai tempat penguburan yang cukup.

(4) Jadi dari dasar-dasar di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan: seorang Katolik kalau meninggal sebaiknya dikubur. Kalau memang tidak memungkinkan dan alasannya bukan karena tidak percaya kebangkitan badan atau hal-hal yang bertentangan dengan iman Katolik, maka kremasi tidak dilarang. Namun abu dari hasil kremasi tidak boleh ditaburkan di laut, untuk menghormati kesakralan tubuh, tempat di mana jiwa manusia tinggal sebelumnya, yang nanti juga akan dibangkitkan pada penghakiman terakhir. Jika sampai dilakukan kremasi, maka abu seluruhnya dimasukkan dalam kolumbarium atau dikubur.

Ketentuannya adalah:

NORMA LITURGIS TENTANG KREMASI
Kongregasi Penyembahan Ilahi

KETENTUAN PEMAKAMAN KRISTEN, Appendiks 2, “Kremasi” ….

417. Abu jenazah yang dikremasi harus diperlakukan dengan penghormatan yang sama yang diberikan kepada tubuh manusia asalnya. Ini termasuk penggunaan bejana yang layak untuk menyimpan abu tersebut, cara bejana abu itu dibawa, dan perlakuan dan perhatian kepada penempatan yang layak dan transportasinya dan perletakan akhir bejana abu tersebut. Abu jenazah yang dikremasi harus dikubur di makam atau disemayamkan di kubur besar yang indah (mausoleum) atau kolumbarium. Praktek menyebarkan abu kremasi di laut, dari udara, atau di atas tanah, atau menyimpan abu kremasi di rumah saudara atau teman dari orang yang meninggal, bukan merupakan sikap penghormatan yang disyaratkan oleh Gereja. Jika memungkinkan, harus dipilih cara-cara yang layak untuk mengabadikan kenangan akan orang yang meninggal itu dengan cara yang terhormat, seperti dibuatnya plakat atau batu yang mencantumkan nama dari orang yang meninggal.”

Tiga alternatif cara untuk memperlakukan abu sisa kremasi dengan hormat disebut dalam Ordo Exsequiarum (Tata Cara Pemakaman Katolik) yang diterbitkan oleh Kongregasi Ibadat (CDW) tanggal 22 Januari 1966, yaitu: Pertama, abu kremasi disimpan di guci dan dikuburkan di pemakaman seperti jenazah. Gereja sangat menghargai kebiasaan saleh untuk pemakaman ini (OE 417). Dua, abu kremasi ditempatkan di guci dan diistirahatkan di kolumbarium (OE 417). Tiga, abu kremasi bisa dikuburkan “di dasar laut” (OE 406, #4). Guci tersebut dibenamkan, maksudnya diturunkan ke dasar laut dan ditinggalkan di sana. Jika cara ketiga yang dipilih, guci harus dibuat sedemikian berat supaya dapat dibenamkan sampai ke dasar laut, dalam keadaan tetap tertutup rapat.

II. Kebangkitan badan

Jiwa kita yang bersifat kekal, pada saat penghakiman terakhir akan bersatu kembali dengan badan kita. Katekismus mengatakan “Oleh kematian, jiwa dipisahkan dari badan; tetapi dalam kebangkitan, Allah akan memberi kehidupan abadi kepada badan yang telah diubah, dengan mempersatukannya kembali dengan jiwa kita. Seperti Kristus telah bangkit dan hidup untuk selamanya, demikian juga kita semua akan bangkit pada hari kiamat.” (KGK, 1016). Jadi apakah yang dibangkitkan adalah tubuh rohani atau fana, maka lebih tepatnya adalah “badan yang telah diubah” atau “glorious body“, seperti yang dialami oleh Kristus pada saat kebangkitan-Nya. Dalam kondisi ini, Maria Magdalena tetap mengenali Kristus, namun dalam keadaan yang telah dimuliakan.

(a) Rasul Paulus mengkoreksi pandangan dari platonis yang percaya bahwa kebangkitan hanyalah suatu yang bersifat spiritual. Oleh karena itu rasul Paulus di 1 Kor 15:12-23 mengatakan:

12 Jadi, bilamana kami beritakan, bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu yang mengatakan, bahwa tidak ada kebangkitan orang mati? 13 Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. 14 Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu. 15 Lebih dari pada itu kami ternyata berdusta terhadap Allah, karena tentang Dia kami katakan, bahwa Ia telah membangkitkan Kristus–padahal Ia tidak membangkitkan-Nya, kalau andaikata benar, bahwa orang mati tidak dibangkitkan. 16 Sebab jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. 17 Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. 18 Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus. 19 Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia. 20 Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal. 21 Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. 22 Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus. 23 Tetapi tiap-tiap orang menurut urutannya: Kristus sebagai buah sulung; sesudah itu mereka yang menjadi milik-Nya pada waktu kedatangan-Nya.

(b) Manusia dikatakan sebagai manusia karena persatuan antara tubuh dan jiwa yang tak terpisahkan. Jadi pada waktu kita dibangkitkan, maka persatuan antara tubuh dan jiwa akan terjadi dalam bentuk yang lebih sempurna, karena tubuh mendapatkan bentuk yang telah diubah atau dimuliakan dan menjadi kekal, sehingga dapat bersatu secara kekal dengan jiwa.
(c) Seperti apakah badan yang diubah dan dimuliakan? Kita tidak dapat mengatakan bahwa yang dibangkitkan adalah tubuh rohani dalam pengertian tidak ada wujud fisik dan sama sekali terpisah dan tidak berhubungan dengan tubuh jasmani kita waktu di dunia ini. Namun kita tidak dapat juga mengatakan tubuh yang dibangkitkan adalah sama seperti tubuh yang kita punyai saat kita di dunia. Yang dikatakan di dalam Alkitab dan pengajaran Gereja adalah tubuh yang telah diubah“, yang memang tidak dapat kita bayangkan. Namun itulah yang dijanjikan oleh Tuhan sendiri.
Rasul Paulus menjelaskannya di 1 Kor 15:35-54 :

35 Tetapi mungkin ada orang yang bertanya: “Bagaimanakah orang mati dibangkitkan? Dan dengan tubuh apakah mereka akan datang kembali?” 36 Hai orang bodoh! Apa yang engkau sendiri taburkan, tidak akan tumbuh dan hidup, kalau ia tidak mati dahulu. 37 Dan yang engkau taburkan bukanlah tubuh tanaman yang akan tumbuh, tetapi biji yang tidak berkulit, umpamanya biji gandum atau biji lain. 38 Tetapi Allah memberikan kepadanya suatu tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya: Ia memberikan kepada tiap-tiap biji tubuhnya sendiri. 39 Bukan semua daging sama: daging manusia lain dari pada daging binatang, lain dari pada daging burung, lain dari pada daging ikan. 40 Ada tubuh sorgawi dan ada tubuh duniawi, tetapi kemuliaan tubuh sorgawi lain dari pada kemuliaan tubuh duniawi. 41 Kemuliaan matahari lain dari pada kemuliaan bulan, dan kemuliaan bulan lain dari pada kemuliaan bintang-bintang, dan kemuliaan bintang yang satu berbeda dengan kemuliaan bintang yang lain. 42 Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. 43 Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. 44 Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah. Jika ada tubuh alamiah, maka ada pula tubuh rohaniah. 45 Seperti ada tertulis: “Manusia pertama, Adam menjadi makhluk yang hidup”, tetapi Adam yang akhir menjadi roh yang menghidupkan. 46 Tetapi yang mula-mula datang bukanlah yang rohaniah, tetapi yang alamiah; kemudian barulah datang yang rohaniah. 47 Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani, manusia kedua berasal dari sorga. 48 Makhluk-makhluk alamiah sama dengan dia yang berasal dari debu tanah dan makhluk-makhluk sorgawi sama dengan Dia yang berasal dari sorga. 49 Sama seperti kita telah memakai rupa dari yang alamiah, demikian pula kita akan memakai rupa dari yang sorgawi. 50 Saudara-saudara, inilah yang hendak kukatakan kepadamu, yaitu bahwa daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah dan bahwa yang binasa tidak mendapat bagian dalam apa yang tidak binasa. 51 Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah, 52 dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah. 53 Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati. 54 Dan sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati, maka akan genaplah firman Tuhan yang tertulis: “Maut telah ditelan dalam kemenangan.”

Untuk mempelajarari tentang hal ini secara lebih detail, silakan membaca Katekismus Gereja Katolik no: 992-1004.

Mari kita bersama-sama menaruh pengharapan yang teguh kepada Kristus yang bangkit, dan kita yang ‘mati’ terhadap dosa melalui Pembaptisan dan juga tetap setia kepada-Nya sampai kita meninggal di dalam Kristus, kita juga akan dibangkitkan pada akhir jaman, sehingga kita dapat bersatu dengan Kristus selama-lamanya.
Alleluia!

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef tay – https://katolisitas.org

52 COMMENTS

  1. Saya mohon petunjuk dari Romo : Anak pertama saya lahir langsung meninggal di suatu tempat 25tahun yang lalu. Saya ingin mengambil jasadnya dan memakamkan kembali ditempat tinggal saya sekarang. Pertanyaan saya :
    1. Apakah ada ritual untuk penggalian/pengambilan jasad.
    2. Apakah ada ritual untuk pemakaman kembali.
    Terimakasih atas jawaban Romo.
    Salam hormat.

    [Dari Katolisitas: Buku yang dipakai bisa dicari di Obor atau Kanisius judulnya:
    Aneka Ibadat Kristiani karangan Yustinus Rumanto SJ. Hal 211 atau pakai buku biasanya untuk upacara pemakaman dari Komlit KWI warna hijau halaman 51.]

  2. Mohon saya dibantu, kira-kira bagaimana liturgi tabur abu itu, maksud saya urutan-urutan acaranya? Atas bantuannya saya ucapkan terimakasih !

    [Dari Katolisitas: Apakah maksud Anda menaburkan abu jenazah di laut? Jika ya, maka sebenarnya hal itu tidak diperkenankan oleh Gereja, sebagaimana dikatakan dalam ketentuan tentang Kremasi yang dikeluarkan oleh Kongregasi Penyembahan Ilahi. Silakan membaca kembali artikel di atas, terutama point I, silakan klik.]

  3. Dalam artikel wikipedia pada link ini, dikatakan bahwa

    “For most of its history, the Roman Catholic Church had a ban against cremation. In 1963, the Pope lifted the ban on cremation, and in 1966 allowed Catholic priests to officiate at cremation ceremonies.”

    Mengapa Gereja mengubah ajarannya bahwa kremasi dilarang? Apakah ini tidak memungkinkan bahwa Gereja kedepannya juga akan mengubah pandangannya terhadap hal-hal yang saat ini masih dilarang, seperti imam wanita, kontrasepsi, homoseksual, dan sebagainya?

    • Shalom Stellar,

      Untuk mengetahui pandangan Gereja tentang kremasi, maka kita harus juga mengetahui latar belakang mengapa pada awalnya Gereja tidak memperbolehkan kremasi. Pada awalnya, Gereja tidak memperbolehkan kremasi, karena ada satu waktu sebagian orang menyangkal adanya kebangkitan badan dan dengan sengaja membakar mayat sebagai manifestasi ketidakpercayaan ini. Oleh karena itu, Gereja menekankan bahwa umat beriman yang sudah seharusnya percaya akan kebangkitan badan tidak boleh mengkremasi jenazah. Namun, dalam perkembangannya, kremasi jenazah tidak lagi dihubungkan dengan ketidakpercayaan akan kebangkitan badan, namun lebih kepada kepraktisan. Oleh karena itu Gereja mengatakan di KGK 2301 “Gereja mengizinkan pembakaran mayat, sejauh ini tidak ingin menyangkal kepercayaan akan kebangkitan badan.” Jadi, sikap Gereja ini justru timbul untuk melindungi pengajaran kebangkitan badan. Dan pengajaran seperti ini, dan juga pengajaran-pengajaran lain tidak akan berubah.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  4. saya mau bertanya, sejauh mana cara kremasi diizinkan oleh gereja katolik dalam upacara pemakaman?

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik. Lain kali silakan menggunakan fasilitas pencarian di sisi kanan atas homepage sebelum Anda bertanya. Ketik kata kuncinya dan Enter. Semoga Anda dapat menemukan pembahasan yang Anda cari. Baru kalau belum ada, silakan bertanya, semoga kami dapat menjawabnya. Terima kasih.]

  5. mengapa kita mati dipakaikan baju pengantin dan dipeti sedangkan YESUSmati dikafani dan tidak dipeti?

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan serupa sudah pernah ditanyakan dan kami tanggapi di jawaban ini, silakan klik]

  6. Yesus mati dikafan, kita mati pakai baju pengantin dan dipeti?

    [dari katolisitas: Yesus meninggal dan dimasukkan ke dalam semacam gua dan ditutup batu besar. Apakah kita juga demikian?]

  7. Hallo ibu Ingrid.
    pada waktu Tuhan Yesus wafat, jenazahnya hanya dibungkus dengan kain kafan. Mengapa orang katolik kalau meninggal memakai pakaian bagus dan untuk wanitanya dirias mukanya. Apakah makna dibelakang hal ini.
    mohon penjelasannya.
    Syaloom

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan serupa sudah pernah kami tanggapi, silakan klik di sini]

  8. Menurut Gereja Katolik, menaburkan abu jenazah ke laut atau lebih populer disebut “ngelarung” dilarang dilakukan. Namun saya menemukan buku dengan judul “Upacara Kematian Lengkap” yang sudah mendapat “imprimatur” memuat panduan dan doa “Upacara Nglarung Abu Jenazah” dan ini juga bukan buku satu-satunya. Ada pula buku Katolik yang lain. Mohon pencerahan.
    Salam dalam Kristus

    • Shalom Iman,

      Pada prinsipnya, kami menyampaikan apa yang sudah menjadi pedoman/ ketentuan dalam penanganan jenazah, yaitu sebaiknya dikubur, atau jika diputuskan untuk dikremasi, maka sesudahnya abu jenazah dikuburkan atau diletakkan di dalam kolumbarium.

      Berdasarkan keterangan dari Romo Santo Pr., kami mengetahui bahwa tidak dapat dipungkiri, bahwa kenyataannya ada banyak umat yang berkeras untuk melakukan pemakaman di laut (yang anda sebut ‘nglarung’ abu jenazah di laut). Istilah ini sendiri agak rancu, karena berkonotasi bahwa abunya disebarkan di laut. Hal penyebaran abu ini sesungguhnya tidak sesuai dengan ketentuan penghormatan kepada tubuh manusia, walaupun tubuh itu sudah wafat. Maka kemungkinan yang dimaksud di sana adalah ‘pemakaman’ di laut, sebagai kompromi terhadap umat yang bersikukuh melaksanakan hal ini karena ingin “bebas dari biaya rutin” sewa makam ataupun kolumbarium; asalkan dipenuhi syarat bahwa pihak keluarga tetap hormat ketika menenggelamkannya. Dengan demikian buku pedoman doa disusun untuk menjawab kebutuhan pastoral ini, walaupun pihak Komisi Liturgi KWI sendiri belum menerbitkannya. Maka kata kuncinya adalah taat pada pedoman untuk hormat pada jenazah dan memakamkan abunya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

  9. walah, kakek saya sudah meninggal waktu Paskah 2010 dan saya baru tau sekarang :(
    kakek saya dkremasi dan dilarung karena “tidak mau merepotkan orang” kalau jenazah dikuburkan. Katanya sih begitu. Mungkin karena banyak banget perselisihan karena tanah kuburan (contohnya Gereja Maria Imakulata di Kalideres yang sempat ada sengketa karena ada kuburan di tanahnya), juga karena masih menganut budaya Tionghoa, dan alasan2 lain yang saya ga tau persis.

    saya lihat di atas sudah ada jawaban sih mengenai ini https://katolisitas.org/?p=2086/comment-page-1/#comment-8639

    tapi yang mau saya tanyakan lagi,

    “Kalau memang TIDAK MEMUNGKINKAN dan alasannya bukan karena tidak percaya kebangkitan badan atau hal-hal yang bertentangan dengan iman Katolik, maka kremasi tidak dilarang.”

    jadi kalau masih memungkinkan tapi dari pihak keluarga tetap menginginkan untuk dkremasi (alasannya tentu bukan karena hal2 yang bertentangan dengan iman Katolik) dan abu dititipkan di kolumbarium, apakah dosa?

    terimakasih atas tanggapannya :)

    • Shalom Hifrax,

      Kitab Hukum Kanonik dan Norma Liturgis tentang Kremasi tidak melarang umat Katolik untuk melakukan kremasi pada anggota keluarga yang sudah meninggal. Namun asalkan: 1) alasan/ motivasinya tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik (artinya walaupun kremasi yang dipilih, tetapi keluarga atau orang yang bersangkutan, jika ia sebelum wafatnya menghendaki kremasi, tetap percaya akan kebangkitan badan), 2) tetap diadakan upacara pemakaman yang memadai sesuai dengan norma- norma liturgis dan 3) asalkan abu jenazah tetap diperlakukan dengan hormat, dengan disimpan di tempat yang layak, yaitu dikuburkan, atau disimpan di musoleum atau kolumbarium. Jadi tindakan kremasi sendiri bukan merupakan dosa, namun Gereja sesungguhnya tetap menganjurkan agar sedapat mungkin jenazah dikuburkan.

      1. Menurut Kitab Hukum Kanonik

      KHK 1176 § 1. Umat beriman kristiani yang telah meninggal dunia harus diberi pemakaman gerejawi menurut norma hukum.
      § 2. Dengan pemakaman gerejawi Gereja mohon bantuan rohani bagi mereka yang telah meninggal dan menghormati tubuh mereka serta sekaligus memberikan penghiburan berupa harapan bagi yang masih hidup; pemakaman itu haruslah dirayakan menurut norma undang-undang liturgi.
      § 3. Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani.

      2. Menurut Kongregasi Penyembahan Ilahi (Congregation for Divine Worship)

      Ketentuan tentang Pemakaman Kristiani, Appendiks 2.”Kremasi”

      Abu jenazah yang dikremasi harus diperlakukan dengan penghormatan yang sama dengan tubuh manusia asalnya. Ini termasuk dengan penggunaan bejana yang layak untuk menyimpan abunya, cara bejana ini dibawa dan cara dan perhatian yang layak untuk penempatan dan transportasinya dan tempat peristirahatan terakhir. Abu jenazah yang dikremasi harus dikubur di kuburan atau disimpan di musoleum atau di kolumbarium. Praktek untuk menyebar abu kremasi di laut, di udara atau di tanah atau menyimpannya di rumah kerabat atau rumah teman dari orang yang meninggal adalah bukan sikap penghormatan yang disyaratkan Gereja. Jika memungkinkan, cara- cara yang layak untuk merekam dengan hormat memori orang yang meninggal harus dilaksanakan, seperti plakat atau batu nisan, yang menuliskan nama dari orang yang meninggal itu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

  10. Tolong tanya mengenai tubuh tersebut apakah :
    1. Tubuh yang sama dengan dipakai manusia pada saat hidup dunia dan sudah disempurnakan?
    2. Tubuh baru yang Allah berikan ke manusia?

    Bagaimana dengan orang mati yang dikremasi?

    Thanks
    Albert

    [dari katolisitas: silakan lihat jawaban di atas – silakan klik]

      • Shalom Albertus,

        Bagi abu jenazah yang terlanjur ditabur ke laut, maka kita tidak perlu lagi mempersoalkannya. Karena kita juga mempercayai bahwa Tuhan dapat menjadikan dari abu yang tercecer menjadi tubuh yang baru. Hal ini juga sama seperti orang-orang yang meninggal karena ledakan bom, dll. Namun, bagi yang belum terlanjut ditabur ke laut, maka Gereja lebih menganjurkan agar jenazah dapat dikubur, sebagai manifestasi dari penghargaan akan tubuh manusia, yang akan mengalami kebangkitan badan.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        stef – katolisitas.org

        • Pak Stef
          Kalau sudah tahu abu jangan ditaburkan kelaut tetapi saya tetap melakukannya apakah itu dosa?
          Aku melakukan dengan keyakinan seperti yang pak Stef katakan diatas bahwa Tuhan bisa memberikan tubuh baru dari abu yang tercecer.
          Aku pikir tubuh baru itu adalah betul betul tubuh baru yang Tuhan berikan kekita bukan tubuh kita yang lama yang sudah direnovasi.

          Thanks
          Albert

          • Shalom Albertus,

            Silakan anda membaca prinsipnya tentang kebangkitan badan, di artikel ini, silakan klik.

            Pada kebangkitan badan, kita orang percaya akan memperoleh kembali tubuh kita, namun dengan keadaan yang sempurna dan mulia, karena Allah akan membangkitkan dan memuliakan tubuh kita, sama seperti Tubuh Kristus yang telah bangkit dengan mulia. Saat itu yang bangkit adalah Tubuh Yesus yang telah disalibkan dan wafat -bukan tubuh yang baru lagi- dan karena itu kita memperoleh pengharapan bahwa tubuh kita yang fana ini tidak akan berakhir membusuk di kubur, namun suatu saat akan dibangkitkan dengan mulia.

            Nah, umumnya, orang yang membuang abu ke laut, memang tidak tahu bahwa hal itu dilarang oleh Gereja. Namun jika orang sudah tahu bahwa itu dilarang oleh Gereja, namun melakukannya juga, artinya ia melanggar ketentuan ini, dan silakan ia bertanya kepada hati nuraninya, apakah hal itu salah atau tidak di hadapan Tuhan. Sebab maksud Gereja melarang pembuangan abu ke laut itu lebih kepada penghormatan kepada tubuh orang yang meninggal sebagai ciptaan Tuhan, dan bahwa tubuh manusia itu berharga di mata Tuhan (walau sudah meninggal), sebab semasa hidupnya, tubuh itu pernah menjadi tempat kediaman Roh Kudus (lih. 1 Kor 3:16; 6:19). Sehingga tidak selayaknya tubuh itu dibuang tanpa penghormatan yang layak seperti diberi tanda nisan/ plakat yang merekam memori bahwa orang itu pernah lahir dan hidup di dunia ini. Itulah sebabnya Gereja juga menganggap kuburan adalah salah satu “holy ground“/ tanah yang kudus, sebab di sanalah berbaring tubuh-tubuh manusia yang sudah wafat, yang sedang menantikan kebangkitan badan di akhir dunia nanti.

            Mari kita melihat apa yang dikatakan di dalam ketentuan tentang Kremasi tersebut:

            Norma Liturgis tentang Kremasi

            Kongregasi Penyembahan Ilahi (Congregation for Divine Worship)

            Ketentuan tentang Pemakaman Kristiani, Appendiks 2.”Kremasi”

            Abu jenazah yang dikremasi harus diperlakukan dengan penghormatan yang sama dengan tubuh manusia asalnya. Ini termasuk dengan penggunaan bejana yang layak untuk menyimpan abunya, cara bejana ini dibawa dan cara dan perhatian yang layak untuk penempatan dan transportasinya dan tempat peristirahatan terakhir. Abu jenazah yang dikremasi harus dikubur di kuburan atau disimpan di musoleum atau di kolumbarium. Praktek untuk menyebar abu kremasi di laut, di udara atau di tanah atau menyimpannya di rumah kerabat atau rumah teman dari orang yang meninggal adalah bukan sikap penghormatan yang disyaratkan Gereja. Jika memungkinkan, cara- cara yang layak untuk merekam dengan hormat memori orang yang meninggal harus dilaksanakan, seperti plakat atau batu nisan, yang menuliskan nama dari orang yang meninggal itu.

            Demikian yang dapat saya sampaikan tentang Kremasi, dan bagaimana seharusnya menurut ketentuan Gereja Katolik.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

             

  11. Ibu Inggrid yang terkasih dalam Kristus,

    Maaf, kalau ruang ini ternyata bukan tempat bertanya. Bagaimana cara bertanya pada sesi tanya jawab ini?
    Pertanyaan yang mengganjal saya adalah sebagai berikut:
    Apakah ada dogma atau informasi apapun yang benar dari Katolik tentang boleh tidaknya seorang Katolik di kremasi saat meninggal? Atau harus dikuburkan? Mohon referensi yang jelas terkait dengan ‘kebangkitan badan dan kehidupan kekal’. Ada pastor yang mengatakan tidak boleh di kremasi karena pada akhir jaman tidak dapat mengalami kebangkitan badan, pastor yang lain bilang boleh. Pendeta Protestan bilang tidak boleh. Manusia memang ciptaan Tuhan yang berasal dari tanah dan kembali menjadi tanah, karena tubuh ini fana dan roh itu kekal. Contoh seperti tanah saat dibakar menjadi batu bata, ketika batu bata ditumbuk kembali menjadi tanah maka ia tidak dapat digunakan untuk menanam karena tanah itu sudah dibakar.
    Kalau memang hal ini seperti yang digambarkan pada batu bata, dan Gereja Katolik juga tidak mengimani jenazah yang di kremasi, maka sebaiknya Gereja Katolik bertanggung jawab menginformasikan kepada segenap umatnya untuk tidak melakukan ‘kremasi’, dengan menghimbau umat melalui berbagai cara.
    Demikian sementara pertanyaan saya, semoga saya dan semua umat mendapat pencerahan yang benar tentang masalah ‘kremasi’

    [Dari Katolisitas: Tentang kremasi, sudah pernah dibahas di atas ini, silakan klik. Silakan membaca terlebih dahulu di sana]

  12. Syallom,
    Bu Ingrid saya ingin bertanya
    1.Apakah di hukum katholik dibenarkan kalau jenazah di kremasi atau diperabukan, lalu dibuang ke laut, apakah hal tersebut menyalahi hukum gereja.?
    2.Seandainya hal tersebut adalah wasiat dari orang tua atau saudara kita apakah yang harus kita lakukan ?
    3.Bagaimana juga hukumnya kalau, karena bencana alam jenazah ternyata tidak ditemukan, apakah kita boleh membuat kuburan artificial gitu untuk menandai atau utk mengingat….dan kalau ternyata jenazah tidak dapat dikenali lagi..lalu dikubur secara masal…bagaimana hukumnya.?
    mohon penjelasannya…?

    • Shalom Joan Heru,

      Terima kasih atas pertanyaannya. Berikut ini adalah jawaban yang dapat saya berikan:

      1. Tentang kremasi atau dikubur, anda dapat melihat tanya jawab ini – silakan klik. Seandainya memungkinkan, maka sebaiknya jenasah dikubur. Kalau tidak memungkinkan (namun tetap percaya akan kebangkitan badan), maka jenasah dapat dikremasi, namun abu jenazah harus diperlakukan dengan hormat – bukan dibuang ke laut, atau ditabur ke sembarang tempat. Abu dapat ditempatkan di tempat yang layak dan diperlakukan dengan hormat, seperti dikubur atau disimpan di columbarium. Silakan membaca link di atas yang memberikan alasan teologis dan pengajaran Gereja Katolik secara lebih terperinci.

      2. Kalau kremasi adalah wasiat dari orang tua, maka anda dapat melaksanakan kremasi, namun dengan tetap mengubur abu atau menaruh abu tersebut di columbarium.

      3. Tidak menjadi masalah, bahwa pada saat bencana jenasah tidak dikenali dan dikubur secara masal. Yang terpenting adalah kita harus memperlakukan jenazah dengan hormat, karena kita mempercayai adanya kebangkitan badan. Tentu saja anda dapat mempunyai suatu peringatan, sepanjang kita harus memegang prinsip untuk tidak berdoa kepada orang yang meninggal tersebut, namun mendoakan orang yang meninggal agar Tuhan berbelas kasih kepadanya. Yang paling penting bukanlah tanda peringatan yang kita bangun, namun doa-doa kepada orang yang meninggal, yang didaraskan atas dasar kasih, terutama dalam Sakramen Ekaristi. Semoga penjelasan ini dapat diterima.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  13. terimakasih untuk komentarnya.
    yang jadi pertanyaan saya sekarang berapa lama,orang masuk kedalam api penyucian?
    mohon tangapannya, trm ksh, GBU,

    [Dari Katolisitas: pertanyaan ini digabung]

    satu pertayaan lagi boleh ya,,,,,
    apa yang dimaksud dgn SHEMA?

    • Shalom Helen,

      1. Setelah kita wafat, kita tidak lagi terikat oleh dimensi waktu. Dengan demikian, kita tidak dapat menentukan tentang dimensi waktu, lama jangka waktu seseorang berada di dalam Api Penyucian. Tuhanlah yang menentukan perihal lamanya seseorang dimurnikan di Api Penyucian, tentu sampai ia benar- benar siap untuk bersatu dengan Tuhan di surga. Walaupun demikian, kita yang masih di dunia dapat turut mendoakan jiwa- jiwa yang berada di dalam Api Penyucian tersebut, agar Tuhan berbelas kasihan kepada mereka, dan berkenan menggabungkan mereka dalam kebahagiaan surgawi.

      2. Shema, atau umumnya diikuti dengan kata Israel adalah dua kata yang artinya ‘Dengarlah, [O] Israel’ (Ibrani:שְׁמַע יִשְׂרָאֵל‎; “Hear, [O] Israel”). Kedua kata ini mengacu kepada ayat dalam Ul 6:4, yang mengatakan: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Maka, kata Shema mengingatkan kepada perintah Tuhan yang pertama, agar umat tidak berpaling dari Tuhan Allah yang esa. Kata ‘shema’ ini menjadi kata yang penting dalam doa- doa kaum Yahudi sampai sekarang.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  14. Shalom Pak Stef dan Bu Ingrid.

    Saya punya pertanyaan soal kebangkitan badan. Kita percaya bahwa pada akhir jaman semua orang akan dibangkitkan untuk penghakiman terakhir. Nah bagaimana bentuk/kondisi tubuh/badan yang dibangkitkan pada akhir jaman itu. Misalkan seseorang meninggal dalam usia muda katakanlah 20 tahun, lalu apakah tubuh yang akan dibangkitkan pada akhir jaman itu adalah tubuh yg sama dengan kondisi pada saat meninggalnya itu yaitu umur 20 thn? Jika ya, bagaimana dengan kondisi misalnya : orang tuanya meninggal pada usia 35 tahun sedangkan anaknya panjang umur meninggal pada usia 70 tahun. Kalau kebangkitan tubuh/badan mengikuti kondisi pada saat meninggal ; maka anak akan kelihatan lebih tua dari orang tua donk? (Maaf pertanyaannya agak aneh dan ngawur, tapi saya bingung mikirin karena gak ngerti) .
    Kalau tidak, lalu apa arti kebangkitan badan disini? Apakah keadaan tubuh yang dibangkitkan itu sama seperti ketika Yesus bangkit?
    Mohon pencerahannya. Terima kasih. GBU.

    • Shalom Simon,

      Terima kasih atas pertanyaannya. Tidak ada yang tahu secara persis bagaimana bentuk badan yang telah dimuliakan. Contoh tubuh yang telah dimuliakan adalah seperti tubuh Yesus setelah bangkit. Namun, yang jelas tubuh tersebut berbeda dengan tubuh kita sekarang ini. Tubuh yang telah dibangkitkan ini adalah tubuh sempurna yang dimiliki oleh masing-masing pribadi, yang berarti telah mencapai puncaknya dan bukan bayi lagi, karena bayi masih mempunyai potensi bertumbuh. Sebaliknya, tubuh ini juga tidaklah tua, karena tubuh yang tua telah mengalami kemunduran. Oleh karena itu, kita hanya tahu bahwa tubuh yang akan bersatu dengan kita pada saat kebangkitan badan adalah tubuh yang sempurna. Pembahasan tentang hal ini juga dapat dilihat di sini – silakan klik. Semoga dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  15. Shalom Bu Ingrid,
    Jika abu setelah dikubur atau di titipkan di kolumbarium (seperti yang disarankan/dijelaskan sebelumnya) ternyata pihak keluarganya tidak pernah atau tidak sanggup untuk merawatnya (atau membayar biaya penitipan abunya)? Bukankah itu juga berarti tidak menghormati tubuh? Saya rasa alasan mereka yang mengkremasi dan membuangnya ke laut adalah bisa karena: 1. lahan yang terbatas atau 2. pihak keluarga tidak sanggup untuk merawat dan/atau membayar biaya ‘makam abu’ atau biaya penitipan abu dan 3. tidak terlepas juga alasan kepraktisan (alasan kepraktisan ini memang kurang tepat seperti yang ibu katakan). 4. Mungkin ada alasan masing-masing yang lain.
    Perihal menghormati tubuh, mereka (keluarga) merasa bahwa sudah menghormatinya dengan menjalankan berbagai macam upacara pemakaman dan juga misa arwah dan mereka juga tidak merasa membuang abu itu seperti sampah atau “kulit ari” tetapi mereka tetap percaya bahwa “dari debu kembali ke debu” dan percaya bahwa Tuhan adalah maha kuasa akan mampu mengumpulkan debu tersebut dan membangkitkan badan kita. Bagaimana halnya dengan pelaut yang justru pemakamannya (mayat utuhnya) juga dibuang atau orang yang tenggelam di laut? Mereka juga bercampur dengan segala benda yang ada di laut dan dimakan oleh ikan. Apakah upacara pemakaman pelaut itu berarti tidak menghormati tubuh? Saya rasa tidak demikian. Memang jika sanggup untuk merawat dan/atau membayar biaya penitipan abu tersebut akan lebih baik, namun orang yang membuangnya ke laut bukanlah berarti tidak menghormati tubuh. Mohon komentar.
    Terima kasih.
    GBU.

    • Shalom Chandra,
      1. Memang harus diakui bahwa terdapat banyak alasan bahwa keluarga memutuskan untuk meng-kremasi jenazah anggota keluarga mereka, dan membuang abu-nya ke laut. Hal ini bisa terjadi seperti yang telah anda sebutkan, namun juga bisa terjadi, seperti pengamatan saya, terutama karena mereka tidak tahu sebelumnya tentang apa yang menjadi pengajaran Gereja Katolik. Karena memang harus diakui, ketentuan penghormatan tubuh jenazah sehingga ‘abu jangan ditebarkan ke laut’ itu tidak sepenuhnya diketahui/ dipahami umat. Seandainya mereka mengetahuinya, ada besar kemungkinan mereka-pun akan berusaha untuk mengikuti ketentuan ini.

      2. Ada kemungkinan praktek menebarkan abu jenazah ke laut ini merupakan pengaruh dari kebudayaan tertentu, misalnya budaya Tionghoa. Namun harus diakui bahwa terdapat perbedaan prinsip atara iman Katolik dengan budaya Tionghoa ini. Budaya Tionghoa yang sering berlatar belakang Budha, tidak menganggap tubuh sebagai sesuatu yang sakral. Bagi mereka nirwana adalah pembebasan dari tubuh. Maka bagi mereka tubuh adalah semata ‘kulit ari’/ pembungkus jiwa saja, dan mereka tidak mengimani kebangkitan badan. Bagi kita umat Kristiani, tubuh dan jiwa adalah suatu kesatuan yang sakral. Tubuh kita adalah kenisah Allah (1Kor 3:16), sehingga meskipun telah meninggal tetaplah harus diperlakukan dengan layak, karena di akhir jaman nanti akan kembali dipersatukan oleh jiwa kita. Adalah pengharapan kita bahwa nantinya dalam kesatuan tubuh dan jiwa kita memasuki Kerajaan Surga.

      3. Bahwa ada faktor biaya yang mungkin lebih mahal daripada kolumbarium atau abu dikuburkan, itu memang suatu yang perlu dicari jalan keluarnya, entah dari perorangan, atau komunitas. Dari perorangan, mungkin ada baiknya keluarga mulai dari sekarang menabung, untuk persiapan penguburan. Ini tidaklah aneh, sebab kalau orang menabung untuk biaya pendidikan dan perkawinan, mungkin sudah saatnya juga menyisihkan tabungan untuk penguburan. Dari pihak komunitas, semoga akan ada lebih banyak lagi sarana kolumbarium/ penguburan abu, entah yang dikoordinasikan oleh pihak paroki, ataupun umat awam. Pada umat yang diberkati oleh Tuhan secara finansial (mungkin salah satu dari pembaca?) dan dapat membeli sebidang tanah yang cukup luas, dan terpanggil untuk membantu umat yang lain dalam hal ini, dapat saja menjadikan tanah itu sebagai lahan pekuburan abu/ kolumbarium, dengan biaya yang tidak mahal dan dapat dijangkau bahkan oleh keluarga yang miskin. Hal ini merupakan tindakan yang terpuji yang berkenan di hadapan Allah.

      4. Maka, yang disebutkan di atas memang adalah untuk keadaan yang umum, dan yang seharusnya dilakukan, demi menghormati tubuh. Namun memang tidak dipungkiri bahwa ada kondisi-kondisi khusus, seperti kasus orang tenggelam, perang, dst, yang memang di luar kehendak manusia. Kejadian khusus seperti ini sebaiknya tidaklah dijadikan standar untuk mengukur keadaan umum. Seperti halnya dalam segala sesuatu kita tidak dapat menggunakan keadaan ‘darurat’ sebagai patokan. Pada prinsipnya, kita mengetahui bahwa Tuhan menghendaki kita menghormati tubuh jenazah, sehingga cara yang dianjurkan adalah menguburkan, atau jika dikremasi, abunya di kubur atau disimpan dalam kolumbarium. Supaya dengan demikian, jenazah tetap dapat dihormati, dikenang, didoakan, makam mereka dikunjungi dan dikenali oleh keturunan mereka. Dengan demikian, keturunan mereka juga memperoleh kesempatan merenungkan misteri kehidupan, kematian, kehidupan kekal dan persekutuan orang kudus yang tak terputus oleh maut, terutama pada saat mereka mengunjungi makam/ kolumbarium tersebut.

      Maka penguburan ataupun aturan untuk tidak menebar abu jenazah ke laut itu bukan karena kita meragukan kemahakuasaan Tuhan untuk membangkitkan tubuh di akhir jaman. Kita menyakini bahwa Tuhan dengan ke-Mahakuasaan-Nya, dapat membangkitkan tubuh semua orang, entah mereka dikubur, atau bahkan kalau abunya ditaburkan. Peraturan tersebut adalah terlebih untuk kita sendiri dan keturunan kita, agar menghormati tubuh ciptaan Tuhan, dan agar kita semakin dapat merenungkan misteri kehidupan, kematian, dan merindukan kehidupan kekal di surga dalam persekutuan dengan semua orang kudus-Nya.

      5. Sekarang bagaimana kalau sudah terlanjur, ada anggota keluarga yang sudah dikremasi dan dibuang abunya ke laut? Untuk menjawab hal ini, kita berpegang pada prinsip, seseorang tidak dapat dikatakan berdosa berat, jika melakukan sesuatu karena tidak tahu kalau itu perbuatan yang salah/ dosa. Maka jika hal itu sudah terlajur dilakukan, tidaklah menjadi sesuatu masalah yang besar. Cukuplah kita memohon ampun di hadapan Allah karena tidak mengetahui bagaimana caranya untuk menghormati jenazah, sesuai dengan kehendak-Nya. Namun selanjutnya, setelah kita memahami ajaran ini, sedapat mungkin kita harus berusaha untuk menaatinya. Jangan lupa bahwa sebagai umat Katolik, tidaklah dibenarkan kita menempatkan pendapat pribadi di atas pengajaran Gereja, apalagi jika kita mengetahui alasan- alasannya yang sungguh sesuai dengan Alkitab.

      Maka, mari bersama kita berusaha untuk melaksanakan, meluaskan ajaran ini, dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan kehendak Tuhan sampai pada akhirnya. Ya, termasuk sampai pada saat kita tidak lagi hidup di dunia ini. Ini adalah bentuk sederhana pelaksanaan sabda ini, "Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan." (Rom 14:8). Maka dalam keadaan hidup ataupun mati, sebaiknya kita memenuhi apa yang menjadi kehendak-Nya, agar sungguh kita dapat dikatakan sebagai milik-Nya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  16. Syalom,

    Mungkin gereja/dewan paroki/perkumpulan umat Katolik perlu memikirkan untuk membangun columbarium kecil terutama di tempat ziarah atau di dekat tempat ziarah. Salah satu keberatan menguburkan jenazah orang yang kita cintai dan membuatkan makam (khususnya dalam tradisi Tionghoa) adalah karena kita tidak ingin merepotkan anak cucu. Makam lama biasanya akan dilupakan setelah cucu atau buyut meninggal dunia karena generasi berikutnya tidak mengenal siapa di dalam makam tersebut. Juga tidak jarang makam Tionghoa di kota-kota tertentu malahan dijadikan tempat maksiat khususnya pelacuran.

    Jika jenazah orang yang kita cintai itu akan dikremasi dan disimpan (karena tidak boleh dibuang ke laut atau ke udara), menurut hemat saya, sebaiknya ditaruh dalam columbarium di tempat ziarah atau tempat yang berdekatan dengan tempat ziarah. Karena sekalipun cucu-buyutnya sudah tidak berdoa untuk memohonkan keselamatan di api penyucian, orang-orang yang berziarah akan berdoa khususnya pada saat-saat doa arwah. Mohon tanggapannya.

    Andryhart

    • Shalom Andryhart,
      Ya memang, kemungkinannya abu itu dikubur, atau diletakkan di kolumbarium. Kolumbarium merupakan sesuatu yang umum di Singapura, misalnya, yang memang lahan negaranya sangat terbatas, sehingga lahan kuburan sangatlah langka.
      Di Indonesia memang mungkin masih belum umum, namun saya mendengar di Rumah duka Oasis, yang didukung oleh Keuskupan Jakarta, kolumbarium itu sudah ada.
      Ya memang mungkin kita harus lebih bersabar, namun sedikit demi sedikit sudah ada pemikiran ke arah sana.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  17. Shalom Ibu Inggrid,

    Senang rasanya mempunyai media informasi dan sarana pembelajaran bagi kita umat Katholik di http://www.katolisitas.org ini. Dengan website ini rasanya sangat tepat bagi umat awam yang masih merasa kurang pengetahuannya dan masih ingin terus belajar ttg keimanan katholik kita.
    Adapun pertanyaan saya,yg mungkin sepele tapi mengganjal hati ini adalah bagaimana jawaban kita tentang dasar dan alasan dari kita umat Katholik/Kristen yang telah meninggal, dimasukkan ke dalam peti mati dan dikenakan pakaian lengkap. Sementara sewaktu Tuhan Yesus dimakamkan, hanya menggunakan kain kafan dan tanpa peti mati.

    Terimakasih sebelumnya atas jawaban ibu, Tuhan memberkati.

    • Shalom Ade,

      Sebenarnya, hal mengubur lebih berkaitan dengan kebudayaan daripada pengajaran Gereja. Menurut tradisi Yahudi, tubuh orang yang meninggal harus secepatnya bersatu kembali dengan tanah, sehingga yang dilakukan adalah mengubur dengan memasukkan jenazah ke dalam lubang kubur dengan dibungkus kain kafan, atau dimasukkan ke dalam peti yang di bagian bawahnya diberi lubang-lubang, kemudian dimasukkan ke liang kubur. Yesus dikuburkan dengan cara yang pertama (lihat Mat 27:60; Mrk 15:46). Namun demikian, setelah agama Kristiani tersebar ke berbagai daerah di dunia, tradisi ini kemudian bercampur dengan tradisi setempat. Gereja Katolik tidak melarang penyesuaian yang dilakukan untuk mengubur jenazah, sepanjang prinsip utama dipertahankan, yaitu bahwa kita harus menghormati tubuh jenazah manusia yang meninggal.

      Tepatnya yang tertulis di Kitab Hukum Kanonik adalah demikian:
      Kan. 1176 – § 1. Umat beriman kristiani yang telah meninggal dunia harus diberi pemakaman gerejawi menurut norma hukum.
      § 2. Dengan pemakaman gerejawi Gereja mohon bantuan rohani bagi mereka yang telah meninggal dan menghormati tubuh mereka serta sekaligus memberikan penghiburan berupa harapan bagi yang masih hidup; pemakaman itu haruslah dirayakan menurut norma undang-undang liturgi.
      § 3. Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani.

      Saya ingin mengutip tulisan dari Russel D Moore ("Grave Signs", Touchstone Magazine, January/ February, 2007), yang menuliskan demikian (demikian terjemahannya): "Bagi orang Kristen, penguburan bukan merupakan pembuangan barang, melainkan sebuah perhatian yang diberikan kepada seorang manusia. Di dalam penguburan, kita diingatkan bahw tubuh bukan merupakan "kulit ari" yang dibuang oleh seseorang yaitu jiwa di dalamnya. Tidak hadir di dalam tubuh artinya adalah hadir bersama Allah (lih. 2 Kor 5:6-8; Fil 1:23) tetapi tubuh yang tinggal tetap merupakan milik seseorang, seseorang yang kita kasihi, seseorang yang akan memperolehnya kembali pada suatu hari nanti."

      Russell kemudian mengambil contoh Abraham yang juga menguburkan istrinya Sarah dengan hormat (lih. Gen 23:19). Injil Yohanes juga mengidentifikasikan jenazah Lazarus, tetap sebagai Lazarus, "Lazarus telah empat hari berbaring dalam kubur."(Yoh 11:17). Setelah Yesus disalibkan, Injil menyebutkan bagaimana Yusuf dari Ariimathea  membersiihkan dan membungkus tubuh Yesus dengan kain kafan. Lalu pada hari pertama Minggu itu, Maria Magdalena dan para wanita mendatangi kubur; para wanita itu dikatakan dalam Injil Mark 16:1 "meminyaki Yesus" bukan "meminyaki mayat Yesus". Maka, begitu melihat kubur yang kosong,Maria Magdalena sangat bersedih hati sebab ia khawatir bahwa seseorang mencuri/ melakukan sesuatu yang tidak hormat terhadap Yesus. "Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana Ia diletakkan." (Yoh 20:13).

      Maka apapun prinsipnya, entah dikubur dengan peti atau tidak, dikuburkan atau dikremasi, tidak menjadi masalah, yang penting penanganan jenazah dan penguburan harus dilakukan dengan hormat. Misalnya penguburan harus di lokasi yang layak untuk pekuburan manusia, dan jika dikremasi, maka abu jenazah tidak dibuang ke laut ataupun disimpan di rumah. Sejarah mencatat bahwa penggunaan peti mati yang umum bagi semua orang Kristen baru dimulai tahun 1700. Sebelumnya penggunaan peti hanya untuk orang yang mampu, dan sedangkan untuk orang-orang miskin, jenazah hanya diletakkan di dalam peti di dalam gereja, namun pada saat dikuburkan, jenazah yang dibungkus kain kafan dikeluarkan dari peti dan dikubur langsung ke dalam liang kubur. Peti dibawa kembali ke gereja dan dapat digunakan pada jenazah yang lain. Namun kemudian terjadi perkembangan di mana peti mati menjadi sesuatu yang umum (mungkin dengan adanya revolusi industri di mana dimungkinkan secara luas tersedianya bahan-bahan pembuat peti), bahkan bagi orang-orang miskin.

      Maka terdorong oleh kasih dari pihak keluarga, yang ingin memberikan perhatian terakhir kepada saudara yang telah meninggal, maka dibuatlah peti mati dan bahkan setelah dibersihkan jenazah diberi pakaian seperti layaknya ketika masih hidup. Hal ini diizinkan Gereja, sebab pada prinsipnya motivasi di belakangnya hanya karena rasa hormat, kepada pribadi yang telah meninggal. Jadi, bahwa terdapat perbedaan cara penanganan jenazah pada jaman sekarang dengan pada jaman Yesus, itu tidak berlawanan dengan prinsip utama yang diajarkan oleh Gereja Katolik: bahwa kita harus tetap menghormati tubuh orang yang meninggal dan memperlakukannya dengan menghormati martabatnya sebagai tubuh manusia ciptaan Allah. Pada jaman Yesus adalah dengan diurapi, dikafani, diberi rempah-rempah khusus; sedang sekarang dengan diberi pakaian dan dimasukkan dalam peti. Keduanya dilakukan dengan sikap hormat kepada tubuh yang wafat.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

    • Saya sangat senang membaca dan mengikuti diskusi di situs ini. Ada beberapa bagian untuk saya belum jelas, maksud dari: Gereja tidak melarang jenasah/mayat untuk dikremasi. Kalau dikremasi, abunya tidak boleh dibuang ke laut. Apakah ini bentuk larangan dari gereja atau sekedar himbauan. Kalau dibuang apakah dosa, karena melanggar larangan dr gerja. terima kasih Tuhan memberkati

      • Shalom Yohanes,
        Terus terang memang tidak ada peraturan tertulis di Kitab Hukum Kanonik tentang boleh atau tidaknya abu jenazah dibuang ke laut namun, jika kita membaca kanon dari KHK, terlihat bahwa sebenarnya hal itu secara implisit tidak diperbolehkan.

        Kan. 1176 – § 1. Umat beriman kristiani yang telah meninggal dunia harus diberi pemakaman gerejawi menurut norma hukum.
        § 2. Dengan pemakaman gerejawi Gereja mohon bantuan rohani bagi mereka yang telah meninggal dan menghormati tubuh mereka serta sekaligus memberikan penghiburan berupa harapan bagi yang masih hidup; pemakaman itu haruslah dirayakan menurut norma undang-undang liturgi.
        § 3. Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani.

        Namun terdapat ketentuan yang dikeluarkan oleh CDW demikian:
        LITURGICAL NORMS ON CREMATION
        Congregation for Divine Worship

        ORDER OF CHRISTIAN FUNERALS, Appendix 2, “Cremation”


        417 The cremated remains of a body should be treated with the same respect given to the human body from which they come. This includes the use of a worthy vessel to contain the ashes, the manner in which they are carried, the care and attention to appropriate placement and transport, and the final disposition. The cremated remains should be buried in a grave or entombed in a mausoleum or columbarium. The practice of scattering cremated remains on the sea, from the air, or on the ground, or keeping cremated remains in the home of a relative or friend of the deceased are not the reverent disposition that the Church requires. Whenever possible, appropriate means for recording with dignity the memory of the deceased should be adopted, such as a plaque or stone which records the name of the deceased.

        Menurut saya pribadi, membuang abu jenazah di laut dan kemudian bercampur dengan bermacam benda dan kotoran dan kemudian menjadi makanan ikan, itu tidaklah memenuhi persyaratan “menghormati tubuh orang yang meninggal.” Ini lain dengan jenazah/ abu jenazah yang dikubur, yang diletakkan di pekuburan yang layak untuk manusia. Dan walaupun baik dibuang ke laut ataupun dikubur, jenazah itu sudah mati, namun dengan dikubur maka proses bersatunya kembali dengan tanah (dari debu dan kembali menjadi debu- Kej 3:19) itu terjadi dengan lebih natural dan layak/ terhormat, jika dibandingkan dengan dibuangnya abu di laut.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

        • Terima kasih atas penjelasannya. Sekarang saya jadi bingung, gundah. Masalahnya begini kami dari keluarga katolik. Ayah sudah meningal, dikremasi dan dibuang di laut. Ibu, syukur pada Allah masih diberi panjang usia. Untuk mempersiapkan masa2 itu (kematian) sejak dini mulai bertanya pada ibu nantinya diapakan, dan secara tegas dan jelas ia ingin seperti ayah saya. dikremasi dan dibuang kelaut. apakah bisa mengikuti kemauan ibu saya itu dengan mengabaikan pengetahuan saya. Terima kasih. Tuhan senantiasa memberkati kita semua.

          • Shalom Yohanes,
            Saya rasa, akhirnya anda dapat memutuskannya dengan “prudence/kebijaksanaan”, namun saya rasa karena anda telah megetahuinya, silakan anda membicarakannya secara terbuka dengan ibu anda, apa yang menjadi pengajaran dari Gereja Katolik, karena ia juga seorang Katolik. Apa yang sudah lewat dan dilakukan atas dasar ketidak tahuan, itu tidak merupakan dosa berat. Namun begitu kita mengetahuinya, maka memang ada tanggung jawab dari pihak kita untuk memberitahukan dan jika itu menyangkut diri kita, kitapun sebaiknya dapat memutuskan sesuai dengan ketentuan itu.
            Jangan lupa, bahwa Tuhan kita Maha Pengasih dan Maha Kuasa, dan meskipun oleh satu dan lain hal suami tidak dapat dikubur bersama dengan istri, Tuhan akan tetap dapat mempersatukan mereka di surga. Lagipula di surga nanti persatuan kita tidak lagi persatuan seperti hubungan perkawinan di dunia, namun kita akan menjadi seperti malaikat (Mat 22:30; Mrk 12:25), yang dipersatukan oleh Allah dengan cara yang melampaui batas pemikiran kita sekarang. Dengan dibuang ke laut-pun tidak menjamin abu ibu akan bertemu dengan abu bapak, sebab selain sudah terpisah sekian waktu dan tempat membuangnyapun tidak bisa dijamin persis sama.
            Namun di atas semua itu, saya rasa, bawalah semua ini di dalam doa, juga bersama dengan ibu anda, supaya dapat memutuskan dengan baik, seturut dengan kehendak Tuhan.
            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  18. Hii Tay dan Ingrid.
    Banyak orang sangat takut untuk di kremasikan, sehubungan dengan pada kedatangan Yesus yang ke dua kali akan dibangkitkan karena sudah dibakar jadi tidak dapat bangkit. meskipun jadi tanah atau dibakar sama2 habis. Pertanyaannya: Yang akan dibangkitkan itu tubuh rohani atau tubuh jasmani(fana).
    Yks. Gbu

      • Shalom Tay dan Ingrid.
        Trima kasih banyak atas penjelasannya, sangat jelas dan sangat membantu.
        Kita ketemu lagi dalam pertanyaan y.a.d. Gbu.
        Meyta.

      • Dear Ibu Ingrid,

        Dikatakan bahwa abu dari hasil kremasi tidak boleh dibuang ke laut, jadi dikemanakan ya bu? mohon penjelasan nya. Juga apabila sudah ada keluarga yang meninggal dan sudah terlanjur abu nya dibuang ke laut, apa yang harus kita lakukan?

        Thank You

        Gbu

        • Shalom Harry,
          Yang kami tuliskan di sini adalah sebuah anjuran berdasarkan konsekuensi logis dari pengajaran Gereja Katolik, seperti yang tertulis dalam pengajaran ini,

          LITURGICAL NORMS ON CREMATION
          Congregation for Divine Worship

          ORDER OF CHRISTIAN FUNERALS, Appendix 2, “Cremation”


          417 The cremated remains of a body should be treated with the same respect given to the human body from which they come. This includes the use of a worthy vessel to contain the ashes, the manner in which they are carried, the care and attention to appropriate placement and transport, and the final disposition. The cremated remains should be buried in a grave or entombed in a mausoleum or columbarium. The practice of scattering cremated remains on the sea, from the air, or on the ground, or keeping cremated remains in the home of a relative or friend of the deceased are not the reverent disposition that the Church requires. Whenever possible, appropriate means for recording with dignity the memory of the deceased should be adopted, such as a plaque or stone which records the name of the deceased.

          Dalam Alkitab  kita ketahui bahwa tubuh manusia diciptakan sebagai sesuatu yang sakral, maka memang meskipun sudah meninggal, manusia harus tetap memperlakukan tubuh dengan hormat, dikubur, dan bahkan diberi rempah-rempah, dst, dan bukan hanya sekedar "dibuang".
          Untuk maksud inilah, maka sesungguhnya, abu kremasi sebaiknya tidak disebarkan di laut, yang umumnya memang berkonotasi "terbuang" dan bahkan menjadi makanan ikan. Maka, yang dapat dilakukan adalah abu tersebut diletakkan di rumah abu (Columbarium), atau abu tersebut dikuburkan.

          Sedangkan jika sudah terlanjur, yang bisa dilakukan oleh pihak keluarga adalah memohon ampun kepada Tuhan atas kurangnya penghormatan terhadap tubuh manusia ciptaan Tuhan [yaitu kerabat anda yang sudah meninggal], dan tetaplah mendoakan jiwa kerabat anda, terutama dengan mengajukan ujud misa kudus, secara khusus pada bulan November (terutama tgl 1-8 Nov) yang dikhususkan untuk mendoakan jiwa-jiwa orang beriman. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan: Allah yang mampu menciptakan manusia dari yang tidak ada menjadi ada, maka pada saat kebangkitan badan nanti Allahpun sanggup membangkitkan kerabat anda. Namun sebaiknya, untuk selanjutnya, bagi kita yang masih hidup, kita memperlakukan kerabat kita yang sudah meninggal dengan penghormatan yang layak demi menghargai tubuh mereka sebagai tubuh manusia ciptaan Tuhan.
          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid & Stef- http://www.katolisitas.org

          • Dear Ibu Ingrid,

            Terima kasih atas penjelasannya.
            Saya ada pertanyaan lagi, Untuk abu yang dikuburkan , apakah ada pekuburan yang menerima untuk penguburan abu? sorry, soalnya saya agak awam tentang hal ini.

            Untuk mengajukan ujud misa kudus, apakah maksudnya dengan intensi misa? atau kita mengundang secara khusus pastor untuk mendoakan kerabat kita dengan mengadakan misa pada bulan November?

            Mohon penjelasannya.

            Terima kasih.

            JCbu..

          • Shalom Harry,
            Sepanjang pengetahuan saya, memang di Indonesia baru ada satu rumah abu (Kolumbarium/ Columbarium) yang didirikan oleh KWI, namanya Oasis Lestari di Bitung, Tangerang. Soal penguburan abu, saya memang juga merasa ini belum umum dilakukan di Indonesia, walaupun secara prinsip harusnya hampir sama dengan penguburan jenazah biasa, hanya petinya mungkin bisa lebih kecil.

            Hal mengajukan ujud Misa Kudus itu sama dengan mengajukan intensi Misa Kudus. Hal inilah yang dapat dilakukan oleh pihak keluarga untuk mendoakan jiwa (-jiwa) kerabatnya yang sudah meninggal di bulan November. Mengajukan intensi Misa ini tidak harus berarti mengundang Romo untuk mengadakan Misa khusus mendoakan arwah di rumah kita, walaupun jika itu memang diinginkan oleh pihak keluarga, hal ini tidak juga dilarang.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

          • Shalom Ibu Ingrid,

            Terima kasih banyak atas informasinya..
            Website ini sangat membantu saya di banyak hal terutama Iman Katolik..

            Salam kasih juga dalam Kristus Tuhan.

          • Shalom Ibu Ingrid,
            Terimakasih atas informasinya mengenai kremasi ini. Setidaknya meluruskan pemikiran saya. Untuk tidak merepotkan anak-anak pernah saya berkeinginan untuk dikremasi, jika suatu saat saya dipanggilNya…
            Kalau tidak salah, di kompleks Gua Maria Puh Sarang Kediri, ada juga columbarium yang bagus sekali bangunannya. Sudah banyak sekali abu-jenazah umat yang disimpan di sana, terutama dari keluarga umat wilayah Malang dan Surabaya…
            Salam,
            agusnar

          • Bagaimana bila alasan praktis ?
            Dewasa ini dengan mobilitas orang, karena tugas, pekerjaan, dll sebaran orang bisa terjadi dimana-mana. Jawa – Sumatra- Sulawesi dll. Pemeliharaan kuburan menuntut suatu yang kontinu, yang bila tidak dilakukan – akan tumbuh rumput, sehingga tidak layak lagi. Dalam hal ini lautan merupakan wilayah yang relatip dekat, dan mudah dijangkau dari mana saja. Oleh karena itu pembuangan abu ke laut merupakan piihan yang tepat.. Mohon pendapat
            Terima kasih
            GBU.

          • Shalom Arga,
            Memang orang dapat berpikir tentang kepraktisan, namun sebenarnya kepraktisan bukanlah alasan yang tepat dalam hal ini, karena yang ditekankan di sini adalah penghormatan terhadap tubuh manusia yang adalah ciptaan Tuhan yang mulia, walaupun tubuh itu sudah berupa jenazah. Inilah yang memang menjadi pengajaran dari Gereja Katolik bahwa bagaimanapun, manusia masih memiliki harkat dan martabat, meskipun sudah berbentuk jenazah, dan karenanya harus diperlakukan dengan layak, dan tidak untuk dibuang begitu saja seperti sampah, ataupun menjadi seperti makanan ikan. Dalam hal inilah maka yang dianjurkan adalah dikuburkan, atau jika yang dipilih adalah pembakaran jenazah, maka abunya juga tidak ‘dibuang begitu saja’ namun dikumpulkan, entah kemudian dikuburkan atau disemayamkan di dalam kolumbarium.
            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

          • Bagaimana dengan ini
            mohon pendapatnya

            LITURGICAL NORMS ON CREMATION
            Congregation for Divine Worship

            ORDER OF CHRISTIAN FUNERALS, Appendix 2, “Cremation”


            417 The cremated remains of a body should be treated with the same respect given to the human body from which they come. This includes the use of a worthy vessel to contain the ashes, the manner in which they are carried, the care and attention to appropriate placement and transport, and the final disposition. The cremated remains should be buried in a grave or entombed in a mausoleum or columbarium. The practice of scattering cremated remains on the sea, from the air, or on the ground, or keeping cremated remains in the home of a relative or friend of the deceased are not the reverent disposition that the Church requires. Whenever possible, appropriate means for recording with dignity the memory of the deceased should be adopted, such as a plaque or stone which records the name of the deceased.

            Salam Yohanes Yap

          • Shalom Yohanes Yap,
            Pertama- tama terima kasih banyak atas kiriman kutipan pengajaran dari CDW (Congeragtion for Divine Worship). Ya, benar itulah yang diajarkan oleh Gereja Katolik, bahwa jika jenazah dikremasi, maka kemudian abunya dapat dikubur ataupun diletakkan di kolumbarium, diberi plakat nama yang menunjukkan identitas jenazah. Gereja tidak membenarkan abu dibuang ke laut/ ke udara ataupun di simpan di rumah, karena hal itu tidak mencerminkan penghormatan yang layak kepada tubuh manusia yang diciptakan oleh Tuhan.
            Sekali lagi, terima kasih atas masukannya, saya tambahkan pada tulisan di atas.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

          • sama-sama Bu, ini adalah permasalahan yang dihadapi oleh umat semoga bisa dicarikan solusinya

            Beberapa permasalahan yang ada

            1. Sering digunakan kata disarankan , sebaiknya , direkomendasikan kata-kata yang tidak tegas cenderung diserahkan keputusannya kepada keluarga yang ditinggal
            2. Para Pastor atau orang yang tahu tidak mensosialisasikan ke umat terutama untuk keturunan Tionghoa/China , Bali dll
            3. Tidak adanya kejelasan karena yang terjadi adalah sebagian abu tulang yang di simpan di tempat penitipan abu jenazah sementara sisanya rata-rata ditabur, bahkan untuk bagian tubuh yang bercampur dengan abu kayu dibuang begitu saja ke laut oleh petugas krematorium
            4. di Indonesia belum lazim penguburan/pemakaman abu jenazah
            5. Ada pendapat jika dimasukan ke guci dan dikubur di dasar laut diperbolehkan karena tidak ditabur

            Salam Yohanes Yap

          • Shalom Yohanes Yap,
            Ya, ini masalah kita bersama. Dalam kapasitas kita masing-masing, mari kita memberitahukan kepada saudara/i kita, dan bila perlu kepada Romo juga agar dapat mensosialisaikannya.
            Pada prinsipnya, karena untuk menghormati tubuh manusia (baik tulang maupun bagian tubuh yang lain), maka tidak dibenarkan untuk menaburkan abu jenazah, walaupun hanya sebagian saja. Sebenarnya dengan prinsip yang sama, pembuangan abu dalam guci di laut juga tidak dapat dibenarkan, sebab biar bagaimanapun kita tidak dapat mengetahui lokasi persisnya di mana guci itu diletakkan, sehingga ziarah ke kubur/ guci itu menjadi tidak mungkin. Dan prinsipnya itu tetap seperti ‘dibuang’, sebab diletakkan di laut yang bukan merupakan tempat umum bagi pemakaman manusia.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

Comments are closed.