[Hari Minggu Kedua Adven: Bar 5:1-9; Mzm 125:1-6; Flp 1:4-6,8-11; Luk 3:1-6]
Adven adalah masa Gereja memulai kembali siklus perjalanannya merenungkan misteri kehidupan Kristus, suatu misteri yang begitu dalam dan tak habis- habisnya untuk diresapkan dalam kehidupan umat beriman. Sebab sesungguhnya, hidup kita di dunia merupakan masa Adven yang panjang untuk menantikan kedatangan Kristus yang kedua di akhir zaman. Sebagaimana kedatangan Kristus yang pertama telah dinanti-nantikan oleh bangsa pilihan Allah, demikian juga, kedatangan-Nya yang kedua dinanti-nantikan oleh Gereja, sebagai bangsa pilihan Allah yang baru. Sebagaimana kedatangan Kristus yang pertama merupakan peristiwa yang nyata dalam sejarah, kedatangan-Nya yang kedua juga demikian. Karena itu, kita mempunyai suatu harapan yang nyata dan pasti, bahwa Kristus akan datang kembali untuk mengambil bagi-Nya, kita semua yang telah menjadi milik-Nya. Namun demikian, Kristus menyatakan pengharapan ini harus diwujudkan dengan sikap berjaga-jaga (lih. Mat 24:42; Mrk 13:33). Sebagai umat beriman kita berjaga-jaga, baik untuk menantikan kedatangan-Nya di akhir zaman, maupun di saat kematian kita, ataupun saat kita merenungkan tiap-tiap tahun menjelang peringatan hari kelahiran-Nya di dunia.
St. Yohanes Paulus II dalam salah satu khotbahnya tentang Adven tahun 2001 mengatakan, “Syukur kepada-Nya [Kristus], sejarah umat manusia berjalan sebagai ziarah menuju penggenapan Kerajaan Allah yang telah dimulainya dengan Inkarnasi-Nya dan kemenangan-Nya atas dosa dan maut. Untuk alasan ini, Adven sama artinya dengan pengharapan: bukan penantian sia-sia… tetapi kepercayaan yang nyata dan pasti tentang kedatangan kembali, Ia yang telah mengunjungi kita… Ini adalah sebuah harapan yang mendorong sikap berjaga-jaga, kebajikan khas dari masa liturgis yang khusus ini. Berjaga-jaga dalam doa, yang dibantu oleh harapan penuh kasih; berjaga-jaga dalam dinamika belas kasih yang nyata, dengan kesadaran bahwa Kerajaan Allah datang mendekat bilamana orang-orang belajar hidup sebagai saudara” (St. Paus Yohanes Paulus II, Homili, 2 Des 2001). Namun kenyataannya, hidup sebagai saudara tidak selamanya mudah bagi semua bangsa dan bagi semua orang. Karena itu, di masa Adven tahun yang sama itu, Paus Yohanes Paulus II mengkhususkan satu hari bagi seluruh umat beriman untuk melakukan doa puasa, dengan ujud memohon perdamaian kepada Allah. Hal puasa atau matiraga bagi Gereja bukan merupakan sesuatu yang baru, melainkan sudah menjadi ungkapan umum yang diajarkan dalam Kitab Suci sebagai ungkapan pertobatan. Ini sejalan dengan makna masa Adven. Paus mengatakan, “Puasa menyatakan penyesalan dari suatu kesalahan, tapi juga maksud untuk mengambil tanggung jawab dengan mengakui dosa-dosa kita dan bertekad untuk mengembalikan hati dan perbuatan kita kepada keadilan yang lebih besar, terhadap Allah dan sesama. Dengan berpuasa, kita mengakui dengan kerendahan hati yang meyakinkan, bahwa pembaruan diri dan masyarakat hanya dapat berasal dari Allah… Di luar bentuk-bentuk kesalehan yang palsu…, puasa memungkinkan orang untuk membagi rezeki sehari-hari dengan mereka yang tidak memilikinya.” (St. Paus Yohanes Paulus II, Homili, 9 Des 2001). Demikianlah, seorang yang sungguh bertobat juga adalah seorang yang berdoa, yang mau bermatiraga demi melakukan silih bagi dosa-dosanya dan dosa-dosa sesamanya. Di masa Adven ini, Gereja mendorong kita untuk menjadi semakin reflektif, memeriksa diri kita, apakah kita sudah mempunyai kekudusan untuk memandang Allah, jika Allah datang di hadapan kita pada saat ini. Jika belum, kita dipanggil untuk merendahkan hati di hadapan-Nya, dan mengakui segala kesalahan dan dosa-dosa kita. Memasuki Tahun Kerahiman Ilahi tanggal 8 Desember ini, kita diingatkan bahwa kerahiman Allah jauh melampaui dosa-dosa kita. Asalkan kita sungguh bertobat—dan mengakui dosa-dosa kita dalam sakramen Tobat—Tuhan akan menerima kita kembali dan memperbarui hidup kita. Kita akan “dituntun dengan sukacita oleh Allah, oleh cahaya kemuliaan-Nya dan dengan belas kasihan dan kebenaran-Nya” (Bar 5:9). Dalam belas kasih dan kebenaran Allah inilah kita menyongsong kedatangan Kristus, yang akan kita rayakan pada hari Natal, maupun kelak saat Ia datang kembali di akhir zaman.
Belas kasih dan kebenaran Allah inilah yang diwartakan dalam Berita Injil. Dan karena itu, Rasul Paulus mengingatkan kita untuk bertumbuh dalam kasih dan kebenaran Allah itu. Ia mendoakan kita, “Semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus…” (Flp 1:9-10). Setelah kita diampuni dan menerima rahmat belas kasih Allah, kitapun dipanggil untuk meneruskan belas kasih Allah itu dalam kebenaran dan kebaikan kepada sesama. Dan hanya dengan demikian kita dapat bertumbuh dalam kekudusan yang dikehendaki oleh Allah. Nyatalah bahwa sikap kerendahan hati yang diajarkan oleh Yohanes Pembaptis dalam Injil maksudnya tidak hanya untuk memangkas kesombongan kita, tetapi juga untuk mengisi kekosongan hati kita dengan pengertian yang benar akan belas kasih dan kebenaran Allah. Kerendahan hati membuat kita selalu bersedia memperbaiki diri, namun juga bersedia belajar untuk mengisi pundi-pundi hati kita dengan pengetahuan yang benar akan perintah dan kehendak Allah. Sebab dengan pengertian yang benar akan kehendak-Nya, kita akan dimampukan untuk melakukan apa yang sungguh baik dan kudus, yang berkenan kepada Tuhan dan mendatangkan kemuliaan bagi nama-Nya.
Adven adalah masa penantian akan kedatangan Tuhan, sebuah kesempatan bagi kita untuk berharap, berjaga, bertobat, berdoa, bermatiraga, belajar dan berbuat kasih. Semua ini adalah vitamin rohani yang mempersiapkan jiwa kita untuk bertemu dengan Tuhan Yesus. Paus Fransiskus dalam homili Adven tahun 2013 lalu mengatakan, “Apakah kalian ingin bertemu Yesus dalam hidup kalian? Ya? Hal ini penting dalam kehidupan Kristiani. Hari ini, dengan meterai Roh Kudus, kalian akan memiliki kekuatan yang lebih besar untuk perjalanan itu, untuk perjumpaan dengan Yesus itu. Ambillah keberanian, jangan takut! Hidup adalah perjalanan ini. Dan hadiah yang paling indah adalah untuk bertemu Yesus. Majulah, beranilah!” (Paus Fransiskus, 1 Des 2013)
“Hai, jiwaku, berharaplah dan berjalanlah dalam menyongsong Tuhan Yesus, dengan kekuatan yang berasal daripada-Nya.”