Pertanyaan:
Ibu Ingrid ytk., apakah ibu bisa membantu saya menjelaskan sedikit mengenai malam kelabu / malam gelap / kekeringan rohani / desolasi yang dialami oleh Mother Theresa? saya membaca beberapa artikel, memang desolasi ini adalah kelanjutan dari konsolasi, kelihatannya wajar bila tiap orang mengalaminya. yang paling merasakan desolasi ini adalah Yesus di kayu salib hingga Ia berteriak dengan suara nyaring : “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” sebenarnya seperti apakah malam kelabu itu, konon orang yang mengalaminya tidak bisa merasakan Tuhan. konon hal ini adalah semacam ujian spiritualitas tingkat tinggi, bisa berakibat positif bila orang tsb bisa melaluinya (tetap taat pada Allah) dan bisa berefek negatif (meninggalkan Allah). apakah hal ini sama dengan ketidak berdayaan yang kita alami saat mengalami berbagai masalah hidup? lalu yang kedua Ibu, saya menemukan e book CS Lewis Scewtape Letters, di sana diceritakan mengenai berbagai tuntunan setan Screwtape kepada keponakannya Wormwood, untuk menggoda manusia agar meninggalkan Allah. nah ibu, apakah desolasi dan godaan2 setan ini saling terkait? terima kasih. Indriani
Jawaban:
Shalom Indriani,
Sebelum saya menjawab pertanyaan anda, ijinkan saya menjabarkan terlebih dahulu apa itu the dark night of the soul (malam gelap/kelabu bagi jiwa), seperti yang diajarkan oleh St. Yohanes Salib. St. Yohanes Salib menjelaskan makna “the dark night of the soul (malam gelap/kelabu bagi jiwa)” sebagai kontemplasi yang dialirkan oleh Tuhan untuk memurnikan jiwa dari ketidakmurniannya. Kontemplasi ini dimaksudkan oleh St. Yohanes Salib sebagai “aliran yang rahasia, penuh damai dan kasih dari Tuhan, yang jika diijinkan terjadi, menyalakan jiwa dengan kasih, … dinyalakan di dalam kasih dengan kerinduan.” (St. Yohanes Salib, Dark Night of the Soul 1.8.6) Keseluruhan teks tulisan St. Yohanes Salib tentang The Darkness of the Soul dapat dibaca di link ini, silakan klik.
Pemurnian jiwa terjadi dengan dua cara: 1) secara aktif, yaitu dicapai melalui usaha manusia itu sendiri; 2) secara pasif, yaitu dilakukan oleh Tuhan secara langsung melalui karunia Roh Kudus. Nah, pemurnian jiwa dari Tuhan tidak serta merta diberikan oleh Tuhan tanpa usaha dari jiwa tersebut untuk secara aktif memurnikan dirinya sendiri, yaitu dengan pemeriksaan batin yang teratur, melaksanakan meditasi (terutama merenungkan Sabda Tuhan) secara teratur, usaha mati raga, dan usaha untuk memperoleh dan menerapkan kebajikan- kebajikan. Jadi pemurnian jiwa secara aktif merupakan prasyarat pemurnian jiwa secara pasif oleh Tuhan. Pemurnian secara pasif ini merupakan sesuatu yang penting, sebab pemurnian jiwa secara aktif oleh usaha manusia tidak akan mencukupi. Oleh karena itu ‘dark night‘/ malam kelabu bagi jiwa’ merupakan jalan yang umum dalam pengudusan jiwa, untuk mencapai kesempurnaan spiritual. Selanjutnya St. Yohanes Salib membagi ‘dark night‘ ini menjadi dua jenis, yaitu 1) dark night /malam kelabu bagi perasaan; dan 2) malam kelabu bagi roh. Nah untuk mengetahui bedanya, penting bagi kita untuk mengetahui adanya tahap- tahapan spiritual seseorang. Dalam hal ini, jika kita memakai ketujuh tahapan yang diajarkan oleh St. Theresia Avila, kita dapat menempatkan masa ‘dark night‘ ini sebagai berikut:
Tiga tahapan kehidupan rohani | Tujuh bilik dalam Puri Batin(menurut St. Theresia Avila) | Dark night/ malam kelabu (menurut St. Yohanes Salib) |
Tahap satu: Pemurnian bagi para pemula | Puri kesatu, ciri- cirinya: hidup secara umum dalam kondisi rahmat, tetapi hanya berdoa sesekali, dan hanya didominasi oleh tujuan- tujuan duniawi Puri kedua: terjadi pergumulan melawan keduniawian, mengadakan meditasi (merenungkan Sabda Tuhan) Puri ketiga: hidup teratur dengan melaksanakan kebajikan- kebajikan, secara teratur ber-meditasi dan melakukan praktek yang saleh lainnya. | |
Dark night of sense/ malam kelabu bagi perasaan | ||
Tahap dua: Penerangan bagi yang telah berpengalaman (‘proficient‘) | Puri ke-empat: ‘prayer of quiet’ (doa hening), yang didahului dengan rekoleksi, yang ditandai dengan kesadaran yang penuh akan kehadiran Tuhan di dalam jiwa. Doa hening ini adalah semacam penyalaan kehendak sesuai dengan kehendak Tuhan, yang ditandai dengan pertumbuhan dalam semua kebajikan, takut akan Allah, kerendahan hati, percaya penuh akan kuasa Tuhan, dan kemerdekaan rohani. | Dark night of sense dimulai, ditandai dengan kesulitan untuk bermeditasi (tak dapat merasakan hadirat Tuhan). Pemurnian ini akan berangsur terlewati, dan jiwa menikmati kemerdekaan di dalam hati, kepuasan dan penghiburan. Hasilnya: jiwa tidak terikat oleh tujuan- tujuan duniawi dan keinginan mengalami konsolasi yang dapat ‘dirasakan’. |
Tahap tiga: Persatuan [dengan Tuhan] | Puri kelima: ‘prayer of quiet’: persatuan sederhana. Cirinya: tidak ada distraksi/ pelanturan, kepastian akan persatuan yang erat dengan Tuhan, kehendak yang kuat dan kerendahan hati yang sangat mendalam. Puri ke-enam: ‘ecstatic’/ conforming union: persatuan yang menyesuaikan dengan Kristus. Cirinya: luka-luka kasih, percobaan/ ujian yang terlihat dari luar ataupun di dalam hati, kehendak yang kuat, ‘spiritual betrothal’. Puri ke-tujuh: ‘Mysical Marriage’/ Perkawinan Mistik atau transforming union: persatuan yang mengubah menjadi seperti Kristus. Cirinya: kehendak yang kuat untuk melayani Tuhan dan menderita bagi-Nya; melupakan kehendak diri sendiri, hanya memusatkan diri pada Tuhan dan segala kehendak-Nya. | Dark night of the spirit/ malam kelabu bagi jiwa/ roh. Pemurnian ini menyangkut pemurnian iman, akal budi dan kehendak dari kesombongan yang tersembunyi dan cacat/ kekurangan yang berkaitan dengannya. |
Terlihat di sini, bahwa dark night yang pertama dialami oleh para pemula, ketika Tuhan mulai membawa mereka masuk ke dalam kontemplasi; sedangkan dark night yang kedua, yaitu pemurnian jiwa, diberikan kepada mereka yang telah berpengalaman (dalam tahap lanjut), yaitu saat Tuhan ingin membawa mereka ke tingkatan persatuan dengan Tuhan. Jadi, dark night of the soul bukan merupakan kata sinonim dari depresi, problem emosi ataupun kekeringan rohani akibat suam- suam kuku. Dark night, menurut pengajaran St. Yohanes Salib, dialami oleh mereka yang telah mengusahakan praktek kehidupan rohani, secara khusus meditasi ataupun mental prayer (doa kontemplatif). Jadi seseorang tidak seharusnya berpikir bahwa ia mengalami ‘dark night‘ jika ia bahkan belum memulai melakukan meditasi/ merenungkan Sabda Tuhan secara teratur. Dalam dark night of sense, jiwa- jiwa ini tidak memperoleh kepuasan atau penghiburan dari hal- hal rohani [misalnya rasa ‘hangat’/ suka cita melimpah, karunia air mata, dst] dan mereka juga tidak memperoleh penghiburan dari ciptaan lainnya. Tuhan bermaksud memurnikan mereka dari keinginan perasaan semata. Tanda kedua dari permurnian ini adalah, bahwa pikiran mereka yang mengalami hal ini akan selalu terarah kepada Tuhan, walaupun dengan rasa sakit, karena berpikir bahwa ia belum/ tidak cukup melayani Tuhan. Oleh karena itu, pengalaman dark night ini sangat berbeda dengan kemalasan ataupun suam- suam kuku, yang umumnya tidak peduli akan Tuhan. Tanda ketiga dari pemurnian ini adalah ketidakberdayaan di samping segala usaha melakukan meditasi seperti yang dilakukan di saat- saat terdahulu. Saat ini Tuhan ingin menyampaikan Diri-Nya, tidak lagi melalui usaha imajinasi/ pikiran manusia, tetapi melalui kontemplasi yang sederhana.
St. Yohanes Salib mengajarkan bahwa terdapat kecenderungan pada para pemula (mereka yang berada di tahap satu sampai tiga dalam Puri Batin) untuk terikat kepada konsolasi/ penghiburan yang dapat dirasakan, dari Tuhan. Walaupun dapat menghasilkan kebaikan, namun motivasi sedemikian perlu dimurnikan dan harus dikondisikan dengan usaha untuk menerapkan kebajikan- kebajikan, sebab jika tidak, mereka akan “mempunyai banyak kesalahan dan ketidaksempurnaan dalam pelaksanaan kegiatan- kegiatan rohani.” (St. Yohanes Salib, Dark Night (DN) 1.1.3) Yang paling umum dialami oleh para pemula sebelum memasuki Dark night of sense adalah kesombongan rohani (the capital sin of pride)…. “Mereka menumbuhkan kehendak yang sia- sia- kadang sangat sia- sia- untuk membicarakan hal- hal yang rohani di hadapan orang lain, kadang ingin mengajar daripada diajar; dan di hati mereka, mereka mengecam orang- orang yang nampaknya tidak memiliki devosi yang mereka kehendaki agar dilakukan, seperti orang Farisi mengecam sang pemungut cukai (lih. Luk 18:11-12, DN 1.2.1). Hal ini dapat terjadi pada orang- orang yang berada di Puri ketiga.
Nah, pertama- tama, dark night of sense adalah cara yang digunakan Allah untuk membersihkan jiwa seseorang dan untuk menyalakan kehendak dengan kasihnya. Kedua, adalah untuk ‘memaksa’-nya untuk melaksanakan kebajikan- kebajikan yang bertentangan dengan dosa- dosa pokok (capital sins). St. Yohanes Salib membandingkannya dengan memakan makanan keras, dan bukan hanya sekedar meminum susu. Pada saat kita tidak dapat melakukan meditasi dan tidak mengalami lagi konsolasi rohani, maka jiwa kita diingatkan akan ketidakberdayaannya dalam hal mengejar kekudusan. Ini akan membantu kita untuk bertumbuh dalam kerendahan hati, untuk mengakui kebesaran Allah; bahwa hal pengudusan kita adalah pertama- tama merupakan karya Allah. Demikian juga, pengalaman ini menumbuhkan kerendahan hati untuk bersikap terhadap sesama, sebab kekeringan rohani ini menyebabkan kita tidak condong untuk menganggap diri lebih baik daripada orang lain. Juga, ini menyebabkan kita lebih terbuka untuk mendengarkan pembimbing rohani dan kebijaksanaan Gereja. Kedua, dark night/ malam kelabu bagi jiwa ini juga merupakan obat terhadap kerakusan/ keserakahan rohani, sebab pada saat Tuhan menarik segala konsolasi rohani yang dipegang erat- erat, jiwa yang mengalaminya akan diarahkan untuk berdoa demi Tuhan sendiri dan bukan demi ‘kesenangan’ diri menerima berbagai konsolasi rohani tersebut. Selain itu, St. Yohanes juga menyebutkan, segi positif lainnya dari pengalaman malam kelabu tersebut, yaitu rasa damai sejahtera yang menetap, ketenangan jiwa, kesadaran yang lebih tinggi akan kehadiran Tuhan (takut akan Tuhan), meningkatnya kesabaran dan keteguhan di dalam menghadapi pencobaan, memurnikan maksud hati, meningkatnya kelemahlembutan dengan hormat kepada Tuhan, diri sendiri dan sesama, kemerdekaan jiwa, dan kerinduan yang semakin besar akan Tuhan.
Setelah seseorang mengalami pemurnian melalui dark night of sense, ia akan mengalami konsolasi yang lebih besar di jiwa, dan ini akan bertahan selama jiwa terus meningkat dalam tahap pertumbuhan rohani. Jika Tuhan berkenan membimbing jiwa ke tahap selanjutnya, umumnya Ia tidak akan memberikan dark night of the spirit langsung setelah orang itu melewati masa kekeringan dan pemurnian dari dark night/ malam kelabu yang pertama. Setelah selesai melewati dark night yang pertama, umumnya jiwa akan mengalami banyak tahun untuk melewati tahap lanjut, di mana ia tidak lagi terikat terhadap hal- hal duniawi, melainkan mengarahkan diri kepada hal- hal surgawi, dengan tingkat kemerdekaan dan suka cita yang lebih besar daripada sebelum mengalami the dark night of sense. Jiwa orang itu telah menemukan kontemplasi dan suka cita rohani, tanpa perlu bersusah payah mengusahakannya melalui meditasi. (lih. DN 2.1.1)
St. Yohanes Salib mengatakan, bahwa banyak jiwa mengalami the dark night of sense, namun sangat sedikit yang mengalami the dark night of the spirit. Bagi mereka yang selanjutnya mengalami the dark night of the spirit, agar mencapai persatuan ilahi dengan Tuhan, the dark night of sense yang dialami seringkali disertai pencobaan- pencobaan yang berat dan dapat berlangsung lama (lih. DN 1.14.1). St. Yohanes Salib menjabarkan tiga hal khusus di mana beberapa jiwa dapat dicobai oleh si Jahat (setan/ iblis) di masa dark night of sense ini, walaupun tidak semua orang pada tahap ini mengalaminya. Setan dapat diijinkan untuk menggoda dalam bentuk roh perzinahan/ spirit of fornication, roh penghujatan/ spirit of blashemy atau roh ketakutan/ kebingungan yang tidak perlu/ scruples and perplexities, bukan untuk membuat mereka jatuh tetapi untuk menguji/ memurnikan mereka (lih. DN 1.14.1-3). [Pengalaman rohani beberapa Santa/santo menunjukkan hal ini, seperti yang dialami oleh St. Yohanes Salib sendiri, St. Fransiskus Asisi, St. Padre Pio, St. Maria Faustina, dan Mother Teresa]. St. Yohanes Salib mengatakan bahwa mereka yang menderita karena mengalaminya tidak perlu berputus asa sebab itu merupakan tanda bahwa Tuhan dapat membawa mereka menuju the dark night of the spirit, (walaupun tak semua mengalaminya) di mana godaan- godaan semacam ini umum terjadi- dan jika berhasil dilalui akan menghantar kepada kemuliaan/ persatuan ilahi dengan Tuhan. (lih. DN 1.14.4)
Menurut St. Yohanes Salib, sifat the dark night of the spirit itu seperti balok kayu yang terbakar. Kelembaban dan ketidakmurnian yang ada pada balok itu harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum balok tersebut dapat menyala. Ini serupa dengan jiwa kita. Penyalaan jiwa kita di dalam kasih Tuhan akan menyebabkan rasa sakit di jiwa sebelum jiwa dapat benar- benar menyala, dan rasa sakit ini serupa dengan penderitaan di Api Penyucian (lih. DN 2.10.1-7). Berdasarkan uraian di atas, saya menanggapi pertanyaan anda:
1. Desolasi yang dialami Mother Teresa
The Dark night of the soul (malam kelabu) yang dialami oleh Mother Teresa nampaknya adalah the dark night of senses, namun dapat juga merupakan the dark night of the spirit, mengingat desolasi yang mengikutinya telah mencapai tingkat yang sangat mendalam, terutama menjelang akhir hidupnya di dunia. Desolasi yang dialami oleh Mother Teresa adalah bentuk partisipasinya terhadap apa yang pernah dialami oleh Kristus sendiri sebelum wafat-Nya. Maka, anda benar, bahwa yang paling merasakan desolasi adalah Kristus sendiri di kayu salib, pada saat Ia berteriak, “Allah-Ku, ya Allah-Ku mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46; Mrk 15:34).
2. Seperti apa ‘dark night of the soul‘/ malam kelabu?
Menurut pengajaran St. Yohanes Salib seperti yang diuraikan di atas, dark night/ malam kelabu memang merupakan masa pemurnian jiwa, di mana Tuhan mengijinkan agar jiwa tidak mengalami konsolasi rohani (tidak merasakan hadirat Tuhan). Masa ini dimaksudkan agar jiwa meninggalkan keterikatannya terhadap hal- hal duniawi dan perasaan semata, dan mengarahkan hati kepada Tuhan semata dan bukan kepada segala bentuk konsolasi rohani. Dengan absen-nya konsolasi rohani, seseorang belajar beriman dengan tulus, tanpa mengharapkan “gula-gula rohani” dari Tuhan, namun hanya karena dan demi kasih mereka kepada Tuhan. Hal inilah yang memurnikan iman mereka. Jadi walau dalam masa desolasi ini seseorang nampak tidak berdaya untuk melakukan meditasi, ini tidak untuk diartikan bahwa ia tidak berdaya pada saat menghadapi masalah hidup. Sebab justru pada saat seseorang memiliki iman yang tulus kepada Tuhan (tanpa mengandalkan konsolasi rohani), maka ia semakin tegar/ teguh dalam menghadapi kehidupan dan segala tantangannya. Hal ini diajarkan oleh St. Yohanes Salib, dan kita lihat buktinya dalam kehidupan Mother Teresa. Saat Mother mengalami desolasi, justru karya kerasulannya diberkati, dan ia dimampukan untuk menyelesaikan berbagai tantangan dalam karya misinya, dan karyanya menghasilkan buah yang luar biasa, berkat kesetiaan dan ketaatan imannya kepada Tuhan.
3. Apakah desolasi berkaitan dengan godaan setan?
Memang secara umum Setan menggoda manusia agar manusia berbuat dosa dan meninggalkan Tuhan atau tidak menghiraukan Dia. Hal ini kita baca dalam buku The Screwtape Letters karangan CS Lewis, ataupun The Snakebite Letters karangan Peter Kreeft. Namun sesungguhnya terdapat perbedaan di sini, antara godaan bagi mereka yang belum memulai perjalanan rohani, dan godaan yang dialami oleh mereka yang telah memulai perjalanan rohani dan dalam tahap menuju kehidupan rohani yang lebih mendalam. Sebab bagi kasus yang pertama, yang terjadi lebih menyerupai kasus depresi yang dapat mengarah kepada ketidakpedulian terhadap hal- hal rohani; sedangkan pada kasus yang kedua, godaan- godaan tersebut tidak menjadikan orang yang mengalaminya meninggalkan Tuhan tetapi malah semakin memurnikan imannya dan membuatnya semakin peka dan menginginkan hal- hal rohani. Maka godaan yang dialami oleh para orang kudus adalah kondisi yang kedua, di mana desolasi rohani yang mereka alami, semakin memurnikan jiwa dan kasih mereka kepada Tuhan. Harap dipahami, bahwa mereka yang mengalami desolasi ini adalah mereka yang dapat dikatakan telah bertumbuh secara rohani (bukan mereka yang masih labil dan masih di tahap awal); sehingga efek godaaan ini tidak sama, antara mereka yang di tahap awal dan mereka yang sudah di tahap lanjut. Bagi orang- orang di tahap awal, memang godaaan ini dapat menjadikan mereka meninggalkan Tuhan, tetapi pada orang- orang di tahap lanjut, godaan ini semakin membuat mereka merindukan dan mengandalkan Tuhan; dan inilah yang terjadi pada orang- orang kudus, termasuk di antaranya Mother Teresa. Di buku Come be My Light, yang memuat beberapa surat Mother Teresa, kita dapat membaca perjalanan rohani yang dialaminya sejak ia mengikuti panggilan Tuhan untuk menjadi biarawati (1928) sampai akhir hidupnya. Mother Teresa mengakui bahwa sejak tahun 1949/1950 ia mengalami desolasi (darkness) di jiwanya: di satu sisi ia mengalami kerinduan yang tak terputus akan Tuhan, namun di sisi lain, kegelapan, seolah Tuhan tidak hadir dalam jiwanya, dan ini menimbulkan rasa sakit yang tak dapat dijelaskannya. Namun pengalaman ini justru membuatnya semakin mengasihi Tuhan, dan menyerahkan hidupnya seutuhnya demi melaksanakan kehendak Tuhan. Kepada Fr. Van Exem, salah satu pembimbing rohaninya, Mother Teresa menulis demikian,
“… Anda harus mendoakan saya- agar belajar bagaimana untuk menghilangkan keakuan dalam diri saya dan untuk hidup secara intim dengan Tuhan. Maukah anda mengajari saya untuk melakukan hal ini? Berdoalah untuk terang agar saya dapat melihat dan mempunyai keberanian untuk membuang segala ke-akuan dalam karya ini [karya- karya misi MC]. Aku harus hilang sepenuhnya- jika aku mau agar Tuhan memiliki keseluruhan karya ini.” (lih. Mother Teresa, Come be my light, ed. Brian Kolodiejchuk, MC, (New York: Double Day, 2007), p. 113).
Tentang kegelapan itu, Mother Teresa menulis demikian, “Jiwaku tetap berada di dalam gelap yang dalam dan desolasi. Tidak, aku tidak mengeluh- biarlah Ia berbuat pada saya apapun yang dikehendaki-Nya.” (Ibid., p. 154). Pengalaman ini membuatnya menjadi semakin memahami dan berbela rasa dengan sesama, sehingga ia menawarkan nasihat ini:
“Jika engkau mengalami kesulitan- sembunyikanlah dirimu di Hati Kudus-Nya, dan di sana hatiku dan hatimu akan menemukan semua kekuatan dan kasih…” (Ibid., p. 155)
Namun demikian, Tuhan tidak meninggalkan Mother Teresa. Pada tahun 1958, pada misa requiem Paus Pius XII, Mother Teresa menerima rahmat yang besar. Mother Teresa menulis demikian kepada Uskup Agung Perier:
“Engkau akan bersuka untuk mendengar bahwa pada hari engkau mempersembahkan Misa bagi jiwa Bapa Suci di katedral- saya berdoa… mohon bukti bahwa Tuhan berkenan kepada Sosietas [MC]. Di sana dan pada waktu itu, lenyaplah kegelapan yang lama [kualami], rasa sakit akan kehilangan- kesendirian- penderitaan yang aneh selama sepuluh tahun itu. Hari ini jiwaku dipenuhi kasih dan suka cita yang tak terkatakan- dengan persatuan kasih yang tak terputuskan. Mari bersyukur kepada Tuhan dengan saya dan untuk saya.” (Ibid., p. 177)
Namun, konsolasi ini tidak bertahan lama. Mother Teresa kembali berada di dalam dark night, di mana ia merasa seperti berada di dalam terowongan, sendirian. Mother Teresa tidak mempedulikan hal ini, karena baginya, yang terpenting adalah mengasihi Tuhan, tidak peduli apakah ia mengalami konsolasi ataukah desolasi. Menghadapi dark night ini, Mother Teresa berpegang kepada Bunda Maria, yang juga mengalami pengalaman yang sama, saat ia mengambil bagian di dalam kehausan Yesus akan jiwa- jiwa, saat Yesus tergantung di kayu salib. Perkataan Yesus di kayu salib, “Aku haus” yang mendorongnya untuk memulai kongregasi Missionary of Charity, terus bergema di dalam hatinya. Pada tahun 1980 pada saat komunitas MC berkembang di seluruh dunia, Mother Teresa menulis,
“Sepanjang tahun ini saya mempunyai banyak kesempatan untuk memuaskan dahaga/ kehausan Yesus akan kasih- bagi jiwa- jiwa manusia. Tahun ini menjadi sebuah tahun yang dipenuhi dengan kisah sengsara Kristus (the Passion of Christ). Saya tidak tahu, kehausan mana yang lebih besar, kehausan-Nya ataukah kehausanku akan Dia…” (lih. Ibid., p. 297).
Fr. Neuner yang menjadi pembimbing rohaninya mengkaitkan kisah sengsara Kristus ini dengan pangalaman desolasi yang dialami oleh Mother Teresa. Demikianlah, Mother Teresa mensejajarkan dirinya dengan mereka yang berada di dalam kegelapan dunia. Dengan kasih yang menyala kepada Kristus dan sesama, Mother Teresa memberikan dirinya untuk menjadi terang bagi mereka yang berada dalam kegelapan (lih. Mat 5:14-16), dengan membagikan Terang Kristus kepada mereka yang miskin dan terbuang.
“If I ever become a Saint, I will surely be one of ‘darkness’. I will continually be absent from Heaven – to light the light of those in darkness on earth…” (Ibid., 1)
Inilah tanggapan dari Mother Teresa, atas undangan Tuhan Yesus, Come be My light (Mari, jadilah terang-Ku). Mother Teresa berjuang untuk menjadi terang kasih Tuhan di dalam hidup orang- orang yang berada di dalam kegelapan, di antara kaum miskin dan tersisihkan di Kalkuta, India. Dalam desolasinya hampir di sepanjang karya kerasulannya, dan terutama menjelang wafatnya, Mother Teresa mengambil bagian dalam penderitaan dan desolasi Kristus saat menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib demi menyelamatkan jiwa- jiwa. Maka jika dalam kehidupan rohani kita mengalami desolasi, pengalaman Mother Teresa ini dapat menguatkan kita; bahwa dalam situasi apapun, bahkan pada saat kita tidak lagi merasakan konsolasi rohani; sesungguhnya Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Pengalaman desolasi ini dimaksudkan Tuhan untuk memurnikan jiwa kita, agar kita turut mengambil bagian di dalam penderitaan Kristus di kayu salib, agar melalui pengalaman tersebut, kita dapat mematikan keakuan dan kesombongan kita, agar kita dapat memancarkan terang Kristus sepenuhnya kepada sesama. Dalam keadaan ini, firman Tuhan digenapi di dalam diri kita, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor 12:9).
“Mother Teresa, doakanlah kami agar kami dapat mengikuti jejakmu, membawa terang Kristus kepada sesama kami.”
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam, Tim Katolisitas.
Teman-teman, Bapak/Ibu, mungkin ada yang tahu dimana saya bisa mendapatkan link-link tentang karya-karya Santo Yohanes dari Salib, seperti Malam Gelap Jiwa, Madah Rohani, dsb, baik yang berbahasa Indonesia, Inggris, maupun bahasa aslinya.
Sebelumnya terima kasih sekali …
Salam …
[dari Katolisitas: Anda dapat membaca karya St Yohanes dari Salib, “Mendaki Gunung Karmel” (“Ascent of Mount Carmel”) dan “Malam Gelap Jiwa” (“Dark Night of The Soul”) di situs ordo Karmelit di bagian “Carmelit resources”, silakan klik di sini, dan di sini. Di dalam link itu terdapat naskah lengkapnya yang dapat didownload. Keduanya dalam bahasa Inggris. Kami belum menemukan link terjemahan bahasa Indonesianya, tetapi dalam bentuk buku dapat dibaca dari yang diterbitkan oleh Penerbit Dioma yang berjudul “Mendaki Gunung Karmel” dan “Malam Gelap”. Silakan juga membaca ulasan “The Dark Night of the Soul” dalam artikel di atas]
untuk ibu inggrid saya mohon bantuanya. kalau boleh tahu ada berapa jumlah surat ibu teresa dalam buku Come Be my Light? soalnya saya mau membuat skripsi tentang buku itu. tks.
Shalom Gilberth,
Jika benar anda mau membuat skripsi tentang buku itu, usulan saya, silakan anda membaca buku itu sendiri dari awal hingga akhir, sehingga anda dapat memahami apa yang disampaikan di sana, dan sekaligus anda dapat menghitung sendiri berapa jumlah surat Ibu Teresa di dalam buku itu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ibu Inggrid,
saya ingin membeli buku tersebut (The Dark Night of the soul st Yohanes dari Salib)
apakah Ibu punya alamat toko yang menjual buku tersebut?
beberapa waktu yang lalu saya pernah baca di terbitkan oleh karmelindo (versi Indonesia) tapi kini sudah tidak ada lagi.
terima kasih
Yudi
[dari katolisitas: Silakan mencoba di toko buku Obor – http://www.obormedia.com/ ]
Bu Ingrid ytk.,
terimakasih atas ulasan mengenai The Dark Night of The Souls.
bagi jiwa yg mengalami desolasi, untuk berdoa tentu sangatlah sulit krn doa membutuhkan kerendahan hati. pada saat2 ini, Tuhan memberikan yang berbeda dengan kehendak jiwa, seolah2 Tuhan ingin mengajarkan bahwa Dia lah Sang Bos. dalam masa ini perlu ditingkatkan kedekatan dengan Tuhan sehingga apa yg dipikirkan & didoakan sesuai dengan keinginan Tuhan.
tentu saja hal ini akan berbenturan dengan ego / kesadaran diri / analisa diri. kelihatannya kunci untuk melalui masa desolasi adalah mengalahkan ego (seperti kata Mother Teresa kepada Pastor Van Exem) dan melakukan agere contra (St.Ignatius). menurut Fr. Lawrence Freeman OSB, kita perlu mengendalikan ego untuk menciptakan ketaatan dan membuang kesombongan & ketinggian hati agar kita makin serupa dengan anak Allah, anak2 kecil pemilik kerajaan Surga. dengan melepaskan ego, jiwa dapat menemukan true self dan mulai membenamkan diri dalam Doa Murni, doa tanpa ego.
pertanyaan saya :
1. setiap manusia tentu punya ego, termasuk Tuhan Yesus dan Bunda Maria. namun tidak pernah Yesus menunjukkan egonya, hingga Ia mampu berkata “Bukan kehendakKu yang jadi, tetapi kehendakMu”. atau seperti Bunda Maria yang menjawab perutusan Tuhan dengan “Fiat voluntas tua”. apa usaha yang bisa kita lakukan untuk mengendalikan ego, apakan cukup dengan cara askese dan doa kontemplatif?
2. apakah yang dimaksud dengan Doa Murni itu adalah doa aphophatic dan bukan kataphatic?
3. selain agere contra, saya menemukan buku +Thomas Green, SJ mengenai When The Well Runs Dry dan Drinking from the Dry Well, sepertinya ini adalah the answer for the cry for help in desolation stage. bila Ibu berkenan, saya mohon diberikan ulasan mengenai kedua buku ini.
terima kasih.
Indriani
Shalom Indriani,
1. Tentang adanya ‘ego’ pada setiap manusia
Ya, setiap manusia (termasuk Yesus dan Bunda Maria) punya ego, jika definisi ego adalah sang ‘saya’/ diri sendiri, yang ada pada diri setiap orang [lihat definisi dari dictionary.com]. Namun pada orang- orang yang sungguh taat kepada Tuhan, mereka akan mengarahkan ego/ diri mereka kepada Tuhan, kehendak diri kepada kehendak Tuhan. Keselarasan kehendak diri dengan kehendak Bapa di surga dinyatakan secara sempurna dalam diri Yesus (lih. Ibr 10:7,9; Luk 22:42); di mana kehendak-Nya sebagai manusia selalu selaras dengan kehendak-Nya sebagai Allah yang selalu dalam kesatuan dengan Allah Bapa. Demikian pula, kesesuaian kehendak diri dengan kehendak Allah nyata dalam kehidupan Bunda Maria (lih. Luk 1: 38), dan ketaatan Maria ini dipuji oleh Yesus (lih. Mat 12:15, Luk 8:21).
Bagaimanakah cara mengendalikan ego? Pertama- tama tentu dengan mengandalkan rahmat Tuhan, yaitu dari sakramen- sakramen, secara khusus Ekaristi dan Pengakuan dosa. Maka jika para kudus mengajarkan beberapa latihan praktis, yaitu dengan cara askese dan doa kontemplatif, itu tidak berarti bahwa cara askese dan doa kontemplatif saja sudah cukup, sebab peran sakramen dalam kehidupan para kudus juga sangat besar. Namun demikian rahmat dari Tuhan itu perlu ditindaklanjuti dengan usaha dari pihak kita sendiri, antara lain dengan latihan askese dan doa kontemplatif.
2. Doa murni
Terus terang, saya tidak paham apakah yang didefinisikan dengan doa murni menurut anda. Sebab menurut pemahaman saya, jika doa sungguh ditujukan dari dalam hati kepada Allah, (lih. KGK 2559) itu adalah doa yang murni.
Istilah apophatic dan cataphatic, sering dihubungkan dengan cara pendekatan dalam Teologi. Cara apophatic dimengerti sebagai mendekati Allah dari pendekatan negatif, yaitu ‘apa- apa yang bukan Allah dan bukan sifat- sifat Allah’, untuk dapat memahami Allah; sedangkan cara cataphatic adalah mendekati Allah dengan pendekatan positif, yaitu berdasarkan dengan ‘apa- apa yang dinyatakan Allah tentang diri-Nya’. Dengan demikian, cara cataphatic ini mengacu kepada wahyu Allah (dari Allah kepada manusia) dan cara apophatic dihubungkan dengan pemahaman manusia akan Allah sesuai dengan cara pandang/ pengalaman manusia (dari manusia menuju Allah).
Nah, jika doa adalah komunikasi antara Allah dan manusia maka untuk dapat mengalami kepenuhan hidup doa, kita tidak dapat menekankan hanya satu segi saja. Tidak bisa hanya apophatic, atau hanya cataphatic, namun harus keduanya. Hal adanya pemahaman dua arah ini diajarkan dalam Katekismus: yaitu bahwa manusia selalu mencari Tuhan (lih. KGK 2566), namun Tuhanlah yang terlebih dahulu memanggil manusia (lih. KGK 2567)
Pengalaman doa yang terjadi karena gerak cinta dua arah, yaitu dari Allah (melalui pewahyuan-Nya) dan dari manusia, secara jelas kita ketahui dari pengalaman rohani St. Teresa dari Avila. St. Teresa mengajarkan doa batin berdasarkan permenungan doa Bapa Kami, yaitu doa yang diajarkan Yesus sendiri dalam Injil (secara cataphatic). Dengan demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa doa yang murni adalah melulu secara apophatic.
Selanjutnya, mohon maaf, sementara ini kami belum dapat mengulas secara khusus tentang buku When The Well Runs Dry dan Drinking from the Dry Well, karangan Thomas Green, SJ, karena terbatasnya tenaga kami, dan banyaknya pertanyaan lain yang masuk, yang belum terjawab. Mohon pengertian anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ibu Ingrid Ytk.,
Doa Murni yang saya maksud adalah doa yg tulus; (1) dalam keadaan senang / susah tetap menjalin komunikasi dengan Tuhan, (2) berdoa tanpa pamrih, tidak tergiur pada janji2 yang kadang2 ada dalam doa tertentu. Ibaratnya mengasihi Tuhan dengan tulus, mengimani fiat voluntas tua walau keadaan tidak sesuai harapan / kehendak sendiri.
saya rasa jawaban Ibu sudah cukup bagi saya, dan saya bisa mengerti kesulitan Katolisitas ttg ulasan ke2 buku Fr.Thomas Greene, SJ tsb.
Terima kasih ^_^
Berkah Dalem,
Indriani
Shalom, bu Ingrid, pak Stef dan semua rekan-rekan Katolistas,org Selamat Paskah, terima kasih atas koreksi bu Ingrid untuk komentar yang saya tulis dalam diskusi tentang kemanakah Yesus umur 13 s/d 29? [Dari Katolisitas: kami edit], terus terang saya sudah lama ikuti Website ini dan saya tidak berani menulis komentar karna saya takut apa yang saya tulis bisa salah penaksiran buat orang lain dan baru kali ini saya coba belajar untuk menulis. Buat bu Ingrid pendidikan saya sangat rendah SDTT (Sekolah Dasar Tidak Tamat) jadi bantulah kalau ada tulisan/kalimat/kata-kata yang kurang tepat mohon dikoreksi dan saya akan terus menulis untuk berbagi. GBU
Salam Kasih dalam Kristus Tuhan…Stefanus A.T
[Dari Katolisitas: Terima kasih anda mau berbagi dengan kami. Ya, ada beberapa kalimat dari tulisan anda yang kami edit, karena kami pandang dapat membuat pembaca yang lain salah paham. Tetapi tulisan yang baik dan membangun, tentu dapat kami tayangkan. Di situs ini kita sama- sama belajar, jadi tidak perlu merasa rendah diri, sebab kita sama- sama adalah anggota Tubuh Kristus].
Ibu Inggrid, saya mau nanya… kalau memang tiap orang pernah merasakan malam kelabu ini kenapa masih ada orang2 yang berbuat ga bener?
apakah malam kelabu bisa disebut ‘panggilan’?
apakah orang yang mengalami malam kelabu dipanggil untuk hidup membiara?
terimakasih,
Mayang
Shalom Mayang,
1. Tidak semua orang dapat mengalami ‘malam kelabu di jiwa’ ini, sebab malam kelabu ini hanya dialami oleh orang- orang yang akan beralih dari tahap pemula menuju tahap lanjut dalam perjalanan kehidupan rohani. Sedangkan kita tahu bahwa di dalam kenyataannya ada banyak orang bahkan tidak peduli untuk memulai suatu perjalanan rohani. Banyak orang yang tidak punya ketertarikan untuk berdoa dan untuk setia merenungkan Sabda Tuhan setiap hari, padahal hal inilah yang menjadi syarat dasar bagi seseorang untuk memulai suatu perjalanan rohani bersama Tuhan. Jadi ‘malam kelabu di jiwa’ seperti telah disebutkan di atas, tidak sama dengan depresi, dan tidak bisa dihubungkan dengan ‘orang- orang yang berbuat ga bener‘ seperti pandangan anda. Jika ada orang yang berbuat tidak benar, itu bukan karena masalah dia mengalami ‘malam kelabu di jiwa’ atau tidak, tetapi karena mereka itu tidak punya kepedulian akan hal- hal rohani, ataupun gagal melaksanakan perintah- perintah Allah.
2. Jadi ‘malam kelabu di jiwa’ itu bukan suatu panggilan hidup, tetapi merupakan pengalaman rohani, yang secara khusus dialami pada waktu berdoa, di mana seseorang tidak lagi mengalami konsolasi rohani. Pengalaman ‘malam kelabu di jiwa’ ini tujuannya adalah untuk pemurnian jiwa orang itu.
3. Dengan demikian, tidak semua orang yang mengalami ‘malam kelabu di jiwa’ ini dipanggil untuk hidup membiara. Kehidupan membiara merupakan suatu panggilan yang khusus dirasakan dan dialami oleh orang- orang tertentu, yang berbeda- beda pada setiap orang yang mengalaminya, dan panggilan Tuhan untuk membaktikan kehidupan mereka seluruhnya bagi Kerajaan Allah ini mereka alami/ rasakan bukan saja pada saat mereka berdoa. Banyak di antara mereka justru merasakan panggilan Tuhan yang istimewa ini lewat hal- hal sederhana yang mereka lihat dan alami, yang akhirnya mendorong mereka untuk menanggapinya dengan kemurahan hati; dengan meneladan Kristus yang dengan kemurahan hati-Nya yang tak terbatas, telah memberikan diri-Nya secara sempurna untuk melaksanakan rencana keselamatan Allah Bapa.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
terimakasih atas jawabannya bu Inggrid, jawaban2 pertanyaan dan artikel2 pd website ini sangat membantu saya mengenali dan lebih mencintai katolik :)
semoga dapat bertumbuh dan membuka mata umat katolik yang ingin belajar lebih tentang iman mereka dan untuk umat2 lain yang ingin mengenal katolik.
Tuhan memberkati! :)
Dear Bu Ingrid,
Terima kasih atas penjelasan Bu Ingrid mengenai Malam Gelap (The Dark Night of the Soul). Sungguh penjelasan yang sangat terperinci and sangat jelas, bahkan menambahkan tentang tahap2, ruang2, gejala dan efeknya. Sungguh luar biasa.
Terus terang, dalam perjalanan hidup rohaniku dan beberapa teman rohaniku, hal ini adalah salah satu ‘ketakutan’ kami. Kami juga sempat bertanya2 tentang Malam Gelap: seperti apa rasanya? Apa yang akan terjadi? Bagaimana kami harus bersikap? apakah akan berupa penderitaan fisik, hati, dll.?
Saat ini Julia pun sedang mempelajari Kelas Doa yang diajarkan oleh Romo Agung O. Carm di Paroki MBK, tentang Doa Meditasinya St. Teresa Avila (Puri Batin).
Sekarang aku mengerti, sekarang aku bisa lega. Aku tidak akan takut lagi mengenai Malam Gelap, karena aku tahu, bukannya membuat aku semakin jauh dari DIA atau membuat aku takut, tetapi malah akan membuatku semakin mencintai DIA.
Puji Tuhan atas pertanyaan Bu Indriani dan jawaban Bu Ingrid.
Semoga Allah Roh Kudus semakin menerangi hidup dan karya2 Ibu untuk semakin mempermuliakan nama Tuhan Yesus kepada semua orang. Amin.
Selamat merayakan Tri Hari Suci.
Cheers and be happy in Christ,
Julia
Syalom Tim Katolisitas,
Ada teman saya yang beragama Budha yang mengatakan bahwa sebenarnya meditasi orang Katolik itu adalah meditasi agama Budha dengan kesaksian sebagai berikut. Dan yang menjadi pertanyaan saya bahwa apakah hal di bawah ini juga bisa dikategorikan sebagai the dark night of the soul ?
The Experience of No-self
It’s a true story of how one can achieve the cessation of self (one of the important characteristics of people who are free)
Bernadette Roberts was born in the pious Catholic family in the state of California, USA
Since childhood she has the talent to meditate, sit quietly in his room. Father & mother of Bernadette encourage this talent.
At age 15 she entered the monastery, became a nun. The goal is to develop the talents of meditation.
According to the teachings of Christian mysticism, the goal of meditation is to unite with God. That is the ultimate goal. There is still ‘self’, it’s just that at its peak, ‘self’ is not separate from God.
In the convent, Bernadette claimed to have achieved the highest goal of Christian mysticism. Every night she went into the depths of her mind which she called “the still point” (point of silence), and be with the Lord, which compared like a coin, on one side is God and on the other side is Bernadette, and can not be separated. Describes the situation as a distinguished atmosphere of serene, safe and peaceful, where there is no disturbance of mind and desire can enter.
Bernadette reach the ability to enter and exit from the ‘still-point’ whenever she wants.
At the age of 25 years, she disrobe. The reason is there are not anything more that needs to be done and needs to be achieved in the monastery. In fact, according to her, with God’s existence must be tested “in the market”, in crowded public life.
She is married, and had four sons. She attended again, reaching S2 degree in education, then taught at a high school. Meanwhile, she still running role as housewives.
So life went on for 20 years. Every night she remained in meditation, entered into a “still-point”, “united with God.” Her husband and her children are very supportive of their mother’s behavior which “strange”.
Twenty years later there was a tremendous event, which was not expected and it never occurred to the minds of Bernadette.
Remember, she was a Catholic, she never read the books of an Eastern spiritual or mystical (Buddhist, Hindu, etc.).
During that time, she knew just a smart books for the monks /nuns of Catholic, written by St. John of the Cross and St. Teresa of Avila. The purpose of Catholic mysticism in both books is “union with God.” It never occurred to her the possibility of self / I was able to disappear.
One night, when she will enter into the “still-point”, she could not find that “still-point”. Instead, she saw only a kind of “black hole” in her mind. The “Black hole” is getting bigger, filling the whole himself, and then erupted like a balloon. She was like dropped from the elevator that broke the chain as high as 100 floors down.
Arriving at the “bottom”, she opened her eyes, and see everything around her, in her room, no one changed. But there is one major change: she could not feel her inner self! No emotion, no self-feeling, as the center looked around. No more me, a subject, which deal with the object. Everything is an object, even her own body was seen as an object, which is no different than bodies of others. No subject, who was at the center of its existence.
No emotion, no pleasant feeling, happiness, and no sense of grief, suffering. The body remained there, five-senses still functioning perfectly, intellect and memory of factual menacing still there, but no more self / subject in her mind. The body exists, there is physical pain, but no longer feel suffered because of physical pain.
She must learn again to adapt for two years to return to serve as a member of a distinguished family & society whose “normal.” She must learn to see her husband is different from other men, although there was no longer feeling that the man is “MY-husband”. Similarly, she must relearn her role as a mother to four children who are teenagers; the four children that are different from their other teenager friends, though in her mind there was no longer feeling of “They are MY kids.”
And most interesting is, when self / I was lost in the events of that night, along with that, the God whom she knew was gone! She can no longer find God whom she was familiar and with whom she was in the “still-point” every night for twenty years.
But instead, everywhere she looked, in her mind’s eye she saw something else. ‘Something else’ is seen pervading everything imaginable in her view. And she INTUITIVELY knows that ‘something else’ is the source of all things imaginable in this universe, and into which everything will be back.
I remember Udana 8.3: “There’s something not born, not made, not processed, not conditioned.”
Until now Bernadette Roberts is still alive. But she could not be reached, because she does not have an email address. … [dari Katolisitas: kami edit]
This is one of statement taken from interview with Bernadette Roberts:
Stephan: How does the path to no-self in the Christian contemplative tradition differ from the path as laid out in the Hindu and Buddhist traditions?
Bernadette: I think it may be too late for me to ever have a good understanding of how other religions make this passage. If you are not surrendering your whole being, your very consciousness, to a loved and trusted personal God, then what are you surrendering it to? Or why surrender it at all? Loss of ego, loss of self, is just a by-product of this surrender; it is not the true goal, not an end in itself. Perhaps this is also the view of Mahayana Buddhism, where the goal is to save all sentient beings from suffering, and where loss of ego, loss of self, is seen as a means to a greater end. This view is very much in keeping with the Christian desire to save all souls. As I see it, without a personal God, the Buddhist must have a much stronger faith in the “unconditioned and unbegotten” than is required of the Christian contemplative, who experiences the passage as a divine doing, and in no way a self-doing.
Actually, I met up with Buddhism only at the end of my journey, after the no-self experience. Since I knew that this experience was not articulated in our contemplative literature, I went to the library to see if it could be found in the Eastern Religions. It did not take me long to realize that I would not find it in the Hindu tradition, where, as I see it, the final state is equivalent to the Christian experience of oneness or transforming union. If a Hindu had what I call the no-self experience, it would be the sudden, unexpected disappearance of the Atman-Brahman, the divine Self in the “cave of the heart”, and the disappearance of the cave as well. It would be the ending of God-consciousness, or transcendental consciousness – that seemingly bottomless experience of “being”, “consciousness”, and “bliss” that articulates the state of oneness. To regard this ending as the falling away of the ego is a grave error; ego must fall away before the state of oneness can be realized. The no-self experience is the falling away of this previously realized transcendent state.
Initially, when I looked into Buddhism, I did not find the experience of no-self there either; yet I intuited that it had to be there. The falling away of the ego is common to both Hinduism and Buddhism. Therefore, it would not account for the fact that Buddhism became a separate religion, nor would it account for the Buddhist’s insistence on no eternal Self – be it divine, individual or the two in one. I felt that the key difference between these two religions was the no-self experience, the falling away of the true Self, Atman-Brahman. Unfortunately, what most Buddhist authors define as the no-self experience is actually the no-ego experience. The cessation of clinging, craving, desire, the passions, etc., and the ensuing state of imperturbable peace and joy articulates the egoless state of oneness; it does not, however, articulate the no-self experience or the dimension beyond. Unless we clearly distinguish between these two very different experiences, we only confuse them, with the inevitable result that the true no-self experience becomes lost. If we think the falling away of the ego, with its ensuing transformation and oneness, is the no-self experience, then what shall we call the much further experience when this egoless oneness falls away? In actual experience there is only one thing to call it, the “no-self experience”; it lends itself to no other possible articulation.
Initially, I gave up looking for this experience in the Buddhist literature. Four years later, however, I came across two lines attributed to Buddha describing his enlightenment experience. Referring to self as a house, he said, “All thy rafters are broken now, the ridgepole is destroyed.” And there it was – the disappearance of the center, the ridgepole; without it, there can be no house, no self. When I read these lines, it was as if an arrow launched at the beginning of time had suddenly hit a bulls-eye. It was a remarkable find. These lines are not a piece of philosophy, but an experiential account, and without the experiential account we really have nothing to go on. In the same verse he says, “Again a house thou shall not build,” clearly distinguishing this experience from the falling away of the ego-center, after which a new, transformed self is built around a “true center,” a sturdy, balanced ridgepole.
Quote from Bernadette Roberts:
What is false never lasts, it falls away of its own accord.
While what is true, remains, because truth does not come and go, it is always there.
Bagaimana pandangan Gereja akan hal ini ?
Shalom Budi,
Saya pernah mengulas tentang Bernadette Roberts di sini, silakan klik.
Terus terang, kita tidak dapat secara pasti mengetahui hal ini, terutama karena kisah itu tidak menyampaikan informasi yang lengkap tentang buah- buah kehidupan rohani Bernadette Roberts, dan apakah ia masih tetap taat di bawah otoritas Gereja Katolik? Apakah ia masih tetap berakar kuat di dalam sakramen- sakramen seperti Mother Teresa dan para Santa Santo lainnya? Apakah ia cukup rendah hati dalam menyampaikan pandangannya? Sekilas dari informasi yang ada, kesan saya adalah bukan “Dark night of the Soul“, karena pengalaman ini justru berbeda dengan pengalaman para Santa/o pendahulunya, dan ia bahkan seolah ‘berbangga’ telah mencapai titik tersebut, seolah mau mengatakan para kudus pendahulunya keliru. Patut dipertanyakan apakah setelah melalui pengalaman ‘no-self experience’ itu ia jadi tambah dekat dan mengasihi Tuhan dan Gereja-Nya atau tidak? Sebab bukan asal meditasi yang dilakukan oleh orang Katolik, lantas jadi pasti benar, tetapi apakah hal itu sesuai dengan pengajaran Gereja tentang spiritualisme Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ibu Ingrid ytk.,
apakah ibu bisa membantu saya menjelaskan sedikit mengenai malam kelabu / malam gelap / kekeringan rohani / desolasi yang dialami oleh Mother Theresa? saya membaca beberapa artikel, memang desolasi ini adalah kelanjutan dari konsolasi, kelihatannya wajar bila tiap orang mengalaminya. yang paling merasakan desolasi ini adalah Yesus di kayu salib hingga Ia berteriak dengan suara nyaring : “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
sebenarnya seperti apakah malam kelabu itu, konon orang yang mengalaminya tidak bisa merasakan Tuhan. konon hal ini adalah semacam ujian spiritualitas tingkat tinggi, bisa berakibat positif bila orang tsb bisa melaluinya (tetap taat pada Allah) dan bisa berefek negatif (meninggalkan Allah). apakah hal ini sama dengan ketidak berdayaan yang kita alami saat mengalami berbagai masalah hidup?
lalu yang kedua Ibu, saya menemukan e book CS Lewis Scewtape Letters, di sana diceritakan mengenai berbagai tuntunan setan Screwtape kepada keponakannya Wormwood, untuk menggoda manusia agar meninggalkan Allah. nah ibu, apakah desolasi dan godaan2 setan ini saling terkait?
terima kasih.
Indriani
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Comments are closed.