Pertanyaan:
Saya ingin bertanya, beberapa bulan ini, muncul sekelompok kecil orang2 Katolik yang mengadakan Misa Tridentine di Jakarta, dengan fasilitasi imam SSPX.
1) Siapakah SSPX?
2) Apakah Gereja Katolik merestui SSPX?
3) Apakah diperbolehkan mengikuti misa Tridentine yang dipimpin oleh imam2 SSPX?
Terima kasih, David.
Jawaban:
Shalom David,
1. Siapa SSPX
SSPX (Society of St. Pius X) adalah komunitas yang didirikan oleh Archbishop Marcel Lefebvre, Perancis, pada tahun 1970. Nama komunitas ini dalam bahasa Latinnya adalah Fraternitas Sacredotalis Sancti Pii X, yang artinya Persaudaraan Imamat St. Pius X (Priestly Fraternity of st. Pius X). Misi dari komunitas ini adalah mempertahankan katekismus tradisional, Misa Tridentine (Misa lama/ Old Mass) dan tidak menyetujui Novus Ordo Mass (Misa baru), Konsili Vatikan II, dan Katekismus setelah Vatikan II.
Ketegangan hubungan SSPX dengan Vatikan memuncak pada tanggal 30 Juni 1988, saat Msgr. Lefebvre menahbiskan empat orang Uskup tanpa persetujuan dari Paus Yohanes Paulus II. Karena itu, pihak Vatikan mengeluarkan Surat Apostolik yang berjudul Ecclesia Dei, yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II untuk menjelaskan duduk masalah SSPX. Pada dasarnya tindakan menahbiskan empat orang Uskup tanpa persetujuan Paus, merupakan tindakan ketidaktaatan kepada Paus sebagai Imam Tertinggi, penerus Rasul Petrus, dan ini menunjukkan adanya penolakan terhadap kepemimpinan Paus, yang merupakan ciri-ciri tindakan skismatik. Selanjutnya tentang teks Ecclesia Dei, dapat dibaca di sini, silakan klik. Pada dasarnya dokumen tersebut ditulis sebagai dasar pembentukan komisi yang memfasilitasi para uskup, seminarian, komunitas religius dan kaum beriman yang pada saat itu tergabung dengan komunitas SSPX- namun ingin tetap bersatu secara penuh dengan Gereja Katolik di bawah pimpinan Paus sebagai penerus Rasul Petrus.
Memang setelah ordinasi (penahbisan) ke empat Uskup SSPX tanpa restu dari Vatikan, maka Uskup Agung Marcel Lefebvre dan ke empat uskup tersebut: Bernard Fellay, Bernard Tissier de Mallerais, Richard Williamson dan Alfonso de Galarreta terkena sanksi eks-komunikasi sesuai dengan Kitab Hukum Kanonik 1983 kan. 1382. Namun kita ketahui, bahwa pada tgl 21 Januari 2009, pihak Tahta Suci telah mengangkat/ melepaskan sanksi eks-komunikasi terhadap ke- 4 Uskup tersebut, atas permohonan Uskup Fellay yang menjadi Superior General dari SSPX yang adalah juga salah satu dari ke-4 Uskup SSPX yang ditahbiskan oleh Msgr. Lefebvre. Permohonan Bishop Fellay yang ditujukan kepada pihak Vatikan (yaitu Cardinal Dario Castrillon Hoyos, Presiden dari komisi Ecclesia Dei), antara lain mengatakan demikian:
“We are always firmly determined in our will to remain Catholic and to place all our efforts at the service of the Church of Our Lord Jesus Christ, which is the Roman Catholic Church. We accept its teachings with filial animus. We believe firmly in the Primacy of Peter and in its prerogatives, and for this the current situation makes us suffer so much.”
Menanggapi permohonan ini, Paus Benediktus XVI kemudian memutuskan untuk mengangkat sangsi eks-komunikasi atas ke-4 Uskup ini. Perlu diketahui, bahwa sanksi eks-komunikasi memang dikenakan kepada pihak perorangan dan bukan kepada organisasi, dan maksudnya adalah untuk memberikan kesempatan kepada yang terkena sangsi untuk merenungkan perbuatannya, agar akhirnya mereka dapat kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Lebih lanjut tentang apa itu eks-komunikasi, silakan klik di sini
Berikut ini adalah pernyataan Paus Benediktus XVI pada saat mengangkat sangsi ekskomunikasi terhadap ke-4 Uskup tersebut:
“I hope that this gesture of mine will be followed by the desired commitment on their part to take the further steps needed to achieve full communion with the Church, thereby showing true loyalty and true recognition of the Magisterium and the authority of the pope and of the Second Vatican Council.”
2. Apakah Gereja Katolik merestui SSPX?
Belum dapat dikatakan sepenuhnya demikian, tetapi sudah ada langkah-langkah untuk membawa SSPX kembali ke persekutuan penuh dengan Gereja.
Mari mengacu kepada apa yang ditulis dalam artikel yang ditulis di sini https://www.catholicnewsagency.com/news/35761/pope-francis-creates-path-for-sspx-priests-to-celebrate-marriages-validly
https://www.catholicnewsagency.com/news/33673/pope-francis-meets-with-sspx-superior-general
Dikatakan di sana:
“Melalui surat tertanggal 27 Maret dan dipublikasikan tanggal 4 April, Paus Fransiskus telah memberi otoritas kepada uskup-uskup diocesan atau ordinaris lokal untuk mengizinkan imam-imam SSPX agar dapat merayakan sakramen perkawinan secara licit dan sah/ valid, kepada umat beriman yang mengikuti aktivitas pastoral SSPX. [Sebelumnya, hal ini tidak diperbolehkan].
Surat ini, yang ditandai oleh Kardinal Gerhard Müller, perfek Kongregasi Ajaran Iman dan presiden dari Komisi Pontifikal Ecclesia Dei, menyatakan bahwa “sejauh itu mungkin” seorang imam diocesan atau imam biasa harus “menerima persetujuan dari pihak-pihak sepanjang ritus perkawinan, yang diikuti, sesuai dengan liturgi Vetus ordo [Ordo Latin], oleh perayaan Misa, yang dapat dirayakan oleh imam dari Sosietas [SSPX].” Tetapi ketika itu “tidak mungkin, atau jika tidak ada imam di Keuskupan yang dapat menerimakan persetujuan pihak-pihak [yang menikah], maka Ordinaris dapat memberikan fakulti yang diperlukan kepada imam dari Sosietas itu [SSPX] untuk juga merayakan Misa Kudus.”
Paus Fransiskus menyetujui pemberian otoritas ini sebagai “pandangan pastoral”, sebagai tanggapan proposal dari Kongregasi Ajaran Iman dan Komisi Pontifikal Ecclesia Dei.
Hal itu dilakukan “untuk menjamin hati nurani umat beriman, meskipun sementara ini SSPX tetap berada dalam keadaan “canonical irregularity”. Keputusan ini dibuat dalam konteks inisiatif Gereja untuk membawa kembali SSPX ke dalam persekutuan yang penuh dengan Gereja.
Inisiatif yang baru-baru terjadi adalah pengumuman yang dibuat oleh Paus Fransiskus bulan September 2015 bahwa umat beriman akan dapat secara sah dan licit untuk menerima absolusi dari imam-imam SSPX di sepanjang tahun Yubelium Kerahiman. Izin ini diperpanjang tanpa batas waktu oleh Paus Fransiskus dalam surat apostoliknya, Misericordia et misera, yang dipublikasikan tanggal 20 November 2016.
….
Memang sanksi ekskomunikasi kepada para uskup SSPX telah diangkat oleh Paus Benediktus tahun 2009 dan sejak itu, negosiasi “untuk memulihkan persekutuan penuh dengan Gereja” telah berlangsung antara SSPX tersebut dengan Vatikan. Halangan terbesar dari rekonsiliasi dengan Sosietas tersebut adalah pernyataan-pernyataan tentang kebebasan beragama dalam deklarasi Konsili Vatikan II, Dignitatis humanae dan Nostra aetate, yang menurutnya berlawanan dengan ajaran Katolik yang sebelumnya.”
Dari pernyataan di atas, kita tahu bahwa proses untuk memulihkan kesatuan penuh SSPX dengan Gereja masih berlangsung. Biarlah kita hormati saja prosesnya, sampai kelak dicapai kesepahaman melalui dialog antara kedua belah pihak. Sementara belum ada pernyataan resmi yang menyatakannya, mari kita pun tidak mendahului dengan menyatakan apapun, selain daripada yang telah dinyatakan oleh Paus Fransiskus ini. Bahwa inisiatif telah dibuat oleh Paus Fransiskus, sudah ada langkah-langkah konkretnya. Semoga ke depannya SSPX dapat pula menerima bahwa tidak ada perlawanan antara ajaran dalam Konsili Vatikan II dengan ajaran Gereja sebelumnya.
3. Apakah diperbolehkan mengikuti misa Tridentine yang dipimpin oleh imam-imam SSPX?
Menurut Fr. Zuhlsdorf, jawabannya adalah “Ya dan Tidak”, dalam arti demikian:
Ya, jika alasannya adalah kalau anda begitu menghayati Misa Tradisional (Tridentine/ bentuk lama) dan anda benar-benar mempunyai devosi terhadap Misa Tridentine, atau jika anda tidak mempunyai pilihan lain selain menghadiri Misa Tridentine tersebut. Namun tidak dianjurkan bahwa anda secara teratur mengikuti misa SSPX tanpa mengikuti misa di paroki anda, karena dengan demikian anda memisahkan diri dengan kesatuan dengan Bapa Paus dan Uskup setempat.
Tidak, jika alasan anda mengikuti Misa Tridentine karena anda tidak menyetujui Tahta Suci dan Bapa Paus, dan ajaran Katekismus sesuai dengan Konsili Vatikan II.
Perlu diketahui, Misa Tridentine ini tidak hanya dilakukan oleh SSPX. Jika anda berada di Amerika, di Australia atau di beberapa negara di Eropa misalnya, di mana terdapat the Institute of Christ the King, maka anda dapat mengikuti Misa Tridentine. Hal itu terhitung sebagai Misa yang valid dan licit, sebab Institute of Christ the King adalah komunitas Katolik yang dalam persatuan penuh dengan Vatikan/ Bapa Paus dan Uskup setempat.
Demikian keterangan dari saya, semoga bermanfaat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Salam,
Saya kira SSPX kurang setuju dengan Konsili Vatikan II dan perubahan-perubahan ekstrim yang diakibatkan oleh Konsili itu. Misalnya misa menjadi begitu profan dan bersifat hiburan semata, bukan penghormatan kepada Allah.
[Dari Katolisitas: Konsili Vatikan II tidak bermaksud untuk menjadikan perayaan Misa menjadi profan apalagi menjadikannya seperti hiburan. Perubahan ekstrim itu nampaknya disebabkan karena adanya kekurangpahaman akan makna perayaan liturgi dan sakramen, dan sampai sekarang Magisterium terus mengupayakan agar kesalahan-kesalahan tersebut tidak terjadi. Beberapa ketentuan dikeluarkan sehubungan dengan hal ini, dan sekilas juga sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik]
Sejak perubahan Misa Baru (Novus Ordo) oleh Paulus VI, misa jadi memang “baru”, misalnya misa dengan badut di altar, komedi, drama, tepuk tangan, komuni di tangan, membawa Injil sambil menari-nari, membelakangi tabernakel, praktik PROTESTAN, dan masih banyak lagi sementara di situ ada tabernakel. Pastor juga menghadap umat, bukan ke tabernakel.
[Dari Katolisitas: Badut di altar dan komedi di dalam perayaan Ekaristi merupakan pelanggaran liturgi. Kita semua wajib dan berhak untuk memberitahukan tentang hal ini kepada pasyor paroki dan seksi liturgi paroki, jika hal ini sampai terjadi di paroki kita. Hal ini bukan sesuatu yang diperbolehkan dalam Misa Novus Ordo. Tentang mengapa tarian dan sorak sorai di Misa tidak diperbolehkan, klik di sini, tentang lagu pop di misa? klik di sini.
Misa Novus Ordo terutama dimaksudkan agar umat dapat lebih memahami makna apa yang dirayakan dalam EKaristi, karena diucapkan dalam bahasa setempat. Tentu ini adalah maksud yang positif, dan di banyak tempat di dunia, misa Novus Ordo tetap dapat dirayakan dengan khidmat dan hormat. Silakan membaca di sini, tentang Novus Ordo dan Tridentine Mass, silakan klik, untuk melihat bahwa keduanya diterima oleh Gereja Katolik].
Misa dengan bahasa Latin, kenapa tidak? Selama bertahun-tahun sebelum Konsili Vatikan II hal itu sudah dilakukan. Perhatikan, bertahun-tahun.
Salam.
[Dari Katolisitas: Ya, dapat saja, jika di paroki kita diadakan Misa Tridentina, atau Novus Ordo dalam bahasa Latin, boleh saja kita mengikutinya. Memang Misa dalam bahasa Latin itu khidmat dan indah, namun mari jangan juga menolak misa Novus Ordo. Sebab Misa Novus Ordo tidak pernah dimaksudkan untuk menghapuskan kekayaan tradisi Gereja Katolik, dan tentang hal ini sudah pernah diulas di sini, silakan klik
Akhirnya, mari, dalam mengusahakan penghayatan iman Katolik, kita melakukannya dengan semangat kasih yang memperbarui dari dalam Gereja, sehingga kita tidak terdorong untuk memisahkan diri dan menempatkan pemahaman pribadi di atas ajaran Magisterium Gereja Katolik. Magisterium yaitu Paus dan para Uskup dalam kesatuan dengannya, adalah para penerus rasul, yang kepada mereka Tuhan Yesus telah mempercayakan kuasa mengajar yang tidak mungkin sesat. Mari kita menghormati ajaran mereka, demi penghormatan kita kepada Kristus yang telah menjanjikan penyertaan-Nya kepada Gereja-Nya sampai akhir zaman.]
Salam tim,
Bolehkah saya menghadiri Misa Trientina yang dirayakan oleh imam imam SSPX? Mohon penjelasannya.
Terima kasih
Lin.Maria
[Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik, terutama point 3. Untuk selanjutnya, silakan menggunakan fasilitas pencarian di sisi kanan homepage: ketik kata kunci Topik yang ingin Anda ketahui, lalu enter. Semoga Anda sudah dapat menemukan pembahasannya di sana. Hanya jika belum ada, silakan menanyakannya kepada kami dan kami akan berusaha menjawabnya. Mohon pengertian dan kerjasama Anda. Terima kasih ]
Saya membaca tanggapan Mgr Fellay yang dimuat pada bulan Juli 2012 (http://www.catholicherald.co.uk/news/2012/06/07/sspx-leader-we-do-not-have-to-accept-the-whole-of-vatican-ii/):
Bishop Fellay said it was the Vatican that approached the society, and not the society that went to the Vatican, asking to begin the talks.
“So the attitude of the official Church is what changed; we did not,” he said. “We were not the ones who asked for an agreement; the Pope is the one who wants to recognise us.”
Btw, apa maksudnya “filial animus”?
Shalom Agung,
Di salah satu suratnya, Mons. Bernard Fellay menuliskan “We are always firmly determined in our will to remain Catholic and to place all our efforts at the service of the Church of Our Lord Jesus Christ, which is the Roman Catholic Church. We accept its teachings with filial animus. We believe firmly in the Primacy of Peter and in its prerogatives, and for this the current situation makes us suffer so much.“
Kalau kita melihat etimologi, maka filial animus dijelaskan sebagai berikut:
filial: late 14c., from M.Fr. filial, from L.L. filialis “of a son or daughter,” from L. filius “son,” filia “daughter,” possibly from a suffixed form of PIE root *bheue- “to be, exist, grow” (see be), though *dhe(i)- “to suck, suckle” (see fecund) “is more likely” [Watkins]
animus: 1820, “temper” (usually in a hostile sense), from L. animus “rational soul, mind, life, mental powers; courage, desire,” related to anima “living being, soul, mind, disposition, passion, courage, anger, spirit, feeling,” from PIE root *ane- “to blow, to breathe” (cf. Gk. anemos “wind,” Skt. aniti “breathes,” O.Ir. anal, Welsh anadl “breath,” O.Ir. animm “soul,” Goth. uzanan “to exhale,” O.N. anda “to breathe,” O.E. eðian “to breathe,” O.C.S. vonja “smell, breath,” Arm. anjn “soul”). It has no plural. As a term in Jungian psychology for the masculine component of a feminine personality, it dates from 1923.
Jadi, kalau kita melihat konteks dari kalimat tersebut, maka mereka menerima pengajaran tersebut dengan semangat anak-anak. Dengan kata lain, sama seperti sikap anak-anak menerima pengajaran orang tuanya. Semoga semangat anak-anak, yang juga mengedepankan ketaatan kepada orang tuanya benar-benar dapat diterapkan, sehingga terjadi persatuan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Pak Stef,
terima kasih untuk keterangannya..
Lalu untuk soal lain pada pertanyaan saya di atas, saya menemukan kutipan Mgr Fellay sendiri yang mengatakan bahwa: it was the Vatican that approached the society, and not the society that went to the Vatican, asking to begin the talks.
“So the attitude of the official Church is what changed; we did not,” he said. “We were not the ones who asked for an agreement; the Pope is the one who wants to recognise us.”
sepertinya berbeda dengan ketaatan filial animus yang pernah dikatakan oleh Mgr Fellay dalam suratnya kepada Vatikan (Cardinal Dario Castrillon Hoyos, Presiden dari komisi Ecclesia Dei). Apakah memang ada perkembangan yang lebih baru?
Terima kasih
Shalom Agung,
Pada saat ini, memang belum ada kata sepakat walaupun telah terjadi dialog antara SSPX dan Vatikan. Dalam kehidupan nyata, banyak anak yang menuntut orang tuanya untuk mengikuti secara persis kemauannya dan kalau tidak dituruti maka anak tersebut tidak mau kembali ke rumah. Menurut saya, menjadi dualisme bahwa di satu sisi mereka mengakui akan peran Paus dan di satu sisi mereka tidak mau kembali selama permintaan mereka tidak dituruti secara persis. Jadi, mari kita bersama-sama menyadari bahwa Gereja Katolik melalui Paus menginginkan persatuan dan telah memulai initiatif menuju persatuan. Kalau sampai SSPX kembali ke pangkuan Gereja Katolik, maka society ini dapat membangun Gereja Katolik dari dalam.
Namun, persatuan seperti ini mungkin akan membutuhkan waktu. Dan menurut saya, tidaklah mungkin ada persatuan tanpa ada persatuan dogma dan doktrin. Pada saat ini, mari kita bersama-sama berdoa, sehingga jalan persatuan yang telah dibuka oleh Bapa Paus dapat terlaksana, sehingga pesan Kristus di Yoh 17 juga dapat terlaksana.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom tim Katolisitas,
Saya mau tanya tentang gerakan Sedevacantis dan Traditionalist Catholic yang merupakan gerakan Katolik yang tidak dalam persekutuan dengan Paus.
Terima Kasih.
Shalom Arief,
Sedevacantis berasal dari gabungan kata Latin yang berasal dari kata, ‘sedes’ dan ‘vacantis’, yang artinya ada ‘kursi/ tahta kosong’. Awalnya istilah ini dipakai untuk menjelaskan jeda waktu sebelum terpilihnya seorang Paus yang baru, seperti pada jeda waktu setahun setelah Paus Leo IX wafat sampai penggantinya Paus Victor II terpilih menjadi Paus. Namun setelah Konsili Vatikan II istilah ini digunakan oleh sekelompok orang yang menolak Paus, yang walaupun telah dipilih dan diakui dunia, namun dianggap bukan Paus yang sesungguhnya, karena mereka menganggap Paus telah melakukan bidaah/ heresy.
Beberapa proposisinya adalah: 1) mereka menolak misa Novus ordo, 2) menolak segala tahbisan dan sakramen yang diberikan sesudah tahun 1968; 3) mereka menolak Konsili Vatikan II; 4) mereka menganggap Paus yang terakhir adalah Paus Pius XII, dan menolak Paus- paus sesudahnya: Paus Yohanes XXIII, Paulus VI, Yohanes Paulus I, Yohanes Paulus II, Benediktus XVI.
Secara garis besar, sedevacatism adalah gerakan/ aliran yang keliru, karena mereka menolak Paus yang sah dan para Uskup yang dalam persekutuan dengannya, bahkan dengan uskup di daerah mereka sendiri. Dengan status ini mereka secara kanonik termasuk golongan skisma. Mari kita mendoakan mereka, agar oleh pimpinan Roh Kudus mereka dapat kembali bergabung dalam kesatuan dengan Gereja Katolik, dan mengakui otoritas pimpinan Gereja.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih penjelasannya Bu Ingrid
Semoga mereka dapat segera full communion dengan Gereja Katolik.
Syalom bu ingrid dan katolisitas.
Bu Ingrid,
Baru-baru ini saya mengetahui adanya bentuk gereja katolik “yang lain”, namanya Liberal Catholic. Beberapa teman-teman saya yang setahu saya mereka itu katholik, ternyata beberapa dari mereka mengaku menganut Liberal Catholic. Saat saya tanya lebih jauh, mereka cuex aja. Saya jadi penasaran ( karena mereka sudah nampak aneh bagi saya sekarang dan jarang hadir lagi pada misa paroki seperti dulu bersama saya dan teman2 mudika lainnya ). katanya mereka sering ikut misa di paroki lain.
Saya cari tahu apa itu Liberal Catholic di wikipedia.
Ini saya coba merangkumnya :
1. Tidak terhubung ke vatican.
2. Menerima konsep Reinkarnasi.
3. Pentahbisan Perempuan menjadi imam.
4. Kesatuan semua agama ( unification of all religions )
5. Lepas dari yuridiksi.
6. Ada kaitan dengan Freemasonry.
7. dll
Pertanyaan saya bu, apakah point2 dari wikipedia tersebut tepat ? Jika iya, kok mirip dengan ajaran New Ages Movements ? Adakah potensi bahaya disini ? atau saya saja yang terlalu khawatir ?
Demikian, Terima Kasih untuk bantuannya bu…
Syalom.
Shalom Rini,
Jika anda klik di google tentang Gereja Katolik Bebas, maka anda akan memperoleh sedikit informasi mengenai hal ini. Gereja Katolik Bebas ini bukan termasuk Gereja Katolik, karena mereka menolak kepemimpinan Paus. Di Indonesia, gereja Katolik Bebas ini termasuk dalam katagori gereja Kristen Protestan, di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan, Depertemen Agama RI.
Terus terang saya tidak tahu banyak tentang gereja Katolik Bebas ini. Namun, kenyataannya, kelompok ini eksis di negara kita. Dapat saja, mereka mempunyai prinsip ajaran seperti yang anda sebutkan. Dari beberapa ciri yang disebutkan di Wikipedia, secara obyektif, memang terlihat adanya pengaruh ajaran New Age Movement yang masuk ke sana. Seperti: paham reinkarnasi, afiliasi dengan Freemasonry, peleburan semua agama, dst. Ini tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dan sesungguhnya juga tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Tentang New Age Movement sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Maka, janganlah anda terpengaruh atas ajaran- ajaran tersebut, dan tetaplah teguh beribadah dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Tim Katolisitas,
Saya pernah melihat gereja Katholik Bebas di sebuah jalan di Jakarta, apakah tim Katolisitas memiliki informasi, gereja apakah itu, dan apakah perbedaan substansial mereka dengan gereja Katholik Roma?
Terimakasih.
Tuhan memberkati.
Shalom Kris,
Terima kasih atas pertanyaannya. Saya tidak tahu secara persis tentang gereja Katolik bebas. Namun dari keterangan di wikipedia tentang Liberal Catholic Church – klik di sini, maka terlihat jelas perbedaannya, baik dari sisi struktur maupun pengajaran. Yang jelas, mereka tidak berada dalam persatuan dengan Paus. Oleh karena itu, janganlah menghadiri perayaan ekaristi mereka.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,stef – katolisitas.org
Terimakasih Pak Stef, atas penjelasannya.
Tuhan memberkati,
Kris
Maaf Bu Inggrid.
Secara Yuridis atau apa lah (Hukum Gereja), SSPX itu tergolong skisma atau bidaat? Kalau dibilang skisma seolah perbedaan SSPX dengan Gereja Katolik hanya karena mereka tidak mengakui Paus. Padahal mereka juga mengartikan EENS secara sempit/picik. Asal tidak Katolik pasti masuk Neraka. Itulah ajaran SSPX bukan? Berarti kita punya banyak perbedaan dari SSPX bukan hanya pengakuan Paus saja.
Sepertinya SSPX bukan skisma melainkan bidaat. Ajaran yg sama dengan ajaran SSPX juga saya temukan di website …… [dari admin Katolisitas: nama website kami edit]
1. …… [link website tidak kami tampilkan]
[….. nama penulis tidak ditampilkan]: "Menurutku pribadi, kemungkinan besar …….[XXX] masuk neraka karena tidak Katolik."
2. …… [link website tidak kami tampilkan]
[….. nama penulis tidak ditampilkan]: "Menurut ajaran GK dia tidak selamat, jelas dia mengetahui dan telah mendengarkan warta gembira, INJIL dan masih tidak memilihnya. Semua yg masuk surga harus dibaptis, mau itu dengan air, niat atau dengan nyawa."
[nama website tidak kami tampilkan….] org tergolong bidaat atau tidak?
Saya juga mau tanya, Kristen Ortodox itu skisma atau bidaat tepatnya? Karena banyak Konsili tidak diakuinya. Mereka juga melarang adanya patung dalam Gereja. Mereka mirip Calvinis dalam mengartikan ayat Keluaran "Jangan membuat patung menyerupai apa pun".
Gereja Katolik pun punya banyak perbedaan dengan Ortodox, tidak hanya pengakuan Paus saja. Saya rasa Ortodox bisa dikatakan bidaat.
Bagaimana Bu Inggrid?
Shalom Andreas,
1. Terus terang, memang tidak mudah untuk mendefinisikan status SSPX ini. Sebenarnya untuk definisi apa itu skisma dan bidaah, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Namun perihal SSPX, saya ingin mengacu saja kepada hasil wawancara dengan Cardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) pada tahun 1998 tentang status SSPX, untuk menggambarkan status SSPX, terutama sebelum sangsi ekskomunikasi kepada ke-4 uskup SSPX diangkat oleh Paus Benediktus XVI tahun 2009 yang lalu. Silakan membaca selengkapnya di link ini, silakan klik.
Dari surat di atas diketahui, bahwa SSPX sendiri tidak menyatakan diri bahwa mereka berada dalam skisma dengan Gereja Katolik (jadi mereka tidak menyatakan skismatik secara terbuka), walaupun pada kenyataannya, memang dari pernyataan- pernyataan mereka, terlihat bahwa mereka menolak beberapa ajaran penting Gereja Katolik, di antaranya mereka tidak menerima hasil Konsili Vatikan II (termasuk dengan pengertian EENS menurut Magisterium), bentuk Misa kudus (Novus Ordo) dan semua ini secara tidak langsung otoritas Bapa Paus. Mentalitas macam inilah yang memang menjurus ke skismatik, karena ujung-ujungnya tidak menerima otoritas pengajaran Bapa Paus sebagai penerus Rasul Petrus, melainkan mengutamakan pemahaman kelompok SSPX itu sendiri. Hal ini nyata dengan tindakan mereka memisahkan diri dengan kesatuan Gereja Katolik, dengan mendirikan sendiri komunitas mereka di luar kesatuan dengan keuskupan setempat. Sikap yang menjurus ke skismatik inilah yang menjadi alasan mengapa Pontifical Commission tidak mendorong umat Katolik untuk mengikuti misa SSPX, karena walaupun misanya sah, tetapi tidak lisit (tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, karena para imamnya tidak ter-inkardinasi ke dalam keuskupan dengan sah). Perihal apakah SSPX ini bidaah atau tidak, saya pribadi cenderung untuk mengatakannya bukan, sebab bidaah ini umumnya mengacu kepada penolakan kebenaran ajaran-ajaran yang lain (bukan hanya otoritas Bapa Paus), yaitu yang mengacu pada dogma/ artikel de-fide, yang harus diakui oleh iman ilahi dan katolik, yang daftarnya pernah kami lampirkan di sini, silakan klik.
Namun baru-baru ini, ada hal positif yang terjadi yaitu bahwa ke-4 uskup SSPX yang terkena sangsi ekskomunikasi tahun 1988 tersebut menyuarakan keinginan mereka untuk bergabung kembali dalam kesatuan penuh dengan Vatikan, sehingga Bapa Paus memutuskan untuk mengangkat sangsi ekskomunikasi mereka. Pengangkatan sangsi eks-komunikasi ini memang merupakan awal yang baik untuk proses rekonsiliasi antara SSPX dengan Vatikan. Namun harus diakui bahwa perjalanan rekonsiliasi ini masih cukup panjang.
Nah, saya hanya “meminjam” prinsip pemikiran yang disampaikan oleh Cardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) dalam surat di atas, yaitu: jika sampai ada umat Katolik yang setuju dengan ajaran SSPX dalam beberapa hal, itu tidak menjadikan mereka “otomatis” terlibat dalam skisma, tetapi memang jika mentalitas demikian diteruskan, maka bisa menjurus ke skisma, karena mereka bisa sampai kepada penolakan terhadap otoritas Bapa Paus dan pengajarannya.
Mengenai hal EENS (Extra Ecclesiam Nulla Salus) ini memang panjang sekali pembahasannya, walaupun prinsipnya sederhana. Sebagai umat Katolik, selayaknya kita tidak berpegang kepada pemahaman kira sendiri mengenai hal ini, namun berusaha untuk memahami penjelasan yang disampaikan oleh pihak Magisterium yang mengeluarkan ajaran ini. Penjelasan EENS ini telah diberikan secara khusus dalam surat Vatican kepada Uskup Boston, mengenai kesalahpahaman Fr. Leonard Feeney, yang mengartikan EENS secara sempit. Lalu juga kita melihat dokumen- dokumen Konsili Vatikan II tentang hal ini, yang walaupun tetap memegang EENS sebagai ajaran yang benar dan tetap berlaku, namun juga melengkapi-nya dengan penjelasan- penjelasan yang perlu untuk menyikapi keadaan dunia sekarang ini. Sebab pada saat doktrin tersebut pertama diajarkan oleh Bapa Gereja misal oleh St. Cyprian pada abad ke-3 dan diajarkan kembali oleh Paus Inocentius (1208), Konsili Lateran (1215), Paus Bonifacius (1302) dan Konsili Florence (1442), memang kondisinya jauh berbeda dengan saat ini. Di jaman abad pertengahan keberadaan Gereja Katolik tidak mungkin “tidak terlihat” oleh mayoritas perabadan manusia saat itu yang terpusat di Eropa. Sedangkan di jaman sekarang, keadaannya berbeda, jumlah orang bertambah banyak, dunia menjadi semakin terbuka, dan Gereja harus menyikapi semua hal ini juga dalam menerapkan ajaran-ajarannya, tanpa meninggalkan prinsip- prinsip kebenaran yang diajarkan oleh Yesus dan para rasul. Dalam hal EENS ini, prinsip ajaran bahwa Gereja Katolik mutlak perlu untuk keselamatan, tetap berlaku, hanya hubungan keanggotaan seseorang dengan Gereja Katolik dapat merupakan keanggotaan yang dengan kesatuan penuh/ kelihatan (visible), maupun yang tidak penuh/ tidak kelihatan (invisible), yaitu melalui keinginan (desire). Hal ini memang hanya Tuhan sendiri, yang mengetahui isi hati setiap orang, yang dapat mengetahui dengan pasti. Maka dengan prinsip ini selayaknya kita tidak menghakimi “si ini dan si itu” masuk neraka karena tidak Katolik, karena kita tidak mengetahui kedalaman hati orang yang bersangkutan, terutama pada waktu sesaat sebelum wafatnya. Sebab mengenai hal ini, hanya Tuhan yang mengetahui, dan mari kita biarkan Tuhan saja yang menentukannya, dan bagian kita hanya mendoakan orang-orang tersebut. Silakan membaca lebih lanjut mengenai topik ini di artikel ini, silakan klik.
Maka kita sebagai umat selayaknya memandang pengajaran Magisterium dengan sikap hormat dan taat. Sebab kita percaya bahwa pada saat mengajar dan menjalankan peran mereka sebagai para penerus Rasul, mereka senantiasa dipimpin oleh Roh Kudus. Apa yang diajarkan oleh mereka tidak mungkin dibuat atas kehendak mereka sendiri, tetapi selalu melestarikan prinsip ajaran Tradisi Suci dengan pertimbangan pastoral yang sesuai dengan keadaan umat beriman saat ini. Dengan ini kita dapat mengetahui bahwa Gereja merupakan kesatuan Tubuh Kristus yang dibimbing oleh Kristus sendiri sampai akhir jaman: Gereja yang setia kepada pengajaran Tuhan Yesus dan para rasul, namun juga Gereja yang setia kepada umat manusia sebab Gereja diperuntukkan bagi manusia untuk menghantar mereka kepada Tuhan.
2. Apakah Ortodox itu bidaah? Saya mengundang anda membaca kembali artikel ini, silakan klik.
Istilah bidaah dan skisma itu secara definitif memang hanya dapat digunakan pada orang yang dibaptis di Gereja Katolik, namun yang kemudian memisahkan diri, karena satu dan lain hal. Lalu untuk menentukan bidaah atau tidak, kita juga mengenal dua jenis. Untuk disebut sebagai bidat dalam arti yang sesungguhnya, seseorang harus dengan sadar, disengaja, dan dengan pengetahuan penuh, berkeras menyangkal doktrin Gereja Katolik tersebut: keadaan ini disebut sebagai formal heresy. Sedangkan orang yang menyangkal doktrin Katolik tanpa disengaja/ tanpa pengetahuan penuh, atau dengan niat baik, disebut material heresy, dan ini sesungguhnya bukanlah merupakan bidaah dalam arti yang sesungguhnya.
Maka dengan pengertian demikian, kita sesungguhnya tidak dapat secara umum mengecam umat Orthodox ataupun umat Kristen Protestan lainnya sebagai bidat. Sebab umumnya mereka tidak pernah dibaptis di Gereja Katolik, dan seandainya mereka berkeras dengan pandangan mereka tentang sesuatu ajaran Gereja Katolik, dapat saja itu termasuk katagori material heresy dan bukan formal heresy. Sebab jika diberi pengertian tentang ajaran Gereja Katolik yang sesungguhnya, belum tentu mereka akan tetap menolak juga. Mari pertama- tama kita menganggap umat Kristen Protestan dan Orthodox sebagai saudara/i kita dalam Kristus yang harus kita kasihi, sebab itulah yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus (lih. Yoh 13: 34-35).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Saya ingin bertanya, beberapa bulan ini, muncul sekelompok kecil orang2 Katolik yang mengadakan Misa Tridentine di Jakarta, dengan fasilitasi imam SSPX.
1) Siapakah SSPX?
2) Apakah Gereja Katolik merestui SSPX?
3) Apakah diperbolehkan mengikuti misa Tridentine yang dipimpin oleh imam2 SSPX?
Terima kasih, David.
[Dari Admin Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Dear Stef dan Inggrid yang baik,
Saya juga melihat fenomena makin banyaknya misa Tridentine yang diselenggarakan (terutama di luar negeri). Di Jakarta pun ada misa serupa yang setiap bulan diadakan (bukan misa SSPX). Kemudian saya menemukan artikel tentang misa Vatikan II di http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?t=7522 Terus terang saya kaget, terutama di bagian ini:
What the Council Didn’t Say
That’s essentially what the Second Vatican Council actually said about the renewal of the liturgy. Let me tell you what it did not say. The Council did not say that tabernacles should be moved from their central location to some other location. In fact, it specifically said we should be concerned about the worthy and dignified placing of the tabernacle. The Council did not say that Mass should be celebrated facing the people. That is not in Vatican II; it is not mentioned. It is not even raised in the documents that record the formation of the Constitution on the Liturgy; it didn’t come up. Mass facing the people is a not requirement of Vatican II; it is not in the spirit of Vatican II; it is definitely not in the letter of Vatican II. It is something introduced in 1969.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan litugi misa kita? Mengapa kita berubah sedemikian rupa? Saya pikir ekaristi adalah jantung hati Bunda Gereja, haruslah kita laksanakan sehikmat dan sesakral mungkin. Saya terus terang iri bila melihat gambar misa2 tridentine yang kelihatan begitu sakral dan hikmat, yang sayangnya tinggal sejarah dan tidak dilestarikan.
Shalom Thomas,
Harus diakui terdapat beberapa pandangan mengenai hal ini. Namun kalau saya pribadi, saya dapat melihat bahwa adanya perubahan tata cara misa seperti yang kita kenal sekarang, juga didasari oleh maksud yang baik, yaitu untuk membuatnya lebih dapat dimengerti oleh umat. Misa Tridentine memang sangat khusuk dan khidmat, dan sayapun menyetujuinya, namun jika dilakukan dalam bahasa Latin, memang membutuhkan usaha dari pihak umat untuk memahami bahasa Latin agar dapat lebih memahami dan menghayati Misa tersebut.
Bagi saya kedua cara Misa tetap dapat mengangkat hati kita kepada Allah. Yang terpenting adalah disposisi hati kita pada saat berpartisipasi di dalamnya.
Dengan disposisi hati yang baik, maka tidak ada masalah apakah kita mengikuti Misa dengan tata cara Novus Ordo, ataupun Tridentine. Ekaristinya tetap sama, Yesusnya tetap sama.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Salam Sejahtera,
Adalah benar mengenai Topik di atas bahwa Misa Berbahasa Latin di Jakarta sudah sering dilakukan, jadi sekedar menambahkan ungkapan Surat dari Bapak Uskup KAJ yang membahas tentang Summorum Pontificum.
Misa berbahasa Latin di Jakarta terbagi dalam 3 versi dengan perincian sebagai berikut:
1. Misa Berbahasa dengan format Latin Novus Ordo di adakan tiap Minggu Pertama di Kapel St. Joseph, Matraman, Jakarta Pusat.
2. Misa Berbahasa Latin / Tridentine Low Mass 1962 (TLM) Misa Tridentina dengan format misa sebelum Konsili Vatikan Kedua, di adakan setiap bulan pada minggu ketiga di Puri Kembangan, Jakarta Barat.
3. Misa Berbahasa Latin dengan format Society of Saint Pius X (SSPX) diadakan pada minggu pertama setiap bulannya di kawasan Cinere, Jakarta Selatan.
Misa ini berlangsung sementara Pihak Vatikan tengah bernegosiasi dengan pihak SSPX dan mari kita bersama sama mendoakan mudah2an dalam tahun ini, 2010 SSPX sudah full communion dengan Vatikan dan kemajuannya bahwa Ekskomunikasi dengan Bpk Uskup Levebre sudah berakhir karena yg bersangkutan sudah wafat dan Ekskomunikasi ke empat Imam pun sudah dicabut.
Apabila anda sekalian ingin merasakan untuk merayakan Misa seperti di Vatikan atau sebelum Konsili Vatikan II, maka anda bisa menghadiri salah satu dari Misa tersebut dan pada lembar panduan terdapat terjemahan dalam bahasa Indonesia, jadi kita bisa mengerti jalannya Misa.
Tuhan Yesus Memberkati.
Masih ada gereja Katolik yg dibangun pasca KVII dan lokasi Tabernakelnya tetap di tengah, jd tidak benar anggapan bahwa setelah KVII, letak Tabernakel menjadi berubah…
Comments are closed.