1. Tentang takdir
Tuhan telah mengetahui segala sesuatu sejak awal mula dunia, akan apa yang akan kita alami dalam hidup kita masing-masing (termasuk pekerjaan dan pasangan hidup, dll). Hal ini disebabkan karena Tuhan tidak dibatasi oleh waktu, jadi bagi Allah tidak ada waktu dulu dan waktu yang akan datang; semua hadir di hadapanNya sebagai “saat ini“. Kedua, Allah mengetahui segala sesuatu karena segala sesuatu terjadi atas izin Tuhan. Tuhan yang mendukung segala sesuatu, memberi hidup dan keberadaan pada setiap orang. Jadi Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tahu mengetahui segala sesuatu yang akan kita putuskan sesuai dengan kehendak bebas kita; namun ini tidak berarti bahwa Ia mentakdirkan kita akan segala sesuatu, sehingga kita seperti boneka/wayang saja. PengetahuanNya akan keputusan kehendak bebas kita bukan berarti Allah mengharuskan kita melakukan sesuatu yang sudah digariskan. Ibaratnya, seperti kitapun dapat melihat bagaimana orang lain memutuskan sesuatu, namun tidak memaksa mereka untuk melakukan hal yang tertentu; demikian pula Tuhan pada kita.
Kita adalah manusia yang bebas sebab kita punya akal budi dan keinginan bebas. Akal budi kita dapat meneliti banyak pilihan dan kita bebas untuk memilih apa yang kita pikir terbaik pada suatu saat tertentu. Tuhan telah mengetahui sejak awal mula siapa yang menjadi pasangan kita, apa yang menjadi pekerjaan kita, dst. Tetapi Dia tidak mengharuskan kita untuk memilih/ berbuat demikian. Kita bebas memilih pasangan hidup kita dan pekerjaan kita, namun tentu kita harus berdoa agar dapat mengetahui apa yang menjadi rencana Tuhan bagi kita di dalam hal- hal tersebut. Untuk itulah maka sebelum membuat keputusan-keputusan penting di dalam hidup, kita dapat mengikuti retret, seperti yang dianjurkan oleh St. Ignatius dari Loyola.
Rencana Tuhan yang abadi bagi kita adalah agar kita menjadi kudus. Rencana ini berbeda dan tentu saja lebih kaya dari pada rencana kita sebagai manusia; sebab rencana ini melibatkan kehendak bebas kita, apakah kita mau bekerja sama dengan menerima rahmat-Nya, ataukah kita menolak rahmat tersebut, yang ditawarkan pada kita berkali-kali di dalam hidup kita. Jadi, pada setiap saat, ada rencana Tuhan yang baik yang ditawarkan pada kita. Meskipun demikian, kita dapat terus menolak rencana Allah itu, dengan menolak untuk bekerja sama dengan rahmat-Nya. Tapi, kabar baiknya adalah: meskipun kita menolak rencana-Nya pada suatu saat dalam kehidupan kita, misalnya dengan menolak panggilan hidup sebagai biarawan/ biarawati, ini tidak berarti bahwa kita menghancurkan seluruh rencana Tuhan; sebab adalah rencana-Nya juga untuk melibatkan pengalaman kesalahan/ kegagalan kita di masa silam untuk mendatangkan kebaikan bagi kita, asal kemudian kita bekerja sama dengan Dia. Karena itu kita berdoa, agar kita dapat mengetahui rencana-Nya, sehingga kita dapat menanggapinya dengan lebih baik. Lebih lanjut tentang penjelasan ini silakan baca artikel : Apakah Berdoa itu Percuma, bagian ke-2.
2. Apakah Tuhan mencobai manusia?
Mengenai apakah Tuhan mencobai kita, kita melihat pada Kitab Suci. Pada satu sisi kita percaya bahwa Tuhan tidak mencobai kita (Yak 1:13), namun pada sisi lain kita dapat melihat bahwa Tuhan memang menguji kita (seperti pada kasus Abraham dan Musa). Namun, Tuhan tidak pernah mencobai atau lebih tepatnya menguji kita agar kita terjatuh (seperti setan mencobai kita), tetapi hanya untuk memberikan pada kita sesuatu yang lebih baik, untuk maksud membuat kita lebih kudus, melalui kesetiaan kita dalam menghadapi ujian tersebut. Dalam hal ini kita melihat bahwa seluruh hidup kita terdiri dari banyak ujian dan jika kita setia dalam iman, maka kita beroleh hidup yang kekal seperti yang dijanjikan-Nya.
Jadi, Tuhan memperbolehkan cobaan terjadi dalam hidup kita untuk alasan yang lebih baik: untuk pertobatan dan pengudusan. Sebaliknya, setan mencobai kita sehingga kita berdosa dan mengarahkan diri ke neraka. Kecenderungan kita berbuat dosa (concupiscence) dan nafsu yang tidak terarah juga mencobai kita, sebagai akibat dari dosa asal, yang mendorong kita mencari kesenangan yang semu dan berlebihan dari yang seharusnya. Kesombongan kita mencobai kita untuk mencari kemuliaan sendiri daripada kemuliaan Tuhan.
Jadi di sini kita melihat bahwa Tuhan tidak mencobai kita dengan cara yang sama seperti setan. Namun ada kalanya Tuhan mengizinkan cobaan terjadi di dalam hidup kita untuk mendatangkan sesuatu yang lebih baik dan memberikan kepada kita kesempatan untuk menunjukkan kasih kita kepada-Nya lewat kesetiaan iman kita dalam menghadapi cobaan tersebut.
Ingatlah ayat Roma 8:28: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia”
‘Segala sesuatu’ di sini termasuk pekerjaan, pasangan hidup, tetapi juga kegagalan, pencobaan, dst. Pertanyaannya adalah: apakah kita sudah mengasihi Dia? Sebab jika kita mengasihi Dia maka ayat ini adalah janji Tuhan yang pasti akan dipenuhi-Nya di dalam kita.
terima kasih atas artikelnya
dulu saya bingung Tuhan itu mencobai kita atau tidak
krn di Kitab Suci dibilang Tuhan tdk pernah mencobai kita tp kita yang mencobai diri kita sendiri
sekarang saya sdh mengerti apa maksudnya
GBU
ada cerita seperti berikut. ada seseorang berdiri di depan rumahnya dan pot bunga yang terletak di lantai atas rumahnya jatuh. kemudian, temannya yang sedang berbicara dengan dia menyadari itu dan mengingatkannya untuk menghindar sehingga pot bunga itu tidak mengenai kepala orang tersebut. kemudian dia mengatakan terima kasih Tuhan. akan tetapi, temannya tidak senang akan itu dan mengatakan bahwa dia seharusnya berterima kasih kepadanya dan bukannya kepada Tuhan karena dia yang mengingatkan dia untuk menghindar. kalau Tuhan memang ada, dia pasti tidak akan sejahat itu membiarkan pot bunga jatuh di atas kepala orang itu. oleh karena itu dia menyatakan kalau Tuhan itu tidak ada. kemudian orang itu bilang bahwa Tuhan itu ada dan buktinya Tuhan mengunakan temannya itu untuk menolong dia. akan tetapi, temannya itu tidak setuju dan mengatakan bahwa dia tidak merasa disuruh Tuhan untuk menolong orang itu. orang itu lalu mengatakan bahwa Tuhan telah membuat temannya itu menyadari bahwa pot bunga yang ada di atas kepalanya dan jatuh sehingga temannya bisa mengingatkan dia untuk menghindar. tentu saja Tuhan tidak menyatakan hal itu secara blak blakan kepada temannya tetapi bahwa temannya itu menyadari bahwa pot bunga itu jatuh merupakan suatu yang datang dari Tuhan. kemudian temannya itu mengatakan jika tadi dia tidak menyadarinya, akankah dia masih berterima kasih kepada Tuhan? jika tadi dia tidak menyadarinya dan pot bunga itu jatuh menimpa kepalanya dan dia harus masuk rumah sakit karenanya, kemanakah Tuhan? Temannya itu mengatakan bahwa orang itu bisa berterima kasih karena merasa tertolong, tapi kalau tidak, mungkin kejadiannya akan lain.
pertanyaannya adalah benarkah bahwa ketika orang tersebut tertolong karena temannya, itu karena Tuhan yang menginspirasikan temannya untuk menyadari bahwa pot bunga itu jatuh dan menyuruhnya untuk mengingatkan orang itu? kemudian kalau iya, mengapa Tuhan tidak meginspirasikannya dengan disadari oleh temannya itu bahwa kesadarannya akan pot bunga yang jatuh adalah dari Tuhan sehingga temannya itu tidak tinggi hati bahwa kesadarannya bahwa pot bunga itu jatuh adalah murni karena dia yang kebetulan menyadarinya dan dengan kebaikannya dia memberitahukan hal itu kepada orang itu supaya ia tidak celaka?
kemudian, jika temannya itu tidak menyadarinya atau terlambat memberitahukan kepada orang itu sehingga orang itu menjadi celaka, mengapa Tuhan membiarkan itu terjadi? kemanakah Tuhan?
Shalom Desti,
Sejujurnya, campur tangan Tuhan itu tetap ada, meskipun manusia tidak mengakuinya. Mungkin bagi orang yang tidak percaya akan keberadaan Tuhan, fakta ini perlu dijelaskan dengan lebih panjang. Namun bagi orang yang sudah percaya, mudah sekali untuk menerimanya. Sebab Tuhanlah yang menciptakan manusia – entah manusia yang percaya kepada-Nya atau yang tidak percaya- dengan akal budi dan kehendak bebas, dan dengan kemampuan dan kemauan dasar untuk mencari apapun yang benar, baik dan indah (true, good and beautiful). Nah, maka setiap manusia yang sehat akal budinya, umumnya akan berusaha melakukan yang benar, yang baik dan yang indah. Dorongan naluriah ini adalah dari Tuhan, maka kalau orang itu yang mengingatkan temannya agar menghindar dari pot yang jatuh, tentu reflek itu datang dari Tuhan. Tuhanlah yang menciptakan reflek itu di dalam dirinya, yang dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sebab ia adalah manusia yang normal dan akal budinya sehat. Penyangkalan bahwa ada campur tangan Tuhan di sini, akan bermuara dari akarnya, yaitu ketidak percayaan bahwa Tuhanlah yang menciptakan dia. Nah kalau ia tidak percaya bahwa Tuhanlah yang menciptakan dia, maka memang lebih sulit untuk menjelaskan kepadanya, dan nampaknya ini mengarah kepada diskusi yang lebih dalam sifatnya, seperti, Bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada?, seperti yang pernah dibahas di sini, silakan klik.
Nah sekarang, bagaimana seandainya jika pot itu terlanjur jatuh menimpa temannya itu? Mungkin saja kecelakaan ini terjadi, entah karena temannya itu tidak tahu kalau pot itu hampir jatuh sehingga tidak memberitahukannya, atau kalau ia terlambat memberi tahu, sehingga ia tidak sempat menyelamatkan temannya. Dalam hal inilah juga kita mengetahui bahwa Allah mengizinkan hal itu terjadi, sebab tak sesuatupun terjadi di dunia ini tanpa izin Tuhan. Namun demikian, sebagai orang beriman kita percaya bahwa selalu ada hal yang baik yang dapat terjadi di balik segala yang nampak sebagai ‘kecelakaan’ ataupun penderitaan. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Agaknya manusia memiliki kesulitan untuk melihat keberadaan Tuhan di tengah-tengah penderitaan di dunia, karena manusia cenderung menilai segala sesuatunya dari segala yang nampak di mata manusia. Namun Tuhan jauh melihat ke dalam hati, dan Ia mengetahui dengan pasti, cara- cara apakah yang dipilih-Nya untuk menyatakan keberadaan dan kasih-Nya kepada orang-orang yang dikasihi-Nya, dan untuk menuntun mereka kepada keselamatan kekal. Sebab tidaklah dapat dipungkiri, bahwa kenyataan justru menunjukkan bahwa pertobatan yang sejati sering kali didahului oleh pengalaman penderitaan, yang membuat manusia dapat menyadari bahwa ada dirinya bukan siapa-siapa, dan bahwa ia membutuhkan Allah untuk menolong/ menopangnya. Silakan Anda membaca kisah- kisah kesaksian pertobatan di manapun, dan Anda akan melihat bagaimana Allah menggunakan pengalaman penderitaan atau sakit penyakit, untuk membawa begitu banyak orang untuk kembali ke jalan Tuhan dan mengalami kasih dan pertolongan-Nya.
Demikianlah, kembali ke kisah di atas, maka apapun yang terjadi, tidak membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Justru, kalau kita mau menelitinya dengan lebih baik, kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa, kita tahu bahwa Allah itu selalu ada, dan Ia turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Rm 8:28). Namun memang kuncinya adalah “bagi mereka yang mengasihi Dia”, sebab bagi orang-orang yang tidak mengasihi Tuhan maka mata hati mereka dapat saja tetap tidak dapat melihat kebaikan tersebut. Namun bagi orang-orang yang mengasihi Tuhan, kebaikan itu akan jelas terlihat nyata, entah dalam keadaan kita senang atau susah, sehat ataupun sakit, sebab Tuhan selalu menyertai dan memberikan segala yang terbaik kepada kita pada waktu-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ingin tahu, kalau Tuhan adalah Maha Tahu, mengapa Tuhan menawarkan rencana-Nya jika Ia sudah tahu akan ditolak?
[Dari Katolisitas: Sebab Tuhan juga sudah tahu bahwa Ia akan ditolak, dan Ia juga sudah memiliki rencana-Nya yang mengatasi penolakan itu, yang mendatangkan kebaikan bagi semua orang yang mengasihi Dia.]
Syalom tim Katolisitas,
saya tau bahwa ajaran Katolik tidak percaya dengan takdir, namun ada beberapa ayat dalam PL dan PB yang nampaknya serupa dengan takdir…bagaimana menjelaskan ayat² tersebut ?
Efesus 1:4 Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.
Amsal 16:4 TUHAN membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing, bahkan orang fasik dibuat-Nya untuk hari malapetaka.
Yesaya 45:7 yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang; Akulah TUHAN yang membuat semuanya ini.
mohon pencerahan…
[Dari Katolisitas: Nampaknya yang menjadi kunci adalah pemahaman tentang dua macam kehendak Allah (the Will of God) sehingga kita dapat memahami maksud yang disampaikan oleh ayat-ayat tersebut di atas. Silakan membaca di artikel ini tentang kedua jenis kehendak Allah itu, silakan klik]
hai Katolisitas saya mau bertanya Iman Katolik tetang kematian, musibah, atau kecelakaan yg menyebabkan kematian. Banyk orang mengalami hal itu. Tapi org2 mengatakan kalau hal itu adalah kehendak Tuhan, saya sudah mencari jawaban itu di Alkitab, tapi bukankan kematian adalah musuh Kristus, saya agak kurang setuju jika banyak orang mengatakan kematian adalah kehendak Tuhan. Mohon pencerahannya…
[dari Katolisitas: Mohon membaca terlebih dahulu artikel-artikel berikut ini:
Tentang Apakah Takdir dan Pencobaan datang dari Tuhan?, klik di sini
Apakah Perbedaan Takdir dengan Nasib? klik di sini
Mengapa Banyak Kejahatan di Dunia ini? klik di siniMakna Kematian bagi Kita Orang percaya, klik di sini
Mengapa Tuhan menciptakan Perbedaan, Orang Cacat dan Miskin, klik di sini ]
Pencobaan
Di satu pihak dikatakan Tuhan tidak mencobai manusia. Teks doa Bapa Kami, “janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan” justru ditujukan kepada Tuhan berupa permohonan agar Tuhan tidak memasukkan manusia ke dalam pencobaan. Bagian kalimat dari doa Bapa Kami tersebut, mengandaikan Tuhan boleh-boleh saja memasukkan manusia ke dalam pencobaan sesuai kehendakNYA.
Ada pula pernyataan yang sering didengar : ” Tuhan mengijinkan manusia dicobai”.
Ada kontradiksi esensial dari kedua pernyataan yang umum disampaikan kepada umat. Tuhan tidak mencobai versus Tuhan mengijinkan pencobaan.Hal ini membingungkan umat.
[Dari Katolisitas: silakan membaca jawaban ini, terutama point 2, silakan klik]
Shalom,
Jika ada beberapa pasangan menikah dan akhirnya bercerai, apakah mereka memang tidak berjodoh?
Shalom Devi,
Sebelum pertanyaan Anda dibahas, mungkin baik diketahui prinsipnya dahulu, bahwa segala sesuatu yang kita alami dan yang terjadi dalam kehidupan kita, telah diketahui oleh Allah sejak awal mula, sebab Ia adalah Tuhan yang Maha Tahu, tidak ada yang tersembunyi bagi Tuhan. Walaupun demikian, bukan Tuhan yang menakdirkan segala sesuatu sampai manusia tidak punya andil sedikitpun dan hanya menjadi seperti wayang/ boneka dalam menjalani kehidupannya di dunia. Tentang hal ini sudah dibahas di artikel di atas, silakan klik.
Maka pengetahuan Tuhan ini berlaku juga untuk hal jodoh. Tuhan sudah mengetahui akan apa yang akan terjadi pada setiap orang. Jika diaplikasikan dengan kasus yang Anda tanyakan, maka Tuhan sudah tahu bahwa si A akan menikah dengan B, lalu misalnya, karena ketegaran/ kekerasan hati keduanya, akhirnya mereka berpisah. Namun bukan Tuhan yang menghendaki perpisahan itu, sebab telah kita ketahui bersama bahwa Tuhan tidak menyetujui perceraian (lih. Mat 19:5-6). Dan bukannya tidak mungkin jika kedua pihak terus melakukan introspeksi diri dan mau memperbaiki kesalahan, keduanya dapat memutuskan untuk rujuk kembali; dan jika ini terjadi, hal inipun telah diketahui oleh Allah sejak semula. Maka masalahnya di sini adalah: bagi Tuhan segala sesuatunya sudah diketahui (karena masa lalu dan masa depan bagi Allah terpampang sebagai ‘masa kini’); sedangkan bagi kita manusia, kita hanya mampu mengetahui sejalan dengan urutan waktu kronologis. Sehingga, yang dapat kita ketahui adalah sesuatu yang sudah terjadi, dan yang sedang terjadi, tetapi tidak yang belum terjadi. Itulah sebabnya, kita berpikir bahwa kalau terjadi sesuatu hal di luar rencana/ kehendak kita, sepertinya hal itu telah ditentukan oleh Tuhan. Jika hal itu baik, tentu tidaklah menjadi masalah, sebab segala yang baik memang berasal dari Tuhan. Tetapi sayangnya seringkali jika terjadi hal yang tidak baik, kekacauan, atau dalam hal ini, perceraian, orang juga dapat cenderung menyalahkan Tuhan. Padahal sesungguhnya, hal-hal negatif terjadi sebagai akibat dari keputusan atau kehendak kita sendiri, dan bukan Tuhan yang secara aktif menghendakinya. Dalam konteks ini, kita tidak dapat mengatakan bahwa jika pasangan berpisah atau bercerai maka itu adalah kehendak Tuhan, atau Tuhanlah yang sudah menentukan bahwa mereka tidak ‘berjodoh’. Sebab kehendak Tuhan telah jelas untuk sebuah perkawinan, yaitu bahwa perkawinan itu sifatnya monogam dan tak terceraikan sampai akhir (lih. Mat 19: 5-6).
Maka jika sampai sepasang pemuda dan pemudi memutuskan untuk menikah, dalam hal ini ada dua hal yang terlibat; yaitu kehendak mereka sendiri dan Tuhan mengizinkan itu terjadi. Jika mereka lalu memutuskan untuk berpisah, dan faktanya itulah yang terjadi, tentu kenyataan ini seharusnya menjadi permenungan bagi yang mengalaminya, tentang apakah sebenarnya yang Tuhan kehendaki dalam hidup mereka, supaya setidaknya mereka tidak lagi mengulangi membuat kesalahan? Kesempatan ini silakan dipakai untuk merenungkan, apakah memang sebenarnya perkawinan yang dulu itu sah untuk disebut sebagai perkawinan? Jika tidak, maka perkara ini dapat diajukan ke Tribunal Keuskupan agar memperoleh penyelesaiannya. Jika perkawinan sudah sah, maka diperlukan kehendak dari kedua belah pihak untuk rekonsiliasi dan bersama-sama mengusahakan persatuan kembali. Atau jika seandainya hal rujuk ini sudah sama sekali tidak mungkin; setidaknya pihak yang taat beriman, berusaha untuk tetap menjalani hidupnya dalam kemurnian, dan tidak menikah lagi, demi menghormati Tuhan yang kepada-Nya ia telah mengucapkan janji perkawinannya secara sah dengan pasangannya. Sebab walaupun mereka faktanya berpisah, namun di hadapan Tuhan, ikatan mereka sebagai suami istri tetap ada.
Demikian yang dapat saya sampaikan untuk pertanyaan Anda, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom katolisitas,
Saya mau tanya apakah pandangan Katolik mengenai kegagalan
Mohon jawabannya. Terima kasih
Salam Caca,
Kegagalan ialah situasi di mana rencana untuk memenuhi tujuan tertentu yang baik (bukan keinginan egositis) tidak tercapai. Banyak teori management bagaimana mengelola kegagalan perusahaan maupun pribadi, lembaga maupun negara menuju keberhasilan di waktu yang akan datang. Gereja belajar dari pengalaman sejarah 2000 tahun dengan mendasarkan pengalamannya pada Yesus Kristus Sang Pemilik dan Pendirinya yang mengasihi dan melindungi Gereja milik-Nya, di mana alam maut tak kan pernah menguasainya, dan akan disempurnakan dalam kemuliaan.
Yesus sendiri mengalami kematian di kayu salib, namun satu hal saja yang Ia lakukan yaitu setia kepada Bapa. Beata Teresa dari Kalkuta mengatakan: “Kita tidak dipanggil untuk sukses, melainkan dipanggil untuk setia”. Yesus berkata: “Carilah dahulu Kerejaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya akan ditambahkan padamu” (Mat 6: 33). Kesetiaan dalam Kristus melalui Gereja-Nya untuk mencapai tujuan yaitu Allah sendiri itulah kerangka kita hidup di dunia entah rencana kita gagal atau berhasil. Yesus jatuh tertimpa salib yang berat dalam perjalanan ke Golgota, namun Ia bangkit lagi dan meneruskan perjalanan-Nya. Ia pun mati di kayu salib karena kesetiaan-Nya pada kehendak Bapa. Namun tiga hari kemudian bangkit. Gereja belajar memikul salib setiap hari dan mempersatukan segala kegagalan dan keberhasilan-Nya dengan penderitaan, wafat dan kebangkitan Kristus.
Caca, saya mengajak Anda, seperti seluruh Gereja Katolik, berjalanlah menuju Allah Bapa melalui Yesus dalam Roh Kudus, persatukanlah kegagalan dan keberhasilan rencana dalam Kristus, mengevaluasi diri (entah gagal entah berhasil – karena jika jujur menilai diri, tak ada keberhasilan 100 persen bulat utuh di mata Allah, dan tak ada kegagalan 100% selain dosa yang tak terampuni), bangkit lagi, makin maju lagi serta mengajak lebih banyak orang agar bekerja sama membangun situasi menjadi lebih baik, dan tetap berpengharapan dalam Tuhan. Kegagalan yang paling fatal ialah jika kita jauh dari Tuhan, dan melepaskan diri dari Kristus, karena di luar Kristus, kita tak bisa berbuat apa-apa dalam hal keselamatan baik kini maupun keselamatan kekal (Yoh 15:5). Kegagalan paling besar ialah situasi Yoh 5:6: “Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar”.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
[Dari Katolisitas: pertanyaan ini dipindahkan dari Buku Tamu]
Pertanyaan Saya :
Apakah Tuhan campur tangan langsung dalam setiap kehidupan saya?bukannya saya meragukan campur tangan Tuhan tapi ada yang mengganjal dalam pikiran saya, mengingat sebenarnya Tuhan sudah memberi Akal Pikiran, Rasa, logika dan Perasaan untuk memutuskan suatu hal. Sebagai Contoh :
” Orang mengatakan bahwa Jodoh ditangan Tuhan, Jika seorang menikah dengan seorang wanita apakah itu karena campur tangan Tuhan? sebab pemikiran saya masalah jodoh ada ditangan kita sendiri karena Tuhan telah memberi kita Akal budi, Perasaaan, Pikiran untuk menimbang, jadi Tuhan tidak secara detail mengatur hidup kita. Tuhan memberi kita yang sesuatu yang besar (Akal budi, Perasaaan, Pikiran) untuk agar kita melakukan hal-hal lainnya sesuai dengan yang diberikannya itu.”
Itu salah astu contohnya masih banyak contoh lainnya. Saya menanyakan karena terkadang banyak Orang yang Mengambing Hitamkan Tuhan terhadap Keputusan dan Masalah yang mereka hadapi, seolah-olah itu memang rencana Tuhan pada hal kalau saya renungkan sebenarnya kesalahan manusia sendiri. Trimakasih. Mohon Jawabannya.
Shalom Dominikus Endy,
Pertanyaan serupa sudah pernah ditanyakan dan telah kami tanggapi di sini (tentang takdir dan pencobaan, silakan klik )dan di sini (tentang takdir dan nasib, silakan klik )
Silakan anda membaca terlebih dahulu di link- link tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
terimakasih bu Inggrid atas jawabannya. saya percaya bahwa rencana Tuhan adalah yang terbaik.
Salam Damai
Paulina
Mohon pencerahannya :
1. Apakah segala sesuatu (jodoh, pekerjaan dll) itu ditakdirkan oleh Tuhan?.
2. Tuhan mencobai manusia atau tidak? – Tuhan mencobai Abraham dan Musa (Kejadian 22:1-12, Ulangan 8:2) dan mencobai orang Israel (Hakim-hakim 2:22) – Tuhan tidak pernah mencobai siapapun (Yakobus 1:13)
Shalom Julius,
Pertanyaan ini telah dijawab di sini – silakan klik.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Bu Ingrid, saya lebih cocok dengan pendapat bahwa Allah tidak pernah mencobai manusia (Yak. 1:13) karena Allah itu kasih, dan tanpa dicobai oleh Allah-pun hidup manusia sudah penuh dengan derita karena dosa yang manusia perbuat sendiri. Bisakah kita memakai kata “pencobaan” untuk sesuatu kejadian/cobaan agar kita jatuh ke dalam dosa (seperti setan mencobai kita), dan memakai kata “ujian” untuk sesuatu yang memberikan kita sesuatu yang lebih baik? Jadi kita bedakan pengertian kata “cobaan” (biasanya dari setan yang ingin kita jatuh/dosa) dengan “ujian” (biasanya dari Tuhan agar kita semakin menjadi lebih baik). Karena jika kita berhasil melewati ujian itu kita akan “naik kelas”, baik itu iman, harapan dan cinta kita.
Terima kasih.
Shalom Abin,
Ya benar, Allah tidak mencobai kita (Yak 1:13) namun Ia menguji kita, dengan mengizinkan pencobaan terjadi dalam hidup kita yang tidak melebihi kekuatan kita (1Kor 10:13) agar mendatangkan sesuatu yang lebih baik dalam diri kita. Sebaliknya, Setan/Iblis mencobai kita agar kita jatuh. Jadi Allah menguji atau ‘mencobai’ dalam konteks yang sangat berbeda dengan Setan mencobai. Dalam Ibrani 11:17 dikatakan, "Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak." Atau pada Kitab Ayub, di mana Allah mengizinkan Iblis mencobai Ayub (Lih. Ayb 1:12) untuk kemudian memberikan kesempatan pada Ayub untuk membuktikan imannya kepada Tuhan. Sedangkan jika Setan/ Iblis mencobai, selalu bertujuan untuk kejatuhan manusia, seperti yang terjadi pada Yudas (lih. Yoh 13:27).
Maka apapun istilahnya, kita sudah tahu bedanya. Mungkin ada baiknya kita melihat kepada bahasa Inggris. ‘God tests or tries us but never tempts us‘. Jadi ‘tests’ atau ‘tries’ memang dapat diterjemahkan sebagai menguji/ mencobai kita (lihat Mzm 26:2), tetapi yang pasti artinya berbeda sama sekali dengan ‘mencobai’ yang menjadi terjemahan arti ‘tempts’.
Terima kasih atas komentarnya. Jika memang Abin lebih menyukai kata menguji daripada mencobai, tentu boleh saja, sebab memang yang terpenting adalah kita mengetahui maksud ujian dari Tuhan yang sangat berbeda dengan cobaan dari Iblis.
Semoga ini dapat memperjelas dan melengkapi tulisan saya yang di atas.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Shalom ibu Ingrid,
Saya ingin menanggapi jawaban anda diatas tentang; “Ia menguji kita, dengan mengizinkan percobaan terjadi dalam hidup kita .. ”
Jika kita kembali pada Abraham, bukankah Allah sendiri secara AKTIF melakukan percobaan itu sendiri dengan mengutus Abraham mempersembahkan Ishak seperti yang tertulis di Kejadian 22:2. Bukankah dengan demikian kalimat; ” .. dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun ” dalam surat Yakobus 1:13 menjadi tidak relevan.
Memang benar apa yang dilakukan oleh Allah, jika dilihat dari tujuan, adalah untuk pertobatan dan pengudusan yang jelas berbeda dengan tujuan percobaan yang dilakukan oleh setan. Namun yang saya garis bawahi adalah PERAN AKTIF Allah dalam percobaan itu sendiri. Cerita Abraham nampaknya berbeda dengan Ayub dimana Iblis yang ambil peran aktif didalamnya. Semoga anda bisa menangkap argumen saya.
Mohon maaf jika ada beberapa kata yang huruf besar, hanya untuk penekanan maksud saja. Terima kasih sebelumnya ibu Ingrid, berkah dalem.
Shalom Bimomarten,
Nampaknya kata kunci untuk memahami hal ini bukanlah pertama-tama apakah Allah secara aktif atau tidak aktif dalam menguji iman manusia, tetapi bahwa tujuan Allah menguji manusia adalah untuk mendatangkan sesuatu yang lebih baik bagi kita. Ini yang membedakan ujian Allah dengan pencobaan dari iblis. Sebab iblis tidak pernah mempunyai tujuan untuk kebaikan manusia, melainkan untuk menghancurkan/ menjatuhkan manusia ke dalam dosa dan neraka.
Itulah sebabnya dikatakan bahwa God tests or tries us but never tempts us. Hal apakah dalam menguji itu Allah sepertinya berperan aktif (seperti pada kasus Abraham) ataupun kurang aktif (seperti pada kasus Ayub), tidaklah menjadi suatu hal yang perlu dipermasalahkan.
Lagipula kasus ujian bagi Abraham sebagai bapa bangsa, merupakan kasus khusus yang merupakan gambar samar-samar akan penggenapannya dalam diri Kristus. Sebagaimana Abraham rela mengurbankan puteranya Ishak, demikian pula Allah Bapa rela mengurbankan Kristus Putera-Nya. Selanjutnya, Paus Yohanes Paulus II dalam surat ensikliknya Redemptoris Mater, menghubungkan bahwa kisah iman Abraham ini dengan kisah iman Bunda Maria yang berdiri di kaki salib Kristus, dengan rela mempersembahkan Putera-nya itu kepada Allah Bapa (lih. RM 14). Karena maksud kisah Abraham yang demikian khusus, maka tak mengherankan jika memang secara khusus Allah Bapa merencanakan adanya kisah tersebut. Bahkan jika dikatakan Allah secara aktif berperan ‘mengadakan’ kisah tersebut, itu berkaitan dengan penggenapannya dalam Perjanjian Baru, yaitu dalam kurban Kristus Putera-Nya.
Namun secara umum, baiklah kita ketahui prinsipnya, bahwa Allah tidak mencobai siapapun (Yak 1:13), dalam artian Allah tidak pernah menghendaki kejatuhan manusia ke dalam dosa. Manusia jatuh ke dalam dosa karena kehendak bebasnya sendiri. Allah mengizinkan hal ini terjadi, sebab Allah menghormati kehendak bebas manusia. Namun demikian, Allah terus mengusahakan agar manusia dapat bertobat, kembali kepada-Nya, mengalami belas kasih-Nya dan memperoleh keselamatan kekal.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.