[Hari Minggu Prapaska IV: 1Sam 16:1-13; Mzm 23:1-6; Ef 5:8-14; Yoh 9:1-41]

Pet! Listrik rumah kami padam. Kegelapan menyelimutiku, dan aku tak dapat melihat apapun. Sekilas terbayang di pikiranku, beginilah rasanya menjadi seorang yang buta. Betapa dapat dipahami, kerinduan untuk melihat, dan untuk keluar dari kegelapan ini…

Injil hari ini mengisahkan tentang Tuhan Yesus, Sang Terang yang menghalau kegelapan itu. Tuhan Yesuslah yang pertama kali melihat, mungkin juga menghampiri, seorang yang buta sejak lahir, dan bukan sebaliknya. Yesus selalu membuat langkah pertama untuk menunjukkan kasih-Nya.  Kepada murid- murid-Nya yang bertanya kepada-Nya, karena salah siapakah orang tersebut dilahirkan buta, Yesus menjawab, agar pekerjaan Allah dinyatakan di dalam dia (Yoh 9:2-3). Sungguh, selanjutnya, memang itulah yang dilakukan Yesus, yaitu menyatakan karya Allah dalam diri orang itu.

Tuhan Yesus mengaduk tanah dengan ludah-Nya, lalu mengoleskan adukan itu pada mata orang buta itu, dan menyuruhnya untuk membasuh dirinya di kolam Siloam. Bagi kita, mungkin ini nampak sebagai permintaan yang sederhana, tetapi bisa jadi tidak demikian bagi orang buta itu. St. Yohanes Krisostomus, mengajarkan, bahwa kita perlu belajar taat dan percaya kepada Yesus, dari orang buta itu. Sebab orang buta itu tidak mempersoalkan apakah itu logis atau tidak, bahwa adukan tanah, yang pantasnya membuat mata menjadi kabur, malah dapat memelekkan matanya. Ia tidak protes bahwa ia harus berjalan menuju kolam, dengan adukan tanah di matanya, dan menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Bukannya tidak mungkin, iapun juga sudah sering membasuh diri di kolam itu, namun itu tidak membuat matanya menjadi sembuh. Namun ketika Yesus menyuruhnya, orang buta itu tetap mau melakukannya, tanpa keberatan. Kepercayaan dan ketaatannya ini membuahkan kesembuhan baginya. Kalau kita yang jadi orang buta itu, apakah kitapun dapat bertindak seperti dia? Jangan-jangan kita malah akan bertanya-tanya dalam hati, ‘ah yang bener aja, masa dengan lumpur di mata, aku bisa melihat?’ Sebab ada kecenderungan di masa sekarang ini, orang menilai segala sesuatunya dengan cara pandang manusia, dan menolak cara pandang Tuhan. Kita lebih menyukai hal yang instan dan mudah dan enggan menerima jalan Tuhan yang kadang melibatkan proses pembentukan diri untuk menjadi semakin rendah hati dan percaya kepada-Nya.

Menurut para Bapa Gereja, orang buta itu melambangkan umat manusia, termasuk kita juga, yang buta karena dosa-dosa kita. Sebagaimana dulu Allah menciptakan manusia pertama dari debu tanah dan meniupkan nafas-Nya kepadanya, demikian pula Tuhan Yesus mengaduk tanah dengan ludah-Nya untuk menyembuhkan manusia yang buta itu, agar ia sembuh dan menjadi ciptaan yang baru. Maka kolam Siloam melambangkan Baptisan, yang oleh kuasa Kristus yang diutus Allah, telah membasuh kita dari segala dosa dan membuat kita ‘melihat’ dengan mata yang baru. Dengan mata yang baru ini, kita dipanggil untuk menjadi saksi Kristus, sebagaimana yang dilakukan oleh orang buta itu. Ia berani menyampaikan kebenaran, akan pertolongan yang diterimanya dari Tuhan Yesus, yang membuat matanya melihat. Ia tidak gentar akan pertanyaan-pertanyaan orang-orang Farisi yang mendesaknya, seolah agar ia menarik kembali kesaksiannya. Mereka menuduh Yesus sebagai orang berdosa, karena menyembuhkan orang pada hari Sabat, dan karena itu orang-orang Farisi itu tidak percaya kepada-Nya. Betapa orang-orang Farisi itulah yang ‘buta’, sehingga mereka gagal melihat bahwa Yesus, Sang Tuhan hari Sabat, itulah yang melakukan karya yang ajaib, pada hari-Nya. Sedangkan orang buta itu, yang tadinya buta secara jasmani, malah akhirnya dapat melihat, bahwa Ia yang menyembuhkannya adalah Sang Anak Manusia: yaitu Tuhan yang kedatangan-Nya telah dinubuatkan oleh para nabi. “Aku percaya, Tuhan!” demikian katanya, dan ia sujud menyembah-Nya.

Di hari Minggu Laetare, yang menandai pertengahan Masa Prapaska ini, mari kita mengenangkan kebaikan Tuhan, yang selalu membuat langkah pertama agar kita dapat mengalami belas kasih-Nya. Mungkin kita tidak buta secara jasmani, namun siapa tahu kita buta secara rohani, sehingga tidak mengenali kehadiran-Nya di dalam berbagai peristiwa dalam hidup kita, dan teristimewa dalam Ekaristi?

O, Tuhan, bantulah aku agar aku dapat melihat Engkau. Dan agar aku berani mewartakan karya-karyaMu yang ajaib dalam hidupku.”