Pertanyaan:

Shalom Bu Ingrid,
mungkin perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian “takdir” ini. Apa yang dimaksud dengan “takdir”? Seseorang kapan lahir atau mati atau dia dilahirkan sebagai lelaki atau perempuan atau siapa orang tuanya atau kakak/adiknya, bukankah dia tidak bisa memilih dan sudah ditentukan oleh Tuhan. Pengertian “takdir” ini mungkin perlu dibedakan dengan “nasib”. Untuk “nasib” memang kita sendiri yang menentukan, namun “takdir” (seperti contoh diatas) adalah Tuhan yang menentukan. Kita memang sering mencampuradukkan (salah kaprah) pengertian “takdir” dengan “nasib”.
Mohon penjelasan. Terima kasih. – Chandra

Jawaban:

Shalom Chandra,
Memang penjelasan tentang takdir ini tidak sederhana, dan sangat tergantung dari definisi dan pengertian kata ‘takdir’ itu sendiri. Saya sendiri cenderung untuk mengikuti apa yang tertulis di Alkitab dan pengajaran Gereja Katolik tentang hal ini, daripada mengikuti pengertian yang berbeda-beda yang ada dalam masyarakat. Umumnya memang takdir dan nasib diartikan sama, bahkan dalam bahasa Inggris juga demikian. Takdir dan nasib umumnya diterjemahkan sebagai ‘destiny, fate’, yang artinya mengarah kepada ’segala sesuatunya sudah ditentukan dari ‘Atas’ (yaitu Tuhan) dan manusia tidak ada andil/ kehendak bebas untuk mengubahnya. Dalam pengertian yang demikianlah Gereja Katolik tidak mengajarkan ‘takdir’, justru karena Gereja mengajarkan adanya kehendak bebas pada manusia yang dapat memilih hendak bekerjasama dengan kehendak Allah atau tidak. Juga, kita dapat melihat perkataan ‘takdir’ tidak muncul di dalam Alkitab. Ayat-ayat  yang sering dikatakan menyebutkan tentang konsep ‘predestination’ yang sering diartikan sebagai takdir, adalah Rom 8:29-30 dan Ef 1:5, 11. Namun di sana yang dituliskan adalah ‘ditentukan’ oleh Allah, bukan ‘ditakdirkan’.

Sekarang, mungkin kita perlu menelaah, apa bedanya, arti ‘ditentukan’ dengan ‘ditakdirkan’? ‘Ditentukan’ di sini adalah berkaitan dengan kehendak Tuhan. Nah, dengan melihat uraian St. Thomas Aquinas (lihat ST, I, q.19), tentang dua macam kehendak Allah (the Will of God) secara umum, maka kita dapat lebih memahami tentang kehendak Allah ini:

1. Antecedent Will: Kehendak Allah yang universal terhadap semua manusia, yaitu agar semua manusia di selamatkan. Inilah yang dikenal dengan ajaran ‘predestination’, yaitu bahwa Allah menghendaki semua manusia diselamatkan dan memiliki pengetahuan akan kebenaran (lih. 1Tim 2:4). Maka kita mengetahui bahwa Gereja Katolik, berpegang pada pengertian ini, mengajarkan konsep ‘predestination‘, yaitu bahwa Allah menghendaki semua orang diselamatkan. Yang tidak diajarkan oleh Gereja Katolik adalah ‘double predestination‘ yaitu bahwa Allah dari sejak awal sudah menentukan orang-orang yang akan masuk ke surga (diselamatkan) dan orang-orang yang masuk neraka (tidak diselamatkan), seperti yang diajarkan oleh Calvinism.
Gereja Katolik tidak mengajarkan konsep double predestination, sebab ini bertentangan dengan hakekat Allah sendiri yang adalah Maha Kasih dan Maha Adil. Sebab Kasih selalu menginginkan kebaikan terjadi pada orang yang dikasihi, dan Keadilan selalu mengacu pada sesuatu yang layak sesuai dengan yang seharusnya. Menentukan seseorang yang tidak bersalah langsung ke neraka, itu bertentangan dengan sifat Keadilan, karena itu tidak mungkin dilakukan oleh Tuhan, sebab Tuhan tidak mungkin menyangkal DiriNya sendiri (lih. 2 Tim 2:13).

2. Consequent Will: Kehendak Allah yang melibatkan pihak kehendak bebas manusia; sehingga meskipun Allah menghendaki semua manusia diselamatkan, namun karena Allah menghormati keputusan kehendak bebas manusia yang menolak-Nya, maka tidak semua dari yang ditentukan Allah sejak semula untuk diselamatkan, dapat diselamatkan.
Dengan prinsip yang sama,  maka bukan Tuhan yang menghendaki kejahatan terjadi, sebab yang terjadi sesungguhnya manusia dengan kehendak bebasnya yang berbuat jahat. Dalam hal ini, Tuhan mengizinkan hal kejahatan itu terjadi,  karena Ia menghormati kehendak bebas manusia yang diciptakan-Nya. Inilah yang dikenal sebagai penderitaan yang disebabkan oleh dosa manusia. Namun kenyataannya, ada pula penderitaan yang tidak disebabkan oleh dosa, yang dikenal sebagai ‘the suffering of the innocent‘. Pada kedua jenis penderitaan ini hal ini, meskipun hal yang jahat/ buruk terjadi dalam hidup manusia, itu tidak mengejutkan Tuhan, karena Tuhan sudah mengetahui segala sesuatunya sejak awal mula, dan Ia dengan kuasa-Nya pula tetap dapat memasukkan keadaaan yang negatif tersebut ke dalam rancangan-Nya yang mendatangkan kebaikan. Dalam hal ini kebaikan yang dirancangkan Tuhan adalah untuk membawa seseorang kepada pertobatan, membentuk karakter orang yang bersangkutan, dan mendatangkan kasih, atau agar orang tersebut mengalami pengalaman dikasihi, baik oleh Tuhan maupun oleh orang lain. (Lebih lanjut mengenai hal ini, silakan baca Surat Apostolik Bapa Paus Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris, atau beberapa point ringkasannya yang saya tuliskan di sini (silakan klik).

Soal kita dilahirkan tidak dapat memilih sendiri, itu memang benar. Namun dalam hal kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, kita lebih baik menyebutkannya sebagai ‘diciptakan’ (bukan ‘ditakdirkan’) sebagai laki-laki atau perempuan. Pertama-tama, karena Alkitab menyebutkannya demikian. “Maka Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya; …laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Allah- lah yang menciptakan jiwa manusia, sebagai laki-laki atau perempuan. Kedua, kita melihat hal penciptaan Allah ini melibatkan juga kehendak bebas dari orang tua kita, karena kita dilahirkan sebagai buah kasih mereka sebagai suami istri. Dengan demikian, dalam hal ini, penciptaan manusia tidak semata-mata ‘takdir’ yang seolah-olah hanya dari ‘Atas’, sebab kenyataannya ada campur tangan manusia juga walaupun itu bukan campur tangan dari janin-nya, tapi dari orang tuanya. Peran orang tua itulah yang menyebabkan seseorang lahir dalam keluarga tertentu, punya kakak dan adik tertentu. Walaupun, tentu saja, Allah mengetahui semuanya ini sejak awal mula.

Demikian pula jika kita melihat soal kematian. Kematian merupakan akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. “Upah dosa adalah maut” (Rom 6:23). Sesungguhnya Allah tidak menginginkan kita mati, sebab kematian, penyakit, kecelakaan dan sebagainya bukan merupakan rancangan Tuhan. Yer 29:11 mengatakan, “Sebab Aku mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukannya rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
St. Thomas mengatakan, “God therefore neither wills evil to be done, nor wills it not to be done, but wills to permit evil to be done; and this is a good.” (Tuhan tidak menghendaki hal yang jahat terjadi, atau menghendaki itu tidak terjadi, tetapi mengizinkan hal yang jahat itu terjadi, dan ini merupakan kebaikan). Jadi, jika ada hal yang buruk terjadi di dalam kehidupan kita, kita dapat melihatnya demikian: Allah mengizinkan hal buruk itu terjadi dalam kehidupan kita, sebab Ia melihat bahwa itu dapat mendatangkan kebaikan bagi kita. Maka oleh kuasa kasih Allah, segala bencana, penyakit, bahkan kematian, dapat mendatangkan kebaikan bagi kita yang mengasihi Tuhan (lih. Rom 8:28). Dengan iman kita kepada Kristus, kematian bagi kita malah merupakan gerbang untuk menuju kehidupan kita yang sesungguhnya, yaitu kehidupan kekal bersama Tuhan.
Dalam hal kematian, sama seperti kelahiran, terdapat banyak faktor yang terlibat, misalnya, meninggal karena kecelakaan lalu lintas, disebabkan karena kecerobohan pengendara; atau orang yang meninggal karena sakit tertentu, mungkin karena pola makan dan istirahat yang tidak teratur, dst, yang melibatkan kehendak bebas/ faktor manusia juga. Kenyataannya memang orang lahir dan mati di luar keinginan sendiri, namun ini menurut pengetahuan saya, tidak umum disebut ‘takdir’ oleh Gereja.  Atau tepatnya, Gereja tidak menyebutnya sebagai takdir. Namun jika ada orang yang tetap memakai istilah ini, ya silakan saja, hanya perlu diberi pengertian yang lebih rinci. Saya sendiri mengusulkan, agar kita tidak memakai istilah ‘takdir’ ini, justru karena artinya yang rancu, dan kalau tidak ada penjelasan yang lebih lanjut, dapat mengarah kepada kesalahpahaman.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati – https://katolisitas.org

28 COMMENTS

  1. Shalom Pak Stefanus dan Bu Ingrid, damai dalam kasih Kristus.
    Ada beberapa hal yang selama ini membuat saya penasaran & dalam kesempatan ini ingin saya tanyakan pada Bu Ingrid/Pak Stefanus.
    1) Apakah Allah mengatur kehidupan manusia seorang demi seorang, atau Allah menentukan dan mengatur kehidupan manusia secara umum melalui dalil/hukum alam. Misalnya, ketika seseorang jatuh dari ketinggian apakah orang itu secara personal ditentukan untuk jatuh atau ia jatuh karena hukum gravitasi yang diciptakan Allah bersama penciptaan dunia ini?
    2) Dalam artikel tentang perbedaan takdir dan nasib https://katolisitas.org/perbedaan-takdir-dan-nasib, Bu Ingrid menulis salah satu yang bisa dipahami dari kehendak Allah ialah Consequent Will : Kehendak Allah yang melibatkan pihak kehendak bebas manusia. Sejauh mana manusia diberi kehendak bebas untuk mengatur dinamika hidupnya, sehingga manusia misalnya bisa “menolak” hukum alam yang diciptakan Allah. Mungkinkah itu?
    3) Bagaimana dengan kutipan berikut : “Perhatikanlah pekerjaan Allah! Siapakah dapat meluruskan apa yang telah dibengkokkan-Nya?“ (Pkh 7 : 13). Apakah dalam hal ini manusia memang “ditakdirkan” (saya tidak bisa menemukan kata lain yang tepat) untuk menerima apa yang telah diatur & ditentukan Allah, sehingga ketika manusia dapat melawan hukum alam, sesungguhnya manusia tetap terikat pada hukum alam lain yang tidak diketahui manusia. Dimana kehendak bebas manusia berlaku?

    Terima kasih,
    Arie

    • Shalom Arie Wib,

      1. Bagaimana Allah mengatur manusia?

      Allah menciptakan alam semesta dan mengaturnya sedemikian rupa sebagai hadiah/ pemberian kepada manusia, yang diciptakan menurut citra Allah.

      Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

      KGK 299    Karena Allah mencipta dengan kebijaksanaan, maka ciptaan itu teratur: “Akan tetapi segala-galanya telah Kauatur menurut ukuran, jumlah, dan timbangan” (Keb 11:20). Dalam Sabda abadi dan melalui Sabda abadi, “gambar Allah yang tidak kelihatan” itu (Kol 1:15), terjadilah ciptaan. Ciptaan ditentukan untuk manusia, yang adalah citra Allah (Bdk. Kej 1:26); ia yang dipanggil untuk hubungan pribadi dengan Allah, disapanya. Apa yang Allah katakan kepada kita melalui ciptaan-Nya Bdk. Mzm 19:2-5., dapat diketahui oleh akal budi kita, yang mengambil bagian dalam cahaya budi ilahi, walaupun bukan tanpa susah payah yang besar dan hanya dalam satu sikap yang rendah hati dan khidmat terhadap pencipta dan karya-Nya (Bdk. Ayb 42:3). Karena ciptaan itu berasal dari kebaikan Allah, maka ia mengambil bagian dalam kebaikan itu “Allah melihat bahwa semuanya itu baik … baik sekali”: (Kej 1:4.10.12.18.21.31). Ciptaan dikehendaki oleh Allah sebagai hadiah kepada manusia, sebagai warisan, yang ditentukan untuknya dan dipercayakan kepadanya. Untuk itu Gereja berulang kali harus membela bahwa ciptaan, termasuk dunia jasmani, itu baik (Bdk. DS 286; 455-463; 800; 1333; 3002).

      Nah, maka secara umum, memang Allah memang telah menentukan hukum alam, untuk menjaga keteraturan alam semesta.

      Sekarang sebagai contoh, ambillah hukum gravitasi bumi. Jika seseorang meloncat dari ketinggian, ia akan jatuh ke bawah, seperti halnya benda apapun yang dilempar ke atas pasti akan jatuh ke bawah. Namun adalah kehendak bebas manusia yang menentukan apakah ia mau meloncat dari ketinggian atau tidak, untuk mengalami efek gravitasi secara khusus, dengan perbuatan tersebut.

      Allah menciptakan manusia dengan akal budi dan kehendak bebas, untuk dapat memahami apakah hukum gravitasi itu, dan apa yang akan dilakukannya sehubungan dengan pengetahuannya tentang gravitasi itu. Allah mengizinkan manusia memutuskan apa yang akan dilakukannya sehubungan dengan apa yang diketahuinya itu, baik untuk maksud positif atau negatif. Dalam contoh hukum gravitasi itu, Tuhan mengizinkan manusia menyikapinya hingga mengakibatkan efek positif ataupun negatif. Positif, misalnya, pada para pesenam loncat tinggi/ loncat indah, benji jumping, dst. Negatif, misalnya mereka yang memutuskan untuk bunuh diri dengan meloncat dari lantai kesekian dari gedung pencakar langit, dst. Allah mengetahui apapun yang dilakukan ataupun akan dilakukan manusia, tanpa menakdirkannya; dan di sinilah ada peran kehendak bebas tiap-tiap manusia.

      2. Dapatkah manusia menolak hukum alam?

      Hukum alam adalah hukum yang diciptakan Tuhan untuk menjaga keteraturan alam sampai pada kesudahannya. Maka hukum alam ini adalah ketentuan yang diadakan Allah untuk mengantar ciptaan-Nya sampai menuju tujuan akhirnya, di akhir zaman kelak.

      KGK 301    Sesudah mencipta, Allah tidak menyerahkan ciptaan-Nya begitu saja kepada nasibnya. Ia tidak hanya memberi kepadanya adanya dan eksistensi, tetapi Ia juga memeliharanya setiap saat dalam adanya itu, memberi kepadanya kemungkinan untuk bergiat dan mengantarnya menuju tujuan akhirnya. Mengakui ketergantungan yang sepenuhnya itu kepada Pencipta, menghasilkan kebijaksanaan dan kebebasan, kegembiraan dan kepercayaan.
      “Engkau mengasihi segala yang ada dan Engkau tidak benci kepada barang apa pun yang telah Kau buat. Sebab andaikata Kau benci sesuatu, niscaya tidak Kau ciptakan. Bagaimana sesuatu dapat bertahan, jika tidak Kau kehendaki, atau bagaimana dapat tetap terpelihara, kalau tidak Kau panggil? Engkau menyayangi segala-galanya sebab itu adalah milik-Mu” (Keb 11:24-26).

      Dengan keteraturan hukum alam itu, memang ada ketentuan kodrati yang telah Allah tentukan dalam ciptaan, yang hanya bisa diubah oleh manusia dalam batas-batas tertentu, namun secara keseluruhan keteraturan hukum alam itu tidak dapat diubah oleh manusia. Misalnya adalah, setiap orang akan bertumbuh dewasa, tua dan lalu wafat. Seberapapun ada alat-alat kosmetika dan operasi plastik untuk membuat orang nampak lebih muda dari usia yang sesungguhnya, atau seberapa canggihnya terapi kesehatan dan obat-obatan akan mendukung kesehatan manusia, tetaplah ada suatu saat tubuh setiap manusia akan menua dan akan wafat.

      Maka di sini masuk peran akal budi dan kehendak bebas manusia. Dengan akal budi, ia akan mengetahui berbagai hal yang dapat dilakukannya, sekaligus keterbatasannya tentang bagaimana ia akan menjalani kehidupan ini; apa yang lebih penting, apakah kehidupan di dunia ini ataukah kehidupan sesudahnya dalam kehidupan kekal. Dengan kehendak bebasnya, ia akan dapat memutuskan tentang apakah yang dikehendakinya, sehubungan dengan apa yang diketahuinya itu.

      3. Manusia ditakdirkan untuk menerima apa yang telah diatur oleh Allah?

      Perbedaan mendasar antara Allah Pencipta dan kita manusia ciptaan-Nya, adalah bahwa Allah tidak mempunyai awal dan akhir, Ia kekal selamanya; sedangkan kita memiliki awal dan akhir. Namun dalam rentang awal dan akhir itu, manusia memiliki kehendak bebas untuk mengisinya. Kehendak bebas tidak harus diartikan sebagai kehendak bebas untuk melakukan dosa atau tidak; tetapi juga kehendak bebas untuk memilih melakukan yang terbaik dari berbagai perbuatan yang baik. Maka dalam hal inilah, ada ruang yang luas untuk kehendak bebas manusia, yang dalam pelaksanaannya juga tak terlepas dari rahmat Allah yang diberikan kepada manusia.

      Tentang Pkh 7:13, mari kita pahami konteksnya. Di perikop tersebut sedang disebutkan perbandingan antara kebijaksanaan dan warisan kekayaan. Kebijaksanaan lebih berharga daripada uang, karena hikmat kebijaksanaan berkenaan dengan hidup rohani yang bertahan selamanya, dan bukan hanya untuk kehidupan di dunia. Kebijaksanaan itulah yang memampukan manusia bertahan bahkan dalam kemalangan/ kesengsaraan. Dalam kemalangan, mungkin manusia melihat seolah-olah hal itu sudah digariskan oleh Tuhan, namun meskipun demikian, hikmat kebijaksanaan dapat membantu manusia untuk melihat kebaikan di balik semuanya itu, walau ia mungkin belum dapat memahaminya pada saat itu.

      Maka ayat tersebut memperoleh pengenapan yang sempurna, setelah Sang Kebijaksanaan (Kristus) menjelma menjadi manusia. Di dalam Dialah kita memperoleh pembenaran karena iman kepada kasih karunia Allah, dan memperoleh pengharapan akan kemuliaan yang akan diberikan Allah kepada kita, jika kita bertekun, dan tahan uji.

      “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus. Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Rm 5:1-5)

      Untuk sampai kepada penggenapan Sabda Allah ini, diperlukan keputusan kehendak bebas kita untuk menerima dan mengimani Yesus Kristus. Demikianlah kita melihat betapa jalan masuk menuju kasih karunia Allah yang disediakan bagi manusia, juga melibatkan keputusan kehendak bebas kita.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Terima kasih untuk respon Bu Ingrid atas pertanyaan2 saya. Jawaban tersebut membuka pemahaman saya terhadap apa yang ingin saya ketahui tersebut. Namun demikian masih ada yang ingin saya tanyakan lagi tentang konsep kehedak bebas, karena pikiran awam saya masih belum sepenuhnya bisa memahami konsep itu.
        Sebagaimana yang Bu Ingrid sampaikan, bahwa terhadap hukum alam yang diciptakan Allah, manusia dengan kehendak bebasnya akan dapat memutuskan tentang apakah yang dikehendakinya, sehubungan dengan apa yang diketahuinya itu. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk memuaskan hasrat pikirannya untuk terus mengekplorasi alam dan kehidupan. Atau dalam kenyataan manusia juga diberi kebebasan untuk ‘menyalahgunakan’ hukum alam tersebut dan melakukan hal-hal yang mengarah pada perbuatan dosa, misalnya dengan melakukan bunuh diri. Menurut saya itu masih menjadi kesalahan/dosa yang melukai sisi kemanusiaan, meskipun tentu saja tetap tidak bisa dilepaskan sebagai urusan dengan Allah. Tapi yang sulit saya pahami, bagaimana Allah memberi kebebasan pada manusia untuk memahami dan kemudian menafsirkan tentang sosok Allah sendiri. Mengingat manusia memahami Allah melalui logika-logika yang berhubungan dengan manusia (antropomorfisme), bukankah dalam memahami Allah pada akhirnya kemudian berhenti pada apa yang bisa diketahui manusia sebatas tentang manusia itu sendiri? Dalam pandangan sederhana saya, orang menolak memercayai bahwa Allah ada (ateisme/agnostik) dilakukan karena logika manusia untuk memahami Allah sudah mentok, sementara mereka tidak mau memutuskan untuk percaya. Terkait dengan kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia, dan kemudian digunakan oleh manusia untuk menolak percaya keberadaan Allah, bagaimana Allah memberi kehedendak bebas, sedemikian bebasnya? Meskipun manusia juga diberi kehendak bebas untuk berbuat dosa atau sebaliknya, bukankah menolak percaya akan keberadaan Allah bukan lagi dosa/kesalahan terhadap manusia dan kemanusiaan belaka, tapi menjadi semacam ‘tikaman’ paling keras terhadap Allah atas kebaikan-Nya, sementara Allah sudah pasti tahu akan kemungkinan seperti itu? Mengapa untuk hal-hal seperti itu Allah memberikan kehendak bebas? Bagaimana pandangan gereja terhadap hal-hal seperti itu? Terima kasih Bu Ingrid.

        Salam dalam Kasih Kristus,
        Arie

        • Shalom Wib,

          Sebenarnya manusia, dengan akal budinya saja, sudah dapat menangkap bahwa Tuhan itu ada, dan Tuhan itu satu. Tentang hal ini sudah pernah diulas di sini, silakan klik. Maka keberadaan Tuhan sudah dapat diketahui oleh manusia dengan akal budinya sendiri- yang dapat menangkap karya-karya Sang Pencipta itu sejak dunia diciptakan. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma juga menuliskan demikian, “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.” (Rm 1:19-20) Jadi sesungguhnya tidak ada dalih yang logis, yang dapat membenarkan bahwa dengan menggunakan akal budinya seseorang malah tidak percaya akan adanya Tuhan.

          Namun demikian, untuk dapat masuk dalam kehidupan ilahi -yaitu kehidupan Allah sendiri, manusia tidak dapat mengandalkan akal budi/ kemampuannya sendiri. Untuk ini diperlukan campur tangan Allah, yaitu dalam hal ini Wahyu Allah, yang dinyatakan di dalam Kristus. Pemberian Wahyu Allah ini kepada manusia mensyaratkan juga tanggapan manusia. Manusia dengan kehendak bebasnya dapat menerima Wahyu Allah dengan ketaatan iman, atau sebaliknya, ia dapat pula menolaknya. Hal ini adalah konsekuensi logis dari penciptaan manusia oleh Allah, sebab Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, yaitu artinya manusia dapat mengenal dan mengasihi Pencipta-Nya, melalui akal budi dan kehendak bebasnya. Karena kasih sejati itu tidak memaksa, maka Allah memang memberikan kehendak bebas kepada manusia, apakah akan menerima kasih Allah ataukah akan menolaknya.

          Selanjutnya tentang mengapa jika Tuhan sudah tahu akan adanya sejumlah orang yang kelak menolak Dia, tetapi tetap diciptakan-Nya juga, sudah pernah diulas di artikel ini, silakan klik.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Terimakasih, jawaban2 Bu Ingrid semakin mencerahkan saya. . Salam dalam Kasih Kristus Tuhan.

  2. Shallom Ibu Ingrid

    Saya senang sekali dapat membaca tulisan Ibu tentang takdir dan nasib.
    karena 2 point ini saya ingin share di hari Minggu nanti di gereja.
    Saya dari Kristen Pentakosta,
    setuju sekali dengan Ibu, basic kita adalah apa yg tertulis di Alkitab.

    Tulisan Ibu sangat memberkati

    Salam

    • Shalom Kezia,

      Terima kasih atas kunjungan Anda ke situs ini, dan atas apresiasi Anda.

      Ya, kami mengusahakan untuk selalu mendasarkan artikel-artikel di situs ini atas Sabda Tuhan. Sabda Tuhan memang menjadi sumber ajaran iman Kristiani. Tetapi untuk dapat lebih memahaminya, kita tidak dapat bersandar hanya dari Kitab Suci. Uraian di atas adalah bukti yang jelas, sebab tentang hal kehendak Tuhan ini, sering disalah artikan bahkan oleh orang-orang yang membaca Kitab Suci yang sama. Oleh karena itu Gereja Katolik mengacu kepada penjelasan yang diberikan oleh para Bapa Gereja, yang dirangkum oleh St. Thomas Aquinas. Di sinilah nyata peran Tradisi Suci untuk lebih memahami makna Kitab Suci, dan bahwa keduanya tidak terpisahkan.

      Tentang hal ini sudah pernah diulas di sini, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

    • Shalom Spektor,

      Mohon maaf jika paparan saya di atas kurang jelas.

      Sesungguhnya tergantung bagaimana kita mendefinisikan apa itu takdir. Sebab takdir yang umumnya dipahami bahwa segala sesuatunya sudah ditentukan Allah sejak awal mula, sampai manusia tidak punya andil apapun untuk mengubahnya. Jika ini definisi/ pengertiannya, maka Gereja Katolik tidak mengajarkan takdir, sebab pada kenyataannya ada andil manusia dalam segala perbuatannya.

      Kita ketahui, bahwa Kitab Suci kita tidak menggunakan istilah ‘takdir’, namun ‘memilih…. supaya’ dan ‘menentukan’, atau ‘menghendaki’ untuk menggambarkan tentang rencana Allah terhadap manusia, seperti yang disebutkan dalam surat Rasul Paulus:

      “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya. Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian. Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi. Aku katakan “di dalam Kristus”, karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan –kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya- supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Di dalam Dia kamu juga -karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu- di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu. Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya. ” (Ef 3:14)

      “Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran…” (1 Tim 2:3-4)

      Itulah sebabnya, maka Gereja Katolik mengajarkan bahwa memang pada awal mulanya Allah menghendaki agar semua orang selamat. Nah ini disebut sebagai kehendak Allah secara umum untuk semua manusia, atau istilah teologisnya Antecedent Will. Namun Allah juga sudah mengetahui sejak awal mula, bahwa ada sejumlah orang yang, dengan kehendak bebas mereka, akan menolak kehendak-Nya untuk menyelamatkan mereka. Nah, inilah yang disebut sebagai Consequent Will, artinya, Allah sudah mengetahui sejak awal mula bahwa ada sejumlah orang yang tidak selamat, dan Allah mengizinkan hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari kehendak bebas manusia, sebagai konsekuensi dari Allah yang telah menciptakan manusia dengan kehendak bebas. Maka hal penolakan sejumlah manusia ini tidak mengagetkan Allah, sebab Allah yang Maha tahu telah mengetahui segala sesuatunya, sejak awal mula, tanpa Ia sendiri yang menyebabkan penolakan mereka.

      Dengan pengertian ini, maka benar jika dikatakan bahwa Gereja Katolik mengajarkan predestination, tetapi Gereja Katolik tidak mengajarkan double predestination (menentukan sejumlah orang ke surga dan sejumlah lainnya ke neraka).

      Selanjutnya tentang hal ini, silakan membaca jawaban Stef di sini, silakan klik.

      Semoga menjadi lebih jelas.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. dalam pengertian di atas saya berkesimpulan bahwa “takdir” Katholik sebenarnya sama dengan Islam. Kupikir memang sepertinya benar orang-orang Katholik lebih “teduh” ketimbang “Calvinis” (dalam hal ini merujuk pada Kristen Indonesia ala Belanda).

    [Dari Katolisitas: Perlu dipahami bahwa ajaran iman Katolik selalu melihat adanya elemen rahmat Allah dengan kehendak bebas, dalam kehidupan manusia. Nah kami tidak dalam posisi untuk membandingkannya dengan ajaran agama lain, namun silakan Anda menilainya sendiri, dari paya yang telah disampaikan di atas.]

  4. Salam damai….
    Saya mau sedikit bertanya, manakah ajaran Katholik sebenarnya :

    1. Manusia yg merencanakan dan Tuhan yg menentukan.. atau..

    2. Tuhan yg merencanakan dan manusia yg menentukan

    terima kasih jika berkenan menjawabnya….

    • Shalom J A Lebert,

      Sejujurnya, baik Tuhan maupun manusia dapat merencanakan dan menentukan sesuatu. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan agar manusia selalu berdoa dan berkarya, sebab dalam menggenapkan rencana-Nya terhadap manusia, Tuhan melibatkan kerjasama dari manusia itu sendiri.

      KGK 2834    “Berdoalah dan bekerjalah!” (Bdk. Benediktus. reg. 20; 48). “Berdoalah, seakan-akan segala sesuatu bergantung pada Allah, dan bekerjalah, seakan-akan segala sesuatu bergantung pada kamu“. Juga apabila kita telah melakukan pekerjaan kita, makanan tetap merupakan anugerah dari Bapa kita; karena itu ada baiknya supaya meminta kepada-Nya, sambil berterima kasih kepada-Nya untuk itu. Itulah arti dari doa sebelum dan sesudah makan dalam keluarga Kristen.

      Selanjutnya tentang adanya dua macam kehendak Allah, silakan membaca artikel di atas, silakan klik. Pemahaman akan adanya dua macam kehendak Allah ini membantu kita untuk memahami bahwa secara umum Allah menghendaki kebaikan dan keselamatan semua umat manusia, namun pada saat bersamaan, dalam mewujudkan kehendak-Nya Allah melibatkan kehendak bebas manusia, sehingga akibatnya, adalah kehendak Allah juga bahwa yang dapat menerima keselamatan tersebut adalah orang-orang yang bersedia bekerjasama dengan rahmat-Nya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Syalom …. ibu/bpk. narasumber, perkenankanlah saya sharing pengalaman ketika dahulu saya pernah berniat jahat terhadap seseorang, ternyata niat jahat saya tersebut tidak langsung dapat terlaksana, entah kenapa. tetapi karena kegigihan saya akhirnya niat jahat saya tersebut kesampaian juga. Ampuni saya Tuhan. Mungkin orang yang berhubungan suami istri dan melakukan hubungan intim juga tidak langsung terjadi pembuahan di dalam rahim. Mungkin setelah beberapa kali melakukan hubungan intim, baru terjadi pembuahan. Dapatkah dikatakan kegigihan seseorang dapat berakibat usahanya berhasil. Mohon tanggapannya.

    [dari katolisitas: Prinsip pertama adalah semua yang baik adalah datang Tuhan dan yang tidak baik adalah datang dari kita. Prinsip yang kedua adalah tidak ada yang terjadi di dunia ini dapat terjadi tanpa seijin Tuhan, namun bukan berarti Tuhan menginginkan yang jahat terjadi. Kalau sampai yang jahat dapat terjadi, maka Tuhan akan mampu mendatangkan kebaikan dari yang jahat. Silakan menerapkan hal ini untuk menjawab pertanyaan anda.]

  6. Shallom…
    saya ingin bertanya… sebagai orang Katolik haruskah kita percaya kepada nasib dan takdir? Apa pandangan atau ajaran gereja Katolik berkenaan nasib dan takdir?

    [dari Katolisitas: Penjelasan mengenai perbedaan nasib dan takdir menurut ajaran Gereja Katolik dapat Anda ikuti dalam artikel di atas, silakan klik, dan silakan bertanya lagi bila masih ada yang belum jelas]

  7. Syaloom Katolisitas,

    Saya ada pertanyaan ttg takdir.

    Ketika itu teman saya tidak mau kuliah setelah lulus STM karena ketidakmampuan, dia memilih untuk memberikan kesempatan kuliah kepada adiknya yang perempuan. Waktu itu ada test utk beasiswa.

    Dia ikut ambil kesempatan itu, siapa tau. Dan saingannya adalah yang salah terbaik di kelas dia. Jadi dia agak ragu, tapi tetap dia bawa dalam doa dan berusaha sebaik mungkin.

    hasilnya dia mendapat beasiswa itu dan saingannya tidak mendapat (biasanya nilainya perfect selalu), karena hari ujian itu dia melakukan kesalahan kecil sehingga nilainya kalah oleh teman saya.

    Apakah campur tangan Tuhan yang menyebabkan saingannya melakukan kesalahan?

    Terima kasih

    Gbu

    • Shalom Leonard,

      Terima kasih atas pertanyaannya tentang takdir. Dalam kasus yang anda sebutkan, tidak mungkin ada yang yang tahu persis akan jawaban dari pertanyaan anda. Yang dapat kita pegang adalah, kita harus melakukan bagian kita sesuai dengan akal budi dan kebijaksanaan yang diberikan oleh Tuhan. Dan sisanya, Tuhan yang akan berkarya dan membukakan jalan. Lebih daripada ini, maka semuanya hanyalah perkiraan yang sulit dibuktikan kebenarannya. Kita mengingat apa yang dikatakan oleh rasul Paulus kepada jemaat di Roma “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (lih. Rom 8:28) Semoga dapat memperjelas.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

      • Shaloom Pak Stef,

        Terima kasih atas jawabannya,, saya hanya berpikir apakah kesalahan2 yg kita perbuat adalah campur tgn Tuhan jg. Karena dr kasus itu seakan2 Tuhan campur tgn sehingga si saingan melakukan kesalahan sehingga tidak lulus.

        Tapi harus nya tidak, karena kalau bgtu sama saja kita menyalahkann Tuhan kalau kita jatuh ke dalam dosa.

        Terima kasih atas jawabannya Pak Stef.

  8. Shalom Bu Ingrid

    Di sini saya ingin mendapatkan penjelasan arti sebenarnya tentang ‘karunia penglihatan’, dan bedanya apa karunia penglihatan dengan ramalan; konteknya adalah, saya pernah mendapatkan penjelasan tentang tingkatan roh di sekeliling kehidupan kita (maksudnya roh di udara dan penjelasan tsb bukan ajaran dari gereja), sehingga apabila seseorang memiliki tingkatan kebatinan yang lebih tinggi, orang tsb bisa melihat segala hal/kejadian dari pihak2 yg lebih rendah kebatinannya….

    Sebagai contoh, saya penah tahu bahwa seorang anak kecil berusia 6 tahun bisa mempunyai penglihatan2 tertentu yang tidak bisa dilihat secara kasat mata…mengapa demikian ? Juga ada seorang dukun yang tadinya mempunyai keahlian meramal setelah bertobat menjadi Kristen malah dikatakan mempunyai karunia penglihatan (hal ini membingungkan saya).

    Saya mohon penjelasan pengajaran gereja Katolik ttg apakah karunia penglihatan yang sebenarnya..
    Terima kasih

    Salam.
    Felix Sugiharto

    • Salam Felix Sugiharto,

      Dalam 1 Kor 12:8-10 kita menemukan karunia-karunia Roh Kudus. Namun di situ tidak disebut karunia penglihatan. Dalam Gereja Katolik, alih-alih karunia penglihatan, yang sering terdengar adalah penampakan. Memang, karunia untuk mendapatkan penampakan fisik/kasat mata (vision) Yesus, Bunda Maria, atau pribadi-pribadi surgawi tidak mustahil dialami oleh manusia. Gereja sendiri pernah meneliti penampakan-penampakan oleh Bunda Maria yang terbukti otentik seperti yang dialami (dilihat secara kasat mata) oleh Bernadette Soubirous tahun 1858 di Massabielle, dekat Lourdes, dan penampakan-penampakan lainnya. Namun, jangan dilupakan, bahwa ada orang yang mengaku ditampaki setan. Nah, apakah karunia penglihatan yang Anda maksud adalah penglihatan dalam arti penampakan seperti di atas ataukah penglihatan dalam arti “kebatinan” (misalnya melihat masa depan seseorang, melihat peristiwa di masa depan) ? Karena “meramal” dan “melihat” tentu saja lain. Pertanyaan yang Anda ajukan merupakan ranah pembahasan yang tidak mudah dicari jawabannya. Maafkan jika kami mohon agar Anda sudi memperjelasnya untuk membantu tanggapan kami pula.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

      • Shalom Romo.

        Terima kasih tanggapan Romo..
        Tentang karunia penglihatan yang saya tanyakan seperti 3 contoh yang saya berikan di bawah ini
        1. Seorang umat Katolik yang anaknya masih berusia 6 tahun, ketika datang ke rumah kami.. dapat melihat roh yang mendiami di dalam rumah tsb, bagi saya, memang merasakan kurang nyaman jika mendatangi lokasi yang ditunjuk oleh si anak tsb, hal tsb disampaikan orang tuanya bahwa si anak mempunyai karunia penglihatan..
        2. Seorang Romo dikenal di kalangan umat PDKK, dikatakan mempunyai karunia penglihatan, namun konteks yang dibicarakan adalah Romo tersebut dapat memberikan gambaran seseorang yang berkonseling untuk keadaan beberapa waktu mendatang (keadaan ini bagi saya seperti kebatinan dan melihat kejadian masa depan).
        3. Seorang pendeta yg dahulunya diakuinya bisa meramal (dukun santet), setelah bertobat menjadi pendeta dan tersiar bahwa mendapat karunia2 penglihatan dari Tuhan sehingga banyak orang berkonseling kepadanya…

        Dari ke 3 contoh kasus di atas, membuat saya bertanya2 di mana perbedaan (pengertian) antara karunia penglihatan, kebatinan, dan meramal (melihat kejadian masa yg akan datang), sebab dikatakan mempunyai karunia penglihatan namun mengapa yang dibahas adalah peristiwa2 seperti meramal (kebatinan), mohon pencerahannya dari Romo. Terima kasih.

        Salam
        Felix Sugiharto

        • Salam Felix Sugiharto,
           
          Penglihatan yang Anda maksud itu memang sering rancu, kabur dan sukar dipertanggungjawabkan perbedaannya dengan ramalan. Pengalaman “penglihatan” seperti itu pastilah subjektif. Menurut pengalaman, sering pula orang lain terjebak dalam tipuan dari orang yang mengaku mendapatkan penglihatan seperti itu. Sebenarnya, kita harus bertanya kepada orang yang mengaku mendapatkan penglihatan itu sehingga kita bisa menarik  “objektivasi” dari pengalamannya yang “subjektif” itu: yaitu sejauh mana penglihatan itu bisa dipertanggungjawabkan di luar soal “kepercayaan subjektif”. Ramalan sendiri jelas ditolak oleh Gereja Katolik. Berkonsultasi dengan “medium” atau cenayang yang  mengaku mampu meramal masa depan pun dilarang (KGK 2116).
           
          Namun saya mencoba  untuk menjawab mengenai “penglihatan batin” serta bedanya dengan “ramalan “serta “nubuat” ini. Mari kita mengacu pada Kitab Suci dan pengalaman para kudus (santa-santo).
           
          Penglihatan, menurut Kitab Suci dan pengalaman santo-santa, selalu mengarah ke misteri keselamatan Allah. Penglihatan oleh seseorang juga kadang disertai “penampakan kasat mata” dari Yang Ilahi, dan sering pula berupa “mimpi”. Misalnya penglihatan pada Abraham (Kej 15), pada Yusuf anak Yakub/Israel (Kej 46:), pada Samuel (1Sam 3); pada Natan (2Sam 7), pada Ayub (Ayb 33), kesaksian pemazmur (Mzm 89:20); pada Yesaya (Yes 1, 22, 28, 29); pada Yehezkiel (Yeh 1, 8, 40); pada Daniel (Dan 1, 2, 10); pada Yoel (Yl 2); pada Obaja (Ob 2); pada Yusuf suami Bunda Maria; Petrus (Kis 2:17); pada Yohanes (Why).

          Penglihatan terjadi pada waktu orang terjaga (sadar), sedangkan mimpi terjadi ketika orang tidur. Pada zaman sekarang pun tidak mustahil seseorang mendapatkan karunia penglihatan dari Allah. Namun sebagaimana dalam Kitab Suci, karunia di sini bukanlah karunia dalam arti “kemampuan melihat suatu penampakan ilahi secara kasat mata”, melainkan  karunia atau anugerah saat itu saja. Bisa saja orang yang sama mendapatkannya lagi dan lagi, namun tetaplah karunia, bukan “kemampuan” yang bisa dipelajari. Misalnya anugerah ini diberikan kepada Santa Veronika Yuliani (RIP 9 Juli 1727). Beliau diberi rahmat penglihatan rohani dan nubuat (Mgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM, Orang Kudus Sepanjang Tahun, disunting oleh: Drs. Michael Benyamin Mali, Penerbit OBOR, cetakan ke-VII, bulan Mei 2004. Hlm. 339). Banyak santa dan santo dalam Gereja kita dianugerahi penglihatan dan nubuat ini.

          Jadi, penglihatan ialah suatu tanda dari Allah kepada manusia yang Ia kehendaki untuk melihatnya dengan tujuan agar membawa orang makin menghayati misteri keselamatan Allah itu sendiri. Hasilnya ialah damai sejahtera, keselamatan, iman akan Kristus dalam Gereja-Nya makin kuat dan bertumbuh, serta menjadi pejuang kekudusan bagi komunitas. Allah sendiri akan memberi penjelasan mengenai arti penglihatan itu (Dan 8: 15-17). Jadi, penglihatan lain sekali dari ramalan. Ramalan akan masa depan harus ditolak.
           
          Namun kita mengenal Nubuat. Dari 1 Kor 14, kita tahu bahwa nubuat ialah pengertian akan misteri ilahi yang akan datang maupun masa kini. Jadi, nubuat  selalu berhubungan mengenai misteri ilahi dan rencana keselamatan Allah melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus khususnya dengan situasi hidup nyata kita. Seperti halnya penglihatan, nubuat pun selalu mengenai rencana Allah yang menyelamatkan itu terhadap diri kita manusia. Biasanya bukan merupakan hal yang sangat detil, melainkan suatu inspirasi untuk bertindak agar karya Allah makin dimuliakan. Pengertian akan yang misteri ini diberikan Allah langsung, dengan cara yang mengatasi kemampuan kita. Lihatlah tanya jawab mengenai perbedaan ramalan dan nubuat di artikel ini, silahkan klik
           
          Jadi, jelas sekali berbeda antara penglihatan dan ramalan. Beda pula ramalan dan nubuat. Penglihatan dan Nubuat sama-sama dari Allah. Semoga membantu.
           
          Salam
           
          Yohanes Dwi Harsanto Pr

  9. Shalom Bu Ingrid

    Mohon pencerahannya ttg ayat 1 Timotius 5: 1-16. apakah yang dimaksudkan dgn ‘janda-janda yang benar-benar janda’ ? dan mengapa janda-janda didaftarkan pada masa itu seperti yg disinggung dalam ayat2 diatas..?
    Terima kasih

    Salam.
    Felix Sugiharto

    • Shalom Felix,

      Terima kasih atas pertanyaannya tentang 1 Tim 5:1-6. Janda-janda yang benar-benar janda (ay. 3) adalah janda yang ditinggal sendiri (ay.5) dan tidak mempunyai anak dan cucu (ay.4). Dalam bab 5 dan 6, rasul Paulus memberikan nasihat kepada Timotius bagaimana memperlakukan orang tua dan kaum muda, janda, tetua dan budak. Dan di bab 5 ditunjukkan bagaimana janda-janda membutuhkan bantuan dan dukungan: Janda yang memiliki anak dan cucu harus didukung oleh keluarga mereka sendiri (ay.4); Janda-janda yang masih muda dapat menikah kembali (ay.14); dan janda-janda yang telah tua yang tidak mempunyai anggota keluarga harus didukung oleh gereja lokal (ay.16) Mengapa perlu didaftar? Ada dua kemungkinan: (a) Karena janda-janda yang benar-benar janda adalah mereka yang mendapatkan dukungan dari gereja, maka gereja harus tahu siapa saja yang menerima dukungan mereka, (b) adanya satu kelompok yang beranggotakan janda dengan kaul tertentu yang ada pada masa gereja awal, dengan karakter yang baik (ay.10), dan setia terhadap kaul mereka (ay.12), seperti yang juga ditegaskan oleh St. Polycarp dan St. Ignatius Smyrn Semoga penjelasan singkat ini dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  10. Bu Ingrid ytk,
    Sering kali pada waktu orang meninggal misalnya, ada orang yang mengatakan karena melihat kenyataan, orang mengatakan bahwa orang itu meninggal karena penanganan P3K yang sangat lambat. Tapi ada juga yang menyatakan “sudah waktunya”, maksud orang itu waktunya memang sudah ditentukan Tuhan kapan meninggalnya, namun cara meninggalnya itu karena kesalahan manusia.
    Terima kasih, Bu.

    Billy

    • Shalom Billy,

      Kematian itu bagi manusia seperti misteri, sebab datangnya seperti pencuri (lih. 1 Tes 5:2,4). Namun bagi Tuhan hal itu bukanlah misteri, sebab Tuhan telah mengetahui segala sesuatunya yang telah, sedang atau akan terjadi pada setiap manusia, walaupun Ia sendiri tidak menakdirkannya. Dalam artian, jika sampai ada faktor ‘kesalahan manusia’ seperti kecelakaan, atau pertolongan P3K yang terlambat, itu juga sudah diketahui oleh Tuhan, walaupun bukan Tuhan yang merencanakan musibah itu. Jika sampai ‘kecelakaan’ tersebut terjadi, artinya Tuhan mengijinkan hal itu terjadi yang membawa orang yang bersangkutan untuk berpulang. Sering kali bagi manusia kematian yang datang tiba- tiba itu mengejutkan (jika dibandingkan dengan kematian seseorang yang memang sudah lama sakit), namun bagi Tuhan tidak ada yang mengejutkan, karena Ia telah mengetahui segala sesuatunya. Pada akhirnya kita harus menerima bahwa Tuhanlah yang empunya hidup kita: Dia-lah yang memberi kita karunia kehidupan di dunia, Dia pula yang berhak mengambilnya kembali. Kita hanya berdoa, jika saatnya tiba bagi kita, Tuhan mendapatkan kita siap menghadap-Nya, dengan melakukan tugas kita seturut kehendak-Nya (lih. Mat 24:46, Luk 12:43)

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

  11. trima kasih atas penjelasannya..dan penjelasan tersebut cukup membuat saya thu, akan tetapi kenapa anda tidak menjelaskan apa itu “takdir” yang dijelaskan hanya “nasib” jadi tolong dijelaskan pengertian takdir itu sendir.tq Gbu

    • Shalom Hendra,

      ‘Takdir’ yang tidak diajarkan oleh Gereja Katolik adalah pengertian bahwa segala sesuatu yang terjadi pada manusia itu telah ditentukan oleh Tuhan. Pengertian semacam ini menganggap bahwa sejak awalnya Allah secara aktif menentukan orang- orang tertentu untuk masuk surga dan sebagian orang- orang lainnya masuk neraka. Definisi takdir macam ini tidak diajarkan oleh Gereja Katolik. Gereja Katolik mengajarkan bahwa sejak awalnya Allah menghendaki semua orang untuk diselamatkan /masuk surga (lih. 1 Tim 2:4). Namun untuk diselamatkan, diperlu juga kerjasama dari orang itu sendiri dengan kehendak Allah itu. Nah, karena Tuhan Maha tahu, sudah sejak awalnya Ia tahu bahwa sebagian orang akan bekerjasama dengan-Nya dengan mengikuti kehendak-Nya sehingga dapat masuk surga, sedangkan sebagian orang yang lain yang menolak-Nya sehingga tidak selamat/ masuk neraka.

      Untuk lebih memahami hal ini kita mengacu kepada ajaran dari St. Thomas Aquinas, yang membagi kehendak Allah menjadi dua jenis, yaitu Antecedent will dan Consequence will, yang penjelasannya sudah saya sebutkan di atas.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  12. Shalom Bu Ingrid,
    mungkin perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian “takdir” ini. Apa yang dimaksud dengan “takdir”? Seseorang kapan lahir atau mati atau dia dilahirkan sebagai lelaki atau perempuan atau siapa orang tuanya atau kakak/adiknya, bukankah dia tidak bisa memilih dan sudah ditentukan oleh Tuhan. Pengertian “takdir” ini mungkin perlu dibedakan dengan “nasib”. Untuk “nasib” memang kita sendiri yang menentukan, namun “takdir” (seperti contoh diatas) adalah Tuhan yang menentukan. Kita memang sering mencampuradukkan (salah kaprah) pengertian “takdir” dengan “nasib”.
    Mohon penjelasan. Terima kasih.

    [dari katolisitas: sudah dijawab – silakan klik]

Comments are closed.