[Hari Minggu Prapaskah II: Kej 12:1-4; Mzm 33:4-22; 2Tim 1:8-10; Mat 17:1-9]
Injil hari ini mengisahkan tentang Yesus yang dimuliakan di atas gunung, enam hari setelah Ia memberitahukan para murid-Nya bahwa Ia akan menanggung banyak penderitaan, dibunuh oleh karena para imam kepala dan orang Farisi, namun akan dibangkitkan pada hari ketiga (lih. Mat 16:21). Perkataan Yesus tentang sengsara dan wafat-Nya ini sangatlah membuat para murid berduka, dan mungkin juga bertanya-tanya. Namun kemudian Yesus mengajak Rasul Petrus, Yakobus dan Yohanes untuk berdoa bersama-Nya di gunung Tabor. Di sana mereka melihat Yesus berubah rupa, dimuliakan dalam terang yang mengagumkan, bersama dengan Nabi Musa dan Elia. Para rasul itu tidak pernah melupakan kenangan manis ini yang diberikan oleh Yesus di tengah kegalauan hati mereka. Bahkan bertahun-tahun kemudian, Rasul Petrus menuliskan kenangan ini dalam suratnya kepada Gereja, sebagai kesaksian untuk meneguhkan iman jemaat: “Kami menyaksikan…. suara dari yang Maha mulia… “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (lih.2 Pet 1:17-18). Maka Gereja memiliki pengharapan bahwa Kristus akan datang kembali dalam kemuliaan. Tak mengherankan jika St. Leo Agung mengajarkan, “Tujuan utama dari Transfigurasi adalah untuk menghalau kegelisahan dalam jiwa para murid akan kekejaman penyaliban Kristus.”
Pandangan akan kemuliaan Tuhan, memberikan kebahagiaan kepada para Rasul itu. Saking bahagianya, Rasul Petrus ingin membangun tiga buah tenda bagi Yesus, Nabi Musa dan Elia, mungkin agar kebahagiaan itu berlangsung lebih lama. Namun, Injil Lukas yang juga memuat kisah ini, menyatakan, “Tetapi Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya itu.” (Luk 9:33). Mungkin baru setelah kebangkitan Yesus, kenaikan-Nya ke Surga dan atas bimbingan Roh Kudus, para Rasul mengetahui bahwa kebahagiaan sesungguhnya tidak tergantung dari berada di tempat ini atau itu, namun pada keterpautan jiwa kita dengan Tuhan Yesus. Jika kita berpaut pada Yesus, tidaklah menjadi masalah, apakah hidup kita sedang berjalan mulus, atau tidak; apakah kita sedang sehat, atau sedang sakit. Tuhan Yesus menopang kita, dan akan selalu menyertai dan menghibur kita. Ia menghendaki agar pengharapan akan kemuliaan surgawi yang dijanjikan-Nya, dapat memberi semangat kepada kita, untuk menjalani hidup ini. Kristus menghendaki agar kita menajamkan mata rohani kita, supaya kita dapat melihat Dia dalam diri orang-orang di sekeliling kita: suami, istri, anak- anak kita; ataupun dalam diri orang-orang yang kita jumpai setiap hari, dan terutama, yang membutuhkan pertolongan kita. Sukacita yang dialami dalam doa bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk melarikan diri dari tugas dan kesulitan sehari-hari. Justru maksud Tuhan adalah agar kita memperoleh kekuatan baru untuk menghadapinya bersama dengan Dia, dan menemukan makna hidup kita.
Mungkin baik di sini kita belajar dari seorang yang bernama Martha Robin (1902- 1981). Ia adalah seorang wanita kelahiran Châteauneuf-de-Galaure, Perancis, yang sangat taat dan beriman. Di usia 16 tahun ia jatuh sakit yang membuatnya koma selama 20 bulan. Setelah sadar, penyakitnya malah memburuk, dan membuatnya lumpuh, sampai wafatnya. Ia bahkan tidak dapat menelan sehingga tidak dapat makan dan minum. Adalah suatu misteri tersendiri bahwa Martha dapat hidup tanpa makanan selama 50 tahun, kecuali dari Ekaristi. Kondisinya ini kemudian diperiksa oleh beberapa dokter, salah satunya seorang dokter atheis, bernama Paul Louis Chouchoud. Dr. Chouchoud mendapat izin dari uskup setempat untuk menyelidiki keadaan Martha. Setelah mengamati dengan seksama, Dr. Chouchoud mengkonfirmasi bahwa Martha memang mengalami lumpuh total sehingga tidak dapat menelan air walaupun hanya setetes saja. Namun yang tak dapat dijelaskan adalah, tulis Dr. Chouchoud, saat Martha menerima Komuni kudus. Dia tidak dapat menelan ‘Hosti’ tersebut, sebab otot tenggorakannya tidak dapat bergerak, namun Hosti itu dapat lewat secara misterius melalui bibirnya yang tertutup menuju saluran kerongkongannya. Martha tidak dapat makan makanan atau minuman duniawi apapun, namun ia tidak dapat hidup tanpa Ekaristi.
Bagi Martha, menerima Ekaristi adalah sesuatu yang terpenting. Setelah Komuni, ia tenggelam dalam keadaan suka cita yang tak terkatakan. Martha mengalami penghiburan Terang Tuhan dalam Ekaristi, yang menghalau kegelapan hidupnya sebagai seseorang yang nampak tak berdaya. Kristus memampukan Martha untuk mempersembahkan hidupnya untuk mendoakan ribuan orang yang mengunjunginya. Kata-kata sederhana yang keluar dari bibirnya yang nyaris tidak dapat bergerak itu dapat mengubah hidup mereka. Martha membawa banyak orang kepada Kristus. Kesaksian hidupnya menunjukkan bahwa tidak ada suatu penyakit, kesesakan, atau kuasa apapun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus (lih. Rom 8:35-39), yang suatu saat nanti akan menyambut kita dalam Terang-Nya yang abadi.
Mungkin kita tidak lumpuh, dan masih bisa menelan dengan normal…, tapi apakah mata hati kita terbuka seperti Martha, sehingga kita dapat mengalami Terang Tuhan yang memberi pengharapan, dalam Ekaristi?
Dear bu Ingrid dan pak Stef
Saya mau tnya mengenai Roma 5:1-5, disitu ada kata2, “…Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Rm 5:1-5)
Nah bagaimana caranya bu Ingrid dan Pak Stef agar tetap menjaga pengharapan itu meski dirundung mslh berat?
Terima kasih sblmnya
Shalom AndyKur,
Kita memiliki pengharapan karena Kristus yang menjanjikan penyertaan dan pertolongan-Nya, adalah Allah yang setia. Walaupun dapat terjadi ada masalah datang bertubi-tubi dalam kehidupan kita, kita tetap dapat berpegang kepada janji Tuhan bahwa Ia tetaplah Allah yang berjalan menyertai kita dan tidak akan meninggalkan kita di tengah kesukaran kita (lih. Ul 31:6). Sebab betapapun besar masalah dan penderitaan kita, kita belum sampai pada mencucurkan darah (lih. Ibr 12:4). Karena itu kita tetap dapat memperoleh peneguhan dengan memandang kepada Salib Kristus, sebab Kristus telah lebih dahulu mengalami penderitaan yang terbesar, sebelum mencapai kemenangan kebangkitan-Nya. Maka jika kita menyatukan penderitaan kita dengan penderitaan Kristus, Kristuspun akan membantu kita untuk bangkit bersama- sama dengan Dia. Kita dapat menyatukan diri kita dengan Kristus dengan doa-doa, seperti doa Rosario merenungkan peristiwa kehidupan Yesus, Jalan Salib, dan doa-doa pribadi lainnya. Kita dapat pula merenungkan janji-Nya yang dinyatakan dalam Sabda-Nya dalam Kitab Suci. Namun cara yang terbaik adalah dengan mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, di mana peristiwa sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga, dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus.
Romo Felix pernah menuliskan doa dalam pergumulan, silakan klik. Mungkin Anda dapat mendaraskannya, dan semoga Anda memperoleh kekuatan yang dari Tuhan. Semoga tangan Tuhan yang kuat menopang Anda selalu dan memberikan pengharapan yang teguh kepada Anda di tengah kesulitan yang sedang Anda hadapi.
Teriring doa dari kami di Katolisitas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih bu Ingrid utk jawaban dan doanya. Semoga Tuhan memberkati bu Inggrid selalu
Bu Inggrid saya ingin bertanya lg bu, romo kan sudah diberi kuasa oleh Tuhan utk mengampuni dosa, kalau begitu apakah setiap kali saya melakukan dosa harus diakukan ke romo? Apabila dosa-dosa yg kita lakukan hanyalah dosa kecil, tidak bisakah bu kita langsung minta maaf ke Tuhan?
Mohon pencerahannya bu, terima kasih
Shalom AndyKur,
Memang yang disyaratkan untuk diakui dalam sakramen Pengakuan Dosa, pertama-tama adalah dosa berat (mortal sins), karena dosa berat itu menghancurkan kasih, dan dengan demikian merusak hubungan kita dengan Tuhan. Sedangkan dosa-dosa ringan tidak menghapuskan kasih namun melemahkannya/ melukainya. Maka dosa-dosa ringan ini dapat kita akui dalam doa-doa pribadi dan juga di dalam perayaan Ekaristi (terutama pada saat pendarasan Kyrie/ Tuhan kasihanilah). Namun demikian, adalah baik dan dianjurkan Gereja, agar kita juga mengakukan dosa-dosa ringan dalam sakramen Pengakuan, karena jika dosa-dosa ringan ini terus menerus dilakukan dengan sengaja, maka dosa tersebut berpotensi untuk menjadi dosa berat juga.
Berikut ini dasarnya:
KGK 1855 Dosa berat merusakkan kasih di dalam hati manusia oleh satu pelanggaran berat melawan hukum Allah. Di dalamnya manusia memalingkan diri dari Allah, tujuan akhir dan kebahagiaannya dan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih rendah. Dosa ringan membiarkan kasih tetap ada, walaupun ia telah melanggarnya dan melukainya.
KGK 1863 Dosa ringan memperlemah kebajikan ilahi, kasih; di dalamnya tampak satu kecondongan yang tidak teratur kepada barang-barang ciptaan; ia menghalang-halangi bahwa jiwa mengalami kemajuan dalam pelaksanaan kebajikan dan dalam kegiatan kebaikan moral; ia mengakibatkan siksa-siksa sementara. Kalau dosa ringan dilakukan dengan sadar dan tidak disesalkan, ia dapat mempersiapkan kita secara perlahan-lahan untuk melakukan dosa berat. Tetapi dosa ringan tidak menjadikan kita lawan terhadap kehendak dan persahabatan Allah; ia tidak memutuskan perjanjian dengan Allah. Dengan rahmat Allah, ia dapat diperbaiki lagi secara manusiawi. Ia tidak “mencabut rahmat yang menguduskan dan mengilahikan, yakni kasih serta kebahagiaan abadi” (RP 17).
“Selama manusia berziarah di dalam daging, ia paling sedikit tidak dapat hidup tanpa dosa ringan. Tetapi jangan menganggap bahwa dosa yang kita namakan dosa ringan itu, tidak membahayakan. Kalau engkau menganggapnya sebagai tidak membahayakan, kalau menimbangnya, hendaknya engkau gemetar, kalau engkau menghitungnya. Banyak hal kecil membuat satu timbunan besar; banyak tetesan air memenuhi sebuah sungai; banyak biji membentuk satu tumpukau. Jadi,.harapan apa yang kita miliki? Di atas segala-galanya pengakuan” (Agustinus, ep.Jo.1,6).
KGK 1394 Seperti halnya makanan jasmani perlu untuk mengembalikan lagi kekuatan yang sudah terpakai, demikianlah Ekaristi memperkuat cinta yang terancam menjadi lumpuh dalam kehidupan sehari-hari. Cinta yang dihidupkan kembali ini menghapus dosa ringan (Bdk. Konsili Trente: DS 1638). Kalau Kristus menyerahkan Diri kepada kita, Ia menghidupkan cinta kita dan memberi kita kekuatan, supaya memutuskan hubungan dengan kecenderungan yang tidak teratur kepada makhluk-makhluk dan membuat kita berakar di dalam Dia.
“Karena Kristus telah wafat untuk kita karena cinta, maka setiap kali kita merayakan peringatan akan kematian-Nya, kita mohon pada saat persembahan, agar cinta itu diberi kepada kita oleh kedatangan Roh Kudus. Kita mohon dengan rendah hati, supaya berkat cinta, yang dengannya Kristus rela wafat untuk kita, kita pun setelah menerima rahmat Roh Kudus, memandang dunia sebagai disalibkan untuk kita dan kita sebagai disalibkan untuk dunia…. Marilah kita, karena kita telah menerima cinta itu secara cuma-cuma, mati untuk dosa dan hidup untuk Allah” (Fulgensius dari Ruspe, Fab. 28,16-19).
KGK 1458 Pengakuan kekurangan sehari-hari, yakni dosa-dosa ringan, sebenamya tidak perlu, tetapi sangat dianjurkan oleh Gereja (Bdk. Konsili Trente: DS 1680; CIC, can. 988, 2) Pengakuan dosa-dosa ringan secara teratur adalah suatu bantuan bagi kita, untuk membentuk hati nurani kita melawan kecondongan kita yang jahat, membiarkan kita disembuhkan oleh Kristus dan bertumbuh dalam hidup rohani. Kalau kita dalam Sakramen ini sering menerima anugerah belas kasihan Allah, Ia lalu mendorong kita, agar kita sendiri juga berbelaskasihan seperti Dia (Bdk. Luk 6:36).
“Siapa yang mengakukan dosanya, sudah bekerja sama dengan Allah. Allah menggugat dosa-dosamu; kalau engkau juga menggugatnya, engkau bergabung dengan Allah. Manusia dan pendosa, seakan-akan harus dibedakan: kalau berbicara tentang manusia, Allahlah yang menciptakannya; kalau berbicara tentang pendosa, manusialah yang menciptakannya. Robohkanlah apa yang telah engkau ciptakan, supaya Allah menyelamatkan, apa yang Ia ciptakan… kalau engkau mulai jijik akan apa yang engkau ciptakan, mulailah karya-karyamu yang baik, karena engkau menggugat karya-karyamu yang buruk. Pengakuan akan karya-karyamu yang buruk adalah awal karya-karyamu yang baik. Engkau melakukan kebenaran dan datang ke dalam terang” (Agustinus, ev. Jo. 12,13).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ohhh oke bu, terima kasih utk jawabannya bu. GBU
Comments are closed.