Home Blog Page 98

Berkat Dari Cobaan

3

Teriknya mentari di atas perumahan Citra Raya- Tangerang serasa membakar kulit. Aku mengunjungi sebuah keluarga yang pernah didera kepahitan hidup yang seakan tanpa setitik lentera yang dapat menuntun langkahnya.  Keluarga itu tinggal di sebuah ruko yang berfungsi sekaligus sebagai sebuah bengkel untuk menopang hidupnya. Ruko mereka itu bukan sekedar sebagai tempat tinggal dan usaha, tetapi sarat kenangan bagaimana Tuhan melepaskan mereka dari  persoalan kehidupan yang hampir melumpuhkan harapan mereka. Ruko itu telah dibasahi dengan air mata bertahun-tahun lamanya sebelum Tuhan memenuhinya dengan canda dan riang. Itulah janji Tuhan yang senantiasa ditepatiNya : “Pada waktu itu anak-anak dara akan akan bersukaria menari beramai-ramai, orang-orang muda dan orang tua akan bergembira. Aku akan mengubah perkabungan mereka menjadi kegirangan, akan menghibur mereka dan menyukakan mereka sesudah kedukaan  mereka” (Yeremia 31:13). Siapa yang bertahan, dialah yang akan mencapai kemenangan.

Gonjang – ganjing ekonomi merupakan awal jalan Tuhan mengangkat keluarga  itu jauh lebih tinggi dari apa yang diimpikannya. Goncangan ekonomi terjadi ketika bapak kepala keluarga itu menjadi grosir oli. Teman dekatnya tidak mampu membayar oli-oli yang telah diambilnya sampai menunggak lima ratus juta rupiah. Karena kredit macet ini, ia pun tidak bisa membayar barang-barang grosir yang telah diambilnya dengan sistem “ambil barang dulu dan bayar kemudian”. Hatinya sungguh mulia  dalam menghadapi problema berat : “Biarlah orang berbuat jahat terhadapku dan aku tidak akan membalasnya”. Ia menjual rumahnya sebagai satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalannya. Uang dari hasil penjualan rumah itu sebagian ia gunakan untuk membayar uang muka sebuah ruko dan sebagian lagi ia gunakan untuk membayar kewajibannya terhadap bos olinya. Tanpa disadari ternyata hasil bengkel di rukonya itu mampu menuntaskan segala kewajibannya setelah enam tahun  berjalan.  Ruko itu kini sudah menjadi miliknya.  Ia mensyukuri apa yang terjadi ketika  merenungkannya  dalam terang iman: “Andaikan tidak terjadi persoalan keuangan itu, ia mungkin tidak akan pernah memiliki ruko yang sekarang ini tak terjangkau oleh orang biasa. Rencana Tuhan memang indah pada waktunya”.

Meskipun Tuhan telah menyelesaikan perkaranya, keping-keping luka itu tetap menganga di dalam dirinya. Virus-virus keraguan dan kegalauan telah menjalar dalam darahnya.  Keluh kesah kadang-kadang terlontar dengan sendirinya : “Tuhan, aku tak sanggup  kalau  persoalan ini terjadi lagi”.  Ternyata memulihkan semangat hidup tidaklah semudah membalik telapak tangan.  Ia sering melamun karena terkenang masa silam yang kelam. Di dalam hatiku, aku berkata : “Teman, aku datang karena ingin berdoa bersamamu. Percayalah bahwa Tuhan akan menyembuhkanmu. Jangan biarkan masa lalumu mengoyakkan jiwamu. Jangan biarkan kekelaman di masa silam menghancurkan harapan di pelataran pikiranmu”. 

Jawaban Tuhan untuk menyembuhkan luka batinnya terjadi melalui perbuatan yang luar biasa dan tak terduga dari anaknya yang berusia enam tahun. Dengan masih memakai  seragam sekolahnya warna biru, ia berlari menyambut kedatanganku dengan memelukku. Ia kemudian membawa bangku kecil kepadaku : “Romo, duduk ya?”. Layaknya orang dewasa,  ia kemudian mengambilkan teh botol bagiku. Ia kemudian lari ke arah papanya yang sedang termangu sambil memberikan uang lima ribu rupiah, uang sakunya hari itu : “Pa, aku tak perlu uang. Papa, pakai saja uang ini untuk dagang?” . Perbuatannya yang lugu dan lucu membuat semua merasa terharu. Aku pun bangga dengan anak perempuan yang masih kecil itu karena aku yang membaptisnya tiga tahun  lalu.  Ia bangkit dan berkata : “Hati anakku yang mulia ini mendorongku untuk bangkit. Tuhan pasti menyertai jalanku”. Ia, istrinya, yang dari Gereja Bethani,  dan anak-anaknya  bersama denganku bergandengan tangan dalam doa untuk mensyukuri anugerah semangat baru. Lagu “Indah BersamaMu” terasa bermakna di kalbu :

 

Hanya dekat Bapaku rasa tenang hatiku
Kau sertai jalanku   s’panjang hidupku
Hanya dekat Bapaku ada kekuatan baru
Kaulah perlindunganku   kes’lamatanku

Ku ingin s’lalu bersekutu denganMu
Menikmati hadirat-Mu
Biarkan Roh-Mu tinggal dalam hidupku
Sungguh indah bersamaMu selamanya


Anugerah terindah dari lembah kelam yang ia telah lewati adalah penyertaan Tuhan  menjadi yang utama dalam keluarganya. Dekat dengan Tuhan merupakan segalanya. Doa Rosario bersama menjadi pembuka dan penutup hari, bahkan diikuti juga oleh istrinya yang bukan Katolik.  Adorasi jam suci, pada Kamis malam menjelang Jumat Pertama, di Gereja Odilia Citra Raya –Tangerang menjadi kerinduan hati karena menjadi sumber kelegaan jiwa.

Kini keluarganya menjadi sangat bahagia. Kepahitan dan keresahan hidup di masa silam bagaikan kerikil dan bebatuan yang terangkai rapi membentuk bait Allah yang kokoh dan kuat. Di sanalah tempat kasih terjalin dan terikrar. Di sanalah jiwa yang gelap diteranginya, luka dibalutnya, dan duka disembuhkannya. Di sanalah tertawa riang dan tangisan haru menjadi alunan musik yang berpadu.

 

Pesan yang indah untuk dihayati : Selalu tersedia senyuman di setiap air mata,  berkah di setiap cobaan, dan jawaban di setiap doa. Karena itu, jangan terlena dalam kesedihan, kekecewaan, dan luka, ketika Tuhan tidak memberi apa yang kita harapkan karena Tuhan sedang merajut yang terbaik bagi kita.

 

Tuhan Memberkati

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

 

Paus Fransiskus: Adakah yang menangis hari ini untuk para imigran?

2

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus saat mengunjungi kota Lampedusa untuk menyatakan solidaritasnya bagi para imigran:

Para imigran mati di laut, dalam perahu – perahu  yang merupakan kendaraan-kendaraan harapan dan menjadi kendaraan-kendaraan kematian. Demikian berita utama di surat – surat kabar. Ketika saya pertama kali mendengar tragedi ini beberapa minggu yang lalu, dan menyadari bahwa itu semua terjadi terlalu sering, itu terus datang kembali pada saya seperti duri yang menyakitkan dalam hati saya. Jadi saya merasa bahwa saya harus datang ke sini hari ini, untuk berdoa dan menyatakan tanda kedekatan saya, namun juga untuk menantang hati nurani kita agar tragedi ini jangan sampai terulang. Tolong, jangan biarkan itu terulang! Pertama, bagaimanapun, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan dorongan yang tulus kepada kalian, orang-orang Lampedusa dan Linosa, dan kepada berbagai asosiasi, relawan, dan aparat keamanan yang terus melayani kebutuhan orang-orang yang sedang melakukan perjalanan menuju masa depan yang lebih baik. Kalian hanya sedikit orang, namun kalian menawarkan sebuah contoh solidaritas! Terima kasih! Saya juga berterima kasih kepada Uskup Agung Francesco Montenegro untuk semua bantuannya, upaya-upayanya dan pelayanan pastoralnya yang teliti. Saya menyampaikan salam yang tulus kepada Walikota Giusi Nicolini: terima kasih banyak atas apa yang telah dilakukan dan yang sedang dilakukannya. Saya juga memikirkan dengan penuh kasih para imigran Muslim yang malam ini mulai puasa Ramadhan, yang saya percaya akan menghasilkan buah spiritual berlimpah. Gereja berada di sisi kalian saat kalian mencari kehidupan yang lebih bermartabat untuk diri kalian sendiri dan keluarga-keluarga kalian. Untuk semua dari kalian: O’scia!

Pagi ini, dalam terang sabda Allah yang baru saja diwartakan, saya ingin menawarkan beberapa pemikiran yang dimaksudkan untuk menantang hati nurani orang-orang dan menuntun mereka kepada refleksi dan perubahan hati yang konkret.

“Adam, di manakah kau?” Ini adalah pertanyaan pertama yang Allah tanyakan kepada manusia setelah dosanya. “Adam, di manakah kau?” Adam kehilangan arahnya, tempatnya dalam penciptaan, karena dia berpikir dia bisa menjadi kuat, mampu mengendalikan segala sesuatu, untuk menjadi Allah. Keharmonisan hilang; manusia telah keliru dan kesalahan ini terjadi kembali terulang lagi juga dalam hubungan-hubungan relasi antar sesama yang lain. “Yang lain itu” bukan lagi seorang saudara atau saudari yang patut dicintai, tetapi hanya seseorang yang mengganggu hidup saya dan kenyamanan saya. Allah mengajukan pertanyaan kedua: “Kain, di manakah saudaramu?” Ilusi akan menjadi kuat, akan menjadi hebat seperti Allah, bahkan akan menjadi Allah sendiri, mengarah kepada seluruh rangkaian kesalahan-kesalahan, sebuah rantai kematian, bahkan sampai menumpahkan darah seorang saudara!

Dua pertanyaan Allah ini menggema bahkan hingga hari ini, sedemikian kuat seperti biasanya! Berapa banyak dari kita, termasuk saya sendiri, telah kehilangan arah kita, kita tidak lagi memperhatikan dunia di mana kita hidup, kita tidak peduli, kita tidak melindungi apa yang Allah telah ciptakan untuk semua orang, dan kita akhirnya bahkan tidak mampu mempedulikan satu sama lain! Dan ketika umat manusia secara keseluruhan kehilangan arahnya, yang menghasilkan tragedi seperti halnya yang telah kita saksikan.

“Di manakah saudaramu?” Darahnya menangis kepadaKu, kata Tuhan. Ini bukan pertanyaan yang diarahkan kepada orang lain, itu adalah pertanyaan yang ditujukan kepada saya, kepada kalian, kepada masing-masing dari kita. Saudara-saudari dari kita ini telah sedang mencoba melarikan diri dari situasi-situasi sulit untuk menemukan ketenangan dan kedamaian, mereka sedang mencari sebuah tempat yang lebih baik bagi mereka sendiri dan keluarga-keluarga mereka, tetapi sebaliknya mereka menemukan kematian. Seberapa seringkah orang-orang semacam itu gagal menemukan pengertian, gagal menemukan penerimaan, gagal menemukan solidaritas. Dan tangisan mereka naik sampai kepada Allah! Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, orang-orang Lampedusa, atas solidaritas kalian. Saya baru-baru ini mendengarkan salah seorang dari saudara-saudara kita ini. Sebelum tiba di sini, dia dan yang lainnya hidup dari belas kasihan para penyelundup manusia, orang-orang yang mengeksploitasi kemiskinan orang lain, orang-orang yang hidup dari penderitaan orang lain. Berapa banyak orang-orang ini telah menderita! Beberapa dari mereka tidak pernah berhasil di sini.

“Di manakah saudaramu?” Siapa yang bertanggung jawab atas darah ini? Dalam literatur Spanyol kita punya komedi Lope de Vega yang menceritakan bagaimana orang-orang dari kota Fuente Ovejuna membunuh gubernur mereka karena dia adalah seorang tiran. Mereka melakukannya sedemikian rupa sehingga tidak ada yang tahu siapa pembunuh sebenarnya. Jadi, ketika hakim kerajaan bertanya: “Siapa yang membunuh gubernur?”, Mereka semua menjawab: “Fuente Ovejuna, Yang Mulia”. Semua orang dan tak seorang pun! Hari ini juga, pertanyaan itu harus diajukan: Siapa yang bertanggung jawab atas darah saudara dan saudari kita? Tidak seorang pun! Itu adalah jawaban kita: Bukan aku, aku tidak ada hubungannya dengan itu, itu pasti orang lain, tetapi tentu bukan aku. Namun Allah bertanya kepada masing-masing dari kita: “Di mana darah saudaramu yang menangis kepadaKu itu ?” Hari ini tidak seorangpun di dunia kita merasa bertanggungjawab, kita telah kehilangan rasa tanggung-jawab untuk saudara-saudara kita. Kita telah jatuh ke dalam kemunafikan imam dan orang Lewi yang digambarkan Yesus dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati: kita melihat saudara kita sekarat di pinggir jalan, dan mungkin kita katakan pada diri kita sendiri: “jiwa yang malang …!”, dan kemudian pergi meneruskan perjalanan kita. Ini bukanlah tanggung-jawab kita, dan dengan itu kita merasa diyakinkan, ditenangkan. Budaya kenyamanan, yang membuat kita hanya memikirkan tentang diri kita sendiri, membuat kita tidak peka terhadap tangisan-tangisan orang lain, membuat kita hidup dalam gelembung-gelembung sabun yang, bagaimanapun indahnya, tidak penting; mereka menawarkan ilusi singkat dan kosong yang mengakibatkan ketidakpedulian terhadap orang lain; memang, itu bahkan mengarah pada globalisasi ketidakpedulian. Dalam dunia global ini, kita telah jatuh ke dalam globalisasi ketidakpedulian. Kita telah menjadi terbiasa terhadap penderitaan orang lain: itu tidak mempengaruhiku, itu tidak memprihatinkanku, itu bukanlah urusanku!

Di sini kita bisa memikirkan tentang karakter Manzoni itu – “yang tidak disebutkan namanya”. Globalisasi ketidakpedulian membuat kita semua “tidak disebutkan namanya”, bertanggung jawab, namun tak bernama dan tak berwajah.

“Adam, di manakah kau?” “Di manakah saudaramu?” Ini adalah dua pertanyaan yang Allah tanyakan pada awal sejarah manusia, dan yang Ia juga tanyakan kepada setiap pria dan wanita di zaman kita sendiri, yang juga Ia tanyakan kepada kita. Tapi saya ingin kita mengajukan pertanyaan ketiga: “Apakah salah satu dari kita telah menangis karena situasi ini dan lainnya?” Apakah salah satu dari kita telah berduka atas kematian saudara-saudara dan saudari-saudari ini? Apakah salah satu dari kita telah menangis karena orang-orang yang berada di kapal itu? Karena ibu-ibu muda yang sedang membawa bayi-bayi mereka? Karena orang-orang yang telah sedang mencari sarana penunjang keluarga-keluarga mereka? Kita adalah masyarakat yang telah lupa bagaimana untuk menangisi, bagaimana untuk mengalami rasa iba – “menderita” dengan sesama lainnya: globalisasi ketidakpedulian itu telah mengambil dari kita kemampuan untuk menangis! Dalam Injil itu kita telah dengar tangisan itu, ratapan itu, ratap tangis yang besar itu: “Rahel menangis karena anak-anaknya … karena mereka tidak ada lagi”. Herodes menabur kematian untuk melindungi kenyamanannya sendiri, gelembung sabunnya sendiri. Dan begitu seterusnya … Mari kita mohon Tuhan untuk menghapus sifat Herodes yang bersembunyi di hati kita, marilah kita mohon kepada Tuhan akan rahmat untuk menangis atas ketidakpedulian kita, untuk menangis atas kekejaman dari dunia kita, dari hati kita sendiri, dan dari semua orang itu yang dalam anonimitas membuat keputusan-keputusan sosial dan ekonomi yang membuka pintu itu kepada situasi-situasi tragis seperti ini. “Telah adakah seorang menangis?” Hari ini telah adakah seorang menangis di dalam dunia kita ?

Tuhan, dalam liturgi ini, sebuah liturgi tobat, kita mohon pengampunan atas ketidakpedulian kita kepada begitu banyak saudara dan saudari kita. Bapa, kita mohon pengampunan-Mu bagi mereka yang terlena dan tertutup di tengah kenyamanan-kenyamanan yang telah mematikan hati mereka, kita mohon pengampunan-Mu bagi mereka yang oleh keputusan-keputusan mereka pada tingkat global itu telah menciptakan situasi-situasi yang mengarah pada tragedi-tragedi ini. Ampunilah kami, Tuhan!

Hari ini juga, Tuhan, kita mendengar Engkau bertanya: “Adam, di manakah kau?” “Di manakah darah saudaramu itu ?”

(AR)

Paus Fransiskus,

Lampedusa, 8 Juli 2013

Diterjemahkan dari : www.vatican.va

 

Doa Bersyukur Atas Berkat Pagi Hari

0

Bunga-bunga tersenyum menyambut kehangatan mentari  pagi hari.

Kupu-kupu menari-nari menyambut  fajar pagi.

Kurasakan cerahnya hari baru ini.

Itulah tanda kasih Tuhan setiap pagi.

Demikianlah cerahnya kasih Tuhan menerangi dan menyegarkan jiwaku di setiap pagi.

Kuangkat tanganku untuk bersyukur atas berkat-Mu yang berlimpah ini.

Kasih dan rahmat-Mu  senantiasa baru bagiku  setiap pagi ini.

Kusambut dengan sukacita atas indahnya berkat-Mu, Tuhan, pada pagi ini.

Amin

Ayat emas : Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya (Ratapan 3:22).

Oleh Pastor Felix Supranto,  SS.CC

 

Aku Disembuhkan Tuhan

4

Pada Jumat  malam , 20  September 2013, aku  tertunduk  lesu sepulangku dari Misa  arwah.  Tulang-tulangku terasa  pilu. Semua gara-gara kesulitan buang air kecil. Ketika hendak buang air kecil, aku merasakan sakitnya luar biasa sampai aku merangkak sambil meringis  untuk menahan sakit. Setiap aku  berusaha buang air kecil  akan  berakhir dengan tak sadarkan diri.

Sabtu pagi aku tahan rasa sakit yang tak terbayangkan ini untuk  memberkati  pengantin yang sederhana.  Setelah  perayaan Ekaristi, keringat dingin mengucur dari tubuhku dan wajahku pucat seperti mayat. Umatku pun membawaku ke IGD di  rumah sakit dalam keadaan setengah sadar.  Aku sempat bermimpi bahwa Tuhan Yesus Kristus  bersama empat  malaikatnya datang menjemputku : “Felix,  sekarang waktunya bagimu untuk beristirahat  bersama Aku?”.  Akan tetapi,  aku harus masuk melalui  terowongan yang sempit untuk sampai  ke tempat Tuhan Yesus itu.  Aku berkata kepada Tuhan : “Tuhan, saya belum berhasil  diet, sehingga tubuhku yang besar ini  akan kesulitan untuk masuk ke dalam terowongan  kecil ini”. Setelah  mengatakan hal itu, aku siuman. Dokter mengatakan  bahwa aku harus dirawat inap. Aku menolaknya secara halus.  Dalam hatiku aku berkata kepada Tuhan : “Tuhan, jangan aku diopname sekarang karena besok adalah hari Minggu. Aku harus merayakan Misa bagi umat kesayanganku”.

Hari Senin pagi  aku sudah tak berdaya. Badanku dingin dan keringat mengalir seperti habis berlari. Kaki dan tanganku lemas. Tensi darahku di bawah seratus. Aku pun pasrah digotong ke rumah sakit. Kateter pun dipasang di tubuhku. Dalam waktu beberapa menit, kantong kateter dipenuhi dengan air seni 800 mg. Setelah menjalani test PSA (Prostat),   prostatku membengkak besar sekali sampai 18 cm dari ukuran normal. Dokter  urologi memutuskan bahwa saya harus menjalani biopsi karena kemungkinan mengidap penyakit kanker prostat. Biopsi bisa dilakukan kapan saja ketika aku sudah siap. Aku terkulai lemas membayangkan sebagai  seorang yang menderita kanker.  Bayang-bayang akan sakitnya  tusukan besi kecil dan jarum ke dalam tubuhku untuk mengambil sel prostat dalam biopsi menghantuiku. Aku berdoa : “Tuhan, aku kini bagaikan sekuntum mawar yang telah patah tangkainya. Daunku pun berguguran helai demi helai. Tuhan, topanglah rantingku dan tegakkan lagi sehingga kurasakan hangatnya mentari. Daunku pun akan bersemi kembali menjadi mawar baru yang segar nan indah penghias taman hati”.  

Tuhan adalah penopangku. Dialah kekuatanku. Pada hari  Kamis, permintaanku untuk pulang dari rumah sakit dikabulkan walaupun harus tetap mengenakan kateter untuk beberapa hari lagi. Alasan sebenarnya adalah bahwa aku telah berjanji untuk menikahkan pengantin yang telah mempersiapkannya begitu lama. Aku tidak mau membuat mereka dilanda kekalutan yang akan merusakkan kebahagiaan mereka sehingga aku tidak mengatakan keadaanku yang sebenarnya. Esok harinya, Sabtu 28 September 2013, dengan badanku yang masih lemah,  aku pergi ke Katedral untuk memberkati pernikahan yang bersejarah. Temanku yang telah aku anggap sebagai saudaraku menuntun langkahku dan menjagaku agar tidak jatuh karena bisa lumpuh.

Aku mengikat kateter di kakiku serta  mengenakan sarung dan jubahku dan itu menjadi pengalaman pertamaku sebagai pastor dalam sebuah Misa. Perayaan pernikahan selama satu jam setengah terasa begitu lama karena keadaanku semakin lemah. Semakin lama  kakiku semakin terasa berat karena ternyata kateterku sudah mulai penuh dengan air seni. Ketika sampai pada upacara  doa “pemberkatan pengantin” menjelang akhir Misa, aku rasanya sudah tidak sanggup lagi mengeluarkan  sepatah kata. Kepalaku berputar-putar dan aku hampir jatuh. Bisikan suara Bunda Maria terdengar lembut : “Felix, sebentar lagi upacara akan selesai dan pengantin ini akan  senantiasa memuliakan Allah”.  Tidak tahu dari mana kekuatan itu datang, aku dapat menyelesaikan secara lengkap upacara pernikahan. Ketika aku memberitahukan kepada pengantin itu bahwa aku baru pulang dari perawatan rumah sakit, mereka meneteskan air mata haru.

Hari Senin, 01 Oktober 2013, aku datang lagi ke dokter urologi. Perkembangannya bagus. Keteter dilepas. Buang air kecil  lancar. Akan tetapi, biopsi tetap harus dijalankan. Aku harus minum obat untuk mengecilkan pembengkakan prostat selama sembilan bulan. Aku membelinya  untuk sebulan agar bisa kontrol ke dokter secara teratur.

Sebelum mengambil keputusan untuk sebuah tindakan biopsi, saya mencari second opinion (pendapat lain) dari dokter urolologi yang lain. Dokter itu mengatakan bahwa obat pengecil pembengkakan prostat  itu jangan diminum dan dalam dua minggu akan diambil  test PSA. Kuasa Tuhan bekerja. Di dalam Dia ada penyembuhan. Kuasa Tuhan sungguh nyata. Mukjizat-Nya terjadi. Hasil test PSA yang diambil tanggal 16 Oktober 2013 sangat baik. Prostatku normal, yaitu 1.92 cm dari batas normal 4 cm. Dalam waktu lima menit, dokter mengatakan bahwa aku telah sembuh secara ajaib. Tidak ada kanker. Tidak perlu biopsi. Tidak perlu tindakan medis apapun. Tidak perlu minum obat. Tuhan telah memulihkanku seperti sediakala.

Tuhan senantiasa memenuhi janji-Nya : “Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan” (Yohanes 11: 4). Aku tersungkur di kaki-Nya  dalam sebuah doa syukur :

 

Tuhan, Engkau telah menghadirkan senyuman mentari yang berseri.

Engkau telah meneteskan embun yang menyejukkan hati.

Berkat-Mu telah menegakkanku lagi.

 

Pesan indah yang penuh makna : Tuhan tahu batas rasa sakit yang bisa engkau tanggung. Jangan sampai engkau menyerah di saat selangkah lagi Tuhan mengganti kesakitan dengan sejuta keindahan.

“Terimakasih Tuhan, Engkau memperkenankan aku melayaniMu lagi”. Lagu “Kuasa-MU Bekerja” mengiringi setiap langkah pelayananku :

 

Betapa ku mengasihiMu Yesus
Hanya Kau satu-satunya Allahku
PadaMu kumenaruh semua pengharapanku

Betapa ku yakin akan janji-Mu
Firman-Mu bekerja dalam jiwaku
Ku hanya akan menyembahMu
Sepanjang hidupku

chorus

Di saat ku menyembahMu, kuasa-Mu bekerja
Hatiku dipulihkan, tubuhku disembuhkan
Biar hadirat-Mu terus bersamaku
Ku tahu Engkau t’lah menyembuhkanku

ending

Biar hadirat-Mu terus bersamaku
Ku tahu Engkau t’lah menyembuhkanku
Ku tahu Engkau t’lah menyembuhkanku
Ku tahu Engkau t’lah menyembuhkanku


Tuhan Memberkati

 

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

 

 

 

Tuhan Memang Top

0

Pagi berganti siang, siang berganti pagi, tetapi cinta Tuhan senantiasa indah dan penuh makna.  Cinta Tuhan yang senantiasa ada terungkap dari pengalaman seorang ibu empat anak. Aku mengenal lebih dalam ibu itu dan suaminya dalam retret keluarga yang aku berikan tiga tahun silam. Ia datang bersama rombongan dari Paroki Trinitas –Cengkareng, untuk mengunjungiku setelah sekembaliku dalam perawatan di rumah sakit.

Tuhan membentuknya melalui jalan yang berliku. Kalau Tuhan sudah mau, tidak ada yang bisa berlagu. Kelimpahan materi  pernah ia rasakan. Kelimpahan jasmani ternyata tidak membahagiakan. Sepatah renungan yang kebetulan terdengar dari Oase Rohani di sebuah radio “Setelah mendapatkan segalanya di dunia, what next (apa yang akan engkau lakukan kemudian”) telah membuka kesadarannya sampai lesu.

Di dalam kehampaan hati,  ia meminta sopirnya membawa ke sebuah Gereja. Ia diantar ke Gereja Trinitas – Cengkareng. Ia melangkah menuju ke altar dan menangis tersedu-sedu karena merasakan kehadiran  Tuhan. Seluruh hidupnya berubah dan memberikan dirinya dibaptis. Sejak itu ia menjadi satu-satunya orang Katolik di keluarga besarnya. Inilah jalan Tuhan yang memanggilnya menjadi  murid Tuhan dalam Gereja Katolik. Seandainya sopirnya itu membawanya ke gereja lain, ia tentu akan menjadi anggota gereja itu.

Sejak  dibaptis, kejadian-kejadian buruk dalam pandangan daging terus menimpa dirinya. Ia jatuh dari lantai tiga  yang membuat tangan dan tulang panggulnya patah sehingga tubuhnya penuh dengan besi titanium. Operasi besar selama tiga belas jam dijalaninya. Masa depannya terancam dengan kelumpuhan . Ia terbaring lemah di rumah sakit dengan kateter yang dipasang dalam tubuhnya selama sebulan.  Selama tiga bulan ia ditopang kruk untuk berjalan. Dalam keadaan tak berdaya, ia masih mengucap syukur bahwa kejadian ini menimpa dirinya dan bukan pembantunya : “Tuhan, seandainya kecelakaan ini terjadi dengan pembantunya, alangkah kasihan dia karena pasti tidak mempunyai biaya untuk memulihkan  hidupnya”. Usahanya pun tidak sebaik sebelumnya. Orang-orang yang  tidak menyetujuinya menjadi Katolik mencibirnya : “Itulah akibatnya kalau menjadi Katolik”.

Namun, ia bisa melihat karya Tuhan di balik penderitaan karena ia telah hidup menjadi ciptaan baru dalam Roh. Satu nilai yang ia hidupi : “Aku bisa tabah menghadapi kepahitan ini pasti berkat topangan tangan Tuhan. Kekuatan-Nya nyata justru di dalam keperihan”. Di dalam keterbatasan fisiknya, ia sangat bahagia karena bisa mengurus ayah mertuanya, yang bukan seorang Katolik” , yang terserang  kanker sumsum belakang selama delapan tahun. Ia bersukacita dapat berdoa di samping ayah mertuanya  dan memberikan “tanda salib” di dahinya” sebagai sebuah pelayanan kasih nyata. Ayah mertuanya itu menyampaikan sebuah pesan terakhir kepadanya sebelum ia meninggal dunia belum lama ini : “Suamimu sebaiknya dibaptis”, karena pengalaman kasih yang tercurah darinya.  Tak disangka-sangka suaminya tiba-tiba mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang Katolik. Keinginannya itu juga disampaikan kepadaku melalui telepon seluler : “Mo, aku sudah  memutuskan untuk menjadi Katolik”.  Kini suami dan keempat anaknya sedang menantikan kelas persiapan menjadi orang Katolik (Katekumenat) di Paroki Trinitas – Cengkareng. Keluarganya yang telah mengenal Tuhan Yesus Kristus sebagai Sang Juru Selamat merupakan kebahagiannya di atas segalanya.

Tuhan Memang TOP .

“Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus nama-Nya: “Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk” (Yesaya 57:15).

Pesan indah yang perlu kita renungkan : “Tuhan tidak senantiasa memberikan apa yang kita pinta, tetapi senantiasa memberikan apa yang kita butuhkan”.

Tuhan memberkati.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

 

 

Hidup ini Indah

0

“Say No To Drug”

Hidup ini indah, bahkan  terlalu indah untuk dinodai  air mata.

Jangan biarkan hati terjerat resah yang membuka pintu bagi setan narkoba.

Setan narkoba jeli mencari peluang untuk memangsa yang lengah.

Sekali terperangkap setan narkoba, hidup pun  menjadi susah,  senantiasa merangkak di bawah kakinya, beku dan tanpa nyawa.

Untuk itulah, Wanita Katolik Republik Indonesia Cabang  Paroki Santa  Helena Lippo Karawaci  pada tanggal 27 Oktober 2013 mengadakan seminar dengan tema “Hagailah Hidupmu dengan Katakan  “Say No To Drug”  dalam rangka peringatan  Hari Sumpah Pemuda.

Peranku dalam seminar itu adalah sebagai pembicara bersama Kombes Ketut, aparat keamanan yang ramah, dan Ibu Esther, dokter spesialis jiwa yang penuh keibuan.

Lebih dari seratus orang tua dan anak datang dengan antusias karena sadar bahwa hidup mereka di bawah  bayangan  siluman narkoba yang  menuntunnya  untuk masuk ke dalam jurang kematian.

 

Kesaksian seorang ibu dari  kedua  anak pencandu  narkoba terasa pilu terdengar.

Satu dari anaknya meninggal dengan tulang kering kerontang dan wajah tanpa aura.

Ia tidak mengenal kata “menyerah” dalam usaha membebaskan anak-anaknya dari belenggu narkoba.

Air mata menjadi santapannya siang malam.

Segala yang ada dalam dirinya telah dikerahkan karena cinta kepada anak-anaknya.

Satu hal yang menguatkan adalah janji Tuhan bahwa  ia akan menjadi pemenang :

“Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang,  oleh Dia yang telah mengasihi kita”  (Roma 8:37).

Kesaksiannya mengingatkan banyak anak muda bahwa hari-harinya masih panjang.

Banyak harapan  di masa depan.

Jangan  sampai disia-siakan  hanya dengan narkoba.

Karena itu,  mari katakan “Say no to drug”.

Keluarga bahagia dan Firman Tuhan merupakan bentengnya.

Tuhan memberkati.

 

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab