Home Blog Page 95

Apa makna ‘barang yang kudus’ dalam Mat 7:6?

5

Berikut ini adalah penjelasan tentang ayat Mat 7:6, “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.”

1. Menurut Haydock’s Commentary:

“Jangan memberikan apa yang kudus, barang-barang yang kudus, kepada anjing: yaitu orang-orang yang tak bermoral ataupun yang tidak percaya, siapapun yang tidak layak untuk mengambil bagian di dalam misteri-misteri ilahi dan sakramen, yang akan menyalahgunakannya dengan sakrilegi, dan menginjak-injaknya dengan kaki mereka, seperti babi menginjak mutiara. Misteri-misteri kudus harus tidak diberikan kepada mereka yang tidak cukup diberi pengajaran tentang maknanya yang luhur; ataupun kita tak harus mengadakan persekutuan agama apapun dengan mereka yang memusuhi kebenaran-kebenaran Kristus, yang mereka injak-injak dengan kaki mereka dan memperlakukannya dengan penghinaan, dan akan jauh sekali dari menjalin persahabatan dengan kamu ….”

2. Menurut A Catholic Commentary on Holy Scripture, Dom Orchard, ed:

“Tapi penilaian yang bijaksana dari sikap batin saudara-saudara kita kadang diperlukan, seperti ketika, misalnya, terdapat bahaya profanasi sakrilegi. Kurang bijaksananya dalam hal-hal itu dapat mengubah sikap acuh menjadi kebencian, sehingga secara tak perlu membahayakan sesama kita, melukai diri kita sendiri, menghamburkan apa yang berharga dan sakral. Sepertinya, Tuhan kita berbicara, tentang kebijaksanaan dalam menjelaskan misteri-misteri Kerajaan; Ia sendiri kemudian Mat 13:10-15, menunjukkan contohnya. Prinsip ini diterapkan di Gereja awal (lih. Didache, 9, 5), terhadap hal tidak diberikannya Ekaristi kudus kepada mereka yang belum dibaptis. Tuhan kita membandingkan ketidakbijaksanaan tersebut dengan memberikan barang-barang yang suci kepada binatang-binatang buas yang berbalik kepada sang pemberi dengan ganasnya. Pembandingan ini adalah secara umum. Kita tidak selayaknya menghubungkan ‘babi’ dengan bangsa-bangsa pagan, atau menghubungkan ‘anjing’ dengan orang-orang Kristen yang telah meninggalkan Gereja, ataupun menganggap istilah itu sebagai suatu penghinaan. Binatang-binatang tersebut secara bersama-sama mewakili mereka yang tidak menghargai agama; pembedaan mereka semata-mata hanya penggambaran dan gaya penyampaian dengan cara paralelism/ perbandingan Semitik….”

3. Menurut tulisan yang diatributkan kepada St. Yohanes Krisostomus, sebagaimana dikutip dalam Catena Aurea, ed. St. Thomas Aquinas:

“… Tuhan memerintahkan kepada kita untuk mengasihi musuh-musuh kita dan untuk berbuat baik kepada mereka yang menentang kita. Dari sini, para imam tidak perlu terbebani untuk membagikan juga hal-hal ilahi kepada mereka. Ia berkata…, “Janganlah memberikan apa yang kudus kepada anjing”, maksudnya adalah untuk mengatakan bahwa, Aku memerintahkan kamu untuk mengasihi musuh-musuhmu dan berbuat baik kepada mereka dari benda-benda milikmu yang bersifat sementara, tetapi bukan dari benda-benda rohani-Ku, tanpa pembedaan. Sebab mereka adalah saudara-saudaramu menurut kodrat, tetapi tidak menurut iman, dan Tuhan memberikan benda-benda yang baik di kehidupan ini secara merata kepada mereka yang layak dan tidak layak, namun tidak demikian halnya dengan rahmat-rahmat rohani.”

“Apa yang kudus” menandai Baptisan, rahmat dari tubuh Kristus dan sejenisnya; tetapi misteri-misteri kebenaran adalah yang dimaksudkan dengan mutiara. Sebab sebagaimana mutiara diselubungi dengan cangkang dan terletak di kedalaman laut, demikianlah misteri-misteri ilahi yang diselubungi dengan kata-kata tersimpan dalam arti yang mendalam dari Kitab Suci.”

Bagaimana memahami arti “duduk di sebelah kanan Allah Bapa”?

3

Syahadat para Rasul menyebutkan bahwa kita percaya akan Kristus…. “yang naik ke Surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang Mahakuasa…”

Ada sejumlah orang yang mempertanyakan arti kalimat ini, sebab dengan Kristus duduk di “sebelah kanan Allah” maka sepertinya ada dua Allah yang dibicarakan di sini. Bagaimana memahami istilah ini? Mari mengacu kepada penjelasan St. Thomas Aquinas, sebab pertanyaan/ keberatan serupa juga pernah ditanyakan kepadanya. Yaitu: 1) Kalau Allah adalah Roh (Yoh 4:24) dan tidak bertubuh, maka bagaimana mungkin istilah “duduk di sebelah kanan” dapat digunakan di sini, sebab “duduk” itu mengacu kepada sikap tubuh. 2) Kalau dikatakan bahwa Kristus duduk di sisi kanan, artinya Bapa duduk di sisi kiri Kristus, sepertinya tidak mungkin demikian….

St. Thomas Aquinas menjawab keberatan/ pertanyaan ini, dengan mengacu kepada teks Kitab Suci, Mrk 16:19: “Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke sorga, lalu duduk (kathizō) di sebelah kanan Allah.”

“Saya menjawab, kata “duduk (kathizō)” mempunyai arti ganda; yaitu “tinggal (abide)” seperti dalam ayat Luk 24:49, “Tetapi kamu harus tinggal  (kathizō) di dalam kota ini sampai kamu diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi,” dan juga “kuasa kerajaan/ pemerintahan”, sebagaimana dalam Ams 20:8: “Raja yang bersemayam (kathizō ) di atas kursi pengadilan dapat mengetahui segala yang jahat dengan matanya.” Nah, dalam kedua arti inilah Kristus dikatakan “duduk” di sisi kanan Allah Bapa. Pertama-tama, sebab Ia tinggal secara kekal dan tak tergantikan dalam kebahagiaan Allah Bapa, maka Ia disebut sebagai tangan kanan-Nya, menurut Mzm 16:11, “…di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa.” Maka St. Agustinus mengatakan (De Symb. i), “Duduk di sebelah kanan Allah Bapa’: Duduk artinya tinggal, seperti kita mengatakan tentang siapapun: ‘Ia duduk di negara itu selama tiga tahun’: Maka, percayalah, bahwa Kristus tinggal di sebelah kanan Allah Bapa: sebab Ia bahagia dan tangan kanan Bapa adalah istilah bagi nikmat-Nya.” Kedua, Kristus dikatakan duduk di sebelah kanan Allah Bapa, karena Ia berkuasa bersama Bapa, dan mempunyai kuasa memerintah dari Dia, seperti seseorang yang duduk di sebelah kanan raja membantu sang raja dalam memerintah dan menghakimi. Maka St. Agustinus mengatakan (De Symb. ii): “Dengan istilah ‘tangan kanan’, pahamilah kuasa yang diterima oleh Orang ini yang dipilih Allah, sehingga dapat datang untuk mengadili, yang dulunya datang [ke dunia] untuk diadili.

Jawaban untuk keberatan 1): Sebagaimana dikatakan oleh St. Damaskinus (De Fide Orth. IV): “Kita tidak berbicara tentang sebelah kanan Allah Bapa sebagai sebuah tempat, sebab bagaimanakah mungkin sebuah tempat ditandai sebagai sebelah kanan-Nya, padahal DiriNya sendiri berada mengatasi segala tempat? Sebelah kanan dan kiri merupakan sesuatu yang ditentukan oleh suatu batasan. Namun kita mengartikan, sebelah kanan Allah Bapa, sebagai kemuliaan dan penghormatan bagi Allah.

Jawaban terhadap keberatan 2): Argumen ini baik seandainya ‘duduk di sebelah kanan’ itu diartikan secara lahiriah. Oleh karena itu St. Agustinus (De Symb. i) mengatakan: “Jika kita menerimanya dalam arti jasmani bahwa Kristus duduk di sebelah kanan Allah Bapa, maka Bapa akan duduk di sebelah kiri. Tetapi di sana”, yang adalah kebahagiaan/nikmat kekal, “itulah tangan kanan, sebab tak ada kesengsaraan di sana.”….” (Summa Theology III, q. 58, a.1)

Dengan penjelasan ini, kita mengetahui bahwa Gereja mengartikan istilah ‘duduk di sebelah kanan Allah Bapa’ tidak terbatas dengan pengertian kata duduk sebagaimana kita pahami pada dua orang yang duduk bersebelahan. Karena kata ‘duduk’ sendiri mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar meletakkan tubuh kita sedemikian di kursi/ tempat duduk. Maka Yesus dikatakan ‘duduk’  di sebelah kanan Allah Bapa, karena Ia tinggal bersama-sama Bapa dan mempunyai kuasa kepemimpinan, yang diterima-Nya dari Allah Bapa.

Spiritualitas Penderitaan

4

Membaca judul artikel ini bisa membuat kita berpikir dan bertanya. Apakah sebuah penderitaan itu memiliki makna sehingga ada semangat yang bisa dihidupi? Kata spiritualitas itu sendiri sudah menggelitik untuk diolah dan diperdalam, seolah-olah sudah menjadi konsumsi publik seperti harga kacang goreng yang bisa ditempatkan di mana-mana. Secara singkat, bagian pertama dari artikel ini akan memberikan gambaran karakter khas dari sebuah spiritualitas bercorak Katolik hingga tiba pada sebuah pemahaman pada kehidupan sebagai sebuah liturgi yang hidup dan berkenan kepada Allah.

Bagian kedua akan memperdalam mengenai makna derita – penderitaan. Ada begitu banyak pemahaman dan konsep. Dalam tulisan ini akan dilihat dan dikritisi arti penderitaan dari sudut pandang kesehatan.

Kitab Suci sebagai sebuah pedoman dasar kita, akan memberikan pengalaman-pengalaman tentang penderitaan yang direfleksikan dari sudut pandang kita tentang Allah. Bagaimana pergulatan para tokoh dalam Perjanjian Lama dan Baru menghadapi misteri penderitaan ini… bahkan Yesus pun, Putra Allah yang hidup, juga mengalami hal yang sama di atas kayu salib.

Sebagai penutup, akan diilustrasikan tentang tahap-tahap spiritualitas penderitaan yang dilalui oleh dua orang mistikus penderitaan: Chiara Badano dan Concetta Bertolli.

 

1. Spiritualitas


Berbicara tentang spiritualitas, kita bisa belajar memahami maknanya berangkat dari para Bapa Gereja hingga abad VI. Bagi mereka, kehidupan rohani berlindung di dalam bidang kehidupan interior. Pemahaman ini diteruskan oleh para pujangga kehidupan rohani pada abad keemasan Spanyol, seperti St. Theresa dari Avila, St. Ignasius dari Loyola dan St. Yohanes dari Salib. Mereka lebih menitikberatkan lika-liku afektif yang dialami manusia dalam kehidupan interior, terlebih doa.

Tidak mengherankan bila di zaman keemasan ini, mereka banyak memperkenalkan sebuah kehidupan di dalam Roh, sebuah formasi kehidupan rohani dalam bentuk praktek-praktek kesalehan, devosi, latihan rohani, doa dll.  Apa yang mereka ajarkan itu berangkat dari praktek hidup sehari-hari dan kembali kepada praktek yang konkrit, atau dari praktek kehidupan jemaat beriman kepada pemahaman yang benar. Maka, ada kesatuan antara praksis dan teori di dalam tulisan-tulisan mereka, tidak sekedar sebuah diskursus teologis yang mengambil bentuk saintifik.

Dengan demikian, kata kunci unuk memahami kata spiritualitas adalah pengalaman religius. Apa artinya? Kita bisa berangkat dari sebuah pengalaman kita sendiri dalam memupuk kehidupan rohani, misalnya dengan berdoa. Kontak yang kita buat dengan realitas transenden, Yang Ilahi, apakah cukup dengan sebuah persepsi afektif? Adakah sesuatu yang obyektif? Ataukah bentuk doa kita itu sekedar merupakan auto-konstruksi psikologis atau sebuah sublimasi naluri di bawah sadar, untuk bertemu dengan Yang Ilahi sesuai dengan konstruksi kesadaran kita? Pertanyaan dan pernyataan semacam ini bisa membawa kita pada sebuah reduksi psikologis tentang jati diri Allah sendiri.

Dalam hal ini, pengalaman religius memiliki obyektivitas dan subyektivitas. Dua hal ini saling bersitegang secara dialektik. Perwahyuan obyektif dan pengalaman tentang subyek tetap merupakan sebuah realitas yang terbuka. Yang Ilahi yang kita imani sudah jelas sebagaimana diwahyukan oleh Yesus Kristus. Namun, untuk memahami yang obyektif ini, tidak bisa ditemukan sebuah metode unik, tunggal yang sanggup untuk merangkul semua perbedaan dan totalitas dari pengalaman iman masing-masing subyek. Bukankah kita semua lahir, dibesarkan dan bersosialisasi dalam konteks budaya yang berbeda-beda strukturnya? Maka, setiap perjumpaan dengan Allah itu menjadi sebuah perjumpaan yang autentik bila ada unsur transformasi diri, yang sering disebut dengan istilah Pertobatan. Kehidupan subyek akan menunjukkan karakter ini bila memang ada sebuah perjumpaan aku (manusia) dan Engkau (Yang Ilahi) secara autentik.

Maka, pengalaman rohani / pengalaman batin / pengalaman spiritual adalah sebuah pengalaman eksistensial, pengalaman bersejarah, progresif, dalam kontras dinamika ketegangan. Kita bisa mengambil dan mempelajari di tangan kita, pengalaman dari para orang kudus. Pergulatan mereka dan kesaksian mereka adalah sebuah contoh, model, dan bukan sebagai hukum universal yang harus dijalankan demikian. Dinamika pengalaman rohani mereka adalah sebuah partisipasi pada sebuah dinamika vital, yang mengarah kepada kepenuhan panggilan umum yang ditujukan kepada kita juga, yaitu dipanggil kepada kekudusan, panggilan kepada kesucian Allah. Di dalam panggilan ini, ada aspek-aspek yang berbeda tentang kekudusan dan di dalamnya, kehidupan rohani mengintegrasikan kehidupan manusia secara penuh dan utuh dalam perjumpaan dengan Allah.

Pendek kata, sebuah spiritualitas Katolik yang autentik itu selalu merujuk pada sebuah cakrawala Perwahyuan yang bercorak uniter di dalam Yesus Kristus, mempelajari pengalaman rohani masing-masing orang dalam konteks konkrit yang dihadapinya, mendeskripsikan perkembangannya serta mempelajari struktur-struktur dinamikanya. Spiritualitas ini menawarkan kesatuan dalam hidup, yang merupakan sebuah terjemahan yang bergulat tentang persoalan dan cara berpikir, bertindak, berdoa dan merayakan budaya kehidupan sehari-hari. Spiritualitas Katolik bukanlah ide, tapi keselarasan hidup dalam perjumpaan dengan Allah, sesama, diri sendiri dan alam semesta. St. Paulus merangkumkan ini kepada jemaat di Roma sebagai sebuah liturgi kehidupan demikian: Karena itu saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan hidupmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati (Rm 12:1)

 

2. Derita

Kata penderitaan adalah konsep relatif. Lingkup kita dipersempit pada soal kesehatan dan mistik kristiani, berangkat dari pengalaman biblis, liturgis dan spiritual.

Di satu sisi, ada sebuah pengalaman dimana seseorang yang sakit bisa merasakan bahwa semuanya okay. Atau di sisi lain, kita bisa juga bertemu dengan seseorang yang nampak sehat-sehat saja, tapi dirinya sendiri merasa ada saja sesuatu yang tidak beres.

Derita atau penderitaan kerap diasosiasikan dengan kesehatan fisik, penyakit. Konstitusi WHO memberikan sebuah deskripsi tentang kesehatan demikian: Kesehatan adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan kesejahteraan sosial; dan Tidak hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan (Konst. WHO). Kita bisa bertanya, mungkinkah ini terjadi? Gambaran yang diberikan WHO memberikan kesan sebuah situasi ideal yang tidak mungkin terealisasi dalam hidup sepenuhnya. Di sini, dimensi spiritual dan tanggung jawab pribadi seolah-olah tidak nampak.

Ada juga yang memberikan deskripsi tentang kesehatan pada tiga level. Pertama, dari segi fisik, orang yang sehat itu segala struktur fisiknya berfungsi dengan baik. Segala kebutuhan dasarnya bisa dijalankan secara normal. Kedua, dari segi psikis, orang yang tidak sehat bisa merasa bahwa dia sehat. Situasi afektif dan pemahaman pribadi tentang kesehatan yang dialaminyalah yang menentukan baik atau tidaknya seseorang. Pemahaman subyektif pada situasi sendiri semacam ini menjadi sebuah konsep yang amat relatif. Orang bisa merasa sehat, meski organnya sakit berat, karena kriteria subyektif pada penderita. Pemahaman ini mendapat kritikan dari kriteria yang obyektif berupa sistem perawatan kesehatan dari seluruh aspek kehidupan terhadap penyakit. Namun, konsep ini pun kerap berakhir pada pengobatan yang makin berpusat pada organ manusia, daripada manusianya sendiri. Pemutlakan pada sistem kesehatan sebagai sebuah kriteria tunggal pun menjadi sebuah pertanyaan untuk memberikan deskripsi tentang derita dan kesehatan. Ketiga, dari segi spiritual, lebih menekankan soal ada dalam keadaan baik. Deskripsi ketiga ini lebih mengarah pada dimensi spiritual, dalam konteks bahwa manusia menghidupi kehidupannya selaras dengan alam sekitar.

Pada level ketiga ini, konsep kesehatan ada dalam konteks lebih luas dan menciptakan program perencanaan hidup. Ada sebuah visi transendental di mana kehidupan itu lebih daripada kesehatan – penderitaan. Dia berusaha untuk menyadari penderitaan, menerimanya, dan mengolahnya dalam relasi dengan yang transenden. Maka, terbuka peluang sikap dasar lepas bebas (dalam konteks spiritualitas ignasian, Latihan Rohani 23). Contoh yang bisa kita ambil di sini adalah para mistikus. Kerap mereka merasa sehat, meski secara fisik bertentangan, karena mereka memiliki visi yang lebih luas dari keberadaan mereka.

 

3. Tradisi Kitab Suci

Bagaimana Kitab suci memberikan deskripsi dan pemahaman tentang penyakit dan penderitaan? Perjanjian Lama menyodorkan sebuah mitos tentang dosa.  Beberapa teks menggambarkan pemahaman tentang dosa ternyata lebih menarik perhatian daripada beban penderitaan yang harus ditanggung. Kita bisa melihat ini dalam pengalaman dialog Ayub dengan tiga sahabatnya.

Ada semacam trilogi yang mengatur kondisi manusia, yaitu tindakan bebas manusia, keadilan Allah, berkat atau kutuk sebagai efek sampingnya. Yang menjadi pusat perhatian adalah sikap manusia terhadap perjanjian: apakah manusia taat atau memberontak pada perjanjian itu?

Apakah Allah itu bertindak adil dengan memberikan hukuman kepada manusia? Tentang keadilan Allah, Bildad, dalam dialog dengan Ayub, mencoba untuk membela keadilan Allah, tapi mengatakan penilaian yang kurang tepat tentang Ayub. Jika kita mengakui kebenaran Ayub, maka Allah itu tidak adil. Sangat kuat di sini pemahaman logika hukum retributif. Maka, Ayub dibiarkan hidup, agar bisa bertobat dan ini akan mengubah sikap Allah. Namun, tidak selamanya cakrawala ini negatif. Cakrawala retributif ini pun pada kehidupan di masa datang merupakan penghiburan bagi penderitaan orang benar saat ini. Mereka meyakini bahwa Allah bisa berbalik membela mereka terhadap orang-orang yang bertindak jahat dan tidak adil kepada mereka.

Visi uniter tentang Allah, Adonai, yang memberi berkat atau kutuk menjadi kental ketika manusia itu taat atau melanggar perjanjian dengan Allah. Mari coba dibandingkan pengalaman Mzm 61:6 «Terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa, dan melakukan apa yang Engkau anggap jahat». Terhadap visi semacam ini, kita bisa bertanya, apakah doktrin keagamaan menyiksa penderita? Dari pengalaman Ayub, dia hanya mengharapkan belas kasih dari rekan-rekannya, bukan penjelasan religius tentang doktrin keagamaan. Dia sudah banyak menderita meski tidak bersalah. Apakah penderitaannya harus ditambah lagi dengan beban doktrin keagamaan yang mengatakan bahwa kalau orang itu menderita, berarti dia pasti bersalah kepada Allah, sesama dan alam semesta? Kalau dia tidak bersalah, apakah kita harus mencari-cari kesalahan di dalam keluarganya, di dalam diri nenek moyangnya bahwa itu merupakan sebuah dosa turunan? Apakah peneguhan atas derita sebagai akibat dari dosa itu harus dicari dan ditemukan dalam sejarah? Kalau begini, apa yang harus kita katakan tentang Yesus yang wafat di salib seperti para penjahat? Apakah dia juga penjahat yang berdosa? Seolah-olah ada sebuah tuduhan membisu di sini bahwa Allah (yang berdiam diri) bertanggungjawab atas kebahagiaan dan penderitaan manusia yang tidak bersalah. Benarkah demikian?

Persoalan penderitaan masih belum terselesaikan. Ketegangan antara hasrat kuat untuk sembuh dan retorika penebusan itu masih ada. Orang yang mengalami penderitaan, tentu berharap untuk segera sembuh. Bagaimana didamaikan dinamika ini dengan misteri Yesus yang menerima penderitaan sebagai bagian dari sejarahnya? Bagi Yesus pun, penyakit dan penderitaan masih merupakan bagian dari kematian. Melihat pengalaman salib demi pengalaman penderitaan itu sendiri tentu bukan sebuah salib yang menebus. Yesus tidak melihat salib sebagai sebuah tujuan akhir sejarah-Nya, melainkan sebagai sebuah jalan. Ketegangan antara jalan dan tujuan itu bisa digambarkan dengan sebuah cakrawala akan langit dan bumi yang baru sebagai pengharapan akan kehidupan kekal yang membahagiakan, serta doktrin kristiani primitif tentang salib sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan sebagai jalan menuju ke sana.

Pemahaman baru disodorkan oleh Yesus kepada kita. Dia tidak menjelaskan penyebab derita dan tidak menghubungkan derita dengan dosa. Dia justru menempatkan derita dalam karya keselamatan Allah dan mengambil penderitaan sebagai bagian hidup-Nya. Paradoks yang bisa kita lihat adalah di dalam Sabda Bahagia (Mt 5). Berbahagialah orang yang miskin, yaitu orang yang tidak bisa berada di tempatnya sendiri. Berbahagialah orang yang berdukacita dan meneteskan airmata, airmata adalah ungkapan pengampunan, tanda sesal, tanda cinta. Kita bisa melihat airmata dari ibu-ibu muda yang anak-anaknya menjadi martir di Betlehem karena Herodes yang tidak mampu berdiri tegak, tidak peka pada dirinya sendiri, kurang kecakapan kuasai diri dan merasa mulai tersingkir oleh kehadiran Yesus. Kita bisa juga kembali ke kisah aungan di Rama yang dikisahkan oleh Yeremia, karena Rahel menangis untuk semua anaknya dan tidak ingin dihibur lagi. Yesus juga mengangkat sabda Berbahagialah yang lapar, karena mereka akan dikenyangkan; yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajan Sorga. Juga Berbahgialah kamu, jika karena Aku, kamu dicela dan dianiaya.

Yesus membawa pembaruan relasi antara Allah dan bangsa Israel beserta dengan orang-orang yang menderita di sekitarnya. Dosa menjadi sebuah penderitaan ketika cinta diri meningkat sampai menjadi penghinaan terhadap Allah (S. Agustinus, de Civ. 14,28). Inilah yang menjadi beban dan penderitaan para pengikut Kristus.

Bagaimana hal ini menjadi konkrit? Paulus mencoba menjelaskannya dengan dirinya sendiri sebagai model. Sebagai seorang mantan pemburu berdarah dingin bagi para pengikut Kristus, ketika mewartakan Yesus dalam berbagai perjalanan misinya, dia menghadapi budaya kematian di sepanjang jalan yang dia tempuh. Bisa kita lihat pengalamannya di 1Kor 4:10-13, 2Kor 4:8-11, 11:23-29. Ada berbagai litani penderitaan dan tekanan yang dihadapinya seperti terabaikan, kelaparan, haus, kurang tidur, disiksa, dianiaya, telanjang, direndahkan… Kepada jemaat di Korintus dia pun menegaskan bahwa Setiap hari aku berhadapan dengan maut (1Kor 15:31). Seolah-olah bagi Paulus, kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Kristus (Rm 6:4)!

Namun di dalam pengalaman-pengalaman tersebut, dia merenungkan bahwa Kami yang hidup ini terus menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami (2 Kor 4:11). Dengan demikian makin nyatalah bahwa menderita karena Kristus adalah makanan sehari-harinya, karena Bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal 2:20). Demikianlah pengalaman Paulus.

Bagaimana dengan pengalaman ketiga orang yang disalibkan di atas bukit Golgota? Marilah kita meninjaunya dari sisi pengalaman kehidupan rohani.

Di sebelah kiri ada salib yang buram. Nampaknya kurang cahaya, berwarna agak gelap dan diwarnai dengan penolakan yang mendalam atas beban derita itu. Namun, meskipun menderita begitu hebat, salib ini tidak mencari relasi dengan orang yang disalibkan di Tengah. Dia bahkan memusuhi Yesus, meski sama-sama menderita (bahkan Yesus lebih menderita lagi)! Baginya, derita salib ini tidak ada maknanya sama sekali. Hanya kalau turun dari salib, maka dia dibebaskan dari neraka ini. Sayangnya, harapan itu tidak akan pernah terjadi. Kenyataan inilah yang membuat kita pahit, padahal dia dekat sekali dengan Salib Yesus!  Maka, kita pun bisa bertanya pada diri kita sendiri, berapa banyak  salib yang buram, salib tidak tertebus, salib yang kita tolak ada dalam sejarah kita? Berapa banyak penderitaan dan situasi yang membuat kita memberontak pada Allah? Apakah kita menjadi korban dari nasib yang buta dan tidak mengenali kehadiran Yesus yang ada dekat dengan kita?

Di sebelah kanan ada salib yang bercahaya. Salib ini berwarna cerah karena yang berdiri terpaku di atasnya mengakui pantas dan layak menerima salib itu. Dalam penderitaannya, dia justru sanggup melihat dan menilai penderitaan orang lain: Yesus tidak pantas menerima salib seperti dia! Orang yang terpaku itu, dalam sisa waktu yang dia miliki, mencoba sadar diri dan mencari jalan untuk bertemu Yesus yang tersalib. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebuah lilin untuk menerangi kegelapan. Di depan salib ini, kita harus berhenti lebih lama, untuk melihat dan mempelajari derita-derita kita dalam terang salib Yesus. Berapa lilin yang sudah kita nyalakan untuk menerangi kegelapan penderitaan kita?

Di antara dua salib, ada salib Yesus Kristus. Salib ini ada persis di tengah-tengah. Tidak jauh dari salib buram di sebelah kiri dan salib yang bercahaya di sebelah kanan. Ini mau mengatakan bahwa Di mana ada salib, ada penderitaan, di sana ada Yesus. Tidak diragukan lagi! Di dalam misteri penderitaan Yesus, kita bisa melihat inkorporasi penderitaan manusia dalam misteri penderitaan Anak Manusia.

Sebagai penutup, St. Fransiskus dari Sales pernah berkisah. Di Savoia, ketika para ibu-ibu dan remaja putri menimba air di sumur, mereka meletakkan potongan kayu kecil di permukaan air. Ketika ditanya mengapa, mereka menjawab: supaya air cepat tenang dan tidak banyak tetes-tetes air yang berjatuhan dan terbuang. Salib Yesus adalah potongan kayu itu. Semoga kita mengimani Dia sebagai penjamin, agar kita tetap tenang dalam setiap pencobaan hidup. Jika hatimu galau, letakkanlah Salib, maka engkau akan menemukan damai dan kekuatan.

 

4. Tahap-tahap mistikus penderitaan

Apa yang akan digambarkan di sini adalah sebuah pengalaman rohani aktual. Sebuah pengalaman yang merupakan bagian integral dari kisah hidup rohani seseorang. Dia menyadari dengan akal budi dan hati, cinta kasih Allah yang tidak terbatas. Kesadaran inilah yang menuntunnya secara perlahan dalam gerak tunas jagung yang baru tumbuh, sebuah sikap lepas bebas sebagai keterbukaan pada berbagai pilihan Kehendak Allah. Relasi dengan Allah lebih menentukan daripada kondisi fisik yang mereka alami. Bahkan, menerima penderitaan sebagai privilegi kekudusan personal merupakan sebuah anugerah untuk bisa mengidentifikasi dengan Yesus yang menderita. Tentu saja perjalanan rohani tidak pernah akan mulus. Autentisitas sebuah pengalaman rohani bisa dijumpai dalam malam kegelapan rohani. Malam ini bisa menjadi sebuah pertarungan yang hebat antara penderita dengan derita yang dialaminya, hingga dengan bantuan rahmat Allah, dia sanggup untuk berserah: “Ya, Yesusku”.

Mari kita melihat pengalaman para mistikus penderitaan ini, terutama dalam diri Concetta Bertolli dan Chiara Badano. Dengan menceritakan mereka, akan digambarkan pula makna setiap tahap yang mereka lalui.

 

4.1     Siapakah mereka?

Concetta Bertolli. dia lahir di Mereto di Tomba 14 April 1908 – 11 Maret 1956. Wafat setelah menderita selama 31 tahun. Mistikus ini menghidupi spiritualitas Fransiskan. Dia berasal dari keluarga miskin dan menggantungkan hidup dari ladang. Pada tahun 1924, usia 16 tahun, dia merasa gejala sakit yang hebat dari kepala sampai kaki. Para dokter memberikan diagnosis artrite nervosa deformante poliarticolare reumatica. Pada tahun 1930, Concetta tidak bisa bergerak sama sekali. Dia masih bisa melihat, mendengar, berbicara meski dengan rahang terkunci. Pada 7 September 1941, dia berkaul tersier dalam keluarga Fransiskan setelah setahun novisiat. Di sini dia merasa dekat dengan St. Fransiskus yang membawa stigmata Kristus. Peziarahan ke Lourdes dia ikuti tahun 1938. Pada waktu itu, dia meminta rahmat agar bisa menerima penyakit ini dengan cinta kasih dan bisa menerima komuni, yang sudah tidak bisa diterimanya selama 4 tahun terakhir. Permohonan dikabulkan oleh seorang imam, yang memasukkan hosti dari liang-liang gigi secara perlahan.

Dia menderita dalam waktu yang cukup panjang, hampir dalam kehampaan karena pendampingan yang tidak cukup, kesulitan ekonomi, kehilangan keluarga dan sahabat. Ayahnya pun meninggal pada November 1948. Kurang lebih setahun kemudian pada malam Natal 24 desember 1949, dengan sangat gembira dia mengikuti perayaan Ekaristi di kamarnya, yang dirayakan oleh P. Ludovico Ferino. Inilah pesta perak pernikahannya dengan penyakit yang dideritanya.

Pada awal tahun, bulan Januari 1956, dia merasa bahwa tahun itu akan meninggal. Maka, di awal Maret, dia meminta sebuah gaun pengantin berwarna putih untuk pemakamannya. Dengan tulang tinggal berbalut kulit, dia menerima Sakramen Perminyakan, kemudian berserah dengan tenang dan memperbaharui persembahan kepada Allah untuk pertobatan para pendosa. Sesaat kemudian, dia meninggal pada 11 Maret 1956, setelah 31 tahun menderita.

Chiara Badano. Mistikus Penderitaan ini menghidupi Spiritualitas Focolare. Lahir di Sassello, 29 Oktober 1971 – 7 Oktober 1990 Provinsi Savona, Italia. Dia adalah anak pertama yang dinanti-nantikan oleh sepasang pasutri setelah 11 tahun pernikahan.

Babak baru dalam hidupnya mulai dengan diagnose kesehatannya. Dia menderita osteosarcoma. Tumor ganas pada tulang. Perlu dipelajari betul tahap ini, karena penyakit yang dideritanya membangun jalan menuju kekudusan. Tanggal 28 Februari dioperasi di RS. Molinette di Torino, tanpa hasil. Penderitaan fisiknya disertai pula dengan rasa rendah diri. Dia orangnya sangat sensitif dan bersih, harus menerima kateter bersama dengan pelayanan yang lain… dia sendiri belum siap pada usia semuda itu.

Pada bulan Januari 1990 ditempatkan kateter spinale untuk mencoba mengurangi rasa sakit, disertai juga dengan morfin. Beberapa hari kemudian, dia meminta untuk tidak lagi diberi penenang, pengurang rasa sakit, morfin dan sejenisnya, dan ingin tetap sadar. Maka, bersama dengan orangtua diputuskan pada tanggal 22 Juni, untuk menghentikan chemioterapia dan tinggal di rumah.

Chiara Badano menulis kepada Chiara Lubich, pendiri gerakan Focolarini untuk memberitahu situasi dan keputusan yang diambilnya: saya menghentikan siklus chemioterapia karena tidak menghasilkan perbaikan apa-apa, tidak ada hasil apa-apa! Kemampuan pengobatan sudah menyerah, sudah tidak mampu lagi. Hanya Tuhan yang mampu. Dengan penghentian ini, rasa sakit di punggung makin bertambah, dan tidak mampu lagi saya berguling ke kanan / kiri di tempat tidur.

Menjelang kematiannya, Chiara sadar dan tanpa kehilangan ketenangan, meminta pada ibunya untuk mempersiapkan gaun pengantin di awal Oktober 1990. Chiara menginginkan gaun pengantin berwarna putih, sederhana, panjang. Dia meminta agar ibunya memandikan dia dan mengatur rambutnya sebelum mengenakan gaun itu. Dia ingin bergaun putih karena kematian berarti bersatu dengan Yesus, mempelainya, yang ingin dia songsong dengan gaun pengantin.

Kata-katanya yang terakhir: Mamma, ciao. Sii felice, perché io lo sono (Salam, ibu, berbahagialah, karena saya sangat berbahagia). Chiara meninggal pukul 04.10 tanggal 7 Oktober 1990. Dua puluh empat jam setelah itu, sesuai dengan permintaan Chiara, para medis mengambil kornea matanya untuk diberikan kepada dua anak muda dengan hasil positif.

4.2    Tahap 1: Menyadari primasi cinta kasih Allah yang tidak terbatas

Isi dari pengalaman mistik adalah pemahaman intuitif tentang kebenaran teologis, bahwa meski apapun yang terjadi …, Allah tetap mencintai manusia dan besertanya sampai akhir zaman. Jiwa mistik mengulang bersama Paulus: Dia telah mencintaiku dan memberikan diri-Nya bagiku (bdk. Gal 2:20). Maka, di sini kita melihat sisi transformatif yang muncul, yaitu kehidupan adalah rahmat dari Allah, sesama adalah rahmat. Begitu juga alam, kesehatan, persaudaraan… juga penderitaan!

Concetta Bertolli. Concetta beriman sederhana dan kuat, yakin teguh bahwa Allah mencintainya dan memberikan yang terbaik. Inilah kekuatannya untuk menerima derita, yang dipandangnya sebagai rahmat cinta kasih Allah. Dia mengatakan:Aku tidak akan mau digantikan oleh siapapun. Aku bahagia dengan situasiku sekarang. Dia seringkali mengulang hal itu dan dengan tulus mengatakan: Aku baik-baik saja di tempat tidur ini. Allah mempercayakan kepada setiap orang sebuah misi dan Dia memberikan kepadaku ini. Aku bahagia.

Chiara Badano menghidupi sebuah spiritualitas mistik berdasar pada pengalaman cinta kasih Allah yang tidak terbatas. “Allah mencintaiku dengan tiada terkira!”Tidak ada sesuatupun yang keluar untuk menggoyahkan keyakinan ini, meski dia menanggung kekecewaan, kepahitan, terapi yang memusingkan dan tiada henti. Meski ini semua, keyakinannya tidak goyah: «Dengan ini juga, Allah sungguh-sungguh mencintaiku».

Dari kedua tokoh ini, kita bisa melihat bahwa masing-masing menyadari penderitaannya – seperti salib yang tidak terelakkan –  sebagai bentuk cinta Allah.

4.3     Tahap 2: Sikap lepas bebas sebagai keterbukaan pada berbagai pilihan Kehendak Allah

Isi tema pokok spiritualitas mistik penderitaan adalah mencari kehendak Allah dalam segala hal dan segala situasi. Dalam konteks ini, derita menjadi sebuah kemungkinan. Maka, di tahap kedua ini mulai ketika penderita berserah pada kehendak Allah, meski dia tidak memahami rencana-Nya, meski subyek kemanusiaan penderita sendiri memberontak.

Concetta Bertolli berjuang sangat keras untuk memahami misteri penderitaan yang dibawanya. Pada periode pertama, dia tidak menemukan jawaban sekecilpun dari penderitaannya. Dia tidak memahami mengapa penyakit ini dan mengapa benar-benar harus dia.Menerima penyakit dan penderitaan bukanlah sebuah proses yang mudah dan cepat. Secara alamiah, jiwa memberontak, akal budi memberondong berbagai pertanyaan. Sementara teman-temannya pergi bekerja setiap pagi, para tetangga tertawa bercanda, bergembira, para sahabat bermain… dia, pada usia 20 tahun dengan mimpi seorang anak muda, harus terpaku di tempat tidur, tidak mampu untuk duduk… karena sakit yang tiada taranya.

Mengapa? Dia tidak memiliki sebuah keberanian untuk berani menerima. Hari terus berganti, bulan berganti bulan… perlahan-lahan Concetta memahami…. bahwa Salib yang dipanggulnya itu, memberikan terang, dengan menyingkap tujuan dan maksud penderitaan manusia. Pada akhirnya, menunduk dan menerima penderitaan ini sebagai bagian dari dirinya. Perlahan, namun dengan kemajuan yang pasti, Concetta merasakan kebahagiaan dalam situasi yang dihadapinya itu. Dia mengaku, tidak akan mau digantikan tempatnya oleh siapapun! Dia mengatakan: “Penderitaan, tanpa kepasrahan diri… itu amat mengerikan; tetapi, jika ada penyerahan diri ini, penderitaan itu tidak ada apa-apanya”.

Chiara Badano. Selama masa sakitnya, dia selalu mengulangi: “Yesus, jika Engkau menginginkan hal ini, tentu aku juga!”Kepada ibunya dia mengatakan: “Bagiku, yang paling penting adalah mengikuti kehendak Allah. Cukup menjalankannya dengan baik, maka kita akan tetap bersama Allah. Kerap kali orang datang dan mengajak dia meminta mukjizat, tetapi dia menjawab: “Tidak! Jika Bunda Maria mau membuat mukjizat untukku, dia bisa membuatnya di sini, sekarang dan tidak harus pergi berziarah ke Lourdes”.«Banyak orang mengajak saya untuk meminta mukjizat. Saya menginginkannya, tetapi saya merasa itu bukanlah Kehendak Allah. Saya tidak meminta kepada Yesus untuk dibawa ke surga secepatnya, karena itu menunjukkan kalau saya enggan menderita. Hanya dia yang tahu kapan saya harus berangkat».

4.4      Tahap 3: Penerimaan penderitaan sebagai privilegi kekudusan personal

Isi di tahap ketiga dari peziarahan spiritual ini ditandai dengan penerimaan penyakit dan penderitaan seturut dengan pemahaman Yesus: Ya Bapa, jika Engkau berkenan, jauhkanlah dari padaku piala ini. Tetapi, bukan kehendakku, melainkan kehendakmulah yang terjadi (Luk 22,42).

Concetta Bertolli menderita selama 31 tahun: 26 tahun tidak bergerak dan 6 bulan terakhir mengalami kebutaan total. Untuk memahami keutamaanya yang besar, perlu melihat juga karakter keaktifan Concetta yang sangat mencintai dansa dan tarian. Dia selalu gembira dan suka sekali tersenyum dan bersendau gurau. Dari ini, mulailah karya misinya. Sejak sekitar 1935, dia tidak lagi meminta dalam doa untuk disembuhkan, karena dia sudah menyerahkan hidupnya seluruhnya kepada Allah.

Dia melihat penyakit yang dideritanya, mengucap syukur kepada Allah dan merasakan itu sebagai sebuah rahmat. Dia berterimakasih selalu kepada Allah yang telah memilihnya untuk mengalami penyakit ini dan menderita karenanya, dalam kerinduan untuk makin dimurnikan dan bisa bekerja sama melalui penerimaan penderitaan ini, demi keselamatan jiwa-jiwa.

Chiara Badano. Ada sebuah komentar cukup menarik dari sahabat Chiara, yang membantu kita untuk memberi definisi pada spiritualitas penderitaan: «Chiara tidak menanggung penderitaan, melainkan membawanya». Tidak pernah terdengar satu keluhan atau rasa lelah. Dia juga tidak menggerutu: «Aku sudah tidak kuat lagi». Nampak bahwa badan yang menderita itu, seolah-olah berada di luar dirinya. Derita itu tidak menghalanginya untuk mencintai Allah, melainkan sebagai sebuah sarana khusus yang diberikan oleh Allah kepadanya.

4.5       Tahap 4: Identifikasi dengan Yesus yang menderita

Saat ini penyakit menjadi jalan khusus bagi spiritualitas mistik penderitaan. Penyakit tidak lagi memiliki kekuasaan apapun pada pribadi penderita. Jiwanya melihat penderitaan sebagai bentuk partisipasi di dalam penderitaan Yesus Kristus.

Concetta Bertolli mempersembahkan kepada Allah penderitaannya. Dia menderita bagi kaum miskin dan pendosa, agar bertobat dan merubah hidupnya, bagi para imam agar menjadi lebih kudus, bagi para misionaris, agar mereka makin mengembangkan Kerajaan Allah. Seorang misionaris Xaverian (S.X.), yang sedang berlibur dari Afrika, setelah 20 tahunan berkarya di sana, dalam sebuah kunjungan kepada Concetta, menganjurkan dia agar meminta rahmat penyembuhan dari Allah, agar bisa berangkat sebagai misionaris. Terpaku pada ranjang, Concetta menjawab: « Pastor, saya adalah misionaris penderitaan!»

Chiara Badano melihat penderitaan sebagai jalan menuju pertumbuhan rohani. Cinta kepada Salib menghantarnya pada penyerahan diri, pengosongan diri sendiri. Dia menolak morfin, dan mengatakan: “Saya bisa menderita demi Yesus”. Dalam penyerahan diri itu, dia mempersembahkan kehidupannya bagi kaum muda, keuskupan, bagi yang jauh, bagi kelompok focolarini dan bagi karya misi.

Dia selalu tenang dan teguh, karena yakin bahwa «penderitaan yang dipeluk dengan kasih membuat kita bebas».«Setiap jarum suntik yang masuk itu serupa dengan duri-duri yang menusuk kepala Yesus. Setiap tetes darah itu mirip dengan efek dari paku bekas yang dipakai untuk menyalibkan Yesus. Setiap flebo yang masuk lewat jarum itu mirip pukulan palu para serdadu, yang diiringi pesan: Untukmu».

4.6      Tahap 5: Malam kegelapan Rohani

Karena penderitaan adalah misteri, meski penderita menerima dengan sadar, ada saat-saat kritis dan kegelapan rohani. Makna rohani dari pengalaman kegelapan rohani adalah kehampaan. Ini lahir dari pemahaman intuitif tentang kebenaran teologis, bahwa manusia –karena dosa asal– terpisah dari Allah. Peran positif pengalaman ini adalah pembenaman dalam pertanyaan mendasar: di manakah keselamatanku? Hasil positif dari pencarian ini adalah manusia yang rendah hati, yang di satu sisi melihat keterbatasan dari keberadaannya sebagai ciptaan, di sisi lain, dia memahami bahwa keselamatan datang dari Allah saja.

Concetta Bertolli adalah orang berkarakter terbuka, ramah, baik hati… dia sendiri mengatakan, kalau tidak menderita seperti ini, dia akan menjadi seorang pendosa! Meskipun sakitnya parah, ada sebuah kontras amat menakjubkan, sabuah jiwa yang penuh dengan kehidupan, ada di dalam sebuah badan yang terdeformasi, tidak indah dipandang, buruk rupa…

Karakter ini menjelaskan mengapa Concetta terus memberontak pada bulan-bulan pertama. Ketika muncul penyakit itu, dia berteriak: «Aku ingin bunuh diri!». Tapi, dia tidak memiliki keberanian untuk membenturkan kepala di dinding, karena ketidakmampuannya bergerak. Maka, dengan keyakinan yang dibangun dengan perlahan dan pasti, dia menerima penyakit ini dan mempersembahkannya bagi para pendosa, imam dan misionaris.

Chiara Badano mengalami kegelapan ini melalui pencobaan dari iblis. Selain derita fisik, di masa akhir hidupnya, dia harus menghadapi serangan iblis yang mencoba meruntuhkannya. Dia selalu mengundang ibunya yang menemuinya selalu dalam keadaan berkeringat, wajah pucat dan gentar. Chiara mengatakan bahwa iblis mencoba membenamkannya ke bawah dan dia merasa betul-betul dibenamkan. Maka dia meminta ibunya untuk tinggal dekat dengannya. Ibunya pun mengatakan «engkau memiliki Yesus yang lebih kuat dari iblis».

4.7        Tahap 6: Pasrah berserah: Ya, Yesusku

Tahap akhir dari peziarahan mistik adalah identifikasi  dengan wajah khusus Yesus Kristus. Keyakinan ini memperteguh iman dan pengharapannya. Penderita tahu bahwa dia bisa mempersatukan penderitaannya dengan penderitaan Yesus. Dengan cara demikian, dia turut berpartisipasi pada penebusan dunia. Sikap penebusan dapat muncul dalam berbagai bentuk: oblatif, unitiv, partisipatif, altruistik, pengorbanan, penitensi, perbaikan, perantara, dan seterusnya.

Wajah Yesus bagi Concetta adalah Yesus yang tersalib. Dengan memandang salib, dia kerap mengatakan «aku itu seperti Dia, tapi dalam posisi yang berbeda. Dia dalam bentuk T, aku dalam bentuk Z, maka aku yang terakhir».Sikap batin Concetta di hadapan sakit dan penderitaannya berkarakter kristosentris. «Dia menunjukkan iman yang teguh pada Allah. Baginya, Allah adalah semuanya! Dari mulutnya selalu keluar kata «Allahku, ya Allahku».

Wajah Yesus bagi Chiara adalah «Yesus yang terlantar». Mons. L. Martino, kerap mengunjungi Chiara menyatakan: «Chiara menggarisbawahi hal yang esensial di dalam tradisi kristiani: Cinta kasih Allah dan karya keselamatannya, sentralitas Yesus Kristus, kesetiaan kepada kehendak Allah sebagai aturan hidup, primasi cintakasih di dalam kehidupan moral dan persembahan diri yang berlimpah».

 

5.  Penutup

Titik pijak spiritualitas penderitaan adalah keyakinan teguh akan cinta kasih Allah yang tidak terbatas. Bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihiku! Yang lain-lain adalah jawaban. Paulus menawarkan sebuah paradigma berpikir mendasar: «Aku hidup dalam iman akan Putra Allah yang mengasihiku dan memberikan hidupnya bagiku». «Siapakah yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus?»Apa untungnya berbagi penderitaan dengan Kristus yang bersengsara dan terabaikan?

Paradigma ini membuka kemungkinan untuk memberikan makna pada derita: «setiap waktu adalah berharga. Jika waktu dihidupi demikian, maka segala sesuatu bermakna dan bernilai… Juga pada saat-saat kritis, jika dipersembahkan kepada Yesus Kristus. Maka, derita tidak diabaikan begitu saja, namun memperoleh maknanya bila dipersembahkan kepada Yesus Kristus. Ada sebuah perubahan sikap manusia terhadap badan, kesehatan, penyakit, penderitaan dan kematian bisa ditinjau kembali. Tidak ada sikap negatif terhadap badan dan kesehatan. Tidak ada satupun dari orang sakit dan menderita, yang mencari dan memohon penyakit ini, tetapi mereka menerima, ketika tidak dapat dihindari. Penyakit ini bukan konsekuensi pengalaman mistik, tapi masuk terlebih dahulu. Di dalam penderitaan itulah para mistikus ini mencari makna dan menemukan artinya di dalam Yesus Kristus. Ada dialog antara penyakit dan spiritualitas mistik. Dialog itu terwujud dengan membangkitkan pertanyaan baru dan tantangan baru.

Spiritualitas mistik penderitaan memberikan makna baru pada penyakit. Sikap para mistikus penderitaan dalam relasi dengan penyakit adalah bahwa mereka tidak menanggung beban, tapi membawa penyakit itu bersama dengan kehidupannya. Perbedaan ada pada disposisi batin, di mana mereka menemukan makna penyakitnya dalam kehendak Allah.

Oleh : P. Alfonsus Widhi, sx

 

 

Mengapa Bunda Maria disebut “Woman” dalam Jn 19:26?

0

Ada sejumlah orang mempertanyakan, mengapa di Injil Yohanes 19:26, tepatnya di edisi bahasa Inggris, John 19:26, Yesus memanggil ibu-Nya dengan sebutan “gune/ woman/ perempuan.”:

Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu (‘meter‘/ ‘mother‘)-Nya: “Ibu (‘gune’/ ‘woman‘), inilah, anakmu!” (Yoh 19:26)

When Jesus saw His mother, and the disciple whom He loved standing near, he said to His mother, “Woman, behold, your son!” (Jn 19:26)

Bahwa kitab Suci LAI menerjemahkannya dengan kata “Ibu” itu disebabkan karena pertimbangan kelayakan penggunaan istilah dalam bahasa Indonesia, sebagaimana sudah diulas di sini, silakan klik.

Namun berikut ini adalah terjemahan penjelasan yang diberikan oleh St. Alfonsus Liguori (1696-1787), dalam tulisannya, The Seven Words Spoken by Jesus Christ on the Cross, (silakan klik di sini untuk membaca teks selengkapnya) tentang alasan mengapa Yesus memanggil ibu-Nya dengan sebutan “gune/ woman/ perempuan”:

“Namun marilah kita kembali kepada Sang Perawan yang suci, dan meneliti lebih dalam alasan mengapa Yesus memanggil Maria ‘woman’/ perempuan, dan bukan mother/ ibu. Dengan ekspresi ini Ia [Yesus] ingin menunjukkan bahwa ia [Maria] adalah perempuan yang istimewa yang dinubuatkan di Kitab Kejadian, yang akan meremukkan kepala ular: “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dengan ‘the woman’/ perempuan itu, antara keturunanmu dan keturunannya: ia akan meremukkan kepalamu dan engkau akan meremukkan tumitnya.” (Kej 3:15). Tidak diragukan oleh siapapun bahwa perempuan ini adalah Perawan Maria yang Terberkati, yang karena Putera-nya, akan meremukkan kepala iblis, … Secara kodrati Maria adalah musuh ular ini, sebab Lucifer itu sombong, tidak tahu berterimakasih, dan tidak taat; sedangkan ia {Maria] rendah hati, tahu berterima kasih, dan taat. Dikatakan bahwa ia [Maria] akan meremukkan kepalanya, sebab Maria, karena Putera-nya, mengalahkan kesombongan Lucifer, yang berjaga menantikan saatnya di tumit Yesus Kristus, yang berarti kemanusiaan-Nya yang kudus, yang adalah bagian-Nya yang terdekat dengan bumi; sementara Juru Selamat kita, oleh kematian-Nya memperoleh kemuliaan karena mengalahkan dia (iblis) dan menariknya dari kerajaan yang diperolehnya atas umat manusia, melalui dosa.

Allah berkata kepada ular, “Aku akan mengadakan permusuhan antara keturunanmu dan keturunannya.” Ini menunjukkan bahwa setelah kejatuhan manusia melalui dosa, meskipun semua telah diselesaikan oleh penebusan Yesus Kristus, tetaplah ada dua keluarga dan dua kubu di dunia: keturunan iblis yang menandai keluarga para pendosa, di mana anak-anaknya dirusak olehnya [oleh iblis]; dan keturunan Maria, yang menandai keluarga yang kudus, yang termasuk semua orang benar, dengan kepala mereka, Yesus Kristus. Maka Maria ditentukan untuk menjadi ibu bagi kepala maupun semua anggota-Nya, yaitu, umat beriman. Rasul Paulus menulis, “… kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham..” (Gal 3:28-29). Oleh karena itu, Yesus Kristus dan umat beriman adalah satu tubuh yang sama, sebab kepala tidak dapat dipisahkan dari anggota-anggotanya, dan anggota-anggota ini adalah semua anak-anak rohani Maria, sebab mereka memiliki roh yang sama dari Puteranya menurut kodrat, yang adalah Yesus Kristus. Jadi, Rasul Yohanes tidak dipanggil Yohanes, tetapi ‘murid yang dikasihi Tuhan’, supaya kita dapat memahami bahwa Maria adalah ibu bagi setiap umat Kristen yang baik yang dikasihi oleh Yesus Kristus, dan yang di dalamnya Yesus Kristus hidup oleh karena Roh-Nya. Ini adalah yang dinyatakan oleh Origen, ketika ia berkata, “Yesus berkata kepada Maria, Lihatlah anakmu, seolah Ia telah berkata, Inilah Yesus, yang telah engkau kandung, sebab Ia yang telah disempunakan [dibaptis], hidup tidak lagi bagi dirinya sendiri, tetapi Kristus hidup di dalamnya.”

Demikianlah St. Alfonsus Liguori di abad ke-18, menjelaskan kembali apa yang sudah pernah diajarkan oleh Origen (184-254), seorang Bapa Gereja di abad ke 2-3: “Putera Maria hanya Yesus sendiri; dan ketika Yesus berkata kepada Ibu-Nya, “Lihatlah, anakmu,” seolah Ia berkata, “Lihatlah orang ini adalah Yesus sendiri, yang engkau lahirkan.” Sebab setiap orang yang dibaptis, hidup tidak lagi dirinya sendiri, tetapi Kristus hidup di dalamnya. Dan karena Kristus hidup di dalamnya, perkataan kepada Maria ini berlaku baginya, “Lihatlah anakmu- Kristus, yang diurapi.” (Origen, Commentary on John I,4, 23, PG 14, 32). Sebab melalui Baptisan kita menerima Roh Kristus (lih. Rm 8:10-11), dan karena itu Kristus hidup di dalam kita, dan dengan demikian, kita juga menjadi anak Bunda Maria.

Interpretasi di atas merupakan salah satu contoh bahwa dalam menginterpretasikan Kitab Suci, Gereja Katolik mengacu kepada ajaran para Bapa Gereja, sebagai para penerus Rasul, sebab mereka yang hidup lebih dekat dengan zaman para Rasul lebih memiliki pemahaman yang akurat dalam mengartikan Kitab Suci, sebab selain mereka dibimbing oleh Roh Kudus, mereka juga hidup dalam konteks bahasa, budaya dan masyarakat zaman itu, sehingga lebih memahami maksud yang ingin disampaikan melalui penggunaan istilah-istilah tertentu dalam Kitab Suci, yang ditulis pada sekitar zaman abad-abad awal tersebut.

Mengapa “gune/ woman” diterjemahkan sebagai “ibu” dalam Yoh 19:26?

0

Berikut ini adalah keterangan yang kami peroleh dari RD. Dr. Indra Sanjaya, salah seorang pakar Kitab Suci di tanah air, setelah menerima keterangan dari LAI (Lembaga Alkitab Indonesia):

“Penerjemahan kata ‘gune‘ menjadi ‘Ibu’ dan bukan ‘perempuan’ tampaknya demi pertimbangan bahasa sasaran, yaitu bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, menyapa ibu dengan kata ‘perempuan’ dapat dianggap terlalu kasar dan tidak pantas -apalagi kalau yang menyapa adalah Tuhan Yesus. Memang dalam Terjemahan Lama,  digunakan kata terjemahan ‘perempuan’ dalam Yoh 2:4 dan 19:26. Namun terjemahan ini diganti dengan ‘ibu’ dalam Terjemahan Baru -TB 1 dan TB 2.
Memang ada penafsiran yang mengatakan bahwa penggunaan ‘gune‘ dalam Yoh 2:4 dan 19:26 merupakan hal yang tidak biasa; oleh karena itu perlu diberi penjelasan. Di sini penafsiran memainkan peranan. Saya sendiri tidak ada keberatan dengan penggunaan kata ‘ibu’ yang dalam bahasa Indonesia justru menunjukkan suatu relasi yang lebih hangat.

Dalam hal ini, kemungkinan penerjemah mengambil patokan penerjemahan Kitab Suci dari ketentuan  A Handbook for Translation, dari UBS (United Bible Societies) tentang ayat Injil Yohanes tersebut:

“Penggunaan kata “perempuan” oleh Yesus (RSV/ versi Revised Standard Version) secara langsung adalah sesuatu yang normal dan sopan (bandingkan dengan Mat 15:28). Itu tidak menunjukkan sikap kurang hormat ataupun kurang mengasihi, seperti yang dapat dilihat dengan jelas melalui penggunaan dalam Yoh 19:26. Versi TEV (Today’s English Version) telah menghilangkan sebutan “woman” sebagai kata benda yang menunjukkan ‘sebutan’, sebab itu tidak harus dalam bahasa Inggris, dan cenderung menyampaikan kesan bahwa Yesus menunjukkan sifat kurang hormat. Terdapat banyak masalah serius yang terjadi sebagai akibat dari menerjemahkan kata “woman“/ perempuan secara literal.

Dalam beberapa bahasa, seorang laki-laki menyebut istrinya sendiri dengan cara demikian, namun arti ini tidak dapat diterapkan di sini. Di bahasa-bahasa lainnya, untuk menyebut ibu seseorang dengan sebutan “woman“/ perempuan, adalah cara yang kasar… Padanan yang paling dekat dalam banyak bahasa adalah “ibuku” atau “ibu”, tetapi dalam bahasa-bahasa lainnya, ekspresi yang serupa untuk menunjukkan penghormatan yang sesuai akan mensyaratkan penghapusan ekspresi apapun untuk menyebut orang yang dipanggil, sebagaimana pada terjemahan TEV.

Perempuan, adalah sebutan yang sama yang digunakan dalam Yoh 2:4 dan 19:26. Itu adalah bentuk panggilan yang sopan dan dalam konteks ini nampaknya sesuai. Namun demikian, dalam sejumlah bahasa, menjadi kurang pas, atau merendahkan. Meskipun begitu, dalam beberapa bahasa kata “woman/ perempuan” ketika digunakan sebagai panggilan langsung, artinya sama dengan “istri”. Jika demikian halnya, ekspresi lainnya harus digunakan, atau istilah itu [woman] harus dihilangkan.”

Demikianlah nampaknya harus dipahami dan diterima, bahwa dalam penerjemahan Kitab Suci ada banyak hal yang harus diperhatikan. Sebab bahasa yang satu dengan bahasa lainnya tidak mempunyai aturan yang sama. Demikian juga, untuk satu istilah yang artinya sama, dapat memberi kesan yang berbeda. Di zaman Yesus, panggilan ‘gune‘ (kata asli dalam bahasa Yunani yang berarti perempuan), tidak menimbulkan kesan kasar/ kurang hormat, tetapi untuk beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia, panggilan sedemikian termasuk tidak umum digunakan atau cenderung kasar. Sebab kita tidak memanggil seorang wanita secara langsung dengan sebutan,  ‘Wanita’ atau ‘Perempuan’, tetapi umumnya, ‘Ibu’. Demikian juga kita tidak memanggil pria dengan ‘hai pria’, tetapi, ‘bapak’. Untuk itu jika LAI menerjemahkan “Woman/ gune” sebagai ‘ibu’, nampaknya karena alasan penyesuaian dengan kelayakan penggunaan istilah dalam bahasa setempat, dalam hal ini bahasa Indonesia.

Berjaga menantikan Tamu Agung

0

[Minggu Adven I: Yes 2:1-5; Mzm 122:1-9; Rm 13:11-14; Mat 24:37-44]

Ada suatu saat, ketika rumah kami sedang direnovasi, sahabat kami datang berkunjung. Waktu itu bertepatan dengan saat aku harus mengerjakan suatu tugas karena dikejar deadline. Akibatnya, aku tidak sempat membereskan rumah. Ada rasa tak enak, kedatangan tamu pada saat rumah sedang berantakan tak karuan. Setelah sahabat kami pulang, aku terhenyak: beginikah rasanya kalau Tuhan datang pada saat yang tidak aku duga?

Hari ini kita memasuki pekan Adven yang pertama. ‘Adven’ sendiri artinya adalah kedatangan. Maka di masa Adven ini, Gereja mengajak kita mempersiapkan diri menyambut kedatangan Sang Tamu Agung kita, yaitu Kristus, yang akan kita rayakan pada hari Natal sekitar 4 minggu yang akan datang. Bacaan-bacaan Kitab Suci di Misa sejak dari bulan lalu telah mengajak kita merenungkan saat Tuhan Yesus datang kembali, entah di saat kematian kita atau di saat akhir zaman. Permenungan tersebut membantu kita menilik ke dalam hati kita: Apakah aku siap menyambut Kristus? Apakah hatiku sudah bersih, sehingga Tuhanku  dapat menemukan tempat yang layak bagi-Nya?

Di bacaan Injil hari ini, Yesus menggambarkan kedatangan-Nya seperti halnya pada zaman Nabi Nuh. Orang-orang disibukkan dengan urusan mereka sendiri, makan dan minum, kawin dan mengawinkan (lih. Mat 24:37), sehingga tidak mempedulikan kehendak Allah yang disampaikan oleh nabi-Nya. “Berjaga-jagalah”, kata Tuhan Yesus, “sebab Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga” (Mat 24:44).  Apakah yang harus kita lakukan untuk  berjaga-jaga menantikan Yesus? Beato Paus Yohanes Paulus II, menjelang Natal di tahun 1980 berkhotbah di depan 2000 orang anak-anak di salah satu paroki di Roma. Paus memulai pengajarannya dengan dialog sederhana: “Bagaimana kalian mempersiapkan diri untuk hari  Natal?” “Dengan berdoa”, jawab anak-anak itu. “Baik sekali, dengan berdoa,” kata Paus, “tetapi harus juga dengan mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan dosa. Maka kalian juga harus mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan… Maukah kalian melakukannya?” Dengan suara lebih keras anak-anak itu menjawab, “Kami mau!” Dan Paus berkata, “Ya, kalian harus melakukannya.” Lalu dengan suara yang lebih lembut Paus berbisik, “Paus juga akan mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan dosa, supaya dapat menyambut Kanak-kanak Yesus dengan layak.” Demikianlah, semoga kitapun dapat mempunyai kerinduan untuk mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan, di minggu-minggu mendatang ini menjelang hari raya Natal. Sebab kita dapat selalu menerima kerahiman Allah dalam sakramen ini dengan sikap batin yang lebih baik, sebagai hasil dari pemeriksaan batin yang lebih mendalam.

Mari menjadikan pengakuan dosa kita bukan sekedar formalitas menjelang hari Natal, namun menjadikannya kesempatan untuk sungguh membersihkan hati kita dari dosa-dosa kita, terutama dari dosa-dosa yang sering kita lakukan, ataupun dosa yang bertahun-tahun lamanya belum diakui, entah karena malu atau enggan. Masa Adven adalah masa persiapan untuk memberikan tempat yang layak di hati kita bagi Tuhan Yesus Sang Tamu Agung. Sebab tantangan di zaman nabi Nuh, juga menjadi tantangan bagi kita di zaman sekarang ini: yaitu apakah kita mau melaksanakan kehendak Tuhan atau malah kita lebih condong untuk sibuk dengan berbagai urusan kita sendiri, sampai-sampai tidak menyadari bahwa Tuhan Yesus mau datang, dan tinggal di hati kita.

Bunda Maria, bantulah kami untuk memasuki masa Adven ini dengan lebih baik. Arahkanlah pikiran dan hati kami kepada Putera-Mu Yesus, sebagaimana dahulu engkau memusatkan perhatianmu kepada-Nya. Semoga pikiran dan hati kami tidak dipenuhi dengan berbagai hal yang kurang penting jika dilihat dalam terang kedatangan Yesus Tuhan dan Juruselamat kami.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab