Home Blog Page 92

Bolehkah Homili digantikan dengan drama?

20

Jika kita berpegang kepada Redemptionis Sacramentum, jawabannya adalah tidak. Homili yang menjelaskan bacaan-bacaan Kitab Suci dan Injil, merupakan satu kesatuan dengan bacaan-bacaan tersebut dalam Liturgi Sabda, di mana melalui pembacaan Sabda itu, Tuhan Yesus hadir (lih. KGK 1088).

Atas dasar pemahaman ini, umumnya homili dibawakan oleh imam perayaan yang berperan sebagai Kristus (in persona Christi), yang juga menyatakan kehadiran Kristus dalam Sabda-Nya. Maka tidak pada tempatnya homili digantikan dengan drama, apalagi dengan tari-tarian yang melompat-lompat, karena maksud homili adalah menjelaskan misteri iman dan norma-norma hidup Kristiani berkaitan dengan ayat-ayat Kitab Suci yang baru saja dibacakan.

Ketentuannya dalam Redemptionis Sacramentum tentang homili adalah demikian:

RS 64    Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa Kudus, dan yang merupakan bagian utuh dari liturgi itu “pada umumnya dibawakan oleh Imam perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam konselebran, atau kadang-kadang, tergantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu atau karena alasan khusus, tugas homili bahkan dapat diberikan kepada seorang Uskup atau Imam yang hadir dalam perayaan Ekaristi tetapi tidak ikut berkonselebrasi.

RS 65    Perlulah diingat bahwa norma apapun yang di masa lalu mengizinkan orang beriman tak tertahbis membawakan homili dalam perayaan Ekaristi, harus dipandang sebagai batal berdasarkan norma kanon 767, §1. Praktek ini sudah dibatalkan dan karenanya tidak bisa mendapat pembenaran berdasarkan kebiasaan.

RS 66    Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam Misa, berlaku juga untuk para seminaris, untuk mahasiswa teologi dan untuk orang yang telah diangkat dan dikenal sebagai “asisten pastoral”; tidak boleh ada kekecualian untuk orang awam lain, atau kelompok, komunitas atau perkumpulan apa pun.

Demikianlah ketentuan dari Kitab Hukum Kanonik tentang homili:

KHK kan 767

§ 1 Di antara bentuk-bentuk khotbah, homililah yang paling unggul, yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri dan direservasi bagi imam atau diakon; dalam homili itu hendaknya dijelaskan misteri- misteri iman dan norma-norma hidup kristiani, dari teks suci sepanjang tahun liturgi.

§ 2 Dalam semua Misa pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya wajib yang dirayakan oleh kumpulan umat, homili harus diadakan dan tak dapat ditiadakan, kecuali ada alasan yang berat.

§ 3 Jika cukup banyak umat berkumpul, sangat dianjurkan agar diadakan homili, juga pada perayaan Misa harian, terutama pada masa adven dan prapaskah atau pula pada kesempatan suatu pesta atau peristiwa duka.

§ 4 Pastor paroki atau rektor gereja wajib mengusahakan agar ketentuan-ketentuan ini ditepati dengan seksama.

 

Ringkasan Quanta Cura

1

Berikut ini adalah ringkasan surat ensiklik Quanta Cura, yang mengecam kesalahan-kesalahan yang terjadi di masa itu, yang dikeluarkan oleh Paus Pius IX, 8 Desember 1864, kepada saudara-saudaranya yang terhormat, semua Patriarkh, Uskup Agung, Uskup yang ada dalam Persekutuan dengan Tahta Suci.

1. Paus Pius IX, melanjutkan tugas pastoral sebagaimana dilakukan para pendahulunya, mengingatkan saudara-saudaranya, semua Patriarkh, Uskup agung dan Uskup, tentang adanya usaha-usaha dari sejumlah orang yang menebarkan pandangan yang menyesatkan dengan memberikan janji-janji kebebasan, dan dengan tulisan-tulisan mereka bermaksud merobohkan pondasi agama Katolik dan kemasyarakatan sipil, dengan melenyapkan dari antara manusia segala kebajikan dan keadilan, dan secara khusus kaum muda agar tercabut dari pangkuan Gereja Katolik.

2. Paus, mengambil teladan para pendahulunya, mengecam kesalahan-kesalahan di abad tersebut, dan mendorong semua anggota Gereja Katolik agar menjauhi pandangan-pandangan sesat itu. Paus mengacu kepada surat ensikliknya yang pertama (9 Nov 1854) dan kedua tulisannya yang lain (9 Des 1854, 9 Jun 1862). Paus mengecam pandangan abad itu yang tidak saja menentang Gereja Katolik dan ajaran-ajarannya tetapi juga menentang hukum kodrat yang diukirkan oleh Tuhan dalam setiap hati manusia, dan juga akal budi yang sehat.

3. Pandangan yang salah itu terutama bermaksud menyingkirkan ataupun menghilangkan pengaruh yang kondusif dari Gereja Katolik, yang didirikan oleh Allah untuk membimbing setiap orang, bangsa dan para pemimpinnya, dan untuk membuang hubungan timbal balik antara Gereja dan Negara yang telah terbukti saling mendukung dan memajukan, baik secara religius maupun kepentingan sipil.

Yang diajarkan oleh pandangan yang keliru itu adalah prinsip ‘naturalisme’, yang menghendaki agar masyarakat dipimpin dan diatur tanpa agama, atau menjadikan agama tidak ada, atau sedikitnya, tanpa pembedaan antara agama yang benar dan agama-agama yang salah. Paham ini dikecam oleh Paus terdahulu Gregorius XVI, sebab paham tersebut menganggap kebebasan hati nurani dan penyembahan sebagai hak pribadi setiap orang yang harus dilegalkan dan bahwa hak tersebut ada pada warga negara secara absolut, yang tak dapat diawasi oleh baik otoritas gerejawi ataupun sipil, agar mereka dapat secara terbuka dan secara publik menyatakan ide apapun, entah dengan mulut atau dengan media masa, atau dengan cara apapun. Namun dengan menyatakan demikian, mereka mewartakan kebebasan yang membinasakan, sebab jika argumen manusia selalu diberikan ruang yang bebas untuk didiskusikan, maka tidak akan ada kekurangan orang yang akan berani melawan kebenaran dan yang mempercayai khotbah yang mengalir dari kebijaksanaan manusia; padahal dari ajaran Tuhan Yesus sendiri diketahui bahwa iman dan kebijaksanaan Kristiani harus menghindari kata-kata tanpa makna tersebut.

4. Ketika agama digusur dari kemasyarakatan sipil, dan ajaran dan otoritas wahyu ilahi disingkirkan, maka gambaran asli keadilan dan hak manusia yang benar dikaburkan dan dihilangkan; dan tempat keadilan dan hak-hak yang sah digantikan dengan kekuatan materi. Sejumlah orang mengklaim bahwa kehendak manusia yang tercermin dari pendapat publik mengandung hukum tertinggi, yang bebas dari kuasa ilahi dan manusiawi; dan dalam jenjang politik, mempunyai kekuatan hak. Namun nyatanya, kemasyarakatan yang dibebaskan dari ikatan agama dan keadilan sejati akan menjurus kepada pencapaian kekayaan dan bahwa masyarakat sedemikian akan semakin mencari kesenangannya sendiri. Untuk alasan ini mereka membenci Ordo-ordo religius, dan tidak menginginkan ordo-ordo tersebut eksis. Paus Pius VI telah mengajarkan juga bahwa pandangan semacam ini melukai cara hidup yang dianjurkan Gereja, karena mereka menghilangkan hukum yang melarang kerja keras dilaksanakan pada hari-hari tertentu agar orang dapat menyembah Tuhan, dan mereka mengatakan bahwa hukum tersebut menentang prinsip ekonomi publik yang terbaik. Lebih lagi, pandangan tersebut tak hanya ingin menghilangkan agama dari masyarakat, namun juga dari dalam keluarga-keluarga. Ini adalah kesalahan fatal komunisme dan sosialisme yang mengatakan bahwa rumah tangga dan keluarga memperoleh keberadaannya dari hukum sipil saja, dan karena itu hanya pada hukum sipil saja, bergantunglah semua hak orang tua atas anak-anak mereka. Dengan pemikiran ini mereka berharap menghilangkan ajaran yang luhur dari Gereja Katolik kepada kaum muda, dan pemikiran orang muda yang masih mudah dibentuk itu, dapat ditarik kepada kesalahan yang menyesatkan itu. Mereka tak pernah berhenti menyerang para tertahbis, (padahal dari mereka telah diperoleh begitu banyak kebaikan yang mengalir dalam Kristianitas, kehidupan masyarakat sipil dan literatur), dan menganggap bahwa para tertahbis itu merupakan musuh bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat. Mereka mengendaki agar para tertahbis dijauhkan dari tugas mengajar dan mendidik orang muda.

5. Mereka tanpa malu mengajarkan bahwa hukum Gereja tidak mengikat hati nurani kecuali hukum itu dinyatakan dengan kuasa sipil dan bahwa ketentuan dan dekrit Paus membutuhkan sanksi kekuatan sipil atau paling tidak persetujuannya. Mereka tidak mengindahkan pernyataan Konstitusi Apostolik dan ekskomunikasi yang dikeluarkan oleh Konsili Trente dan Paus terhadap mereka yang menyerang hak-hak dan milik Gereja. Mereka menganggap bahwa Gereja tak dapat mengeluarkan hukuman temporal apapun terhadap orang-orang yang melanggar hukum-hukumnya. Mereka menganggap bahwa kuasa gerejawi, tidak berbeda -menurut hak ilahi- dari kekuatan sipil, dan tidak independen dari kekuatan sipil. Mereka menganggap bahwa ketidaktaatan terhadap Tahta Suci tidaklah merupakan dosa.

6. Oleh karena itu, dengan kuasa Apostolik, Paus (dalam hal ini Paus Pius IX) mengecam semua pendapat dan ajaran yang jahat yang telah disebut berkali-kali di surat ini, dan menghendaki dan memerintahkan agar semua itu dianggap sebagai sesat, berbahaya dan dikecam, oleh semua anggota Gereja Katolik.

7. Paus mengingatkan bahwa di masa ini para pembenci kebenaran, keadilan dan musuh-musuh agama kita telah menipu orang-orang, dan menyebarkan ajaran mereka melalui buku-buku, brosur dan surat kabar yang tersebar di seluruh dunia. Sejumlah orang telah menyangkal Tuhan Yesus Kristus. Paus mendorong agar para uskup mengangkat suara terhadap kejahatan yang besar ini.

8. Paus menyampaikan juga kepercayaannya bahwa para uskup akan berusaha sekuat tenaga untuk dalam kesatuan dengan Paus, melaksanakan tugas pelayanan, dan tak pernah berhenti mengajarkan bahwa kebahagiaan yang sejati mengalir dari agama kita yang agung dan ajaran dan pelaksanaannya. Berbahagialah mereka yang Tuhannya adalah Allah. Pemerintah/ raja tak hanya bertugas untuk memimpin dunia namun juga melindungi Gereja.

9. Di tengah keadaan yang menentang Gereja ini, pentinglah untuk mengandalkan rahmat Tuhan. Ajaklah umat beriman untuk berdoa dan berlindung dengan iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Sebab Tuhan berkenan kepada doa-doa yang dinaikkan dengan hati yang bersih dan pertobatan melalui sakramen Pengakuan dosa.

10. Melalui surat-surat ini, dengan kuasa Apostolik, Paus memberikan kepada semua dan setiap umatnya Indulgensi Penuh dalam bentuk tahun Yubelium, sepanjang satu bulan di tahun 1865, yang ditentukan oleh para uskup, dan Ordinaris yang sah, seperti yang telah diberikan melalui Surat Apostolik tertanggal 20 Nov 1846.

11. Paus mengajak semua saudaranya, para uskup, untuk memohon belas kasihan Tuhan, memohon bantuan Perawan Maria, Bunda Allah, dan memohon doa syafaat Rasul Petrus dan Paulus dan semua orang kudus di Surga.

12. Paus memberi berkat Apostolik kepada saudara-saudaranya, para uskup, para tertahbis, dan semua umat beriman.

Surat dikeluarkan tanggal 8 Desember 1854, tahun kesepuluh setelah dikeluarkannya Dogma Maria dikandung tidak bernoda.

Perhatikan kakimu !

0

Dalam biara, kami semua mendapat tugas masing-masing, sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. Kebetulan, hanya ada dua orang di antara 30 orang rekan seangkatan yang mampu menyetir baik mobil maupun sepeda motor, aku dan seorang saudara. Jadilah kami berdua seksi kendaraan biara. Tugas kami adalah merawat kendaraan dan menjadi sopir. Biasanya, kami mencuci mobil 2x dalam seminggu bersama-sama. Namun, hari ini kebetulan aku mencuci mobil sendirian karena partnerku sedang piket memasak.

Setelah selesai membilas mobil, salah seorang temanku menyeletuk,”Memang ya, orang-orang dari tarekatmu kebanyakan kurang perhatian sama kaki.” Aku kebingungan dengan maksud celetukannya. Ternyata, ia menunjukkan kalau aku lupa membersihkan velg dan ban mobilnya. Tapi, hal yang membuatku kebingungan adalah embel-embel tarekat. Emang betul ya orang-orang tarekatku kurang memperhatikan kaki mereka? Entahlah. Saudaraku yang satu ini memang lebih sering bergaul dengan para imam dari tarekatku di luar biara karena sering membantu kegiatan-kegiatan keuskupan.

Kakiku sendiri memang kering dan pecah-pecah semenjak tinggal di kota bercuaca dingin ini. Aku tidak cukup metroseksual untuk mengolesi kaki dengan pelembab. Selain ribet, aku harus mengeluarkan uang ekstra untuk membeli pelembab. Mungkin dia sering melihat kasus serupa di kalangan religius dalam tarekatku. Sambil mencuci velg dan ban mobil, celetukan enteng ini membawaku pada “lamunan” mengenai kaki. Mungkin, Tuhan bermaksud mengatakan “kaki yang lain.”

Kaki merupakan anggota tubuh yang paling sering kotor karena berhubungan dekat dengan tanah, entah menginjak tanah yang berdebu, rumput, kotoran anjing biara, banjir, becek, nggak ada ojek lagi, cape deh. Kaki berhubungan dekat dengan benda-benda yang hina. Tapi, tidak sekalipun terpikir untuk hidup tanpa kaki, no no.. Pasti repot sekali kalau nggak bisa jalan. Kaki adalah harta berharga manusia, terutama seorang calon imam yang harus berkarya. Bagian yang sering terlihat kotor dan hina ternyata adalah harta bagi diriku.

Gereja juga memiliki harta yang sering tampak hina dan kotor. St. Laurensius telah menunjukkan kepada Prefek Roma rakus yang telah menangkapnya di mana harta Gereja berada. Gereja justru memiliki harta terbesar dalam diri orang-orang sakit, miskin, dan menderita. Gereja juga memiliki harta yang terpendam dalam setiap pekerjaan-pekerjaan yang kerapkali dianggap hina dan kecil. Apakah aku cukup perhatian terhadap “kaki” Gereja ini?

Memperhatikan orang-orang kecil jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Begitu pula dengan pekerjaan-pekerjaan kecil. Menjadi seorang religius yang mengabdikan hidup bagi Allah tidak hanya sekedar duduk manis memintal gulali dan menikmati kehangatannya sendiri. Aku juga harus turun gunung untuk memperhatikan orang-orang yang menderita, entah dengan uluran tangan langsung atau dengan hujanan doa yang setulus hati. Gulaliku harus aku persembahkan pada Allah dan sesama, terutama orang-orang kecil yang sering terlupakan. Untuk itu, aku harus belajar untuk mencuci “kaki orang-orang”. Aku harus belajar mencintai setiap pekerjaan yang aku hindari, yang tidak aku sukai, atau yang aku pandang tidak penting. Itulah cara aku bisa belajar untuk taat sepenuhnya, dan ketaatan membutuhkan kerendahan hati. Kerendahan hati adalah pintu bagiku menuju kekudusan.

Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” – Yesus, Raja Semesta Alam (Mat 25:40).

Sauh Jiwa

0

Misa Lingkungan Santo Agustinus, Paroki Santa Odilia – Cikupa – Tangerang, tanggal 19 November 2013 dipenuhi umat, dari anak-anak sampai insan yang telah memutih rambutnya. Paduan suara yang indah dari umat sederhana memecahkan kesunyian malam. Alunan lagu yang menawan itu mengungkapkan adanya pengharapan yang tak pernah binasa dalam jiwa mereka.

Pengharapan hidup itu terungkap dari seorang bapak dalam obrolan santai di teras setelah Misa selesai. Bapak itu berasal dari Tanah Karo, Sumatera Utara, di mana Gunung Sinabung meletus. Ia tinggal di rumah kontrakan sederhana karena tidak punya rencana untuk tinggal selamanya di Kota Tangerang. Ia bekerja sebagai sopir angkot sewaan trayek Balaraja. Istrinya bekerja sebagai buruh pabrik.

Mereka memiliki satu anak perempuan yang berusia tujuh bulan. Mereka terpaksa menitipkan anak tunggalnya itu kepada orang tua mereka di kampung halaman mereka. Keputusan ini diambil karena tidak ada pilihan lain. Mereka bekerja seluruh hari sehingga tidak mungkin sendiri mengasuh anaknya. Penghasilan mereka belum mencukupi untuk membayar seorang pembantu rumah tangga bagi anaknya tercinta. Setiap malam bayangan anaknya di tempat nan jauh sering menyiksa mereka. Kerinduan untuk bersatu dengan anaknya itu terus mengusik kalbu mereka. Kerinduannya itu diobatinya dengan seuntai kata yang ditujukan kepada anaknya : “Nak, tunggu bapak dan mama kembali setelah mengumpulkan uang untuk usaha di kampung halaman. Di sana nanti bapak dan mama akan bisa menghasilkan uang untuk sekolahmu kelak agar nanti engkau bisa mengangkat derajat keluarga dengan kesuksesanmu dalam segala hal”.
Bapak itu kemudian melukiskan keseharian hidupnya dalam rangkaian kata :

“Ketika matahari terbit tiba,
aku siap membanting tulang.
Mengejar penumpang di pinggir-pinggir jalan.
Mencari uang recehan sampai petang.
Kerinduanku cepat pulang kembali bersama istriku,
untuk mendoakan anakku yang tiada bersamaku.
Setiap lembaran uang yang terhitung dengan tanganku,
aku syukuri dengan penuh pengharapan :
‘Nak, semua uang ini adalah untuk masa depanmu”.
Pertemuan doa lingkungan menjadi kekuatan rohaniku
untuk tetap menyalakan pengharapanku”.

Pesan bagi kita: Apapun keadaan kehidupan kita, kita harus menjalaninya dengan penuh pengharapan yang disertai dengan perjuangan. Kita tidak dapat mengubah kehidupan kalau kita sendiri tidak berusaha mengubahnya. Perjuangan hidup yang penuh pangharapan akan berpuncak pada kebahagiaan. Tegarlah dalam melalui kesulitan karena sesudah kesulitan senantiasa ada kebahagiaan. Tuhan telah mengatur segalanya dengan akhir yang indah bagi hati yang tulus dan tak pernah menyerah. Karena itu, tautkanlah iman kita pada Tuhan karena ada pengharapan besar padaNya : “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir” (Ibrani 6:19).

Selamat Natal dan Tahun Baru
Tuhan Memberkati

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Mengikuti Bintang, Untuk Melihat Tuhan

4

image

[Hari Raya Penampakan Tuhan, Hari Anak Misioner Sedunia, Yes 60:1-6; Mzm 72:1-13; Ef 3:2-3a,5-6; Mat 2:1-12]

Hari ini kita merayakan Minggu Epifani, yang artinya ‘Penampakan Tuhan’. Hari ini kita merayakan pernyataan Yesus yang pertama kalinya kepada dunia bahwa Ia adalah Mesias, Seorang Raja yang telah dinanti-nantikan. Bacaan Injil hari ini menuliskan tentang tiga orang majus dari Timur yang dengan melihat sebuah bintang di langit, dan dengan bantuan rahmat tertentu dari Tuhan, mereka datang mencari kelahiran Sang Mesias tersebut di tanah Israel. Mungkin di zaman itu ada banyak orang yang melihat bintang yang sama, namun tak banyak yang tahu ataupun menangkap artinya sebagai tanda kelahiran Kristus, dan kemudian mengikutinya. Suatu gambaran sederhana yang mengisahkan bahwa untuk melihat dan menemukan Tuhan diperlukan kepekaan akan rahmat Tuhan dan usaha dari pihak kita, untuk mencari Dia. Para orang majus melihat bintang itu, dan menanggapinya dengan mau bersusah payah melakukan perjalanan berminggu-minggu melintasi padang pasir, untuk mencari Sang Mesias, yang kelahiran-Nya ditandai oleh bintang itu. Ketika telah sampai ke tanah Yudea, para majus itu-pun tak sungkan bertanya kepada Raja Herodes penguasa daerah itu, yang kemudian menyuruh para imam dan ahli Taurat Yahudi untuk meneliti, di manakah Anak itu akan lahir. Dari merekalah, para majus itu mengetahui bahwa Sang Mesias itu lahir di Betlehem. Dan benarlah, bintang itu kembali mendahului para orang majus itu, dan berhenti tepat di atas sebuah tempat, di mana Anak itu berada (lih. Mat 2:9). Betapa mereka sangat berbahagia, karena menemukan Siapa yang mereka cari! Banyak kaum Yahudi yang tidak menyadari bahwa Raja mereka telah lahir, namun orang-orang majus ini yang berasal dari negeri yang jauh, malah termasuk dalam bilangan mereka yang pertama kali mengenali Kristus sebagai Raja dan menyembah-Nya.

Para majus itu menjadi gambaran samar-samar akan bangsa-bangsa bukan Yahudi yang kelak menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Ya, Para majus itu menjadi gambaran bagi kita semua yang kini mengimani Kristus. Kalau kita sungguh mau mengikuti Kristus, kita tidak perlu takut akan apa tanggapan orang, tidak perlu takut dianggap ekstrim karena kita tidak mengikuti arus dunia. Walaupun panggilan kita sebagai umat Kristiani tidak mudah, dan bahkan membutuhkan pengorbanan, namun kita mengetahui bahwa akan ada Terang Ilahi di akhir perjuangan kita.

Bukankah keseluruhan hidup kita adalah perjalanan menuju Kristus? Dan melalui Kristus menuju Allah Bapa? Maka hidup kita adalah semacam perjalanan yang harus kita lalui dengan terang iman. Kita tak perlu mengandalkan kemampuan diri kita sendiri untuk menemukan Dia. Kristus telah memberikan Gereja-Nya untuk menuntun kita dengan ajaran-ajarannya dan sakramen- sakramennya, agar kita dapat bertemu dan bersatu dengan-Nya. Kristus juga telah memberikan kepada kita Ibu-Nya, yang menjadi teladan Gereja, yaitu Bunda Maria Stella Maris, Sang Bintang Laut yang memimpin kita dalam perjalanan hidup ini, kepada Kristus Putera-nya. Betapa kita perlu memandang kepada bintang ini, agar kita dapat selalu menemukan Kristus. Semoga kitapun dapat mengalami sukacita karena menemukan Dia, dan kita dapat datang kepada-Nya dengan membawa persembahan kita: persembahan yang terbaik- emas, persembahan doa- kemenyan, dan pengorbanan kita- mur.

Setelah kita menemukan Kristus, mari kita mengingat panggilan kita untuk mewartakan Dia, terutama kepada mereka yang belum mengenal Dia. Di hari Epifani ini  kita juga merayakan Hari Anak Misioner sedunia. Kita semua dipanggil untuk menjadi misioner. Sejauh mana kita telah melakukannya?

Keluarga Kudus, Teladan Bagi Keluarga Kita

3

[Pesta Keluarga Kudus: Yesus Maria dan Yusuf: Sir 3:2-6,12-14; Mzm 128:1-5; Kol 3:12-21; Mat 2:13-15, 19-23]

Di masa Natal ini, mata hati kita tertuju kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah lahir di kandang Betlehem. Ia memilih untuk dilahirkan dalam sebuah keluarga, yaitu dalam asuhan bapa angkat-Nya Yusuf, dan Bunda Maria. Ini adalah bukti bahwa Allah memandang keluarga sebagai sesuatu yang penting, sehingga Ia mengutus Putera-Nya untuk lahir dan menjadi bagian di dalamnya, yang kita kenal dengan sebutan Keluarga Kudus. Padahal sebenarnya bukan merupakan keharusan bagi Tuhan Yesus untuk lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga, namun dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya, Ia toh mengambil jalan ini. Yesus begitu ingin dekat dan menyatu dengan kita, sehingga Ia mau melewati setiap jengkal kehidupan sebagai manusia, dan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan-Nya sendiri.  Demi kasih-Nya yang begitu besar, Yesus Sang Putera Allah itu menghampakan diri-Nya, menjelma menjadi setitik sel dalam kandungan Bunda Maria, lahir sebagai bayi yang kecil, melewati masa kanak-kanak, tumbuh menjadi remaja dan dewasa dalam sebuah keluarga. Dengan demikian, Tuhan Yesus menguduskan setiap tahap kehidupan kita sebagai manusia, sebab Ia sendiri melewati semua tahapan itu.

Dan tahapan yang diambil-Nya juga bukan tahapan yang mudah. Tuhan Yesus lahir di kandang, berbaring di tempat makanan hewan, tanpa kenyamanan yang umum dialami bayi manusia. Bukan hanya itu saja, Injil hari ini mengisahkan bahwa tak lama setelah kelahiran-Nya, Yesus dibawa mengungsi ke Mesir, setelah Yusuf memperoleh pertanda melalui mimpi (lih. Mat 2:13). Tentulah keadaan ini bukan keadaan yang mudah. Sejumlah dari kita mungkin mengingat dengan jelas pengalaman menjadi pengungsi, ketika kita mengalami musibah banjir di Pluit tepat sekitar setahun yang lalu. Tapi pengungsian yang kita alami sungguh bukan apa-apa jika dibandingkan dengan pengungsian Kristus. Sebab di waktu pengungsian itu, kita masih terhubung dengan sesama saudara ataupun sahabat kita, tidak seperti yang dialami oleh Keluarga Kudus. Mereka menempuh jarak sekitar 400 km, dari Betlehem ke Mesir, menunggangi keledai dalam cuaca yang dingin, terpisah jauh dari sanak saudara dan teman. Mereka menyingkir dari ancaman pembunuhan bayi dan anak-anak di Betlehem atas perintah Raja Herodes (lih. Mat 2:16-18). Demikianlah sejak kelahiran-Nya, Kristus telah ditolak oleh bangsa-Nya sendiri. Bersama Yusuf dan Maria, Tuhan Yesus harus mengungsi di negeri asing, dalam keadaan miskin dan kekurangan. Suatu keadaan yang sangat kontras jika dibandingkan dengan kemeriahan Natal saat ini yang nampak di mall-mall ibukota. Sebab peristiwa kedatangan Kristus yang diperingati sesungguhnya sangat sederhana. Kesederhanaan Keluarga Kudus ini, selayaknya membuka mata hati kita, untuk melihat kehadiran Tuhan Yesus justru dalam peristiwa-peristiwa yang kecil dan sederhana. Dalam keluarga kita dan dalam komunitas kita, walaupun dalam keadaan yang paling sulit sekalipun,  Tuhan Yesus tidak pernah gagal untuk menyatakan kasih dan kehadiran-Nya. Hanya bersama Dia-lah, kita dapat menjalani kehidupan kita dengan suka cita dan dengan penuh pengharapan. Sebab Imanuel, yaitu Allah yang beserta kita itu adalah Yesus, yaitu Allah yang menyelamatkan.

Maka, seperti dahulu Kristus hadir di tengah-tengah St. Yusuf dan Bunda Maria, kini Ia-pun mau hadir di tengah keluarga kita. Mari kita menyediakan tempat bagi-Nya, dalam hati kita, dan dalam keluarga kita. Semoga dengan kehadiran Kristus di dalam keluarga kita, kita dimampukan untuk mengenakan “belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran” (Kol 3:12), agar kitapun dapat mengalami kebahagiaan dan kasih sejati, sebagaimana dialami oleh Keluarga Kudus: Yesus, Maria dan Yusuf.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab