Home Blog Page 80

Perfecto !

0

Akhirnya, musim ujian telah tiba! Saat ini, aku sedang menjalani Ujian Tengah Semester (UTS). Biar dalam biara, aku tetap harus menjalani studi akademik. Apalagi, aku masih dalam masa formasi. Hingga hari ini, sudah ada tiga mata pelajaran yang telah diujikan. Jadi teringat masa ujian waktu kuliah dulu. Begadang mengejar materi pelajaran yang tertinggal, belajar kelompok dengan teman-teman, pusing saat menjawab soal ujian, dll. Benar-benar nostalgia.

Hingga tiga mata kuliah diujikan, aku masih jengkel pada diri sendiri. Perkaranya, aku hanya tinggal sejengkal dari nilai sempurna (ciehh, bukannya mau sombong :P). Parahnya, aku tersandung hanya karena kelalaian-kelalaian sepele, seperti lupa menuliskan jawaban, tidak memperhatikan perintah soal dengan baik, dll. Padahal, bukannya aku tidak ingat jawaban atas soal-soal yang ada. Kalau tidak tahu jawabannya atau soal terlalu sulit, aku masih bisa pasrah.

Sambil mempersiapkan ujian berikutnya, aku merenungkan pelan-pelan apa yang menyebabkan aku bisa begitu teledor. Jika dipikir-pikir, sebenarnya aku tidak perlu mengeluh masalah nilai ini. Malah, seharusnya aku bersyukur. Nilai yang aku peroleh bukannya nilai jelek. Selain itu, Tuhan sudah begitu baik menuntunku sehingga aku bisa mengejar jarak ilmu antara aku dan saudara-saudaraku yang berasal dari seminari. Lha wong biasanya mengurusi masalah marketing dan target penjualan, sekarang harus belajar bahasa Latin dan Kitab Suci. Bisa dapat nilai baik sebenarnya sudah harus bersyukur.

Tapi, mungkin Tuhan juga punya pesan lain melalui ujian-ujian ini, yakni mengenai semangatku mengejar kesempurnaan. Aku begitu semangat belajar mempersiapkan ujian dan menjawab ujian. Aku juga begitu kecewa ketika aku tidak dapat meraih nilai sempurna karena kesalahan kecil. Semangatku untuk meraih nilai sempurna begitu berkobar. Apakah kobaran ini juga hadir dalam perjuanganku meraih kesempurnaan hidup kudus? Pertanyaan yang mendadak terlontar ini langsung membuat semua celoteh mengenai nilai ujian dalam benakku terdiam. Jika aku begitu berjuang untuk kesempurnaan nilai yang fana, apakah aku melakukan hal yang sama untuk nilai yang baka?

You got me, Lord! Skak mat.. Aku memang belum memiliki semangat yang sama dalam hal hidup kudus. Aku tidak dapat menerima diriku yang teledor dalam menjawab, namun aku mentoleransi saat dosa menggoda, karena menyepelekan dan menganggap dosa itu dosa ringan. Aku, yang begitu semangat mempersiapkan ujian, seharusnya juga mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk menghadapi ujian hidup yang bisa datang kapan saja. Belum tentu ada remidi lagi. Sebagaimana aku ingin sempurna dalam hal nilai, aku juga terlebih-lebih harus berjuang dalam hal kekudusan hidup. Karena hanya dengan memiliki hidup kudus, aku dapat memeluk dan mencium Allah pada waktu-Nya nanti.

“Berlarilah, melompatlah, buatlah keributan, tapi jangan berbuat dosa” – St. Yohanes Bosco.

Melihat Kristus yang bangkit

0

[Hari Raya Paska Kebangkitan Tuhan: Kis 10:34-43; Mzm 118:1-23;  Kol 3:1-4; Yoh 20:1-9]

Alleluia! Hari ini kita merayakan kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus. Kebangkitan Kristus yang merupakan kemenangan-Nya atas maut ini adalah kunci untuk memahami misteri seluruh kehidupan-Nya. Kebangkitan-Nya ini merupakan dasar iman kita, sebab  jika Kristus tidak sungguh bangkit, maka sia-sialah iman kita (1Kor 15:17). Sebab puncak pernyataan kasih Allah di dalam Kristus yang mengambil rupa manusia, adalah untuk membebaskan manusia dari kuasa dosa dan maut. Dan untuk itulah, Kristus wafat dan bangkit dari kematian. Paus Fransiskus dalam surat ensikliknya yang pertama, Lumen Fidei, mengatakan, “Kematian Kristus memperlihatkan keandalan sempurna dari kasih Allah, terutama dalam terang kebangkitan-Nya. Sebagai Seorang yang bangkit, Kristus adalah saksi yang dapat dipercaya, patut diimani (bdk. Why 1:5; Ibr 2:17), dan sebuah pendukung yang kuat untuk iman kita. “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaanmu”, kata Santo Paulus (1 Kor 15:17). Seandainya kasih Bapa tidak menyebabkan Yesus bangkit dari kematian-Nya, seandainya kasih itu belum mampu mengembalikan tubuh-Nya untuk hidup kembali, maka itu tidak akan menjadi sebuah kasih yang benar-benar dapat diandalkan, yang mampu menerangi juga kegelapan dari kematian. … Umat Kristiani, mengakui iman mereka dalam kasih Allah yang nyata dan kuat yang benar-benar bertindak dalam sejarah dan menentukan tujuan akhirnya: sebuah kasih yang dapat dijumpai, sebuah kasih yang sepenuhnya terungkap dalam sengsara, kematian dan kebangkitan Kristus.” (LF 17)

Maka kebangkitan Kristus bagi kita merupakan bukti bahwa kasih Allah adalah kasih yang dapat dipercaya, sebab kasih-Nya tiada berakhir dan melampaui segala sesuatu, bahkan kematian sekalipun. Tiada seorangpun yang dapat memberikan kasih semacam ini. Kebangkitan Kristus membawa kepada kita pengharapan, bahwa kalau kita beriman kepada-Nya, dan terus setia sampai akhir, kitapun akan beroleh janji keselamatan ini: yaitu kita akan juga dibangkitkan bersama-sama dengan Kristus. Oleh karena itu, perayaan Paska selalu mengingatkan kita akan Baptisan, yang melaluinya kita disatukan dengan Kristus dalam wafat dan kebangkitan-Nya, sehingga kita memperoleh kehidupan ilahi-Nya yang dapat menghantar kita kepada kehidupan kekal.

Perjalanan untuk sampai kepada kehidupan kekal ini mensyaratkan iman. Paus Fransiskus menyebutkan bahwa Injil Yohanes merupakan Injil yang dengan sempurna menggambarkan keterkaitan antara iman dengan pendengaran dan penglihatan akan Kristus yang hidup. “Pada akhirnya, kepercayaan dan penglihatan bersinggungan: “Siapapun yang percaya kepada-Ku, percaya kepada Dia yang telah mengutus Aku. Dan barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia yang telah mengutus Aku.” (Yoh 12:44-45). Digabungkan dengan pendengaran, penglihatan kemudian menjadi sebuah cara dari mengikuti Kristus, dan iman muncul sebagai sebuah proses dari tatapan, yang di mana mata kita berangsur terbiasa dengan memandang dengan tajam jauh ke dalam. Maka, Paskah pagi diteruskan dari Yohanes yang, berdiri di kegelapan awal pagi di hadapan makam yang kosong, “melihat dan percaya” (Yoh 20:8), kepada Maria Magdalena yang, setelah melihat Yesus (bdk. Yoh 20:14) dan ingin memegang-Nya, diminta untuk memandang-Nya saat Dia naik kepada Bapa-Nya, dan akhirnya, kepada pengakuan penuh Maria Magdalena dihadapan para murid-Nya: “Aku telah melihat Tuhan!” (Yoh 20:18)….. Bagaimana seseorang mencapai perpaduan antara pendengaran dan penglihatan ini? Hal ini menjadi mungkin melalui pribadi Kristus sendiri, yang dapat dilihat dan didengar. Dia adalah Sang Sabda yang menjadi daging, yang kemuliaan-Nya telah kita lihat (bdk. Yoh 1:14). Terang iman adalah terang dari sebuah wajah yang di dalamnya Bapa terlihat …. Kebenaran yang diungkapkan iman kepada kita adalah sebuah kebenaran yang berpusat pada sebuah perjumpaan dengan Kristus, pada pandangan akan kehidupan- Nya dan pada kesadaran akan kehadiran-Nya. Santo Thomas Aquinas berbicara tentang fides oculata para rasul – sebuah iman yang melihat! – dalam kehadiran tubuh Tuhan yang bangkit. Dengan mata kepala mereka sendiri mereka melihat Yesus yang bangkit dan mereka percaya; dengan kata lain, mereka mampu untuk melihat lebih tajam ke kedalaman pemahaman dari apa yang telah mereka lihat dan untuk mengakui iman mereka kepada Putera Allah, yang duduk di sebelah kanan Bapa-Nya.” (LF 30)

Sudahkah kita melihat jauh ke dalam, ketika mendengarkan dan merenungkan Injil hari ini, sehingga kitapun dapat dengan yakin mengimani bahwa Kristus adalah Tuhan yang telah sungguh bangkit dari mati, untuk memberikan hidup-Nya yang mengatasi kematian itu kepada kita?

Mencium Kaki Pengkhianat

2

Di malam itu, Engkau mengadakan Perjamuan Malam Terakhir bersama kami, para murid-Mu. Engkau menyiapkan makanan dalam piring-piring yang tersedia dan menghidangkannya. Suasana khidmat begitu terasa saat mazmur demi mazmur mulai Kau daraskan bersama mereka. Suasana begitu hangat dan penuh kekeluargaan, tapi sekaligus agung dan khusyuk. Semua makan dengan penuh penghayatan, seolah mereka berada di ruang dan waktu yang sama ketika Allah melawat Mesir untuk menyelamatkan Bangsa Israel di malam Paskah Pertama ribuan tahun lalu.

Tiba-tiba, Engkau bangkit berdiri, menanggalkan jubah-Mu, mengambil sehelai kain, dan mengikatkan pada pinggang-Mu. Engkau lalu menuang air ke sebuah baskom dan mulai membasuh kaki Para Rasul. Wajah para Rasul membeku terpana karena terkejut melihat apa yang Engkau lakukan. Begitu juga denganku dan Bunda Maria, yang menatapMu dengan bingung dari meja seberang. Kulihat St. Petrus sempat menolak kakinya Kau basuh. Namun, setelah berbicara sebentar, akhirnya ia membiarkan kakinya Kau bersihkan dengan air dan Kau keringkan dengan kain itu.

Ketika giliran Yudas Iskariot tiba, aku bisa melihat jelas wajahnya menegang hingga urat pipi dan kepalanya terlihat. Entah kenapa, ia terlihat begitu gugup dan kikuk. Kulihat Engkau tersenyum padanya sambil membasuh kakinya. Engkau tampak membisikkan sesuatu padanya. Namun, ia hanya terdiam sambil menatap kosong tembok di samping. Sebagaimana yang lain, Engkau mengecup kakinya dengan lembut, penuh cinta. Engkau mengasihi kami semua senantiasa, dan demikianlah sekarang Engkau mengasihi kami sampai pada kesudahannya (Yoh 13:1).

Suasana berubah tegang mencekam ketika Engkau mengatakan ada pengkhianat di dalam ruangan ini. Ada sedikit keributan di meja makan tempat Engkau dan para Rasul makan. Tak lama kemudian, Yudas Iskariot keluar dari ruangan. Mungkin, ia Kau suruh melakukan sesuatu. Engkau lalu berbicara mengenai kepergian-Mu dan perintah supaya kami saling mengasihi. St. Petrus langsung berdiri menyela,”Tuhan, ke manakah Engkau pergi?” Dengan tenang, Engkau menjawab,”Tempat aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti aku sekarang. Tetapi, kelak engkau akan mengikuti Aku.” Kulihat ia langsung protes dan memaksa ikut.

Pikiranku melayang bersama dengan protes St. Petrus,”Tuhan, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang?” Aku juga ingin mengikuti Engkau, sebagaimana St. Petrus yang mau memberikan nyawanya untukMu. What does it take to follow You? Apa yang aku perlukan untuk bisa mengikutiMu?

Aku perlu komunitas biaraku dan semua orang-orang di sekelilingku, para saudara seperjalanan, siapapun itu. Aku perlu semangat lepas-bebas dan hidup miskin. Aku juga perlu agar jiwaku mau melayani sesama, sebuah kerendahan hati yang nyata. Bagaimana caranya agar aku memiliki semua itu? Andaikata aku menjadi imam nanti, apakah aku sungguh memiliki kerendahan hati yang kudus dan semangat melayani sesama? Apakah aku akan memiliki kerendahan hati untuk berbagi tanpa menjadi angkuh? Apakah aku berani memberi diri untuk semua saudara seperjalananku?

Apapun bentuk dan warnanya, gulali terbentuk dari gula yang manis. Apapun tugas yang akan Kau percayakan padaku, aku hanya butuh manisnya cinta-Mu. Berikanlah padaku cinta sejati, cinta-Mu. Berikanlah padaku cinta yang tetap membasuh dan mencium kaki orang, sekalipun aku tahu pasti bahwa ia akan mengkhianati dan menolak cintaku. Berikan padaku cinta-Mu, yang tetap memberikan diri seutuhnya, walaupun pengorbananku disia-siakan. Jangan biarkan aku takut mencintai walaupun tersakiti.

“Ketika aku tidak memiliki sesuatupun untuk kupersembahkan lagi padaNya, aku akan mempersembahkan ketiadaan ini.” – St. Therese Lisieux

Yesus bangkit sesudah 3 hari atau pada hari ke-3?

1

Menurut para ahli Kitab Suci, istilah “sesudah tiga hari” atau “pada hari ketiga” mengacu kepada hal yang sama.

Berikut ini adalah jawaban yang kami peroleh dari Dr. David J. Twellman D. Min., Th. M, pembimbing bidang Kitab Suci situs Katolisitas:

“I think the best way to interpret both of these expressions is to see them as different ways of saying the same thing. According to C.S. Mann’s commentary on Mark in the Anchor Bible, these two phrases (metatreishēmeras and tētritēhēmera) meant the same thing in both the Greek Old Testament and Hellenistic Greek.

Jesus would likely have spoken this in an Aramaic expression which could legitimately be rendered with either one of these two Greek expressions. But it is the Greek text of Matthew, Mark, and Luke that is definitive, not a hypothetical reconstructed Aramaic original.

“On the third day” (tētritēhēmera in Mt 16:21; 17:23; 20:19; Lk 9:22; and tēhēmeratētritē in Lk 18:33) means Sunday, in the sense that it refers to the third day of His Passion: Friday, Saturday, and Sunday.

“After three days” (meta treishēmeras [only in Mark] Mk 8:31; 9:31; 10:34) also means Sunday, in the sense that it refers to a time subsequent to the beginning of the third day of the three days of His Passion, including the beginning of Friday, the day on which he died, the beginning of Saturday, during which his body was in the tomb, and the beginning of Sunday, the day which began with Jesus in the tomb, and saw his resurrection from the dead. To the English speaker who says “Well, that’s not what ‘after three days’ means to me”, I would politely suggest that metatreishēmeras would indeed have meant that to the particular hearers of his Greek expression in the church in Rome, where Mark’s Gospel was likely written.

This is the simplest answer that arises from the assumption that God’s Word doesn’t contradict itself. For those who don’t share this assumption, there are various approaches to the complexities of the issue, but they may not satisfy one who is willing to see a contradiction.”

Terjemahannya:

“Saya pikir cara yang terbaik untuk menginterpretasikan istilah-istilah ini adalah untuk melihatnya sebagai cara-cara yang berbeda untuk mengatakan hal yang sama. Menurut penjelasan C.S. Mann tentang Injil Markus di Anchor Bible, kedua frasa ini (dalam bahasa Yunani: ‘meta treis hemeras‘/ ‘setelah tiga hari’ dan ‘te trite hemera‘/ ‘pada hari ketiga’) keduanya mempunyai arti yang sama dalam Kitab Perjanjian Lama berbahasa Yunani dan Yunani Hellenistik.

Yesus kemungkinan telah mengucapkan hal ini di dalam istilah Aram yang dapat secara sah sesuai dengan kedua istilah Yunani tersebut. Tetapi yang definitif adalah teks Yunani Injil Matius, Markus dan Lukas, dan bukan dugaan rekonstruksi dalam bahasa asli Aram.

“Pada hari ketiga” (‘te trite hemera‘ di dalam Mat 16:21; 17:23; 20:19; Luk 9:22; dan ‘te hemera te trite‘ di dalam Luk 18:33) berarti hari Minggu, dalam artian bahwa hal itu mengacu kepada hari ketiga Sengsara-Nya: Jumat, Sabtu dan Minggu.

“Setelah tiga hari” (‘meta treis hemeras‘ [hanya di Injil Markus] Mrk 8:31; 9:31; 10:34) juga berarti hari Minggu, dalam artian bahwa hal itu mengacu kepada waktu yang mengikuti permulaan hari yang ketiga dari tiga hari Sengsara-Nya, termasuk permulaannya di hari Jumat- pada hari Yesus wafat, permulaan hari Sabtu- ketika tubuh-Nya ada di dalam kubur, dan permulaan hari Minggu- hari yang dimulai dengan Yesus di dalam kubur dan melihat kebangkitan-Nya dari kematian. Kepada para pembicara yang berbahasa Inggris yang mengatakan, “Tetapi, hal itu bukan arti ‘setelah tiga hari’ bagi saya”, maka saya dengan segala hormat mengatakan bahwa meta treis hemeras memang berarti demikian bagi para pendengar tertentu mengenai istilah Yunani tersebut di dalam Gereja di Roma, di mana Injil Markus telah kemungkinan besar dituliskan.

Ini adalah jawaban yang paling sederhana yang muncul dari anggapan bahwa Sabda Tuhan tidak mungkin menentang dirinya sendiri. Kepada mereka yang tidak setuju dengan anggapan ini, terdapat beragam pendekatan terhadap kerumitan-kerumitan tentang hal ini, tetapi hal-hal tersebut mungkin tidak akan memuaskan bagi seseorang yang memang berkeinginan melihat adanya kontradiksi.”

Kristus, Imamat, dan Ekaristi

0

Misa Kudus adalah bagian dari kehidupan dalam biara. Tidak ada hari tanpa Misa karena di situlah sumber kekuatan sejati bagi hidup, walaupun aku kadang kurang menyadari hal itu. Biasanya, setelah menerima komuni, aku kembali ke bangku dan langsung menutup mata, menikmati saat-saat indah dan pribadi yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia ini. Namun, hari ini aku duduk merenung bersama Kristus tanpa memejamkan mata. Aku memperhatikan Imam yang sedang membagikan Tubuh Kristus dan membayangkan bahwa Kristus sendiri sedang membagikan Tubuh-Nya pada semua orang. Ternyata, memang ketiganya memiliki hubungan yang erat sekali, antara Kristus, Imamat, dan Ekaristi. Menjadi seorang imam tidak jauh berbeda dari menjadi seperti Kristus dalam Ekaristi.

Seorang imam harus siap dipecah dan dibagikan kepada orang banyak, sama seperti Kristus yang dipecah dan dibagikan dalam Ekaristi.

Seorang imam harus berjuang untuk mempersatukan banyak orang, sama seperti Kristus yang menyatukan semua orang yang menyambut Tubuh-Nya.

Seorang imam harus memberikan diri seutuhnya sekalipun si penerima tidak layak, seperti Kristus yang memberikan Diri-Nya padaku yang tidak layak.

Seorang imam harus rela berkorban sekalipun tidak dihargai dan tanpa terima kasih, seperti Kristus yang seringkali disambut dalam Komuni secara tidak pantas dan tanpa terima kasih.

Seorang imam harus rela menunggu dalam sepi dan kesendirian, seperti Kristus yang senantiasa hadir dengan setia di balik Tabernakel gedung gereja yang kosong.

Seorang imam harus memperhatikan kebutuhan dan kondisi umatnya satu demi satu, seperti Kristus yang memperhatikan aku dan semua orang secara mendalam.

Seorang imam harus tetap rendah hati sekalipun dipuja-puji, seperti Kristus yang tetap rendah hati sekalipun semua orang berlutut padaNya dalam Adorasi Abadi.

Seorang imam harus tetap sederhana dan polos, seperti Kristus yang hadir secara sederhana dalam roti gandum putih dan anggur, bukan dalam kue tart penuh krim garnish dan cocktail.

Seorang imam harus siap sedia kapanpun ketika dibutuhkan oleh orang banyak, seperti Kristus yang sigap menyentuh umat-Nya melalui piksis dan tangan imam.

Seorang imam harus tetap mencintai sekalipun disakiti, seperti Kristus yang mencintai dan mengampuni manusia sekalipun Tubuh dan Darah-Nya terkadang diperlakukan tidak layak.

Perjalanan menuju imamat sungguh merupakan tantangan berat karena meniru Kristus sepenuh-penuhnya. Aku tahu semua itu tidak mungkin terjadi bila hanya mengandalkan kekuatanku sendiri. Semua hal tersebut berada di luar kekuatan kodratku (super: di atas, natural: kodrat; Latin). Untuk mampu meniru seseorang yang supernatural, dibutuhkan pula kekuatan supernatural. Kekuatan supernatural itu Ia sediakan melalui Tubuh dan Darah-Nya, yang Ia berikan secara melimpah. Dalam Ekaristi, Tubuh, Darah, Jiwa, dan KeAllahan Kristus hadir secara nyata, mencurahkan rahmat adikodrati yang diperlukan setiap manusia, terutama aku, untuk mengikuti jejak-Nya. Gulali ini, betapapun manisnya, tidak ada bandingnya dengan Ekaristi yang Kristus hadiahkan pada dunia. Semoga dengan menyatu bersama Kristus yang supernatural melalui Ekaristi, aku yang natural ini bisa diangkat hingga menyerupai Dia, Sang Imam Agung Pengantara.

Sebagaimana dua lilin disatukan menjadi satu, begitu pula ia yang menerima Komuni Kudus menjadi begitu bersatu dengan Kristus, di mana Kristus ada di dalamnya dan ia dalam Kristus.” – St. Sirilus dari Alexandria.

Eros, philia, agape

11

Memang menurut bahasa Yunani ada empat kata untuk kata “kasih/ cinta”. Agape adalah kasih yang tak bersyarat, eros adalah kasih yang menginginkan, philia adalah kasih antara sahabat/ saudara, dan storge adalah ungkapan kasih kodrati, seperti antara orang tua kepada anak (namun ungkapan yang keempat ini jarang digunakan dalam karya tulis kuno). Tentang eros, philia dan agape, kami mengacu kepada surat ensiklik pertama dari Paus Benediktus XVI, yang berjudul Deus Caritas est (DCe)- God is Love:

Jika dilihat dari pengertian dasarnya, menurut Paus Benediktus XVI, eros adalah kasih antara pria dan wanita di mana kasih tersebut tidak direncanakan ataupun diinginkan, namun sepertinya tertanam di dalam diri manusia itu. Sedangkan philia adalah kasih persahabatan yang sering dipakai untuk menggambarkan kasih antara Kristus dan para murid-Nya, dan agape adalah kasih menurut pengertian Kristiani (lih. DCe, 3), yang mengacu kepada kasih yang rela berkorban (lih. DCe, 7). Paus Benediktus mengatakan bahwa menurut Perjanjian Lama bahasa Yunani, kata ‘eros‘ hanya tertulis dua kali, sedangkan dalam Perjanjian Baru, kata eros sama sekali tidak digunakan.

Menurut pengertian Yunani, eros artinya adalah “divine madness“, namun penerjemahannya di dalam agama Yunani adalah dengan praktek prostitusi dalam kuil- kuil mereka, di mana manusia seolah- olah dijadikan alat untuk memancing kegairahan “divine madness” tersebut. Maka di sini terlihat bahwa makna eros perlu dimurnikan, jika ingin dikembalikan ke makna aslinya, yang dalam konteks rohani mengacu kepada suatu pengalaman puncak dari keberadaan kita manusia, yaitu persatuan dengan Tuhan, keinginan yang telah tertanam dalam diri manusia.

Maka konsep pengertian eros menyatakan adanya hubungan antara kasih dan Tuhan; dan karena manusia terdiri dari tubuh dan jiwa, maka untuk mengasihi Tuhan juga dibutuhkan keterlibatan tubuh dan jiwa. Pandangan ini memurnikan kesalahan pandangan umum yang ada dewasa ini, yang mereduksi eros menjadi “seks saja” atau yang lama kelamaan menuju kepada ekstrim yang lain yaitu kebencian terhadap apa yang berkaitan dengan tubuh manusia. Iman Kristiani tidak mengajarkan demikian, sebab manusia memang terdiri dari tubuh dan jiwa yang spiritual, dan untuk dapat mengasihi Tuhan, diperlukan jalan ‘eros‘ yang menanjak menuju Tuhan, yang melibatkan penyangkalan diri/ pengorbanan, pemurnian dan pemulihan. (lih. DCe 5)

Dalam Kitab Kidung Agung, dituliskan kata kasih dengan istilah dodim -yang artinya kasih yang tak menentu, yang mencari-cari- dan ahaba (keduanya adalah kata Ibrani) yang diterjemahkan dalam versi Yunani menjadi agape. Agape ini kemudian menjadi istilah tipikal dalam Kitab Suci untuk menggambarkan kasih yang tidak lagi tidak menentu, sebab kasih ini tertuju kepada pengenalan akan diri orang yang dikasihi, melebihi perhatian ataupun kesenangan sendiri. Agape menginginkan kebaikan bagi orang yang dikasihi, dan keinginan untuk berkorban baginya (lih. DCe 6).

Jadi eros dan agape menggambarkan realitas kasih yang tidak terpisahkan.  Kasih tidak bisa selalu memberi (agape) tetapi juga menerima (eros). Mereka yang ingin memberi kasih harus juga menerima kasih (lih. DCe 7) Pada Tuhan, kasih eros-Nya kepada manusia juga adalah kasih yang total agape. Kasih Tuhan yang membara kepada manusia adalah juga kasih-Nya yang mengampuni. Kasih Allah yang sedemikian kepada manusia digambarkan sebagai kasih antara mempelai pria dan wanita, seperti tertulis dalam kitab Kidung Agung, yaitu bahwa manusia dapat masuk ke dalam kesatuan dengan Tuhan, “Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia.” (1 Kor 6:17) (lih. DCe, 10)

Kasih eros ini tertanam dalam diri manusia, bahwa laki- laki terpanggil untuk meninggalkan ayah ibunya dan bersatu dengan istrinya. Dengan demikian, perkawinan yang monogam merupakan penggambaran nyata atas kasih Tuhan yang satu (monotheism) kepada manusia. Cara Tuhan mengasihi manusia, menjadi tolok ukur/ contoh bagi kasih manusia.

Menarik untuk disimak adalah contoh penggunaan kata philia dan agape, dalam perikop Yoh 21:15-19. Di sana Yesus bertanya sebanyak tiga kali kepada Rasul Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Pertanyaan Yesus yang pertama dan kedua menggunakan kata agape, Apakah engkau mengasihi (agapo) Aku? Namun Petrus selalu menjawabnya dengan, “….Engkau tahu bahwa aku mengasihi (philieo) Engkau”. Yang ketiga kalinya, Yesus bertanya, “Apakah engkau mangasihi (phileo) Aku?” Dan Petrus menjawab, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi (phileo) Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” (Yoh 21:17)

Agaknya Tuhan Yesus memahami bahwa kasih Petrus kepada-Nya tidak akan sama besarnya dengan kasih-Nya (agape) kepada Petrus. Namun demikian, Kristus menerima pernyataan kasih dari Petrus yang sejujurnya ini, dan tetap mempercayakan penggembalaan kawanan domba-Nya kepada Petrus. Penerimaan Kristus akan diri Petrus apa adanya inilah yang justru mengubah Petrus, dan menumbuhkan kasih di dalam hatinya, sehingga kelak di akhir hidupnya, Petrus dapat membuktikan kasih yang besar kepada Kristus dengan kasih yang menyerupai kasih Kristus kepadanya. Rasul Petrus rela menyerahkan dirinya untuk dihukum mati oleh pihak penguasa Roma dengan disalibkan terbalik, demi membela imannya akan Kristus.

Sungguh, kesaksian hidup rasul Petrus yang semakin bertumbuh di dalam kasih kepada Tuhan ini, selayaknya menjadi teladan kita. Seperti Petrus, kitapun mungkin jatuh bangun di dalam hidup ini. Namun selayaknya kita mengingat akan kasih Allah yang total tak bersyarat/ agape kepada kita; sehingga hari demi hari kita dibentuk oleh Tuhan untuk menjadi semakin bertumbuh di dalam kasih kepada-Nya, agar semakin menyerupai kasih-Nya yang total kepada kita.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab