Home Blog Page 64

Beberapa ayat Kitab Suci yang nampaknya saling bertentangan

37

Abyatar atau Ahimelek (Mrk 2:26; 1Sam 21:1-6)?

Ada pertanyaan: Daud makan roti sajian di masa Imam Besar Ahimelek atau Abyatar (Mrk 2:26; 1Sam 21:1-6)? Injil mencatat bahwa Yesus mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar’, padahal kita tahu dari 1 Samuel bahwa sebenarnya bukan Abyatar yang menjabat sebagai Iman Besar waktu itu, melainkan ayahnya, Ahimelek.

Bagaimana menjelaskan perbedaan ini?

1. Kita melihat kecenderungan bahwa seseorang diingat untuk suatu peran/ jabatan puncak yang pernah diembannya. Maka ketika menjabarkan tentang kisah Daud saat menggembalakan domba-domba-nya, orang mengatakan demikian, “Waktu Raja Daud menjadi gembala ….”, meskipun saat itu Daud belum menjadi Raja. Demikianlah, meskipun saat itu Abyatar belum menjadi Imam Besar, namun ia toh segera menjabat menjadi Imam Besar, dan itulah jabatan yang membuat orang mengenangnya; maka ia disebut dengan jabatan ini. Sebab memang kejadian itu terjadi ‘in the days of Abiathar’ yaitu pada masa Abyatar hidup. Sebab dikatakan dalam 1 Sam 22:20, bahwa ia luput dari penganiayaan Raja Saul, ketika Saul membunuh para imam Tuhan, termasuk seluruh keluarga ayahnya.

2. Selain itu, para ahli Kitab Suci juga menyebutkan bahwa dari kata aslinya yang dipakai, yaitu frasa dalam bahasa Yunani: ‘epi Abiathar archieros‘, kata ‘epi‘ dapat diartikan tidak saja sebagai ‘waktu’ atau pada saat. Sebab kata ‘epi’ juga dapat diartikan sebagai ‘tempat’, atau kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris, ‘upon’. Dalam Injil Markus, terdapat 21 kali kata ‘epi‘ digunakan dan 18 di antaranya diterjemahkan/ dihubungkan dengan tempat dan bukan dengan waktu. Dengan demikian, terjemahan ‘waktu’ di ayat Mrk 2:26 ini sebenarnya bukan terjemahan satu-satunya yang paling tepat.

Lalat atau Nyamuk (Mat 23:24)?

Terjemahan mana yang benar dalam Mat 23:24: lalat atau nyamuk? Kalau terjemahannya berbeda-beda, maka bukankah otentisitas dari Kitab Suci dapat dipertanyakan? Mari kita menganalisanya secara lebih mendalam. Dalam Mat 23:24 dituliskan sebagai berikut:

bahasa indonesia sehari-hari : Kalian pemimpin-pemimpin yang buta! LALAT dalam minumanmu kalian saring, padahal unta kalian telan!

terjemahan baru: Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, NYAMUK kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan.

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka dua prinsip harus kita lihat, yaitu: (1) gaya bahasa yang digunakan dan (2) dari bahasa asli.

Dalam menginterpretasikan Kitab Suci, kita harus memperhatikan gaya bahasa. Tentang hal ini telah dibahas di sini – silakan klik. Dari ayat tersebut, kita tahu bahwa gaya bahasa yang dipergunakan adalah gaya bahasa hyperbolisme. Bahasa ini ingin memberikan penekanan efek yang besar, sehingga dapat memberikan impresi yang kuat kepada pembaca. Kita tahu bahwa semua orang tidak menelan nyamuk, lalat, atau unta, sehingga ayat tersebut tidak dapat diartikan secara literal.

Alasan yang kedua adalah dengan melihat bahasa asli dari kata “lalat” atau “nyamuk” yang digunakan, yaitu: κώνωψ
kṓnōps; gen. kṓnōpos, masc., fem. noun. A gnat, mosquito. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “gnat” seperti NASB menterjemahkan “You blind guides, who strain out a gnat and swallow a camel” (Mat 23:24). Kalau kita melihat kata “gnat” ini, maka artinya adalah:

Webster: GNAT, n. nat. A small insect, or rather a genus of insects, the Culex, whose long cylindric body is composed of eight rings. They have six legs and their mouth is formed by a flexible sheath, inclosing bristles pointed like stings. The sting is a tube containing five or six spicula of exquisite fineness, dentated or edged. The most troublesome of this genus is the musketoe.

Wikipedia: A gnat ( /ˈnæt/) is any of many species of tiny flying insects in the Dipterid suborder Nematocera, especially those in the families Mycetophilidae, Anisopodidae and Sciaridae…..

Jadi, dari webster dan wikipedia, kita dapat melihat bahwa secara prinsip gnat adalah serangga kecil yang dapat terbang, yang dapat berarti nyamuk maupun lalat.

Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara dua terjemahan tersebut. Dan sungguh salah kalau disimpulkan bahwa dua perbedaan terjemahan tersebut dapat menunjukkan bahwa Kitab Suci tidaklah akurat. Terjemahan “lalat” maupun “nyamuk” juga tidak mengubah arti yang ingin disampaikan, yaitu: serangga kecil terlihat, namun binatang sebesar unta justru tidak terlihat.

Tentang nama Yakub dan Israel (Kej 35:10 dan Kej 46:2)

Dikatakan di Kej 35:10 bahwa Tuhan sudah mengganti nama Yakub menjadi Israel, namun di perikop Kej 46:2, Allah masih memanggilnya Yakub. Untuk memahami hal ini kita melihat kepada ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci sebagai berikut:

Pemberian nama oleh Allah kepada seseorang yang dicatat dalam Kitab Suci umumnya berkaitan dengan makna tertentu yang lebih besar maknanya daripada namanya yang terdahulu. Namun bukan berarti namanya yang dulu tidak boleh disebut kembali. Kita melihat bahwa terhadap Rasul Petrus, Kristus juga sudah memberi nama Kefas (Petrus) kepada Simon pada saat Kristus mengatakan akan mendirikan Gereja-Nya (Mat 16:18-19), namun sebelum kenaikan-Nya ke surga, Ia tetap memanggil Petrus dengan sebutan Simon (lih. Yoh 21:15-19). Maka kita melihat di sini, bahwa pemberian nama berkaitan dengan misi yang diberikan, dan memang setelah Gereja resmi berdiri di hari Pentakosta, maka nama Simon tidak lagi digunakan, namun Petrus atau Kefas (lih. Kis 2 dst).

Demikian pula pada Yakub. Menurut Haydock’s Catholic Commentary on Holy Scripture,  Allah memberi Yakub nama yang baru, yaitu: Israel, yang artinya pangeran Tuhan (menurut St. Hieronimus, q. Heb,) atau seorang yang berdiri tegak dan menang di hadapan Tuhan, rectus Dei, yisrael (Haydock) — Atau orang-orang menerjemahkannya, sebagai seorang manusia yang melihat Tuhan, aiss-rae-al.  (Philo, &c.).

Maka Kitab Suci menunjukkan bahwa kedua nama tersebut, Yakub dan Israel, ditulis berganti-gantian, sebab mengacu kepada orang yang sama. Setelah Yakub diberi nama baru, Israel, pada Kej 35:10, namun pada awal perikop berikutnya Kej 35:22b, nama Yakub kembali disebut, “Adapun anak-anak lelaki Yakub dua belas orang banyaknya.” Maka “namamu bukan lagi Yakub melainkan Israel” artinya adalah bahwa nama Yakub kini bukan lagi mengacu kepada dirinya sendiri saja tetapi juga kelak kepada Israel, nama bangsa yang berasal dari keturunannya yang dipilih oleh Tuhan.

Sekarang mari kita lihat Kej 46 tersebut, di mana dikatakan Yakub mempersembahkan korban kepada Allah di Bersyeba. Kemungkinan tempat ini adalah tempat yang sama di mana kakeknya, Abraham, menanam pohon tamariska dan memanggil nama Allah (Kej 21:33), dan di mana ayahnya, Ishak, juga mendirikan altar bagi Tuhan (Kej 26:24-25). Maka Allah memanggilnya dengan nama Yakub, sebab kepada Yakublah ayahnya Israel memberikan berkat (Kej 27:27-29). Dan kepada Yakub yang sama inilah Allah kemudian melanjutkan janji-Nya. Sebab sekitar 40 tahun sebelumnya Allah berbicara kepada Yakub melalui mimpi, ketika Yakub hendak meninggalkan Tanah Terjanji, berangkat dari Bersyeba (Kej 28:12-17). Kini ketika ia hendak meninggalkan tanah itu lagi, Tuhan memberikan janji-Nya kembali melalui mimpi. Yakub diingatkan akan siapa dirinya sebelum menerima janji Tuhan, dan bahwa Allah akan membuatnya menjadi bangsa yang besar (Kej 46:3), yang disebut Israel, yang akan berdiam di tanah Mesir (lih Kej 46:7). Dan kemudian di ayat berikutnya disebutkan nama-nama bani Israel tersebut.

Mendengar tapi tidak melihat, atau melihat tapi tidak mendengar (Kis 9:7 dan Kis 22:9)?

Di Kis 9:7 dikatakan bahwa teman seperjalanan Rasul Paulus ‘mendengar tapi tidak melihat’, sedangkan dalam Kis 22:9 dikatakan bahwa mereka ‘melihat cahaya tetapi tidak mendengar’

Mari kita melihat teks lengkapnya:
Kis 9:7, “Maka termangu-mangulah teman-teman seperjalanan, karena mereka memang mendengar suara itu, tetapi tidak melihat seorang juga pun”
Kis 22:9, “Dan mereka yang menyertai aku [Paulus], memang melihat cahaya itu, tetapi suara Dia, yang berkata kepadaku, tidak mereka dengar.”

Menurut keterangan dari buku Haydock’s Commentary on Holy Scripture, tentang kedua ayat tersebut dikatakan bahwa kemungkinan yang didengar oleh para pengantar Rasul Paulus adalah hanya suara Rasul Paulus yang bicara, ataupun adanya suara yang tak jelas yang tak dapat mereka pahami, sehingga dikatakan, bahwa mereka mendengar suara (Kis 9:7), namun tidak mendengar suara Tuhan yang berkata kepada Rasul Paulus (lih. Kis 22:9). Di samping itu mereka juga melihat cahaya (Kis 22:9), namun tidak melihat seorangpun (lih. Kis 9:7).

7 tahun atau 3 tahun (2 Sam 24:13: dengan 1 Taw 21:11-12)?

Perbedaan 2 Samuel 24:13: 7 tahun kelaparan (7 years of famine), sementara di 1 Tawarikh 21:11-12 (1 Chr 21:11-12), hanya 3 tahun kelaparan (3 years famine).

Demikianlah penjelasan yang dirangkum dari Haydock Catholic Commentary Bible dan A Catholic Commentary on Holy Scriptures :

Salinan teks dalam bahasa Ibrani menyebutkan tujuh tahun, sedangkan salinan teks Septuaginta dan beberapa salinan Arab menyebutkan tiga tahun. ‘Tiga’ tahun (angka tiga) nampaknya lebih sesuai dengan rangkaian angka tiga yang terkait dengan pernyataan hukuman lainnya. …Gad -nabi yang mengunjungi Daud- dapat saja awalnya menyebut tujuh tahun kelaparan, namun kemudian menguranginya menjadi tiga tahun…. Atau, bahwa Tuhan memberikan tiga tahun hukuman bagi Raja Daud untuk rasa ingin tahunya akan kekuatan kerajaannya (sebab penghitungan sensus berkaitan dengan pajak yang artinya juga adalah kekayaan bagi kerajaan); dan masa tiga tahun hukuman ini, dengan masa tiga tahun kelaparan yang saat itu memang sudah terjadi (lih. 2 Sam 21:1) mengakibatkan pada tahun ketujuh, atau tahun sabatikal, tidak ada yang dapat dipanen. Sehingga masa kelaparan total yang ditawarkan oleh Gad adalah tujuh tahun. Dengan demikian, baik angka tiga tahun maupun tujuh tahun adalah sama-sama benar, dilihat dari manakah permulaan penghitungannya.

Jika terjemahan LAI kemudian menyamakan ‘3 tahun’ (dengan mengacu kepada salinan teks Septuaginta dan Arab) dalam terjemahan 1976 untuk ayat 2 Samuel 24:13 dan 1 Tawarikh 21:11-12, tidak mengubah kenyataan bahwa memang terdapat dua jenis teks dalam salinan Kitab Suci, namun hal ini tidaklah menjadi permasalahan, sebab kedua pernyataan tersebut, tergantung dari manakah permulaan penghitungannya, tetaplah menyampaikan kebenaran. Di atas semua itu, yang terpenting ditangkap maksud intinya, yaitu bahwa Raja Daud harus menanggung akibat dari kesalahannya.

8 tahun atau 18 tahun (2 Taw 36:9 dan 2 Raj 24:8)?

Pada 2 Tawarikh 36:9 (2 Chronicle 36:9), Yoyakhin menjadi raja pada umur 8 tahun, sementara pada 2 Raja-raja 24:8 (2 Kings 24:8) berumur 18 tahun.

Demikianlah penjelasan yang dirangkum dari Haydock Catholic Commentary Bible:

Ketika Yoyakhin dihubungkan dengan tahta bapanya dalam kerajaan Yehuda, ia berumur delapan tahun, namun setelah ayahnya Yoyakim meninggal dunia, dan ia sendiri memerintah menggantikan ayahnya, Yoyakhin berumur delapan belas tahun (2 Raj  24:8).

Jika dalam terjemahannya LAI menyamakan teks menjadi 18 tahun (atas berdasarkan teks Septuaginta, Syriac dan Arab) juga tidak mengubah kenyataan bahwa jika perbedaan teks tetap dipertahankan, juga kedua teks tersebut dapat sama-sama benar. Sebab dimungkinkan di zaman kerajaan masa itu untuk mengangkat putera mahkota sebelum raja yang berkuasa itu wafat, walaupun sang putera mahkota tersebut baru resmi naik tahta/ memimpin sebagai raja yang berkuasa penuh setelah ayahnya wafat.

Tuhan atau Iblis yang menghasut Daud (2 Sam 24:1 dan 1 Taw 21:1)?

Pada 2 Samuel 24:1 dikatakan bahwa Tuhan yang menghasut Daud, tapi pada 1 Tawarikh 21:1, dikatakan bahwa iblislah yang menghasut Daud.

Teks Douay Rheims berdasarkan teks Vulgata, mengatakan, “And the anger of the Lord was again kindled against Israel, and stirred up David among them, saying: Go, number Israel and Juda….” Karena teks mengatakan bahwa murka Tuhan yang – sehingga diterjemahkan sebagai Tuhanlah yang menghasut Daud. Namun ayat ini tidak untuk diinterpretasikan bahwa Tuhanlah yang mendorong Daud untuk berbuat dosa. Sebab yang mendorong manusia [termasuk Daud] untuk melakukan dosa adalah Iblis (1 Taw 21:1). Namun hal itu dapat terjadi sebab Allah mengizinkannya. St. Agustinus menjelaskan bahwa Allah mengizinkan kejahatan itu untuk terjadi, sebab Ia mengetahui bagaimana untuk mendatangkan kebaikan melalui kejadian tersebut [yaitu pertobatan Raja Daud, dan pengajaran yang dapat ditarik melalui peristiwa tersebut].

Pemahaman ini sejalan dengan beberapa ayat dalam Kitab Suci yang menyatakan bahwa “Allah mencobai” Abraham dan Ishak (lih. Ibr 11:7, Ydt 8:26) dan di ayat-ayat yang lain mengatakan bahwa “Allah tidak mencobai siapapun” (lih. Yak 1:13). Sebab, apapun yang terjadi dalam kehidupan manusia (termasuk pencobaan dalam hidup), dapat terjadi karena seizin Tuhan (lih. 1 Kor 10:13).  Selanjutnya, pembahasan tentang hal ini sudah pernah dijabarkan di artikel ini, silakan klik.

700 ekor kuda atau 7000 ekor kuda (2 Sam 10:18 dan 1 Taw 19:18)?

Pada 2 Samuel 10:18 Daud membunuh 700 ekor kuda kereta dan 40.000 orang pasukan berkuda, sementara pada 1 Tawarikh 19:18 justru 7000 ekor kuda kereta dan 40.000 orang pasukan berjalan kaki.

Maka yang dibicarakan di sini adalah kata ֶ”רֶכב (reḵeḇ)”, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, “chariots/ charioteers.” Kata “reḵeḇ” ini mengacu kepada kelompok kereta kuda/ chariots seperti pada Kej 50:9, Kel 14:6-7, 9, 17-18, 23, 26, 28), ataupun hanya kepada satu kereta kuda/ chariot, seperti pada 1 Raj 22:35. Kereta kuda ini merupakan salah satu kekuatan tempur di masa kerajaan zaman dulu. Dengan pengertian ini, maka tidaklah menjadi masalah apakah mau dikatakan 700 reḵeḇ, atau 7000 reḵeḇ. Sebab jika ‘reḵeḇ’‘ mau diterjemahkan sebagai satu kereta kuda maka jumlahnya ada 7000, namun jika diterjemahkan sebagai rangkaian kereta kuda yang satu rombongannya terdiri dari sepuluh kuda, maka jumlahnya menjadi 700.

Sedangkan tentang keterangan prajuritnya, tidaklah menjadi masalah jika salah satu teks menyebutkan jumlah prajurit penunggang kuda, dan teks yang lain menyebutkan jumlah prajurit yang berjalan kaki. Sebab sang penulis kedua kitab dapat menuliskan dua hal yang berbeda, walau jumlahnya sama: penulis Kitab Samuel mencatat jumlah prajurit penunggang kuda, sedangkan penulis kitab Twarikh mencatat jumlah pasukan yang berjalan kaki. Kedua teks dapat sama-sama menyampaikan kebenaran, atau jika digabungkan kedua teks itu maka yang dikalahkan adalah 87,000 prajurit Syria, baik yang naik kereta kuda, maupun yang naik kuda (tanpa kereta) maupun yang prajurit yang berjalan kaki.

4000 kandang atau 40,000 kandang (2 Taw 9:25 dan 1 Raj 4:26)?

Pada 2 Tawarikh 9:25, Raja Salomo mempunyai 4.000 kandang, sementara pada 1 Raja-raja 4:26 ada 40.000 kandang.

Yang dibicarakan di sini adalah kata ֻאְרָוה/ ’urwāh:  yang artinya sebuah kandang yang menampung satu binatang, maupun bangunan kandang besar, yang terdiri dari bilik-bilik kandang. Dalam satu bangunan kandang kuda milik Raja Salomo ini terdapat sepuluh bilik kandang kecil (stalls), satu ruang untuk satu kuda. Maka, jika urwāh diterjemahkan sebagai satu bangunan kandang kuda yang besar, jumlahnya ada 4,000, sedangkan kalau diterjemahkan sebagai bilik kandang yang memuat satu kuda, maka jumlah totalnya ada 40,000.

Yesus hanya diutus ke bangsa Israel atau seluruh dunia (Mat 10:5-6 dan Mat 19-20)?

Ada pandangan yang menganggap bahwa Yesus hanya diutus kepada bangsa Israel, dengan mengacu kepada ayat Mat 10:5-6 dan Mat 15:24):

“Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria,melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (Mat 10:5-6).

“Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (Mat 15:24)

Namun di ayat yang lain, jelas Yesus menghendaki agar para muridNya mewartakan Kabar Gembira keselamatan kepada seluruh dunia:

“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:19-20)

“Lalu Ia berkata kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum….” (Mrk 16:15-16)

Maka mungkin orang mempertanyakan, mengapa sekilas sepertinya ayat-ayat tersebut bertentangan. Namun ayat-ayat dalam Kitab Suci tidak untuk dipertentangkan dan hendaknya dibaca secara keseluruhan, untuk saling melengkapi dan menjelaskan. Gereja menerima ayat-ayat tersebut dengan penghormatan yang sama, tanpa mengabaikan ayat-ayat tertentu. Di dalam rencana keselamatan-Nya, Allah menjanjikan kepada Bapa Abraham dan para Patriarkh, sebuah perjanjian dan hukum Taurat kepada Nabi Musa, dan mengutus para nabi kepada bangsa Israel yang menjadi bangsa pilihan-Nya. Maka Allah menjanjikan bahwa Mesias akan dilahirkan dari bangsa pilihan-Nya ini, dan melalui bangsa ini seluruh bangsa akan diberkati (lih. Kej 12:3; 26:4; 28:14). Allah akan membangkitkan seorang dari keturunan mereka, dan Allah akan menegakkan tahta kerajaan-nya selama-lamanya (lih. 1Taw 17: 11-14). Inilah yang menjelaskan mengapa Mesias dan Kerajaan Allah diberitakan kepada bangsa Israel terlebih dahulu sebelum kepada bangsa-bangsa lain. Juga karena itulah di awal karya-Nya, Yesus membatasi pewartaan-Nya dan pewartaan para Rasul kepada bangsa Israel, sebelum kemudian memerintahkan mereka untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia (lih Mat 28:19-20; Mrk 16:15-16). Demikian pula, para Rasul di awal pemberitaan mereka dan penyebaran Gereja, umumnya mendirikan Gereja di kalangan komunitas Yahudi di kota-kota yang mereka masuki, dan pertama-tama memberitakan Injil kepada mereka, sebelum berpaling kepada bangsa-bangsa lain (lih. Kis 13:46).

St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa sudah selayaknya bahwa Yesus pada awalnya melakukan karya publik-Nya kepada orang Yahudi, dengan alasan keadilan (justice) dan perantara (mediation). ((St. Thomas Aquinas, Summa Theology, III, q.42, a.1))

1. Konsep keadilan: Adalah adil, kalau Yesus mewartakan kepada orang Yahudi, karena Tuhan sendiri telah menjanjikan kepada orang Yahudi seorang Mesias yang akan menjadi Raja bagi seluruh bangsa dan kerajaan-Nya tidak akan berakhir. Dengan cara ini, sebetulnya tidak ada alasan bagi bangsa Yahudi untuk memprotes Tuhan, karena Tuhan sendiri telah memenuhi janji-Nya kepada bangsa Yahudi, yang terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Yesus adalah Sang Penyelamat yang telah dijanjikan oleh Allah, silakan klik.

2. Konsep Mediation: Menjadi layak bahwa Yesus datang terlebih dahulu untuk bangsa yang telah dipersiapkan 2000 tahun sebelumnya, dan kemudian kepada bangsa-bangsa lain di luar bangsa Yahudi. Karena keselamatan dari seluruh bangsa disebabkan oleh penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Oleh karena itu, setelah Yesus bangkit, Dia mengutus para rasul dan murid untuk mewartakan Kristus ke seluruh dunia  (lih. Mat 28:18-20, lih. juga Mk 16:15-18).

Dengan demikian baik ayat Mat 10:5-6, Mat 15:24, tidak bertentangan dengan Mat 28:19-20, Mrk 16:15-16, sebab Allah memang menghendaki agar semua orang dapat diselamatkan (lih. 1 Tim 2:4), namun caranya adalah dengan terlebih dahulu memilih suatu bangsa pilihan-Nya, agar melalui mereka Sang Penyelamat dalam lahir ke dunia, dan melalui mereka, keselamatan akan mencapai ke seluruh dunia.

Yudas wafat gantung diri atau jatuh tertelungkup? Siapa yang membeli tanah dari uang perak tersebut (Mat 27:5-7 dan Kis 1:18)?

Kata “membeli” yang dipakai oleh Rasul Matius dalam Injilnya, untuk menjelaskan apa yang dilakukan oleh para imam-imam kepala dengan uang 30 uang perak yang dilemparkan oleh Yudas, adalah ἀγοράζω, agorázō, yaitu hanya mengacu kepada tindakan membeli, namun belum tentu berarti memiliki. “Sesudah berunding mereka [imam-imam kepala] membeli (agorázō) dengan uang itu tanah yang disebut Tanah Tukang Periuk untuk dijadikan tempat pekuburan orang asing.” (lih. Mat 27:7)

Sedangkan dalam Kisah para Rasul, kata yang dipakai di sana adalah κτάομαι, ktáomai, yang berarti memperoleh, memiliki, membeli. “Yudas ini telah membeli (ktáomai) sebidang tanah dengan upah kejahatannya, lalu ia jatuh tertelungkup, dan perutnya terbelah sehingga semua isi perutnya tertumpah ke luar.” Sehingga di sini artinya adalah Yudaslah yang menjadi pemilik dari tanah itu.

Bagaimana ini dijelaskan? Matius mengatakan bahwa para imam melakukan tindakan pembelian tanah itu, tetapi mereka tidak otomatis menjadi pemilik tanah itu. Uang yang mereka gunakan untuk membeli tanah itu adalah uang Yudas, sehingga mereka membeli tanah itu atas nama Yudas, sehingga secara hukum tanah itu adalah milik Yudas. Sebab menurut pemikiran saat itu, pembalian tanah denagn uang darah macam itu adalah najis -bahkan sekarangpun kadang yayasan belas kasih dapat menolak uang sumbangan yang diperoleh dari uang yang diperoleh dari kejahatan. Maka, para imam kepala itu membeli tanah tersebut untuk pekuburan bagi kepentingan bait Allah, untuk menghindari asosiasi kenajisan secara ritual, mereka harus membelinya dengan nama Yudas Iskariot, yang memperoleh uang darah tersebut. Hak milik dan transaksi ini tercatat secara publik, sehingga ini dapat diketahui oleh Lukas, yang menuliskan Kisah para Rasul, sehingga ia mencatat bahwa Yudas telah membeli/ memiliki tanah itu. Maka ia menggunakan kata ‘ktáomai‘ tersebut, untuk menjelaskan keadaan itu.

Sedangkan Mat 27:5 dan Kis 1:18 tetap dapat sama-sama menjelaskan bagaimana Yudas wafat. Sebab dapat terjadi Yudas menggantung diri, namun entah karena talinya putus atau dahan pohon tempat ia menggantung diri patah, sehingga akhirnya Yudas jatuh tertelungkup dan seluruh isi perutnya tertumpah ke luar. Demikianlah yang dijelaskan dalam A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom Orchard, OSB tentang ayat-ayat tersebut.

Yesus membaptis (Yoh 3:22) atau tidak membaptis (Yoh 4:1-2)?

Menurut pengajaran St. Agustinus, kedua pernyataan ini benar, tergantung bagaimana kita mengartikan kata “membaptis”. Sebab Yesus membaptis, dalam artian Ia-lah yang menyucikan [orang yang dibaptis], namun dikatakan Ia tidak membaptis, dalam artian bukan Yesus yang mencelupkan orang itu ke dalam air [melainkan para murid-Nya]. Para murid melayani secara jasmani, namun Kristus menyempunakannya dengan memberikan meterai rohani yang tentangnya Baptisan itu diucapkan. Dengan arti rohani ini, maka dikatakan bahwa Kristus membaptis.

Yesus mengusir roh jahat di Gerasa (Mrk 5: 1-13, Luk 8: 27-33) atau Gadara (Mat 8: 28-32)?

Markus 5: 1-13, Lukas 8: 27-33 dan Matius 8: 28-32: Penyembuhan itu dilakukan di Gerasa (menurut Markus dan Lukas) atau di Gadara (menurut Matius)? Yesus menyembuhkan satu orang (menurut Markus dan Lukas) atau dua orang yang kerasukan setan (menurut Matius)?

Demikianlah penjelasan tentang kedua kota itu ((lih. Albert Barnes, Notes on the New Testament: Matthew and Mark (Grand Rapids, MI: Baker, 1949), p. 91)):

“Gadara adalah kota tak jauh dari danau Genesaret, salah satu dari sepuluh kota yang disebut Dekapolis. Gergesa (kemungkinan variasi dari kata “Gerasa”) adalah sebuah kota yang terletak 12 mil di sisi tenggara Gadara, dan sekitar 20 mil di timur sungai Yordan. Maka tak ada kontradiksi antara ketiga Injil di sini. Yesus datang ke daerah ini di mana kedua kota terletak, dan salah satu pengarang Injil menyebut kota yang satu dan dan pengarang lainnya menyebut kota lainnya. Terlihat bahwa para pengarang itu tidak setuju dalam hal menekankan kota yang mana, sebab jika ya, tentu mereka sudah menyebutkan nama kota yang sama. Namun hal ini menunjukkan bahwa mereka mengenal daerah tersebut. Tak ada orang yang dapat menulis sedemikian, hanya mereka yang sungguh mengenal fakta-faktanya.”

Maka ketiga pengarang Injil menulis tentang daerah yang sama. Kota Romawi Gerasa adalah kota yang terkenal, yang sudah dikenal oleh kaum Yunani/non-Yahudi, sedangkan Gadara ibukota dari Perea, propinsi Romawi, adalah kota utama dari kesepuluh kota di Dekapolis ((Robert Lenski C.H, The Interpretation of St. Mark’s Gospel (Minneapolis, MN: Augsburg, 1946), p. 205; James Burton Coffman, Commentary on Mark (Abilene, TX: ACU Press), 1975, p. 85; Ronald F. Youngblood, 1995, New Illustrated Bible Dictionary (Nashville, TN: Nelson), 1995, p. 468)). Kedekatan antara kedua kota mengakibatkan mereka yang tinggal di Gerasa dapat disebut orang Gadara (Gadarenes). Gambar kapal di koin uang logam kota Gadara kemungkinan menunjukkan bahwa Gadara kemungkinan membentang sampai ke danau Galilea. ((J.W McGarvey, The Fourfold Gospel (Cincinnati, OH: Standard), p. 344; John and James Strong McClintock and Strong, Cyclopedia of Biblical, Theological, and Ecclesiastical Literature (Grand Rapids, MI: Baker, 1969), 3: 706)). Para penulis Injil tersebut memilih untuk mengacu kepada area yang sama, dengan cara yang berbeda.

Namun yang jelas, baik Matius, Markus dan Lukas tidak saling bertentangan saat menyampaikan kejadian ini. Mereka sama-sama mengacu kepada daerah di sekitar danau Galilea. Lagipula area persisnya tempat mukjizat ini terjadi, tidaklah menjadi sepenting pemahaman kita akan kisah kejadian ini, yaitu bahwa Kristus mempunyai kuasa atas dunia spiritual, dan Ia menyatakan kuasanya atas roh jahat tersebut.

Sedangkan apakah Yesus menyembuhkan satu atau dua orang yang kerasukan setan, juga bukanlah suatu pertentangan. Perbedaan serupa juga terjadi dalam penulisan perikop Yesus menyembuhkan seorang atau dua orang yang buta berikut ini.

Yesus menyembuhkan satu orang buta (Mrk 10:46-52,Luk 18:35,38) atau dua orang buta (Mat 20:30)?

Matius 20:30 menyebutkan dua orang buta; sedangkan Mrk 10:46-52,Luk 18:35,38 menyebutkan satu orang buta. Kita lihat di sini bahwa Injil yang menyebutkan “seorang” yang disembuhkan, tidak mengatakan bahwa “hanya satu orang/ seorang saja” yang disembuhkan ataupun “hanya ia sendirian saja” yang disembuhkan. Sebab hanya jika Lukas mengatakan demikian, pernyataannya bertentangan dengan kedua penulis Injil yang lain. Namun yang ditulis Lukas adalah kurang lebih demikian: ada seorang buta yang duduk di pinggir jalan, lalu Yesus lewat dan ia mohon disembuhkan, dan Yesus menyembuhkan dia. Maka, penulisan ini tidak bertentangan dengan tulisan kedua Injil lainnya yang menyatakan bahwa yang disembuhkan ada dua orang buta. Sebab dapat terjadi bahwa yang disembuhkan ada dua orang, hanya saja Lukas ataupun Markus menyebutkan satu di antara kedua orang itu, kemungkinan karena telah mengenal/ bertemu dengan orang itu, sehingga menyebutnya secara khusus. Markus bahkan menyebutkan namanya, yaitu Bartimeus. Maka yang disampaikan oleh Markus dan Lukas adalah: ada orang buta itu duduk di pinggir jalan, lalu Yesus lewat. Orang buta itu mohon belas kasihan Yesus, dan kemudian ia memperoleh mukjizat kesembuhan dari Tuhan Yesus. Bahwa orang buta itu tidak sendirian, tidak menjadi masalah, sebab fakta itu tidak mengubah kebenaran bahwa orang buta itu (yang bernama Bartimeus) duduk di pinggir jalan, memohon kepada Tuhan Yesus, dan kemudian menerima kesembuhan dari Tuhan Yesus.

Berapa jumlah keledai yang digunakan Yesus memasuki Yerusalem? (Mrk 11:2; Luk 19:30: seekor; Mat 21:2: dua ekor)

Injil Markus dan Lukas menyebutkan “seekor keledai muda” (lih. Mrk 11:2; Luk 19:30); sedangkan dalam Injil Matius menyebutkan “seekor keledai betina dan anaknya” (lih. Mat 21:2). Dikatakan dalam Injil Matius, bahwa para murid membawa kedua keledai itu, lalu mengalasinya dengan pakaian mereka, dan Yesuspun naik ke atasnya (lih. Mat 21:7). Manakah yang benar?

Tentang Tuhan Yesus memasuki Yerusalem dengan mengendarai keledai, adalah nubuat Nabi Zakaria, “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda” (Za 9:9).

Penjelasan dari The Navarre Bible Commentary menjelaskan, bahwa maksud Rasul Matius adalah bahwa Kristus menaiki anak keledai itu, namun bersamaan dengan itu, Ia juga mengarahkan induknya. Injil Markus dan Lukas hanya memfokuskan kepada masuknya Yesus ke kota suci Yerusalem dengan mengendarai anak keledai (Mrk 11:2; Luk 19:30). Sedangkan Rasul Matius melihat anak keledai dan keledai sebagai penggenapan nubuat Zakaria, di mana keduanya disebutkan…. Para Bapa Gereja mengartikan bahwa keledai merupakan simbol dari bangsa Yahudi, yang telah menanggung beban hukum Taurat. Sedangkan anak keledai yang belum pernah ditunggangi orang, melambangkan bangsa-bangsa non- Yahudi. Yesus memimpin baik bangsa Yahudi maupun bangsa non- Yahudi untuk memasuki Gereja sebagai kota Yerusalem yang baru.

Fr. Cornelius Lapide, seorang Jesuit yang adalah pakar Kitab Suci, menjelaskan, bahwa Kristus menggunakan kedua binatang itu untuk menandai bahwa Ia harus memenangkan baik bangsa Yahudi (yang dilambangkan oleh keledai) maupun bangsa-bangsa non-Yahudi (yang dilambangkan oleh anak keledai), untuk membuat keduanya sebagai satu bangsa. Yesus memasuki Yerusalem dengan menunggangi anak keledai, sebab bangsa-bangsa non Yahudi adalah yang pertama menerima Kristus sebagai Raja mereka, meskipun bangsa Yahudi adalah yang pertama menerima Janji Tuhan. Namun demikian akhirnya sang keledai juga diarahkan Yesus untuk masuk ke kota suci itu, sebab seluruh bangsa Israel juga akan diselamatkan (lih. Rom 11:26) setelah pertobatan mereka.

Demikianlah keterangan untuk memahami penjabaran ketiga Injil tentang keledai yang digunakan Yesus ke Yerusalem.

Jika Allah adalah Kasih (1 Yoh4:8), dan kasih tidak cemburu (1 Kor 13:4), mengapa  dikatakan bahwa Allah cemburu (Kel 20:5; Ul 4:24)?

Ada orang bertanya, jika Allah adalah Kasih (1 Yoh 4: 8) dan kasih itu tidak cemburu (1 Kor 13:4), mengapa  dikatakan bahwa Allah itu cemburu (Kel 20:5; Ul 4:24)?

Dalam Kitab Suci, ‘cemburu’ (qi’nah– Ibrani zelos-Yunani) mempunyai akar kata ‘hangat/ panas’. Maka tergantung konteksnya, kata ‘cemburu’ ini dapat digunakan untuk menggambarkan baik suatu perasaan negatif, ataupun positif. Arti negatif dari kata cemburu, mengarah kepada rasa iri hati, curiga, dan inilah konotasi arti yang digunakan dalam 2 Kor 12:20 ataupun Rm 13:13. Rasul Paulus mengkhawatirkan adanya “perselisihan dan iri hati…./ quarelling and jealousy (RSV) dalam jemaat. Namun Rasul Paulus menggunakan kata yang sama ini, zeloo, ‘earnestly desire’/ ‘berusahalah untuk memperoleh’, yaitu untuk memperoleh karunia-karunia rohani (lih. 1Kor 12:31; 14:1,39); di sini disampaikan arti positif dari ‘cemburu’. Demikian pula yang disampaikan dalam 2 Kor 11:2-4:

“Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus. Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya. Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima.” (2 Kor 11:2-4)

Di sini ‘cemburu’ mempunyai arti positif, yaitu: mengasihi sedemikian, sehingga menjaga agar jangan sampai yang dikasihi tersesat dan tidak setia. Dalam arti inilah, Allah dikatakan sebagai Allah yang cemburu. Allah tidak cemburu dalam arti iri hati terhadap bangsa Israel, tetapi bahwa Ia begitu mengasihi bangsa Israel dengan kasih yang kuat bagaikan api yang panas, yang tidak menghendaki umat-Nya mendua hati. Maka dikatakan, “Sebab TUHAN, Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu” (Ul 4:24); sebagai kesimpulan dari nasihat Nabi Musa agar bangsa Israel tidak melupakan perjanjian dengan Allah, dengan menjadi tidak setia (lih. Ul 4:21-23). Di sini Kitab Suci menggambarkan perkawinan rohani antara Allah dengan umat-Nya bagaikan kasih antara suami dan istri. Allah menghendaki agar bangsa Israel hanya menyembah-Nya sebagai Allah yang satu-satunya. Ketidaksetiaan bangsa Israel kepada Allah dengan berpaling kepada para dewa/ berhala, digambarkan dengan kata ‘bersundal’ (lih. Yer 3:6-10). Namun Allah adalah Allah yang tetap setia. Ia menjaga umat-Nya dengan kasih yang ‘cemburu’ dalam arti positif, yang tak ingin bertoleransi dengan kehadiran allah-allah lain di tengah umat-Nya (lih. Kel 20:3-6, Yos 24:24-16,19-20, dst). Arti ‘cemburu’ ilahi yang sedemikian berbeda dengan ‘cemburu’ yang disebutkan oleh Rasul Paulus dalam 1 Kor 13:4. Namun karena akar katanya sama, arti positif dan negatif dari kata tersebut, disampaikan dalam kata yang sama.

 

Kisah Kenangan Hidup Panggilan & Perjalanan Ketaatan Romo Antonius Hari Kustono, Pr

1
sumber gambar: http://www.sesawi.net/2014/10/10/rip-romo-dr-antonius-hari-kustono-pr-dosen-teologi-seminari-tinggi-kentungan/romo-hari-kustono-2/

Pengantar dari editor:

Pembaca Katolisitas yang terkasih, kita baru saja kehilangan Romo Antonius Hari Kustono, yang meninggal dunia pada usia 55 tahun pada tanggal 10 Oktober 2014 pk 02.15 WIB di RS Panti Rapih Yogyakarta, setelah didiagnosa menderita leukemia selama kurang lebih empat minggu sebelumnya. Romo Dr. Hari Kustono yang adalah seorang ahli Kitab Suci pernah membantu Katolisitas menjawab pertanyaan mengenai Kitab Suci.

Romo Yohanes Dwi Harsanto, Pr menceritakan, sejak tahun 2007 beliau dengan rajin setiap Kamis atau Jumat memberikan gagasan homili untuk hari Minggu‎ depannya, di milis para imam Keuskupan Agung Semarang (KAS). Sebelum kehilangan kesadaran karena sakitnya, beliau sempat memberikan semua tulisan renungan dari laptopnya kepada romo Sutrasno Purwanto agar diberikan kepada teman-teman imam di milis. Banyak kesaksian dari umat yang pernah berinteraksi dengan beliau menyatakan bahwa sosok yang pandai melukis dan main biola ini sebagai rendah hati dan suka menolong sesama dengan spontan dan tulus. Beliau dimakamkan di makam imam-imam Keuskupan Agung Semarang di kompleks Seminari Tinggi St. Paulus Jl Kaliurang Yogyakarta.

Di bawah ini, melalui kisah kesaksian hidup beliau yang disajikan secara singkat, kiranya kesedihan dan kehilangan kita berganti rasa syukur pada Bapa atas teladan iman, kasih, kerendahan hati, karya, dan ketaatan beliau kepada Tuhan selama perjalanan hidupnya sebagai seorang imam. Hidup pelayanan beliau meneguhkan perjalanan kita sebagai umat beriman yang masih mengembara di dunia dan pengharapan kita yang indah akan karunia sukacita kekal yang disediakanNya di Rumah-Nya. Beberapa waktu sebelumnya, Romo Hari Kustono menyusun sebuah doa mohon kesembuhan untuk kakaknya, Romo JB. Hari Kustanto, SJ yang sedang sakit. Pada saat Romo Hari Kus sendiri jatuh sakit, doa itu didaraskan pula untuk beliau. Saat itu beliau tersadar dan berkata bahwa teringat doa yang diperuntukkan buat kakaknya itu yang malahan dibacakan untuk penggubahnya sendiri. Berikut ini teks kesaksian Rm Antonius Hari Kustono pada saat pesta perak imamat beliau tahun 2011 yang diwartakan ulang oleh Romo Willem Pau dari Yogyakarta. Semoga kesaksian ini menimbulkan inspirasi bagi kita.

KESAKSIAN Rm. A. Hari Kustono Pr saat merayakan Pesta Perak Imamat tahun 2011.

Tidak terasa 25 tahun telah berlalu sejak saya ditahbiskan oleh Mgr. J. Darmaatmadja, SJ (sekarang bapak kardinal) di kapel Santo Paulus. Saya dan romo Hardiyanta ditahbiskan bersama-sama pada tanggal 16 Agustus 1986. Rasanya belum banyak pengalaman yang saya miliki. Agak sulit menoreh-noreh lagi pengalaman-pengalaman yang lampau. Mungkin karena hidup saya kurang bervariasi. Entahlah. Namun, semuanya ini saya syukuri dengan sepenuh hati. Tuhan dengan cara-Nya sendiri telah menuntun dan meneguhkan jalan imamat saya.

Saya Ingin Jadi Romo

Saya tidak tahu kapan muncul keinginan untuk menjadi romo. Seingat saya, sejak SD keinginan itu sudah muncul. Sampai masuk SMP, keinginan itu tidak surut. Oleh karena itu, selepas SMP saya mendaftar ke Seminari Menengah Mertoyudan. Betapa gembira hati saya ketika ada tiga teman lainnya dari paroki Pugeran yang juga diterima. Romo FX. Wiyono yang pada waktu itu menjabat pastor paroki mempunyai perhatian besar terhadap panggilan imam. Dari kami berempat yang berasal dari paroki Pugeran, akhirnya tinggal saya yang masih terus.

Demikian pula dari SMP Pangudi Luhur ada sekitar 8 teman yang diterima di Seminari Mertoyudan, dan ternyata hanya saya yang boleh sampai tahbisan imam. Saya tidak tahu apa alasan Tuhan memanggil saya. Rasanya tidak ada yang istimewa pada diri saya dibandingkan dengan teman-teman lain yang tidak meneruskan panggilan. Panggilan saya pernah sedikit kacau ketika pada tahun 1976 bapak menderita sakit kanker nasofaring. Pada waktu itu, saya dan kakak laki-laki nomor tiga (Rm. JB. Hari Kustanto, SJ) masih di bangku Seminari Menengah Mertoyudan. Memang kekacauan hati yang saya alami tidak sampai membuat saya ingin meninggalkan seminari. Hanya ada rasa sedih karena saya tidak dapat berbuat apa-apa dengan sakitnya bapak. Dalam keadaan sulit itu, ibu menunjukkan ketabahan luar biasa. Dia bekerja keras untuk mencari nafkah dan mengupayakan pengobatan untuk bapak. Kami bertujuh masih sekolah, belum ada yang dapat bekerja untuk meringankan beban ibu. Syukur pada Tuhan bahwa bapak bisa sembuh meskipun tidak sempuma. Kemoterapi yang harus dijalaninya membuat bapak perlahan-lahan mulai kehilangan pendengaran, kehilangan gigi, dan semakin rapuh. Tuhan masih mengijinkan bapak untuk hidup sampai 26 tahun lagi.

Semasa di Kentungan

Saya mencintai Mertoyudan. Hal yang sama dirasakan juga oleh teman-teman ex-merto. Jika ada kesempatan reuni, cerita-cerita yang muncul pasti tentang kehidupan bersama di Seminari Mertoyudan. Ada banyak kisah lucu, naif, memelas, dsb, yang dapat membuat kami semua sekarang tertawa bersama jika ingat kebersamaan kami di Mertoyudan. Tahun 1989, saya meninggalkan Seminari Mertoyudan dan masuk ke Seminari Tinggi Kentungan. Tujuh tahun saya menempuh pendidikan imam praja Keuskupan Agung Semarang di Kentungan. Mengapa saya memilih imam praja. Entahlah, arah ke situ sudah saya cita-citakan sejak lama. Kebetulan kakak saya memilih jadi Yesuit, sehingga langkah ke Kentungan semakin mantap.

Pada tahun kelima, setelah selesai S1, saya tugas orientasi pastoral di paroki Sragen selama setahun di bawah bimbingan Romo Y. Bardiyanta dan Rm. Riawinarta yang baru pulang dari studi musik di Wina. Pengalaman pastoral semakin memantapkan keinginan saya untuk menjadi romo. Seusai tahun orientasi pastoral, saya masih menempuh pendidikan dua tahun lagi sebelum menerima tahbisan imam. Karena Romo Tri Wahyono harus menempuh Tahun Orientasi Pastoral selama dua tahun, saya sendirian saja di angkatan calon imam KAS. Ternyata, Tuhan tidak tinggal diam. Saya mendapat teman seangkatan yang baru yaitu Romo Hardiyanta. Beliau menderita sakit sampai tidak dapat mengikuti kuliah berbulan-bulan. Karena sakitnya tersebut, Romo Hardiyanta turun tingkat menjadi teman seangkatan saya. Tentu saja bukan pengalaman yang manis bagi Romo Hardiyanta dengan sakitnya itu. Akan tetapi di balik penderitaan Romo Hardiyanta, saya diuntungkan karena tidak sendirian lagi.

Pendidikan dua tahun setelah pastoral berlalu dengan cepat. Tak terasa saya harus segera mengambiI keputusan untuk menerima imamat. Jadilah, pada tanggal 16 Agustus 1986, saya dan Romo Hardiyanta ditahbiskan menjadi imam. Ada kebahagiaan tersendiri ketika saya diperkenankan menerima tahbisan. Penugasan pertama saya adalah menjadi pastor pembantu di paroki Boro, membantu Romo Natawardaya. Saya menggantikan Romo Padmaka Sigit yang mendapat penugasan baru di lingkungan militer. Baru setahun menjadi pastor pembantu, Romo Nata dipindah ke Kebondalem, Semarang. Pastor pengganti Romo Nata tidak segera datang, sehingga saya sempat bekerja sendirian selama 5 bulan di paroki Boro. Periode bekerja sendirian waktu itu memang amat melelahkan. Jadwal Misa terpaksa dikurangi, dan banyak waktu habis untuk menerima tamu yang datang dengan berbagai urusan.

Akhirnya, Romo M. Supriyanto yang baru beberapa bulan di Ganjuran dipindah ke Boro. Saya sempat setahun lebih bersama Romo Pri Midul di Boro. Romo Pri dengan pola hidupnya yang sederhana, akrab dan memberdayakan umat sungguh menjadi inspirasi berguna bagi saya. Hanya satu setengah tahun bersama Romo Pri, saya mendapat tugas baru, yaitu studi lanjut Kitab Suci di Roma. Semua urusan pendaftaran berjalan lancar. Tanggal 27 Juli 1989, saya berangkat ke Roma, hanya dengan berbekal tekad, nekad, dan taat. Ada rasa kekosongan yang cukup lama di hati saya ketika masuk ke dunia yang baru. Ingatan akan paroki Boro masih belum hilang, tetapi kehidupan tak pernah berjalan mundur. Saya pun harus melakukan adaptasi dengan lingkungan hidup yang baru dan tugas yang baru pula. Lama-lama, saya mulai biasa dengan semua hal yang baru tersebut. Rasa kerasan terbantu karena di asrama ada banyak teman dari Indonesia. Bahkan dari KAS masih ada Romo Gitowiratmo dan Romo Purwatma.

Menempuh Studi Kitab Suci

Periode studi di Roma adalah periode yang cukup berat bagi saya. Terus terang, saya tidak cukup brilian untuk studi Kitab Suci yang menuntut pengetahuan berbagai bahasa. Karena berbagai alasan, pada tahun ketiga saya pindah sekolah dari Biblicum ke Universitas Gregoriana. Karena pindah sekolah, waktu studi saya jadi lebih lama. Seharusnya 4 tahun selesai tetapi temyata baru 5 tahun saya selesaikan studi lisensiat. Pada masa menempuh studi lisensiat, ibu dipanggil Tuhan dalam usia 63 tahun. Saya dan kakak saya tidak dapat melayat ibu karena dia sedang studi Antropologi di Amerika. Saya mohon ijin pulang, dan saya sampai di rumah setelah dua hari ibu dimakamkan.

Setelah selesai lisensiat, saya mohon diperkenankan pulang. Sebenarnya saya berharap riwayat studi saya selesai dengan lisensiat, namun Mgr. Darmaatmadja mengatakan: “Kamu boleh pulang tetapi nanti harus kembali lagi untuk menempuh doktorat”. Saya pun menyanggupi, dan pulanglah saya ke Indonesia selama tiga tahun. Rupanya, Bapak Uskup masih ingat janji saya. Beliau menagihnya setelah tahun ketiga saya mengajar di Kentungan. Dengan taat, saya pun memenuhi janji saya untuk kembali belajar lagi di Roma. Bapak mengantar saya sampai bandara Adisucipto, karena temyata kami bisa terbang ke Roma lewat Bali. Itulah saat terakhir saya melihat bapak. Menjelang studi saya selesai, pada tahun 2002 bapak dipanggil Tuhan. Di saat yang sama, kakak saya juga sedang hampir selesai studinya. Jadi sekali lagi, kami tidak dapat melayat orang tua kami.

Saya masih ingat, kabar meninggalnya bapak saya terima ketika saya sedang mengetik baris-baris terakhir tesis saya. Akhirnya studi doktorat selesai juga setelah menghabiskan waktu lima tahun. Sebenarnya Mgr I. Suharyo yang menggantikan Bapak Kardinal sebagai Uskup Agung Semarang telah meminta saya pulang ke Kentungan, selesai atau tidak selesai sekolah. Syukurlah, email Mgr. Suharyo saya terima ketika kepastian ujian tesis sudah dijadwalkan. Saya sadar, masa studi saya terlalu lama, sehingga cukup merepotkan Keuskupan dan FTW yang sangat membutuhkan dosen Kitab Suci. Kalau akhirnya saya selesai sekolah, itu pasti karena rahmat Tuhan yang berlimpah. Cocok dengan moto tahbisan kami: “Cukup sudah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2Kor 12:9).

Epilog

Kini saya tinggal di Kentungan, menjadi teman seperjalanan bagi para romo dan para frater dalam menapaki jalan panggilan. Jika mengingat kembali jalan panggilan imamat, saya merasa amat berhutang budi pada banyak orang. Semuanya telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menuntun hidup saya. Rasanya saya begitu dimanja dengan diberi kesempatan studi yang begitu lama. Karena faktor kelambanan otak, sayalah satu-satunya imam diosesan KAS yang studinya paling lama. Malu juga rasanya, tetapi apa boleh buat karena saya telah berupaya sebisa mungkin menjalankan tugas. Layaklah jika pada saat ini, saya merasa berhutang budi pada berbagai pihak. Saya berhutang budi kepada Uskup, Keuskupan, para donatur, para romo dan seluruh umat. Sisa hidup saya akan saya isi untuk membayar hutang budi, meskipun jelas tidak akan pernah lunas. Sampai sekarang saya masih sibuk dengan tugas-tugas pokok, dan rasanya belum sempat berbuat banyak untuk Keuskupan Agung Semarang. Belum ada buku yang saya tulis. Meskipun begltu, menjadi niat saya untuk menekuni tugas ini sebisa mungkin.

Tidak terasa usia imamat saya sudah 25 tahun. Setelah melewati jalan panjang dan berliku, sekarang saya sungguh mencintai dan menikmati Kitab Suci. Rupanya inilah cara yang dipilihkan Tuhan bagi saya untuk mengabdi pada Gereja, yaitu lewat pelayanan Kitab Suci.
Pada kesempatan ini, saya mengucapkan beribu terimakasih kepada para Bapa Uskup, yaitu Kardinal J. Darmaatmadja, SJ, Mgr I. Suharyo, dan Mgr. J. Pujasumarta, yang telah mempercayakan tugas-tugas pada saya. Saya berterimakasih kepada para romo KAS yang telah menjadi rekan imamat yang meneguhkan pada saat suka maupun duka. Paguyuban imam-imam praja KAS terasa menyejukkan, apalagi kita sekarang bisa saling berkomunikasi lewat milis UNIO KAS. Ada banyak hal yang dapat dibagikan lewat milis, kita dapat saling mengejek akrab dan mengutarakan hal-hal yang lucu. Hanya ada rasa syukur tak terhingga dalam hati saya atas kehadiran para romo Unio KAS yang senantiasa menawarkan ruang persahabatan yang penuh makna. Mohon maaf kalau fungsi saya sebagai Ketua III Unio amat minim.

Saya berterimakasih kepada seluruh umat yang telah berjasa bagi panggilan saya, termasuk para donatur dari dalam maupun luar negeri yang membantu pendidikan saya. Terimakasih kepada rekan- rekan semua, termasuk alumni Merto 1975. Terimakasih kepada para romo, frater, suster, bruder di Seminari Tinggi, yang telah setia menjadi teman hidup saya. Terimakasih kepada para romo KAS. Terimakasih kepada para devosan Kerahiman lIahi. Terimakasih kepada semua pihak yang tidak saya bisa saya sebut satu-persatu.
Terimakasih kepada bapak-ibu almarhum yang telah membentuk saya dengan teladan dan pengorbanan hidup yang tuntas. Terimakasih kepada kakak-adik, keponakan, prunan dan cucu, yang sampai sekarang menjadi kekuatan saya dalam panggilan. Terimakasih kepada Romo Hari Kustanta, SJ yang saat ini sedang sakit. Semoga mas Tanto segera sembuh dan kembali bekerja untuk Gereja. Terimakasih dan syukur kepada Tuhan yang telah mengasihi saya dengan karunia berlimpah-limpah.

TONGGAK-TONGGAK IMAMAT
1. Nama: Antonius Hari Kustono
2. Tempat tgl lahir: Yogyakarta 11 April 1959
3. Anak ke: Lima dari tujuh bersaudara

RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Pendidikan SD- 1965-1971 di SD Pangudi Luhur, Yogyakarta
2. Pendidikan SMP- 1972-1974 di SMP Pangudi Luhur, Yogyakarta
3. Pendidikan SMA – 1975-1979/1980 di Seminari Menengah Mertoyudan
4. Masuk Pendidikan Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan pada tahun 1979/1980.
5. Tugas pastoral: 1983-1984 di Sragen
6. Tahbisan Imam: 16 Agustus 1986

RIWAYAT KARYA
1. Tugas imam: 1986 – 1989 menjadi pastor pembantu di paroki Boro.
2. Studi lanjut: 1989/1990 – 1994 studi lisensiat Teologi Kitab Suci di Roma
3. Tugas mengajar: 1994 – 1996 mengajar Kitab Suci di Fakultas teologi Wedabhakti, Kentungan
4. Studi lanjut: 1996/1997 – 2002 studi doktorat Teologi Kitab Suci di Roma
5. Tugas mengajar: 2002 sampai sekarang di Fakultas Teologi Wedabhakti, Kentungan.

Dikutip dari BERNIO edisi khusus 2011

Rasakan Kuasa Allah Bekerja

0

Kebangunan Rohani Katolik Dekenat Tangerang

Pentakhtaan Salib merupakan pembuka Kebangunan Rohani Katolik yang dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 2014 di Aula Gereja Santa Helena Lippo Karawaci. Kebangunan Rohani ini sungguh bernuansa Katolik karena dilakukan dalam kebersamaan dengan sepuluh imam dan Persekutuan Doa Pembaharuan Karismatik Katolik Dekenat Tangerang yang terdiri dari dua belas paroki. Tema Kebangunan Rohani Katolik ini adalah ‘RASAKAN KUASA ALLAH BEKERJA DI DALAMMU’: “Jika aku berada dalam kesesakan, Engkau mempertahankan hidupku; terhadap amarah musuhku Engkau mengulurkan tangan-Mu, dan tangan kanan-Mu menyelamatkan aku” (Mazmur 138:7). Lebih dari seribu umat merindukan curahan kuasa-Nya.

Lagu “Kurasakan Kasih-Mu Tuhan” mengawali doa pemulihan. Doa pemulihan itu kuhaturkan kepada Allah atas nama umat-Nya. Hati semakin dekat denganNya. Kasih Tuhan sangat nyata bagi umat-Nya. Kasih Tuhan memulihkan hati. Kasih Tuhan memulihkan yang terluka. Kasih Tuhan menyembuhkan raga. Kasih Tuhan dahsyat, sempurna, dan kuat. Kasih-Nya menyelamatkan yang tersesat. Kasih-Nya mengubah masalah menjadi berkat. Kasih Tuhan memberikan ketentraman hati. Hidup menjadi baru dan berseri. Ucapan syukur atas “kasih Tuhan” itu terungkap dalam tetesan air mata dan doa-doa yang tanpa kata. Doa penumpangan tangan para imam atas kepala umat meneguhkan iman mereka. Mereka meyakini bahwa berkat Tuhan senantiasa menyertai mereka.

Seorang gadis mensharingkan pengalamannya atas pemulihan Tuhan atas dirinya. Pemulihan Tuhan atas luka batinnya terhadap orang tuanya. Ketika aku menumpangkan tanganku di atas kepalanya, ia membisikkan kata-kata ke telingaku: “Romo, aku disembuhkan Tuhan dari luka batinku terhadap orang tuaku. Ketika memandang Salib-Nya, aku tiba-tiba bisa mengampuni mereka”. Ia adalah anak tunggal dari sebuah keluarga. Ketika duduk di kelas Taman Kanak-Kanak, ia hampir setiap hari melihat ayah dan ibunya bertengkar hebat. Kata-kata “caci maki” keluar dari mulut mereka. Ayah dan ibunya pada akhirnya mengambil keputusan untuk berpisah. Harta dan dirinya menjadi rebutan mereka. Yang menyakitkan hatinya adalah ibunya memilih sebuah ruko dan menyerahkan dirinya dalam asuhan ayahnya. Ia merasakan dirinya tidak berarti. Batinnya tertekan karena harus menyenangkan ayah dan ibunya secara adil. Batinnya menjadi semakin terluka ketika kedua orangtuanya memiliki pasangan baru. Ia merasa sendirian. Ia semakin hidup dalam kepura-puraan. Ia harus tetap tersenyum terhadap kedua orang tua tirinya walaupun keadaan hatinya sebenarnya berbeda. Perasaan kecewa sering diungkapkannya dengan tangisan walaupun tiada orang yang peduli kepadanya. Kemarahan dan kebencian sering dilampiaskannya dengan teriakan walaupun tiada yang mendengarkannya. Perasan tidak dicintai menggodanya untuk melakukan bunuh diri. Ketika sedang memikirkan cara bunuh diri, seperti gantung diri, lompat dari bangunan tinggi, atau potong urat nadi, doa yang tidak pernah ia tinggalkan menghalanginya untuk melakukan bisikan iblis ini. Doa pemulihan itu membawa kegalauannya ke salib Tuhan: “Tuhan, aku sudah tidak kuat menjalani hidupku”. Ia merasakan Tuhan Yesus berbicara dengan jelas di atas kayu salib: “Anakku, hidupmu adalah anugerah terbesar dariKu”. Yesus kemudian sangat nyata menunjukkan lambung-Nya kepadanya: “Anakku, luka hatimu adalah luka hatiku”. Setelah menunjukkan lambung-Nya, Tuhan Yesus memperlihatkan luka-luka tubuh-Nya: “Sakitnya hidupmu adalah sakitnya diriku karena tusukan paku di tangan dan kakiku serta tancapan mahkota duri di kepala-Ku”. Kata-kata Yesus menyembuhkan kehausannya akan cinta: “Anakku, engkau tidak menanggung beban hidupmu sendirian karena Aku bersamamu. Semuanya itu aku lakukan untukmu karena aku mencintaimu”. Ia kemudian berdoa dengan kata-kata yang sangat indah: “Tuhan, betapa terberkatinya diriku karena memperoleh cinta-Mu di tengah gersangnya cinta manusia terhadap diriku. Tuhan, cintamu memompakan semangat baru dalam hidupku. Aku mengampuni orangtuaku karena aku yakin bahwa mereka mempunyai penderitaan sendiri yang tak kutahu sehingga mereka memperlakukan aku sedemikian rupa yang membuat hatiku terluka”.

Pengalamannya dan tentu pengalaman banyak umat yang hadir dalam Kebangunan Rohani Katolik ini aku rangkumkan dalam kata-kata dengan judul “Menikmati Kasih Sejati” .

Kasih sejati tak akan pernah berhenti dan berganti.

Kasih sejati itu senantiasa dibawa sampai mati.

Kasih sejati jauh lebih berharga daripada berlimpahnya harta.

Kasih sejati jauh lebih mempesona daripada gebyarnya dunia.

Sumber kasih sejati itu adalah Tuhan sendiri.

Kasih Tuhan itu hanya dapat ditimba dengan iman.

Kasih Tuhan itu memancarkan kebahagiaan bagi hati yang mensyukurinya.

Pada akhir kata, terimakasih kepada para panita Kebangunan Rohani Katolik dari Dekenat Tangerang yang telah melayani dengan sepenuh hati. Terimakasih juga bagi para donatur yang berbaik budi. Berkat Tuhan senantiasa disiapkan bagi anda karena anda senantiasa ingin mengabdi: “Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum” (Amsal 11:25).

Tuhan memberkati

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Perhiasan Termulia

0

“Urapilah Hati, Pikiran, dan Mulutku, Ya Tuhan” merupakan inti dari tema retret bagi seratus tiga puluh Para Pemandu Umat Lingkungan (PPUL) Paroki Santa Monika- Serpong. Aku mendampingi retret itu dari tanggal 30 sampai dengan 31 Agustus 2014. Para Pemandu Umat Lingkungan ini adalah istimewa. Mereka istimewa karena dipanggil Tuhan untuk menyampaikan Firman-Nya dengan menterjemahkannya dalam bahasa sehari-hari sehingga dapat dimengerti. Nabi Yeremia menjadi modelnya. Tuhan mengurapi hati, pikiran, dan mata mereka dengan penyembahan salib sebagai tanda penyertaan-Nya. Penyertaan Tuhan diyakini akan menyentuh kekurangan mereka, yaitu yang berat lidah menjadi fasih berbicara dan yang minder karena belum berpengalaman (digambarkan dengan masih muda) menjadi bijaksana (digambarkan dengan menjadi dewasa). Pengurapan Tuhan juga dipercayai akan menjadikan hati peka terhadap hamparan Firman di depan mata sehingga mata mampu menangkap Sabda Tuhan itu dalam segala hal yang mereka jumpai. Mereka akhirnya bisa menyampaikan Firman Tuhan dalam bahasa sederhana, mudah diterima, dan menguatkan jiwa. Kemampuan ini nampak dalam sebuah renungan yang mereka buat selama dua puluh lima menit berdasarkan dari apa yang mereka temui. Sungguh luar biasa bahwa mereka bisa merumuskan refleksi teologis (merumuskan tentang Tuhan) yang menarik, seperti Tuhan adalah Tukang Sapu, yaitu Tuhan yang setia membersihkan hati kita, Tuhan adalah Pohon Beringin sebagai Tuhan adalah Sang Pengayom, dan Tuhan adalah Kran Air sebagai Tuhan, Sang Pemberi Berkat.

Puncak dari pengalaman tentang kehadiran Firman Tuhan di sekitar kehidupan adalah semangat dan ketabahan dari seorang peserta. Ia adalah seorang kakek yang berusia tujuh puluh dua tahun. Ia harus merawat istrinya yang harus menjalani cuci darah setiap lima jam dalam sehari. Dalam usia yang seharusnya sudah menikmati masa tuanya, ia harus tetap bekerja untuk memenuhi biaya pengobatan istrinya. Hal ini sudah dilakukannya selama bertahun-tahun. Ia sangat merindukan retret ini untuk menimba kekuatan Tuhan sehingga ia meminta adik iparnya untuk menjaga istrinya. Doa dari para peserta retret untuknya mengalirkan kekuatan ilahi dalam jiwanya sehingga ia berkata:“Di dalam salib Tuhan, aku tidak akan pernah menyerah dengan kelelahan dan kesulitan dalam merawat istriku yang tak berdaya. Firman Tuhan dalam Roma 8:3 ‘Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?’ menguatkan imanku bahwa Tuhan senantiasa bersamaku dalam menjaga istriku yang sakit”. Setelah diam beberapa saat, ia melanjutkan sharingnya: “Istriku yang sakit merupakan undangan Tuhan bagiku untuk menikmati Firman-Nya. Firman-Nya selalu nyata dalam diri istriku yang terbaring lemah. Setiap hari Tuhan menyampaikan Firman-Nya yang baru melalui keadaan istriku. Firman-Nya memberikan kepada hatiku sukacita pada saat aku mendampingi istriku yang menderita. Senyuman “trimakasih” dari istriku merupakan ungkapan kebahagiaan Tuhan karena setetes cinta dari kedalaman hati. Aku senantiasa diingatkan akan usapan kasih dari Veronika atas wajah Tuhan Yesus yang lelah karena memanggul Salib menuju Golgota. Karena itu, aku senantiasa ingin membahagiakan istriku. Membahagiakan istriku yang sakit berarti membahagiakan Tuhan sendiri”. Sharing imannya mengingatkan kepadaku atas Firman Allah yang begitu indah: “Apabila aku bertemu dengan perkataan-perkataan-Mu, maka aku menikmatinya; firman-Mu itu menjadi kegirangan bagiku, dan menjadi kesukaan hatiku, sebab nama-Mu telah diserukan atasku, ya TUHAN, Allah semesta alam” (Yeremia 15:16).

Kehidupannya sebagai pesan Tuhan dapat aku rumuskan dalam sebuah bahasa yang puitis :

Istriku, engkau adalah orang yang paling aku cintai

Di setiap darah dalam tubuhmu yang dicuci, ada darah Kristus di salib.

Di setiap nafasmu yang tersengal-sengal, ada nafas Tuhan Yesus yang menahan derita di Golgota.

Di setiap gerakan tubuhmu yang berat, aku lihat Tuhan Yesus menggeliat untuk mengurangi kekakuan tubuh-Nya yang terpaku.

Ketika aku memandangmu, aku mensyukurimu sebagai perhiasan yang termulia.

Perhiasan yang termulia dari mahkota duri Tuhan yang tertancap di kepalamu.

Tancapan mahkota duri itu menyemburkan cahaya cinta dan pengorbananmu kepadaku.

Tetesan-tetesan darah di kepalamu berubah menjadi butir-butir berlian iman yang memancarkan kemilau indah

Engkau tak tergantikan oleh apapun dan siapapun.

Engkau tak terhapuskan dengan apapun.

Bersabarlah, kita akan meninggalkan kesuraman ini

dan bersama-sama bahagia menuju Sang Terang pada saatnya.

Kesimpulan yang dapat menjadi sebuah renungan : Mentari adalah bola besar yang bercahaya dan akan padam pada masanya. Namun, cinta tak akan pernah pudar walaupun bumi bergoncang. Cinta tak akan pernah gersang walaupun dunia kering kerontang karena kemarau yang panjang. Namun, cinta senantiasa hidup karena bersatu dengan cinta Tuhan. Kebersatuan cinta itu senantiasa memancar keluar sebagai Firman yang ingin ditangkap sebagai jalan dan terang kehidupan yang bahagia walaupun mungkin harus merasakan duri kehidupan: “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! (Mazmur 34:39a).

Tuhan memberkati.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Penjelasan mengenai Salam Malaikat menurut St. Thomas Aquinas

1

Berikut ini adalah terjemahan karya St. Thomas Aquinas, yang berjudul Expositio Salutationis angelicae (Penjelasan mengenai Salam Malaikat) dari Bahasa Latin ke Bahasa Indonesia. Karya ini mengandung sebuah katekesis yang sangat indah mengenai bagian pertama doa Salam Maria (mulai dari ‘Salam Maria penuh rahmat’ sampai ‘terpujilah buah tubuhmu Yesus’).

Pendahuluan

Salam tersebut mengandung tiga bagian. Sang Malaikat mengucapkan sebuah bagian, yang berbunyi salam Maria, penuh rahmat Tuhan sertamu, terpujilah engkau di antara wanita. Bagian lain diucapkan oleh Elisabet, bunda Yohanes Pembaptis, yang berbunyi terpujilah buah tubuhmu. Gereja menambahkan bagian ketiga, yang berbunyi Maria, karena Malaikat tidak mengucapkan “salam Maria,” melainkan “salam penuh rahmat.” Dan akan menjadi jelas bahwa nama ini—Maria—cocok dengan pernyataan Malaikat, menurut interpretasi [Gereja].

Artikel 1: Salam Maria penuh rahmat, Tuhan sertamu

Bisa dikatakan, mengenai bagian pertama ini, bahwa sejak dahulu kala penampakan para Malaikat kepada manusia merupakan sebuah peristiwa yang sangat besar. Oleh sebab itu, manusia menunjukkan hormatnya kepada para malaikat dan memuji mereka, karena para Malaikat layak menerima pujian yang sangat besar. Karenanya, tertulis—sebagai pujian bagi Abraham—bahwa ia menerima para Malaikat dengan ramah dan menunjukkan hormatnya kepada mereka. Akan tetapi, belum pernah terdengar bahwa ada Malaikat yang memberi hormat kepada manusia, sampai saat ketika Malaikat memberi salam kepada Perawan yang bahagia, mengatakan dengan penuh hormat salam. Masuk akal apabila sejak dahulu kala Malaikat tidak memberi hormat kepada manusia, melainkan manusialah yang memberi hormat kepada Malaikat, karena Malaikat lebih besar daripada manusia dalam tiga hal.

Pertama, dalam martabat: sudah sewajarnya demikian, karena Malaikat memiliki kodrat spiritual—Mazmur 103:4 berbuyi, “yang membuat angin sebagai suruhan-suruhan-Mu”. Sebaliknya manusia, secara kodrati, dapat musnah; karenanya, Abraham berkata (Kejadian 18:27), “aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu”. Tidaklah layak bahwa makhluk [ciptaan] spiritual yang tidak dapat musnah menunjukkan hormat kepada manusia yang jelasnya merupakan makhluk yang dapat musnah.

Kedua, dalam kedekatannya kepada Allah. Malaikat adalah sahabat Allah yang melayani-Nya—Daniel 7:10 berbunyi, “seribu kali beribu-ribu melayani Dia, dan selaksa kali berlaksa-laksa berdiri di hadapan-Nya”. Sebaliknya, hampir dapat dikatakan bahwa manusia adalah orang asing yang terpisahkan dari Allah akibat dosa—Mazmur 55:8 berbunyi, “aku akan lari jauh-jauh”. Oleh karena itu, sudah selayaknya manusia menghormati Malaikat, yang adalah makhluk yang dekat dan pelayan raja.

Ketiga, [Malaikat] unggul oleh sebab kepenuhan terang rahmat ilahi [yang ia miliki]: sungguh para Malaikat mengambil bagian secara penuh dalam terang ilahi—Ayub 25:3 berbunyi, “Dapatkah dihitung pasukan-Nya? Dan siapakah yang tidak disinari terang-Nya?” Oleh karena itu, [Malaikat] selalu menampakkan dirinya dengan terang. Sebaliknya, manusia—meski mengambil bagian dalam terang rahmat yang sama—masih terus berada dalam kegelapan. Dengan demikian, sesungguhnya tidaklah pantas bahwa [Malaikat] menunjukkan hormat kepada manusia, sampai ditemukan seseorang dengan kodrat manusia yang melebihi para Malaikat dalam tiga hal tersebut. Dan ialah Sang Perawan yang Terpuji. Karenanya, untuk menunjukkan bahwa dalam tiga hal tersebut Sang Perawan melebihinya, Malaikat ingin memberikan hormat kepadanya: karenanya, Malaikat berkata, salam. Oleh sebab itu, Sang Perawan yang Terpuji melebihi Malaikat dalam tiga hal tersebut. Pertama, kepenuhan rahmat yang ada dalam Perawan yang Terpuji lebih besar dari rahmat yang ada dalam Malaikat manapun juga; untuk menjelaskan hal ini, Malaikat menunjukkan hormat kepadanya dengan berkata penuh rahmat, dan dengan demikian seakan-akan berkata, “saya menunjukkan hormat kepadamu, karena engkau melebihiku dalam kepenuhan rahmat.”

Dikatakan bahwa Sang Perawan yang Terpuji dipenuhi dengan rahmat dalam tiga hal. Pertama, berkaitan dengan jiwanya, yang memiliki segala kepenuhan rahmat. Karena rahmat Allah diberikan dengan dua tujuan, yakni, untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan; dan Sang Perawan yang Terpuji memiliki rahmat yang sangat sempurna dalam dua hal tersebut. Oleh sebab itu, setelah Kristus, [Sang Perawan] menghindari semua dosa lebih baik dari orang kudus manapun juga. Karena terdapat dosa asal—dan darinya ia dimurnikan dalam kandungan;[1] dan ia juga dibebaskan dari dosa berat dan ringan. Oleh sebab itu, Kidung Agung 4:7 berbunyi, “Engkau cantik sekali, manisku, tak ada cacat cela padamu.” Agustinus, dalam Mengenai kodrat dan rahmat, [berkata]: “kecuali Santa Perawan Maria, apabila semua santo dan santa berada di sini [dan] ditanyakan kepada mereka apakah ada seorang di antara mereka yang tidak berdosa, semua akan berseru dengan satu suara: ‘Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.’ Santa Perawan [Maria] merupakan sebuah pengecualian; maksud saya, [mengenai Santa Perawan Maria,] demi kehormatan Tuhan, saya tidak ingin mempertanyakan sama sekali hal-hal yang berkaitan dengan dosa. Kita tahu bahwa terdapat rahmat yang lebih besar dalam [Santa Perawan] untuk mengalahkan segala dosa sampai-sampai ia layak mengandung dan melahirkan Ia yang jelasnya tidak memiliki dosa sama sekali.” Akan tetapi, Kristus melebihi Sang Perawan yang Terpuji dalam hal ini, karena Kristus dikandung dan dilahirkan tanpa dosa asal, sedangkan Sang Perawan yang Terpuji dikandung dalam dosa asal, tetapi dilahirkan tanpanya. Ia mempraktikkan semua kebajikan, sedangkan para kudus lainnya mempraktikkan kebajikan-kebajikan tertentu: orang kudus yang ini rendah hati, yang itu murni, yang lain berbelas kasih. Dengan demikian, mereka memberikan dirinya sebagai teladan dalam kebajikan-kebajikan tertentu, seperti Beato Nikolas yang memberikan teladan dalam belas-kasihan, dan sebagainya.

Namun, Sang Perawan yang Terpuji adalah teladan dalam semua kebajikan: di dalam dirinya kamu menemukan teladan dalam kerendahan-hati—Lukas 1:38, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan”, dan setelahnya, dalam ayat 48: “Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya”; [teladan] dalam kemurnian—“karena aku belum bersuami”, ayat 34; dan, jelasnya, [teladan] dalam segala kebajikan. Dengan demikian, [pertama,] Sang Perawan yang Terpuji dipenuhi dengan rahmat baik untuk berbuat baik maupun untuk menghindari kejahatan.]

Kedua, Sang Perawan yang Terpuji dipenuhi dengan rahmat berkaitan dengan kelimpahan jiwanya yang melebihi daging atau tubuhnya. Adalah baik bahwa para kudus memiliki rahmat yang sangat besar sehingga mereka dapat menguduskan jiwa mereka; akan tetapi, jiwa Sang Perawan yang Terpuji dipenuhi dengan rahmat sedemikian rupa sehingga rahmat tersebut mengalir ke dalam dagingnya, supaya ia dapat mengandung Putra Allah. Oleh karena itu, Hugo dari Santo Victor berkata, “karena di dalam hatinya berkobar secara khusus cinta Roh Kudus, ia melakukan hal-hal yang menakjubkan di dalam kedagingannya, sampai-sampai darinya lahir Allah dan manusia.” Lukas 1:35 berbunyi, “sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah”.

Ketiga, dalam kelimpahan [rahmatnya] yang memenuhi semua orang. Adalah sebuah kebesaran bahwa seorang kudus memiliki rahmat yang begitu besar sehingga rahmat tersebut cukup bagi keselamatan orang banyak; akan tetapi, adalah sebuah kebesaran yang tak terbandingkan ketika [seseorang] memiliki [rahmat] yang sedemikian besarnya sehingga [rahmat tersebut] cukup bagi keselamatan seluruh manusia di bumi: dan hal ini terwujud dalam diri Kristus dan dalam diri Perawan yang terpuji. Karena itu, dalam segala bahaya kamu dapat memperoleh keselamatan dari Sang Perawan yang Mulia. Oleh sebab itu, Kidung Agung 4:4 berbunyi, “Seribu perisai (dengan kata lain, obat melawan bahaya) tergantung padanya”. Selain itu, dalam semua karya kebajikan, kamu dapat memohon bantuan dari Sang Perawan; dan karenanya [Sang Perawan] berkata (Sirakh 24:18), “in me omnis spes vitae et virtutis [di dalam diriku terdapat segala pengharapan akan hidup dan kebajikan]”

Demikianlah [Santa Perawan Maria] dipenuhi dengan rahmat, dan melebihi para Malaikat dalam kepenuhan rahmatnya; dan oleh sebab itu layaklah ia dipanggil Maria, yang berarti bersinar dengan sendirinya—seperti yang dikatakan Yesaya 58:11, “Tuhan akan … memuaskan hatimu di tanah yang kering”—dan penerang bagi orang lain, bagi seluruh dunia; dan oleh karena itu [Maria] serupa dengan matahari dan bulan.

Kedua, [Maria] melebihi para Malaikat dalam kedekatannya dengan Allah. Oleh sebab itu Malaikat berkata kepadanya, “Tuhan sertamu“; seakan-akan ia berkata: saya menunjukkan hormat kepadamu karena engkau lebih dekat kepada Allah daripadaku, karena Tuhan sertamu. [Ketika mengatakan Tuhan, Malaikat bermaksud mengatakan] Bapa serta Putra—sesuatu yang tidak dimiliki Malaikat maupun makhluk ciptaan manapun juga. Lukas 1:35 berbunyi, “anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” Allah Putra [berada] dalam rahim. Yesaya 12:6 berbunyi, “Berserulah dan bersorak-sorailah, hai penduduk Sion, sebab Yang Mahakudus, Allah Israel, agung di tengah-tengahmu!” Tidaklah sama relasi Tuhan dengan Perawan yang Terpuji dan relasi-Nya dengan Malaikat; bagi [Perawan Maria] Ia adalah Putra, bagi Malaikat Ia adalah Tuhan. [Bagi] Allah Roh Kudus, [Maria] adalah bagaikan bait; oleh sebab itu dikatakan “bait Tuhan, tempat suci bagi Roh Kudus”, karena [Maria] mengandung dari Roh Kudus (Lukas 1:35): “Roh Kudus akan turun atasmu”. Dengan demikian, Perawan yang Terpuji lebih dekat dengan Allah daripada Malaikat: karena Allah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Kudus—dengan kata lain, segenap Allah Tritunggal—bersertanya. Dan tentang Maria dilambungkan nyanyian yang berbunyi: “tempat peristirahatan bagi segenap Allah Tritunggal.” Sapaan “Tuhan sertamu” adalah perkataan yang paling mulia yang dapat ditujukan kepada seseorang. Pantaslah bahwa Malaikat menghormati Sang Perawan yang Terpuji, karena ia adalah Bunda Tuhan, dan karenanya adalah nyonya. Karenanya, ia secara tepat diberi nama Maria, yang dalam bahasa Siria berarti nyonya.

Ketiga, [Maria] melebihi para Malaikat dalam kemurnian, karena Perawan yang Terpuji tidak hanya murni, namun juga memperolehkan kemurnian bagi sesamanya. Ia sangatlah murni dalam kaitan dengan dosa, karena Sang Perawan tidak jatuh dalam dosa ringan maupun dosa berat. Demikian pula dalam kaitan dengan hukuman. Kepada manusia dijatuhkan tiga kutukan akibat dosa. [Kutukan] yang pertama diberikan kepada perempuan, yang akan mengandung dengan noda, menjalani masa kehamilannya dengan penuh kesulitan, dan melahirkan dalam kesakitan. Namun Perawan yang Terpuji kebal terhadap hal ini, karena ia mengandung tanpa noda, menjalani masa kehamilannya dengan nyaman, dan melahirkan Sang Juruselamat dengan penuh sukacita. Yesaya 35:2 berbunyi, “ia akan berbunga lebat, akan bersorak-sorak, ya bersorak-sorak dan bersorak-sorai”. [Kutukan] yang kedua diberikan kepada laki-laki, yang harus memperoleh roti dengan keringat di wajahnya. Perawan yang Terpuji kebal terhadap hal ini; seperti yang dikatakan sang Rasul (1 Korintus 7:[32]): para perawan tidak terbebani oleh perkara dunia ini, dan mereka memusatkan perhatiannya hanya pada Allah. [Kutukan] yang ketiga berlaku bagi laki-laki dan perempuan, yakni mereka akan kembali menjadi debu. Dan Perawan yang Terpuji kebal terhadap hal ini, karena [ia] diangkat ke surga dengan tubuhnya. Kita percaya bahwa setelah kematiannya, [Maria] dibangkitkan dan diangkat ke surga. Mazmur [132]:8 berbunyi, “Bangunlah, ya TUHAN, dan pergilah ke tempat perhentian-Mu, Engkau serta tabut kekuatan-Mu!

Artikel 2: Terpujilah engkau di antara wanita

Dengan demikian, [Maria] kebal terhadap segala kutukan, dan oleh sebab itu [ia] terpuji di antara wanita: ialah satu-satunya yang menjauhkan kutukan, membawa berkat, dan membuka pintu Firdaus; dan oleh sebab itu pantaslah diberikan kepadanya nama Maria, yang berarti bintang laut; karena bagaikan para pelaut diarahkan menuju pelabuhan oleh bintang laut, demikian pula orang-orang Kristen diarahkan oleh Maria menuju kemuliaan.

Artikel 3: Terpujilah buah tubuhmu

Terkadang seorang yang berdosa mencari di sebuah tempat suatu hal yang tidak dapat ditemukan di sana, namun orang yang benar menemukannya. Amsal 13:22 berbunyi, “kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar”. Karenanya, Hawa mencari buah, dan dalam buah tersebut ia tidak menemukan segala hal yang ia inginkan; [sebaliknya,] Perawan yang terpuji menemukan segala hal yang diinginkan Hawa dalam buahnya. Hawa menginginkan tiga hal dalam buahnya. Pertama, [ia mencari] hal yang dijanjikan secara palsu oleh Iblis, yakni mereka [Adam dan Hawa] akan tahu tentang yang baik dan yang jahat, seperti dewa-dewa. “[K]amu (kata si pembohong) akan menjadi seperti Allah,” seperti yang dikatakan dalam Kejadian 3:5. [Si Iblis] berbohong, karena ia adalah pembohong dan bapa segala kebohongan. Oleh sebab itu, Hawa, karena ia memakan buah tersebut, tidak menjadikan dirinya serupa dengan Allah, melainkan tidak serupa, karena dengan berdosa ia menjauhkan dirinya dari Allah keselamatannya dan diusir dari Firdaus. Akan tetapi, hal inilah yang ditemukan oleh Perawan yang Terpuji dan semua orang Kristen dalam buah tubuhnya: karena melalui Kristus kita dipersatukan dan dijadikan serupa dengan Allah. 1 Yohanes 3:2 berbunyi, “apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya”.

Kedua, dalam buahnya Hawa mendambakan kenikmatan, karena [buah tersebut] lezat untuk dimakan; akan tetapi hal tersebut tidak ditemukannya, karena langsung setelah memakannya ia sadar bahwa ia telanjang, dan ia menjadi gelisah. Namun, dalam buah Sang Perawan kita menemukan kelembutan dan keselamatan. Yohanes 6:[54] [berbunyi], “Barangsiapa makan daging-Ku …, ia mempunyai hidup yang kekal”.

Ketiga, buah Hawa tampak indah; akan tetapi lebih indah lagi buah Sang Perawan—para Malaikat pun rindu memandang-Nya. Mazmur [45]:3 berbunyi, “Engkau yang terelok di antara anak-anak manusia,” karena Ia adalah cahaya kemuliaan Bapa. Dengan demikian, Hawa tidak dapat menemukan dalam buahnya apa yang tidak dapat ditemukan oleh seorang pendosa dalam dosanya. Oleh sebab itu, kita harus mencari apa yang kita rindukan dalam buah sang Perawan. Buah ini dipuji oleh Allah, karena Allah memenuhi-Nya dengan segala rahmat yang dicurahkan kepada kita ketika bersembah sujud kepada-Nya—Efesus 1:3 berbunyi, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga”. [Buah ini dipuji] oleh para Malaikat—Wahyu 7:12 berbunyi, “puji-pujian dan kemuliaan, dan hikmat dan syukur, dan hormat dan kekuasaan dan kekuatan bagi Allah kita”. [Buah ini dipuji] oleh para manusia—sang rasul [menulis dalam] Filipi 2:11, “segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa”; Mazmur [118]:26 [berbunyi], “Diberkatilah dia yang datang dalam nama Tuhan”. Dengan demikian, Sang Perawan adalah seseorang yang terpuji; akan tetapi lebih terpuji lagi buahnya.

Teks asli Expositio Salutationis angelicae

Prooemium

In salutatione ista continentur tria. Unam partem fecit Angelus, scilicet ave gratia plena, dominus tecum, benedicta tu in mulieribus. Aliam partem fecit Elisabeth, mater Ioannis Baptistae, scilicet benedictus fructus ventris tui. Tertiam partem addidit Ecclesia, scilicet Maria: nam Angelus non dixit, ave Maria, sed ave, gratia plena. Et hoc nomen, scilicet Maria, secundum suam interpretationem convenit dictis Angeli, sicut patebit.

Articulus 1: Ave Maria gratia plena, dominus tecum

Est ergo circa primum considerandum, quod antiquitus erat valde magnum quod Angeli apparerent hominibus; vel quod homines facerent eis reverentiam, habebant pro maxima laude. Unde et ad laudem Abrahae scribitur, quod recepit Angelos hospitio, et quod exhibuit eis reverentiam. Quod autem Angelus faceret homini reverentiam, nunquam fuit auditum, nisi postquam salutavit beatam virginem, reverenter dicens, ave. Quod autem antiquitus non reverebatur hominem Angelus, sed homo Angelum, ratio est, quia Angelus erat maior homine; et hoc quantum ad tria.

Primo quantum ad dignitatem: ratio est, Angelus est naturae spiritualis. Psal. CIII, 4: qui facit Angelos suos spiritus; homo vero est naturae corruptibilis: unde dicebat Abraham (Gen. XVIII, 27): loquar ad dominum meum, cum sim pulvis et cinis. Non ergo erat decens ut spiritualis et incorruptibilis creatura reverentiam exhiberet corruptibili, scilicet homini.

Secundo quantum ad familiaritatem ad Deum. Nam Angelus est Deo familiaris, utpote assistens. Dan. VII, 10: millia millium ministrabant ei, et decies millies centena millia assistebant ei. Homo vero est quasi extraneus, et elongatus a Deo per peccatum. Psal. LIV, 8: elongavi fugiens. Ideo conveniens est ut homo revereatur Angelum, utpote propinquum et familiarem regis.

Tertio praeeminebat propter plenitudinem splendoris gratiae divinae: Angeli enim participant ipsum lumen divinum in summa plenitudine. Iob. XXV, 3: nunquid est numerus militum eius, et super quem non surget lumen eius? Et ideo semper apparet cum lumine. Sed homines, etsi aliquid participent de ipso lumine gratiae, parum tamen, et in obscuritate quadam. Non ergo decens erat ut homini reverentiam exhiberet, quousque aliquis inveniretur in humana natura qui in his tribus excederet Angelos. Et haec fuit beata virgo. Et ideo ad designandum quod in his tribus excedebat eum, voluit ei Angelus reverentiam exhibere: unde dixit, ave. Unde beata virgo excessit Angelos in iis tribus. Et primo in plenitudine gratiae, quae magis est in beata virgine quam in aliquo Angelo; et ideo ad insinuandum hoc, Angelus ei reverentiam exhibuit, dicens, gratia plena, quasi diceret: ideo exhibeo tibi reverentiam, quia me excellis in plenitudine gratiae.

Dicitur autem beata virgo plena gratia quantum ad tria. Primo quantum ad animam, in qua habuit omnem plenitudinem gratiae. Nam gratia Dei datur ad duo: scilicet ad bonum operandum, et ad vitandum malum; et quantum ad ista duo perfectissimam gratiam habuit beata virgo. Nam ipsa omne peccatum vitavit magis quam aliquis sanctus post Christum. Peccatum enim aut est originale, et de isto fuit mundata in utero; aut mortale aut veniale, et de istis libera fuit. Unde Cant. IV, 7: tota pulchra es, amica mea, et macula non est in te. Augustinus in libro de natura et gratia: excepta sancta virgine Maria, si omnes sancti et sanctae cum hic viverent, interrogati fuissent utrum sine peccato essent, omnes una voce clamassent: si dixerimus quia peccatum non habemus, ipsi nos seducimus, et veritas in nobis non est. Excepta, inquam, hac sancta virgine, de qua propter honorem domini, cum de peccato agitur, nullam prorsus volo quaestionem habere. Scimus enim quod ei plus gratiae collatum fuerit ad peccatum ex omni parte vincendum quae illum concipere et parere meruit quem constat nullum habuisse peccatum. Sed Christus excellit beatam virginem in hoc quod sine originali conceptus et natus est. Beata autem virgo in originali est concepta, sed non nata. Ipsa etiam omnium virtutum opera exercuit, alii autem sancti specialia quaedam: quia alius humilis, alius castus, alius misericors; et ideo ipsi dantur in exemplum specialium virtutum, sicut beatus Nicolaus in exemplum misericordiae et cetera.

Sed beata virgo in exemplum omnium virtutum: quia in ea reperis exemplum humilitatis: Luc. I, 38: ecce ancilla domini, et post, vers. 48: respexit humilitatem ancillae suae, castitatis, quoniam virum non cognosco, vers. 34, et omnium virtutum; ut satis patet. Sic ergo plena est gratia beata virgo et quantum ad boni operationem, et quantum ad mali vitationem.

Secundo plena fuit gratia quantum ad redundantiam animae ad carnem vel corpus. Nam magnum est in sanctis habere tantum de gratia quod sanctificet animam; sed anima beatae virginis ita fuit plena quod ex ea refudit gratiam in carnem, ut de ipsa conciperet filium Dei. Et ideo dicit Hugo de s. Victore: quia in corde eius amor spiritus sancti singulariter ardebat, ideo in carne eius mirabilia faciebat, intantum quod de ea nasceretur Deus et homo. Luc. I, 35: quod enim nascetur ex te sanctum, vocabitur filius Dei.

Tertio quantum ad refusionem in omnes homines. Magnum enim est in quolibet sancto, quando habet tantum de gratia quod sufficit ad salutem multorum; sed quando haberet tantum quod sufficeret ad salutem omnium hominum de mundo, hoc esset maximum: et hoc est in Christo, et in beata virgine. Nam in omni periculo potes salutem obtinere ab ipsa virgine gloriosa. Unde Cant. IV, 4: mille clypei, (idest remedia contra pericula), pendent ex ea. Item in omni opere virtutis potes eam habere in adiutorium; et ideo dicit ipsa, Eccli. XXIV, 25: in me omnis spes vitae et virtutis.

Sic ergo plena est gratia, et excedit Angelos in plenitudine gratiae; et propter hoc convenienter vocatur Maria quae interpretatur illuminata in se; unde Isai. LVIII, 11: implebit splendoribus animam tuam; et illuminatrix in alios, quantum ad totum mundum; et ideo assimilatur soli et lunae.

Secundo excellit Angelos in familiaritate divina. Et ideo hoc designans Angelus dixit: dominus tecum; quasi dicat: ideo exhibeo tibi reverentiam, quia tu familiarior es Deo quam ego, nam dominus est tecum. Dominus, inquit, pater cum eodem filio; quod nullus Angelus, nec aliqua creatura habuit. Luc. I, XXXV: quod enim nascetur ex te sanctum, vocabitur filius Dei. Dominus filius in utero. Isai. XII, 6: exulta et lauda habitatio Sion, quia magnus in medio tui sanctus Israel. Aliter est ergo dominus cum beata virgine quam cum Angelo; quia cum ea ut filius, cum Angelo ut dominus. Dominus spiritus sanctus, sicut in templo; unde dicitur: templum domini, sacrarium spiritus sancti, quia concepit ex spiritu sancto: Luc. I, 35: spiritus sanctus superveniet in te. Sic ergo familiarior cum Deo est beata virgo quam Angelus: quia cum ipsa dominus pater, dominus filius, dominus spiritus sanctus, scilicet tota Trinitas. Et ideo cantatur de ea: totius Trinitatis nobile triclinium. Hoc autem verbum, dominus tecum, est nobilius verbum quod sibi dici possit. Merito ergo Angelus reveretur beatam virginem, quia mater domini, et ideo domina est. Unde convenit ei hoc nomen Maria, quod Syra lingua interpretatur domina.

Tertio excedit Angelos quantum ad puritatem: quia beata virgo non solum erat pura in se, sed etiam procuravit puritatem aliis. Ipsa enim purissima fuit et quantum ad culpam, quia ipsa virgo nec mortale nec veniale peccatum incurrit. Item quantum ad poenam. Tres enim maledictiones datae sunt hominibus propter peccatum. Prima data est mulieri, scilicet quod cum corruptione conciperet, cum gravamine portaret, et in dolore pareret. Sed ab hac immunis fuit beata virgo: quia sine corruptione concepit, in solatio portavit, et in gaudio peperit salvatorem. Isai. XXXV, 2: germinans germinabit exultabunda et laudans. Secunda data est homini, scilicet quod in sudore vultus vesceretur pane suo. Ab hac immunis fuit beata virgo: quia, ut dicit apostolus, I Cor. VII, virgines solutae sunt a cura huius mundi, et soli Deo vacant. Tertia fuit communis viris et mulieribus, scilicet ut in pulverem reverterentur. Et ab hac immunis fuit beata virgo, quia cum corpore assumpta est in caelum. Credimus enim quod post mortem resuscitata fuerit, et portata in caelum. Psal. CXXXI, 8: surge, domine, in requiem tuam; tu, et arca sanctificationis tuae.

Articulus 3: Benedictus fructus ventris tui

Peccator aliquando quaerit in aliquo quod non potest consequi, sed consequitur illud iustus. Prov. XIII, 22: custoditur iusto substantia peccatoris. Sic Eva quaesivit fructum, et in illo non invenit omnia quae desideravit; beata autem virgo in fructu suo invenit omnia quae desideravit Eva. Nam Eva in fructu suo tria desideravit. Primo id quod falso promisit ei Diabolus, scilicet quod essent sicut dii, scientes bonum et malum. Eritis (inquit ille mendax) sicut dii, sicut dicitur Gen. III, 5. Et mentitus est, quia mendax est, et pater eius. Nam Eva propter esum fructus non est facta similis Deo, sed dissimilis: quia peccando recessit a Deo salutari suo, unde et expulsa est de Paradiso. Sed hoc invenit beata virgo et omnes Christiani in fructu ventris sui: quia per Christum coniungimur et assimilamur Deo. I Ioan. III, 2: cum apparuerit, similes ei erimus, quoniam videbimus eum sicuti est.

Secundo in fructu suo Eva desideravit delectationem, quia bonus ad edendum; sed non invenit, quia statim cognovit se nudam, et habuit dolorem. Sed in fructu virginis suavitatem invenimus et salutem. Ioan. VI, 55: qui manducat meam carnem, habet vitam aeternam.

Tertio fructus Evae erat pulcher aspectu; sed pulchrior fructus virginis, in quem desiderant Angeli prospicere. Psal. XLIV, 3: speciosus forma prae filiis hominum: et hoc est, quia est splendor paternae gloriae. Non ergo potuit invenire Eva in fructu suo quod nec quilibet peccator in peccatis. Et ideo quae desideramus, quaeramus in fructu virginis. Est autem hic fructus benedictus a Deo, quia sic replevit eum omni gratia quod pervenit ad nos exhibendo ei reverentiam: Ephes. I, 3: benedictus Deus et pater domini nostri Iesu Christi, qui benedixit nos in omni benedictione spirituali in Christo: ab Angelis: Apoc. VII, 12: benedictio et claritas et sapientia et gratiarum actio, honor et virtus et fortitudo Deo nostro; ab hominibus: apostolus, Phil. II, 11: omnis lingua confiteatur, quia dominus Iesus Christus in gloria est Dei patris. Psal. CXVII, 26: benedictus qui venit in nomine domini. Sic ergo est virgo benedicta; sed et magis benedictus fructus eius.

[1] [Teks halaman ketiga, baris ketujuh.] St. Tomas berkata bahwa Maria dibersihkan dari dosa asal dalam rahim, ketimbang dikandung tanpa dosa asal. Ia menulis jauh sebelum dogma Maria dikandung tanpa noda dosa ditetapkan pada tahun 1854 dan, berbeda dari Duns Scotus, ia tidak menganggap bahwa hal tersebut adalah kebenaran iman.

Mengapa Ular yang Dijadikan Lambang oleh Tuhan? (lih. Yoh 3:14, Bil 21:8-9)

1

Berikut ini adalah penjelasan dari St. Agustinus tentang ayat Yoh 3:14, (yang mengacu kepada Bil 21:8-9) tersebut:

“Banyak orang meninggal di padang gurun karena serangan ular, maka Musa, oleh perintah Tuhan, meninggikan sebuah ular tembaga dan mereka yang memandang kepada ular itu langsung disembuhkan. Ular yang ditinggikan itu [melambangkan] kematian Kristus. Penyebab itu, oleh cara tertentu, diterapkan sebagai akibat. Ular itu adalah penyebab kematian, dalam arti ia mempengaruhi manusia agar jatuh dalam dosa, dan karena itu ia [ular itu] memperoleh kematian. Namun demikian, Tuhan kita, tidak memperoleh dosa, yaitu racun dari ular itu, ke dalam tubuh-Nya, tetapi [Ia memperoleh] kematian; supaya dalam keserupaan dengan tubuh yang berdosa, dapat ada penghukuman tanpa dosa, yang oleh karena itu, tubuh yang berdosa dapat dibebaskan, baik dari hukuman, maupun dari dosa.

Seperti terdahulu, ia yang melihat kepada ular yang ditinggikan itu, disembuhkan dari racunnya dan diselamatkan dari kematian; demikianlah kini ia yang diubah menjadi serupa dengan kematian Kristus oleh iman dan rahmat Baptisan, dibebaskan, baik dari dosa oleh justifikasi (pembenaran), maupun dari kematian oleh kebangkitan. Sebagaimana Yesus sendiri berkata; bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya tidak akan binasa, tetapi memperoleh hidup yang kekal. Maka, bukankah perlu bahwa seorang anak dijadikan serupa oleh Baptisan dengan kematian Kristus, karena ia telah dinodai oleh gigitan beracun dari ular itu?”

Dengan penjelasan ini kita mengetahui bahwa lambang ular digunakan agar kita dapat melihat hubungan antara penyebab dan akibat. Yaitu bahwa perbuatan jahat yang dilakukan sang ular dan membawa akibat, dalam hal ini kematian (maut). Tuhan Yesus yang diutus Allah Bapa untuk melepaskan manusia dari kuasa maut, mengambil akibat itu, yaitu maut, bagi tubuh-Nya, meskipun Ia tidak berdosa, agar tubuh manusia yang berdosa dapat dibebaskan baik dari hukuman maupun dari dosa.

Keep in touch

18,000FansLike
17,700FollowersFollow
30,300SubscribersSubscribe

Podcasts

Latest sermons