Home Blog Page 64

Apakah arti kunci Rasul Petrus?

26

Dalam Mat 16:19 dituliskan “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” Apakah maksud dari kunci ini? “Kunci” yang diberikan di sini maksudnya adalah kuasa untuk memimpin dan mengatur Kerajaan Sorga. Dan karena Kerajaan Sorga yang ada di dunia ini adalah Gereja, maka Rasul Petrus (dan para penggantinya) diberi kuasa untuk memimpin Gereja. Karena Gereja direncanakan oleh Yesus untuk terus eksis sampai akhir jaman (Mat 16:18; 28:19-20), maka kuasa memimpin ini diberikan juga kepada para penerus Rasul Petrus.

Di Perjanjian Lama, memang tugas “pemegang kunci” ini telah digambarkan oleh Eliakim (Yes 22) yang diberi tanggungjawab untuk memegang kunci Rumah Raja Daud, sebagai pengatur rumah tangga, yang menjadi simbol kekuasaan Kerajaan Yehuda. Dengan diberikannya kuasa ini kepada Eliakim, tentu bukan berarti Eliakim menjadi “lebih tinggi daripada” Raja Daud. Pemberian kunci ini hanya dimaksudkan agar Eliakim menjadi pengurus, pengajar bagi kerajaan raja Daud. Di Perjanjian Baru, oleh Yesus, Sang Raja keturunan Daud, kerajaan Yehuda disempurnakan menjadi Gereja-Nya yang dibangun di atas Rasul Petrus (Mat 16:18-19). Maka dengan analogi yang sama, kuasa yang diberikan oleh Yesus kepada Rasul Petrus juga tidak membuat Petrus lebih tinggi daripada Yesus. Sebab biar bagaimanapun, Yesus tetaplah Sang Pemilik kunci yang menguasai kunci itu. Jadi kunci yang disebutkan itu baik yang di kitab Yesaya 22:22 maupun Why 3:7, adalah kunci Kerajaan yang sama, sebab memang sudah sejak dahulu, Allah mempersiapkan Kerajaan Allah, dari bangsa Israel di kerajaan Yehuda pada jaman Raja Daud, sampai sekarang saat Kerajaan-Nya nyata di dalam Gereja Katolik yang didirikan-Nya. Pada PL tugas mengatur rumah/ kerajaan Daud diberikan kepada Eliakim, sedangkan pada PB, tugas mengaturKerajaan Surga diberikan kepada Rasul Petrus dan para panerusnya.

Kuasa ‘mengikat dan melepaskan’ disebutkan oleh Flavius Josephus, seorang ahli sejarah di abad ke -1, sebagai otoritas untuk mengatur, yang mengikat atau melepaskan masyarakat dari suatu kewajiban, untuk menghukum atau untuk mengampuni, dan untuk menentukan sesuatu sebagai sesuatu yang sah atau tidak sah, boleh atau tidak boleh dilakukan. Kuasa ‘mengikat dan melepaskan’ ini diberikan oleh Ratu Alexandra (76-67 BC) kepada kaum Farisi. Kuasa inilah yang sering menjadi pertentangan antara para Rabi golongan Shamma dan Hillel, pada jaman Yesus, karena yang diikat oleh golongan yang satu dilepaskan oleh yang lain, demikian sebaliknya. Di sini Josephus tidak meragukan bahwa maksud ungkapan ‘mengikat dan melepaskan’ itu berkaitan dengan otoritas. ((lihat Stanley L. Jaki, The Keys of the Kingdom (Chicago: Franciscan Herald Press, 1986), p.43)) Yesus mengakhiri kesimpangsiuran ini dengan memberikan otoritas yang benar kepada Petrus, yang dipercayakan untuk memimpin Gereja-Nya. Maka istilah ‘kunci’ ini adalah untuk menggambarkan pemberian kuasa yang penuh dan otoritas/ kuasa yang penuh, absolut dan tertinggi yang diberikan Yesus kepada Rasul Petrus. Jadi “kunci” ini bukanlah hanya berarti kunci pintu masuk saja (pembuka pintu bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus untuk mengimani-Nya), tetapi seluruh kunci bagi semua pintu rumah/ Kerajaan Allah tersebut, yang menyangkut seluruh kepemimpinan umat beriman. Tugas ini kemudian dijalankan oleh Magisterium (Paus dan para uskup dalam persekutuan dengan Paus), yaitu tugas/ wewenang untuk mengikat atau melepaskan dalam hal pengajaran iman dan moral (Mat 16:19; 18:18). “Kunci” ini selain untuk membuka dan menutup Kerajaan Allah di Surga, adalah untuk juga kunci untuk mengatur Kerajaan Allah yang ada di dunia ini, yaitu di dalam Gereja. Menurut para Bapa Gereja, termasuk di sini, selain kuasa mengajar, adalah kuasa untuk mengampuni dosa (Mat 16:19).

Maka menurut Suarez, seorang Teolog Scholastik yang menggabungkan ajaran St. Gregorius dan St. Maximus, kuasa memegang kunci ini meliputi tiga hal, yaitu kuasa memberikan sakramen- sakramen, kuasa memimpin/ mengatur dan kuasa untuk mendefinisikan ajaran iman dan moral (lihat Suarez, De Poenit., disp xvi). Jadi di sini “kunci” bukan sesuatu yang dibagi-bagikan sama rata kepada semua pengikut Kristus. Interpretasi yang “kunci” pada PB harus melihat juga konteks penggenapan yang dimaksud pada PL, sebab pemberian kunci kerajaan Yehuda pada PL hanya diberikan kepada Eliakim, maka pada PB, juga hanya kepada Rasul Petrus. Sedangkan karena Yesus menginginkan agar Kerajaan-Nya/ Gereja-Nya terus bertahan sampai akhir jaman, maka pemberian “kunci”/ wewenang ini berlangsung terus kepada para penerus Rasul Petrus. Dan karena secara prinsip: yang diberi wewenang selalu tidak pernah mengatasi Yang Memberi wewenang, maka Petrus (dan penerusnya) yang diberi wewenang tidak akan pernah menjadi lebih tinggi daripada Kristus Sang Pemberi wewenang. Sebab apapun yang ditetapkan oleh Petrus adalah yang menjadi ketetapan Kristus dan Petrus hanya menjalankan tugas ini, sesuai dengan wewenang yang diberikan kepadanya.

Doa untuk Sinode Luar biasa Para Uskup di Roma tentang Keluarga

0

5 – 19 Oktober 2014
(Didoakan dari tanggal 29 September 2014 hingga 19 Oktober 2014)

Doa Kepada Keluarga Kudus

Yesus, Maria, dan Yusuf,

Kepadamu kami merenungkan

Cinta kasih yang sesungguhnya,

kepadamu kami menghadap dengan penuh iman.

Keluarga Kudus Nazareth,

Buatlah keluarga kami boleh menjadi tempat untuk bersekutu,

berdoa, dan mengembangkan hidup rohani.

Buatlah keluarga kami menjadi gereja-gereja kecil-Mu

Keluarga Kudus Nazareth,

Semoga semua keluarga tidak mengalami lagi kekerasan,

penolakan, dan perpecahan:

Bagi mereka yang pernah disakiti atau dilecehkan,

semoga mereka dapat menemukan penghiburan dan penyembuhan

Keluarga Kudus Nazareth,

dalam rangka menyambut Sinode para Uskup,

ingatkanlah kami kembali akan kesucian dan kesatuan dari sebuah keluarga

dan indahnya rencana Tuhan di dalamnya.

Yesus, Maria, dan Yusuf,

Kiranya Engkau berkenan mendengarkan doa kami.

Amin

Berilah Kepada Tuhan Apa yang Menjadi Hak Tuhan!

5
Sumber gambar: http://christianitymalaysia.com/wp/wp-content/uploads/2014/03/Jesus-Sadducees.jpg

[Hari Minggu Biasa XXIX, Hari Minggu Evangelisasi: Yes 45:1,4-6; Mzm 96:1-10; 1Tes 1:1-5; Mat 22:15-21]

Bacaan pertama Minggu ini menyatakan kepada kita bahwa Tuhan dapat memilih siapapun untuk menjadi alat-Nya untuk melaksanakan rencana keselamatan-Nya, seturut kehendaknya (lih. Yes 45:1,4-6). Untuk membawa kembali bangsa pilihan-Nya dari tempat pembuangan, Tuhan menggunakan kuasa raja Koresh, seorang pagan. Allah dapat menggunakan otoritas pemerintahan untuk mendatangkan kebaikan.

Di Injil hari ini, Kristus menegaskan bahwa kita wajib untuk tunduk pada otoritas pemerintahan sipil. Dikisahkan bahwa kaum Farisi dan Herodian bermaksud menjebak Yesus dengan bertanya, apakah diperbolehkan membayar pajak atau tidak. Pertanyaan ini tidaklah fair, sebab sesungguhnya baik kaum Farisi maupun Herodian saat itu membayar pajak kepada Kaisar. Namun kaum Farisi bermaksud menjebak Yesus, karena menurut mereka, jika Yesus mengatakan membayar, maka artinya Ia akan kehilangan muka, karena sebagai Mesias mestinya Ia tidak terikat oleh kuk bangsa asing.  Juga dengan demikian, Ia dianggap turut mengokohkan kekuasaan penjajahan Romawi atas bangsa pilihan Allah; dan Yesus dianggap tidak berpihak kepada bangsa-Nya sendiri. Sebaliknya kalau Yesus menjawab ‘tidak usah membayar pajak’, maka kaum Herodian yang bersekutu dengan pimpinan Romawi, mempunyai alasan untuk menyalahkan Yesus, karena  Ia menentang bangsa Romawi. Namun di luar perkiraan kedua kelompok itu, Yesus menjawab, bukan ‘ya’ atau ‘tidak’. Jawab Yesus adalah, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah, apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat 22:21) Dengan perkataan ini, Yesus mengajarkan agar mereka memberikan kepada pemerintah sipil, apa yang menjadi hak mereka, yaitu pajak dan ketaatan kepada hukum yang adil. Ketaatan kepada pemerintah sipil tidak untuk dipertentangkan dengan ketaatan kepada Tuhan. Namun demikian, penghormatan kepada pemerintah sipil tidaklah setara dengan penghormatan kepada Tuhan yang memiliki kuasa absolut atas hidup manusia. Sebagai warganegara, umat Kristiani wajib untuk memberikan kepada negara, dukungan materi maupun pelayanan yang disyaratkan untuk kepentingan bersama. Namun Tuhan Yesus mengingatkan bahwa tugas kita tidak terbatas hanya pada hal-hal itu saja, tetapi kita wajib memberikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan.

Di hari Minggu Evangelisasi ini, kita diingatkan bahwa sebagai murid Kristus kita harus juga melakukan misi Gereja di dunia, yaitu dengan mewartakan Injil kepada setiap orang. Dengan kata lain, kita dipanggil untuk melakukan karya evangelisasi bersama dengan Gereja, dan dengan demikian memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak-Nya. Paus Paulus VI mengajarkan bahwa evangelisasi berarti menyampaikan Kabar Baik tentang Yesus kepada setiap orang dalam segala situasi dan berusaha membawa mereka -baik secara perorangan maupun kelompok- kepada pembaruan, oleh kuasa ilahi dari pesan Injil itu sendiri (lih. Evangelii Nuntiandi, 18). Ajaran Paus ini sesuai dengan Bacaan kedua hari ini, yang mengatakan bahwa Injil yang kita wartakan itu bukan disampaikan dengan kata-kata semata, tetapi dengan kekuatan Roh Kudus dan kepastian yang kokoh (1Tes 1:5). Gereja mengajarkan bahwa pertama-tama evangelisasi ini ditujukan kepada sesama umat yang telah dibaptis, namun yang karena satu dan lain hal, telah meninggalkan ataupun menjauh dari Gereja. Setiap kita dipanggil untuk merangkul dan mengajak mereka untuk kembali ke dalam pangkuan Gereja, dan kembali mengalami perjumpaan dengan Kristus dalam Gereja. Juga, kita dipanggil untuk mewartakan Injil di dalam keluarga kita, karena setiap keluarga adalah unit Gereja yang terkecil yang secara bersama-sama dengan keluarga yang lain membentuk keseluruhan Gereja. Jika Injil sungguh menjiwai kehidupan setiap keluarga, maka secara keseluruhan Injil menjiwai Gereja. Gereja mengajak kita kaum awam, untuk turut serta membangun Gereja dan menjadi terang dunia, justru melalui kehidupan sehari-hari; yaitu dengan menyatukan tindakan nyata dan iman. Dengan kasih persaudaraan kita hidup dan bekerja, dan bersama merasakan penderitaan sesama, dan dengan demikian mempersiapkan semua hati untuk menerima karya rahmat Allah yang menyelamatkan (lih. Apostolicam Actuositatem, 13).

Evangelisasi menjadi penting, karena dunia saat ini dilanda kekosongan rohani. Paus Yohanes Paulus I mengatakan bahwa kekosongan ini disebabkan oleh propaganda agar orang mengejar materi: mencari uang, investasi, mengelilingi diri dengan kenyamanan, hidup enak… “Sebaliknya”, kata Paus, “Allah -yang seharusnya mengisi hidup kita- telah menjadi bintang yang jauh, yang dilihat hanya pada waktu-waktu tertentu. Orang merasa religius karena mereka pergi ke gereja, tetapi di luar gereja mereka hidup seperti orang kebanyakan,… berlaku tidak adil, berdosa melawan kasih, dan karenanya mereka sepenuhnya hidup tidak sesuai [dengan kasih].” (Illustrissimi, p. 179) Marilah berdoa, “Tuhan, jadilah bagiku Bintang yang menetap di hatiku. Semoga Terang Injil yang kuperoleh dari-Mu dapat senantiasa menerangi jalan hidupku dan dapat kuteruskan kepada sesamaku. Semoga dengan demikian aku dapat mempersembahkan kembali kepada-Mu, apa yang menjadi hak-Mu.

Beberapa ayat Kitab Suci yang nampaknya saling bertentangan

37

Abyatar atau Ahimelek (Mrk 2:26; 1Sam 21:1-6)?

Ada pertanyaan: Daud makan roti sajian di masa Imam Besar Ahimelek atau Abyatar (Mrk 2:26; 1Sam 21:1-6)? Injil mencatat bahwa Yesus mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar’, padahal kita tahu dari 1 Samuel bahwa sebenarnya bukan Abyatar yang menjabat sebagai Iman Besar waktu itu, melainkan ayahnya, Ahimelek.

Bagaimana menjelaskan perbedaan ini?

1. Kita melihat kecenderungan bahwa seseorang diingat untuk suatu peran/ jabatan puncak yang pernah diembannya. Maka ketika menjabarkan tentang kisah Daud saat menggembalakan domba-domba-nya, orang mengatakan demikian, “Waktu Raja Daud menjadi gembala ….”, meskipun saat itu Daud belum menjadi Raja. Demikianlah, meskipun saat itu Abyatar belum menjadi Imam Besar, namun ia toh segera menjabat menjadi Imam Besar, dan itulah jabatan yang membuat orang mengenangnya; maka ia disebut dengan jabatan ini. Sebab memang kejadian itu terjadi ‘in the days of Abiathar’ yaitu pada masa Abyatar hidup. Sebab dikatakan dalam 1 Sam 22:20, bahwa ia luput dari penganiayaan Raja Saul, ketika Saul membunuh para imam Tuhan, termasuk seluruh keluarga ayahnya.

2. Selain itu, para ahli Kitab Suci juga menyebutkan bahwa dari kata aslinya yang dipakai, yaitu frasa dalam bahasa Yunani: ‘epi Abiathar archieros‘, kata ‘epi‘ dapat diartikan tidak saja sebagai ‘waktu’ atau pada saat. Sebab kata ‘epi’ juga dapat diartikan sebagai ‘tempat’, atau kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris, ‘upon’. Dalam Injil Markus, terdapat 21 kali kata ‘epi‘ digunakan dan 18 di antaranya diterjemahkan/ dihubungkan dengan tempat dan bukan dengan waktu. Dengan demikian, terjemahan ‘waktu’ di ayat Mrk 2:26 ini sebenarnya bukan terjemahan satu-satunya yang paling tepat.

Lalat atau Nyamuk (Mat 23:24)?

Terjemahan mana yang benar dalam Mat 23:24: lalat atau nyamuk? Kalau terjemahannya berbeda-beda, maka bukankah otentisitas dari Kitab Suci dapat dipertanyakan? Mari kita menganalisanya secara lebih mendalam. Dalam Mat 23:24 dituliskan sebagai berikut:

bahasa indonesia sehari-hari : Kalian pemimpin-pemimpin yang buta! LALAT dalam minumanmu kalian saring, padahal unta kalian telan!

terjemahan baru: Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, NYAMUK kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan.

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka dua prinsip harus kita lihat, yaitu: (1) gaya bahasa yang digunakan dan (2) dari bahasa asli.

Dalam menginterpretasikan Kitab Suci, kita harus memperhatikan gaya bahasa. Tentang hal ini telah dibahas di sini – silakan klik. Dari ayat tersebut, kita tahu bahwa gaya bahasa yang dipergunakan adalah gaya bahasa hyperbolisme. Bahasa ini ingin memberikan penekanan efek yang besar, sehingga dapat memberikan impresi yang kuat kepada pembaca. Kita tahu bahwa semua orang tidak menelan nyamuk, lalat, atau unta, sehingga ayat tersebut tidak dapat diartikan secara literal.

Alasan yang kedua adalah dengan melihat bahasa asli dari kata “lalat” atau “nyamuk” yang digunakan, yaitu: κώνωψ
kṓnōps; gen. kṓnōpos, masc., fem. noun. A gnat, mosquito. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “gnat” seperti NASB menterjemahkan “You blind guides, who strain out a gnat and swallow a camel” (Mat 23:24). Kalau kita melihat kata “gnat” ini, maka artinya adalah:

Webster: GNAT, n. nat. A small insect, or rather a genus of insects, the Culex, whose long cylindric body is composed of eight rings. They have six legs and their mouth is formed by a flexible sheath, inclosing bristles pointed like stings. The sting is a tube containing five or six spicula of exquisite fineness, dentated or edged. The most troublesome of this genus is the musketoe.

Wikipedia: A gnat ( /ˈnæt/) is any of many species of tiny flying insects in the Dipterid suborder Nematocera, especially those in the families Mycetophilidae, Anisopodidae and Sciaridae…..

Jadi, dari webster dan wikipedia, kita dapat melihat bahwa secara prinsip gnat adalah serangga kecil yang dapat terbang, yang dapat berarti nyamuk maupun lalat.

Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara dua terjemahan tersebut. Dan sungguh salah kalau disimpulkan bahwa dua perbedaan terjemahan tersebut dapat menunjukkan bahwa Kitab Suci tidaklah akurat. Terjemahan “lalat” maupun “nyamuk” juga tidak mengubah arti yang ingin disampaikan, yaitu: serangga kecil terlihat, namun binatang sebesar unta justru tidak terlihat.

Tentang nama Yakub dan Israel (Kej 35:10 dan Kej 46:2)

Dikatakan di Kej 35:10 bahwa Tuhan sudah mengganti nama Yakub menjadi Israel, namun di perikop Kej 46:2, Allah masih memanggilnya Yakub. Untuk memahami hal ini kita melihat kepada ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci sebagai berikut:

Pemberian nama oleh Allah kepada seseorang yang dicatat dalam Kitab Suci umumnya berkaitan dengan makna tertentu yang lebih besar maknanya daripada namanya yang terdahulu. Namun bukan berarti namanya yang dulu tidak boleh disebut kembali. Kita melihat bahwa terhadap Rasul Petrus, Kristus juga sudah memberi nama Kefas (Petrus) kepada Simon pada saat Kristus mengatakan akan mendirikan Gereja-Nya (Mat 16:18-19), namun sebelum kenaikan-Nya ke surga, Ia tetap memanggil Petrus dengan sebutan Simon (lih. Yoh 21:15-19). Maka kita melihat di sini, bahwa pemberian nama berkaitan dengan misi yang diberikan, dan memang setelah Gereja resmi berdiri di hari Pentakosta, maka nama Simon tidak lagi digunakan, namun Petrus atau Kefas (lih. Kis 2 dst).

Demikian pula pada Yakub. Menurut Haydock’s Catholic Commentary on Holy Scripture,  Allah memberi Yakub nama yang baru, yaitu: Israel, yang artinya pangeran Tuhan (menurut St. Hieronimus, q. Heb,) atau seorang yang berdiri tegak dan menang di hadapan Tuhan, rectus Dei, yisrael (Haydock) — Atau orang-orang menerjemahkannya, sebagai seorang manusia yang melihat Tuhan, aiss-rae-al.  (Philo, &c.).

Maka Kitab Suci menunjukkan bahwa kedua nama tersebut, Yakub dan Israel, ditulis berganti-gantian, sebab mengacu kepada orang yang sama. Setelah Yakub diberi nama baru, Israel, pada Kej 35:10, namun pada awal perikop berikutnya Kej 35:22b, nama Yakub kembali disebut, “Adapun anak-anak lelaki Yakub dua belas orang banyaknya.” Maka “namamu bukan lagi Yakub melainkan Israel” artinya adalah bahwa nama Yakub kini bukan lagi mengacu kepada dirinya sendiri saja tetapi juga kelak kepada Israel, nama bangsa yang berasal dari keturunannya yang dipilih oleh Tuhan.

Sekarang mari kita lihat Kej 46 tersebut, di mana dikatakan Yakub mempersembahkan korban kepada Allah di Bersyeba. Kemungkinan tempat ini adalah tempat yang sama di mana kakeknya, Abraham, menanam pohon tamariska dan memanggil nama Allah (Kej 21:33), dan di mana ayahnya, Ishak, juga mendirikan altar bagi Tuhan (Kej 26:24-25). Maka Allah memanggilnya dengan nama Yakub, sebab kepada Yakublah ayahnya Israel memberikan berkat (Kej 27:27-29). Dan kepada Yakub yang sama inilah Allah kemudian melanjutkan janji-Nya. Sebab sekitar 40 tahun sebelumnya Allah berbicara kepada Yakub melalui mimpi, ketika Yakub hendak meninggalkan Tanah Terjanji, berangkat dari Bersyeba (Kej 28:12-17). Kini ketika ia hendak meninggalkan tanah itu lagi, Tuhan memberikan janji-Nya kembali melalui mimpi. Yakub diingatkan akan siapa dirinya sebelum menerima janji Tuhan, dan bahwa Allah akan membuatnya menjadi bangsa yang besar (Kej 46:3), yang disebut Israel, yang akan berdiam di tanah Mesir (lih Kej 46:7). Dan kemudian di ayat berikutnya disebutkan nama-nama bani Israel tersebut.

Mendengar tapi tidak melihat, atau melihat tapi tidak mendengar (Kis 9:7 dan Kis 22:9)?

Di Kis 9:7 dikatakan bahwa teman seperjalanan Rasul Paulus ‘mendengar tapi tidak melihat’, sedangkan dalam Kis 22:9 dikatakan bahwa mereka ‘melihat cahaya tetapi tidak mendengar’

Mari kita melihat teks lengkapnya:
Kis 9:7, “Maka termangu-mangulah teman-teman seperjalanan, karena mereka memang mendengar suara itu, tetapi tidak melihat seorang juga pun”
Kis 22:9, “Dan mereka yang menyertai aku [Paulus], memang melihat cahaya itu, tetapi suara Dia, yang berkata kepadaku, tidak mereka dengar.”

Menurut keterangan dari buku Haydock’s Commentary on Holy Scripture, tentang kedua ayat tersebut dikatakan bahwa kemungkinan yang didengar oleh para pengantar Rasul Paulus adalah hanya suara Rasul Paulus yang bicara, ataupun adanya suara yang tak jelas yang tak dapat mereka pahami, sehingga dikatakan, bahwa mereka mendengar suara (Kis 9:7), namun tidak mendengar suara Tuhan yang berkata kepada Rasul Paulus (lih. Kis 22:9). Di samping itu mereka juga melihat cahaya (Kis 22:9), namun tidak melihat seorangpun (lih. Kis 9:7).

7 tahun atau 3 tahun (2 Sam 24:13: dengan 1 Taw 21:11-12)?

Perbedaan 2 Samuel 24:13: 7 tahun kelaparan (7 years of famine), sementara di 1 Tawarikh 21:11-12 (1 Chr 21:11-12), hanya 3 tahun kelaparan (3 years famine).

Demikianlah penjelasan yang dirangkum dari Haydock Catholic Commentary Bible dan A Catholic Commentary on Holy Scriptures :

Salinan teks dalam bahasa Ibrani menyebutkan tujuh tahun, sedangkan salinan teks Septuaginta dan beberapa salinan Arab menyebutkan tiga tahun. ‘Tiga’ tahun (angka tiga) nampaknya lebih sesuai dengan rangkaian angka tiga yang terkait dengan pernyataan hukuman lainnya. …Gad -nabi yang mengunjungi Daud- dapat saja awalnya menyebut tujuh tahun kelaparan, namun kemudian menguranginya menjadi tiga tahun…. Atau, bahwa Tuhan memberikan tiga tahun hukuman bagi Raja Daud untuk rasa ingin tahunya akan kekuatan kerajaannya (sebab penghitungan sensus berkaitan dengan pajak yang artinya juga adalah kekayaan bagi kerajaan); dan masa tiga tahun hukuman ini, dengan masa tiga tahun kelaparan yang saat itu memang sudah terjadi (lih. 2 Sam 21:1) mengakibatkan pada tahun ketujuh, atau tahun sabatikal, tidak ada yang dapat dipanen. Sehingga masa kelaparan total yang ditawarkan oleh Gad adalah tujuh tahun. Dengan demikian, baik angka tiga tahun maupun tujuh tahun adalah sama-sama benar, dilihat dari manakah permulaan penghitungannya.

Jika terjemahan LAI kemudian menyamakan ‘3 tahun’ (dengan mengacu kepada salinan teks Septuaginta dan Arab) dalam terjemahan 1976 untuk ayat 2 Samuel 24:13 dan 1 Tawarikh 21:11-12, tidak mengubah kenyataan bahwa memang terdapat dua jenis teks dalam salinan Kitab Suci, namun hal ini tidaklah menjadi permasalahan, sebab kedua pernyataan tersebut, tergantung dari manakah permulaan penghitungannya, tetaplah menyampaikan kebenaran. Di atas semua itu, yang terpenting ditangkap maksud intinya, yaitu bahwa Raja Daud harus menanggung akibat dari kesalahannya.

8 tahun atau 18 tahun (2 Taw 36:9 dan 2 Raj 24:8)?

Pada 2 Tawarikh 36:9 (2 Chronicle 36:9), Yoyakhin menjadi raja pada umur 8 tahun, sementara pada 2 Raja-raja 24:8 (2 Kings 24:8) berumur 18 tahun.

Demikianlah penjelasan yang dirangkum dari Haydock Catholic Commentary Bible:

Ketika Yoyakhin dihubungkan dengan tahta bapanya dalam kerajaan Yehuda, ia berumur delapan tahun, namun setelah ayahnya Yoyakim meninggal dunia, dan ia sendiri memerintah menggantikan ayahnya, Yoyakhin berumur delapan belas tahun (2 Raj  24:8).

Jika dalam terjemahannya LAI menyamakan teks menjadi 18 tahun (atas berdasarkan teks Septuaginta, Syriac dan Arab) juga tidak mengubah kenyataan bahwa jika perbedaan teks tetap dipertahankan, juga kedua teks tersebut dapat sama-sama benar. Sebab dimungkinkan di zaman kerajaan masa itu untuk mengangkat putera mahkota sebelum raja yang berkuasa itu wafat, walaupun sang putera mahkota tersebut baru resmi naik tahta/ memimpin sebagai raja yang berkuasa penuh setelah ayahnya wafat.

Tuhan atau Iblis yang menghasut Daud (2 Sam 24:1 dan 1 Taw 21:1)?

Pada 2 Samuel 24:1 dikatakan bahwa Tuhan yang menghasut Daud, tapi pada 1 Tawarikh 21:1, dikatakan bahwa iblislah yang menghasut Daud.

Teks Douay Rheims berdasarkan teks Vulgata, mengatakan, “And the anger of the Lord was again kindled against Israel, and stirred up David among them, saying: Go, number Israel and Juda….” Karena teks mengatakan bahwa murka Tuhan yang – sehingga diterjemahkan sebagai Tuhanlah yang menghasut Daud. Namun ayat ini tidak untuk diinterpretasikan bahwa Tuhanlah yang mendorong Daud untuk berbuat dosa. Sebab yang mendorong manusia [termasuk Daud] untuk melakukan dosa adalah Iblis (1 Taw 21:1). Namun hal itu dapat terjadi sebab Allah mengizinkannya. St. Agustinus menjelaskan bahwa Allah mengizinkan kejahatan itu untuk terjadi, sebab Ia mengetahui bagaimana untuk mendatangkan kebaikan melalui kejadian tersebut [yaitu pertobatan Raja Daud, dan pengajaran yang dapat ditarik melalui peristiwa tersebut].

Pemahaman ini sejalan dengan beberapa ayat dalam Kitab Suci yang menyatakan bahwa “Allah mencobai” Abraham dan Ishak (lih. Ibr 11:7, Ydt 8:26) dan di ayat-ayat yang lain mengatakan bahwa “Allah tidak mencobai siapapun” (lih. Yak 1:13). Sebab, apapun yang terjadi dalam kehidupan manusia (termasuk pencobaan dalam hidup), dapat terjadi karena seizin Tuhan (lih. 1 Kor 10:13).  Selanjutnya, pembahasan tentang hal ini sudah pernah dijabarkan di artikel ini, silakan klik.

700 ekor kuda atau 7000 ekor kuda (2 Sam 10:18 dan 1 Taw 19:18)?

Pada 2 Samuel 10:18 Daud membunuh 700 ekor kuda kereta dan 40.000 orang pasukan berkuda, sementara pada 1 Tawarikh 19:18 justru 7000 ekor kuda kereta dan 40.000 orang pasukan berjalan kaki.

Maka yang dibicarakan di sini adalah kata ֶ”רֶכב (reḵeḇ)”, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, “chariots/ charioteers.” Kata “reḵeḇ” ini mengacu kepada kelompok kereta kuda/ chariots seperti pada Kej 50:9, Kel 14:6-7, 9, 17-18, 23, 26, 28), ataupun hanya kepada satu kereta kuda/ chariot, seperti pada 1 Raj 22:35. Kereta kuda ini merupakan salah satu kekuatan tempur di masa kerajaan zaman dulu. Dengan pengertian ini, maka tidaklah menjadi masalah apakah mau dikatakan 700 reḵeḇ, atau 7000 reḵeḇ. Sebab jika ‘reḵeḇ’‘ mau diterjemahkan sebagai satu kereta kuda maka jumlahnya ada 7000, namun jika diterjemahkan sebagai rangkaian kereta kuda yang satu rombongannya terdiri dari sepuluh kuda, maka jumlahnya menjadi 700.

Sedangkan tentang keterangan prajuritnya, tidaklah menjadi masalah jika salah satu teks menyebutkan jumlah prajurit penunggang kuda, dan teks yang lain menyebutkan jumlah prajurit yang berjalan kaki. Sebab sang penulis kedua kitab dapat menuliskan dua hal yang berbeda, walau jumlahnya sama: penulis Kitab Samuel mencatat jumlah prajurit penunggang kuda, sedangkan penulis kitab Twarikh mencatat jumlah pasukan yang berjalan kaki. Kedua teks dapat sama-sama menyampaikan kebenaran, atau jika digabungkan kedua teks itu maka yang dikalahkan adalah 87,000 prajurit Syria, baik yang naik kereta kuda, maupun yang naik kuda (tanpa kereta) maupun yang prajurit yang berjalan kaki.

4000 kandang atau 40,000 kandang (2 Taw 9:25 dan 1 Raj 4:26)?

Pada 2 Tawarikh 9:25, Raja Salomo mempunyai 4.000 kandang, sementara pada 1 Raja-raja 4:26 ada 40.000 kandang.

Yang dibicarakan di sini adalah kata ֻאְרָוה/ ’urwāh:  yang artinya sebuah kandang yang menampung satu binatang, maupun bangunan kandang besar, yang terdiri dari bilik-bilik kandang. Dalam satu bangunan kandang kuda milik Raja Salomo ini terdapat sepuluh bilik kandang kecil (stalls), satu ruang untuk satu kuda. Maka, jika urwāh diterjemahkan sebagai satu bangunan kandang kuda yang besar, jumlahnya ada 4,000, sedangkan kalau diterjemahkan sebagai bilik kandang yang memuat satu kuda, maka jumlah totalnya ada 40,000.

Yesus hanya diutus ke bangsa Israel atau seluruh dunia (Mat 10:5-6 dan Mat 19-20)?

Ada pandangan yang menganggap bahwa Yesus hanya diutus kepada bangsa Israel, dengan mengacu kepada ayat Mat 10:5-6 dan Mat 15:24):

“Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria,melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (Mat 10:5-6).

“Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (Mat 15:24)

Namun di ayat yang lain, jelas Yesus menghendaki agar para muridNya mewartakan Kabar Gembira keselamatan kepada seluruh dunia:

“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:19-20)

“Lalu Ia berkata kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum….” (Mrk 16:15-16)

Maka mungkin orang mempertanyakan, mengapa sekilas sepertinya ayat-ayat tersebut bertentangan. Namun ayat-ayat dalam Kitab Suci tidak untuk dipertentangkan dan hendaknya dibaca secara keseluruhan, untuk saling melengkapi dan menjelaskan. Gereja menerima ayat-ayat tersebut dengan penghormatan yang sama, tanpa mengabaikan ayat-ayat tertentu. Di dalam rencana keselamatan-Nya, Allah menjanjikan kepada Bapa Abraham dan para Patriarkh, sebuah perjanjian dan hukum Taurat kepada Nabi Musa, dan mengutus para nabi kepada bangsa Israel yang menjadi bangsa pilihan-Nya. Maka Allah menjanjikan bahwa Mesias akan dilahirkan dari bangsa pilihan-Nya ini, dan melalui bangsa ini seluruh bangsa akan diberkati (lih. Kej 12:3; 26:4; 28:14). Allah akan membangkitkan seorang dari keturunan mereka, dan Allah akan menegakkan tahta kerajaan-nya selama-lamanya (lih. 1Taw 17: 11-14). Inilah yang menjelaskan mengapa Mesias dan Kerajaan Allah diberitakan kepada bangsa Israel terlebih dahulu sebelum kepada bangsa-bangsa lain. Juga karena itulah di awal karya-Nya, Yesus membatasi pewartaan-Nya dan pewartaan para Rasul kepada bangsa Israel, sebelum kemudian memerintahkan mereka untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia (lih Mat 28:19-20; Mrk 16:15-16). Demikian pula, para Rasul di awal pemberitaan mereka dan penyebaran Gereja, umumnya mendirikan Gereja di kalangan komunitas Yahudi di kota-kota yang mereka masuki, dan pertama-tama memberitakan Injil kepada mereka, sebelum berpaling kepada bangsa-bangsa lain (lih. Kis 13:46).

St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa sudah selayaknya bahwa Yesus pada awalnya melakukan karya publik-Nya kepada orang Yahudi, dengan alasan keadilan (justice) dan perantara (mediation). ((St. Thomas Aquinas, Summa Theology, III, q.42, a.1))

1. Konsep keadilan: Adalah adil, kalau Yesus mewartakan kepada orang Yahudi, karena Tuhan sendiri telah menjanjikan kepada orang Yahudi seorang Mesias yang akan menjadi Raja bagi seluruh bangsa dan kerajaan-Nya tidak akan berakhir. Dengan cara ini, sebetulnya tidak ada alasan bagi bangsa Yahudi untuk memprotes Tuhan, karena Tuhan sendiri telah memenuhi janji-Nya kepada bangsa Yahudi, yang terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Yesus adalah Sang Penyelamat yang telah dijanjikan oleh Allah, silakan klik.

2. Konsep Mediation: Menjadi layak bahwa Yesus datang terlebih dahulu untuk bangsa yang telah dipersiapkan 2000 tahun sebelumnya, dan kemudian kepada bangsa-bangsa lain di luar bangsa Yahudi. Karena keselamatan dari seluruh bangsa disebabkan oleh penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Oleh karena itu, setelah Yesus bangkit, Dia mengutus para rasul dan murid untuk mewartakan Kristus ke seluruh dunia  (lih. Mat 28:18-20, lih. juga Mk 16:15-18).

Dengan demikian baik ayat Mat 10:5-6, Mat 15:24, tidak bertentangan dengan Mat 28:19-20, Mrk 16:15-16, sebab Allah memang menghendaki agar semua orang dapat diselamatkan (lih. 1 Tim 2:4), namun caranya adalah dengan terlebih dahulu memilih suatu bangsa pilihan-Nya, agar melalui mereka Sang Penyelamat dalam lahir ke dunia, dan melalui mereka, keselamatan akan mencapai ke seluruh dunia.

Yudas wafat gantung diri atau jatuh tertelungkup? Siapa yang membeli tanah dari uang perak tersebut (Mat 27:5-7 dan Kis 1:18)?

Kata “membeli” yang dipakai oleh Rasul Matius dalam Injilnya, untuk menjelaskan apa yang dilakukan oleh para imam-imam kepala dengan uang 30 uang perak yang dilemparkan oleh Yudas, adalah ἀγοράζω, agorázō, yaitu hanya mengacu kepada tindakan membeli, namun belum tentu berarti memiliki. “Sesudah berunding mereka [imam-imam kepala] membeli (agorázō) dengan uang itu tanah yang disebut Tanah Tukang Periuk untuk dijadikan tempat pekuburan orang asing.” (lih. Mat 27:7)

Sedangkan dalam Kisah para Rasul, kata yang dipakai di sana adalah κτάομαι, ktáomai, yang berarti memperoleh, memiliki, membeli. “Yudas ini telah membeli (ktáomai) sebidang tanah dengan upah kejahatannya, lalu ia jatuh tertelungkup, dan perutnya terbelah sehingga semua isi perutnya tertumpah ke luar.” Sehingga di sini artinya adalah Yudaslah yang menjadi pemilik dari tanah itu.

Bagaimana ini dijelaskan? Matius mengatakan bahwa para imam melakukan tindakan pembelian tanah itu, tetapi mereka tidak otomatis menjadi pemilik tanah itu. Uang yang mereka gunakan untuk membeli tanah itu adalah uang Yudas, sehingga mereka membeli tanah itu atas nama Yudas, sehingga secara hukum tanah itu adalah milik Yudas. Sebab menurut pemikiran saat itu, pembalian tanah denagn uang darah macam itu adalah najis -bahkan sekarangpun kadang yayasan belas kasih dapat menolak uang sumbangan yang diperoleh dari uang yang diperoleh dari kejahatan. Maka, para imam kepala itu membeli tanah tersebut untuk pekuburan bagi kepentingan bait Allah, untuk menghindari asosiasi kenajisan secara ritual, mereka harus membelinya dengan nama Yudas Iskariot, yang memperoleh uang darah tersebut. Hak milik dan transaksi ini tercatat secara publik, sehingga ini dapat diketahui oleh Lukas, yang menuliskan Kisah para Rasul, sehingga ia mencatat bahwa Yudas telah membeli/ memiliki tanah itu. Maka ia menggunakan kata ‘ktáomai‘ tersebut, untuk menjelaskan keadaan itu.

Sedangkan Mat 27:5 dan Kis 1:18 tetap dapat sama-sama menjelaskan bagaimana Yudas wafat. Sebab dapat terjadi Yudas menggantung diri, namun entah karena talinya putus atau dahan pohon tempat ia menggantung diri patah, sehingga akhirnya Yudas jatuh tertelungkup dan seluruh isi perutnya tertumpah ke luar. Demikianlah yang dijelaskan dalam A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom Orchard, OSB tentang ayat-ayat tersebut.

Yesus membaptis (Yoh 3:22) atau tidak membaptis (Yoh 4:1-2)?

Menurut pengajaran St. Agustinus, kedua pernyataan ini benar, tergantung bagaimana kita mengartikan kata “membaptis”. Sebab Yesus membaptis, dalam artian Ia-lah yang menyucikan [orang yang dibaptis], namun dikatakan Ia tidak membaptis, dalam artian bukan Yesus yang mencelupkan orang itu ke dalam air [melainkan para murid-Nya]. Para murid melayani secara jasmani, namun Kristus menyempunakannya dengan memberikan meterai rohani yang tentangnya Baptisan itu diucapkan. Dengan arti rohani ini, maka dikatakan bahwa Kristus membaptis.

Yesus mengusir roh jahat di Gerasa (Mrk 5: 1-13, Luk 8: 27-33) atau Gadara (Mat 8: 28-32)?

Markus 5: 1-13, Lukas 8: 27-33 dan Matius 8: 28-32: Penyembuhan itu dilakukan di Gerasa (menurut Markus dan Lukas) atau di Gadara (menurut Matius)? Yesus menyembuhkan satu orang (menurut Markus dan Lukas) atau dua orang yang kerasukan setan (menurut Matius)?

Demikianlah penjelasan tentang kedua kota itu ((lih. Albert Barnes, Notes on the New Testament: Matthew and Mark (Grand Rapids, MI: Baker, 1949), p. 91)):

“Gadara adalah kota tak jauh dari danau Genesaret, salah satu dari sepuluh kota yang disebut Dekapolis. Gergesa (kemungkinan variasi dari kata “Gerasa”) adalah sebuah kota yang terletak 12 mil di sisi tenggara Gadara, dan sekitar 20 mil di timur sungai Yordan. Maka tak ada kontradiksi antara ketiga Injil di sini. Yesus datang ke daerah ini di mana kedua kota terletak, dan salah satu pengarang Injil menyebut kota yang satu dan dan pengarang lainnya menyebut kota lainnya. Terlihat bahwa para pengarang itu tidak setuju dalam hal menekankan kota yang mana, sebab jika ya, tentu mereka sudah menyebutkan nama kota yang sama. Namun hal ini menunjukkan bahwa mereka mengenal daerah tersebut. Tak ada orang yang dapat menulis sedemikian, hanya mereka yang sungguh mengenal fakta-faktanya.”

Maka ketiga pengarang Injil menulis tentang daerah yang sama. Kota Romawi Gerasa adalah kota yang terkenal, yang sudah dikenal oleh kaum Yunani/non-Yahudi, sedangkan Gadara ibukota dari Perea, propinsi Romawi, adalah kota utama dari kesepuluh kota di Dekapolis ((Robert Lenski C.H, The Interpretation of St. Mark’s Gospel (Minneapolis, MN: Augsburg, 1946), p. 205; James Burton Coffman, Commentary on Mark (Abilene, TX: ACU Press), 1975, p. 85; Ronald F. Youngblood, 1995, New Illustrated Bible Dictionary (Nashville, TN: Nelson), 1995, p. 468)). Kedekatan antara kedua kota mengakibatkan mereka yang tinggal di Gerasa dapat disebut orang Gadara (Gadarenes). Gambar kapal di koin uang logam kota Gadara kemungkinan menunjukkan bahwa Gadara kemungkinan membentang sampai ke danau Galilea. ((J.W McGarvey, The Fourfold Gospel (Cincinnati, OH: Standard), p. 344; John and James Strong McClintock and Strong, Cyclopedia of Biblical, Theological, and Ecclesiastical Literature (Grand Rapids, MI: Baker, 1969), 3: 706)). Para penulis Injil tersebut memilih untuk mengacu kepada area yang sama, dengan cara yang berbeda.

Namun yang jelas, baik Matius, Markus dan Lukas tidak saling bertentangan saat menyampaikan kejadian ini. Mereka sama-sama mengacu kepada daerah di sekitar danau Galilea. Lagipula area persisnya tempat mukjizat ini terjadi, tidaklah menjadi sepenting pemahaman kita akan kisah kejadian ini, yaitu bahwa Kristus mempunyai kuasa atas dunia spiritual, dan Ia menyatakan kuasanya atas roh jahat tersebut.

Sedangkan apakah Yesus menyembuhkan satu atau dua orang yang kerasukan setan, juga bukanlah suatu pertentangan. Perbedaan serupa juga terjadi dalam penulisan perikop Yesus menyembuhkan seorang atau dua orang yang buta berikut ini.

Yesus menyembuhkan satu orang buta (Mrk 10:46-52,Luk 18:35,38) atau dua orang buta (Mat 20:30)?

Matius 20:30 menyebutkan dua orang buta; sedangkan Mrk 10:46-52,Luk 18:35,38 menyebutkan satu orang buta. Kita lihat di sini bahwa Injil yang menyebutkan “seorang” yang disembuhkan, tidak mengatakan bahwa “hanya satu orang/ seorang saja” yang disembuhkan ataupun “hanya ia sendirian saja” yang disembuhkan. Sebab hanya jika Lukas mengatakan demikian, pernyataannya bertentangan dengan kedua penulis Injil yang lain. Namun yang ditulis Lukas adalah kurang lebih demikian: ada seorang buta yang duduk di pinggir jalan, lalu Yesus lewat dan ia mohon disembuhkan, dan Yesus menyembuhkan dia. Maka, penulisan ini tidak bertentangan dengan tulisan kedua Injil lainnya yang menyatakan bahwa yang disembuhkan ada dua orang buta. Sebab dapat terjadi bahwa yang disembuhkan ada dua orang, hanya saja Lukas ataupun Markus menyebutkan satu di antara kedua orang itu, kemungkinan karena telah mengenal/ bertemu dengan orang itu, sehingga menyebutnya secara khusus. Markus bahkan menyebutkan namanya, yaitu Bartimeus. Maka yang disampaikan oleh Markus dan Lukas adalah: ada orang buta itu duduk di pinggir jalan, lalu Yesus lewat. Orang buta itu mohon belas kasihan Yesus, dan kemudian ia memperoleh mukjizat kesembuhan dari Tuhan Yesus. Bahwa orang buta itu tidak sendirian, tidak menjadi masalah, sebab fakta itu tidak mengubah kebenaran bahwa orang buta itu (yang bernama Bartimeus) duduk di pinggir jalan, memohon kepada Tuhan Yesus, dan kemudian menerima kesembuhan dari Tuhan Yesus.

Berapa jumlah keledai yang digunakan Yesus memasuki Yerusalem? (Mrk 11:2; Luk 19:30: seekor; Mat 21:2: dua ekor)

Injil Markus dan Lukas menyebutkan “seekor keledai muda” (lih. Mrk 11:2; Luk 19:30); sedangkan dalam Injil Matius menyebutkan “seekor keledai betina dan anaknya” (lih. Mat 21:2). Dikatakan dalam Injil Matius, bahwa para murid membawa kedua keledai itu, lalu mengalasinya dengan pakaian mereka, dan Yesuspun naik ke atasnya (lih. Mat 21:7). Manakah yang benar?

Tentang Tuhan Yesus memasuki Yerusalem dengan mengendarai keledai, adalah nubuat Nabi Zakaria, “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda” (Za 9:9).

Penjelasan dari The Navarre Bible Commentary menjelaskan, bahwa maksud Rasul Matius adalah bahwa Kristus menaiki anak keledai itu, namun bersamaan dengan itu, Ia juga mengarahkan induknya. Injil Markus dan Lukas hanya memfokuskan kepada masuknya Yesus ke kota suci Yerusalem dengan mengendarai anak keledai (Mrk 11:2; Luk 19:30). Sedangkan Rasul Matius melihat anak keledai dan keledai sebagai penggenapan nubuat Zakaria, di mana keduanya disebutkan…. Para Bapa Gereja mengartikan bahwa keledai merupakan simbol dari bangsa Yahudi, yang telah menanggung beban hukum Taurat. Sedangkan anak keledai yang belum pernah ditunggangi orang, melambangkan bangsa-bangsa non- Yahudi. Yesus memimpin baik bangsa Yahudi maupun bangsa non- Yahudi untuk memasuki Gereja sebagai kota Yerusalem yang baru.

Fr. Cornelius Lapide, seorang Jesuit yang adalah pakar Kitab Suci, menjelaskan, bahwa Kristus menggunakan kedua binatang itu untuk menandai bahwa Ia harus memenangkan baik bangsa Yahudi (yang dilambangkan oleh keledai) maupun bangsa-bangsa non-Yahudi (yang dilambangkan oleh anak keledai), untuk membuat keduanya sebagai satu bangsa. Yesus memasuki Yerusalem dengan menunggangi anak keledai, sebab bangsa-bangsa non Yahudi adalah yang pertama menerima Kristus sebagai Raja mereka, meskipun bangsa Yahudi adalah yang pertama menerima Janji Tuhan. Namun demikian akhirnya sang keledai juga diarahkan Yesus untuk masuk ke kota suci itu, sebab seluruh bangsa Israel juga akan diselamatkan (lih. Rom 11:26) setelah pertobatan mereka.

Demikianlah keterangan untuk memahami penjabaran ketiga Injil tentang keledai yang digunakan Yesus ke Yerusalem.

Jika Allah adalah Kasih (1 Yoh4:8), dan kasih tidak cemburu (1 Kor 13:4), mengapa  dikatakan bahwa Allah cemburu (Kel 20:5; Ul 4:24)?

Ada orang bertanya, jika Allah adalah Kasih (1 Yoh 4: 8) dan kasih itu tidak cemburu (1 Kor 13:4), mengapa  dikatakan bahwa Allah itu cemburu (Kel 20:5; Ul 4:24)?

Dalam Kitab Suci, ‘cemburu’ (qi’nah– Ibrani zelos-Yunani) mempunyai akar kata ‘hangat/ panas’. Maka tergantung konteksnya, kata ‘cemburu’ ini dapat digunakan untuk menggambarkan baik suatu perasaan negatif, ataupun positif. Arti negatif dari kata cemburu, mengarah kepada rasa iri hati, curiga, dan inilah konotasi arti yang digunakan dalam 2 Kor 12:20 ataupun Rm 13:13. Rasul Paulus mengkhawatirkan adanya “perselisihan dan iri hati…./ quarelling and jealousy (RSV) dalam jemaat. Namun Rasul Paulus menggunakan kata yang sama ini, zeloo, ‘earnestly desire’/ ‘berusahalah untuk memperoleh’, yaitu untuk memperoleh karunia-karunia rohani (lih. 1Kor 12:31; 14:1,39); di sini disampaikan arti positif dari ‘cemburu’. Demikian pula yang disampaikan dalam 2 Kor 11:2-4:

“Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus. Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya. Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima.” (2 Kor 11:2-4)

Di sini ‘cemburu’ mempunyai arti positif, yaitu: mengasihi sedemikian, sehingga menjaga agar jangan sampai yang dikasihi tersesat dan tidak setia. Dalam arti inilah, Allah dikatakan sebagai Allah yang cemburu. Allah tidak cemburu dalam arti iri hati terhadap bangsa Israel, tetapi bahwa Ia begitu mengasihi bangsa Israel dengan kasih yang kuat bagaikan api yang panas, yang tidak menghendaki umat-Nya mendua hati. Maka dikatakan, “Sebab TUHAN, Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu” (Ul 4:24); sebagai kesimpulan dari nasihat Nabi Musa agar bangsa Israel tidak melupakan perjanjian dengan Allah, dengan menjadi tidak setia (lih. Ul 4:21-23). Di sini Kitab Suci menggambarkan perkawinan rohani antara Allah dengan umat-Nya bagaikan kasih antara suami dan istri. Allah menghendaki agar bangsa Israel hanya menyembah-Nya sebagai Allah yang satu-satunya. Ketidaksetiaan bangsa Israel kepada Allah dengan berpaling kepada para dewa/ berhala, digambarkan dengan kata ‘bersundal’ (lih. Yer 3:6-10). Namun Allah adalah Allah yang tetap setia. Ia menjaga umat-Nya dengan kasih yang ‘cemburu’ dalam arti positif, yang tak ingin bertoleransi dengan kehadiran allah-allah lain di tengah umat-Nya (lih. Kel 20:3-6, Yos 24:24-16,19-20, dst). Arti ‘cemburu’ ilahi yang sedemikian berbeda dengan ‘cemburu’ yang disebutkan oleh Rasul Paulus dalam 1 Kor 13:4. Namun karena akar katanya sama, arti positif dan negatif dari kata tersebut, disampaikan dalam kata yang sama.

 

Kisah Kenangan Hidup Panggilan & Perjalanan Ketaatan Romo Antonius Hari Kustono, Pr

1
sumber gambar: http://www.sesawi.net/2014/10/10/rip-romo-dr-antonius-hari-kustono-pr-dosen-teologi-seminari-tinggi-kentungan/romo-hari-kustono-2/

Pengantar dari editor:

Pembaca Katolisitas yang terkasih, kita baru saja kehilangan Romo Antonius Hari Kustono, yang meninggal dunia pada usia 55 tahun pada tanggal 10 Oktober 2014 pk 02.15 WIB di RS Panti Rapih Yogyakarta, setelah didiagnosa menderita leukemia selama kurang lebih empat minggu sebelumnya. Romo Dr. Hari Kustono yang adalah seorang ahli Kitab Suci pernah membantu Katolisitas menjawab pertanyaan mengenai Kitab Suci.

Romo Yohanes Dwi Harsanto, Pr menceritakan, sejak tahun 2007 beliau dengan rajin setiap Kamis atau Jumat memberikan gagasan homili untuk hari Minggu‎ depannya, di milis para imam Keuskupan Agung Semarang (KAS). Sebelum kehilangan kesadaran karena sakitnya, beliau sempat memberikan semua tulisan renungan dari laptopnya kepada romo Sutrasno Purwanto agar diberikan kepada teman-teman imam di milis. Banyak kesaksian dari umat yang pernah berinteraksi dengan beliau menyatakan bahwa sosok yang pandai melukis dan main biola ini sebagai rendah hati dan suka menolong sesama dengan spontan dan tulus. Beliau dimakamkan di makam imam-imam Keuskupan Agung Semarang di kompleks Seminari Tinggi St. Paulus Jl Kaliurang Yogyakarta.

Di bawah ini, melalui kisah kesaksian hidup beliau yang disajikan secara singkat, kiranya kesedihan dan kehilangan kita berganti rasa syukur pada Bapa atas teladan iman, kasih, kerendahan hati, karya, dan ketaatan beliau kepada Tuhan selama perjalanan hidupnya sebagai seorang imam. Hidup pelayanan beliau meneguhkan perjalanan kita sebagai umat beriman yang masih mengembara di dunia dan pengharapan kita yang indah akan karunia sukacita kekal yang disediakanNya di Rumah-Nya. Beberapa waktu sebelumnya, Romo Hari Kustono menyusun sebuah doa mohon kesembuhan untuk kakaknya, Romo JB. Hari Kustanto, SJ yang sedang sakit. Pada saat Romo Hari Kus sendiri jatuh sakit, doa itu didaraskan pula untuk beliau. Saat itu beliau tersadar dan berkata bahwa teringat doa yang diperuntukkan buat kakaknya itu yang malahan dibacakan untuk penggubahnya sendiri. Berikut ini teks kesaksian Rm Antonius Hari Kustono pada saat pesta perak imamat beliau tahun 2011 yang diwartakan ulang oleh Romo Willem Pau dari Yogyakarta. Semoga kesaksian ini menimbulkan inspirasi bagi kita.

KESAKSIAN Rm. A. Hari Kustono Pr saat merayakan Pesta Perak Imamat tahun 2011.

Tidak terasa 25 tahun telah berlalu sejak saya ditahbiskan oleh Mgr. J. Darmaatmadja, SJ (sekarang bapak kardinal) di kapel Santo Paulus. Saya dan romo Hardiyanta ditahbiskan bersama-sama pada tanggal 16 Agustus 1986. Rasanya belum banyak pengalaman yang saya miliki. Agak sulit menoreh-noreh lagi pengalaman-pengalaman yang lampau. Mungkin karena hidup saya kurang bervariasi. Entahlah. Namun, semuanya ini saya syukuri dengan sepenuh hati. Tuhan dengan cara-Nya sendiri telah menuntun dan meneguhkan jalan imamat saya.

Saya Ingin Jadi Romo

Saya tidak tahu kapan muncul keinginan untuk menjadi romo. Seingat saya, sejak SD keinginan itu sudah muncul. Sampai masuk SMP, keinginan itu tidak surut. Oleh karena itu, selepas SMP saya mendaftar ke Seminari Menengah Mertoyudan. Betapa gembira hati saya ketika ada tiga teman lainnya dari paroki Pugeran yang juga diterima. Romo FX. Wiyono yang pada waktu itu menjabat pastor paroki mempunyai perhatian besar terhadap panggilan imam. Dari kami berempat yang berasal dari paroki Pugeran, akhirnya tinggal saya yang masih terus.

Demikian pula dari SMP Pangudi Luhur ada sekitar 8 teman yang diterima di Seminari Mertoyudan, dan ternyata hanya saya yang boleh sampai tahbisan imam. Saya tidak tahu apa alasan Tuhan memanggil saya. Rasanya tidak ada yang istimewa pada diri saya dibandingkan dengan teman-teman lain yang tidak meneruskan panggilan. Panggilan saya pernah sedikit kacau ketika pada tahun 1976 bapak menderita sakit kanker nasofaring. Pada waktu itu, saya dan kakak laki-laki nomor tiga (Rm. JB. Hari Kustanto, SJ) masih di bangku Seminari Menengah Mertoyudan. Memang kekacauan hati yang saya alami tidak sampai membuat saya ingin meninggalkan seminari. Hanya ada rasa sedih karena saya tidak dapat berbuat apa-apa dengan sakitnya bapak. Dalam keadaan sulit itu, ibu menunjukkan ketabahan luar biasa. Dia bekerja keras untuk mencari nafkah dan mengupayakan pengobatan untuk bapak. Kami bertujuh masih sekolah, belum ada yang dapat bekerja untuk meringankan beban ibu. Syukur pada Tuhan bahwa bapak bisa sembuh meskipun tidak sempuma. Kemoterapi yang harus dijalaninya membuat bapak perlahan-lahan mulai kehilangan pendengaran, kehilangan gigi, dan semakin rapuh. Tuhan masih mengijinkan bapak untuk hidup sampai 26 tahun lagi.

Semasa di Kentungan

Saya mencintai Mertoyudan. Hal yang sama dirasakan juga oleh teman-teman ex-merto. Jika ada kesempatan reuni, cerita-cerita yang muncul pasti tentang kehidupan bersama di Seminari Mertoyudan. Ada banyak kisah lucu, naif, memelas, dsb, yang dapat membuat kami semua sekarang tertawa bersama jika ingat kebersamaan kami di Mertoyudan. Tahun 1989, saya meninggalkan Seminari Mertoyudan dan masuk ke Seminari Tinggi Kentungan. Tujuh tahun saya menempuh pendidikan imam praja Keuskupan Agung Semarang di Kentungan. Mengapa saya memilih imam praja. Entahlah, arah ke situ sudah saya cita-citakan sejak lama. Kebetulan kakak saya memilih jadi Yesuit, sehingga langkah ke Kentungan semakin mantap.

Pada tahun kelima, setelah selesai S1, saya tugas orientasi pastoral di paroki Sragen selama setahun di bawah bimbingan Romo Y. Bardiyanta dan Rm. Riawinarta yang baru pulang dari studi musik di Wina. Pengalaman pastoral semakin memantapkan keinginan saya untuk menjadi romo. Seusai tahun orientasi pastoral, saya masih menempuh pendidikan dua tahun lagi sebelum menerima tahbisan imam. Karena Romo Tri Wahyono harus menempuh Tahun Orientasi Pastoral selama dua tahun, saya sendirian saja di angkatan calon imam KAS. Ternyata, Tuhan tidak tinggal diam. Saya mendapat teman seangkatan yang baru yaitu Romo Hardiyanta. Beliau menderita sakit sampai tidak dapat mengikuti kuliah berbulan-bulan. Karena sakitnya tersebut, Romo Hardiyanta turun tingkat menjadi teman seangkatan saya. Tentu saja bukan pengalaman yang manis bagi Romo Hardiyanta dengan sakitnya itu. Akan tetapi di balik penderitaan Romo Hardiyanta, saya diuntungkan karena tidak sendirian lagi.

Pendidikan dua tahun setelah pastoral berlalu dengan cepat. Tak terasa saya harus segera mengambiI keputusan untuk menerima imamat. Jadilah, pada tanggal 16 Agustus 1986, saya dan Romo Hardiyanta ditahbiskan menjadi imam. Ada kebahagiaan tersendiri ketika saya diperkenankan menerima tahbisan. Penugasan pertama saya adalah menjadi pastor pembantu di paroki Boro, membantu Romo Natawardaya. Saya menggantikan Romo Padmaka Sigit yang mendapat penugasan baru di lingkungan militer. Baru setahun menjadi pastor pembantu, Romo Nata dipindah ke Kebondalem, Semarang. Pastor pengganti Romo Nata tidak segera datang, sehingga saya sempat bekerja sendirian selama 5 bulan di paroki Boro. Periode bekerja sendirian waktu itu memang amat melelahkan. Jadwal Misa terpaksa dikurangi, dan banyak waktu habis untuk menerima tamu yang datang dengan berbagai urusan.

Akhirnya, Romo M. Supriyanto yang baru beberapa bulan di Ganjuran dipindah ke Boro. Saya sempat setahun lebih bersama Romo Pri Midul di Boro. Romo Pri dengan pola hidupnya yang sederhana, akrab dan memberdayakan umat sungguh menjadi inspirasi berguna bagi saya. Hanya satu setengah tahun bersama Romo Pri, saya mendapat tugas baru, yaitu studi lanjut Kitab Suci di Roma. Semua urusan pendaftaran berjalan lancar. Tanggal 27 Juli 1989, saya berangkat ke Roma, hanya dengan berbekal tekad, nekad, dan taat. Ada rasa kekosongan yang cukup lama di hati saya ketika masuk ke dunia yang baru. Ingatan akan paroki Boro masih belum hilang, tetapi kehidupan tak pernah berjalan mundur. Saya pun harus melakukan adaptasi dengan lingkungan hidup yang baru dan tugas yang baru pula. Lama-lama, saya mulai biasa dengan semua hal yang baru tersebut. Rasa kerasan terbantu karena di asrama ada banyak teman dari Indonesia. Bahkan dari KAS masih ada Romo Gitowiratmo dan Romo Purwatma.

Menempuh Studi Kitab Suci

Periode studi di Roma adalah periode yang cukup berat bagi saya. Terus terang, saya tidak cukup brilian untuk studi Kitab Suci yang menuntut pengetahuan berbagai bahasa. Karena berbagai alasan, pada tahun ketiga saya pindah sekolah dari Biblicum ke Universitas Gregoriana. Karena pindah sekolah, waktu studi saya jadi lebih lama. Seharusnya 4 tahun selesai tetapi temyata baru 5 tahun saya selesaikan studi lisensiat. Pada masa menempuh studi lisensiat, ibu dipanggil Tuhan dalam usia 63 tahun. Saya dan kakak saya tidak dapat melayat ibu karena dia sedang studi Antropologi di Amerika. Saya mohon ijin pulang, dan saya sampai di rumah setelah dua hari ibu dimakamkan.

Setelah selesai lisensiat, saya mohon diperkenankan pulang. Sebenarnya saya berharap riwayat studi saya selesai dengan lisensiat, namun Mgr. Darmaatmadja mengatakan: “Kamu boleh pulang tetapi nanti harus kembali lagi untuk menempuh doktorat”. Saya pun menyanggupi, dan pulanglah saya ke Indonesia selama tiga tahun. Rupanya, Bapak Uskup masih ingat janji saya. Beliau menagihnya setelah tahun ketiga saya mengajar di Kentungan. Dengan taat, saya pun memenuhi janji saya untuk kembali belajar lagi di Roma. Bapak mengantar saya sampai bandara Adisucipto, karena temyata kami bisa terbang ke Roma lewat Bali. Itulah saat terakhir saya melihat bapak. Menjelang studi saya selesai, pada tahun 2002 bapak dipanggil Tuhan. Di saat yang sama, kakak saya juga sedang hampir selesai studinya. Jadi sekali lagi, kami tidak dapat melayat orang tua kami.

Saya masih ingat, kabar meninggalnya bapak saya terima ketika saya sedang mengetik baris-baris terakhir tesis saya. Akhirnya studi doktorat selesai juga setelah menghabiskan waktu lima tahun. Sebenarnya Mgr I. Suharyo yang menggantikan Bapak Kardinal sebagai Uskup Agung Semarang telah meminta saya pulang ke Kentungan, selesai atau tidak selesai sekolah. Syukurlah, email Mgr. Suharyo saya terima ketika kepastian ujian tesis sudah dijadwalkan. Saya sadar, masa studi saya terlalu lama, sehingga cukup merepotkan Keuskupan dan FTW yang sangat membutuhkan dosen Kitab Suci. Kalau akhirnya saya selesai sekolah, itu pasti karena rahmat Tuhan yang berlimpah. Cocok dengan moto tahbisan kami: “Cukup sudah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2Kor 12:9).

Epilog

Kini saya tinggal di Kentungan, menjadi teman seperjalanan bagi para romo dan para frater dalam menapaki jalan panggilan. Jika mengingat kembali jalan panggilan imamat, saya merasa amat berhutang budi pada banyak orang. Semuanya telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menuntun hidup saya. Rasanya saya begitu dimanja dengan diberi kesempatan studi yang begitu lama. Karena faktor kelambanan otak, sayalah satu-satunya imam diosesan KAS yang studinya paling lama. Malu juga rasanya, tetapi apa boleh buat karena saya telah berupaya sebisa mungkin menjalankan tugas. Layaklah jika pada saat ini, saya merasa berhutang budi pada berbagai pihak. Saya berhutang budi kepada Uskup, Keuskupan, para donatur, para romo dan seluruh umat. Sisa hidup saya akan saya isi untuk membayar hutang budi, meskipun jelas tidak akan pernah lunas. Sampai sekarang saya masih sibuk dengan tugas-tugas pokok, dan rasanya belum sempat berbuat banyak untuk Keuskupan Agung Semarang. Belum ada buku yang saya tulis. Meskipun begltu, menjadi niat saya untuk menekuni tugas ini sebisa mungkin.

Tidak terasa usia imamat saya sudah 25 tahun. Setelah melewati jalan panjang dan berliku, sekarang saya sungguh mencintai dan menikmati Kitab Suci. Rupanya inilah cara yang dipilihkan Tuhan bagi saya untuk mengabdi pada Gereja, yaitu lewat pelayanan Kitab Suci.
Pada kesempatan ini, saya mengucapkan beribu terimakasih kepada para Bapa Uskup, yaitu Kardinal J. Darmaatmadja, SJ, Mgr I. Suharyo, dan Mgr. J. Pujasumarta, yang telah mempercayakan tugas-tugas pada saya. Saya berterimakasih kepada para romo KAS yang telah menjadi rekan imamat yang meneguhkan pada saat suka maupun duka. Paguyuban imam-imam praja KAS terasa menyejukkan, apalagi kita sekarang bisa saling berkomunikasi lewat milis UNIO KAS. Ada banyak hal yang dapat dibagikan lewat milis, kita dapat saling mengejek akrab dan mengutarakan hal-hal yang lucu. Hanya ada rasa syukur tak terhingga dalam hati saya atas kehadiran para romo Unio KAS yang senantiasa menawarkan ruang persahabatan yang penuh makna. Mohon maaf kalau fungsi saya sebagai Ketua III Unio amat minim.

Saya berterimakasih kepada seluruh umat yang telah berjasa bagi panggilan saya, termasuk para donatur dari dalam maupun luar negeri yang membantu pendidikan saya. Terimakasih kepada rekan- rekan semua, termasuk alumni Merto 1975. Terimakasih kepada para romo, frater, suster, bruder di Seminari Tinggi, yang telah setia menjadi teman hidup saya. Terimakasih kepada para romo KAS. Terimakasih kepada para devosan Kerahiman lIahi. Terimakasih kepada semua pihak yang tidak saya bisa saya sebut satu-persatu.
Terimakasih kepada bapak-ibu almarhum yang telah membentuk saya dengan teladan dan pengorbanan hidup yang tuntas. Terimakasih kepada kakak-adik, keponakan, prunan dan cucu, yang sampai sekarang menjadi kekuatan saya dalam panggilan. Terimakasih kepada Romo Hari Kustanta, SJ yang saat ini sedang sakit. Semoga mas Tanto segera sembuh dan kembali bekerja untuk Gereja. Terimakasih dan syukur kepada Tuhan yang telah mengasihi saya dengan karunia berlimpah-limpah.

TONGGAK-TONGGAK IMAMAT
1. Nama: Antonius Hari Kustono
2. Tempat tgl lahir: Yogyakarta 11 April 1959
3. Anak ke: Lima dari tujuh bersaudara

RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Pendidikan SD- 1965-1971 di SD Pangudi Luhur, Yogyakarta
2. Pendidikan SMP- 1972-1974 di SMP Pangudi Luhur, Yogyakarta
3. Pendidikan SMA – 1975-1979/1980 di Seminari Menengah Mertoyudan
4. Masuk Pendidikan Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan pada tahun 1979/1980.
5. Tugas pastoral: 1983-1984 di Sragen
6. Tahbisan Imam: 16 Agustus 1986

RIWAYAT KARYA
1. Tugas imam: 1986 – 1989 menjadi pastor pembantu di paroki Boro.
2. Studi lanjut: 1989/1990 – 1994 studi lisensiat Teologi Kitab Suci di Roma
3. Tugas mengajar: 1994 – 1996 mengajar Kitab Suci di Fakultas teologi Wedabhakti, Kentungan
4. Studi lanjut: 1996/1997 – 2002 studi doktorat Teologi Kitab Suci di Roma
5. Tugas mengajar: 2002 sampai sekarang di Fakultas Teologi Wedabhakti, Kentungan.

Dikutip dari BERNIO edisi khusus 2011

Rasakan Kuasa Allah Bekerja

0

Kebangunan Rohani Katolik Dekenat Tangerang

Pentakhtaan Salib merupakan pembuka Kebangunan Rohani Katolik yang dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 2014 di Aula Gereja Santa Helena Lippo Karawaci. Kebangunan Rohani ini sungguh bernuansa Katolik karena dilakukan dalam kebersamaan dengan sepuluh imam dan Persekutuan Doa Pembaharuan Karismatik Katolik Dekenat Tangerang yang terdiri dari dua belas paroki. Tema Kebangunan Rohani Katolik ini adalah ‘RASAKAN KUASA ALLAH BEKERJA DI DALAMMU’: “Jika aku berada dalam kesesakan, Engkau mempertahankan hidupku; terhadap amarah musuhku Engkau mengulurkan tangan-Mu, dan tangan kanan-Mu menyelamatkan aku” (Mazmur 138:7). Lebih dari seribu umat merindukan curahan kuasa-Nya.

Lagu “Kurasakan Kasih-Mu Tuhan” mengawali doa pemulihan. Doa pemulihan itu kuhaturkan kepada Allah atas nama umat-Nya. Hati semakin dekat denganNya. Kasih Tuhan sangat nyata bagi umat-Nya. Kasih Tuhan memulihkan hati. Kasih Tuhan memulihkan yang terluka. Kasih Tuhan menyembuhkan raga. Kasih Tuhan dahsyat, sempurna, dan kuat. Kasih-Nya menyelamatkan yang tersesat. Kasih-Nya mengubah masalah menjadi berkat. Kasih Tuhan memberikan ketentraman hati. Hidup menjadi baru dan berseri. Ucapan syukur atas “kasih Tuhan” itu terungkap dalam tetesan air mata dan doa-doa yang tanpa kata. Doa penumpangan tangan para imam atas kepala umat meneguhkan iman mereka. Mereka meyakini bahwa berkat Tuhan senantiasa menyertai mereka.

Seorang gadis mensharingkan pengalamannya atas pemulihan Tuhan atas dirinya. Pemulihan Tuhan atas luka batinnya terhadap orang tuanya. Ketika aku menumpangkan tanganku di atas kepalanya, ia membisikkan kata-kata ke telingaku: “Romo, aku disembuhkan Tuhan dari luka batinku terhadap orang tuaku. Ketika memandang Salib-Nya, aku tiba-tiba bisa mengampuni mereka”. Ia adalah anak tunggal dari sebuah keluarga. Ketika duduk di kelas Taman Kanak-Kanak, ia hampir setiap hari melihat ayah dan ibunya bertengkar hebat. Kata-kata “caci maki” keluar dari mulut mereka. Ayah dan ibunya pada akhirnya mengambil keputusan untuk berpisah. Harta dan dirinya menjadi rebutan mereka. Yang menyakitkan hatinya adalah ibunya memilih sebuah ruko dan menyerahkan dirinya dalam asuhan ayahnya. Ia merasakan dirinya tidak berarti. Batinnya tertekan karena harus menyenangkan ayah dan ibunya secara adil. Batinnya menjadi semakin terluka ketika kedua orangtuanya memiliki pasangan baru. Ia merasa sendirian. Ia semakin hidup dalam kepura-puraan. Ia harus tetap tersenyum terhadap kedua orang tua tirinya walaupun keadaan hatinya sebenarnya berbeda. Perasaan kecewa sering diungkapkannya dengan tangisan walaupun tiada orang yang peduli kepadanya. Kemarahan dan kebencian sering dilampiaskannya dengan teriakan walaupun tiada yang mendengarkannya. Perasan tidak dicintai menggodanya untuk melakukan bunuh diri. Ketika sedang memikirkan cara bunuh diri, seperti gantung diri, lompat dari bangunan tinggi, atau potong urat nadi, doa yang tidak pernah ia tinggalkan menghalanginya untuk melakukan bisikan iblis ini. Doa pemulihan itu membawa kegalauannya ke salib Tuhan: “Tuhan, aku sudah tidak kuat menjalani hidupku”. Ia merasakan Tuhan Yesus berbicara dengan jelas di atas kayu salib: “Anakku, hidupmu adalah anugerah terbesar dariKu”. Yesus kemudian sangat nyata menunjukkan lambung-Nya kepadanya: “Anakku, luka hatimu adalah luka hatiku”. Setelah menunjukkan lambung-Nya, Tuhan Yesus memperlihatkan luka-luka tubuh-Nya: “Sakitnya hidupmu adalah sakitnya diriku karena tusukan paku di tangan dan kakiku serta tancapan mahkota duri di kepala-Ku”. Kata-kata Yesus menyembuhkan kehausannya akan cinta: “Anakku, engkau tidak menanggung beban hidupmu sendirian karena Aku bersamamu. Semuanya itu aku lakukan untukmu karena aku mencintaimu”. Ia kemudian berdoa dengan kata-kata yang sangat indah: “Tuhan, betapa terberkatinya diriku karena memperoleh cinta-Mu di tengah gersangnya cinta manusia terhadap diriku. Tuhan, cintamu memompakan semangat baru dalam hidupku. Aku mengampuni orangtuaku karena aku yakin bahwa mereka mempunyai penderitaan sendiri yang tak kutahu sehingga mereka memperlakukan aku sedemikian rupa yang membuat hatiku terluka”.

Pengalamannya dan tentu pengalaman banyak umat yang hadir dalam Kebangunan Rohani Katolik ini aku rangkumkan dalam kata-kata dengan judul “Menikmati Kasih Sejati” .

Kasih sejati tak akan pernah berhenti dan berganti.

Kasih sejati itu senantiasa dibawa sampai mati.

Kasih sejati jauh lebih berharga daripada berlimpahnya harta.

Kasih sejati jauh lebih mempesona daripada gebyarnya dunia.

Sumber kasih sejati itu adalah Tuhan sendiri.

Kasih Tuhan itu hanya dapat ditimba dengan iman.

Kasih Tuhan itu memancarkan kebahagiaan bagi hati yang mensyukurinya.

Pada akhir kata, terimakasih kepada para panita Kebangunan Rohani Katolik dari Dekenat Tangerang yang telah melayani dengan sepenuh hati. Terimakasih juga bagi para donatur yang berbaik budi. Berkat Tuhan senantiasa disiapkan bagi anda karena anda senantiasa ingin mengabdi: “Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum” (Amsal 11:25).

Tuhan memberkati

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab