Pertanyaan:

Shalom…
Saya ingin bertanya mengenai sejarah Misa Tridentine dan Misa yg sekarang dilaksanakan (Novus Ordo)…Mohon Penjelasannya…Trims…^^

[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini digabungkan karena berhubungan]

Shalom..

Tapi menurut saya misa novus ordo tidak sesuai dengan ajaran Gereja mula-mula yang dalam misa Imam tidak menghadap umat tapi menghadap ke Altar dan mengarah/memilikki arah kiblat ke Timur…

mohon pendapatnya..

Trims
Jerry

Jawaban:

Shalom Jerry

1. Tridentine Mass

Misa Tridentine mengambil nama dari Konsili Trente (1545-1563) yang memuat sedikit penyesuaian dari ritus Roma. Namun demikian, secara garis besar, Misa Tridentine tidaklah memasukkan praktek baru yang berbeda dengan tradisi penyembahan yang telah berlangsung secara organik di Roma dan negara- negara Eropa sejak tahun 300-an. Maka Ritus Tridentine lebih tepat disebut sebagai ritus Tradisional Roma. Liturgi Tridentine termasuk dalam edisi 1570- 1962 di Roman Missal, berdasarkan Bulla Quo Primum oleh Paus Pius V.

2. Novus Ordo /Misa Paus Paulus VI

Misa Novus Ordo dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI tahun 1969 setelah Konsili Vatikan II (1962-1965). Sekarang ini misa Novus Ordo menjadi bentuk yang umum dari ritus Roma. Adanya perubahan dalam liturgi ini kemungkinan berawal dari gerakan liturgis di abad ke 19-20, yang mendorong keikutsertaan awam di dalam liturgi, agar mereka dapat memahami dan menghayati maknanya dan mengikuti tindakan liturgis imam baik di dalam hati maupun pikiran. Maka salah satu tujuan dari gerakan liturgis ini adalah memperkenalkan penggunaan bahasa vernakular (setempat). Paus Pius XII yang mempunyai perhatian terhadap liturgi, di tahun 1947 menulis dalam surat ensikliknya, Mediator Dei, “penggunaan bahasa ibu dalam hubungannya dengan beberapa ritus dapat menguntungkan bagi orang banyak”, walaupun Paus pada saat yang sama juga menyatakan bahwa hanya Tahta Suci- lah yang mempunyai otoritas untuk memberikan ijin penggunaan bahasa vernakular (MD 60). Paus lalu memberikan izin kepada penggunaan bahasa lokal pada pembaharuan janji Baptis di perayaan Malam Paskah.

3. Perkembangan dari Misa Tridentine ke Misa Novus Ordo

Roman Missal mengalami penyesuaian beberapa kali sejak tahun 1570. Paus Klemens mengadakan penyesuaian umum tahun 1604, dan Paus Urban pada tahun 1634. Menanggapi Konsili Vatikan I (1870), Paus Pius X (1911) memperkenalkan pembacaan Mazmur pada doa brevir. Tahun 1955, Paus Pius XII mengadakan penyesuaian liturgis pada perayaan Minggu Palem, Triduum Paskah dan Malam Pentakosta. Prosesi disederhanakan. Perayaan Kamis Putih digeser ke malam hari, sehingga pada pagi hari dapat diadakan Misa untuk pemberkatan minyak Krisma. Sedangkan pada misa malam hari diadakan acara pembasuhan kaki. Berikutnya Paus mengadakan penyesuaian pada perayaan Malam Paska: penggunaan lilin Paska yang melambangkan Kristus yang bangkit, pengadaan pembaharuan janji Baptis, mengurangi jumlah Bacaan Kitab Perjanjian Lama (tadinya dibacakan 8 perikop bacaan), dst.

Maka penyesuaian liturgi menjadi salah satu hal yang menjadi pertimbangan Konsili Vatikan II. Konstitusi tentang Liturgi, Sacrosanctum Concilium, 50, menyatakan:

“Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga lebih jelaslah makna masing-masing bagiannya serta hubungannya satu dengan yang lain. Dengan demikian Umat beriman akan lebih mudah ikut-serta dengan khidmat dan aktif.
Maka dari itu hendaknya upacara-upacara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sedangkan beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu, hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu nampaknya memang berguna atau perlu.”

4. Perbedaan umum antara Misa Tridentine dan Misa Novus Ordo

Secara umum, terdapat dua perbedaan antara Misa Tridentine dan Novus Ordo. Pertama adalah dalam hal kalender liturgis, dan kedua dalam Misanya itu sendiri. Penyesuaian kalender liturgis ini disesuaikan dengan masa/ perayaan yang sedang diperingati secara keseluruhan. Secara tradisional, Gereja memang merayakan hari kematian para orang kudus, sebagai hari ‘kelahiran’ mereka di surga. Namun kadang ini pertepatan dengan masa tertentu dalam kalender liturgis, sehingga kemudian perayaan tersebut dipindahkan ke hari lainnya. Contohnya adalah, perayaan St. Thomas Aquinas yang wafat pada tanggal 7 Maret, yang jatuh pada masa Prapaska, lalu dipindahkan ke tanggal 28 Januari.

Dalam hal Misa, terdapat perbedaan dalam hal ‘ordinari’ (bagian yang tidak berubah) dan ‘proper’ (bagian yang berubah). Secara umum, ordinari misa Tridentine melibatkan lebih banyak permohonan kepada Allah Trinitas dan juga lebih banyak menyebutkan acuan kepada Perawan Maria yang terberkati, para malaikat dan para orang kudus. Secara keseluruhan juga lebih banyak menggunakan doa- doa yang diambil dari kitab Mazmur. Penyembahan dan penghormatan kepada Kristus di Altar dan penghormatan kepada salib, dilakukan dengan kata dan sikap tubuh/ gesture para pelayan ibadah yang secara ekspresif menyatakannya. Sedangkan dalam Misa Novus Ordo, juga disebutkan doa kepada kesatuan Allah Trinitas tersebut, dengan permohonan ditujukan kepada Allah Bapa, dengan perantaraan Kristus, oleh kuasa Roh Kudus. Teks Misa Novus Ordo memang lebih terfokus sebagai doa Yesus, sehingga secara umum tidak banyak menyebutkan Bunda Maria, para malaikat dan para kudus.

Selanjutnya perbedaannya adalah pada ‘proper‘. Pada Misa Tridentine hanya ada dua bacaan, satu dari surat Rasul di Perjanjian Baru dan satu lagi dari Injil. Pada Novus Ordo, umumnya pada hari Minggu ada tiga bacaan, ada tambahan bacaan dari Perjanjian Lama. Kedua, pada Misa Tridentine yang digunakan adalah satu siklus bacaan setahun, sedangkan di Novus Ordo, ada tiga jenis siklus bacaan (Tahun A,B,C) yang digilir dalam selang 3 tahun.

Ada orang yang mengatakan bahwa Misa Tridentine terlihat lebih agung/ ‘reverent‘, jika dibandingkan dengan Misa Novus Ordo. Namun sebenarnya, teks Misa Novus Ordo juga mencerminkan perngormatan kepada Allah yang agung, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Misa tersebut kurang ‘reverent‘. Maka, kemungkinan orang menilai demikian dari kesan akan gesture dan postur tubuh imam dan para misdinar pada saat Misa, yang menghadap ke Tabernakel ke arah timur, ataupun dengan cara penerimaan komuni di lidah dengan berlutut. Cara tersebut memang dapat membantu penghayatan dan sesungguhnya juga merupakan cerminan penghayatan iman akan apa yang sedang terjadi di Misa Kudus, namun tidak dapat dikatakan bahwa hanya itu satu- satunya cara. Perihal imam menghadap ke altar/ tabernakel memang mencerminkannya sebagai pemimpin ibadah dan atas nama umat mempersembahkan kurban kepada Allah. Namun dengan posisi imam menghadap ke umat, juga sesungguhnya tidak mengubah prinsip itu. Perubahan tersebut hanya juga memungkinkan umat untuk turut mengikuti setiap gerak gerik imam dan mengetahui apa yang dilakukan oleh imam dalam upacara tersebut, yang sebelumnya kadang tidak jelas terlihat karena terhalang oleh tubuh sang imam sendiri. Jangan lupa bahwa, kemungkinan besar Tuhan Yesus melakukan Perjamuan Terakhir tidak sambil membelakangi para murid-Nya. Maka cara imam menghadap kepada umat juga tidak dapat dikatakan sebagai bertentangan atau tidak sesuai dengan Tradisi Suci.

Bahwa Novus Ordo telah dipilih untuk menjadi norma perayaan misa di Roma, adalah fakta bahwa cara tersebut, jika disertai dengan sikap batin yang baik, juga akan menghantar seseorang kepada penghayatan akan misteri perayaan Ekaristi. Apalagi sekarang ini, Paus Benediktus XVI juga mensyaratkan mereka yang ingin menerima Komuni darinya juga harus menerimanya di mulut dan sambil berlutut (silakan melihat videonya di U-tube, klik di sini). Hal komuni di tangan atau di mulut sudah pernah dibahas di sini, silakan klik, dan klik di sini. Nampaknya, yang terpenting di sini adalah sikap batin, sebab hanya dengan sikap/ disposisi batin yang baiklah, seseorang dapat menerima rahmat Ekaristi dengan berlimpah, entah ia menerimanya di tangan ataukah di mulut, baik sambil berdiri atau sambil berlutut.

Di atas semua itu, harap dipahami bahwa kedua cara Misa, baik Novus Ordo maupun Tridentine, diakui oleh pihak otoritas Gereja di Vatikan. Sejak tahun 1984 Misa Tridentine disetujui oleh Paus Yohanes Paulus II untuk kembali dirayakan. Paus Benediktus XVI melalui surat apostoliknya Summorum Pontificum tahun 2007 juga memberikan kemungkinan kepada perayaan misa dengan cara Misa Tridentine (menurut Paus Pius V, 1570) tersebut. Silakan membaca kembali sekilas penjelasan mengenai dokumen tersebut, silakan klik. Di Indonesia, misa umumnya dilakukan dengan cara Novus Ordo, namun seperti telah disebutkan di atas, tidak mengurangi penghormatan ataupun makna Misa Kudus, tetapi malah ingin menjadikannya menjadi semakin agung walaupun diadakan dengan lebih sederhana.

Demikian, semoga ulasan ini berguna bagi kita semua.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

33 COMMENTS

  1. selamat malam
    terimah kasih untuk tim katolisitas.org
    saya masih punya lagi satu pertanyaan tentang:
    bagaimana sih gereja katolik zaman dahulu
    sekian….
    Dominus Vobis Cum

    [Dari Katolisitas: Sepertinya pertanyaan Anda terlalu general/ umum dan kurang spesifik. Tentang apakah dalam Gereja Katolik di zaman dahulu yang ingin Anda ketahui? Jika maksud Anda adalah tentang sejarah perkembangan Misa Kudus sejak Gereja awal, silakan Anda membacanya di artikel ini, silakan klik.]

  2. selamat malam maaf kalo tanya nya salah tempat
    bole saya bertanya tentang “apa itu tridentine?”
    terima kasih
    dominus vobis cum

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca terlebih dahulu artikel di atas, silakan klik]

  3. Selamat Malam utk tim Katolisitas.org
    Pengurus Katolisitas Yth.
    Saya ingin bertanya, mungkinkah rubrik Misa sesudah pembaharuan Liturgi dirayakan “satu arah” dengan umat. Sekilas sy melihat di beberapa website dimana Misa sesudah pembaharuan Vatikan II sedang “booming2-nya” dirayakan secara “satu arah” oleh Imam. Terima kasih tim Katolisitas. Damai Kristus

    [Dari Katolisitas: Nampaknya yang Anda maksud adalah Tridentine Mass, atau dikenal dengan sebutan Extra-ordinary Mass? Silakan membaca artikel di atas, silakan klik. Ya, hal itu, asalkan sudah diketahui dan diizinkan oleh Uskup setempat, dapat dilakukan. Terbukanya kesempatan untuk melakukan Misa Tridentina ini, walaupun belum umum di Indonesia, adalah karena adanya surat apostolik motu poprio dari Paus Benedictus XVI, yang berjudul Summorum Pontificum. Tentang hal ini dapat dibaca di sini, silakan klik.]

    • Terima kasih atas informasi dan jawabannya Tim Katolisitas.org, Ya ; setau yg saya amati memang Tridentine terkenal dengan arah Imam searah dgn umat sebagai peserta Liturgi. Tp, pernah memang sy melihat di youtube Paus Benediktus XVI merayakan Misa setelah pembaharuan Liturgi dengan arah “satu arah” dgn peserta Liturgi. Adakah dokumen resmi yg membenarkan tindakan tersebut? krn buat sy ini menjadi agak membingungkan. Terima kasih Rm dan tim katolisitas. Damai Kristus

      [Dari Katolisitas: Silakan dibaca dulu artikel tentang Summorum Pontificum itu, ya. Itu sudah dijelaskan di sana. Ya, Misa Tridentina, atau oleh Paus Benediktus XVI disebut sebagai Extra Ordinary Mass, diperbolehkan, menurut motu proprio itu, asalkan tentu dipersiapkan dan dilakukan dengan baik sesuai dengan ketentuannya.]

  4. Yth tim Katolisitas,

    Sebelumnya saya mohon maaf,karena saya tidak tahu dimana saya harus menuliskan pertanyaan saya.

    Pertanyaan saya, siapakah Giuseppe Siri (Cardinal Siri) ? Mohon bantuan info dari tim Katolisitas.

    Terimakasih.

    salam dan doa
    mega

    [Dari Katolisitas: Silakan untuk membaca di Wikipedia. Mohon maaf kami tidak dapat mengulasnya secara khusus, mengingat masih banyaknya pertanyaan yang lain.]

  5. Dear Mbak Inggrid dan team
    met malem (waktu jakarta)…

    mau tanya di forum tetangga
    http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?t=7938&postdays=0&postorder=asc&start=40

    dikatakan

    “Alasan yang dipakai +Darmaatmadja sangat tidak tepat dan sangat bertolak belakang dengan “inisiatif pribadi (“motu proprio”) sang gembala tertinggi Gereja Kristus. Bahkan alasan +Darmaatmadja di suratnya itu bagai alasan seseorang yang tidak memahami apa yang ditulis Summorum Pontificum. ”
    (oleh salah seorang modienya)
    boleh dijelaskan?

    [Dari Katolisitas: Kita tidak mengetahui dengan pasti apakah alasan yang persis/ sebenarnya di balik keputusan Bapa Julius Kardinal Darmaatmadja sehubungan dengan tidak diizinkannya pengadaan misa dengan forma extra-ordinary (Tridentina) di wilayah keuskupannya. Jika ada sekelompok umat yang menginginkannya, ada baiknya langsung berkomunikasi dengan Bapa Kardinal, sehingga diperoleh tanggapan ataupun penjelasan yang memadai. Sebab sesungguhnya, jika kita membaca langsung Motu Proprio dari Paus Benediktus XVI, Summorum Pontificum, nampaknya jika sudah ada komunitas umat yang secara konsisten menghendakinya, maka seharusnya keinginan ini diakomodasi.]

  6. Shalom Katolistas.

    Seorang rekan dari Gereja Ortodox mengklaim bahwa Gereja Katolik Roma telah melangkah terlalu jauh dengan adanya Novus Ordo. Alasannya, ritus itu tidak memelihara kemurnian makna liturgis. Yang paling kentara dan sudah disampaikan adalah mengenai arah imam dalam Misa. Menurut mereka, Novus Ordo telah “menghapuskan” (walaupun masih ada yang merayakan Misa Tridentin) kekayaan dari Gereja Purba.

    Selain itu, ia juga mengklaim berdasarkan KGK dan KHK bahwa menerima komuni dari Gereja Ortodoks itu dianjurkan karena mereka memelihara kekayaan dan kemurnian liturgi Gereja Purba. Dan saya melihat di KGK 1399 juga menuliskan “dianjurkan”. Apa maksudnya “dianjurkan” itu?

    Menurut saya pribadi, bukankah lebih baik menerima komuni dari Gereja Katolik Timur yang notabene sudah kembali ke pangkuan Gereja Katolik daripada dari Gereja-gereja Timur yang dalam KGK 1399 dinyatakan tidak berada dalam persatuan penuh dengan Gereja Katolik Roma?

    • Shalom Ignatius,

      Jika kita melihat sejarah perkembangan dalam liturgi, maka kita mengetahui bahwa perubahan menuju ke Novus Ordo, tidak terjadi begitu saja tanpa alasan, ataupun diadakan untuk menghapuskan kekayaan liturgis Gereja. Silakan membaca artikel ini, silakan klik.

      Sedangkan pernyataan dalam KGK 1399 bahwa perayaan bersama dengan Gereja-gereja Timur Orthodoks yang tidak dalam kesatuan penuh ‘dianjurkan’ itu dilihat dalam dua buah konteks, sebagaimana disebutkan dalam dokumen tersebut, yaitu:

      1) bila situasi memang menguntungkan dan dengan persetujuan Pimpinan Gerejawi (baik dari pihak Gereja Katolik maupun pihak Gereja Orthodoks)

      2) imam Katolik dapat memberikan Komuni kepada umat Orthodoks, jika diminta dengan sukarela dan dengan disposisi batin yang baik, dan jika keadaannya mendesak; demikian pula umat Katolik kepada imam Orthodoks, dalam keadaan darurat dan mendesak, sebagaimana disebutkan dalam KHK Kan 844, § 2-5:

      § 2     Setiap kali keadaan mendesak atau manfaat rohani benar-benar menganjurkan, dan asal tercegah bahaya kesesatan atau indiferentisme, orang beriman kristiani yang secara fisik atau moril tidak mungkin menghadap pelayan katolik, diperbolehkan menerima sakramen tobat, Ekaristi serta pengurapan orang sakit dari pelayan-pelayan tidak katolik, jika dalam Gereja mereka sakramen-sakramen tersebut adalah sah.

      § 3    Pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen- sakramen tobat, Ekaristi dan pengurapan orang sakit kepada anggota- anggota Gereja Timur yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Gereja katolik, jika mereka memintanya dengan sukarela dan berdisposisi baik; hal itu berlaku juga untuk anggota Gereja-gereja lain, yang menurut penilaian Takhta Apostolik, sejauh menyangkut hal sakramen-sakramen, berada dalam kedudukan yang sama dengan Gereja-gereja Timur tersebut di atas.

      § 4    Jika ada bahaya mati atau menurut penilaian Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup ada keperluan berat lain yang mendesak, pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen-sakramen tersebut juga kepada orang-orang kristen lain yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, dan tidak dapat menghadap pelayan jemaatnya sendiri serta secara sukarela memintanya, asalkan mengenai sakramen-sakramen itu mereka memperlihatkan iman katolik dan berdisposisi baik.

      § 5    Untuk kasus-kasus yang disebut dalam § 2, § 3 dan § 4, Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup jangan mengeluarkan norma- norma umum, kecuali setelah mengadakan konsultasi dengan otoritas yang berwenang, sekurang-kurangnya otoritas setempat dari Gereja atau jemaat tidak katolik yang bersangkutan.

      Maka kata ‘dianjurkan’ ini tidak dapat dilepaskan dari konteks yang sedang dibicarakan dalam KGK dan KHK itu sendiri. Mari kita lihat KGK 1399:

      KGK 1399    Gereja-gereja Timur, yang tidak berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, merayakan Ekaristi dengan cinta yang besar. “Sungguhpun terpisah, Gereja-gereja Timur mempunyai Sakramen-sakramen yang sejati, terutama berdasarkan suksesi apostolik, imamat dan Ekaristi. Melalui Sakramen-sakramen itu mereka masih berhubungan erat sekali dengan kita”. Dengan demikian semacam persekutuan “in sacris”, jadi dalam Ekaristi, “bila situasi memang menguntungkan dan dengan persetujuan pimpinan Gerejawi, bukan hanya mungkin, melainkan juga dianjurkan” (UR 15, Bdk. KHK, can. 844 §3).

      UR 15    Sungguhpun terpisah, Gereja-Gereja Timur mempunyai Sakramen-Sakramen yang sejati, terutama berdasarkan pergantian apostolik, Imamat dan Ekaristi. Melalui Sakramen-Sakramen itu mereka masih berhubungan erat sekali dengan kita. Maka dari itu suatu kebersamaan dalam perayaan Sakramen-Sakramen, bila situasi memang menguntungkan dan dengan persetujuan Pimpinan gerejawi, bukan hanya mungkin, melainkan juga dianjurkan.

      Maka penerapan KGK 1399 tersebut mensyaratkan ‘situasi yang menguntungkan’ dan ‘izin dari pihak pemimpin Gereja’ (baik dari pihak otoritas Gereja Katolik maupun dari pihak pimpinan Gereja Orthodoks), misalnya dalam perayaan bersama untuk mendoakan persatuan Gereja Barat dan Timur, atau kesempatan lainnya, yang dipandang baik oleh kedua otoritas Gerejawi tersebut. Maka kata ‘dianjurkan’ ini bukan untuk diartikan secara umum tanpa batasan- batasan yang disebutkan di sana. Kata ‘dianjurkan’ ini lebih ditujukan untuk maksud persatuan Gereja Barat dan Timur dalam perayaan bersama, dan juga dalam keadaan darurat, jika umat dari Gereja Ortodoks itu dalam keadaan terdesak tidak mungkin memperoleh pelayanan sakramen dari pemimpin Gerejanya sendiri, dan sebaliknya umat Katolik, jika dalam keadaan terdesak juga tidak mungkin memperoleh pelayanan sakramen dari imam Katolik (misalnya umat Katolik yang sakit parah, sementara ia tinggal di Rusia, yang mayoritas umat Gereja Orthodoks). Dalam keadaan terdesak ini -contoh: bahaya maut- umat dianjurkan untuk meminta pelayanan dari Gereja Katolik ataupun Gereja Orthodoks (seperti telah disebut di atas), mengingat efek sakramennya tetap sama, karena kedua Gereja memiliki sakramen yang sah. Dalam hal ini, hal keselamatan umat harus lebih didahulukan.

      Namun dalam hal biasa/ tidak darurat, berlaku ketentuan masing-masing, sebab memang makna Komuni tidak hanya persatuan dengan Tubuh Kristus dalam rupa hosti, namun juga persatuan dengan Tubuh Mistik Kristus, yaitu Gereja Katolik dengan segala ajarannya. Itulah sebabnya, tanpa catatan kondisi khusus, tidak dimungkinkan adanya persekutuan Komuni dengan Gereja-gereja yang tidak dalam persatuan penuh dengan Gereja Katolik. Ini disebutkan dengan jelas dalam Katekismus, “Ekaristi adalah Sakramen bagi mereka, yang hidup dalam persekutuan penuh dengan Gereja.” (KGK 1395)

      Maka Anda benar, sebagai umat Gereja Katolik Barat (ritus Latin), kita dapat menerima Komuni dalam perayaan Ekaristi Gereja-gereja Timur Katolik -demikian pula sebaliknya, karena memang keduanya hidup dalam persekutuan penuh dalam Gereja yang satu. Namun pada gereja-gereja Orthodoks, persekutuan/ Komuni bersama dianjurkan, hanya jika terpenuhi keadaan-keadaan yang disebutkan di dalam KGK dan KHK tersebut, sebagai konteksnya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  7. Shalom.. Saya ingin bertanya, ada saya baca di internet bahawa ada sesetengah orang menganggap bahawa Bapa Suci di Roma yang terdahulu mengubah tatacara Misa Tridentine kepada Novus Ordo dan Misa Novus Ordo itu sebagai satu ‘heresy’.. Persoalannya, adakah ‘klaim’ Novus Ordo itu sebagai ‘heresy’ betul atau tidak? Sebenarnya apabila saya baca tentang ‘klaim’ tersebut, saya susah hati sebab gereja-gereja di Malaysia juga menggunakan Misa Novus Ordo.. Saya mohon pihak Katolisitas dapat memberi penjelasan supaya iman saya tidak mudah goyah.. AMEN.

    • Shalom Joel Oneil,

      Konstitusi Apostolik yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI, Missale Romanum,  menjelaskan adanya dasar pengadaan Misa Novus Ordo. Silakan untuk membaca teks selengkapnya di link ini, silakan klik. Dengan pernyataan dari Paus Paulus VI ini maka Misa Novus Ordo adalah Misa yang valid/ sah, maka tidak perlu dipertanyakan keabsahannya, sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

      Dalam konstitusi tersebut Paus Paulus VI menyebutkan alasannya mengapa diperlukan revisi Misa Roma, dengan mengutip ketentuan yang disampaikan dalam Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, demikian:

      “The recent Second Vatican Ecumenical Council, in promulgating the Constitution Sacrosanctum Concilium, established the basis for the general revision of the Roman Missal: in declaring “both texts and rites should be drawn up so that they express more clearly the holy things which they signify”;(4) in ordering that “the rite of the Mass is to be revised in such a way that the intrinsic nature and purpose of its several parts, as also the connection between them, can be more clearly manifested, and that devout and active participation by the faithful can be more easily accomplished”;(5) in prescribing that “the treasures of the Bible are to be opened up more lavishly, so that richer fare may be provided for the faithful at the table of God’s Word”;(6) in ordering, finally, that “a new rite for concelebration is to be drawn up and incorporated into the Pontifical and into the Roman Missal.”(7)

      Notes:

      4. Vatican Council, Const. on the Sacred Liturgy, Sacrosanctum Concilium, art. 21: A.A.S. 56 (1964) 106.
      5. Ibid., art. 50: A.A.S. 56 (1964) 114.
      6. Ibid., art. 51: A.A.S. 56 (1964) 114.
      7. Ibid., art. 58: A.A.S. 56 (1964) 115.

      Melalui konstitusi Missale Romanum tersebut Paus Paulus VI menjelaskan alasan diadakannya pembaharuan ritus, yang dimaksudkan untuk semakin menyatakan hubungan antara bagian-bagian dalam Misa, agar partisipasi (keikutsertaan) umat dapat dengan lebih mudah diwujudkan, dan agar harta kekayaan rohani dalam Kitab Suci dapat dibukakan dengan lebih limpah. Silakan membaca keseluruhan dokumen tersebut.

      Mari dengan kerendahan hati kita menerima pengajaran dari Paus Paulus VI ini, yang juga memiliki dasar sebelum mengizinkan adanya pembaharuan dalam Missale Romanum, yang bertujuan untuk menghidupkan liturgi itu sendiri. Pengadaan Novus Ordo ini bukanlah heresy, sebab dasarnya adalah ketentuan yang dikeluarkan dalam Konsili Vatikan II dan oleh Paus Paulus VI selaku penerus Rasul Petrus.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  8. Salam Kasih dalam Kristus,

    Saya mempunyai persoalan tentang Liturgi.

    Seperti yang kita maklum, misa kudus kita sekarang dikenali sebagai misa Novus Ordo. Dan sebelum misa Novus Ordo diperkenalkan, gereja Katolik merayakan misa Tridentine. Soalan saya adalah, apakah bentuk misa yang wujud sebelum misa Tridentine. Saya ingin sekali mengetahui sejarah permulaan misa..apakah ada ritus yang wujud sebelum ritus Tridentine di guna dalam gereja Katolik? Apakah ritus yang digunakan oleh gereja perdana ?

    sekian soalan saya..mohon pencerahan.
    Terima Kasih

    • Shalom Linda Maria,

      Berikut ini jawaban yang dapat saya sampaikan sementara menunggu jawaban dari Rm. Boli. Sesungguhnya secara prinsip dan efeknya, Misa Tridentine tidaklah berbeda dengan misa Novus Ordo. Persamaan dan perbedaan antara keduanya sudah pernah dibahas di artikel di atas ini, silakan klik. Namun prinsip bahwa perayaan Ekaristi terdiri dari dua macam liturgi, yaitu Liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi, itu dipenuhi baik di dalam Misa Tridentine maupun Novus ordo.

      Sekilas tentang liturgi jemaat awal, sudah pernah sekilas dibahas di jawaban ini.

      Silakan klik juga di link ini untuk membaca lebih lanjut tentang perayaan Ekaristi di abad- abad awal.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  9. Salam Pak Stef/Bu Inggrid dan Rm Bernardus,

    Saya ingin bertanya tentang Tata Perayaan Ekaristi, khususnya tata cara Tobat pada Ritus Pembuka. Saya menemukan adanya kejanggalan dalam pelaksanaan tata cara Tobat pada Misa.

    Berdasarkan Tata Perayaan Ekaristi(TPE) Buku Umat terbitan Konferensi Waligereja Indonesia tahun 2005 yang saya miliki, ritus Tobat mempunyai 4 cara, yaitu Tobat Cara 1, 2, 3, dan 4(Peringatan Pembaptisan). Imam selebran bebas memilih Tobat cara yang ke berapa. Biasanya dan yang paling sering, Tobat cara 1(Saya mengaku …) DAN Tobat cara 3(Tuhan kasihanilah) yang dipilih pada misa mingguan.

    Kata “DAN” saya tulis secara kapital karena ini yang menjadi masalah dan yang mau saya pertanyakan. Hampir pada setiap misa mingguan dan harian yang saya ikuti di beberapa paroki di beberapa kota besar(Jawa dan Sumatra), ritus/doa Tobat cara 1 dan 3 selalu digunakan sekaligus(kedua-duanya) oleh imam selebran. Urutannya/polanya selalu sama, yaitu: Tobat cara 1 dilanjutkan absolusi baru kemudian Tobat cara 3 (biasanya dinyanyikan pada misa mingguan). Padahal,di buku TPE ditulis “Sesudah absolusi langsung menyusul madah Kemuliaan”. Tapi, pada prakteknya, setelah absolusi malah dilanjutkan doa Tobat cara 3. Dibuku TPE juga diberi keterangan mengenai ritus/doa Tobat: “Seluruh umat mengakui dosa dengan SALAH SATU doa Tobat di bawah ini … “. Jadi imam sebaiknya memilih satu doa Tobat yang akan digunakan.

    Maka pertanyaan saya ialah: apakah praktek/kebiasaan seperti diatas memang diperbolehkan? Apakah imam selebran bebas saja apakah mau menggunakan satu atau dua doa Tobat atau mungkin juga bisa menggunakan 3 cara doa Tobat?

    Sebenarnya masih ada beberapa kesalahan/kejanggalan/pelanggaran dalam praktek tata cara perayaan ekaristi yang sering saya alami. Apakah ketaatan terhadap ketentuan/tata-cara pelaksanaan perayaan ekaristi memang tidak/kurang penting sehingga terjadi pengabaian terhadap kesalahan dan pelanggaran yang sering dilakukan oleh imam selebran? Menurut hemat saya, ketaatan terhadap hal-hal kecil/sederhana adalah sangat penting dan dapat menunjukkan kedewasaan iman dan rohani seseorang.

    Terima kasih dan maaf bila ada perkataan yang kurang berkenan.

    • Salam Aloysius,

      1. Jika memilih Tobat cara 1 (Saya mengaku….), disusul dengan seruan Tuhan Kasihanilah kami (tanpa litani atau solo), lalu Kemuliaan.
      Bila dipilih cara 3, tidak perlu dimulai dengan “Saya mengaku” (cara 1 dan alternatifnya), lalu langsung diikuti Kemuliaan pada Hari Minggu dan Hari Raya yang memungkinkan.

      2. Imam diminta untuk memilih satu cara.

      3. Sangat setuju. Itulah yang kita usahakan dan doakan.

      Terima kasih banyak

      Salam,
      Pastor Boli

      • Yth. Pastor Boli,

        Terima kasih atas jawaban pertanyaan saya.
        Untuk poin 1, Kapan absolusi diucapkan? Apa setelah “Saya mengaku…” atau setelah “Tuhan kasihanilah”? Selama ini absolusi diucapkan setelah “Saya mengaku..” sedangkan dibuku TPE dituliskan bahwa setelah absolusi langsung menyusul “Kemuliaan”.
        Untuk poin 2 & 3 , no more questions.

        Salam,

        • Shalom Aloysius,
          Selama ini absolusi diucapkan setelah “Saya mengaku….” (Tobat cara 1, TPE umat halm. 15) dan juga sesudah Tobat cara 2, hlm 15-19 setelah absolusi didoakan/ dinyanyikan Tuhan Kasihanilah (no. 6, hlm 27).
          Sedangkan di buku TPE umat hlm. 27, ditulis: sesudah Absolusi langsung menyusul Madah Kemuliaan, itu berlaku kalau dipakai rumusan Tobat cara 3 (Litani dengan seruan Tuhan/ Kristus Kasihanilah kami) dan cara 4 (dengan percikan air suci yang diiringi lagu Asperges me, pada masa di luar masa Paskah, atau diiringi Vidi aquam, pada masa Paskah).
          Dalam rumusan Tobat cara 3, absolusinya didoakan sesudah seruan Tuhan kasihanilah (lihat hlm. 19-22). Dalam pernyataan Tobat cara 4, absolusinya didoakan sesudah nyanyian/ perecikan.

          Salam,
          Rm. Boli

          • Terima kasih Rm Bernardus. Sekarang, saya sudah mengerti. Semoga Romo tidak pernah bosan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya karena saya masih menyimpan banyak pertanyaan seputar sakramen dan liturgi. Kalau bertanya pada para pastor yang tidak ahli dalam bidang sakramen dan liturgi, saya menjadi bingung sebab jawaban mereka berbeda-beda dan terkesan mereka tidak mempunyai pengetahuan yang cukup.

            Salam,

  10. Dear Pak Stef dan Bu Inggrid,

    Baru-baru ini Komisi Kepausan Ecclesia Dei mengeluarkan instruksi pelaksana “Universae Ecclesiae” yg memberikan panduan lebih jelas kepada para uskup “supaya dengan segala upaya, memastikan forma ekstraordiaria ini mendapatkan penghargaan yg layak”

    Saya menterjemahkannya atas inisiatif pribadi, semoga bisa membantu paroki-paroki yg ingin merayakannya. Dan moga-moga terjemahan yg lebih definitif dari KWI segera keluar.

    http://www.misa1962.org/dokumen-gereja-referensi/terj-universae-ecclesiae-indo

  11. Dear Katolisitas,

    saya setuju dengan Misa Tradisional Latin – sangat indah dan baik. Namun perlu juga diberikan katekese kepada umat mengenai banyak hal tentang ekaristi – karena ekaristi N.O yang selama ini dijalankan saja belum terpahami dengan baik dan benar. Agar umat tidak semakin bingung dengan perbedaan-perbedaan yang seharusnya memperkaya.

    Yang kedua, masih sehubungan dengan pemahaman akan misa N.O yang kurang pula, bisa berakibat mereka yang mengikuti Misa Tradisional Latin akan timbul “kesombongan rohani” bahwa yang ini lebih baik, lebih indah, lebih cocok, lebih afdol, dsb dibandingkan yang lain. Setidaknya yang kerap mengikuti misa tradisional latin – saat mengikuti misa N.O tidak rasa kurang sreg, kurang pass, kurang afdol. Jika demikian halnya maka ekaristi menjadi berhala “entertainment” belaka. Padahal seharusnya tidak demikian khan?

    Ini hanya sinyalemen pribadi saya. Mohon koreksi. Terima kasih.

    FX. sutjiharto

    • FX. Sutjiharto,

      Terima kasih atas tanggapannya. Pada waktu kami masih tinggal di Amerika, kadang-kadang kami pergi ke Misa Tridentine di Institute of Christ the King. Kami memang merasakan keindahan dan kesakralan dari liturgi tersebut. Dan saya yakin, bahwa keindahan liturgi ini harus terus dipelihara, sama seperti Gereja Katolik juga memelihara liturgi dari Gereja Timur. Yang memang menjadi tantangan adalah bagaimana umat Gereja Katolik menghargai Novus Ordo maupun Tridentine. Yang memang perlu diperhatikan, umat yang mengikuti Misa Tridentine tidak boleh memandang rendah misa Novus Ordo. Sebaliknya Misa Tridentine juga memang perlu diberi kesempatan untuk dirayakan sebagai extra-ordinary form. Memang tidak mudah untuk merayakan Misa Tridentine, karena memang memerlukan pastor yang tahu liturgi Misa ini serta dapat mengucapkan bahasa Latin dengan baik. Semoga saja, Summorum Pontificum dapat diterapkan dengan baik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  12. Terima Kasih kepada Ibu Inggrid atas pencerahannya, sekalian saya minta ijin share, ya….
    Berkah Dalem

    [Dari Katolisitas: Silakan saja, jika anda pandang berguna. Hanya kami mohon agar anda menyebutkan sumbernya, yaitu dari http://www.katolisitas.org. Terima kasih]

  13. Konsili Vatikan II sama sekali tidak menghapus tradisi liturgi ekaristi sebelum KV II (Latin/Trridentine Mass), tetapi hanya melakukan penyegaran2 sejauh tidak merubah total liturgi lama. Ini terbukti dengan surat apostoliknya Summorum Pontificum dari Paus di atas.
    Sehingga semestinya tidak ada halangan untuk merayakan misa Tridentine di gereja2 Katholik di Indonesia. Walaupun kenyataannya belum demikian. Kesannya kok Indonesia jadi berbeda sendiri? Padahal baik Novus Ordo maupun Tridentine semuanya diakui oleh pihak otoritas Gereja di Vatikan.
    Saya sendiri rindu ingin merasakan bagaimana rasanya mengikuti misa dalam suasana dan tata cara seperti yang dilakukan oleh para rasul dahulu (misa latin) dan seperti yg disarankan oleh Paus Benedictus XVI sekarang,
    Semoga.

  14. Misa Tridentine yg membawa gereja awal, sejak zaman, menjadi besar seperti sekarang. Ini membuktikan kebenarannya, karena jika tidak pasti rahmat Allah tidak akan beserta bapa-bapa gereja awal untu membawa Gereja Kristus sebesar seperti sekarang ini. Maka selayaknya kita menaruh hormat yg sebesar-besarnya terhadap misa Tridentine ini, karena berkat dan rahmat Tuhan yg menyertainya sejak dahulu. Sehingga Paus Yohanes Paulus II dan juga Paus Benedictus XVI pun memandang perlu untuk menekankan kembali hal ini dengan melalui melalui surat apostoliknya Summorum Pontificum itu yang memberikan kemungkinan kepada perayaan misa dengan cara Misa Tridentine tersebut.
    Dan saya percaya pada hakikatnya Konsili Vatikan II adalah melakukan penyegaran2 namun bukan “memutuskan hubungan” dengan tradisi2 gereja pra KV II.

  15. Syalom Bu Inggrid,
    Saya ingin menanyakan / mohon konfirmasi, pada artikel Ibu di atas dikatakan bahwa …”kemungkinan dulu Yesus pada perjamuan terakhir tidak membelakangi umat….”sepengetahuan saya dan sejauh yg pernah saya dengar … dulu Yesus memecah roti bersama murid2…mereka mengelilingi meja yg rendah, dan duduk di lantai tanpa memakai kursi. mohon konfirmasi Ibu, terima kasih. Mariana.

    • Shalom Mariana,
      Demikian yang saya tuliskan di artikel di atas, saya kutip kembali, “…kemungkinan besar Tuhan Yesus melakukan Perjamuan Terakhir tidak sambil membelakangi para murid-Nya. Maka cara imam menghadap kepada umat juga tidak dapat dikatakan sebagai bertentangan atau tidak sesuai dengan Tradisi Suci.”

      Ya, memang diperkirakan Yesus mengadakan perjamuan terakhir dengan duduk mengelilingi meja yang rendah, dan duduk tanpa kursi. Maka, dengan cara ini, Yesus tidak membelakangi para murid-Nya. Dengan demikian, cara imam mempersembahkan Ekaristi dengan menghadap ke umat, seperti pada Misa Novus Ordo, juga tidak dapat dikatakan tidak sesuai dengan Tradisi Suci.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

    • Terima kasih atas penjelasannya. Misa baik NO maupun TLM hakikatnya tetap kurban Kristus, hanya saja di NO terdapat penekanan lebih terhadap Communio. 2 2 nya apabila dirayakan dengan baik akan memberikan buah yg baik. Tapi apabila sarat pelanggaran, atau kesenangan manusia nya yang lebih diutamakan, orang jadi kurang menghormati kehadiran Tuhan dalam ekaristi. Lebih ke arah pemuasan batinnya.

      Saya ada pertanyaan, ada orang yang bilang gini “Nggak semua negara boleh merayakan NO dalam bahasa vernakular, namun Indonesia tanpa persetujuan resmi Vatican langsung mengadakan misa dalam bahasa lokal, terbukti dengan hadirnya Madah Bakti yang berisi DSA experimental, Indonesia baru mendapat recognitio tahun 2005 dengan adanya TPE 2005”. Apa yang dikatakan orang itu betul ?

      Saya melihat penggunaan bahasa vernakular ini merusak universalitas gereja, sekalipun bacaan selalu sama di mana2 tapi misal sedang ke malaysia, misa dalam bahasa Inggris nya jadi sulit untuk diikuti, apalagi doa Bapa ami nya sudah berubah teksnya dari waktu saya masih blajar Bahasa Inggris. Beda kalau misal kita misa dalam bahasa latin, mau di mana2 ya begitu misanya.

      Lalu perlu digarisbawahi menghilangnya Gregorian Chant yang indah (diganti dengan lagu2 vernakular, dan yg paling parah biasa di saat komuni yg mana lagu2 rohani non imprimatur dinyanyikan)

      • Shalom Anonymous,

        Harap kita ingat bersama bahwa dalam dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi (Sacrosanctum Concilium), hal merayakan liturgi dengan mempertimbangkan budaya dan tradisi setempat (lihat Bab 1, point 3, D), termasuk penggunaan bahasa lokal, lihat paragraf 54 (Bab II).

        Maka jika KWI menerjemahkan Misa Kudus dari bahasa Latin ke bahasa Indonesia, itu bukannya menyalahi aturan, tetapi malah mengikuti anjuran Konsili Vatikan II. Sebab walaupun Konsili Vatikan II tidak meniadakan misa Latin, namun KV II memang mengizinkan adanya penggunaan bahasa setempat dalam liturgi.

        Romo Wanta juga menegaskan tentang salah satu maksud Konsili Vatikan II tentang Liturgi, adalah untuk menjadikan liturgi sebagai ‘milik’ umat setempat. Dengan demikian KV II menganjurkan Inkulturasi, penggunaan bahasa daerah dan nasional bahkan menjadi jalan pemahaman dalam berliturgi asalkan mendapat aprobasi dari KWI dan recognisi dari Paus. Langkah ini sudah ditempuh oleh Komlit KWI, jadi sudah benar meskipun tidak semudah apa yang dikatakan.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Anonymous yth

        Anda terlambat mengerti tentang banyak hal, justru dalam sidang Konsili Vatikan II saat ante preparatio banyak peserta konsili menganjurkan adanya penggunaan bahasa vernacular atau Lingua Vilgare (Bahasa Lokal) sehingga GK Indonesia sudah benar melakukan perubahan menggunakan bahasa Indonesia dan mencoba merumuskan TPE Ordo Missale Romawai teks Indonesia yang sekarang masih sedang dalam perbaikan untuk mendapat recognitio semoga dalam waktu dekat sudah bisa dipakai secara resmi meski para Bapak Uskup sudah memberikan aprobatio karena masih ada perbaikan maka harus diperlukan waktu lagi. Demikian pula Bapa Kami dalam bahasa lokal dianjurkan karena itu bahasa komunikatif dimana umat Allah Gereja Lokal merayakan imannya dalam kesatuan Gereja Universal.
        Semoga dapat dipahami jika kurang puas silakan datang ke KWI menemui saya dan nanti kita diskusi di Komlit KWI agar menjadi jelas. Mohon identitas anda jelas disampaikan ke Katolisitas.

        salam
        Rm Wanta

      • Saya juga suka dengan lagu-lagu Gregorian Chant. Sekarang jarang sekali saya mendengarkannya sewaktu misa di gereja

        [dari katolisitas: bagaimana jika anda berbicara dengan pastor paroki anda dan mengusulkan untuk mengakifkan kembali nyanyian Gregorian. Memang untuk dapat menghasilkan nyanyian Gregorian diperlukan waktu latihan yang lebih lama dibandingkan dengan lagu-lagu lain. Namun, harus diakui bahwa lagu-lagu Gregorian mempunyai keindahan tersendiri yang dapat membawa jiwa kita masuk dalam hadirat Tuhan.]

  16. Shalom…
    Sya ingin bertanya mengenai sejarah Misa Tridentine dan Misa yg sekarang dilaksanakan (Novus Ordo)…Mohon Penjelasannya…Trims…^^

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan ini digabungkan karena berhubungan]

    Shalom..

    Tapi menurut saya misa novus ordo tidak sesuai dengan ajaran Gereja mula-mula yang dalam misa Imam tidak menghadap umat tapi menghadap ke Altar dan mengarah/memilikki arah kiblat ke Timur…
    mohon pendapatnya..

    Trims
    Jerry

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]

Comments are closed.