Home Blog Page 285

Ciuman Maria Magdalena, dan pohon cemara, apa artinya?

2

Pertanyaan:

salam sejahtera,

saya ingin menanyakan mengenai Maria Magdalena yang berani menyentuh kaki Yesus dan menciuminya? Bukankah dalam adat Yahudi hanya seorang istri yang boleh mencium kaki seorang pria Yahudi. Kemudian mengapa Natal identik dengan pohon cemara? bukankah di negeri asal Yesus tidak terdapat cemara? justru kurma malah ada? terima kasih, Kandil Sasmita

Jawaban:

Shalom Kandil Sasmita,

1) Tentang makna ciuman dari Maria Magdalena

Jika anda mendengar komentar seseorang seperti ini, silakan anda menanyakan dari mana sumbernya, atau apa dasarnya orang itu mengatakannya. Karena menurut sumber yang saya ketahui, arti “mencium kaki” menurut tradisi Yahudi adalah untuk menyatakan terima kasih yang tak terhingga, seperti pada kasus “seseorang yang dilepaskan dari hukuman mati di pengadilan akan mencium kaki orang yang membantunya berhasil membela diri.” (Sumber: The Parables: Jewish Tradition and Christian Interpretation, oleh Brad H. Young, (Massachusetts: Hendrickson Publishers, Inc, 1998) p. 162). Maka Maria Magdalena mencium kaki Yesus karena ia bersyukur atas pengampunan Yesus yang membebaskan dia dari belenggu dosa. Mk 16:9 menyebutkan ia adalah wanita yang dari padanya Yesus telah mengusir 7 roh jahat. Maka sudah selayaknya Maria Magdalena bersyukur tak terhingga, sebab Yesus telah melepaskannya dari kuasa jahat ini. Ia bagai seseorang yang telah dilepaskan dari hukuman mati di pengadilan, karena semua orang mendakwanya, namun Yesus mengampuni dan membebaskannya dari roh jahat.

Sedangkan menurut interpretasi yang diakui oleh Gereja Katolik, arti “mencium kaki” ini adalah tanda pertobatan dan ekspresi kasih yang diartikan oleh Yesus sendiri sebagai antisipasi pengurapan pada saat hari penguburan-Nya (lih. Yoh 12:7) (Sumber: The Navarre Bible, Gospels and Acts, (Princeton: Scepter Publisher, 2002) p. 639).

2) Mengenai pohon cemara/ pohon Natal:

Sejarah pohon natal mungkin ditelusuri sekitar abad ke-8, dimana St. Bonifasius (675-754), seorang uskup Inggris, yang menyebarkan iman Katolik di Jerman sekitar abad ke-8. Pada saat dia meninggalkan Jerman dan pergi ke Roma sekitar 15 tahun, maka jemaat yang dia tinggalkan kembali lagi kepada kebiasaan mereka untuk mempersembahkan kurban berhala di bawah pohon Oak. Namun dengan berani St. Bonifasius menentang hal ini dan kemudian menebang pohon Oak tersebut.
Jemaat kemudian bertanya bagaimana caranya mereka dapat merayakan Natal. Maka St. Bonifasius kemudian menunjuk kepada pohon fir atau pine, dimana merupakan pohon itu melambangkan damai dan kekekalan karena senantiasa hijau sepanjang tahun. Juga karena bentuknya meruncing ke atas, maka itu mengingatkan akan surga. Bentuk pohon yang berupa segitiga dan menjulang ke atas serta hijau sepanjang tahun, inilah mengingatkan kita akan misteri Trinitas, Allah yang kekal untuk selama-lamanya, yang turun ke dunia dalam diri Kristus untuk menyelamatkan manusia.
Lihat artikel di website “Catholic Culture” (silakan klik).

Maka walaupun memang tradisi pohon cemara tidak diperoleh dari jaman dan tempat asal Yesus, penggunaan pohon cemara tidak bertentangan dengan pengajaran Alkitab. Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah maknanya: yaitu untuk mengingatkan umat Kristiani agar mengingat misteri kasih Allah Trinitas yang kekal selamanya, yang dinyatakan dengan kelahiran Yesus Sang Putera ke dunia demi menebus dosa manusia.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Gerejapun bisa di rumah? (Flm 1:1-3)

7

Ada seorang pembaca katolisitas yang bertanya demikian:

Salam katolisitas.org
Saya ingin menanyakan arti dan dalam konteks apa dalam ayat : Surat Paulus kepada Filemon 1 : 1-3 sbb : “Dari Paulus, seorang hukuman karena Kristus Yesus dan dari Timotius saudara kita, kepada Filemon yang kekasih, teman sekerja kami, dan kepada Apfia saudara perempuan kita dan kepada Arkhipus, teman seperjuangan kita dan kepada jemaat dirumahmu: Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah,Bapa kita dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.-”
Pertanyaan saya yang lebih ditekankan dikata jemaat dirumahmu , dimana ada teman yang membenarkan bahwasanya gerejapun bisa dirumah.-
mohon pencerahannya.-
terima kasih – Salam damai, Adnilem

Dalam keterangan “Introduction to the Letter of Philemon”, dari The Navarre Bible, the Letters of St. Paul, Texts and Commentary, p. 493, 495. diberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Filemon adalah seorang yang terpadang di Kolose yang dibimbing oleh Rasul Paulus kepada pertobatan dan menjadi Kristen, kemungkinan besar pada masa ia tinggal tiga tahun di Efesus, karena Rasul Paulus tidak pernah datang ke Kolose (lih. Kis 19:10; 20:31). Setelah Filemon bertobat, maka rumahnya menjadi basis bagi gereja lokal yang kecil (Flm 1:1-2). Rasul Paulus sangat menghargai hal ini; dan memanggil Filemon sebagai “teman sekerja” dan memperlakukannya dengan kasih dan kepercayaan yang besar (Flm 1: 8, 17, 19, 21)

2. Mengingat bahwa surat Filemon adalah surat yang singkat dan ditujukan secara pribadi kepada Filemon, maka referensi kepada Apfia dan Arkhipus menunjukkan bahwa mereka kemungkinan besar adalah anggota dari keluarga Filemon, kemungkinan adalah istri dan anak laki-lakinya. Dari surat kepada Gereja di Kolose, kita ketahui bahwa Arkhipus  adalah tokoh yang penting di Gereja Kolose (lih. Kol 4:17) walaupun di ayat itu tidak disebutkan pelayanan apakah yang dilakukannya/ apakah ia menjadi imam atau diakon.

Dengan mengetahui latar belakang surat Filemon ini, maka saya rasa konteks “Gereja di rumah” tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memang dapat saja rumah Filemon dipergunakan sebagai “gereja kecil” di Kolose. Namun ini selayaknya tidak diartikan sebagai gereja yang dibentuk sendiri dan berdiri sendiri. Jangan kita lupa bahwa Filemon sendiri disebut oleh Rasul Paulus sebagai “teman sekerja” (ay. 1) sehingga walaupun kita tidak memperoleh detail seperti apa bentuk teman sekerja ini, namun kita dapat mengetahui bahwa Filemon membina kesatuan dengan Gereja para Rasul, dengan hubungan baiknya dengan Rasul Paulus. Kesatuan dengan Gereja para Rasul (Apostolik) inilah yang menjadi salah satu ciri dari Gereja yang didirikan Yesus, yaitu, satu, kudus, katolik, dan apostolik.

2. Gereja di rumah sebenarnya juga bisa diartikan sebagai bentuk Gereja yang terkecil, yaitu keluarga. Katekismus Gereja Katolik 1655-1658 mengajarkan tentang prinsip Ecclesia domestica (Gereja domestik/ rumah tangga) yang memang terbentuk di rumah, yaitu keluarga. Karena tidak terlalu panjang, maka saya sertakan saja semua kutipannya sebagai berikut:

KGK 1655     Kristus memilih supaya dilahirkan dan berkembang dalam pangkuan keluarga Yosef dan Maria. Gereja itu tidak lain dari “keluarga Allah”. Sejak awal, pokok Gereja sering kali dibentuk dari mereka yang menjadi percaya “dengan seluruh keluarganya” (Bdk. Kis 18:8). Ketika mereka bertobat, mereka juga menginginkan, agar “seisi rumah mereka” menerima keselamatan. (Bdk. Kis 16:31 dan 11:14). Keluarga-keluarga yang menjadi percaya ini adalah pulau-pulau kehidupan Kristen di dalam dunia yang tidak percaya.

KGK 1656     Dewasa ini, di suatu dunia yang sering kali berada jauh dari iman atau malahan bermusuhan, keluarga-keluarga Kristen itu sangat penting sebagai pusat suatu iman yang hidup dan meyakinkan. Karena itu Konsili Vatikan II menamakan keluarga menurut sebuah ungkapan tua “Ecclesia domestica” [Gereja-rumah tangga] (LG 11)( Bdk. FC 21). Dalam pangkuan keluarga “hendaknya orang-tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani” (LG 11,2).

KGK 1657     Disini dilaksanakan imamat yang diterima melalui Pembaptisan, yaitu imamat bapa keluarga, ibu, anak-anak, semua anggota keluarga atas cara yang paling indah “dalam menyambut Sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif” (LG 10). Dengan demikian keluarga adalah sekolah kehidupan Kristen yang pertama dan “suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan” (GS 52,1). Di sini orang belajar ketabahan dan kegembiraan dalam pekerjaan, cinta saudara sekandung, pengampunan dengan jiwa besar, malahan berkali-kali dan terutama pengabdian kepada Allah dalam doa dan dalam penyerahan hidup.

KGK 1658     Kita harus memperhatikan lagi satu kategori umat, yang akibat situasi nyata kehidupannya – yang sering tidak mereka pilih secara sukarela – begitu dekat dengan hati Yesus dan karena itu patut mendapat penghargaan dan perhatian istimewa dari pihak Gereja, terutama dari para pastor: jumlah besar kelompok orang yang tidak kawin. Banyak dari mereka hidup tanpa keluarga manusiawi, karena mereka miskin. Beberapa orang menanggulangi situasi kehidupan mereka dalam jiwa sabda bahagia, di mana mereka dengan sangat baik mengabdi kepada Allah dan sesama. Bagi mereka semua, harus dibuka pintu-pintu keluarga, “Gereja-rumah tangga” dan pintu keluarga besar, Gereja. “Tidak ada seorang pun di dunia tanpa keluarga. Gereja adalah rumah tangga dan keluarga bagi siapa pun juga, khususnya bagi mereka yang ‘letih lesu dan berbeban berat’ (Mat 11:28)” (FC 85).

Demikianlah kita melihat ayat Fil 1:1-3 dengan konteks yang ada sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Jadi untuk menjawab pertanyaan anda, apakah Gereja bisa di rumah? Jawabnya bisa, sebab keluarga adalah bentuk Gereja yang terkecil yang disebut sebagai Ecclesia domestica. Pada masa para rasul memang logis jika basis Gereja dilakukan di rumah-rumah, karena belum memungkinkannya mereka membangun bangunan ibadah/ gereja. Namun demikian, Gereja di rumah ini, baik dengan pengertian Gereja keluarga (rumah tangga) ataupun sekumpulan umat yang beribadah di rumah itu, tetap mempunyai kesatuan dengan para rasul (apostolik).

Mengenai Perkawinan sesama saudara

67

Pertanyaan:

Who was Cain’s wife? Was Cain’s wife his sister?”
Answer: The Bible does not specifically say who Cain’s wife was. The only possible answer was that Cain’s wife was his sister or niece or great-niece, etc. The Bible does not say how old Cain was when he killed Abel (Genesis 4:8). Since they were both farmers, they were likely both full-grown adults, possibly with families of their own. Adam and Eve surely had given birth to more children than just Cain and Abel at the time Abel was killed. They definitely had many more children later (Genesis 5:4). The fact that Cain was scared for his own life after he killed Abel (Genesis 4:14) indicates that there were likely many other children and perhaps even grandchildren of Adam and Eve already living at that time. Cain’s
wife (Genesis 4:17) was a daughter or granddaughter of Adam and Eve.
Since Adam and Eve were the first (and only) human beings, their children would have no other choice than to intermarry. God did not forbid inter-family marriage until much later when there were enough people to make intermarriage unnecessary (Leviticus 18:6-18). The reason that incest today often results in genetic abnormalities is that when two people of
similar genetics (i.e., a brother and sister) have children together, there is a high risk of their recessive characteristics becoming dominant. When people from different families have children, it is highly unlikely that both parents will carry the same recessive traits. The human genetic code has become increasingly “polluted” over the centuries as genetic defects are multiplied, amplified, and passed down from generation to generation. Adam and Eve did not have any genetic defects, and that enabled them and the first few generations of their descendants to have a far greater quality of health than we do now. Adam and Eve’s children had few, if any, genetic defects. As a result, it was safe for them to intermarry.

Haryadi

Jawaban:

Shalom Haryadi,

Saya tidak mengetahui maksud Haryadi mengirimkan tulisan di atas, namun saya menduga anda bertanya tanggapan saya atas pernyataan di atas.

1. Ya, Gereja Katolik Gereja Katolik mengajarkan, berdasarkan Kitab Suci bahwa seluruh umat manusia diturunkan dari Adam dan Hawa, berdasarkan Rom 5:15, ” Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus.” Atas dasar ayat ini, Paus Pius mengajarkan,”Magisterium Gereja Katolik mengajarkan tentang dosa asal, yang berasal dari dosa yang dilakukan oleh seorang Adam [manusia pertama], dan yang diturunkan kepada semua orang….” (Paus Pius XII, Humani Generis 37). Maka, Gereja Katolik mengajarkan monogenism dan menolak polygenism sebab kita percaya bahwa semua manusia diturunkan dari sepasang manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa.

2. Oleh karena itu, konsekuensinya, maka memang pada masa awal, terjadi ‘intermarry‘/ perkawinan sesama saudara atau incest. Dalam hal ini Kain menikahi saudara perempuannya sendiri, sebab dikatakan Adam mempunyai anak- anak laki-laki dan perempuan, selain, Kain, Habel dan Set. (lih. Kej 5:4) Walaupun memang kemudian, setelah jumlah manusia sudah mulai banyak, perkawinan sesama saudara tersebut dilarang oleh Tuhan (Im 18:6-18), demi kebaikan manusia itu sendiri. Ilmu pengetahuan pada saat ini menyatakan alasannya mengapa hal tersebut dapat menimbulkan/ mempunyai resiko besar akan ketidaknormalan pada keturunan pasangan dari perkawinan antar saudara tersebut.

Saya tidak mendalami ilmu genetika, namun kelihatannya, pernyataan yang mengatakan bahwa kode genetik manusia dapat mengalami “defect” yang dapat bertambah besar sehubungan dengan regenerasi manusia, adalah sangat masuk akal. Maka jika pada generasi pertama-tama, efek resesif sangat minimal namun semakin ke bawah generasinya, efek ini makin besar. Oleh sebab itu Allah akhirnya melarang incest ini.

3. Berdasarkan firman Tuhan ini, maka dalam Kitab Hukum Kanonik, Gereja Katolik memang tidak memperbolehkan pernikahan sesama saudara kandung, dalam segaris keturunan ataupun sesama saudara dalam garis kolateral/ menyamping sampai dan termasuk tingkat ke empat. Termasuk garis kolateral tingkat ke-empat ini adalah sesama kakak/ adik, saudara sepupu ataupun pernikahan dengan paman/ bibi atau keponakan.

Kan. 1091 – § 1. Tidak sahlah perkawinan antara mereka semua yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang sah maupun yang natural.
§ 2. Dalam garis keturunan menyamping, perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat keempat.
§ 3. Halangan hubungan darah tidak dilipatgandakan.
§ 4. Perkawinan tidak pernah diizinkan, jika ada keraguan apakah pihak-pihak yang bersangkutan masih berhubungan darah dalam salah satu garis lurus atau dalam garis menyamping tingkat kedua.

Demikian tanggapan saya tentang tulisan anda, semoga berguna.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Bolehkah kita sebagai murid Kristus makan babi?

75

Ada pertanyaan: Apakah makan babi diharamkan bagi umat Kristen? Sebab beberapa ayat di Perjanjian Lama menyatakan:  “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu” (Im 11:7; bdk Yes 66: 17);  “Juga babi hutan, karena memang berkuku belah, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan janganlah kamu terkena bangkainya” (Ul 14:8). Dalam buku penjelasan Katolik tentang Kitab Suci dijelaskan sebagai berikut: (Sumber:  A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom B. Orchard, M.A., (New York: Thomas Nelson and Sons Ltd, 1952) p. 236 dan 268):

1. Perihal larangan makanan tertentu adalah sehubungan dengan hukum yang menunjukkan hal haram atau tidak haram, dalam rangka hukum pentahiran/ pemurnian bangsa Israel. Dalam hukum ini dikatakan hal-hal yang haram dan bagaimana  cara menghapuskan keharaman tersebut. Dalam hukum Imamat PL, hal “haram” menggambarkan keadaan seseorang yang karena perbuatan tertentu yang belum tentu perbuatan dosa, tidak dapat datang kepada Tuhan. Baik orangnya maupun penyebab kondisi orang itu dikatakan sebagai haram. Maka “haram”/ uncleanness, pada umumnya adalah bersifat eksternal, tidak selalu berkaitan dengan pelanggaran hukum moral, dan penghapusan keharaman tersebut juga merupakan sebuah upacara eksternal yang mengembalikan keadaan orang yang “tidak murni” tersebut ke kondisi sebelumnya.

Studi anthropologi telah menunjukkan bahwa pembedaan hal haram dan tidak haram dan pengertian-pengertian religius yang mendasari perbedaan itu  telah tersebar luas dan sudah lama ada sebelum zaman bangsa Yahudi. Beberapa ide dan praktek ini diterapkan oleh bangsa Israel yang nomadis dan kemudian disyaratkan oleh Tuhan, sejauh mereka tidak bertentangan dengan kepercayaan Monotheistis dan sebagai cara untuk melatih bangsa Israel menuju standar yang lebih tinggi dalam hal kemurnian moral. Maka motif moral dan religius dari hukum kemurnian adalah seperti yang tertera dalam  Im 11:44, “… haruslah kamu kudus , sebab Aku [Tuhan] ini kudus….”

2. Maka dasar untuk mengatakan suatu makanan haram atau tidak haram adalah dari segi kebersihan/ kesehatan, rasa enggan secara natural, pada tingkat tertentu pertimbangan religius, atau karena binatang-binatang tertentu mempunyai konotasi berhala ataupun tahyul. Pengertian binatang haram yang diterima pada saat itu salah satunya adalah yang berkuku belah, bersela panjang, tidak memamah biak (lih. Im 11:7, Ul 14:8), namun juga termasuk ikan yang tidak mempunyai sirip/ sisik ay.7-9, burung pemangsa ay. 13-19, serangga yang bersayap ay. 20-23, binatang reptilia ay. 29-38.

3. Maka kita melihat di sini, larangan untuk makan makanan yang haram tersebut berkaitan dengan maksud Allah untuk menguduskan umat-Nya. Setelah Kristus datang ke dunia,  Kristuslah yang menjadi jalan yang jauh lebih mulia untuk mencapai kekudusan daripada segala hukum pemurnian tersebut.  Maka hukum pengudusan/ pemurnian ini sesungguhnya dipenuhi dengan sempurna, tidak dengan menghindari makanan yang dianggap haram namun dengan dengan kita menyambut Kristus yang adalah Putera Allah yang kudus, sang Roti Hidup (Yoh 6:25-59) yang menjadi santapan rohani, ‘jalan’ yang menghantar kita kepada Allah Bapa (lih. Yoh 14:6). Bagi umat Katolik, hal ini kita terima pada saat kita menyambut Kristus sendiri dalam yaitu dalam Sabda Allah dan terutama di dalam Ekaristi. Silakan membaca lebih lanjut tentang makna Ekaristi ini, di sini (silakan klik) dan di sini (silakan klik) agar anda mengetahui mengapa Ekaristi menjadi sumber dan puncak kehidupan Kristiani.

Itulah sebabnya Yesus memberikan perintah ini, “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang…… Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran yang jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang…” (Mat 15:11, 18-20)

Hal ini juga kembali ditegaskan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “…. dalam Tuhan Yesus… tidak ada sesuatu [makanan] yang najis dari dirinya sendiri….. Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rom 14:17). Juga, Rasul Petrus mengalami penglihatan bagaimana Allah tidak menyatakan makanan apapun sebagai haram, “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram (lih. Kis 10:15).

Di sini terlihat bahwa Kitab Suci sendiri menyatakan bahwa apa yang ditulis dalam Perjanjian Lama (PL) adalah gambaran yang akan digenapi dalam Perjanjian Baru (PB).  “Di dalam hukum Taurat hanya terdapat bayangan saja dari keselamatan yang akan datang, dan bukan hakikat dari keselamatan itu sendiri…” (Ibr 10:1). Aturan-aturan PL termasuk ketentuan makanan haram ini ada, untuk mengarahkan umat kepada penggenapannya dalam PB. Yaitu bahwa di masa PL, bangsa Israel dipisahkan Allah dari bangsa bangsa lain, termasuk oleh aturan Sabat, sunat dan larangan makanan. Di PB, Aturan tersebut digenapi dan disempurnakan oleh Kristus, dengan cara yg berbeda. Kalau penggenapannya sama, maka tidak disebut Perjanjian Baru (PB). Sunat jasmani digenapi maknanya dengan sunat rohani yaitu Baptisan (lih. Kol 2:11-12). Sabat digenapi dengan hari Tuhan, yaitu Minggu yang memperingati kebangkitan Yesus lambang kehidupan baru. Soal larangan makanan justru merupakan persiapan akan makna yang lebih hakiki, yaitu hal haram dan halal bukan dari apa yang masuk ke dalam tubuh, tetapi dari apa yg keluar dari tubuh.

Pengajaran ini pula-lah yang mendasari sikap Gereja Katolik tentang makanan sembahyangan, yang diskusinya dapat dilihat di sini, silakan klik. Pada dasarnya, kesimpulannya adalah:

1. Memang bukan soal apa yang masuk yang menajiskan kita (lih. Mat 15:11), sehingga, dengan demikian makanan apapun (asalkan memang dari segi kesehatan layak dimakan) dapat kita makan, termasuk di dalamnya daging babi.

2. Namun jika dengan memakan daging babi itu seseorang menjadi batu sandungan bagi orang lain [terutama di hadapan orang-orang yang mengharamkan babi], maka sebaiknya ia tidak makan babi (lih. Rom 14:21). Hal inilah yang dianjurkan oleh Rasul Paulus (lih. 1 Kor 8:13). Dalam hal ini memang diperlukan “prudence”/ kebijaksanaan dari pihak kita untuk menyikapinya dan memutuskannya.

3. Aturan-aturan seremonial dalam Perjanjian Lama– termasuk hal larangan makanan– tidak dimaksudkan Allah sebagai hakikat keselamatan itu sendiri. Melainkan, hal-hal itu merupakan bayangan akan keselamatan sesungguhnya yang dikaruniakan Allah melalui sengsara, wafat, kebangkitan Kristus [Misteri Paska Kristus], yang menjadi dasar dan inti iman Kristiani.  Larangan makan babi yang dianggap sebagai binatang yang kotor pada zaman itu, adalah langkah persiapan bagi umat untuk pengudusan, yang kemudian diperoleh dari santapan rohani yaitu Kristus sendiri sebagai Sang Roti Hidup. Oleh PB, pengudusan sejati tidak lagi diperoleh dari menaati larangan makanan tertentu tetapi dari menyambut Kristus dalam Ekaristi. Kita tidak dapat kembali kepada gambaran atau bayang-bayang yang bukan hakikat keselamatan (lih. Ibr 10:1), setelah hakikat keselamatan itu sendiri sudah digenapi di dalam Kristus.

Yesus, sungguh Allah sungguh manusia

62

Pendahuluan:

Pada umumnya, kita mengasihi seseorang yang sudah kita kenal sebelumnya. Selanjutnya, jika kita sungguh- sungguh mengasihi orang itu, maka tentu kita ingin mengenalnya lebih dalam. Hal ini juga berlaku dalam hubungan kita dengan Kristus. Siapakah Kristus itu bagi kita? Siapakah Kristus itu sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan serupa ini seharusnya mengantar kita untuk lebih mengenal dan mengasihi Dia. Ia menjadi Penyelamat kita manusia, karena Ia adalah sungguh-sungguh Allah, dan sungguh-sungguh manusia. Karena Kristus adalah Allah, maka Ia sudah ada sebelum dunia ini diciptakan. Namun Ia rela menjelma menjadi manusia, karena mengasihi kita. Pada saat waktunya genap, Ia memilih untuk dilahirkan ke dunia, maka Putera Tunggal Allah yang tak terbatas, masuk ke dalam sejarah manusia. Hakekat ke-Allahan dan ke-manusiaan Kristus ini adalah ciri khas Yesus, yang membuat-Nya berbeda dari para nabi ataupun orang kudus manapun.

Yesus sungguh Allah, sungguh manusia

Bagi orang Katolik, sebutan bahwa Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia, tidaklah asing. Namun apakah kita sungguh memahaminya? Apakah kita mengetahui dasar-dasarnya mengapa dikatakan bahwa Yesus Kristus adalah  Putera Tunggal Allah yang menjadi manusia, sehingga Ia adalah sungguh-sungguh Allah, dan sungguh-sungguh manusia?

Ya, istilah Teologi yang menjelaskan ciri khas Pribadi Yesus ini adalah “hypostatic union“. Ini merupakan misteri Kristus yang tidak sepenuhnya dapat kita pahami selama kita hidup di dunia ini, namun begitu jelas diajarkan dalam Alkitab. Yesus Kristus adalah Juru Selamat manusia yang menghapuskan dosa-dosa kita. Yesus adalah Pengantara kita yang menghubungkan kita dengan Allah. Sebagai manusia, Yesus dengan kehendak bebas-Nya mempersembahkan kurban penghapus dosa, yaitu diri-Nya sendiri, dan karena Ia adalah Tuhan, maka korban-Nya ini bernilai tak terbatas, sehingga mampu menghapus semua dosa manusia di sepanjang sejarah. Jika Gereja Katolik mempertahankan kebenaran ini, adalah karena kedua hal ini, ke-Allahan Yesus dan kemanusiaan-Nya, adalah “kedua hal yang sama pentingnya dalam karya keselamatan Allah.” ((Lihat George D Smith, D.D, PhD. ed., The Teaching of the Catholic Church, A Summary of Catholic Doctrine, (New York: The Macmillan Company, 1960) p. 361))

Protestant Kenotic Christology: apakah itu?

Pengertian tentang ke-Allahan dan kemanusiaan Yesus sangatlah penting, jika kita ingin mengenal siapa Yesus yang sesungguhnya. Tanpa pemahaman ini, kita akan mempunyai gambaran yang keliru tentang Yesus Kristus. Dewasa ini kita mengenal teori-teori baru dari para peneliti Alkitab/ exegete modern yang berusaha memisahkan Kristus yang kita imani dengan Yesus menurut sejarah (the Christ of Faith and the Jesus of history). Pandangan ini sesungguhnya berakar dan tidak terlepas dari pendapat yang mengatakan bahwa selama hidup-Nya di dunia (33.5 tahun) Yesus itu ‘hanya’ manusia biasa, bukan Tuhan [walaupun disertai oleh Allah Bapa dan Roh Kudus secara istimewa]; dan baru setelah kebangkitan-Nya, Yesus adalah Tuhan.

1) Pandangan di atas mengambil dasar utama dari Fil 2: 6-11 yang mengatakan bahwa Kristus Yesus, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia…. Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib….” Pandangan ini dikenal dengan ajaran Martin Luther,Protestant Kenotic Christology, ((Lihat De libertate christiana (Weimar, 1883), vol. 7, p.65)) yang pada dasarnya bukan memahami bahwa Yesus mempunyai 2 kodrat (yaitu Allah dan manusia) dalam satu Pribadi-Nya semasa hidup-Nya di dunia, melainkan membaginya menjadi dua tahapan: tahap pengosongan (state of self- emptying) dan tahap pemuliaan (state of exaltation) sesudah kebangkitan. Dengan demikian, Luther tidak membedakan kodrat dan Pribadi Yesus, sehingga sebenarnya ajarannya mempunyai kemiripan dengan campuran ajaran Arianism dan Monophisitism, ajaran yang menyimpang pada abad ke-3 dan ke-5.

Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan mengetahui bahwa interpretasi yang dipegang oleh Bapa Gereja adalah bahwa yang dimaksud oleh Paulus dalam “pengosongan diri” ini adalah bahwa Pribadi kedua dari Trinitas yaitu Sang Firman Allah, mengambil rupa manusia melalui Inkarnasi, agar dengan demikian Ia dapat menderita dan mati. Maka dikatakan Ia yang “dalam rupa Allah….  mengambil rupa seorang hamba” sehingga di dalam rupa tersebut Ia “merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati …di kayu salib.” Maka disini yang tidak dipertahankan Kristus adalah ketidakterbatasanNya sebagai Allah, bahwa sebagai Allah Ia tidak mungkin menderita dan mati, sedangkan dengan menjelma menjadi manusia Ia dapat menderita dan mati. Maka dari teks itu sendiri sebenarnya tidak menunjukkan bahwa dengan mengambil rupa sebagai manusia, Yesus berhenti menjadi Allah. Sebab dari kodrat-Nya, Allah tidak mungkin berhenti menjadi Allah, ataupun berubah dari yang sempurna -dalam Trinitas- menjadi tidak sempurna -karena pada satu periode Allah tidak berupa Trinitas. Karena kalau demikian, maka Allah mempertentangkan Diri-Nya sendiri dan ini tidak mungkin (lih.2 Tim 2:13). Silakan membaca artikel bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada, silakan klik, untuk melihat dengan akal budi kita, bagaimana Tuhan tidak mungkin berhenti menjadi Tuhan, atau berubah menjadi tidak sempurna. Di atas semua itu, mari kita merenungkan kebenaran yang tertulis dalam Mzm 49:8-9, bahwa seorang manusia  tidak akan bisa memberikan tebusan (dosanya) kepada Allah; maka untuk itu, untuk menjadi tebusan dosa bagi banyak orang, maka Yesus tidak mungkin ‘hanya’ manusia, Ia harus sekaligus Allah, agar dapat menyelamatkan umat manusia dengan wafat-Nya di kayu salib.

Jika kita memahami kodrat Allah, maka kita mengetahui bahwa Allah tidak dapat menjadi tidak sempurna. Allah Trinitas adalah Allah yang maha sempurna dan kekal, alfa dan omega, dan sungguh tidak terbatas oleh waktu. Maka jika ada yang terbatas dalam diri Yesus itu adalah karena keterbatasan kodrat manusia (yang terbatas oleh ruang dan waktu), sedangkan kuasa-Nya sebagai Allah tetap sempurna. Karena itulah, dalam penjelmaan-Nya sebagai manusia Ia dapat mengampuni dosa dalam nama-Nya sendiri (Mt 9:2-8; Mk 2:3-12; Lk 5:24, 7:48), melakukan banyak mukjizat dalam nama-Nya (Mat 8: 26; 14: 13-20; Mrk 6:30-44; Luk 9: 10-17; Yoh 6:1-13), mengusir setan (Mat 8:28-34), menyembuhkan yang sakit (Mat 8:1-16,  9:18-38, 14:36, 15: 29-31) dan membangkitkan orang mati dalam nama-Nya sendiri (Luk 7:14; Yoh 11:39-44), dan para malaikatpun melayani Dia (Mat 4:11). Ini tidak mungkin terjadi, jika pada waktu penjelmaan-Nya Ia bukan Allah. Silakan membaca lebih lanjut dalam artikel ini, silakan klik untuk melihat secara obyektif betapa banyaknya bukti yang menunjukan bahwa pada saat hidup-Nya di dunia Yesus itu sungguh-sungguh Allah, dari segala perkataan dan perbuatan yang dilakukan-Nya. Untuk menilai bahwa ucapan dan perbuatan Yesus itu “hanya” perbuatan manusia biasa adalah sikap yang “menutup mata” terhadap kenyataan yang sesungguhnya tidak perlu dibuktikan. Menolak untuk percaya bahwa selama 33.5 tahun hidup-Nya di dunia Yesus bukan Tuhan, adalah suatu bentuk distorsi pengenalan akan Pribadi Yesus. Ini hampir saja serupa bahwa seseorang menolak kenyataan bahwa matahari itu sumber terang, walaupun sudah jelas-jelas cahayanya tersebar ke mana-mana.

Mereka yang menganggap Yesus “hanya” manusia biasa semasa hidupnya, menyetarakan Dia dengan para nabi sebelum Kristus. Padahal, kita mengingat bahwa bahkan para nabi tersebut, tidak pernah mengampuni dosa ataupun melakukan mukjizat dalam nama mereka sendiri, ataupun mengajar dengan otoritas mereka sendiri. Lihat saja bagaimana ungkapan ayat-ayat Alkitab dalam PL, dimana berkali-kali disebutkan, “Berfirmanlah Allah kepada (Musa/ nabi-Nya)…. “, sedangkan dalam Injil, Yesus tak terhitung mengatakan, “Tetapi Aku berkata kepadaMu….” Jangan lupa bahwa para nabi bahkan sudah menubuatkan kedatangan hamba Tuhan yang adalah Allah sendiri. Selanjutnya, silakan klik di sini untuk membaca nubuat-nubuat para nabi akan kedatangan Yesus, yang adalah Tuhan.

2) Berikutnya, pandangan ini (Protestant Kenotic Christology) juga mengambil ayat- ayat dari Rom 4:24, 6:4, 8:11; 1Kor 4:14, 1Kor 6:14, Kis 2:24, 3:25, 10:40, yang mengatakan bahwa Yesus itu “dibangkitkan” oleh Allah. Sehingga kesimpulan pendapat ini adalah Yesus bukan Allah sehingga tidak dapat bangkit sendiri melainkan perlu dibangkitkan oleh Allah. Padahal di ayat-ayat yang lain dalam Alkitab juga dikatakan demikian, bahwa Yesus bangkit (bukan dibangkitkan), misalnya di Mat 28:6; Mk 16:6, 9; Luk 24:34.

Apakah ayat-ayat tersebut bertentangan? Tentu tidak! Kuncinya adalah, 1) kita harus memahaminya dengan pemahaman para rasul itu sendiri; 2) kita membaca ayat-ayat tersebut dan juga Flp 2:6-11 dengan kesatuan dengan ayat-ayat Alkitab yang lain. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa para rasul percaya bahwa Yesus, semasa hidupNya, adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh manusia. Maka dari kodrat-Nya sebagai manusia Ia dibangkitkan Allah, sedangkan dari kodrat-Nya sebagai Allah, maka Ia bangkit dengan kuasa-Nya sendiri. Ini adalah pemahaman Gereja sejak awal mula dan berkali-kali ditegaskan, namun yang paling jelas dalam Konsili Chalcedon (451), di mana dikatakan:

Kristus mempunyai dua kodrat, yang tidak tercampur baur, tanpa perubahan, tidak dapat dibagi-bagi dan dipisahkan…. Ia menjadi satu Pribadi dan satu hakikat (hypostatis), tidak terbagi menjadi dua pribadi, namun kedua kodrat itu membentuk Pribadi Yesus yang unik, satu dan sama.” ((Denz. 148; DS 301-2))

Singkatnya, sudah seharusnya hal ‘pengosongan diri’ Kristus (Fil 2:6-11) dan perihal kata ‘dibangkitkan’, jangan dilepaskan konteksnya dengan keseluruhan Alkitab yang menyatakan bahwa Yesus pada saat hidupnya di dunia itu sungguh- sungguh Allah, walaupun Ia juga sungguh-sungguh manusia. Pandangan yang melepaskan konteks itu sebenarnya bukan merupakan pengajaran para rasul, dan jika diperhatikan juga bukan merupakan maksud Rasul Paulus yang menuliskannya. Silakan membaca tulisan Rasul Paulus yang lain, yang menujukkan bahwa Yesus adalah Allah pada saat penjelmaan-Nya sebagai manusia seperti yang tertulis pada surat kepada jemaat di Kolose dan Ibrani (lihat point no. 6 berikut ini)

Dasar Alkitab

Maka mari dengan kerendahan hati, kita merenungkan ayat-ayat Alkitab berikut ini yang mendasari para Bapa Gereja mengajarkan adanya dua kodrat (yaitu Allah dan manusia) dalam satu Pribadi Yesus. Mari kita memohon rahmat Roh Kudus agar kita dimampukan untuk melihat kedalaman misteri Allah ini, seperti yang diwahyukan-Nya sendiri kepada kita melalui Kitab Suci:

1. Kesaksian dari Rasul Yohanes, murid yang dikasihi Yesus secara istimewa, menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Justru karena kedekatannya dengan Yesus, maka kita selayaknya percaya kepada kebenaran kesaksian Rasul Yohanes tentang Yesus. Yoh 1:1 14: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah….. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.”

Rasul Yohanes memulai Injilnya dengan menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan. Sesungguhnya, untuk membuktikan ke- Allahan Yesuslah maka Yohanes menuliskan Injilnya, yang merupakan kitab Injil yang terakhir. Dalam Yoh 20:31 dikatakan, “tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”

Jadi, karena Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah sendiri, maka artinya, kebersamaan dengan Allah dalam kepenuhannya itu tidak terputuskan oleh penjelmaan-Nya menjadi manusia dalam diri Yesus.

2. Kesaksian Rasul Petrus: Mat 16:16, “Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Rasul Petrus adalah orang yang pertama mengakui dengan mulutnya tentang ke-Allahan Yesus semasa Yesus hidup di dunia. Dan Yesus membenarkan iman Petrus ini, dengan mengatakan bahwa Bapa di sorgalah yang menyatakan hal ini kepadanya (ay.17). Yesus kemudian mempercayakan Gereja-Nya ke dalam pimpinan Petrus (ay. 18) Gereja Katolik dengan setia mengajarkan pengakuan iman Petrus ini, bahwa Yesus Kristus, adalah sungguh Anak Allah yang hidup. Mesias Anak Allah yang hidup ini tidak bisa direduksi menjadi manusia biasa yang bukan Allah, sebab jika demikian, Ia bukan sungguh-sungguh Anak Allah.

Setelah kebangkitan Kristus, Rasul Petrus memberikan kesaksian di hadapan Mahkamah Agama, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia [Yesus Kristus], sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis 2:14).

Sebab hanya di dalam nama Tuhan-lah manusia dapat diselamatkan.

3. Kesaksian dari Malaikat Gabriel, yang berkata kepada Bunda Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (Luk 1: 35). Maka kita ketahui bahwa oleh Roh Kudus yang turun atas Maria, maka Yesus bukanlah manusia biasa, namun Anak Allah.

4. Perkataan Elisabet yang ditujukan kepada Bunda Maria, dalam Luk 1:42: “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Jika Yesus hanya manusia biasa, tentu Elisabet tidak berkata demikian.

5. Kesaksian Yesus sendiri tentang Diri-Nya Luk 2:49: Perkataan Yesus yang pertama yang dicatat di Alkitab adalah pernyataan-Nya tentang identitas-Nya sebagai Putera Allah, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Sedangkan kehidupan publik Yesus dimulai dengan pernyataan Allah Bapa kepada Yesus pada saat Pembaptisan di sungai Yordan, Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” (Mat 3:17). Jika yang memberi kesaksian tentang Yesus sebagai Putera Allah adalah Allah Bapa sendiri, maka selayaknya kita percaya bahwa Yesus adalah Allah.

Yoh 8:58: Yesus sendiri mengatakan bahwa Ia adalah Allah dengan mengatakan bahwa Ia sudah ada sebelum Abraham, sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” Jika Ia “hanya” manusia biasa, Ia tidak dapat berkata demikian, sebab sebagai manusia biasa Ia tidak mungkin ada sebelum Abraham. Perkataan-Nya ini hanya masuk di akal jika Ia adalah Allah yang keberadaan-Nya tak terbatas oleh waktu, dan kemudian menjadi manusia sehingga dapat mengatakan pernyataan tersebut dengan ucapan mulut manusia dalam diri Yesus.

Yoh 13:13, “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan.” Ini adalah pernyataan yang sangat jelas, yang dikatakan Yesus dalam Perjamuan Terakhir, sebelum kebangkitan-Nya. Maka tidak mungkin bahwa Ia baru menjadi Tuhan setelah kebangkitan-Nya, sebab jika demikian, maka Ia tidak akan berkata demikian kepada para murid-Nya.

Selanjutnya, kita harus dengan jeli melihat bahwa di seluruh Injil, dalam mengidentifikasikan diri-Nya sebagai Anak Allah, Yesus tidak menyamakan Diri-Nya secara persis dengan kita yang juga disebut anak-anak Allah. Kita yang percaya kepada-Nya adalah anak-anak angkat Allah, sedangkan Kristus adalah Anak Allah yang Tunggal yang sehakekat dengan Allah (istilahnya, homo-ousios, the only begotten Son). Maka tepatlah jika Yesus mengatakan, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa…Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh 14:9, 11) Tidak ada satu nabipun yang dapat berkata demikian; tidak ada seorang manusiapun yang berhak berkata demikian, kalau Ia bukan sekaligus Allah.

6. Sekarang mari kita melihat kesaksian Rasul Paulus dalam surat-suratnya untuk melihat keutuhan pengajaran Rasul Paulus:

Kol 1:15-20: “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan….. karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu….. Ia yang lebih utama dari segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus. ”

Yesus menjadi “gambar Allah” yang hidup pada saat Ia menjelma menjadi manusia. Dan kepenuhan Allah ini adalah kesempurnaan Allah yang diam di dalam-Nya, sehingga artinya selama hidup-Nya di dunia dan selama-lamanya, Yesus adalah Allah. Jika tidak demikian, tentunya tidak dikatakan “kepenuhan Allah diam di dalam Dia.” Selanjutnya, justru karena kodrat-Nya sebagai Allah dan manusia, maka Ia dapat “mengadakan pendamaian” antara Allah dan manusia. Jika Ia hanya manusia biasa saja, maka Ia tidak bisa mendamaikan Allah dan manusia dengan sempurna; sebab Ia hanya seperti nabi-nabi yang lain yang datang sebelum Kristus. Ini tidak sesuai dengan nubuat para nabi, dan bahkan pengajaran Yesus sendiri dalam perumpamaan penggarap kebun anggur (Mat 21:33-46; Luk 20: 9-19). Kalau Ia ‘hanya’ manusia biasa yang bukan Allah, Ia tentu tidak mengajarkan demikian.

Maka Flp 2:6-7 ” Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah….. mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi manusia”, selayaknya dibaca berdampingan dengan Kol 1:15-20, yang menyatakan keistimewaan dan keutamaan Kristus yang tidak terdapat dalam manusia yang lain, justru karena Ia adalah Tuhan. Sebab hanya di dalam Tuhanlah segala sesuatu dapat diciptakan. Dan Tuhan yang di dalamNya semua diciptakan ini menjelma menjadi manusia dalam rupa seorang hamba, agar gambaran Allah yang merendahkan Diri dapat diwujudkan. Maka walaupun  “mengosongkan diri” selama hidup-Nya di dunia, Yesus tetaplah Tuhan; hanya saja, Ia mengambil rupa manusia.

Ibr 1: 2-3: “Pada jaman akhir ini, Ia (Allah) telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada….. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.”

Kita ketahui bahwa “Allah telah berbicara” melalui Yesus kepada para rasul dan pengikut-Nya pada saat Ia menjelma menjadi manusia. Pada saat menjadi manusia itulah Yesus menjadi gambaran Allah yang hidup, yang sebelum penjelmaan-Nya tidak kelihatan. Karena Yesus adalah “cahaya kemuliaan Allah”, maka tidak mungkin Ia berhenti menjadi Allah, karena Allah tidak mungkin kelihangan “cahaya kemuliaan-Nya” walaupun hanya 33.5 tahun.

Maka ini sangat cocok dengan perkataan Yesus sendiri pada Yoh 17:4-5, di mana Ia berkata, “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya. Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada.”

Gal 4:4-5: “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak.” Maka dari ayat ini terlihat bagaimana Rasul Paulus membedakan Yesus sebagai Anak Allah yang diutus oleh Allah Bapa, sedang kita adalah anak yang ‘diangkat’ karena ditebus oleh Kristus Anak-Nya yang Tunggal.

Jadi, kita adalah anak-anak angkat Allah di dalam Kristus (Ef 1:5), karena kita baru dapat disebut anak-anak Allah, jika kita mempunyai hidup ilahi yang diberikan oleh Kristus kepada kita, yaitu jika kita menerima Roh Kudus-Nya (lih. Rom 8:11). Hidup ilahi oleh Roh Kudus ini tidak terputuskan, sebab justru Roh Kudus itulah yang menjadikan Yesus, yang menjadi janin dalam rahim Bunda Maria, sebagai Anak Allah yang menjelma menjadi manusia.

Gereja Katolik memang mengajarkan bahwa ketika lahir di dunia, Yesus Kristus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh manusia. Ini adalah sesuatu misteri yang tidak akan pernah lagi terulangi terjadi dalam sejarah manusia, bahwa seseorang Pribadi adalah sungguh- sungguh Allah dan sungguh- sungguh manusia. Memang justru karena keunikan-Nya itu, di sepanjang sejarah banyak orang berusaha menyederhanakannya, namun malah akhirnya tidak konsisten dengan ajaran Alkitab itu sendiri.

Communicatio Idiomatum dalam diri Yesus

Maka berdasarkan penjelasan di atas, Gereja Katolik mengajarkan,  dalam satu Pribadi Yesus terdapat dua kodrat yaitu Allah dan manusia, sehingga terdapat predikat-predikat yang dapat ditujukan kepada kedua kodrat itu yang ditujukan pada satu Pribadi Yesus.  Predikat-predikat yang sesuai dengan kedua kodrat ini yang ditujukan pada satu Pribadi Yesus dalam Teologi disebut sebagai “Communicatio Idiomatum.” Ini kita lihat jelas dalam ayat-ayat Alkitab, sebagai berikut:

1. Mi 5:1: Mesias adalah seorang yang akan lahir di Betlehem (kemanusiaan Kristus) yang permulaannya sudah sejak purbakala (ke-Allahan Kristus).

2. Yes 9:5: Seorang anak laki-laki akan lahir (kemanusiaan Kristus) yang akan disebut sebagai Allah yang perkasa (ke-Allahan Kristus).

3. Yoh 8:58: Yesus berkata (dalam kemanusiaannya), bahwa sebelum Abraham jadi, Aku ada (ke-Allahan Kristus).

4. Yoh 14:6: Yesus berkata, “Aku adalah jalan (mengacu kepada kemanusiaan-Nya), Kebenaran dan Hidup” (mengacu kepada ke-Allahan-Nya).

5. Fil 2:5-11: Allah mengambil rupa seorang hamba, menjadi manusia dan wafat di kayu salib (kemanusiaan dan ke-Allahan Kristus).

6. 1 Kor 2:8, dikatakan “…kalau sekiranya mereka [penguasa dunia] mengenal-Nya, mereka tidak akan menyalibkan Tuhan yang mulia.” Kristus adalah Tuhan yang mulia dalam ke-Allahan-Nya, yang disalibkan dalam kemanusiaan-Nya. Jika dikatakan dalam Injil, “Yesus mati”, maka yang dikatakan mati di sini adalah Yesus dalam seluruh kepribadiaan-Nya, yang adalah Tuhan dan manusia. Memang secara hakekat, Tuhan tidak bisa mati, namun dalam Pribadi Yesus terdapat juga kodrat manusia selain dari kodrat Tuhan, maka Yesus dapat mati. Namun justru karena hakekat/ kodrat Yesus sebagai Allah, maka Ia dapat bangkit dari kematian-Nya, dan ini menjadi mukjizat yang terbesar yang dilakukan oleh-Nya (Mat 28:1-10; Mk 16:1-8; Luk 24:1-12; Yoh 20:1-10).

Heresi sepanjang sejarah Gereja dan tanggapan para Bapa Gereja

Berikut ini adalah ajaran-ajaran sesat yang yang terjadi di sepanjang sejarah Gereja yang berusaha menyederhanakan misteri ke-Allahan dan kemanusiaan Yesus berserta dengan tanggapan dari para Bapa Gereja untuk ‘meluruskannya’, yang jika diringkas demikian:

1. Docetism, Gnosticism, Manichaeism (abad ke- 1-3): menolak kemanusiaan Yesus: Penderitaan Yesus di salib dianggap sebagai “kepura-puraan”/ sham bukan sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi.

Tanggapan para Bapa Gereja:

St. Ignatius dari Antiokhia (35- 110), “Hanya ada satu Tabib yang aktif dalam tubuh dan jiwa…. Tuhan di dalam manusia, hidup sejati dalam kematian, putera Maria dan Putera Allah, yang pertama [sebagai putera Maria] dapat menderita, sedang yang kemudian [ sebagai Putera Allah] tidak dapat menderita, Yesus Kristus, Tuhan kita.” ((St. Ignatius dari Antiokhia, Surat kepada jemaat di Efesus, Bab 3)). Kesaksian St. Ignatius adalah sangat penting, karena ia adalah murid rasul Yohanes, yang adalah murid yang dikasihi oleh Yesus.

St. Cyril dari Yerusalem (313-386), “Maka percayalah kepada Putera Tunggal Allah yang demi menebus dosa kita turun ke dunia, dan mengambil bagi-Nya kodrat manusia seperti kita, dan dilahirkan oleh Perawan Maria dan dari Roh Kudus, dan menjadi manusia, tidak hanya kelihatannya saja atau hanya seperti sandiwara/ “show“, melainkan sungguh-sungguh terjadi; tidak hanya sekedar lewat melalui Perawan Maria seperti melalui sebuah saluran; tetapi daripadanya dibuat menjadi sungguh-sungguh daging, dan [Ia] makan dan minum seperti kita. Sebab jika Inkarnasi hanya sebuah bayangan, maka keselamatan kita hanyalah sebuah bayangan juga. Kristus terdiri dari dua kodrat, Manusia di dalam apa yang terlihat, namun [juga] Tuhan di dalam apa yang tak terlihat. Sebagai manusia [Ia] sungguh-sungguh makan seperti kita,…. namun sebagai Tuhan [Ia] memberi makan lima ribu orang dari lima buah roti (Mat 14:17- dst). ((St. Cyril dari Yerusalem, Cathecheses, No. 4:9))

2. Adoptionism (abad ke- 2 dan 3) menolak ke-Allahan Kristus. Kristus dianggap sebagai anak adopsi Allah Bapa, namun sebagai anak yang terbesar.

Tanggapan para Bapa Gereja:

Tertullian (160- 220) dalam menjelaskan Inkarnasi berkata, “Kita melihat dengan jelas dua hal yang menjadi satu, yang tidak tercampur baur, tetapi yang disatukan di dalam satu Pribadi, Yesus Kristus, Tuhan dan manusia …. Kedua kodrat ini bertindak berbeda sesuai dengan karakternya masing-masing, ….” ((Tertullian, Adversus Praxean, bab 27))

St. Thomas Aquinas (1225- 1274): “Ada orang-orang, seperti Ebion dan Cerinthus, dan kemudian Paul Samosata dan Photius yang mengakui kemanusiaan Yesus saja. Tetapi, ke-Allahan ada di dalam Dia… dengan semacam partisipasi yang istimewa terhadap kemuliaan ilahi… Pandangan ini [Adoptionism] merusak misteri Inkarnasi, karena menurut pandangan ini, Tuhan tidak mungkin mengambil daging untuk menjadi manusia, tetapi seorang manusia yang kemudian menjadi Allah.” ((St. Thomas Aquinas, Summa contra gentiles, ch. 28, nos. 2-5. Trans. by Charles J. O’Neil)) Heresi ini [Adoptionism] seolah berkata, “manusia dibuat menjadi Firman” daripada “Firman itu menjadi manusia” (Yoh 1:14). “Jika Kristus bukan sungguh-sungguh Tuhan, bagaimana kita mengartikan perkataan St. Paul, “Ia mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba?” (Flp 2: 6-7, 9). ((Ibid.))

3. Arianism (abad ke 3 -4) menolak Allah Tritunggal. Kristus dianggap bukan Tuhan, namun sebagai malaikat yang tertinggi (super-angel). Lebih lanjut tentang heresi Arianism ini, silakan klik di sini.

Heresi ini diluruskan oleh:

St. Athanasius (296-373), “Putera Allah ada di dalam Allah Bapa …. Bapa ada di dalam Putera. Mereka adalah satu, tidak terbagi menjadi dua, tetapi mereka [dikatakan] dua karena Bapa adalah Bapa dan bukan Putera, demikian sebaliknya; dan kodrat mereka [Bapa dan Putera] adalah satu. Allah Putera adalah Tuhan, dalam satu hakekat (homo- ousios) dengan Allah Bapa. Jika Allah Putera mempunyai awal (artinya diciptakan oleh Bapa), maka terdapat suatu waktu di mana Allah tidak mempunyai Sabda atau Kebijaksanaan yang adalah cahaya kemuliaan-Nya (Ibr 1:3); ini bertentangan dengan wahyu Allah maupun akal sehat. Karena Bapa itu tetap selamanya, maka Sabda-Nya dan Kebijaksanaan-Nya pasti juga tetap selamanya.” ((St. Athanasius, Four Discourses Against the Arians, n.3:3, 4, in NPNF, 4:395))

St. Gregorius Nazianzen (328-389), “…Putera Allah berkenan untuk menjadi dan dipanggil sebagai Anak Manusia, tidak karena Ia mengubah Diri-Nya (karena Ia tidak dapat berubah); tetapi dengan mengambil bagi diri-Nya sesuatu yang bukan Dia (yaitu manusia, sebab Ia penuh dengan kasih kepada manusia), sehingga Yang tak terpahami menjadi dapat dipahami…. Maka Yang tak dapat tercampur menjadi tercampur, Roh dengan daging, Kekekalan dengan waktu,…. Ia yang tak dapat menderita menjadi dapat menderita, yang Kekal dapat menjadi mati. Karena Iblis ….setelah ia menipu kita dengan harapan agar kita menjadi tuhan, ia mendapatkan dirinya sendiri tertipu oleh penjelmaan Tuhan dalam kodrat manusia; sehingga dengan menipu Adam… Ia harus berhadapan dengan Tuhan, maka Adam yang baru [Yesus Kristus] menyelamatkan Adam yang lama…..” ((St. Gregory of Nazianzen, Oration 39))

Konsili Nicea (325) yang menghasilkan Credo Nicea: Kristus adalah “sehakekat dengan Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar.”

 

4. Apollinarisme (abad ke-4) yang menolak kemanusiaan Yesus dengan mengajarkan bahwa Yesus tidak mempunyai jiwa manusia; ke-Allahan-Nya menggantikan jiwa manusia itu.

Tanggapan para Bapa Gereja:

St Athanasius, St. Basil, St. Gregorius Nazianzen dan St. Gregorius dari Nissa (abad ke-4) yang mengajarkan, bahwa kalau Kristus tidak mempunyai jiwa manusia, maka Ia bukan sungguh-sungguh manusia. Jika Kristus tidak mengangkat/ mengambil baginya jiwa manusia, Ia tidak dapat menebus jiwa manusia.

Konsili Konstantinopel (381) dan Sinode Uskup di Roma (382): Sabda Tuhan tidak menjadi daging untuk menggantikan jiwa manusia, melainkan untuk mengambilnya, menjaganya dari dosa dan untuk menyelamatkannya. Pengajaran Apollinaris dinyatakan sesat.

 5. Nestorianisme (abad ke-4-5) yang menolak keutuhan Pribadi Yesus. Maka Maria dilihat hanya sebagai ibu Yesus sebagai manusia, bukan ibu Yesus yang adalah Tuhan. Yesus dikatakan sebagai hanya “Temple of the Logos” dan bukannya “Logos“/ Sabda itu sendiri.

Tanggapan Bapa Gereja:

St. Cyril dari Alexandria (380-444) menjelaskan bahwa Maria adalah Bunda Allah sebab Kristus adalah Allah: “Saya heran akan pertanyaan yang menanyakan apakah Perawan Suci harus disebut sebagai Bunda Allah, sebab itu hampir sama dengan menanyakan apakah Puteranya Putera Allah atau bukan?” ((St. Cyril of Alexandria, Epistle 1,4)). Ia mengambil baginya kodrat kemanusiaan secara penuh dari Bunda Maria supaya Ia dapat menderita dalam kemanusiaan-Nya bagi kita. “Ia memberikan tubuh-Nya untuk mati [bagi kita], meskipun secara kodrat-Nya [sebagai Allah] Ia adalah hidup dan kebangkitan.” ((Lihat St. Cyril of Alexandria, First Letter to Nestorius, trans. Henry Percival, in Nicene and Post Nicene Fathers, 14: 201-205)) Kemudian dalam surat keduanya yang dibacakan dalam Konsili Efesus (431) St. Cyril mengajarkan, “Sang Sabda, setelah menyatukan secara hypostatik dalam Diri-Nya, daging yang dihidupi oleh jiwa manusia yang rasional, Ia menjadi manusia dan disebut sebagai Anak Manusia.” Dengan Inkarnasi, maka Putera Allah menjelma menjadi manusia dalam rahim Maria. Ini terjadi dalam saat yang berasamaan, sehingga bukan terjadi manusia terlebih dahulu, baru kemudian Sabda itu turun memenuhinya. Dengan demikian, maka Yesus dapat mengatakan bahwa kelahiran-Nya dalam daging itu sungguh-sungguh adalah kelahiran-Nya. “Maka para Bapa Gereja tidak segan-segan mengatakan bahwa Perawan Suci (Maria) adalah Bunda Allah.” ((D 111, St. Cyril of Alexandria, Second Letter to Nestorius, Ibid.))

Maka kita dapat mengatakan bahwa pada Yesus terjadi dua macam ‘kelahiran’, yang pertama adalah sebagai Allah, Ia lahir/ berasal dari Bapa sebelum segala abad, dan yang kedua, Ia lahir sebagai manusia melalui Bunda Maria.

6. Monophisitism (abad ke-5) yang menolak adanya kemanusiaan Kristus, dan adanya dua kodrat dalam diri Yesus (sebagai Allah dan manusia). Dikatakan oleh bidaah ini bahwa sebelum inkarnasi ada dua kodrat, namun setelah inkarnasi hanya satu, yaitu ke-Allahan-Nya.

Tanggapan para Bapa Gereja:

St. Leo Agung (440-461) dengan tulisannya yang terkenal, “Tome of Leo” mengajarkan, “Tanpa kehilangan sifat-sifat yang berkenaan dengan kodrat dan hakekatnya, di dalam Satu Pribadi, kemuliaan mengambil kerendahan, kekuatan mengambil kelemahan, kekekalan mengambil kematian, dan untuk membayar hutang yang menjadi kondisi kita, kodrat yang tidak bisa berubah disatukan dengan kodrat yang bisa berubah, sehingga untuk memenuhi kepentingan kita, satu Pengantara kita antara Allah dan manusia, [yaitu] Manusia Yesus Kristus, dapat mati dengan kodrat-Nya sebagai manusia, namun tidak dapat mati dengan kodrat-Nya sebagai Allah. Maka Allah yang benar sungguh lahir di dalam keseluruhan dan kesempurnaan kodrat manusia, lengkap di dalam segala sesuatunya sebagai Allah, dan lengkap di dalam segala sesuatunya sebagai manusia….. Dia mengambil rupa seorang hamba tanpa noda dosa, Ia menaikkan kodrat manusia, tanpa mengurangi kodrat ke-Allahan-Nya: sebab pengosongan Dirinya adalah dengan membuat Yang tak kelihatan menjadi kelihatan, Pencipta dan Tuhan atas segala sesuatu mau menjadi mahluk ciptaan, adalah perendahan Diri bukan karena kegagalan kuat kuasa-Nya namun karena pernyataan belas kasihan-Nya…Kedua kodrat [ke- Allahan dan ke-manusiaan-Nya] tetap mempertahankan karakter yang sesuai tanpa menghilangkan satu sama lain…. ke-AllahanNya tidak menghapuskan karakter hamba, ke-hamba-anNya tidak mengurangi karakter ke-Allahan-Nya…Di dalam kelahiran-Nya yang baru [sebagai manusia] … Ia yang tidak kelihatan dibuat menjadi kelihatan… Allah semesta alam mengambil rupa seorang hamba, menyembunyikan kemuliaan-Nya yang besarnya tak terhingga, … Ia yang kekal tidak segan untuk tunduk di bawah hukum kematian…. Sebab setiap kodrat melakukan apa yang sesuai dengan kodratnya dengan keterlibatan yang timbal balik dari kodrat lainnya…. Kodrat yang satu [ke-Allahan] berkilau dengan mukjizat-mukjizat, kodrat yang lain [kemanusiaan] jatuh dalam luka-luka. Seperti Sabda yang tidak menarik diri dari kesetaraan-Nya dengan Allah Bapa yang mulia, maka tubuh-Nya juga tidak membuang kodrat-Nya sebagai manusia. Sebab (dan ini harus disebut lagi dan lagi) Pribadi yang satu dan sama itu adalah sungguh Putera Allah dan sungguh Putera manusia. ((Denz 143-144))

Konsili Chalcedon (451):
“…. Bahwa Sang Putera, Tuhan Yesus Kristus kita, adalah satu dan sama, sama sempurna di dalam Ke-Allahan-Nya dan sama sempurna di dalam kemanusiaan-Nya, sungguh Allah, sungguh manusia, mempunyai jiwa manusia yang rasional dan sebuah tubuh, sehakekat dengan Bapa di dalam ke-Allahan dan sehakekat dengan kita di dalam kemanusiaan, ‘sama dengan kita dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa’ (Ibr 4:15), berasal dari Bapa sebelum segala abad dalam kodrat ke-Allahan-Nya, lahir di dalam waktu bagi kita dan bagi keselamatan kita dari Perawan Maria, Bunda Allah, dalam kodrat kemanusiaan-Nya. Kita mengakui Kristus yang satu dan sama, Sang Putera, Tuhan, yang Tunggal, di dalam dua kodrat, tanpa tercampur baur, tanpa perubahan, tidak dapat dibagi-bagi dan dipisahkan. Perbedaan kodrat tidak pernah dihapuskan dengan persatuannya, melainkan sifat-sifat dari kedua kodrat itu yang tetap tidak terganggu, keduanya bersama-sama membentuk satu Pribadi dan hakekat (hypostasis), tidak terbagi menjadi dua pribadi, tetapi di dalam Putera Tunggal yang satu dan sama, Sabda Ilahi, Tuhan Yesus Kristus….”

 

7. Monothelitism (abad ke-7) yang menolak kemanusiaan Yesus dengan mengatakan bahwa di dalam diri Yesus hanya ada satu keinginan dan satu prinsip tingkah laku/ operasi, yaitu yang dari Allah saja.

 

Tanggapan Bapa Gereja:

St. Paus Agatho (678-681), “…”Sebab kami menolak penghujatan yang membagi-bagi dan yang mencampuradukkan [kedua kodrat dalam Diri Yesus]…. Karena Tuhan Yesus Kristus yang sama mempunyai dua kodrat, maka Ia juga mempunyai dua keinginan dan dua operasi, yaitu [menurut] Allah dan manusia: Keinginan dan operasi Ilahinya sesuai dengan hakekat Allah sepanjang segala abad: sedangkan kemanusiaan-Nya, Ia menerima dari kita, mengambil kodrat kita di dalam waktu…. Sesudah Inkarnasi-Nya, maka ke-Allahan-Nya tidak dapat dipikirkan tanpa kemanusiaan-Nya dan kemanusiaan-Nya tanpa ke-Allahan-Nya.” ((St. Pope Agatho, Letter in preparation for the 6th Ecumenical Council, Constantinople III, trans. by Henry R Percival in NPNF, 14:331-333))

Konsili Lateran (649):
Cann. 10- 11 mengajarkan bahwa Yesus mempunyai dua kehendak dan operasi [Allah dan manusia] yang disatukan secara terus menerus, dan bahwa melalui kehendak bebas-Nya dan operasi-Nya itulah Ia mengerjakan keselamatan kita.

Konsili Konstantinopel III (680-681):
“Dan kami menyatakan adanya dua keinginan di dalam Dia, dan dua prinsip operasi tindakan yang tidak mengalami pembagian, perubahan, keterpisahan, pencampur-adukkan sesuai dengan pengajaran para Bapa Gereja. Dan kedua keinginan tersebut tidak dalam pertentangan, seperti yang dikatakan oleh para bidat, … tetapi keinginan manusia-Nya mengikuti dan tidak menahan ataupun berebut, melainkan taat kepada keinginan Ilahi yang mahakuasa.”

8. Agnoetae (abad ke-6) yang menolak kepenuhan pengetahuan Yesus sebagai manusia sebagai akibat dari persekutuannya dengan Allah (sehubungan dengan akhir jaman Mrk 13:32). Mengenai hal ini sudah pernah saya tuliskan di sini, silakan klik.

Tanggapan Bapa Gereja:

St. Paus Gregorius Agung (540-604):
“Allah Putera yang Mahatahu mengatakan bahwa Ia tidak tahu harinya [akhir jaman, sehingga] Ia tidak menyatakannya, bukan disebabkan oleh sebab Ia sendiri tidak tahu, tetapi karena Ia tidak mengizinkan hal tersebut diketahui sama sekali…. Putera Tunggal Allah yang menjelma menjadi manusia yang sempurna untuk kita, pasti mengetahui hari dan saatnya Penghakiman Terakhir di dalam diriNya sebagai manusia, namun demikian Ia tidak mengetahui hal itu dari kapasitasnya sebagai manusia…. Sebab untuk maksud apa bahwa Ia yang menyatakan DiriNya sebagai Kebijaksanaan Allah yang menjelma, jika ada sesuatu yang tidak diketahui olehNya sebagai Kebijaksanaan Allah? … Juga tertulis bahwa, …. Allah Bapa menyerahkan segala sesuatu ke dalam tanganNya [Yesus Kristus di dalam Yoh 13:3]. Jika disebutkan segala sesuatu, tentu termasuk hari dan saat Penghakiman Terakhir. Siapa yang begitu naif untuk mengatakan bahwa Allah Putera menerima di dalam tangan-Nya sesuatu yang tidak diketahui olehNya?” ((Pope St. Gregory the Great, Denz. 248))

St. Maximus (580-662):
Jika para nabi saja dapat mengetahui hal- hal di masa depan yang akan terjadi, betapa lebih lagi Kristus dapat mengetahui semua itu melalui kesatuan-Nya dengan Sang Sabda. ((Lihat Quaestiones et dubia 66 (I, 67), PG 90: 840))

Tanggapan Gereja Katolik terhadap Protestant Kenotic Christology

Sedangkan untuk menanggapi Kristologi Kenotik menurut Protestant, Paus Pius XII dalam memperingati Konsili Chalcedon yang ke 1500, menulis surat ensiklik Sempiternus Rex pada tahun 1951, yang menolak penyalah-artian ayat Filipi 2:7 pada mereka yang berpikir bahwa tidak ada keilahian di dalam Sabda yang menjadi manusia dalam diri Kristus. Menurut Bapa Paus, ini adalah maksud yang keliru, seperti halnya heresi Docetism yang mengklaim sebaliknya (yaitu yang mengecam kemanusiaan Yesus). Ini mengurangi keseluruhan misteri Inkarnasi dan Penebusan ….. Selanjutnya Bapa Paus menegaskan kembali apa yang telah ditetapkan di dalam The Tome of Leo, “Ia yang sungguh-sungguh Allah telah lahir, lengkap di dalam ke-Allahan-Nya, dan lengkap di dalam kemanusiaan-Nya.” ((Lihat Ep. xxviii,3. PL 54: 763. Cf. Serm. xxiii, 2. PL 56:201))

Kesimpulan

Dengan mempelajari dan merenungkan ayat- ayat Alkitab dan juga tulisan para Bapa Gereja, sesungguhnya kita dapat melihat secara obyektif bahwa sejak dari awal sesungguhnya iman para rasul dan para Bapa Gereja adalah: dalam Diri Yesus, Putera Allah yang menjelma menjadi manusia, terdapat dua kodrat yaitu Allah dan manusia. Sehingga Yesus Kristus dalam hidupnya di dunia adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Jadi anggapan yang mengatakan bahwa Yesus hanya manusia biasa ketika hidup selama 33.5 tahun di dunia (pandangan Kenotik Protestan) sebenarnya merupakan ajaran yang dipelopori oleh Martin Luther, namun ajaran ini tidak pernah diajarkan oleh para rasul dan para Bapa Gereja. Martin Luther mengajarkan Fil 2:7 dengan melepaskan konteksnya dengan ayat-ayat lainnya di Alkitab, atau tepatnya menggabungkan dengan beberapa ayat lainnya yang kelihatannya mendukung pendapatnya dan menginterpretasikannya kemudian bahwa Putera Allah berhenti menjadi Allah selama 33.5 tahun sewaktu Yesus hidup di dunia.

Sesungguhnya kenyataan ini layak membuat kita semua merenung dan menyadari bahwa dengan merenungkan Alkitab saja, tanpa membaca pengajaran para rasul dan Bapa Gereja dapat menghantar kita pada kesimpulan yang keliru, yang tidak saja tidak sesuai dengan ayat-ayat Alkitab lainnya, namun juga tak sesuai dengan akal sehat. Namun tentu saja, kita tak bisa memaksakan apa yang menjadi ajaran Gereja Katolik kepada mereka yang tidak dapat atau tidak mau menerimanya. Hanya mereka yang mencari kebenaran dan memiliki keterbukaan akan pimpinan Roh Kudus, akan melihat kebenaran dari ajaran para Bapa Gereja yang dijaga dengan setia oleh Magisterium Gereja Katolik.

Memang jika seseorang menutup mata terhadap kenyataan sejarah dan pengajaran para Bapa Gereja, ia dapat menginterpretasikan suatu ayat, sesuai dengan pengertiannya sendiri. Atau bahkan dengan berani mengatakan bahwa yang paling benar adalah pengertiannya sendiri dan semua pengertian para Bapa Gereja (dan bahkan para rasul) itu keliru semua. Jika kita pernah berpikir demikian, mungkin ada baiknya kita menilik ke dalam batin kita, dan mohon kepada Roh Kudus karunia kerendahan hati, untuk jujur melihat ke dalam diri kita. Semoga kita dapat melihat begitu banyaknya keterbatasan yang kita miliki dalam pemahaman Alkitab, dan justru karena itu, kita perlu dengan rendah hati mempelajari dan melihat dengan hati terbuka terhadap semua pengajaran yang diberikan oleh orang- orang yang lebih mendalami Sabda Tuhan daripada kita. Dan semoga kita dapat dengan lapang hati melihat bahwa mereka yang paling mengenal Pribadi Yesus adalah mereka yang pernah hidup, makan, berjalan bersama Yesus, yaitu Bunda Maria Santo Yusuf dan dan para rasul.

Pengajaran para rasul itulah yang diteruskan oleh para Bapa Gereja dan Magisterim Gereja Katolik dengan setia, dan jika kita ingin mengenal dan mengasihi Kristus, maka sudah selayaknya kita belajar dari mereka. Jika mereka mengajarkan bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia sewaktu hidup-Nya di dunia, maka siapakah kita untuk mengatakan sesuatu yang lain daripada itu?

Ya, Tuhan, bimbinglah kami untuk memahami misteri kasih-Mu dalam diri Yesus yang adalah Allah dan manusia. Karuniakanlah kepada kami kerendahan hati untuk menerima pengajaran-Mu, walaupun belum sepenuhnya dapat kami pahami dengan sempurna. Semoga Roh Kudus-Mu memimpin kami agar kami dapat dengan lapang menerima kebenaran yang Kau-nyatakan melalui Sabda-Mu, pengajaran para rasul dan para penerus mereka. Biarlah kasih kami kepada-Mu mengatasi pengertian pribadi kami; dan dengan kasih ini Engkau membimbing kami kepada seluruh Kebenaran.
Amin
.”

Apakah akhir jaman akan segera terjadi?

7

Pertanyaan:

SYALOM BU INGRID ,

BARU HARI INI SAYA MELIHAT DAN MEMBACA SEKILAS WEB SITE INI , YAITU TENTANG AKHIR JAMAN .

PERTANYAAN SAYA SBB :

1. SEKARANG INI KITA HIDUP DI JAMAN YG MANA ? JAMAN YG SDH MENGALAMI TANDA -TANDA JAMAN DI AKHIR JAMAN ??? JAMAN DI MANA ANTI KRISTUS SUDAH ADA ? ATAU JAMAN YANG TINGGAL MENANTI KEDATANGAN YESUS KE 2 KALI , KRN INJIL SUDAH TERSEBAR KE SELURUH DUNIA ???

KRN MENURUT ALKITAB : SETELAH INJIL TERSEBAR KE SELURUH DUNIA , MAKA TUHAN AKAN DATANG .

2. JIKA JAWABAN ANDA : BELUM SEMUANYA , BERARTI KITA HIDUP DI JAMAN MANA ????

3. BANYAK UMAT KATOLIK SEKARANG , ANTI AKHIR JAMAN , MEREKA TDK PERCAYA SEKARANG JAMAN AKHIR KRN TANDA -TANDA JAMAN SDH TERJADI TIAP HARI DI DUNIA INI , DAN SAYA DI MISA MINGGUAN DI SURABAYA JUGA TDK MENDENGAR KOTBAH -KOTBAH ROMO YANG MENGINGATKAN HAL TSB UNTUK WASPADA DAN BERJAGA -JAGA . BAHKAN SEBAGIAN BESAR UMAT KATOLIK , MENGATAKAN ITU HANYA PROVOKASI KRISTEN PROTESTANLAH , KRISTEN -KRISTEN LAINNYA .

SEDANGKAN DI KOTBAH -KOTBAH PENDETA SEKARANG DI SEBAGIAN BESAR KOTA -KOTA BESAR , JUSTRU MEMINTA UMATNYA UNTUK WASPADA DAN BERJAGA -JAGA .

PERTANYAAN SAYA : APAKAH MEMANG KITA SEBAGAI UMAT KATOLIK , YA PUAS MELIHAT HAL INI ???? DALAM ARTI : SELALU BERJALAN DI BELAKANG / TERLAMBAT . DULU KARISMATIK DI TENTANG , SEKARANG DI AKUI , DULU SAKRAMEN ADORASI TDK BOLEH SETIAP WAKTU , SEKARANG DI PERBOLEHKAN RUMAH -RUMAH ADORASI .

KENAPA SEKARANG TTG HAL AKHIR JAMAN PUN TDK TERUS MENERUS DI INGATKAN KE UMAT ????, HARUSNYA ROMO -ROMO SE INDONESIA MEMBAHAS HAL INI AGAR UMAT TDK ANTIPATI HAL -HAL DIATAS DI KARENAKAN MEREKA MENDENGARNYA JUSTRU DARI SAUDARA -SAUDARA KITA DI KRISTEN DAN DI MANA IMAN MEREKA TDK TERBIASA UNTUK BERDEBAT SEHINGGA MALAH MENGHINDAR ATAU TDK PERCAYA AKHIR JAMAN INI , MALAH JADI CUEK . APAKAH INI TDK DI RASAKAN DI KOTA ANDA ???

SAYA PRIHATIN , HANYA SEDIKIT DI KALANGAN KATOLIK DI KOTA SAYA SURABAYA , MELALUI CELL -CELL MENGUNDANG PEMBICARA -PEMBICARA KATOLIK YG TAHU TTG AKHIR JAMAN INI , MEREKA DI KARUNIA I PENGLIHATAN 2 , HIKMAT -HIKMAT , SEHINGGA TUHAN YESUS BERPESAN KEPADA MEREKA . CELL-CELL INI MALAH DI CURIGAI , DI ANGGAP EXCLUSIVE DLL OLEH SEBAGIAN BESAR UMAT BAHKAN PENGURUS GEREJA KATOLIK SENDIRI .

BAGI SAYA SENDIRI : PUJI TUHAN , YESUS MASIH MAU MENJUMPAI KAMI SEKELUARGA , SEHINGGA KRN YESUS MENGASIHI KAMI ,SEHINGGA KAMI PUN TERTULAR UNTUK SALING MENGASIHI KEPADA SESAMA KAMI . BAGI SAYA ITU LEBIH PENTING DI BANDINGKAN KEHIDUPAN DI ISI PERTENTANGAN TTG IMAN AGAMA , SUKU , RAS , KEDUDUKAN DAN PANGKAT . SEBAB SESUAI KATA YESUS : IMAN TANPA PERBUATAN ADALAH MATI .

OLEH SEBAB ITU SAYA MEMOHON : BIJAKNYA SETIAP UMAT YG TULIS DI DISKUSI INI , DI TANYAKAN LANGSUNG KE PRIBADI -PRIBADI MASING -MASING : HAL -HAL APA SAJA YANG SUDAH DI LAKUKAN SAAT INI BAGI GEREJA DAN NEGARANYA INDONESIA INI , DI BANDINGKAN BINGUNG BERTANYA TERUS SEKARANG INI JAMAN APA ??? SEPERTI PERTANYAAN SAYA DI ATAS . KRN DARI JAWABAN SALAH SATU UMAT KATOLIK , ATAS TOPIK BALASAN SAYA TTG AKHIR JAMAN DI WEB LAIN , DIA INFOKAN SEMUA UMAT KATOLIK HARUS MELIHAT WEB INI UNTUK KEJELASAN AKHIR JAMAN .

NAH , SAYA TINGGAL MENUNGGU JAWABAN TEAM IBU YG LEGAL DAN LENGKAP SECARA GEREJAWI INI , KRN SAYA HANYALAH SALAH SATU UMAT KATOLIK YANG BERDOSA , YANG TIAP HARI MINTA AMPUN DOSA SAYA DAN KELUARGA , LANGSUNG KEPADA TUHAN . SAYA HANYA PERCAYA TUHAN BUKAN MANUSIA TERMASUK ROMO , PENDETA DAN ORANG -ORANG SUCI LAINNYA . MENGAPA ??

KRN DI ALKITAB TERBUKTI : SEJAK JAMAN ADAM S/D SEKARANG : MANUSIA SELALU JATUH DI DALAM DOSA , HANYA TUHAN YESUS SAJA YG BERTAHAN S/D DI KAYU SALIB . SEHINGGA SAYA TDK PERPESONA DGN BANYAKNYA NAMA -NAMA ROMO DI WEB INI , SAYA CUMA MAU MENANYAKAN BAGAIMANA JAWABAN WEB INI UNTUK PERTANYAAN SAYA DI ATAS.

TERIMA KASIH , SEMOGA KASIH , DAMAI DAN SUKACITA , KESEHATAN JASMANI DAN ROHANI ,KESEMBUHAN PENYAKIT TUBUH , JIWA DAN ROH , PERLINDUNGAN DARI yg jahat , BERKAT PEKERJAAN YG MELIMPAH , MUJIZAT YG NYATA SETIAP HARI , MAHKOTA KEHIDUPAN , CATATAN NAMA DALAM KITAB KEHIDUPAN , ISTANA BAIK DI SURGA MAUPUN DI BUMI , YAITU : KEDAMAIAN DAN KETENGAN DI HATI , MELINGKUPI KITA DAN ORANG -OARANG YG KITA CINTAI SEKARANG , SELALU DAN SELAMANYA , AMIN

Jawaban:

Shalom Ronald,

Terima kasih atas kunjungan anda ke situs Katolisitas. Terima kasih juga atas sharing anda tentang keprihatinan anda tentang menyikapi akhir jaman. Ya, memang kita selalu harus berjaga-jaga menyambut kedatangan Yesus yang kedua di akhir jaman nanti.

Berikut ini saya akan menyampaikan tanggapan atas pertanyaan anda, berdasarkan apa yang saya ketahui dari ajaran Gereja Katolik:

1. Kita sekarang hidup di dalam masa yang di sebut Masa Gereja, di mana Kristus meraja di dalam Gereja-Nya. Masa Gereja ini terbentang antara masa setelah kebangkitan Yesus sampai kedatangan Yesus yang kedua di akhir jaman. Masa ini adalah masa yang digambarkan dalam kitab Wahyu sebagai “seribu tahun” (Why 20), namun berdasarkan interpretasi yang diajarkan oleh para Bapa Gereja , terutama St. Agustinus, maka seribu tahun ini diartikan sebagai masa yang cukup lama. Selanjutnya mengenai hal ini, silakan membaca di artikel: Mengapa Gereja Katolik tidak mengajarkan kerajaan literal 1000 tahun, silakan klik.

Di dalam masa Gereja ini, telah terjadi beberapa jaman di mana terdapat orang-orang yang dapat dikatakan sebagai Antikristus, sehubungan dengan perbuatannya yang menempatkan dirinya sebagai mesias (tentu ini mesias palsu) dan yang menyebabkan penganiayaan terhadap para pengikut Kristus, seperti: Kaisar Nero, Lenin, Marx, Hitler, dst.

Memang salah satu tanda akhir jaman, seperti disebutkan dalam Mat 24:14 adalah Injil akan tersebar ke seluruh dunia, dan memang itulah yang terjadi sekarang, terutama dengan meluasnya misi evangelisasi dan peran mass media di seluruh dunia. Namun apakah benar-benar semua orang pernah mendengar tentang Injil, ini sebenarnya tidak dapat secara persis kita ketahui, (misalnya mereka yang di pedalaman Tibet/ China atau bahkan mereka yang di pedalaman Indonesia) maka, kita tidak pernah dapat dengan yakin mengatakan bahwa semua orang di seluruh dunia pasti telah mengenal/ pernah mendengar tentang Injil Kristus.

2. Maka dengan rendah hati kita harus mengakui bahwa kita tidak dapat sepenuhnya mengetahui apakah kita ini sudah ada di jaman yang paling akhir atau belum. Atau jika ada yang bertanya, apakah akhir jaman akan terjadi dalam generasi kita? Maka kita hanya dapat berkata, bisa ya, bisa juga tidak. Sebab, memang sudah ada tanda- tanda bahwa Injil tersebar ke seluruh dunia, tetapi secara fakta dan efektifnya, kita tidak dapat mengetahuinya secara persis.

Di samping itu, perlu juga kita ketahui bahwa penyebaran Injil ke seluruh dunia bukan satu-satunya tanda akhir jaman. Menurut Alkitab (dan juga KGK 674), pertobatan seluruh Israel, sebagai bangsa pilihan Allah, akan mendahului akhir jaman, sebab dikatakan, “Dengan jalan demikian seluruh Israel akan diselamatkan, seperti ada tertulis: “Dari Sion akan datang Penebus, Ia akan menyingkirkan segala kefasikan dari pada Yakub…..Sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya.” (Rom 11:26,29). Mengenai kapan dan bagaimana pertobatan semua Israel ini terjadi, tidak ada yang mengetahui: akankah terjadi sesaat sebelum Yesus datang, ataukah akan terjadi bertahap secara nyata menjelang kedatangan-Nya. Bahwa sekarang sudah mulai terjadi pertobatan sebagian umat Yahudi menjadi Katolik, itu memang fakta, sebab di Amerika ini sudah ada perkumpulan organisasinya. Tetapi apakah sudah melibatkan semua orang Yahudi di dunia? Jawabnya, belum. Namun pada saat Yesus datang kedua kali maka bangsa Israel akan mengakui Yesus sebagai yang datang dalam nama Tuhan (Mat 23:39).

Kemudian, menurut pengajaran Gereja Katolik, menjelang akhir Gereja juga akan diuji:

KGK 675    Sebelum kedatangan Kristus, Gereja harus mengalami ujian terakhir yang akan menggoyahkan iman banyak orang (Bdk. Luk 18:8. Mat 24:12). Penghambatan, yang menyertai penziarahannya di atas bumi (Bdk. Luk 21:12. Yoh 15:19-20), akan menyingkapkan “misteri kejahatan”. Satu khayalan religius yang bohong memberi kepada manusia satu penyelesaian semu untuk masalah-masalahnya sambil menyesatkan mereka dari kebenaran. Kebohongan religius yang paling buruk datang dari Anti-Kristus, artinya dari mesianisme palsu, di mana manusia memuliakan diri sendiri sebagai pengganti Allah dan mesias-Nya yang telah datang dalam daging (Bdk. 2 Tes 2:4-12; 1 Tes 5:2-3; 2Yoh 7; 1 Yoh 2:18.22).

Lalu, Gereja mengingatkan kita akan kedatangan Antikristus dan segala tipu muslihatnya, yang mengatakan bahwa pengharapan mesianis akan terjadi di dalam sejarah manusia. Gereja Katolik menolak ide ini, “Gereja telah menolak pemalsuan Kerajaan yang akan datang juga dalam bentuknya yang halus, yang dinamakan “milenarisme”, tetapi terutama bentuk politis dari mesianisme sekular yang secara mendalam bersifat salah.” (KGK 676)

Maka, jika kemudian para Romo tidak mengajarkan adanya ide pengangkatan rahasia dan kerajaan literal 1000 tahun, itu bukan karena mereka “ketinggalan jaman”, tetapi karena memang ide millenarisme itu bukan merupakan pengajaran Gereja Katolik. Sebab bermacam teori tentang kerajaan 1000 tahun itu sebenarnya merupakan interpretasi pribadi para pembuat teori millenarisme yang masing-masing mengklaim mengambil dasar Alkitab (silakan klik kembali di sini)

Magisterium Gereja Katolik sangat berhati-hati dalam hal ini, justru karena menyadari mandat yang mereka terima langsung dari Kristus untuk mengajar/ berbicara atas nama-Nya, sehingga mereka tidak begitu saja memperkirakan akhir jaman. Sebab Rasul Petrus, Paus yang pertama, mengatakan, “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” (2 Pet 1:21-22).

3. Maka Gereja Katolik memang tidak pernah mengajarkan kapan waktunya akhir jaman, sebab Gereja memegang pengajaran dari Kristus, “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.” (Mat 24: 42). Dan juga pengajaran Rasul Paulus, “Tetapi tentang zaman dan masa …. tidak perlu dituliskan, karena kamu sendiri tahu benar-benar, bahwa hari Tuhan datang sebagai pencuri…. Sebab itu baiklah jangan kita seperti orang-orang lain, tetapi berjaga-jaga dan sadar.” (1 Tes 5:2, 6).

Maka memang penekanan yang diajarkan oleh Gereja Katolik adalah “berjaga-jaga”-nya dan bukan “kapan waktunya”. Nah, berjaga-jaga menyambut kedatangan Tuhan ini adalah dengan hidup kudus, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama. Maka untuk panggilan hidup kudus inilah yang diajarkan dan ditekankan, seperti yang dinyatakan dalam Konsili Vatikan II (1962-1965), dalam Konsititusinya tentang Gereja, bab V: Panggilan Umum untuk Kesucian dalam Gereja, silakan klik. Tentang apa itu Kekudusan, silakan klik di sini, dan bahwa Semua orang dipanggil untuk Hidup kudus, silakan klik di sini.

Jadi tidak benar bahwa Gereja Katolik tidak menganjurkan umatnya untuk berjaga-jaga. Bahwa mungkin khotbah untuk berjaga-jaga bisa lebih ditingkatkan, saya juga setuju, sebab memang pesan untuk hidup kudus itu seharusnya di ketahui oleh semua umat Katolik. Namun khotbah untuk berjaga-jaga ini selayaknya tidak ditambah dengan ramalan-ramalan seperti tahun ke sekian tanggal dan bulan sekian, akhir jaman atau ”pengangkatan rahasia”. Khotbah semacam ini sudah berkali-kali ada dalam sejarah, anda cukup klik di internet, dan anda akan melihat bahwa ramalan akhir jaman sudah bertubi-tubi ada sebelum kita, dan tentu tidak ada yang benar, karena sampai sekarang tidak terjadi. Tentu ini bukan berarti bahwa kita harus menganggap “sepi” semua tulisan tentang akhir jaman, namun agar kita lebih menangkap esensinya yaitu: berjaga-jagalah sekarang, persiapkan diri sebaik mungkin untuk menyambut kedatangan Kristus, agar pada saatnya kita dapat melihat Dia dan masuk dalam Kerajaan-Nya. Maka benar pernyataan anda bahwa selayaknya kita merenungkan, “apakah yang sudah kita lakukan untuk Tuhan, untuk Gereja dan sesama.

Jadi jika Gereja Katolik tidak mengajarkan kapan waktu akhir jaman bukan berarti karena Gereja Katolik “terlambat”. Saya rasa, sampai kapanpun, Gereja Katolik tidak akan mengajarkan/ meramalkan akhir jaman. Ini justru membuktikan penghormatan Gereja Katolik sendiri terhadap Kristus Sang Kepala yang mengatakan, “sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.” (Mat 24:42).

Juga menurut ajaran Gereja Katolik, jika kita telah semampu kita berjaga-jaga dengan berusaha hidup kudus, maka kita tidak perlu takut menghadapi akhir jaman/ kedatangan Kristus. Malah kita dapat mengharapkan kedatangan Dia, sebagai Penyelamat dan Raja kita dengan rindu. Perhatikanlah doa yang diucapkan di dalam Misa Kudus, persis setelah Bapa Kami. Imam mengatakan/ menyanyikan:

“Ya Bapa, bebaskanlah kami dari segala kemalangan, dan berilah kami damai-Mu. Kasihanilah dan bantulah kami, supaya bersih dari noda dosa dan terhindar dari segala gangguan, supaya kami dapat hidup dengan tenteram, sambil mengharapkan kedatangan Penyelamat kami, Yesus Kristus…..”

Lalu bersama- sama kita mengatakan/ menyanyikan:

Sebab Tuhanlah Raja, yang mulia dan berkuasa, untuk selama-lamanya.”

Maka, jika kita telah semampu kita berjaga-jaga, kita tidak perlu resah, sebab Tuhan Yesus dan Penyelamat dan Raja kita akan menyelamatkan kita. Bencana akan datang, dunia akan berlalu, tetapi iman dan kasih kita akan Kristus akan membawa kita kepada kehidupan yang kekal bersama Tuhan.

4. Mengenai hal Karismatik dalam Gereja Katolik, mungkin suatu saat akan kami bahas juga di situs ini, namun selayaknya anda mengerti bahwa Gereja tidak pernah mengeluarkan larangan akan gerakan karismatik Katolik. Karena gerakan karismatik dalam Gereja Katolik dapat dikatakan sebagai gerakan baru, maka memang sudah selayaknya Gereja berhati-hati dalam menilainya. Hal ini dilakukan Gereja juga dalam penilaian berbagai aliran spiritualitas dalam Gereja Katolik yang sudah ada sebelum karismatik, seperti spiritualitas Benediktin, Dominikan, Jesuit, dst. Saat ini, Gerakan Karismatik Katolik dianggap sebagai salah satu gerakan ekklesial dalam Gereja Katolik, seperti yang dinyatakan oleh Paus Yohanes Paulus II.

Mengenai Adorasi Sakramen Maha Kudus, itu juga sebenarnya tidak pernah dilarang secara prinsip. Yang dilarang adalah diadakannya tempat Adorasi, namun tidak diadakan penangan/ penjadwalan yang baik, sehingga ruang Adorasi (di mana Yesus sungguh-sungguh hadir) dibiarkan kosong, tanpa ada orang yang berdoa di dalamnya. Nah inilah yang harus dihindari. Jika paroki/ pengelola kapel ruang Adorasi dapat menjamin adanya umat yang hadir untuk menyembah Yesus dalam setiap waktu (misal 24 jam penuh)  secara bergiliran, dan ada ijin dari pihak otoritas Gereja, maka seharusnya  kapel Adorasi dapat diadakan.

Mengenai penglihatan/ wahyu pribadi, saya tidak dapat memberi komentar. Janganlah lupa, bahwa sebagai seorang Katolik seharusnya seseorang harus mempunyai romo pembimbing rohani. Dan bersama dengan romo pembimbing rohani, dapatlah penglihatan itu diuji. Hal ini-lah dilakukan oleh para orang kudus, seperti St. Teresa dari Avila, St. Teresia kanak-kanak Yesus, dan St. Faustina, pada saat mereka mendapatkan wahyu pribadi. Memang diperlukan kerendahan hati dari para penerima wahyu tersebut untuk taat kepada pembimbing rohani, namun jika wahyu itu sungguh dari Tuhan, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menghindarinya untuk dapat diberitakan.

5. Adalah sesuatu yang baik sekali jika anda meyakini, “iman tanpa perbuatan adalah mati”, sebab ini memang yang diajarkan dalam Alkitab (lih. Yak 2:26).

Memang salah satu tanda bahwa kita diperbaharui oleh Roh Kudus, adalah jika kita senantiasa dapat melihat kekurangan dan kesalahan diri kita dan kita dapat dengan rendah hati minta ampun di hadapan Allah. Namun, Alkitab mengajarkan bahwa Yesus menghendaki agar kita mengaku dosa kita di hadapan para rasul-Nya yang diberi kuasa untuk melepaskan dosa kita di dunia ini agar terlepas juga di surga (lih. Mat 16:19; Yoh 20:23). Kuasa ini diteruskan oleh para pengganti rasul Kristus yaitu para imam. Silakan anda membaca mengapa kita perlu mengaku dosa di hadapan imam, dalam rangkaian artikel: Masih Perlukah Sakramen Pengakuan Dosa, bagian 1, (silakan klik) bagian 2 (silakan klik), bagian 3 (silakan klik) dan bagian 4 (silakan klik). Terutama pada bagian 3.

Perlu diketahui bahwa dengan mengaku dosa di hadapan imam, bukan berarti kita mengaku dosa di hadapan manusia, melainkan kita mengaku dosa di hadapan Tuhan yang hadir dalam diri imam-Nya. Imam itu sendiri harus pula mengaku dosanya di hadapan imam yang lain. Jadi peraturan untuk menngaku dosa di hadapan imam juga berlaku pada imam itu sendiri. Semua ini diajarkan oleh Tuhan Yesus agar kita bertumbuh dalam kerendahan hati, dan agar kita menghargai rahmat pengudusan yang diberikan-Nya kepada kita lewat sakramen-sakramen Gereja. Lagipula, mana yang lebih sulit dan membutuhkan kerendahan hati: mengaku dosa langsung dalam doa pribadi, atau mengaku dosa di hadapan Romo? Walaupun keduanya tetap harus kita lakukan, namun secara obyektif seharusnya kita mengakui bahwa diperlukan kerendahan hati yang lebih besar untuk berani mengakui kesalahan kita di hadapan imam-Nya. Jika dilakukan dengan sikap batin yang benar, maka dalam kerendahan hati inilah, Tuhan akan membangun kerohanian kita dengan memberikan buah-buah Roh Kudus yang dijanjikan-Nya kepada kita yaitu “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.” (Gal 5:22)

Jika sungguh kita diperbaharui oleh Roh Kudus, maka tanda yang paling utama adalah adanya buah-buah Roh Kudus dalam hidup kita yang tercermin dalam perkataan dan berbuatan kita. Kita akan semakin menyadari dan menghargai kasih Tuhan yang diberikan Kristus kepada kita melalui Gereja-Nya. Hal ini termasuk juga dengan menghargai dan mendengarkan apa yang diajarkan oleh para pemimpin Gereja, sebab kita percaya mereka-lah yang diberi tugas oleh Kristus untuk menggembalakan kita sebagai umat-Nya. Jadi walaupun mereka tetap manusia biasa namun selayaknya kita tetap dapat melihat bahwa mereka itu orang-orang pilihan Allah yang secara khusus telah dikuduskan oleh-Nya untuk melanjutkan karya imamat Kristus. Mendengarkan pengajaran mereka adalah suatu bentuk kerendahan hati yang seharusnya menjadi salah satu bukti buah-buah Roh Kudus yang ada pada kita. Keterlibatan beberapa Romo (Romo Mardi, Romo Wanta dan Romo Kris) dalam website ini memang bukan untuk membuat orang terpesona, (jadi kalau anda tidak terpesona, itu sudah betul) tetapi untuk menunjukkan bahwa karya kerasulan ini mendapat restu, dukungan, bantuan dan doa- doa dari para Romo tersebut, dan untuk juga mengingatkan kepada semua yang terlibat dalam website ini untuk selalu menuliskan ajaran yang sesuai dengan ajaran Magisterium Gereja Katolik.

Semoga oleh terang Roh Kudus yang mempersatukan, kita semua dapat bertumbuh dalam pengetahuan, iman, dan kasih akan Tuhan. Teriring salam saya untuk keluarga anda.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

PS: O ya, untuk selanjutnya, dapatkah saya mohon anda tidak menulis dengan menggunakan huruf kapital/ huruf besar semua? Sebab dalam internet, itu artinya anda “berteriak”. Saya percaya, maksud anda tidak berteriak ataupun marah kepada saya.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab