Pendahuluan
Sewaktu saya tinggal di Singapura, saya pernah mengikuti retret di Sabah, Malaysia. Di sana saya berkenalan dengan teman yang tidur sekamar dengan saya. Ia seorang warga negara Singapura keturunan India, dan sebelum menjadi Katolik adalah seorang Hindu. Lalu saya bertanya, apa yang membuatnya terpanggil menjadi Katolik. Dia menjawab dengan senyumnya yang tak akan pernah saya lupakan, “Mother Mary has called me to follow Christ her Son” (Bunda Maria telah memanggil saya untuk mengikuti Kristus Puteranya.”) Baru kemudian dia menceritakan pengalamannya saat ia bergumul dengan penyakitnya, dan memperoleh kekuatan melalui doa di gereja Novena, melalui perantaraan Bunda Maria. Pada mulanya, sebagai seorang non-Katolik, ia hanya ingin tahu dan datang ke gereja Novena itu yang memang selalu ramai dikunjungi orang. Namun setelah mengikuti ibadah di sana, ia tahu bahwa bukan Bunda Maria yang utama, melainkan Yesus Kristus Puteranya-lah yang dapat menyelamatkan dan menyembuhkan. Setelah teman saya ini sembuh dari penyakitnya, ia mempelajari agama Katolik, dibaptis, dan selanjutnya sampai sekarang menjadi sahabat saya. Kesaksian imannya membuka mata saya, bahwa sungguh Bunda Maria tidak pernah mengambil kemuliaan bagi dirinya sendiri: ia hanya mengatakan, “Perbuatlah apa yang dikatakan Yesus kepadamu” (lih. Yoh 2:5). Pada akhirnya, semua yang datang kepadanya akan diarahkannya kepada Yesus, dan dengan demikian ia membawa banyak orang kepada keselamatan.
Co-Redemptrix, apa maksudnya?
Menurut arti bebasnya, Co- artinya adalah ‘dengan’. Maka menurut definisinya yang dikenal dalam Mariologi, Co-Redemptrix mengacu kepada partisipasi Bunda Maria yang tidak langsung namun sangat penting dalam karya keselamatan Allah bagi manusia. Dalam arti inilah Bunda Maria bekerja sama dengan Yesus dalam rencana Keselamatan Allah. Namun, partisipasi Maria dalam karya keselamatan ini sepenuhnya tergantung dan berada di bawah peran Kristus Putera-Nya.
Maka, dengan mengatakan Maria sebagai Co-Redemptrix, kita tidak menjadikan Bunda Maria sejajar dengan Yesus dalam karya Keselamatan. Bunda Maria sendiri tetap memerlukan Yesus sebagai Juru Selamatnya, dalam hal ini untuk menjadikannya kudus tanpa noda sejak dalam kandungan, dan karena itu tidak mungkin Bunda Maria memiliki kedudukan yang sama dengan Yesus.
Bagaimana Maria melakukannya?
Bunda Maria dikatakan sebagai Co- Redemptrix karena dua hal utama, yaitu atas ketaatannya pada saat menerima kabar gembira, dan ketaatan selama hidupnya, yang memuncak di kaki salib Yesus. Saya ingin mengutipnya dari tulisan pakar Mariologi yang bernama Mark Miravalle, S.T.D, yang mengajarkan: ((Lihat Mark Miravalle, S.T.D, Introduction to Mary, The Heart of Marian Doctrine and Devotion, (Santa Barbara, CA: Queenship Publishing Company, 1993), p. 68-70)).
1. Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel, yang berupa sebuah ‘undangan’ untuk mengambil bagian dalam karya Keselamatan Allah, dengan menjadi ibu bagi Yesus sang Penyelamat. Maria menanggapi undangan ini dengan kesediaannya mengizinkan penjelmaan Yesus menjadi manusia ini mengambil tempat di dalam rahimnya. Para Bapa Gereja di abad-abad awal mengajarkan bahwa Inkarnasi dan Karya keselamatan sebagai suatu kesatuan tindakan Allah untuk menyelamatkan manusia. Maka terlihat di sini peran Maria yang sangat penting sebab oleh ketaatannya, ia membawa Kristus Sang Penyelamat ke dunia, melalui Inkarnasi. Oleh Maria, maka ayat ini tergenapi, “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita.” (Yoh 1:14)
Dengan demikian Maria menjadi Hawa yang baru. Sebab oleh ketidak taatan Hawa yang pertama, umat manusia jatuh ke dalam dosa, sedangkan oleh ketaatan Maria (Hawa yang baru) umat manusia memperoleh Sang Penyelamatnya. St Irenaeus (180) berkata, “Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh perawan Maria karena imannya.” ((St. Irenaeus, Adversus Haereses, III, 22, 4: S. Ch. 211. 438-44, Lumen Gentium, 56, note 6)). Dan karena tubuh Yesus, sebagai alat Keselamatan (lih. Ibr 10:10) diberikan kepada Yesus oleh Maria saat Ia terbentuk dalam rahimnya, maka Maria sebagai Ibu Yesus memiliki peran yang sangat istimewa dalam keselamatan manusia, yang tidak dapat dibandingkan dengan semua ciptaan lainnya.
Paus Yohanes Paulus mengatakan bahwa pada saat mengatakan “YA”/ Fiat pada kabar Malaikat itu, maka iman Maria dapat disejajarkan dengan iman Bapa Abraham yang menandai permulaan Perjanjian Lama antara Tuhan dengan umat-Nya. Iman Maria menandai dimulainya Perjanjian Baru. Seperti halnya Bapa Abraham yang percaya “sekalipun tidak ada dasar untuk berharap” (Rom 4:18) bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa padahal pada saat janji itu diberikan ia belum mempunyai keturunan, maka Mariapun juga percaya, bahwa meskipun ia tetap perawan (tidak bersuami), ia akan melahirkan seorang Anak atas kuasa Roh Kudus, dan “Anaknya itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Luk 1:35). ((Paus Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik, Redemptoris Mater, 14)).
2. Maria secara unik berpartisipasi dalam kurban salib Yesus demi keselamatan umat manusia. Di kaki salib Kristus, Bunda Maria mempersembahkan kepada Allah hak-haknya sebagai ibu, segala belas kasih, dan penderitaannya yang tak terlukiskan melihat Putera-Nya sendiri disiksa sampai wafat.
Di kayu salib inilah, menurut Paus Yohanes Paulus II, Bunda Maria melihat seolah-olah kebalikan dari perkataan Malaikat di saat menerima kabar gembira, “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” (Luk 1:32-33) Di kayu salib ini, terpampang di hadapan matanya kenyataan yang begitu memilukan, “Ia (Yesus) dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan…. (Yes 53:3-5). Betapa besarnya ketaatan Maria yang menyerahkan diri seutuhnya, segala “akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang keputusan dan jalan-jalan-Nya tak terselami! (Lih. Rom 11:33). Dengan cara inilah Maria berpartisipasi dalam “pengosongan diri” yang dilakukan oleh Yesus di kayu salib (lih. Flp 2: 5-8). Ini mungkin adalah suatu bentuk “pengosongan diri” yang terdalam sepanjang sejarah manusia. Di sinilah terpenuhi nubuat Simeon, “suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri…” (Luk 2:35). ((Paus Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik, Redemptoris Mater, 18))
Para Bapa Gereja membandingkan iman Maria di kaki salib Kristus ini dengan iman Bapa Abraham yang mempersembahkan Ishak anaknya sebagai persembahan kepada Tuhan.
Dasar Kitab Suci
Sebenarnya, tidak sulit untuk menerima ajaran bahwa Bunda Maria disebut sebagai “Co- Redemptrix” kalau kita dapat menerima pengajaran sebagai berikut:
1. 1 Kor 3:9: “Karena kami adalah kawan sekerja Allah ….” Jika kita semua saja adalah kawan sekerja Allah dalam rencana Keselamatan, tentulah Bunda Maria yang membawa Kristus ke dunia adalah kawan sekerja Allah yang begitu istimewa. Sebab tanpa ketaatannya melalui kehendak bebasnya, maka Yesus tidak lahir ke dunia.
2. Kolose 1:24: Rasul Paulus mengajarkan, “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” Maka dengan penderitaannya, yang dipersatukan dengan penderitaan Kristus di kayu salib, Bunda Maria turut mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah.
Memang korban penebusan Kristus telah digenapi dengan sempurna di Golgota, namun demikian, penerapan korban penebusan ini kepada semua manusia masih berlanjut sepanjang sejarah manusia. Itulah sebabnya, di dalam hidup kita sebagai anggota Tubuh Kristus di dunia, kita masih mengalami penderitaan. Maka kita layak untuk mencontoh teladan Bunda Maria yang menyerahkan segala penderitaannya dan mempersatukannya dengan korban Yesus di kayu salib, agar dengan demikian kitapun, dengan porsinya masing-masing, mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah.
3. Yoh 2:5: Maria Ibu Yesus berkata…. “Apa yang dikatakan kepadamu, (oleh Yesus) buatlah itu!”
Sebagaimana yang terjadi di Kana, Bunda Maria sangat memperhatikan kebutuhan umat beriman. Namun apa yang dikatakannya selalu mempunyai Kristus sebagai pusatnya, dan ia membawa para beriman untuk menaati perintah Yesus.
Maria, Co- Redemptrix menurut Bapa Gereja
Walaupun sampai saat ini pengajaran bahwa Maria sebagai Co-Redemptrix belum diangkat secara definitif menjadi Dogma, namun sebenarnya, dasar pengajaran ini telah ada sejak lama. St. Yustinus (100) adalah Bapa Gereja yang pertama yang mengajarkan bahwa Bunda Maria adalah Hawa yang baru. Kemudian, murid Rasul Yohanes, St. Irenaues (180), juga mengajarkan tentang peran Maria sebagai Hawa yang baru, yang berkerjasama dengan Adam yang baru yaitu Kristus untuk menyelamatkan dunia. Ia mengkontraskan ketidaktaatan Hawa dengan ketaatan Maria. Kesaksian St. Irenaeus tentu sangat penting, karena ia adalah murid dari St/ Polycarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes, yang kepadanya Yesus telah mempercayakan Bunda Maria di saat ajal-Nya di kayu salib. (Yoh 19:25). Kesaksian St. Irenaeus ini banyak dikutip oleh para Bapa Gereja, dan dikutip pula dalam dokumen Konsili Vatikan II. ((Lihat Lumen Gentium 56))
Tertullian (abad ke 3), juga mengajarkan Bunda Maria sebagai Hawa yang baru. Ia mengkontraskan bahwa Hawa percaya pada perkataan sang ular/Iblis, sedangkan Maria percaya kepada perkataan Malaikat. ((Lihat Tertullian, On the Flesh of Christ, Chap 17)) Selanjutnya, St. Agustinus (354-430), St, Yohanes Damascene (754-787) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274), mengajarkan hal yang sama, diikuti oleh banyak para kudus lainnya. Dengan prinsip Maria sebagai Hawa yang baru, maka tidak sulit untuk memahami mengapa Bunda Maria disebut sebagai Co-Redemptrix.
Pengajaran para Paus
Berikut ini adalah pengajaran para Bapa Paus tentang Maria sebagai Co- Redemptrix: ((Lihat Mark Miravalle, Ibid., p. 70-72))
1. Paus Pius Benediktus XV (1918) dalam Surat Apostoliknya mengatakan, “Pada tingkat yang tak terlukiskan, Maria menderita dan hampir mati dengan Anak-nya yang menderita dan mati, dan dengan demikianlah ia menyerahkan segala hak-hak keibuannya demi keselamatan manusia…. sehingga kita dapat berkata bahwa ia bersama-sama dengan Kristus menyelamatkan umat manusia.” ((Paus Pius Benediktus XV, Surat Apostolik, Inter Sodalicia))
2. Paus Pius XI (1922- 1939) menyebutkan Maria sebagai Co-Redemptrix sebanyak sekurang-kurangnya 6 kali dalam dokumen-dokumen kepausan-nya. Ia mengajarkan, “O, Bunda kekudusan dan belas kasih, yang ketika Anakmu menyelesaikan karya Keselamatan manusia di kayu salib, sungguh mengemban sengsara dengan Dia dan sebagai seorang Co-Redemptrix, menjaga di dalam kita buah berharga dari karya Keselamatan ini, dan dari belas kasihmu.” ((Paus Pius Xi, Penutupan tahun Yubelium 1935, L’Observatore Romano, April 29, 1935))
3. Paus Pius XII (1939-1958) menyebutkan Maria sebagai “rekan sejawat yang terkasih dari Sang Penyelamat” mengajarkan, “Oleh kehendak Tuhan, Perawan Maria yang terberkati bersatu tak terpisahkan dengan Kristus di dalam menyelesaikan karya Keselamatan, sehingga keselamatan kita mengalir dari kasih Yesus Kristus dan penderitaan-Nya secara erat bersatu dengan kasih dan dukacita Ibu-Nya.” ((Paus Pius XII, Haurietis Aguas, no.2))
4. Konsili Vatikan II, mengajarkan, “Demikianlah Santa Perawan juga melangkah maju dalam peziarahan iman. Dengan setia ia mempertahankan persatuannya dengan Puteranya hingga di salib, ketika ia sesuai dengan rencana Allah berdiri di dekatnya (lih. Yoh 19:25). Disitulah ia menanggung penderitaan yang dashyat bersama dengan puteranya yang tunggal. Dengan hati keibuannya ia menggabungkan diri dengan korban-Nya, yang penuh kasih menyetujui persembahan korban yang dilahirkannya.” ((Lumen Gentium 58))
5. Paus Yohanes Paulus II, dalam surat Ensikliknya, mengajarkan, “Betapa besar, dan betapa heroiknya ketaatan iman yang ditunjukkan Maria di hadapan kebijaksanaan Allah yang tak terpahami! Betapa lengkapnya ia menyerahkan dirinya kepada Tuhan tanpa syarat, “menyerahkan kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah” kepada Ia yang segala jalan-jalan-Nya yang tak terselami! (lih. Rom 11:33). Melalui iman ini Maria secara sempurna bersatu dengan Kristus dalam hal pengosongan diri…. Di kaki salib Kristus, Maria mengambil bagian melalui iman di dalam misteri pengosongan diri yang tragis ini. Ini mungkin merupakan merupakan sebuah kenosis/ pengosongan diri yang terdalam sepanjang sejarah manusia. Melalui iman Bunda Maria mengambil bagian di dalam kematian Kristus, di dalam kematian-Nya yang menyelamatkan…” ((Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Mater, 18))
Di tahun 1985, dalam sebuah pernyataan kepausan yang lain, Paus Yohanes Paulus mengajarkan bahwa gelar Co-Redemptrix berkaitan dengan penyaliban rohani yang dialami Maria di kaki salib Kristus: “Disalibkan secara rohani dengan Putera-Nya yang tersalib (lih. Gal 2:20), ia [Maria] memandang dengan kasih yang heroik kematian Tuhannya, “dengan hati keibuannya ia menggabungkan diri dengan korban-Nya, dengan penuh kasih menyetujui persembahan korban yang dilahirkannya.” ((Lumen Gentium 58))… seperti ia berada di dalam cara yang istimewa di dekat kayu salib Kristus, ia juga pasti mempunyai pengalaman istimewa dalam Kebangkitan-Nya. Nyatanya, peran Maria sebagai Co-Redemptrix tidak berhenti dengan kemuliaan Putera-Nya.” ((Paus Yohanes Paulus II, Allocution at the Sanctuary of Our Lady of Alborada in Quayaquil, Jan 31, 1985, dikutip dari L’Observatore Romano, March 11, 1985, p.7 ))
Kesimpulan
Jika kita melihat rencana Keselamatan Allah yang melibatkan kehendak bebas manusia, maka selayaknya kita mempunyai penghormatan yang besar kepada Bunda Maria. Sepertihalnya Abraham, Bunda Maria telah menunjukkan ketaatan iman yang sangat istimewa. Bunda Maria merupakan teladan bagi kita semua orang beriman untuk mempersatukan diri dengan Kristus, dalam setiap langkah kehidupan kita. Ketaatan Maria yang tanpa syarat sungguh merupakan contoh bagi semua murid Kristus. Dengan melihat kepada Bunda Maria, kita dapat melihat bagaimana seharusnya kita menjadi “kawan sekerja Allah”. Sebab dalam arti sesungguhnya, “kawan sekerja” ini tidak saja berupa kawan yang menyertai di saat kemuliaan Yesus, tetapi juga dengan mengambil bagian di dalam penderitaan-Nya. Sebab suka cita kebangkitan Yesus tak terlepas dari korban salib-Nya; kemuliaan Yesus tidak terlepas dari “pengosongan diri”-Nya. (Flp 2:5-11)
Perihal suatu hari Co- Redemptrix diangkat menjadi Dogma, atau tidak, tidak terlalu menjadi masalah bagi kita yang mengetahui prinsip ajarannya. Persatuannya dengan Kristus sepanjang hidupnya, menjadikan Maria layak disebut ‘rekan sekerja Allah’, namun karena perannya yang istimewa dengan ketaatan imannya sebagai ibu Yesus sejak menerima kabar gembira sampai berdiri di kaki salib Kristus, ia memang layak disebut Co- Redemptrix. Kita mengetahui sebutan Co-Redemptrix ini tidak untuk menyamakan peran Maria dengan peran Yesus, namun di saat yang sama kita mengakui dengan rendah hati bahwa memang peran Maria tidak akan pernah sama dengan peran manusia manapun dalam menjadi ‘rekan sekerja Allah’ dalam karya Allah menyelamatkan dunia.
“Tuhan Yesus, bukakan mata hati kami untuk melihat betapa layaklah kami belajar dari teladan Ibu-Mu, untuk dengan taat menyerahkan diri kami seutuhnya kepada-Mu, agar kamipun dapat Engkau jadikan ‘kawan sekerja-Mu’ untuk menyelamatkan dunia ini. Amin.”