Home Blog Page 247

Doa Mohon Roh Kudus Berkarya

14

Bapa Kami yang di surga, kami bersyukur kepadaMu,

atas karunia Roh Kudus yang Engkau curahkan bagi kami

hari ini dan setiap hari dalam hidup kami.

Ajar kami untuk merindukan karya-karyaNya,

dan membuka hati kami untukNya…

supaya Dia dapat berkarya secara optimal dalam diri kami,

sesuai dengan rencanaMu yang agung bagi semua ciptaan yang Engkau kasihi

Kadang kami tak mampu mengenali…

betapa kami membutuhkanNya,

melebihi segala harta dunia dan hikmat pengetahuan semesta.

Karena kenikmatan dunia dan semua daya tariknya yang fana….

sering menarik kami untuk menjadi asing terhadap citra diri kami yang sesungguhnya,

yang sejak awal telah Engkau tiupkan dalam nafas kehidupan kami….

untuk mengejar nilai kasih dan cinta yang murni

terhadap semua mahluk ciptaan tanpa kecuali,

tanpa merasa takut untuk berkorban diri…

seperti teladan Yesus PuteraMu yang kudus, sumber hidup dan panutan kami,

seperti hari ini Roh KudusMu telah hadir untuk semua orang tanpa kecuali

dari segala bahasa, bangsa dan budaya

Kami rindu untuk menyambutNya masuk dan berkarya dalam hati kami selalu

dalam semua aspek hidup dan liku-liku kehidupan keluarga dan pergaulan,

pekerjaan, tugas-tugas sehari-hari, maupun pelayanan kami.

Tiada yang lebih indah dan sempurna untuk menjalani dan menyelesaikan semua aspek kehidupan…

bersama hikmat dan pengertian di dalam Roh KudusMu.

Kami merindukanNya berkarya dengan bebas sempurna,

kami rindu membuka hati kami selalu …

agar Dia hadir, sesuai dengan semua sisi keindahan yang dibawaNya

untuk setiap kebutuhan jiwa kami.

Manakala muncul kesedihan dan penderitaan………………Roh penghiburan

Manakala lahir keputusasaan…………Roh pengharapan

Manakala tumbuh bibit kepahitan dan dendam………………Roh pengampunan

Manakala terjadi perselisihan……………..Roh pendamaian

Manakala terjadi kebimbangan…………….Roh hikmat untuk membedakan

Manakala terjadi kesesatan…………..Roh pengertian dan hikmat

Manakala terjadi penyelewengan…………..Roh kesetiaan

Manakala timbul kesombongan……………….Roh kerendahan hati

Manakala hadir keserakahan……………..Roh hikmat akan kesederhanaan dan solidaritas

Manakala kemalasan membelenggu……Roh bekerja dengan sukacita

Manakala kesalahpahaman harus muncul……….Roh  pengampunan

Manakala terjadi persaingan yang tidak sehat……Roh pengertian dan kerjasama

Manakala kami acuh tak acuh dan apatis…………..Roh harapan dan kepedulian

Manakala iri hati dan dengki menghampiri…………Roh kerelaan dan kasih murni

Manakala kegelisahan menerpa……..Roh kedamaian dan ketenangan

Manakala kekuatiran akan masa depan menghantui……………Roh kepastian akan penyelenggaraan Allah

Manakala krisis iman dan spiritual melanda kami………….Roh kebenaran dan terang Ilahi

Manakala hal-hal tidak terjadi sesuai harapan………………….Roh kesabaran dan kemampuan bersukacita

Semoga hidup kami yang hanya sementara di atas bumi ini….

kami isi sebaik-baiknya di dalam terang RohMu yang membebaskan dan memberi hidup…

hidup yang berkelimpahan dan berkepenuhan….

sampai kelak kami kembali kepadaMu Bapa,

bersama benih-benih cinta dan daya kuasa Rohmu yang membentuk kami

untuk diam selamanya di dalam kemahMu yang abadi.

Terpujilah Engkau ya Allah Bapa yang selalu mengasihi dan menyertai kami.

Amin.

(uti)

Communionis Notio

2

Dari Katolisitas:

Terima kasih kepada Anastasius yang sudah mengirimkan terjemahan Communionis Notio. Terjemahan di bawah ini sudah diperiksa, diedit dan direvisi oleh Ingrid Listiati. Namun demikian terjemahan ini masih merupakan un-official translation/ terjemahan tidak resmi dari Communionis Notio

KATA PENGANTAR PENERJEMAH

Pengetahuan dan khasanah eklesiologi adalah senantiasa menarik untuk dipelajari, karena seolah tidak pernah habis segala usaha kita untuk memahami misteri Gereja, yang diselenggarakan oleh Allah mendahului segala ciptaan (LG 2, KGK 760), yang memperoleh bentuk nyatanya di dunia (Mat 16:18-19) melalui penggenapan karya keselamatan oleh Yesus Kristus dan diserahkan kepada Santo Petrus untuk penggembalaan GerejaNya (Yoh 21:15-17), bersama-sama para Rasul, yang berkumpul bersama Maria di tengah-tengah mereka (LG 63, 68).

Terjemahan yang bersifat tak resmi ini berjudul “Surat Kepada Para Uskup Gereja Katolik Mengenai Beberapa Aspek Gereja untuk Dipahami Sebagai Communio” yang diterbitkan oleh Konggregasi Doktrin dan Ajaran Iman pada 28 Mei 1992, di mana keseluruhan isinya memiliki titik berat pada aspek “communio” Gereja yang bisa diterjemahkan secara bebas sebagai “persekutuan”, kata yang paling mendekati arti tersebut dalam Bahasa Indonesia.

Penerjemahan artikel ini dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia menemui beberapa kesulitan untuk mencari istilah yang sepadan namun sebisa mungkin diterjemahkan tanpa mengurangi arti yang hendak disampaikan, maka dalam beberapa kalimat, sesuai isi dan tujuan dari surat ini, yaitu penekanan aspek “communio”, maka istilah “communio” dibiarkan apa adanya, dan untuk memperjelas arti dan kesinambungan kalimat juga di beberapa tempat diberikan dalam bentuk terjemahannya yaitu “persekutuan”.

Istilah “ecclesial communion” dibiarkan dalam bentuk apa adanya, tidak sebagai “persekutuan gerejawi” dikarenakan penerjemahan istilah tersebut dapat menimbulkan kerancuan dan tidak sesuai konteksnya dalam teks asli, yaitu kerancuan yang merujuk pada saudara-saudara terpisah Kristiani.

Catatan kaki (endnotes) tidak diterjemahkan.

Keseluruhan teks asli dalam bahasa Inggris diakses dari http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_28051992_communionis-notio_en.html pada tanggal 11 April 2010 jam 17:23 WIB.

Semoga bermanfaat.

Salam dan doa

Anastasius

COMMUNIONIS NOTIO

KONGGREGASI DOKTRIN DAN AJARAN IMAN
COMMUNIONIS NOTIO
SURAT KEPADA PARA USKUP GEREJA KATOLIK MENGENAI BEBERAPA ASPEK GEREJA UNTUK DIPAHAMI SEBAGAI COMMUNIO

KATA PENGANTAR

1. Konsep communio (koinonRa), yang muncul dengan beberapa penekanan tertentu dalam teks Konsili Vatikan II (1), adalah sangat sesuai untuk mengekspresikan inti dari Misteri Gereja, dan dapat secara khusus menjadi kunci untuk pembaharuan dalam eklesiologi Katolik (2). Sebuah pemahaman yang lebih dalam akan fakta bahwa Gereja adalah sebuah Communio [persekutuan] tentu menjadi sebuah kepentingan tugas yang khusus, yang memberikan perluasan sudut pandang untuk refleksi teologis akan misteri Gereja, “yang secara kodrati selalu memberikan hal baru dan penelaahan yang lebih dalam”(3). Bagaimana pun, beberapa pendekatan kepada eklesiologi mengalami kekurangan akan kesadaran tentang Gereja sebagai sebuah misteri dari communio, yang secara khusus bagaimana mereka kurang mengintegrasikan konsep communio dengan konsep-konsep akan Umat Allah dan akan Tubuh Kristus, serta belum menyampaikan pentingnya hubungan antara Gereja sebagai communio dan Gereja sebagai sakramen.

2. Dengan mengingat akan kepentingan doktrinal, pastoral dan ekumenikal dari aspek-aspek yang berbeda berkenaan dengan Gereja sebagaimana dipahami sebagai Communio, Konggregasi Doktrin dan Ajaran Iman melihat sebuah kesempatan, dengan Surat ini, untuk mengingatkan secara khusus serta mengklarifikasi, di mana dibutuhkan, beberapa elemen-elemen fundamental yang dianggap telah ditetapkan juga oleh mereka yang diserahi harapan, untuk investigasi teologis.

I. Gereja, Misteri Communio

3. Konsep mengenai communio terdapat “pada inti pemahaman diri (selfunderstanding) dari Gereja”(4), sejauh mana Misteri dari persatuan pribadi dari setiap manusia dengan Trinitas serta dengan seluruh manusia, yang diawali dengan iman (5), dan, menjadi kenyataan dalam diri Gereja di bumi, diarahkan kepada pemenuhan eskatologis di dalam Gereja yang mulia di Surga (6).
Jika konsep dari communio, yang bukan merupakan sebuah konsep univokal, menjadi sebuah kunci pada eklesiologi, maka hendaknya dipahami dalam terang ajaran Kitab Suci dan tradisi Bapa Gereja, yang mana communio selalu melibatkan sebuah dimensi ganda: vertikal (communio [persekutuan] dengan Allah) dan horizontal (communio [persekutuan] dengan manusia). Adalah penting mengenai pemahaman Kristiani akan communio yang dipahami di atas segalanya sebagai karunia Ilahi, sebagai buah dari inisiatif Allah yang diwujudkan dalam misteri paskah. Sebuah relasi baru antara manusia dengan Allah, yang telah dinyatakan dalam Kristus dan disampaikan melalui sakramen-sakramen, juga meluas kepada relasi yang baru pula di antara sesama manusia. Sebagai hasilnya, konsep akan communio haruslah pula mengekspresikan sifat sakramental Gereja sementara “kita jauh dari Allah” (7), juga sebagai kesatuan partikular yang menjadikan umat sebagai bagian dari Tubuh yang satu dan sama yaitu Tubuh Mistik Kristus (8), sebuah komunitas yang terstruktur secara organis (9), “seseorang dibawa menjadi satu oleh kesatuan Bapa, Putra dan Roh Kudus” (10), dan dirahmati dengan arti yang pantas untuk communio sebagai kesatuan yang terlihat dan kesatuan sosial (11).

4.[Ecclesial communion] adalah pada saat yang bersamaan memiliki arti sebagai yang tak terlihat dan terlihat. Sebagai kenyataan yang tak terlihat, memiliki arti persekutuan (communion) antara manusia dengan Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus, bersama dengan orang- orang lain yang adalah sesama teman yang mengambil bagian di dalam kodrat ilahi (12), dalam sengsara Kristus (13), dalam iman yang sama (14), dalam Roh yang sama (15). Pada Gereja di bumi, terdapat sebuah hubungan yang erat antara communio yang tak terlihat dan communio yang terlihat dalam pengajaran dari para Rasul, dalam sakramen-sakramen dan dalam tata hirarki. Melalui rahmat-rahmat Ilahi ini, yang merupakan realitas yang sangat kelihatan, Kristus menggenapinya dengan beberapa cara yang berbeda dalam sejarah pengajaranNya, imamatNya dan fungsi rajawiNya bagi keselamatan manusia (16). Kaitan antara elemen-elemen yang tak terlihat dan terlihat dari [ecclesial communion] menjadikan Gereja sebagai Sakramen untuk keselamatan.

Dari sakramentalitas ini maka Gereja bukanlah suatu realitas yang tertutup hanya pada dirinya, namun ia secara permanen terbuka pada usaha-usaha misionaris dan ekumenis, sebab ia dikirim ke dunia untuk mewartakan dan menjadi saksi, untuk menghadirkan dan menyebarkan misteri persekutuan yang adalah penting baginya: untuk mengumpulkan seluruh manusia dan segalanya kepada Kristus (17); sehingga untuk menjadi “sakramen kesatuan yang tak terpisahkan” bagi semuanya (18).

5.[Ecclesial communion], yang kepadanya setiap individu diperkenalkan oleh iman dan oleh Pembaptisan (19), memiliki akar dan pusatnya dalam Ekaristi yang Terberkati. Tentu, Pembaptisan adalah penyatuan kepada sebuah tubuh yang didirikan oleh Tuhan yang bangkit dan terus dihidupi-Nya melalui Ekaristi, sehingga tubuh ini dapat secara sejati disebut sebagai Tubuh Kristus. Ekaristi adalah kekuatan yang menciptakan dan sumber dari communio di antara anggota-anggota Gereja, terutama karena ia menyatukan setiap dari mereka dengan Kristus sendiri: “Dalam membagi-bagikan tubuh Tuhan dalam pemecahan roti ekaristi, kita dibawa ke dalam persekutuan dengan-Nya dan bersama satu sama lain. ‘Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu’ (1 Kor 10:17)” (20).

Karenanya, ekspresi Paulus yang mengatakan Gereja adalah Tubuh Kristus memiliki arti bahwa Ekaristi, yang di dalamnya Allah memberikan kepada kita TubuhNya dan mengubah kita menjadi satu Tubuh (21), adalah di mana Gereja mengekspresikan dirinya secara permanen dalam bentuknya yang paling esensial. Walaupun Gereja terdapat di mana saja, ia tetaplah satu, sebagaimana Kristus adalah satu.

6. Gereja adalah sebuah Persekutuan para kudus, sebuah ekspresi tradisional yang ditemukan dalam versi Latin dari Syahadat Para Rasul dari akhir abad ke empat (22). Sebuah ungkapan yang sering terlihat di dalam karya-karya keselamatan (hal-hal suci), dan secara khusus dalam Ekaristi, adalah sumber dari persekutuan yang tak terlihat dari antara para kudus. Persekutuan ini membawa di dalamnya, sebuah solidaritas spiritual di antara anggota-anggota Gereja, sejauh mana mereka juga sebagai anggota dari satu Tubuh yang sama (23), dan persekutuan ini memupuk persatuannya yang efektif dengan menyatakan “satu hati dan jiwa” (24). Communio juga menekankan persatuan dalam doa (25), terinspirasi seluruhnya dalam Roh yang satu dan sama (26), Roh Kudus “yang mengisi dan menyatukan seluruh Gereja” (27).

Dalam elemen-elemennya yang tak terlihat, persekutuan ini hadir tidak hanya dalam anggota-anggota dari Gereja yang mengembara di bumi, melainkan juga antara mereka yang ini dan semuanya, yang telah melewati dunia ini dalam rahmat Allah, menjadi anggota Gereja yang mulia di Surga atau yang akan disatukan ke dalamnya setelah dimurnikan secara penuh (28). Hal ini berarti, termasuk di antaranya, bahwa terdapat sebuah hubungan yang timbal balik antara Gereja yang mengembara di Bumi dan Gereja yang mulia di Surga dalam misi penebusan secara historis. Oleh karena itu kepentingan eklesiologis tidak hanya terbatas pada doa- doa syafaat Kristus bagi para anggota-anggota-Nya (29), melainkan juga doa- doa syafaat para orang kudus dan dalam bentuknya yang unggul, dari Perawan Maria Terberkati (30). Oleh karena itu, devosi kepada para kudus, yang merupakan keistimewaan yang kuat tentang kesalehan umat kristiani, dapat terlihat sesuai dalam hal esensinya dengan realitas yang mendalam tentang Gereja sebagai sebuah misteri persekutuan.

II. Gereja Universal dan Gereja- gereja Partikular

7. Gereja Kristus, yang kita ikrarkan dalam Credo sebagai yang satu, kudus, katolik dan apostolik, adalah Gereja Universal yang berupa komunitas mendunia dari murid-murid Allah (31), yang hadir dan aktif di tengah-tengah ciri-ciri khas dan keberagaman pribadi, kelompok, waktu dan tempat. Dari sekian banyak ekspresi yang khas akan kehadiran Gereja Kristus yang satu, akan ditemukan, sejak jaman para rasul sampai sekarang, kesatuan- kesatuan [umat] itu di dalam diri mereka sendiri adalah Gereja-gereja (32), karena, sekalipun mereka adalah partikular, Gereja Universal menjadi hadir dalam diri mereka dengan semua elemen-elemen essensialnya (33). Mereka bagaimanapun “terbentuk dari model Gereja Universal” (34), dan setiap dari mereka adalah “sebuah bagian dari Umat Allah yang dipercayakan kepada Uskup untuk dituntun olehnya dengan bantuan Imam-imamnya” (35).

8. Gereja Universal adalah juga Tubuh Gereja-gereja (36). Oleh sebab itu adalah mungkin untuk menerapkan konsep communio dengan bentuk yang serupa pada persatuan di antara Gereja-gereja partikular yang ada, serta memandang Gereja Universal sebagai sebuah Communio Gereja-gereja (Communion of Churches). Terkadang, bagaimanapun, ide akan sebuah “persekutuan Gereja-gereja partikular” ditampilkan dalam cara tertentu yang melemahkan konsep kesatuan Gereja pada tingkat yang terlihat dan pada tingkat institusional. Sebagai akibatnya pemikiran tersebut mendefinisikan bahwa setiap Gereja partikular adalah sebuah subyek yang lengkap dalam dirinya sendiri, dan Gereja Universal adalah hasil dari pengakuan timbal-balik di pihak Gereja-gereja partikular. Unilateralisme eklesiologis ini, yang tidak hanya mengurangi arti dari konsep Gereja Universal, namun juga mengurangi arti dari Gereja partikular, berlawanan dengan pengertian akan konsep communio. Sebagaimana sejarah menunjukkan, ketika sebuah Gereja partikular berusaha mencukupkan diri sendiri dan telah melemahkan persekutuannya yang sejati dengan Gereja Universal dan dengan pusatnya yang hidup dan terlihat, persatuan internalnya juga turut pula menderita, serta menemukan dirinya dalam bahaya akan kehilangan kebebasan dirinya sendiri dalam menghadapi tekanan- tekanan perbudakan dan eksploitasi (37).

9. Dalam rangka untuk mendapatkan arti sesungguhnya mengenai penerapan analogis istilah communio pada Gereja-gereja partikular dalam arti yang seutuhnya, maka hendaklah selalu diingat dan diutamakan dari semuanya bahwa Gereja-gereja partikular, sejauh mereka adalah “bagian dari Gereja Kristus yang satu” (38), memiliki sebuah hubungan yang khusus dalam “keterkaitan internal (mutual interiority)” (39) dengan satu keutuhan, yaitu Gereja Universal, karena dalam setiap Gereja partikular, “Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik adalah sungguh-sungguh hadir dan aktif” (40). Untuk alasan ini, “Gereja Universal tidak dapat dipahami sebagai perhimpunan Gereja-gereja partikular, atau sebagai perserikatan Gereja-gereja partikular” (41). Gereja Universal bukanlah hasil akhir dari persekutuan Gereja-gereja, melainkan dalam misteri essensialnya, adalah sebagai sebuah realitas ontologis dan sementara yang mendahului setiap Gereja partikular secara individual.

Tentunya, menurut para Bapa Gereja, secara ontologis, misteri Gereja, Gereja yang satu dan unik mendahului penciptaan (42), dan melahirkan Gereja-gereja partikular sebagai putri-putrinya. Gereja mengeskpresikan dirinya dalam mereka; ia adalah ibu dan bukan produk dari Gereja-gereja partikular. Lebih jauh lagi, Gereja memunculkan wujudnya dalam dunia pada hari Pentekosta dalam sebuah komunitas dari 120 orang berkumpul di sekitar Maria dan keduabelas Rasul, sebuah pralambang dari Gereja yang satu dan unik, dan permulaan dari Gereja-gereja lokal, yang memiliki sebuah misi kepada dunia: dari semula Gereja berbicara dalam segala bahasa (43).

Dari Gereja, yang berasal darinya dan manifestasi awalnya adalah Universal, telah menumbuhkan Gereja-gereja lokal yang berbeda, sebagai ekspresi-ekspresi yang khas dari Gereja Yesus Kristus yang satu dan unik. Tumbuh di dalam (within) dan keluar (out of) dari Gereja Universal, Gereja-gereja lokal memiliki eklesialitas di dalam dan dari Gereja Universal. Oleh sebab itu, rumusan dari Konsili Vatikan II: Gereja yang berada di dalam dan yang terhimpun dari Gereja-gereja (Ecclesia in et ex Ecclesiis) (44), adalah tidak terpisahkan dari rumusan yang lain ini: Gereja-gereja yang berada di dalam dan yang terhimpun dari Gereja (Ecclesia in et ex Ecclessiis) (45). Jelaslah bahwa hubungan antara Gereja Universal dan Gereja-gereja partikular adalah sebuah misteri dan tidak dapat dibandingkan dengan apa yang eksis di antara keutuhan dan bagian-bagian dalam kelompok manusia atau masyarakat.

10. Setiap anggota umat beriman, melalui iman dan pembaptisan, telah dimasukkan ke dalam Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Umat beriman tidak berarti menjadi anggota Gereja Universal secara ’setengah-setengah’ melalui keanggotaan Gereja partikular, melainkan secara seketika ’seutuhnya’, sekalipun untuk masuk ke dalam dan hidup di dalam Gereja Universal adalah perlu diwujudkan melalui keanggotaannya dalam Gereja partikular. Melalui sudut pandang Gereja yang dipahami sebagai communio, hal ini berarti bahwa persekutuan umat beriman dan communio [persekutuan] dari Gereja-gereja adalah bukan konsekuensi akan satu dengan lainnya, melainkan merupakan suatu kenyataan yang sama yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Lebih daripada itu, seseorang yang adalah anggota dari sebuah Gereja partikular tidak pernah bertentangan dengan kenyataan bahwa di dalam Gereja, tidak ada seorangpun yang menjadi orang asing (46): setiap anggota umat beriman, terutama dalam perayaan Ekaristi, adalah di dalam Gereja mereka, adalah [juga] di dalam Gereja Kristus, tanpa menghiraukan apakah ia secara hukum knonik, adalah anggota dari keuskupan, paroki atau komunitas-komunitas partikular lainnya di mana perayaan diadakan. Dalam pengertian ini, tanpa berbenturan dengan peraturan-peraturan dalam hukum yang terkait tentang ketergantungan yuridis (47), siapa pun yang menjadi anggota Gereja partikular tertentu adalah juga menjadi anggota seluruh Gereja-gereja; sebagaimana menjadi anggota Communio, seperti menjadi anggota Gereja, adalah tidak pernah hanya sebatas partikular, melainkan sebagaimana pengertian kodratinya yang selalu universal (48).

III. Communio dari Gereja- gereja, Ekaristi dan Episkopat

11. Kesatuan atau persekutuan di antara Gereja-gereja partikular dalam Gereja Universal, ialah berakar bukan hanya dari iman yang sama dan dalam Pembaptisan secara umum, namun di atas semua itu, di dalam Ekaristi dan Episkopat.
Berakar dalam Ekaristi karena Kurban Ekaristi, yang selalu dilakukan di setiap komunitas partikular, adalah tidak pernah hanya sebuah perayaan untuk komunitas itu sendiri saja. Dalam kenyataannya, komunitas tersebut, dalam menerima kehadiran ekaristik dari Allah, menerima keseluruhan rahmat keselamatan dan menunjukkan bahwa sekalipun dalam bentuknya yang partikular dan senantiasa terlihat, adalah sebuah gambaran dan kehadiran nyata akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik (49).

Penemuan kembali akan sebuah eklesiologi ekaristi, meskipun sebagai sebuah nilai yang tak diragukan, adalah bagaimanapun juga terkadang telah meletakkan penekanan yang berat sebelah dalam hal prinsip-prinsip Gereja lokal. Diklaim bahwa, di mana Ekaristi dirayakan, totalitas dari misteri Gereja akan dihadirkan melalui sebuah cara sedemikian sehingga menjadikan prinsip-prinsip lainnya dari kesatuan atau universalitas menjadi tidak penting. Konsep-konsep yang lainnya, di bawah pengaruh- pengaruh teologis yang berbeda, malah memberikan gambaran khusus akan Gereja dalam sebuah bentuk yang lebih radikal, yaitu pandangan yang sangat melebar sampai mengatakan bahwa perkumpulan bersama dalam nama Yesus (bdk. Mat 18: 20) adalah sama dengan melahirkan Gereja: suatu perkumpulan jemaat yang di dalam nama Kristus menjadi sebuah komunitas, akan memegang di dalamnya, kuasa- kuasa Gereja, termasuk kuasa yang sehubungan dengan Ekaristi. Gereja, beberapa orang berkata, akan tumbuh “dari tingkat bawah”. Pandangan-pandangan seperti ini dan kesalahan-kesalahan (errors) yang serupa tidak secara cukup mengungkapkan secara tepat bahwa Ekaristi, yang menjadikan seluruh kepenuhan (self-sufficiency) di pihak Gereja-gereja partikular menjadi tidak mungkin. Sudah barang tentu, kesatuan dan ketidakterpisahan dari Tubuh ekaristik Allah mengungkapkan kesatuan dari Tubuh Mistik-Nya, yang mana berupa Gereja yang satu dan tak terpisahkan. Dari pusat ekaristik tumbuhlah keterbukaan yang sepantasnya dari setiap perayaan komunitas, dari setiap Gereja partikular; dengan membiarkan dirinya masuk ke dalam tangan Allah yang terbuka, ia [Gereja Partikular] memperoleh pemasukannya ke dalam TubuhNya yang satu dan tak terpisahkan. Untuk alasan ini pula, keberadaan akan dewan kepausan yang mana adalah sebuah dasar dari kesatuan Episkopat dan juga dari Gereja Universal, membawa sebuah persesuaian yang bermakna kepada ciri ekaristik dari Gereja.

12. Dalam kenyataannya, kesatuan Gereja adalah juga berakar dari kesatuan Episkopat (50). Sebagaimana pemikiran akan Tubuh dari Gereja-gereja mengundang keberadaan sebuah Gereja yang adalah Kepala dari Gereja-gereja, di mana secara tepat dan khusus yaitu Gereja Roma, “ yang terpenting dalam persekutuan universal akan kasih” (51), maka kesatuan dari Episkopat melibatkan keberadaan seorang Uskup yang adalah Kepala dari Tubuh atau Kolegium para Uskup, atas nama Uskup Roma (52). Dari kesatuan Episkopat, juga sebagaimana kesatuan dari seluruh Gereja, “Uskup Roma, sebagai penerus Petrus, adalah sumber yang terus menerus tak berkesudahan dan terlihat serta sebagai pondasi” (53). Kesatuan Episkopat ini adalah terus berkesinambungan selama berabad-abad melalui apa yang disebut dengan suksesi apostolik, dan juga sebagai pondasi dari identitas Gereja di setiap masa, Gereja yang dibangun oleh Kristus di atas Petrus dan bersama-sama Rasul lainnya (54).

13.Uskup adalah sumber yang terlihat dan pondasi dari kesatuan Gereja partikular yang dipercayakan dalam dewan pastoralnya (55). Tetapi untuk setiap Gereja partikular, yang adalah kehadiran partikular dari Gereja Universal dengan segala elemen essensialnya, dan karenanya merupakan sebuah model dari Gereja Universal, haruslah ada di dalamnya, sebagai sebuah elemen yang sesuai, otoritas tertinggi dari Gereja: Kolegium Episkopal “bersama dengan kepala mereka, Uskup tertinggi [Paus], dan tak pernah terpisahkan darinya” (56). Keutamaan Uskup Roma dan Kolegium episkopal adalah elemen-elemen yang sesuai dari Gereja Universal yang “tidak diturunkan dari partikularitas Gereja-gereja” (57), tetapi tidak lain adalah interior dari setiap Gereja partikular. Maka dari itu “kita harus melihat dewan penerus Petrus, bukan hanya sebagai sebuah pelayanan ‘global’, mencapai setiap Gereja partikular dari ’sisi luar’ sebagaimana mestinya, melainkan sudah termaktubkan dalam essensi dari setiap Gereja partikular dari ‘dalam’nya” (58). Tentu, pelayanan keutamaan Petrus tersebut melibatkan secara penting sebuah kekuatan episkopal sejati, yang bukan hanya tertinggi, penuh dan universal, melainkan juga seketika kepada setiap orang, termasuk para Imam dan umat beriman lainnya (59). Pelayanan penerus Petrus sebagai sesuatu yang interior bagi setiap Gereja partikular adalah sebuah ekspresi yang penting dari keterkaitan internal yang mendasar antara Gereja Universal dan Gereja partikular (60).

14. Kesatuan Ekaristi dan kesatuan Episkopat bersama Petrus dan di bawah Petrus bukan berupa akar-akar yang berdiri sendiri-sendiri satu sama lain dari kesatuan Gereja, karena Kristus membangun Ekaristi dan Episkopat sebagai realitas yang secara essensial terkait satu sama lain (61). Episkopat adalah satu, sebagaimana Ekaristi adalah satu: Kurban yang satu dari Kristus yang satu, wafat dan bangkit. Liturgi mengekspresikan kenyataan ini melalui berbagai macam cara, menunjukkan, sebagai contoh, bahwa setiap perayaan Ekaristi ditampilkan dalam kesatuan bukan hanya bersama dengan Uskup setempat, melainkan juga bersama dengan Paus, bersama tata episkopal, bersama seluruh imam, dan beserta seluruh manusia (62). Setiap perayaan yang valid dari Ekaristi, mengekspresikan persatuan semesta bersama Petrus dan bersama seluruh Gereja, atau secara objektif mengundang kepadanya, sebagaimana dalam kasus Gereja-gereja Kristiani yang terpisah dari Roma (63).

IV. Kesatuan dan keberagaman dalam persekutuan gerejawi [Ecclesial communion]

15. “Universalitas Gereja melibatkan, di satu pihak, sebuah kesatuan yang paling utuh, dan di sisi lain; sebuah keberagaman dan juga sebuah perbedaan, yang mana tidak menghambat kesatuan, melainkan menyumbangkan ciri dari ‘persekutuan’” (64). Keberagaman ini merujuk pada kebhinekaan dalam imamat, karisma-karisma serta bentuk-bentuk kehidupan dan kerasulan di dalam setiap Gereja partikular, dan juga kepada kebhinekaan dari tradisi-tradisi dalam liturgi, budaya di antara Gereja-gereja partikular yang beraneka macam (65).

Menjaga sebuah kesatuan namun tidak menghambat keberagaman, dan mengakui serta menjaga sebuah keanekaragaman namun tidak menghambat kesatuan melainkan saling memperkaya, adalah sebuah tugas yang utama dari Uskup Roma untuk seluruh Gereja (66), dan tanpa melanggar hukum umum dalam Gereja itu sendiri, [adalah tugas] dari setiap Uskup dalam Gereja partikular yang dipercayakan kepadanya dalam pelayanan pastoralnya (67). Tetapi, pembangunan dan penjagaan kesatuan ini, yang padanya, keanekaragaman menganugerahkan ciri dari persekutuan, adalah juga tugas dari setiap orang dalam Gereja, karena semua orang adalah dipanggil untuk membangun Gereja dan menjaganya setiap saat, di atas segalanya, melalui kasih tersebut yang adalah “ikatan kesempurnaan” (68).

16. Untuk sebuah pandangan yang lebih lengkap akan aspek ecclesial communion ini -kesatuan dalam keberagaman- maka hendaknya senantiasa diingat bahwa terdapat institusi-institusi dan komunitas-komunitas yang didirikan oleh Otoritas Apostolik untuk beberapa tugas pastoral khusus. Mereka adalah juga anggota Gereja Universal, sekalipun anggota-anggota mereka adalah juga anggota-anggota dari Gereja-gereja partikular di mana mereka tinggal dan berkarya. Kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam Gereja-gereja partikular, dengan fleksibilitas khas mereka (69), mengambil bentuk-bentuk yuridis yang berbeda. Tetapi hal ini tidak melukai kesatuan dari Gereja partikular yang dipimpin oleh Uskup; namun lebih lagi hal ini membantu menegaskan kesatuan ini dengan kebhinekaan interior yang adalah salah satu ciri dari communio (70).

Dalam konteks Gereja untuk dipahami sebagai communio, perhatian harus juga diberikan kepada banyak institusi dan serikat-serikat yang mengekspresikan karisma-karisma dalam kehidupan membiara dan kehidupan kerasulan, yang dengannya Roh Kudus menerangi Tubuh Mistik Kristus. Sekalipun ini semua bukan milik struktur hirarkis Gereja, semua ini adalah milik dari kehidupan dan kesucian (71).

Melalui ciri-ciri atas keuskupan [supradiocesan] mereka, yang berakar dalam pelayanan Petrus, seluruh realitas gerejawi ini adalah juga elemen-elemen dalam hal persekutuan di antara Gereja-gereja partikular yang beraneka-ragam.

V. Ecclesial Communion dan Ekumenisme

17. “Gereja mengetahui bahwa ia tersatukan melalui beberapa jalan kepada mereka yang dibaptis, mereka yang dianugerahi dengan sebutan Kristen, namun mereka bagaimanapun tidak mengikrarkan iman Katolik secara utuh atau pun tidak menjaga kesatuan atau bersekutu di bawah penerus Petrus” (72). Dari antara Gereja-gereja non-Katolik dan komunitas-komunitas Kristiani, memang terdapat banyak elemen dari Gereja Kristus, yang memungkinkan kita, di tengah kegembiraan dan harapan, untuk mengakui adanya sebuah persekutuan tertentu, walaupun tidak sempurna (73).

Persekutuan yang tidak sempurna ini hadir secara khusus dengan Gereja Orthodox Timur, yang mana, sekalipun terpisah dari Tahta Petrus, masih tersatu dengan Gereja Katolik dalam artian suatu ikatan yang sangat erat, misalnya suksesi apostolik dan sebuah Ekaristi yang valid, dan oleh karena itu menyandang gelar sebagai Gereja-gereja partikular (74). Sudah tentu, “melalui perayaan Ekaristi Ilahi dalam setiap Gereja-gereja ini, Gereja Allah dibangun dan bertumbuh” (75), sebab di dalam setiap perayaan Ekaristi yang valid, Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik menjadi sungguh-sungguh hadir (76).

Namun, bagaimanapun, persekutuan dengan Gereja Universal, yang diwakilkan oleh Penerus Petrus, bukanlah pelengkap luaran dari Gereja partikular, melainkan salah satu dari unsur pokok internalnya, situasi dari komunitas-komunitas Kristiani yang terberkati tersebut juga berarti bahwa kehadiran mereka sebagai Gereja-gereja partikular adalah terlukai. Luka ini justru lebih dalam, pada komunitas-komunitas gerejawi yang tidak mempertahankan suksesi apostolik dan Ekaristi yang valid. Hal ini pada akhirnya juga melukai Gereja Katolik, yang dipanggil Allah untuk seluruhnya dalam “satu kawanan” dengan “satu gembala” (77), maka hal ini menghalangi pemenuhan yang sempurna akan universalitasnya dalam sejarah.

18. Situasi ini secara serius mengundang untuk sebuah komitmen ekumenis di pihak setiap orang, dengan visi untuk mencapai persekutuan penuh dalam kesatuan Gereja; kesatuan itu “yang mana Kristus limpahkan kepada GerejaNya sejak awal mulanya. Kita percaya kesatuan ini berada dalam Gereja Katolik sebagai sesuatu yang tidak dapat hilang, dan kita harapkan akan terus berkesinambungan untuk terus bertumbuh hingga akhir jaman” (78). Dalam komitmen ekumenis ini, prioritas utama adalah doa, pertobatan, pembelajaran, dialog dan kerja sama, sehingga, melalui sebuah perubahan arah yang baru kepada Allah, seluruhnya dapat mengenali kesinambungan akan keutamaan Petrus dalam diri penerus-penerusnya, para Uskup Roma, dan untuk melihat pelayanan Petrus terpenuhi melalui cara yang diinginkan Allah, sebagai sebuah pelayanan kerasulan yang mendunia, yang hadir dalam diri semua Gereja dari dalam, dan yang mana, ketika menjaga substansinya sebagai sebuah institusi Ilahi, dapat menemukan ekspresi dalam berbagai cara menurut situasi-situasi dalam waktu dan tempat yang berbeda sebagaimana sejarah telah menunjukkannya.
Penutup

19. Perawan Maria yang Terberkati adalah model dari ecclesial communion dalam iman, dalam kasih dan dalam kesatuan dengan Kristus (79). “Secara abadi hadir dalam misteri Kristus” (80), Bunda Maria, berada di tengah-tengah para Rasul, berada tepat di jantung hati Gereja pada kelahiran Gereja (81) dan pada Gereja di segala jaman. Tentunya, “Gereja terkumpul di atas bersama Bunda Maria, yang adalah Ibu Yesus, dan dengan saudara-saudaraNya. Kita tidak dapat berbicara tentang Gereja tanpa kehadiran Maria, Bunda Allah, yang hadir di sana bersama saudara-saudaraNya” (82).

Dalam membawakan Surat ini sampai pada akhirnya, Konggregasi Doktrin dan Ajaran Iman, menggemakan kata-kata akhir dari Konstitusi Lumen Gentium (83), mengundang seluruh Uskup dan melalui mereka, seluruh umat beriman, terutama para ahli teologi, untuk mempercayakan kepada terangkatnya Perawan yang Terberkati, komitmen mereka kepada persekutuan dan kepada refleksi teologis mengenai persekutuan (communio)

Paus Yohannes Paulus II, dalam Audiensi yang diserahkan untuk ditandatangani Kardinal Prefek, mengesahkan Surat ini, menyetujuinya dalam pertemuan ordinaris dari Konggregasi ini, dan memerintahkan untuk publikasinya.

Roma, pada Konggregasi Doktrin dan Ajaran Iman, 28 Mei 1992.
Joseph Kardinal Ratzinger
Prefek

+ Alberto Bovone
Tit. Abp. Caesarea di Numidia
Sekretaris

CATATAN KAKI
(1) Cf. Const. Lumen gentium, nn. 4, 8, 13-15, 18, 21, 24-25; Const. Dei Verbum, n. 10; Const. Gaudium et spes, n. 32; Decr. Unitatis redintegratio, nn. 2-4, 14-15, 17-19, 22.
(2) Cf. SYNOD OF BISHOPS, Second Extraordinary Assembly (1985), Relatio finalis, II, C), 1.
(3) PAUL VI, Opening address for the second period of the Second Vatican Council, 29-IX-1963: AAS 55 (1963) p. 848. Cf., for example, the perspectives for further reflection indicated by the INTERNATIONAL THEOLOGICAL COMMISSION, in its Themata selecta de ecclesiologia: “Documenta (1969-1985)”, Lib. Ed. Vaticana 1988, pp. 462-559.
(4) JOHN PAUL II, Address to the Bishops of the United Sates of America, 16-IX-1987, n. 1: “Insegnamenti di Giovanni Paolo II” X, 3 (1987) p. 553.
(5) 1 Jn 1, 3: “that which we have seen and heard, we proclaim also to you, so that you may have fellowship with us; and our fellowship is with the Father and with his Son Jesus Christ”. Cf. also 1 Cor 1, 9; JOHN PAUL II, Ap. Exh. Christifideles laici, 30-XII-1988, n. 19; SYNOD OF BISHOPS (1985), Relatio finalis, II,C), 1.
(6) Cf. Phil 3, 20-21; Col 3, 1-4; Const. Lumen gentium, n. 48.
(7) 2 Cor 5, 6. Cf. Const. Lumen gentium, n. 1.
(8) Cf. ibidem, no. 7; PIUS XII, Enc. Mystici Corporis, 29-VI-1943: AAS 35 (1943) pp. 200ff.
(9) Cf. Const. Lumen gentium, n. 11/a.
(10) ST. CYPRIAN, De Oratione Dominica, 23: PL 4, 553; cf. Const. Lumen gentium, n. 4/b.
(11) Cf. Const. Lumen gentium, n. 9/c.
(12) Cf. 2 Pet 1, 4.
(13) Cf. 2 Cor 1, 7.
(14) Cf. Eph 4, 13; Philem 6.
(15) Cf. Phil 2, 1.
(16) Cf. Const. Lumen gentium, nos. 25-27.
(17) Cf. Mt 28, 19-20; Jn 17, 21-23; Eph 1, 10; Const. Lumen gentium, nn. 9/b, 13 and 17; Decr. Ad gentes, nn. 1 and 5; ST. IRENAEUS, Adversus haereses, III, 16, 6 and 22, 1-3: PG 7, 925-926 and 955-958.
(18) ST. CYPRIAN, Epist. ad Magnum, 6: PL 3, 1142.
(19) Eph 4, 4-5: “There is one body and one Spirit, just as you were called to the one hope that belongs to your call, one Lord, one faith, one baptism”. Cf. also Mk 16, 16.
(20) Const. Lumen gentium, n. 7/b. The Eucharist is the sacrament “through which in the present age the Church is made” (ST. AUGUSTINE, Contra Faustum, 12, 20: PL 42, 265). “Our sharing in the body and blood of Christ leads to no other end than that of transforming us into that which we receive” (ST. LEO THE GREAT, Sermo 63, 7: PL 54, 357).
(21) Cf. Const. Lumen gentium, nn. 3 and 11/a; ST. JOHN CHRYSOSTOM, In 1 Cor. hom., 24, 2: PG 61, 200.
(22) Cf. Denz.-Sch`n. 19, 26-30.
(23) Cf. 1 Cor 12, 25-27; Eph 1, 22-23; 3, 3-6.
(24) Acts 4, 32.
(25) Cf. Acts 2, 42.
(26) Cf. Rom 8, 15-16.26; Gal 4, 6; Const. Lumen gentium, n. 4.
(27) ST. THOMAS AQUINAS, De Veritate, q. 29, a. 4 c. Indeed, “lifted up on the cross and glorified, the Lord Jesus poured forth the Spirit whom he had promised, and through whom he has called and gathered together the people of the New Covenant, which is the Church, into a unity of faith, hope and charity” (Decr. Unitatis redintegratio, n. 2/b).
(28) Cf. Const. Lumen gentium, n. 49.
(29) Cf. Heb 7, 25.
(30) Cf. Const. Lumen gentium, nn. 50 and 66.
(31) Cf. Mt 16, 18; 1 Cor 12, 28; etc.
(32) Cf. Acts 8, 1; 11, 22; 1 Cor 1, 2; 16, 19; Gal 1, 22; Rev 2, 1.8; etc.
(33) Cf. PONTIFICAL BIBLICAL COMMISSION, UnitJ et diversitJ dans l’Eglise, Lib. Ed. Vaticana 1989, especially, pp. 14-28.
(34) Const. Lumen gentium, n. 23/a; cf. Decr. Ad gentes, n. 20/a.
(35) Decr. Christus Dominus, n. 11/a.
(36) Const. Lumen gentium, n. 23/b. Cf. ST. HILARY OF POITIERS, In Psalm., 14, 3: PL 9, 301; ST. GREGORY THE GREAT, Moralia, IV, 7, 12: PL 75, 643.
(37) Cf. PAUL VI, Ap. Exh. Evangelii nuntiandi, 8-XII-1975, n. 64/b.
(38) Decr. Christus Dominus, n. 6/c.
(39) JOHN PAUL II, Address to the Roman Curia, 20-XII-1990, n. 9: “L’Osservatore Romano”, 21-XII-1990, p. 5.
(40) Decr. Christus Dominus, n. 11/a.
(41) JOHN PAUL II, Address to the Bishops of the United States of America, 16-IX-1987, n. 3: as quoted, p. 555.
(42) Cf. SHEPHERD OF HERMAS, Vis. 2, 4: PG 2, 897-900; ST. CLEMENT OF ROME, Epist. II ad Cor., 14, 2: Funck, 1, 200.
(43) Cf. Acts 2, 1ff. ST IRENAEUS, Adversus haereses, III, 17, 2 (PG 7, 929-930): “at Pentecost (…) all nations (…) had become a marvellous choir to intone a hymn of praise to God in perfect harmony, because the Holy Spirit had brought distances to nought, eliminated discordant notes and transformed the varieties of the peoples into the first-fruits to be offered to the Father”. Cf. also ST. FULGENTIUS OF RUSPE, Sermo 8 in Pentecoste, 2-3: PL 65, 743-744.
(44) Const. Lumen gentium, n. 23/a: “it is in these and formed out of them that the one and unique Catholic Church exists”. This doctrine develops in the same line of continuity what had been stated previously, for example by PIUS X, Enc. Mystici Corporis, as quoted, p. 211: “out of which the one Catholic Church exists and is composed”.
(45) Cf. JOHN PAUL II, Address to the Roman Curia, 20-XII-1990, n. 9: as quoted, p. 5.
(46) Cf. Gal. 3, 28.
(47) Cf., for example, C.I.C., can. 107.
(48) ST. JOHN CHRYSOSTOM, In Ioann. hom., 65, 1 (PG 59, 361): “whoever is in Rome knows that the Indians are his members”. Cf. Const. Lumen gentium, n. 13/b.
(49) Cf. Const. Lumen gentium, n. 26/a; ST. AUGUSTINE, In Ioann. Ev. Tract., 26, 13: PL 35, 1612-1613.
(50) Cf. Const. Lumen gentium, nn. 18/b, 21/b. 22/a. Cf. also ST. CYPRIAN, De unitate Ecclesiae, 5: PL 4, 516-517; ST. AUGUSTINE, In Ioann. Ev. Tract., 46, 5: PL 35, 1730.
(51) ST. IGNATIUS OF ANTIOCH, Epist. ad Rom., prol.: PG 5, 685; cf. Const. Lumen gentium, n. 13/c.
(52) Cf. Const. Lumen gentium, n. 22/b.
(53) Ibidem, n. 23/a. Cf. Const. Pastor aeternus: Denz.-Sch`n. 3051-3057; ST. CYPRIAN, De unitate Ecclesiae, 4: PL 4, 512-515.
(54) Cf. Const. Lumen gentium, n. 20; ST. IRENAEUS, Adversus haereses, III, 3, 1-3: PG 7, 848-849; ST. CYPRIAN, Epist. 27, 1: PL 4, 305-306; ST. AUGUSTINE, Contra advers. legis et prophet., 1, 20, 39: PL 42, 626.
(55) Cf. Const. Lumen gentium, n. 23/a.
(56) Ibidem, n. 22/b; cf also n. 19.
(57) JOHN PAUL II, Address to the Roman Curia, 20-XII-1990, n. 9: as quoted, p. 5.
(58) JOHN PAUL II, Address to the Bishops of the United States of America, 16-IX-1987, n. 4: as quoted, p. 556.
(59) Cf. Const. Pastor aeternus, chap. 3: Denz.-Sch`n 3064; Const. Lumen gentium, n. 22/b.
(60) Cf. supra, n. 9.
(61) Cf. Const. Lumen gentium, n. 26; ST. IGNATIUS OF ANTIOCH, Epist. ad Philadel., 4: PG 5, 700; Epist. ad Smyrn., 8: PG 5, 713.
(62) Cf. ROMAN MISSAL, Eucharistic Prayer III.
(63) Cf. Const. Lumen gentium, n. 8/b.
(64) JOHN PAUL II, Address, General Audience, 27-IX-1989, n. 2: “Insegnamenti di Giovanni Paolo II” XII,2 (1989) p. 679.
(65) Cf. Const. Lumen gentium, n. 23/d.
(66) Cf. ibidem, n. 13/c.
(67) Cf. Decr. Christus Dominus, n. 8/a.
(68) Col 3, 14. ST. THOMAS AQUINAS, Exposit. in Symbol. Apost., a. 9: “The Church is one (…) through the unity of charity, because all are joined in the love of God, and among themselves in mutual love”.
(69) Cf. supra, n. 10.
(70) Cf. supra, n. 15.
(71) Cf. Const. Lumen gentium, n. 44/d.
(72) Const. Lumen gentium, n. 15.
(73) Cf. Decr. Unitatis redintegratio, nn. 3/a and 22; see also Const. Lumen gentium, n. 13/d.
(74) Cf. Decr. Unitatis redintegratio, nn. 14 and 15/c.
(75) Ibidem, n. 15/a.
(76) Cf. supra, nn. 5 and 14.
(77) Jn 10, 16.
(78) Decr. Unitatis redintegratio, n. 4/c.
(79) Cf. Const. Lumen gentium, nn. 63 and 68; ST. AMBROSE, Exposit. in Luc., 2, 7: PL 15, 1555; ST ISAAC OF STELLA, Sermo 27: PL 194, 1778-1779; RUPERT OF DEUTZ, De Vict. Verbi Dei, 12, 1: PL 169, 1464-1465.
(80) JOHN PAUL II, Enc. Redemptoris Mater, 25-III-1987, n. 19.
(81) Cf. Acts 1, 14; JOHN PAUL II, Enc. Redemptoris Mater: as quoted, n. 26.
(82) ST. CROMATIUS OF AQUILEIA, Sermo 30, 1: “Sources ChrJtiennes” 164, p. 134. Cf. PAUL VI, Ap. Exh. Marialis cultus, 2-II-1974, n. 28.
(83) Cf. Const. Lumen gentium, n. 69.

Quanto Conficiamur Moerore

0

Dari Katolisitas:

Terima kasih kepada Anastasius yang sudah mengirimkan terjemahan surat Ensiklik Paus Pius IX berjudul; Quanto Conficiamur Moerore. Terjemahan di bawah ini sudah diperiksa, diedit dan direvisi oleh Ingrid Listiati. Namun demikian terjemahan ini masih merupakan un-official translation/ terjemahan tidak resmi dari Quanto Conficiamur Moerore.

Kata Pengantar Penerjemah

Terjemahan tak resmi Ensiklik Pius IX berjudul; Quanto Conficiamur Moerore berisikan tentang kecaman terhadap ajaran-ajaran salah yang muncul di seputar masa-masa revolusi Italia, serta kekacauan yang terjadi pada saat itu. Liberalisme dan sentimen anti-Katolik mulai bermunculan dengan berbagai manifestasinya. Maka bisa kita baca bersama ensiklik ini menyampaikan sebuah keprihatinan yang mendalam atas prahara yang timbul baik dari luar terhadap Gereja maupun dari dalam terhadap Gereja itu sendiri.

Ensiklik ini diterbitkan pada tahun 1863, tujuh tahun menjelang akhir dari Negara Kepausan (Papal States) dan berdirinya Republik Italia yang memunculkan Roman Question dan diakhiri dalam Perjanjian Lateran dengan bentuk akhir Negara Kota Vatikan yang kita kenal saat ini.

Pada paragraf 7 dan 8, Ensiklik ini memberikan titik berat pada dogma “Extra Ecclesiam Nulla Salus” (Di Luar Gereja Tidak Ada Keselamatan) dan “Invincible Ignorance” (Ketidaktahuan yang tak dapat diatasi) yang dapat kita jumpai dengan jelas, dan akan pula kita jumpai dalam dokumen Konsili Vatikan II; Lumen Gentium art.14.

Akhir kata semoga terjemahan yang bersifat tak resmi ini dapat bermanfaat dan mendekatkan kita umat Katolik dengan dokumen-dokumen Gereja.

Salam dan doa

Anastasius

QUANTO CONFICIAMUR MOERORE

Tentang Ajaran Doktrin yang Salah

ENSIKLIK PAUS PIUS IX
10 AGUSTUS 1863

Kepada anak-anakku yang terkasih, Kardinal-kardinal dan kepada Saudara-saudaraku yang terhormat, Uskup-uskup Agung dan para Uskup Italia.
Anak-anakku yang terkasih dan saudara-saudaraku yang terhormat, salam dan berkat apostolik.

1. Betapa banyak hal kita harus berduka atas perang yang paling kejam dan tercela terhadap Gereja Katolik hampir di seluruh dunia selama saat-saat penuh pergolakan ini dan secara khusus dinyatakan kepada Italia yang menyedihkan dalam beberapa tahun lalu secara tak terkira terhadap Pemerintah Piedmontese dan semakin kacau dan kejam dari hari ke hari, yang mana setiap dari kamu, anak-anakku yang terkasih dan saudara-saudara yang terhormat, tentunya dengan mudah memahaminya. Di tengah kesulitan-kesulitan kami, bagaimanapun, sejauh kalian melihat bersama kami, kami terhibur dan tertenangkan secara mendalam. Sekalipun kalian, sudah tentu terlecehkan dengan begitu mendalam oleh segala kemungkinan ketidakadilan, terpisahkan dari komunitasmu, terasingkan hingga dijebloskan ke dalam penjara, meskipun demikian, dengan keberanianmu yang besar, kalian tidak pernah lalai untuk berbicara dan menulis dengan tekun dan rajin membela ajaran-ajaran Ilahi, GerejaNya dan Tahta Apostolik ini.

2. Oleh sebab itu, kami berterima-kasih karena kalian dengan turut serta sangat menderita dalam segala penghinaan di dalam nama Yesus. Kami menyampaikan kepada kalian sebuah kalimat pujian dari pendahulu kita yang kudus, Leo: “Hendaklah kamu bertahan dengan segenap hatimu dari segala cobaan atas kasihmu, yang telah kamu jalankan atas penghormatan bagi iman Katolik; hendaklah aku menerima penderitaan-penderitaan yang jatuh atasmu, seperti aku menerima penderitaan itu atas diriku sendiri, bagaimanapun, bahwa ini lebih merupakan kebahagiaan daripada penderitaan yang oleh kekuatan Tuhan kita, Yesus Kristus, kamu telah bertekun secara luar biasa dalam penginjilan dan ajaran apostolik . . . Dan ketika musuh dari iman Kristiani merobek-robek kamu dari Gerejamu, lebih daripada tercemari oleh kebejatan mereka, kamu lebih memilih untuk bertahan dalam ketidakadilan di pembuanganmu.” (1)

3. Akankah kita dapat menyatakan akhir dari malapetaka-malapetaka yang mengerikan, yang merongrong Gereja ! Tidak akan pernah cukup kesedihan ini melihat kerusakan moral yang terus meningkat dan disebarkan melalui tulisan-tulisan tak beriman dan tulisan-tulisan cabul, tontonan-tontonan teatrikal dan rumah-rumah pelacuran yang didirikan hampir di mana-mana; melalui seni-seni rendahan dan tanda-tanda mengerikan akan setiap kesalahan yang tersebar ke mana-mana; melalui kenajisan yang menjijikan dari semua perbuatan buruk dan kejahatan yang terus bertumbuh serta virus yang mematikan akan kekafiran dan indifferentisme yang menyebar jauh dan meluas; melalui perlawanan atas otoritas Gerejani, hal-hal suci dan hukum-hukum serta penjarahan-penjarahan atas harta milik Gereja; melalui perlakuan-perlakuan kasar dan menyakitkan kepada para pejabat-pejabat Gereja, murid-murid komunitas religius, dan para perawan yang mendedikasikan dirinya kepada Allah; melalui kebencian yang mendalam kepada Kristus, GerejaNya, ajaran-ajaranNya serta kepada Tahta Apostolik ini. Semua ini, dan hampir tak terhitung banyaknya kejahatan yang dilakukan oleh musuh-musuh Gereja dan iman Katolik, kami terus meratapinya dengan penuh kesedihan.

4. Seluruh kengerian ini tampaknya masih jauh dan lama untuk kita jalani hingga tiba saat-saat yang kita rindukan dan nantikan bersama, kejayaan dari agama yang tersuci, yang penuh keadilan dan penuh kebenaran. Kejayaan ini tidak akan pernah mengingkari kita, walau kita tidak pernah tahu akan kapan waktu tersebut akan tiba seturut rencana Ilahi. Walaupun Allah Bapa kita di Surga mengijinkan GerejaNya yang suci menderita dan diserang oleh berbagai kesengsaraan dan kesulitan selama melayani dalam pengembaraan yang menyedihkan di dunia ini, meskipun begitu, karena Gereja ini didirikan oleh Kristus, sang Allah, di atas batu karang yang kokoh dan tak tergoyahkan, maka GerejaNya tak akan dapat digoncangkan atau runtuh oleh segala serangan atau kejahatan. Melainkan, “Ia semakin dikuatkan, tidak menjadi lemah oleh siksaan-siksaan. Ladang Tuhan selalu terisi oleh panenan, walau benih yang satu mati, akan lahir dan tumbuh lagi berlipat-lipat.” (2)

5. Itulah, apa yang sedang terjadi dan kita lihat, anak-anakku yang terkasih dan saudara-saudara yang terhormat, sekalipun dalam saat-saat yang paling menyedihkan ini, adalah juga merupakan sebuah berkat dari Allah. Walaupun Mempelai Kristus yang tak ternoda ini tampaknya mengalami bermacam kesulitan pada saat ini yang adalah pekerjaan dari para orang jahat, namun ia sedang berjaya atas musuh-musuhnya. Ya, tentu, ia mengalahkan musuh-musuhnya dan bersinar dengan jaya bersama dengan kesetiaanmu yang tak tertandingi, kasih dan hormat kepada kami dan Tahta Petrus ini, beserta kesetiaanmu yang luar biasa serta bersama saudara-saudara yang terhormat lainnya, para Uskup Katolik di seluruh dunia. Ia bercahaya bersama-sama dengan berbagai karya kasih Kristus yang terus menerus bertambah setiap harinya; bersama dengan cahaya berkat menyinari berbagai daerah dan terus bertambah setiap harinya; bersama dengan cinta yang istimewa dan devosi yang ditunjukkan oleh Umat Katolik kepada Gerejanya sendiri, kepada kita, dan kepada Tahta Suci ini; bersama dengan keutamaan dan kemenangan abadi para martir. Tahukah kalian, dalam kenyataannya, sebagaimana di Tonkin dan secara khusus pada beberapa daerah di Cochin China, uskup-uskup, imam, umat awam dan juga para wanita, serta anak-anak lelaki dan perempuan, melakukan kemartiran dengan semangatnya yang tak terpadamkan dan kepahlawanan mereka, mengatasi segala penyiksaan tak manusiawi, dan dengan penuh kebahagiaan menyerahkan nyawa mereka demi Kristus. Segala kebahagiaan ini hendaklah menghibur kita dan kepada kalian di tengah-tengah penderitaan yang menyiksa kita.

6. Kini, karena Offisi Apostolik kami meminta agar kita secara terus bertekun membela Gereja yang diserahkan kepada kita oleh Kristus, kami mengutuk mereka yang menyerang dan menghina Gereja, hukum-hukum sucinya, imamatnya, dan Tahta Apostolik ini. Oleh sebab itu, dengan surat ini, sekali lagi kami menetapkan, menyatakan dan mengutuk secara menyeluruh dan semuanya bahwa, yang dalam beberapa ketetapan Kolese Kardinal dan dalam beberapa surat kami, kami secara terpaksa menyesalkan, menyatakan dan mengutuk. (3)

7. Di sini pula, anak-anakku yang terkasih dan saudara-saudara terhormat, sekali lagi diperlukan untuk menyatakan dan mengecam sebuah kesalahan berat yang menghinggapi beberapa umat Katolik yang percaya bahwa adalah mungkin untuk memperoleh keselamatan kekal sekalipun hidup dalam kesalahan dan terpisahkan dari iman sejati dan kesatuan Katolik. Anggapan-anggapan tersebut secara jelas bertentangan dengan ajaran Katolik. Tentu saja, ada beberapa yang bergumul dengan penuh segala usaha dalam ‘ketidak-tahuan yang tak dapat diatasi’ (invincible ignorance) akan agama kita yang tersuci. Yang secara sungguh-sungguh mengamati hukum alam dan perintah-perintah Allah yang tertulis dalam hati semua orang dan kesiapan untuk mematuhi Allah, mereka hidup dengan ketulusan dan adalah mungkin untuk mencapai kehidupan kekal melalui berkat cahaya kerahiman Ilahi dan kemuliaan. Karena Allah mengetahui, menyelidiki dan secara jelas memahami pikiran, hati, jiwa serta sebab dari semuanya, kerahimanNya yang tak terbatas dan pengampunanNya tidak akan membiarkan siapa pun yang tanpa bersalah menyandang dosa untuk menerima siksa abadi.

8. Telah cukup dikenal sebuah ajaran Katolik bahwa tidak ada keselamatan di luar Gereja Katolik. Keselamatan abadi tak akan dapat diperoleh oleh mereka yang melawan otoritas dan pernyataan-pernyataan dari Gereja yang sama dan yang secara keras kepala memisahkan diri dari kesatuan Gereja serta juga memisahkan diri dari penerus Petrus, Uskup Roma, yang kepadanya “pekerjaan ladang anggur telah diserahkan oleh sang Juru Selamat.” (4) Perintah Kristus sudah jelas; “Jika ia menolak untuk mematuhimu sekalipun juga terhadap Gereja, biarlah ia menjadi bagimu seorang yang tak mengenal Tuhan dan pemungut cukai;” (5) “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.” (6) “Siapa yang tidak percaya akan dihukum;” (7) “Barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman;” (8) “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan.” (9) Paulus berkata bahwa orang semacam itu adalah “sesat dan menghukum dirinya sendiri;” (10) Pangeran para Rasul menyebut mereka “guru-guru palsu . . . yang akan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan, bahkan mereka akan menyangkal Penguasa . . . mendatangkan kebinasaan atas diri mereka.” (11)

9. Allah melarang putra-putri Gereja Katolik untuk tidak ramah dalam berbagai cara kepada mereka yang tidak bersatu dengan kita dengan ikatan yang sama akan iman dan cinta kasih. Sebaliknya, biarlah mereka senantiasa bersemangat memperhatikan segala kebutuhan mereka dengan pelayanan kasih Kristiani, entah mereka miskin, sakit atau yang sedang tertimpa musibah. Pertama-tama, hendaklah mereka membebaskan mereka dari lembah gelap kesesatan yang ke dalamnya mereka secara malang terjatuh dan berusaha keras membimbing mereka kembali kepada kebenaran Katolik dan kepada Ibu mereka yang sangat mencintai, yang senantiasa membuka lengan keIbuannya untuk menerima mereka kembali ke dalam pelukannya. Maka, dengan kuat dalam iman, harapan, kasih dan terus berbuah dalam setiap pekerjaan baik, mereka akan memperoleh keselamatan kekal.

10. Lebih jauh lagi, anak-anakku yang terkasih dan saudara-saudara terhormat, kita tidak bisa diam melihat kesalahan yang paling merusak lainnya, sebuah kejahatan yang terus merobek dan secara mendalam mengganggu pikiran, hati dan jiwa. Kami mengacu kepada sebuah keterikatan yang tak terkendali akan sikap cinta diri dan mementingkan diri sendiri yang mendorong banyak orang untuk mencari manfaat dan keuntungan sendiri dengan secara nyata tidak memperdulikan sesama mereka. Yang kami maksudkan yaitu melalui cara nafsu keserakahan akan kekuatan dan kekuasaan yang melebihi segala ketentuan hukum dan kejujuran dan tak pernah sirna dari segala kemungkinan untuk mengumpulkan serta dengan rakusnya menimbun kekayaan. Secara utuh terserap dalam keduniawian, lupa akan Tuhan, agama dan jiwa mereka, mereka secara salah menempatkan segala kebahagiaan dengan mendapatkan uang dan kekayaan. Biarlah orang-orang tersebut menyadari dan merenungkan secara serius perkataan yang sangat bijaksana dari Kristus Tuhan: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (12) Biarlah pula mereka juga merefleksikan ajaran Paulus: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan adalah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” (13)

11. Kini, sesungguhnya, kita tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa kita sedang berada dalam kesedihan yang begitu mendalam dikarenakan terdapat beberapa imam di Italia yang melupakan tugas mereka, tanpa sedikitpun merasa malu dalam menyebarluaskan doktrin salah, sekalipun dalam tulisan-tulisan subversif. Mereka mengajak orang-orang untuk melawan kami dan Tahta Apostolik ini; mereka melawan hukum-hukum sipil kami dan kepada Tahta itu sendiri; mereka tanpa malu dan tak henti-hentinya mendukung musuh-musuh jahat Gereja Katolik dan Tahta Suci ini. Meninggalkan Uskup-uskup mereka dan kami, terlebih didukung oleh pemerintahan Piedmontese dan Parlemennya, imam-imam ini yang berada dalam tindakan pelanggaran terbuka tentang sangsi ekklesiatik dan hukuman Gerejawi telah begitu lancang dan tanpa takut mendirikan assosiasi-assosiasi terkutuk tertentu yang secara umum dikenal sebagai Liberal Clerical, of Mutual Assistance (Persekutuan Imam-imam Liberal), For the Emancipation of the Italian Clergy (Untuk Emansipasi Imam-imam Italia), serta assosiasi-assosiasi lain yang didirikan dengan semangat rusak yang sama. Sekalipun mereka tidak memiliki hak dan dilarang untuk melakukan fungsi imamat sucinya, seperti penyusup yang tidak tahu malu, mereka dengan penuh dosa dan illisit menjalankannya di beberapa Gereja. Maka, kami menolak dan mengutuk perilaku berikut bagi para imam-imam serupa. Pada waktu yang sama, kami menegur dan mendesak, lagi dan lagi, manusia-manusia yang tidak beruntung ini untuk kembali kepada akal sehatnya dan hatinya serta kembali merenungkan demi keselamatan abadi mereka, secara serius menimbang “bahwa Allah tidak mentolerir teladan kepemimpinan secara lebih dari orang- orang lain dibandingkan dari para imam ketika Ia melihat mereka, yang Ia tahbiskan demi kemajuan orang lain, memberikan contoh kebejatan moral mereka (para imam).” (14) Biarlah mereka merefleksikan dengan sungguh- sungguh bahwa kondisi kebingungan mereka haruslah segera diselesaikan sebelum pengadilan Kristus. Hendaklah para anggota Gereja yang menyedihkan ini mengindahkan nasihat-nasihat kami dan secara rela mengakui penyesalan yang tentunya menghibur kami. Hendaklah mereka mencari perlindungan kepada kami dari hari ke hari, memohon ampun atas pembelotan mereka bersama segenap doa serta dengan segala kerendahan hati memohonkan absolusi dari kecaman Gerejawi.

12. Kalian telah secara khusus menyadari, anak-anakku yang terkasih dan saudara-saudara terhormat, bahwa setiap macam tulisan yang tak beriman dan palsu, kebohongan-kebohongan, fitnah, dan melecehkan telah lepas dari neraka. Tak ada rasa sakit yang terhindarkan untuk memberikan sekolah-sekolah kepada guru-guru non-Katolik dan menyediakan gedung gereja-gereja untuk ibadat non-Katolik. Dengan berkali-lipat banyaknya [alasan] yang lain, tentu saja pengkhianatan-pengkhianatan jahat, seni-seni dengan segala macam usaha-usahanya, musuh-musuh Allah melakukan segala usaha untuk menghancurkan seluruh Gereja Katolik -jikalau saja itu mungkin –, menggoda dan merusak manusia, khususnya muda-mudi yang lugu, dan menumbangkan iman kita yang suci dan agama dari semua jiwa.

13. Kami percaya secara penuh bahwa kalian, anak-anak kami yang terkasih dan saudara-saudara terhormat, dikuatkan oleh kerahiman Tuhan kita, Yesus Kristus, akan terus tabah dalam semangat episkopal kalian yang luar biasa. Dengan satu hati dan pikiran serta dedikasi berlipat, semoga kalian terus teguh dalam membela Rumah Israel, semoga kalian berjuang dalam pertempuran yang baik demi iman dan bertahan dari perangkap-perangkap musuh para umat beriman, yang dipercayakan dalam penggembalaanmu. Ingatkan dan dorong mereka untuk tabah dalam iman kita yang kudus, yang tanpanya adalah mustahil untuk menyenangkan Allah. Desaklah mereka untuk senantiasa bertekun dalam agama Ilahi kita, yang hanya satu-satunya dan abadi serta mempersiapkan untuk keselamatan dan juga, dalam jangkauan yang lebih luas lagi, menjaga dan memakmurkan masyarakat sipil.

14. Secara utama melalui para pastor paroki dan anggota Gereja lainnya yang telah dikenal dalam integritas kehidupannya, segala beban moral dan tetap melekat untuk menyuarakan doktrin, hendaklah kalian dengan tanpa henti dan secara akurat di saat waktu yang sama mewartakan sabda Ilahi, dan di sisi lain mengajar orang-orang akan misteri dari agama luhur kita, doktrin-doktrinnya, perintah-perintahnya, dan disiplin-disiplinnya. Kalian, di atas semuanya, mengetahui bahwa banyak kejahatan secara umum lahir dari ketidaktahuan akan hal-hal Ilahi yang penting untuk keselamatan. Maka, kalian akan mengerti bahwa hal ini mewajibkan kalian untuk menggunakan segenap perhatian dan ketekunan sehingga keadaan yang rusak dapat terhindarkan.

15. Sebelum kami membawa surat kami kepada akhirnya, bagaimanapun, kami tak dapat menahan untuk melimpahkan pujian kepada para imam Italia, yang dengan segala ketekunan devosinya kepada kami dan Tahta Petrus ini dan kepada Uskup-uskup mereka, yang secara nyata tidak tersesat. Mengikuti teladan terhormat dari Uskup-uskup mereka dan menerima segala kesulitan-kesulitan dengan kesabaran sepenuhnya, mereka memenuhi tugas mereka dengan sangat terpuji. Kami meletakkan kepercayaan kami dengan pengharapan, bahwa para lerus ini, melalui pertolongan dari rahmat Ilahi serta berjalan dengan baik dalam tugas-tugas panggilan mereka, akan senantiasa berjuang menjadi teladan yang bersinar akan kesalehan dan kebaikan.

16. Kami melanjutkan pula, dengan pujian umum dan layak kepada banyak biarawan-biarawati yang secara kejam terusir dari biara mereka, dirampas dari kepemilikan mereka, dan direndahkan menjadi pengemis, telah tidak putus imannya kepada Mempelai mereka (Gereja, Kristus). Menahan segala kondisi yang paling menyesakkan, mereka berdoa sepanjang hari siang dan malam dalam Rumah Tuhan, di mana mereka secara sabar menunggu belas kasihanNya dan terus memohon kepadaNya demi keselamatan semua, bahkan keselamatan musuh-musuhnya.

17. Kami turut pula bersuka cita, dalam pujian bagi warga Italia, yang dengan kepedulian Katolik yang dalam, membenci segala tindakan tak beriman dan usaha-usaha destruktif terhadap Gereja. Dengan kesalehan, hormat dan kesetiaan, mereka mendapatkan kebanggaan yang besar dalam menghormati kami, Tahta Suci ini, beserta Uskup-uskup mereka. Di tengah-tengah segala kesulitan serius serta terhalangi oleh berbagai bahaya, setiap hari dan dengan berbagai cara mereka secara setia mempersembahkan kepada kami segenap cinta dan devosi mereka, meringankan kebutuhan Tahta Apostolik ini, pada suatu kesempatan dengan uang, dan pada kesempatan lainnya dengan bentuk pemberian yang lain.

18. Di tengah-tengah banyak malapetaka dan ditentang oleh berbagai perlawanan terhadap Gereja, kami tidak putus asa sebab “Kristus adalah pengacara kami dan kekuatan kami; tanpaNya kami tak dapat berbuat apa pun, melaluiNya kami dapat melakukan segala hal. Ketika menetapkan Injil dan sakramen-sakramen, Ia berkata: ‘Aku menyertaimu hingga akhir jaman.’” (15) Kami mengetahui secara khusus, lebih-lebih, bahwa alam maut tak akan pernah menguasai Gereja yang senantiasa berdiri kokoh tak tergerakkan bersama Yesus Kristus, Tuhan kita, sebagai penyerta dan pelindung, yang telah membangun Gereja dan yang telah merupakan “kemarin, hari ini dan selamanya.” (16)

19. Dengan semangat yang semakin giat dan kerendahan hati, biarlah kami, anak-anakku yang terkasih dan saudara-saudara terhormat, tanpa henti kami berdoa dan meminta kepada Allah melalui Yesus Kristus bahwa GerejaNya, yang dirundung oleh badai prahara, dapat bangkit dari segala bencana-bencana dahsyat, menikmati kedamaian sejati yang terberkati dan kemerdekaan kepada seluruh dunia, dan mendapatkan kemenangan baru serta luar biasa atas musuh-musuhnya. Marilah kita berdoa agar mereka yang bersalah /sesat dipenuhi oleh cahaya rahmat Ilahi, agar dapat kembali dari jalan yang salah kepada jalan kebenaran dan keadilan serta, dengan merasakan manfaat buah pertobatan, dapat memiliki cinta yang tak berkesudahan dan takut akan namaNya yang tersuci.

20. Agar Allah yang penuh pengampunan dapat segera mengabulkan doa kita yang secara sungguh-sungguh, marilah kita memohon perlindungan dari Perawan Maria yang Tersuci dan Tak Bernoda, Bunda Allah. Marilah kita memohonkan melalui perantaraan Rasul-rasul yang terkudus, Petrus dan Paulus, dan semua yang terberkati di surga, bahwa dengan doa-doa mereka yang penuh manfaat kepada Allah, mereka dapat memohonkan dengan sangat akan belas kasih dan rahmat kepada semua serta dengan penuh kekuatan menghindarkan dari segala kemalangan dan bahaya yang merundung Gereja di mana-mana dan secara khusus di Italia.

21. Akhirnya, sebagai sebuah janji yang terluhur dari setiap kebajikan terhadapmu, kami memberikan dengan penuh kasih dan sepenuh hati Berkat Apostolik kepada kalian, anak-anakku yang terkasih dan saudara-saudara terhormat, dan juga kepada domba-dombamu yang telah diserahkan untuk pemeliharaanmu.
Diberikan di Roma, di Basilika St.Petrus, 10 Agustus 1863, tahun ke delapan belas dari masa Pontifikat Kami.

ENDNOTES:
1.St. Leo, epistle 154 to the bishops of Egypt, ed. Baller.
2.St. Leo, sermon 82 on the feast of the apostles Peter and Paul.
3.Addresses on 20 June 1859; 26 September 1859; 13 July 1860; 28 September 1860; 17 December 1860; 18 March 1861; 30 September 1861; and 9 June 1862. Encyclical letters on 18 June 1859 and 19 January 1860. Apostolic letter on 26 March 1860.
4.Ecumenical Council of Chalcedon in its letter to Pope Leo.
5.Mt 15.17.
6.Lk 10.16.
7.Mk 16.16.
8.Jn 3.18.
9.Lk 11.23.
10.Ti 3.11.
11.2 Pt 2.1.
12.Mt 16.26.
13.I Tm 6.9-10.
14.St. Gregory the Great, homily 17 in Evangel.
15.St. Leo, epistle 167 to Rusticus, bishop of Narbonne.
16.Heb 13.8.

Kisah Perjalananku Menuju Gereja Katolik

66

Dari Katolisitas: Tulisan ini merupakan bagian kedua dari kesaksian iman Rachel. Kami berterima kasih atas kesediaan Rachel untuk membagikan kisah pergumulan batinnya sampai akhirnya memilih untuk menjadi seorang Katolik. Semoga kisah kesaksian iman ini dapat juga menguatkan iman kita semua…..


“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” (Pengkhotbah 3 : 11)

Tak pernah terbayang sebelumnya, kalau pada akhirnya aku akan memilih untuk menjadi seorang Katolik. Ini merupakan keputusan terbesar dalam hidupku setelah pernikahan. Sekali mengatakan “Ya”, berarti untuk selamanya!!

Setelah melalui perjalanan yang panjang dengan liku-likunya, yang terkadang penuh duri dan terasa amat menyakitkan, serta acap kali menemui persimpangan jalan hingga membuatku cukup mengalami depresi, kini aku, dengan langkah pasti dan kepala tegap terangkat, dapat mengarahkan hatiku untuk melangkah memasuki Gereja Katolik.

Ya, Gereja Katolik!

Gereja Katolik yang dahulunya sangat bertentangan dengan hatiku, dengan pikiranku, dengan seluruh keberadaanku sebagai seorang Protestan.

Dulu, aku sangat membenci doktrin-doktrin Katolik, khususnya ajaran mengenai ‘Maria’.

Bagiku, Maria adalah penghalang utama orang Katolik untuk mendekat lebih lagi kepada Yesus. Apapun yang orang Katolik jelaskan, termasuk pacarku sendiri, tentang doktrin Maria, otakku tidak bisa menerimanya, hatiku selalu memberontak dengan keras. Bagiku doktrin Maria hanyalah buatan manusia, karangan Paus semata!

Salah satu penyebab kebencianku terhadap Maria adalah juga karena kegemaranku membaca buku-buku rohani yang berhubungan dengan alam roh. Aku pernah membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang mantan penyihir dari Afrika, bernama “Mukendi”. Di situ dikatakan bahwa ketika Allah mengusir Lucifer dari Firdaus, ia tidak hanya terlempar seorang diri saja, tetapi bersama pengikut-pengikutnya, dan para pengikutnya itu tersebar ke berbagai tempat. Ada yang terjatuh ke dalam laut, dan menjadi penguasa lautan. Kebetulan malaikat penguasa laut ini bernama “Maria Marguella”, ia sering mengaku sebagai Maria ibu Yesus. Dan menurut Mukendi, orang yang berdoa kepada Maria, secara tidak langsung mereka sedang berdoa kepada malaikat penguasa lautan ini.

Ada juga malaikat yang jatuh ke langit, dan menjadi penguasa langit, dibawah kakinya terdapat tulisan: Rosa, yang berarti “naga”. Dan orang yang berdoa Rosario secara tidak langsung juga mereka sesungguhnya sedang berdoa kepada malaikat penguasa langit tersebut.

Masih banyak hal lainnya yang membuatku semakin membenci Maria, dan mengasihani orang-orang Katolik.

Aku menelan seluruh isi buku itu bulat-bulat, tanpa ada sedikit pun perlawanan dari dalam diriku. Sekarang buku itu sudah tidak ada lagi, bukan karena hilang, atau kubuang, tetapi, (sekarang aku baru menyesal), karena buku tersebut sudah kuberikan kepada seseorang yang tidak kukenal, yang sudah hampir menemui ajalnya karena sakit berat.

Aku pernah bertanya kepada pacarku yang seorang Katolik:
“Kalau memang tujuan dari setiap penampakan Maria itu adalah membawa orang untuk lebih dekat lagi kepada Yesus, kenapa tidak Yesus sendiri saja yang langsung menampakan diriNya kepada orang-orang, kenapa harus Maria? Apa mungkin Maria yang adalah manusia biasa, sama seperti kita, bisa dengan mudahnya naik turun Surga hanya untuk menampakkan dirinya?”

Sementara aku sedang mengajukan pertanyaan itu, di dalam pikiranku sendiri tiba-tiba muncul gambaran tentang penampakan Musa dan Elia, ketika Yesus dan ketiga muridNya naik ke gunung yang tinggi.

Matius 17:3 Maka nampak kepada mereka Musa dan Elia sedang berbicara dengan Dia.

Kemudian aku mendengar pacarku itu menjawab:
“Mungkin saja, kalau itu memang sesuai dengan kehendak Tuhan. Contohnya Musa dan Elia yang menampakan diri kepada Yesus!”

Aku terdiam dan jadi heran sendiri. Bukan hanya karena jawaban dari pacarku itu, tapi terutama tentang gambaran yang tadi tiba-tiba saja muncul di dalam pikiranku, seolah-olah aku sudah diberitahu jawabannya terlebih dahulu sebelum pacarku menjawab.

Kisah cintaku semasa pacaran banyak dihiasi dengan pertengkaran seputar doktrin Katolik, terutama doktrin Maria ini.

Aku juga pernah berkata kepada pacarku kemudian, yang sekarang sudah menjadi suami tercintaku:
“Kenapa sih dalam doa Rosario, Salam Maria didoakan sampai 10 kali, sementara doa Bapa kami cuma satu kali saja?”

Tanpa menunggu jawaban dari pacarku itu, aku kembali berkata dengan ketus:
“Dasar Maria egois! serakah! Maunya dia yang paling banyak didoakan!”

Saat itu pacarku masih sabar dalam menghadapi perlawananku, yang kalau kupikir sekarang, sudah amat keterlaluan.

Tapi, ada suatu waktu dia sudah tidak dapat lagi menahan kemarahannya, karena mendengar penghinaanku terhadap Bunda Maria. Aku sudah lupa bagaimana kejadiannya saat itu, tapi yang aku tidak dapat lupakan adalah tanggapannya yang sangat keras:
“Yayang boleh sepuasnya menghina Koko, tapi jangan sekali-kali Yayang menghina Mama Koko, apalagi Mama yang sangat Koko hormati!”

Setelah berkata seperti itu, dia pun pergi dengan penuh kemarahan, meninggalkan aku sendiri yang pada saat itu masih juga dapat tersenyum, karena pikirku:
“Siapa juga yang menghina mamanya, orang yang aku hina Maria, bukan mamanya!”

Tapi sekarang aku sudah mengerti bahwa yang dimaksud pacarku waktu itu adalah Maria sebagai mamanya, sebagai ibu rohaninya.

Saat tergantung di kayu salib, Yesus menyerahkan ibuNya kepada murid terkasihNya, Yohanes, dengan berkata kepada ibuNya: “Ibu, inilah anakmu!”, dan kepada murid terkasihNya: ” Inilah ibumu!”, dan mulai saat itu Yohanes menerima Maria di dalam rumahnya. (Yoh 19 : 26-27)

Karena kita juga adalah murid terkasih Yesus, maka ibuNya pun menjadi ibu kita. Bahkan dalam Ibrani 2 : 11-12, Yesus menyebut kita adalah saudara-saudaraNya.

Ibrani 2 : 11 Sebab Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan, mereka semua berasal dari Satu; itulah sebabnya Ia tidak malu menyebut mereka saudara,
Ibrani 2 : 12 Kata-Nya: “Aku akan memberitakan nama-Mu kepada saudara-saudara-Ku, dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaat,”

Meski bibirku tersenyum mendengar kata-kata pacarku yang menyebut Maria sebagai mamanya, tapi sesungguhnya hatiku porak poranda. Aku langsung berlari masuk ke dalam kamar dan menangis sejadi-jadinya.

Aku bertanya kepada Tuhan:
“Mengapa Tuhan…, mengapa harus aku yang mengalami hal seperti ini? Engkau tahu kalau aku ini paling anti Katolik… Tak pernah sekalipun dalam doaku, aku memohon kepadaMu untuk mengirimkan padaku seorang pacar Katolik…! Lalu mengapa Kau malah mengirimkan padaku seseorang yang bahkan sangat kuat dalam iman Katoliknya? Siapakah itu Maria? Tolong Tuhan, tunjukkan padaku siapakah itu Maria?”

Pada suatu hari, aku melihat sebuah buku dari daftar buku di perpustakaan kantorku. Buku itu sangat menarik minatku. Aku sudah sangat sering mendengar nama dan karya sungguh luar biasa yang dikerjakan tokoh utama dalam buku itu, yaitu : Bunda Theresa, tapi baru kali ini aku berminat untuk membaca seluruh kisah kehidupannya.

Aku sungguh terharu dan kagum menyaksikan kasih yang dinyatakan oleh Bunda Theresa kepada orang-orang kusta di Kalkuta, India. Sekalipun dia tidak pernah mengatakan tentang Yesus kepada orang-orang malang yang dilayaninya, tetapi pada akhirnya banyak dari mereka yang percaya kepada Yesus, karena melihat perbuatan nyata penuh kasih yang dilakukan Bunda Theresa.

Ini barulah kesaksian yang hidup. Kesaksian yang sesungguhnya!

Aku merasa heran, mengapa orang Katolik bisa melakukan hal luar biasa seperti ini? Mengapa mereka memiliki kasih yang sedemikian nyatanya, hingga seolah-olah Yesus sendiri yang berkerja dalam mereka, dan nampak dalam setiap laku mereka?

Aku juga melihat bahwa Bunda Theresa memiliki hubungan yang akrab dengan Yesus. Bagaimana ini bisa terjadi…? Bukankah seharusnya Maria menjadi penghalang hubungan mereka dengan Yesus? Padahal Bunda Theresa juga sering berdoa Rosario, berarti dia juga memiliki hubungan yang dekat dengan Maria? Lalu, apa sebenarnya yang salah dalam buku ini?

Setelah membaca habis buku itu, aku duduk termenung. Aku mulai membayangkan perjalanan Bunda Theresa yang pastinya penuh perjuangan, melayani orang-orang berpenyakitan dan menjadi sampah masyarakat. Bukan hanya itu saja, perjuangannya lebih terasa berat lagi, karena dia melayani bukan di negaranya sendiri, tetapi di negara orang.
Oleh karena kasihnya kepada Yesus, yang dinyatakan kepada mereka yang malang, Bunda Theresa mampu melewati semuanya itu dengan penuh kesabaran dan ketekunan.

Aku jadi teringat dengan perkataan Yakobus dalam suratnya:

Yakobus 2, 2:14 Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?
2:15 Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari,
2:16 dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?
2:17 Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.
2:18 Tetapi mungkin ada orang berkata: “Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan”, aku akan menjawab dia: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.”
2:19 Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.
2:20 Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?
2:21 Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah?
2:22 Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.
2:23 Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: “Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Karena itu Abraham disebut: “Sahabat Allah.”
2:24 Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.

Jadi, apalah gunanya kotbah yang berkobar-kobar, jika tidak disertai dengan perbuatan nyata penuh kasih?

Setelah hari itu, aku makin penasaran dengan kisah hidup orang-orang Katolik. Aku mulai melirik website yang berbau Katolik di internet, dan aku menemukan kisah para Santa/Santo, orang-orang yang dianggap kudus oleh Gereja Katolik, karena teladan hidupnya yang luar biasa, atau karyanya yang telah membawa suatu kesaksian dalam pertumbuhan iman Katolik.

Banyak daftar nama-nama Santa/Santo di sana. Tetapi aku menemukan seorang Santa yang membuat mataku semakin terbuka lebar dan membuat keherananku semakin menjadi-jadi. Tak pernah sekalipun kusangka sebelumnya akan menemukan yang seperti ini di dalam sejarah Gereja Katolik. Bagiku orang-orang Katolik hanyalah boneka-boneka hidup yang datang dan pulang Gereja bukan karena kerinduan untuk mencari Tuhan, tapi hanya sebatas kewajiban. Mereka pulang tak ada bedanya dengan ketika mereka datang. Aku berpikir mereka hanya patuh pada peraturan yang dibuat Paus saja. Jarang sekali aku menemukan teman-temanku Katolik yang mengerti Alkitab. Bahkan, yang lebih parahnya lagi, ada juga yang bingung ketika mencari letak dari kitab tertentu dalam Alkitab!

Tapi di sini, dalam buku harian Santa ini, aku menemukan sesuatu yang sangat berbeda. Sungguh kebalikan 180 derajat dari apa yang kupikirkan mengenai orang Katolik. Seseorang yang begitu akrab dengan Yesus, sampai seolah-olah Yesus benar-benar nampak di dalam kehidupan sehari-hari Santa ini. Ia melihat dan berbicara kepada Yesus seperti ia sedang melihat dan berbicara dengan sahabatnya sendiri. Begitu nyata dan alami.

Santa ini bernama St. Faustina Kowalska, dan dia mendapat gelar sebagai: RASUL KERAHIMAN ILAHI.

Helena Kowalska dilahirkan di Glogowiec, Polandia pada tanggal 25 Agustus 1905 sebagai anak ketiga dari sepuluh putera-puteri pasangan suami isteri Katolik yang saleh Stanislaw Kowalski dan Marianna Babel. Ayahnya seorang petani merangkap tukang kayu. Keluarga Kowalski, sama seperti penduduk Glogowiec lainnya, hidup miskin dan menderita dalam penjajahan Polandia oleh Rusia.

Helena hanya sempat bersekolah hingga kelas 3 SD saja. Ia seorang anak yang cerdas dan rajin, juga rendah hati dan lemah lembut hingga disukai orang banyak.

Sementara menggembalakan sapi, Helena biasa membaca buku; buku kegemarannya adalah riwayat hidup para santa dan santo. Seringkali ia mengumpulkan teman-teman sebayanya dan menjadi `katekis’ bagi mereka dengan menceritakan kisah santa dan santo yang dikenalnya. Helena kecil juga suka berdoa. Kerapkali ia bangun tengah malam dan berdoa seorang diri hingga lama sekali. Apabila ibunya menegur, ia akan menjawab, “Malaikat pelindung yang membangunkanku untuk berdoa.”

Ketika usianya 16 tahun, Helena mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga agar dapat meringankan beban ekonomi keluarga. Tetapi, setahun kemudian ia pulang ke rumah untuk minta ijin masuk biara. Mendengar keinginan Helena, ayahnya menanggapi dengan tegas, “Papa tidak punya uang untuk membelikan pakaian dan barang-barang lain yang kau perlukan di biara. Selain itu, Papa masih menanggung hutang!”
Puterinya mendesak, “Papa, aku tidak perlu uang. Tuhan Yesus sendiri yang akan mengusahakan aku masuk biara.” Namun, orangtuanya tetap tidak memberikan persetujuan mereka.

Patuh pada kehendak orangtua, Helena bekerja kembali sebagai pembantu. Ia hidup penuh penyangkalan diri dan matiraga, hingga suatu hari pada bulan Juli 1924 terjadi suatu peristiwa yang menggoncang jiwanya.

“Suatu ketika aku berada di sebuah pesta dansa dengan salah seorang saudariku. Sementara semua orang berpesta-pora, jiwaku tersiksa begitu hebat. Ketika aku mulai berdansa, sekonyong-konyong aku melihat Yesus di sampingku; Yesus menderita sengsara, nyaris telanjang, sekujur tubuh-Nya penuh luka-luka; Ia berkata kepadaku: “Berapa lama lagi Aku akan tahan denganmu dan berapa lama lagi engkau akan mengabaikan-Ku” Saat itu hingar-bingar musik berhenti, orang-orang di sekelilingku lenyap dari penglihatan; hanya ada Yesus dan aku di sana. Aku mengambil tempat duduk di samping saudariku terkasih, berpura-pura sakit kepala guna menutupi apa yang terjadi dalam jiwaku. Beberapa saat kemudian aku menyelinap pergi, meninggalkan saudari dan semua teman-temanku, melangkahkan kaki menuju Katedral St. Stanislaus Kostka.

Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan; hanya sedikit orang saja ada dalam katedral. Tanpa mempedulikan sekeliling, aku rebah (= prostratio) di hadapan Sakramen Mahakudus dan memohon dengan sangat kepada Tuhan agar berbaik hati membuatku mengerti apa yang harus aku lakukan selanjutnya.

Lalu aku mendengar kata-kata ini: “Segeralah pergi ke Warsawa, engkau akan masuk suatu biara di sana.”

Aku bangkit berdiri, pulang ke rumah, membereskan hal-hal yang perlu diselesaikan. Sebisaku, aku menceritakan kepada saudariku apa yang telah terjadi dalam jiwaku. Aku memintanya untuk menyampaikan selamat tinggal kepada orangtua kami, dan lalu, dengan baju yang melekat di tubuh, tanpa barang-barang lainnya, aku tiba di Warsawa,” demikian tulis St Faustina di kemudian hari.

Setelah ditolak di banyak biara, akhirnya Helena tiba di biara Kongregasi Suster-suster Santa Perawan Maria Berbelas Kasih. Kongregasi ini membaktikan diri pada pelayanan kepada para perempuan yang terlantar secara moral. Sejak awal didirikannya oleh Teresa Rondeau, kongregasi mengaitkan misinya dengan misteri Kerahiman Ilahi dan misteri Santa Perawan Maria Berbelas Kasih.

“Ketika Moeder Superior, yaitu Moeder Jenderal Michael yang sekarang, keluar untuk menemuiku, setelah berbincang sejenak, ia menyuruhku untuk menemui Tuan rumah dan menanyakan apakah Ia mau menerimaku. Seketika aku mengerti bahwa aku diminta menanyakan hal ini kepada Tuhan Yesus. Dengan kegirangan aku menuju kapel dan bertanya kepada Yesus: “Tuan rumah ini, apakah Engkau mau menerimaku? Salah seorang suster menyuruhku untuk menanyakannya kepada-Mu.”

Segera aku mendengar suara ini: “Aku menerimamu; engkau ada dalam Hati-Ku.”

Ketika aku kembali dari kapel, Moeder Superior langsung bertanya, “Bagaimana, apakah sang Tuan menerimamu?” Aku menjawab, “Ya.” “Jika Tuan telah menerimamu, maka aku juga akan menerimamu.” Begitulah bagaimana aku diterima dalam biara.”

Namun demikian, Helena masih harus tetap bekerja lebih dari setahun lamanya guna mengumpulkan cukup uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pada tahap awal tinggal di biara. Akhirnya pada tanggal 1 Agustus 1925, menjelang ulangtahunnya yang ke-20, Helena diterima dalam Kongregasi Suster-suster Santa Perawan Maria Berbelas Kasih. “Aku merasa sangat bahagia, seakan-akan aku telah melangkahkan kaki ke dalam kehidupan Firdaus,” kenang St Faustina.

Setelah tinggal di biara, Helena terkejut melihat kehidupan para biarawati yang sibuk sekali hingga kurang berdoa. Karenanya, tiga minggu kemudian Helena bermaksud meninggalkan biara dan pindah ke suatu biara kontemplatif yang menyediakan lebih banyak waktu untuk berdoa. Helena yang bingung dan bimbang rebah dalam doa di kamarnya. “Beberapa saat kemudian suatu terang memenuhi bilikku, dan di atas tirai aku melihat wajah Yesus yang amat menderita. Luka-luka menganga memenuhi WajahNya dan butir-butir besar airmata jatuh menetes ke atas seprei tempat tidurku. Tak paham arti semua ini, aku bertanya kepada Yesus, “Yesus, siapakah gerangan yang telah menyengsarakan-Mu begitu rupa?” Yesus berkata kepadaku:

“Engkaulah yang akan mengakibatkan sengsara ini pada-Ku jika engkau meninggalkan biara. Ke tempat inilah engkau Ku-panggil dan bukan ke tempat lain; Aku telah menyediakan banyak rahmat bagimu.” Aku mohon pengampunan pada Yesus dan segera mengubah keputusanku.”

Pada tanggal 30 April 1926, Helena menerima jubah biara dan nama baru, yaitu St Maria Faustina; di belakang namanya, seijin kongregasi ia menambahkan “dari Sakramen Mahakudus”. Dalam upacara penerimaan jubah, dua kali St Faustina tiba-tiba lemas; pertama, ketika menerima jubah; kedua, ketika jubah dikenakan padanya. Dalam Buku Catatan Harian, St Faustina menulis bahwa ia panik sekaligus tidak berdaya karena pada saat itu ia melihat penderitaan yang harus ditanggungnya sebagai seorang biarawati. Dalam biara, tugas yang dipercayakan kepadanya sungguh sederhana, yaitu di dapur, di kebun atau di pintu sebagai penerima tamu. Semuanya dijalankan St Faustina dengan penuh kerendahan hati.

Pada tanggal 22 Februari 1931, St Faustina mulai menerima pesan Kerahiman Ilahi dari Kristus yang harus disebarluaskannya ke seluruh dunia. Kristus memintanya untuk menjadi rasul dan sekretaris Kerahiman Ilahi, menjadi teladan belas kasih kepada sesama, menjadi alat-Nya untuk menegaskan kembali rencana belas kasih Allah bagi dunia. Seluruh hidupnya, sesuai teladan Kristus, akan menjadi suatu kurban hidup yang diperuntukkan bagi orang lain. Menanggapi permintaan Tuhan Yesus, St Faustina dengan rela mempersembahkan penderitaan pribadinya dalam persatuan dengan-Nya sebagai silih atas dosa-dosa manusia; dalam hidup sehari-hari ia akan menjadi pelaku belas kasih, pembawa sukacita dan damai bagi sesama; dan dengan menulis mengenai Kerahiman Ilahi, ia mendorong yang lain untuk mengandalkan Yesus dan dengan demikian mempersiapkan dunia bagi kedatangan-Nya kembali.

Meskipun sadar akan ketidaklayakannya, serta ngeri akan pemikiran harus berusaha menuliskan sesuatu, toh akhirnya, pada tahun 1934, ia mulai menulis buku catatan harian dalam ketaatan pada pembimbing rohaninya, dan juga pada Tuhan Yesus sendiri. Selama empat tahun ia mencatat wahyu-wahyu ilahi, pengalaman-pengalaman mistik, juga pikiran-pikiran dari lubuk hatinya sendiri, pemahaman, serta doa-doanya.

Hasilnya adalah suatu buku catatan harian setebal 600 halaman, yang dalam bahasa sederhana mengulang serta menjelaskan kisah kasih Injil Allah bagi umatnya, dan di atas segalanya, menekankan pentingnya kepercayaan pada tindak kasih-Nya dalam segala segi kehidupan kita. Buku itu menunjukkan suatu contoh luar biasa bagaimana menanggapi belas kasih Allah dan mewujudnyatakannya kepada sesama.

Di kemudian hari, ketika tulisan-tulisan St Faustina diperiksa, para ilmuwan dan juga para teolog terheran-heran bahwa seorang biarawati sederhana dengan pendidikan formal yang amat minim dapat menulis begitu jelas serta terperinci; mereka memaklumkan bahwa tulisan St Faustina sepenuhnya benar secara teologis, dan bahwa tulisannya itu setara dengan karya-karya tulis para mistikus besar.

Devosinya yang istimewa kepada Santa Perawan Maria Tak Bercela, kepada Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat memberi St Faustina kekuatan untuk menanggung segala penderitaannya sebagai suatu persembahan kepada Tuhan atas nama Gereja dan mereka yang memiliki kepentingan khusus, teristimewa para pendosa berat dan mereka yang di ambang maut.

St Faustina Kowalska menulis dan menderita diam-diam, hanya pembimbing rohani dan beberapa superior saja yang mengetahui bahwa suatu yang istimewa tengah terjadi dalam hidupnya. Setelah wafat St Faustina, bahkan teman-temannya yang terdekat terperanjat mengetahui betapa besar penderitaan dan betapa dalam pengalaman-pengalaman mistik yang dianugerahkan kepada saudari mereka ini, yang senantiasa penuh sukacita dan bersahaja.

Pesan Kerahiman Ilahi yang diterima St Faustina sekarang telah tersebar luas ke segenap penjuru dunia; dan buku catatan hariannya, “Kerahiman Ilahi Dalam Jiwaku” menjadi buku pegangan bagi Devosi Kerahiman Ilahi. St Faustina sendiri tak akan terkejut mengenai hal ini, sebab telah dikatakan kepadanya bahwa pesan Kerahiman Ilahi akan tersebar luas melalui tulisan-tulisan tangannya demi keselamatan jiwa-jiwa.

Dalam suatu pernyataan nubuat yang ditulisnya, St Faustina memaklumkan: “Aku merasa yakin bahwa misiku tidak akan berakhir sesudah kematianku, melainkan akan dimulai. Wahai jiwa-jiwa yang bimbang, aku akan menyingkapkan bagi kalian selubung Surga guna meyakinkan kalian akan kebajikan Allah” (Buku Catatan Harian, 281)

St Maria Faustina Kowalska dari Sakramen Mahakudus, rasul Kerahiman Ilahi, wafat pada tanggal 5 Oktober 1938 di Krakow dalam usia 33 tahun karena penyakit TBC yang dideritanya. Jenasahnya mula-mula dimakamkan di pekuburan biara, lalu dipindahkan ke sebuah kapel yang dibangun khusus di biara. Pada tahun 1967, dengan dekrit Kardinal Karol Wojtyla, Uskup Agung Krakow, kapel tersebut dijadikan Sanctuarium Reliqui Abdi Allah St Faustina Kowalska.

Pada Pesta Kerahiman Ilahi tanggal 18 April 1993, St Faustina dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II dan pada Pesta Kerahiman Ilahi tanggal 30 April 2000 dikanonisasi oleh Paus yang sama. Pesta St Faustina dirayakan setiap tanggal 5 Oktober.

(Sumber : YESAYA)

Sejak saat itu, aku sudah mengetahui nama apa yang kelak akan kupakai sebagai nama baptisku: “Faustina”.

Aku merasakan hatiku semakin terbuka terhadap Gereja Katolik, beserta berbagai rahasianya yang kian menguak di depan mataku. Sementara hatiku kian menggelegak dalam kerinduan pencarian akan kebenaran yang tersembunyi dalam Gereja Katolik, seperti sedang mencari sebuah harta karun yang terkubur dalam gua-gua mengerikan, demikian hatiku menjelajah kian jauh menelusup dalam gudang rahasia Gereja Katolik. Namun, di sisi yang lain dalam otakku masih juga tak dapat memahami tentang doktrin Maria, api penyucian, dan persekutuan dengan para kudus!

Mengapa orang Katolik harus berdoa kepada Maria, dan menjadikannya perantara kepada Yesus? Mengapa tidak langsung saja berbicara kepada Yesus, kenapa harus melalui jalan yang memutar? Apa fungsi doa Rosario yang diulang-ulang? Mengapa juga mereka sering berdoa pada Santa atau Santo, orang-orang yang sudah mati? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang membuat otakku menjadi linglung!

Akhirnya, untuk menumpahkan kepenatanku akibat memikirkan tentang hal-hal itu, aku mencoba menuangkannya ke dalam bentuk tulisan, dan tulisanku itu kuberi judul “Linglung”.

LINGLUNG

(Senin, 17 Des 2007)

Tuhan, apakah yang Engkau inginkan supaya aku perbuat?
Apakah yang sedang Engkau rancangkan bagi hidupku?
Mengapa Engkau menarik aku ke dalam suasana hati yang tidak karuan seperti ini?

Seakan kakiku berpijak pada dua buah gunung, yang dipisahkan oleh sebuah jurang yang terjal,
Yang siap kapan saja untuk menerjunkan diriku ke dalamnya.

Hatiku sungguh diliputi kebingungan
Diselimuti ketakutan dan keragu-raguan,

Ke manakah aku harus melangkah?
Ke gunung yang manakah aku harus meletakan kedua kakiku?
Atau mungkinkah aku harus bertahan pada kedua gunung itu?
Hingga kedua kakiku menjadi lemas;
dan perlahan-lahan jurang keputusasaan akan dengan sukarela menyambut tubuhku amblas ke dalam pelukannya?

Tuhan,
Siapakah yang perduli akan kesengsaraanku?
Siapakah yang perduli akan sakit yang kurasakan
Akibat pertempuran hebat yang berkecamuk di dalam jiwaku ini?

Haruskah aku berjuang seorang diri?
Haruskah aku menangis di balik punggung-Mu?
Atau haruskah aku terus berdiri diam sambil menantikan orang datang menarik-narik tanganku,
Dan meyakinkan diriku untuk mengikuti jejak yang mereka pikir benar?

Siapakah yang benar?
Apakah kebenaran itu?

O Tuhan,
Mengapa hati dan pikiranku menjadi kalut seperti ini?
Apakah aku sudah menjadi gila karena bingung?

Kapankah gembalaku datang?
Kapankah gembalaku yang baik itu menolongku dan membawa aku pulang?

Pulang ke mana?
Ke gunung yang mana?

Kini kedua gunung tampak begitu menarik di mataku.

Gunung yang satu dipenuhi dengan aneka bunga berwarna-warni
menebarkan keharuman yang sudah sangat kukenal,
yang merasuk sampai ke sumsum dan tulang-tulangku,
menghadirkan kehangatan dan kenyamanan.
Gunung yang telah membesarkanku,
memeliharaku, dan mengasihi aku hingga saat ini.
Gunung yang begitu kukasihi,
gunung yang begitu kukagumi dengan segala keindahannya.

Tapi di sisi yang lain,
Aku melihat gunung yang serupa namun tak sama,
Gunung yang tak begitu kukenal,
Yang juga menampilkan keindahan,
Bunga-bunga tumbuh seirama
Menebarkan keharuman di tengah-tengah keheningan yang menyejukan
Penuh kelembutan dan kesederhanaan
Namun terasa begitu asing bagiku,
Seakan menyimpan sejuta rahasia yang sulit kumengerti.
Rahasia yang lambat laun mulai menguak di depan mataku,
Menyodorkan segenggam mutiara,
Mutiara yang sesaat lalu tampak begitu buruk di mataku
Begitu mengerikan,
Kusam tanpa berkilau.

Tapi..,
Mengapa kini…

Mengapa kini hatiku seakan merasakan sesuatu yang lain?
Mengapa mataku kini seolah-olah mulai melihat keindahan di balik mutiara yang buruk dan
mengerikan itu?
Menyingkapkan kebenaran yang indah namun begitu terasa menyakitkan hatiku?
Adakah yang salah dengan hatiku?
Ataukah gunung itu yang salah?
Gunung yang mana?
Yang kiri atau yang kanan?

Di manakah Engkau berada,
hai gembala yang baik?
Ke manakah Engkau memanggil aku pulang?

Pulang ke mana?
Ke gunung yang mana?

Ah, Tuhan!
Tahukah Kau, kalau aku linglung dibuatnya?
Linglung karena ketakutanku,
Takut kalau-kalau aku salah melangkah,
Takut kalau-kalau aku menyakiti hati-Mu,
Mengecewakan gembalaku yang sudah sangat kucintai, kukasihi, dan yang kuharapkan

Kedatangan-Nya untuk menjemput aku masuk ke dalam kemuliaan-Nya yang abadi.

Datanglah, hai gembala yang baik!
Datanglah sekarang juga untuk menolong aku!
Karena aku benar-benar linglung dibuatnya.

Jangan diam terlalu lama!
Jangan Kau biarkan aku linglung kelamaan!

Hanya Engkau saja yang akan kuturuti.
Aku takkan mau turut yang lain.

Hanya Kau!
Hanya Kau saja yang sanggup membawa aku pulang ke rumah-Mu.
Ke rumah yang telah Kau siapkan bagiku.
Bagi kita berdua!

Aku terus mencari dan mencari, berusaha menemukan kebenaran yang telah, oh belum, hanya baru separuh terlihat. Keharuman yang baru sedikit, sangat sedikit tercium olehku. Keharuman serta keindahan yang secara perlahan-lahan mengerogoti kengerianku terhadap sosok Gereja Katolik.

Aku mulai membaca lebih dalam lagi, dari sejarah Gereja Katolik, sejarah pohon natal, lagu Malam Kudus, hingga sejarah Alkitab, semuanya itu dimulai oleh Katolik. Ya, orang-orang Katolik! Gereja Katolik yang berani dengan jelas menyatakan bahwa dirinya adalah Gereja yang didirikan oleh Tuhan Yesus sendiri melalui Rasul Petrus, Paus pertama dalam sejarah Gereja Katolik! Dan telah melewati berabad-abad, baik dalam masa tenang maupun melewati masa-masa gelap, tetap berdiri kokoh seperti batu karang di tengah terjangan badai dunia!

Matius 16:18 Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.

Pacarku juga mulai mengirimiku banyak artikel tentang Bunda Maria. Tidak seperti dulu, kini hatiku makin melunak dalam memandang Maria sebagai seseorang yang sangat dihormati oleh orang Katolik.

Hingga suatu hari, pacarku memberikan kepadaku sebuah buku yang merupakan serentetan peluru senapan yang berhasil menjebol dinding pertahananku. Buku yang mengisahkan kepindahan seorang pendeta Presbytarian, seorang anti Katolik yang menganggap orang-orang Katolik adalah orang-orang malang yang perlu diselamatkan, dan menyebut Gereja Katolik sebagai pelacur dari Babilonia. Menjadi seorang Katolik, seorang pengikut Paus yang luar biasa dalam pengetahuannya tentang ajaran Katolik.

Dalam bukunya yang berjudul : “Rome Sweet Home (Roma Rumahku)”, Scott dan isterinya, Kimberly, menceritakan dengan detil, bagaimana mereka bisa sampai mengakui Gereja Katolik sebagai rumah sejatinya. Bagaimana, dengan rinci dan penuh ketelitian, serta mengacu pada ayat-ayat dalam Alkitab, Scott menjabarkan bahwa ajaran Katolik sangatlah Alkitabiah. Bagaimana Kimberly, baik dalam segi perasaan dan pandangannya terhadap ajaran Katolik, khususnya Maria, sama persis dengan apa yang telah dan sedang kurasakan serta pikirkan sekarang. Dan bagaimana cara dia mengatasinya, sungguh membuatku semakin mengerti dan menjadi semakin berkobar-kobar dalam kerinduanku meneguk habis setiap kebenaran yang disodorkan Alkitab mengenai ajaran Gereja Katolik!

PANTAI KETEGUHAN

(Jumat 4 Januari 2008)

Desak rindu tak terbendung
Rasa hati kian tak menentu

Kebencian bergantikan kekaguman
ketakutan bergantikan pengharapan.
Meruntuhkan dinding keangkuhan,
mematahkan deret rantai keragu-raguan

Mendamparkan jiwa di pantai keteguhan,
melangkah dengan iman kepada terang kebenaran yang sejati

Akan kuteguk air sungai kehidupan
Hingga kutemukan pulau kedamaian jiwa yang sesungguhnya.

PERAHU KEMENANGAN

(Sabtu 5 Januari 2008)

Kutapaki lembaran baru dalam perjalanan iman
mengarungi samudra kehidupan dalam perahu kemenangan

Cinta Tuhanku telah menghanguskan aku
melumatku hingga ke dasar sanubari
menerbangkanku ke awan persemayaman cinta
yang bersinar kemilau bagaikan emas murni
membalutku dalam selimut kedamaian yang sebelumnya tak pernah sekalipun melintas di benakku.

Kini aku bagaikan seekor burung kecil
yang terbang mengelilingi angkasa raya kemuliaan.
Bersarang dalam dekapan terang kasih Tuhan
sambil menyenandungkan nyanyian sukacita
berkumpul kembali dalam kehangatan kasih persaudaraan

Bersama segenap laskar surgawi,
Memuji dan mengagungkan sang Raja Kemuliaan:

‘Yesus Kristus’

Setiap Minggu, aku dan pacarku pergi ke Gereja Katolik. Dulu aku sangat menganggap remeh setiap tata cara liturginya. Bagiku dulu, nyanyian dan segala hal yang mencakup tata cara ibadah, termasuk kotbah Romo, sangat membosankan!

Aku pernah mengejek pacarku yang setiap masuk dan keluar pintu Gereja selalu membungkukan badan, menghadap Altar Tuhan, kebetulan beberapa kali aku tepat berada di depannya, jadi aku secara spontan berkata: “Duh…, nggak usah repot-repot nyembah aku!”

Dan dalam beberapa kesempatan, aku sengaja melakukan apa yang dilarang pacarku untuk dilakukan di dalam Gereja, terutama saat Misa berlangsung. Seperti misalnya, aku sengaja minum dari botol minum yang kubawa ketika Romo sedang berkhotbah! Aku melakukan itu, semata-mata hanya ingin menunjukan kepada pacarku kalau aku tidak terikat pada peraturan, yang kupikir, hanya merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh manusia.

Tapi sekarang, aku sudah mengerti, kalau sesungguhnya ketaatan itu sangat penting. Satu hal yang tidak dapat iblis lakukan adalah ‘taat’!
Dan aku tidak mau disamakan dengan iblis! Yesus saja taat kepada BapaNya sampai mati…, sampai mati di kayu salib!

I Petrus 1:22 Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu.

Ketika hatiku mulai mengerti, aku dapat melihat setiap detil dalam tata cara liturgi sangatlah bermakna. Seperti membungkuk, bersujud, dan melagukan kata-kata, semuanya itu sungguh-sungguh memiliki arti yang mendalam. Mereka percaya bahwa Yesus sungguh hadir dalam setiap perayaan Ekaristi kudus. Bahwa Hosti yang berada di Altar adalah Yesus sendiri, bukan sekedar simbol dari tubuh dan darah Kristus, tapi sungguh-sungguh Yesus sendiri!

Oleh sebab itulah mengapa mereka sangat menghormati Altar kudus, karena di situlah Sang Raja kemuliaan bersemayam! Dan puncak dalam setiap perayaan Ekaristi adalah “Komuni”, di mana kita sungguh-sungguh dipersatukan kembali dengan Kristus. Sungguh misteri yang luar biasa, yang baru kutemukan dan baru kusadari keindahannya!

Demikianlah, sedikit demi sedikit, satu demi satu rahasia itu mulai tersingkap di hadapanku. Begitu manis dan menggairahkan, seolah menggugah kerinduanku untuk melahap lebih dan lebih lagi.

Aku terus melangkah dan melangkah, menapaki lembaran baru dalam perjalanan imanku, menyambut setiap kebenaran baru dengan penuh kekaguman. Namun, setiap kali berhadapan dengan doktrin Maria, aku kembali terbentur. Seakan-akan kakiku tertanam amat dalam, hingga sulit melangkah pada yang satu ini!

Tiap malam aku selalu bertanya kepada Tuhan:
“Siapakah itu Maria yang dihormati sedimikian rupa oleh orang Katolik?… Tolong Tuhan, tunjukanlah padaku, siapakah itu Maria, dan apa yang sepatutnya harus aku perbuat, agar aku tidak menyakiti hatiMu?”

Demikianlah aku terus bergumul dalam doaku untuk tahap pencarianku pada yang satu ini.

Suatu hari aku menemukan ayat dalam perjanjian lama yang menggambarkan tentang kebundaan Maria lewat Batsyeba, ibu dari raja Salomo.

1 Raja-raja 2:19 Batsyeba masuk menghadap raja Salomo untuk membicarakan hal itu untuk Adonia, lalu bangkitlah raja mendapatkannya serta tunduk menyembah kepadanya; kemudian duduklah ia di atas takhtanya dan ia menyuruh meletakkan kursi untuk bunda raja, lalu perempuan itu duduk di sebelah kanannya.
2:20 Berkatalah perempuan itu: “Suatu permintaan kecil saja yang kusampaikan kepadamu, janganlah tolak permintaanku.” Jawab raja kepadanya: “Mintalah, ya Ibu, sebab aku tidak akan menolak permintaanmu.”

Di sini bunda ratu bertindak sebagai perantara permohonan Adonia kepada raja, dan sebagai seorang anak kepada ibunya, raja sangat menghormatinya, sehingga raja berkata : “Mintalah, ya Ibu, sebab aku tidak akan menolak permintaanmu.” Tapi apa yang terjadi pada ayat-ayat sesudahnya, bahwa keputusan terakhir tetaplah berada di tangan raja.

Aku mulai mengerti, bahwa beginilah orang-orang Katolik memandang Bunda Maria sebagai perantara doa mereka kepada Yesus, sang Raja.

Seperti yang dikatakan Scott dalam bukunya yang berjudul: “Hail, Holy Queen (Salam Ratu Surgawi): Bahwa kita adalah satu keluarga besar dengan keluarga Kerajaan Allah.

***
“Bagaimanapun, Allah sendiri adalah suatu keluarga yang abadi, sempurna. Paus Yohanes Paulus II menyatakan hal ini dengan baik, ”Dalam misteri terdalam-Nya, Allah itu bukanlah suatu kesendirian, tetapi suatu keluarga karena dalam diri-Nya la memiliki kebapaan, keputraan, dan hakikat dari keluarga, yakni kasih.”
***

Karena Allah adalah keluarga, yang terungkap dalam Tritunggal Mahakudus, maka Allah pun ingin menarik kita, orang-orang percaya, untuk masuk menjadi anggota keluargaNya. Sebagai keluarga yang utuh, kita, baik yang masih berziarah di bumi, maupun yang di Sorga, memiliki ikatan persaudaraan yang erat. Kita dapat memohon kepada mereka yang di Sorga untuk mendoakan kita, seperti layaknya kita meminta orang-orang terdekat kita: ibu, ayah, saudara-saudara, atau teman-teman kita untuk mendoakan kita. Demikian jugalah dengan Bunda Maria, Ibu kita dalam Yesus, dan saudara-saudara kita yang telah mendahului kita menikmati janji Tuhan, yakni berkumpul kembali dalam keluarga Kerajaan Allah, pastilah mereka dengan suka hati akan terus mendoakan kita, dan menjadi saksi dari perlombaan yang sedang kita jalani sekarang.

Ibrani 12:1 Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.

Wahyu 8:4 Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah.

Dalam bukunya, Scott menjabarkan secara terperinci tentang kebundaan Maria beserta dengan gelar-gelarnya. Seperti biasa, dengan begitu cermat, ia menelitinya dari sisi Alkitabnya juga. Dimana betapa eratnya hubungan antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru.

***
“Seluruh Alkitab dapat dilihat sebagai kisah persiapan Allah untuk, dan penggenapan dari, karya-Nya yang terbesar, yakni: pewahyuan diri definitif-Nya dalam Yesus Kristus. St. Agustinus berkata bahwa Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama, dan Perjanjian Lama terungkap dalam Perjanjian Baru. Karena seluruh sejarah adalah persiapan dunia untuk menyambut saat ketika Sabda menjadi daging, saat ketika Allah menjadi anak manusia dalam rahim seorang perawan muda dari Nazaret.”
***

Scott juga mengajak pembaca untuk mempelajari tentang gambaran.

***
“Orang-orang Kristen pertama mengikuti cara Tuhan dalam membaca Alkitab. Dalam Surat kepada Orang Ibrani, kemah Perjanjian Lama dan ritualnya dilukiskan sebagai ”gambaran dan bayangan dari apa yang ada di Surga” (Ibr 8:5), dan sebagai ”bayangan dari keselamatan yang akan datang” (Ibr 10:1). Demikian juga, St. Petrus menulis bahwa Nuh dan keluarganya ”diselamatkan lewat air,” dan bahwa ”ini melambangkan pembaptisan yang menyelamatkan Anda sekarang” (1 Ptr 3:20-21).

Perkataan Petrus yang diterjemahkan dengan ”melambangkan” sebenarnya dari akar kata asli Yunani yang dialihbahasakan menjadi tipe atau typify yang berarti ”menggambarkan.” Dan St. Paulus, dalam suratnya, melukiskan Adam sebagai ”gambaran” dari Yesus Kristus (Roma 5:14).

Jadi, apa itu gambaran? Gambaran adalah orang, tempat, benda, atau kejadian dalam Perjanjian Lama yang pada masa silam sudah melukiskan sesuatu yang lebih besar dalam Perjanjian Baru. Dari kata ”tipe” kita mendapatkan kata ”tipologi”, yakni suatu telaah mengenai gambaran-gambaran tentang Kristus dalam Perjanjian Lama (lihat Katekismus Gereja Katolik, no. 128-130).

Di samping itu, perlu aku tekankan bahwa gambaran bukanlah simbol fiktif. Gambaran adalah detail historis yang sungguh ada, sungguh terjadi. Misalnya, ketika menafsirkan kisah anak-anak Abraham sebagai ”suatu gambaran” (Gal 4:24), St. Paulus tidak bermaksud bahwa cerita itu tidak pernah sungguh terjadi; sebaliknya, ia menegaskan peristiwa itu sebagai sejarah, bahkan sejarah yang mendapat tempat dalam rencana Allah, sejarah yang maknanya menjadi jelas, baru sesudah penggenapannya pada zaman akhir.

Tipologi mengungkap tidak hanya pribadi Kristus; ia juga menyatakan kepada kita tentang Surga, Gereja, rasul, Ekaristi, tempat-tempat kelahiran dan kematian Yesus, dan pribadi ibu Yesus. Dari orang-orang Kristen pertama kita mempelajari bahwa kenisah Yerusalem merupakan bayangan dari kediaman surgawi para kudus dalam kemuliaan (2 Kor 5:1-2; Why 21:9-22); bahwa Israel menggambarkan Gereja (Gal 6:16); bahwa kedua belas bapa bangsa dalam Perjanjian Lama merupakan gambaran dari kedua belas rasul dalam Perjanjian Baru (Luk 22:30); dan bahwa tabut perjanjian adalah gambaran dari Santa Perawan Maria (Why 11:19; 12:1-6.13-17).

Di samping gambaran-gambaran yang secara eksplisit disebut dalam Perjanjian Baru, ada lebih banyak lagi gambaran yang tersirat secara implisit tetapi sungguh nyata. Misalnya, peran St. Yusuf dalam kehidupan duniawi Yesus jelas mengikuti peran Bapa Yusuf dalam kehidupan duniawi Israel. Keduanya menyandang nama yang sama; keduanya dilukiskan sebagai orang ”benar” atau ”tulus”, keduanya menerima pewahyuan lewat mimpi; keduanya dibuang ke Mesir; dan keduanya tampil dalam panggung sejarah untuk menyiapkan jalan bagi peristiwa yang lebih besar – dalam hal Bapa bangsa Yusuf: keluaran yang dipimpin oleh Musa, Sang Pembebas; dalam hal St. Yusuf: penebusan yang diwujudkan oleh Yesus, Sang Penebus.

Gambaran-gambaran tentang Maria pun melimpah dalam Perjanjian Lama. Kita temukan Maria digambarkan dalam diri Hawa, ibu dari semua yang hidup; dalam diri Sara, istri Abraham, yang mengandung anaknya secara ajaib; dalam sosok bunda ratu dalam kerajaan Israel, yang menjadi penghubung antara rakyat dan sang raja; dalam banyak tempat, dan dalam banyak cara lain (misalnya, Hana dan Ester). Gambaran yang paling eksplisit dalam Perjanjian Baru, tabut perjanjian, akan kubahas dengan lebih rinci dalam bab yang bersangkutan. Di sini aku hanya akan menegaskan bahwa, sebagaimana tabut dibuat untuk mengemban Perjanjian Lama, demikian Perawan Maria diciptakan untuk mengemban Perjanjian Baru.”
***

Awalnya, aku membaca buku ini secara cepat, hanya sekilas saja, sehingga membuatku makin pusing kepala. Benar-benar misteri yang teramat dalam dan sulit dipahami. Perlu kecermatan serta ketelitian, dan, yang lebih penting lagi, tuntunan Roh Kudus dalam membacanya.

Tapi, setelah membaca habis buku ini, walaupun masih kurang mengerti, hatiku mulai terasa rindu untuk berdamai dengan Bunda Maria, yang selama ini sangat “kubenci”. Aku memberanikan diri untuk mengambil Rosario dan mendoakannya. Sebelumnya aku berkata kepada Tuhan :
“Tuhan, hari ini aku mau berdoa Rosario…, maafkan aku, Tuhan, apabila dengan berdoa Rosario seperti ini aku telah melukai hatiMu!”

Ternyata keputusanku untuk berdamai dengan Bunda Maria ini, merupakan titik balik keterbukaanku terhadap seluruh ajaran Katolik. Mulai saat itu, hatiku terus dipenuhi dengan perasaan rindu yang kian mendalam untuk bertemu Tuhan dalam Ekaristi kudus. Karenanya, setiap pulang kantor (yang waktu itu kebetulan sedang puasa umat Muslim, sehingga jam kantorku dimajukan hanya sampai jam 4 sore), pacarku mengajak aku untuk mengikuti Misa harian di Katedral yang dimulai pada jam 6 sore.

Sepanjang Misa, hatiku sungguh diliputi rasa syukur dan cinta yang mendalam kepada Yesus, yang kini, kutahu, bahwa Dia, Yesus, ada bersama-sama kami dalam Ekaristi kudus, dan kurasakan sedang memperhatikan aku, dombaNya yang kini telah kembali pulang.

Oh Yesus Kristus Tuhanku, Kakak Sulungku, Allah dan Penyelamat jiwaku, Penasihat Ajaib, Bapa yang kekal, Raja Damai, aku sungguh mencintaiMu dengan segenap hatiku, dengan seluruh keberadaanku. Aku sungguh menikmati kebersamaan kita dalam Ekaristi kudus. KehadiranMu yang mempersatukan diriku dengan DiriMu, hatiku dengan HatiMu, telah meruntuhkan dinding-dinding keangkuhan dalam hatiku dan telah menenggelamkan diriku seutuhnya ke dalam kasihMu yang menyelamatkan!

Waktu terus bergulir dengan cepatnya, hatiku pun sudah merasa semakin rileks jika sedang berdoa Rosario, tidak seperti dulu yang selalu tegang jika mendengar, apalagi menyebut kata ‘Maria’ dalam doa. Aku mulai senang membaca-baca segala sesuatu tentang Katolik.

Selain Rosario, aku juga senang mendaraskan doa Koronka, mempelajari Novena kepada Hati Kudus Yesus, Novena kepada Roh Kudus, dan Novena kepada Sakramen Mahakudus, sehingga koleksi Rosarioku pun menjadi banyak.

Demikianlah, keterbukaan hatiku terus melebar seirama dengan pengetahuanku yang semakin bertambah mengenai ajaran Katolik. Tetapi, sementara hatiku sudah dapat menerima dan rindu untuk benar-benar terjun ke dalamnya, benar-benar menjadi keluarga Katolik yang sah dengan mengikuti Katekumen, otakku masih juga menahan hatiku dengan berkata: “Belum waktunya!”.

Sampai tiba saatnya aku dan pacarku dipersatukan dalam Pemberkatan nikah di Gereja Katolik, dan anak kami lahir serta dibaptis dengan nama baptis ‘Gabriella’, aku belum juga mengikuti Katekumen.

Mengenai pembaptisan bayi, awalnya aku pun kurang setuju, karena yang kutahu dari pengajaran Gerejaku dulu, bahwa pembaptisan itu hanya diberikan kepada orang-orang yang sudah dapat mengerti dan menerima Kristus secara pribadi. Sementara bayi atau kanak-kanak dibawah 12 tahun, masih bergantung pada iman kedua orang tuanya. Jadi kami hanya melakukan penyerahan anak, seperti yang dilakukan Maria ketika menyerahkan bayi Yesus kepada Imam Simeon untuk didoakan.

Meski demikian, aku tetap memberikan anakku untuk dibaptis secara Katolik. Tetapi ketika Romo mengucurkan air, dan kemudian ia pun mengolesi minyak di dahi anakku, aku merasa hatiku pun dialiri sukacita yang berlimpah-limpah. Sejak saat itu aku percaya bahwa anakku sungguh-sungguh sudah menjadi milik Tuhan seutuhnya. Air dan minyak yang diolesi merupakan penanda bahwa anakku sudah tercatat sebagai anggota kerajaan Allah. Semacam KTP, tetapi ini tandanya bukan dalam bentuk kartu, melainkan cap yang menempel di dahi anakku dan tidak ada masa expired.

Aku sering membayangkan anakku yang sedang berkumpul dengan teman-temannya. Namun, ada perbedaan yang mencolok di antara mereka: di dahi anakku terpancar sinar yang tidak dimiliki anak-anak lain!

Aku pernah berkata kepada Tuhan: “Tuhan, jikalau memang ini adalah kehendakMu agar aku masuk menjadi keluarga Katolik, kumohon, tunjukanlah hal ini juga kepada orang tuaku, biarlah orang tuaku pun menyutujui keputusanku untuk mengikuti katekumen!”

Ketika aku dan papi sedang berada di kamar hotel di Semarang, sementara mami sedang berada di kamar mandi, aku memberanikan diri untuk meminta ijin dibaptis secara Katolik. “Pap, aku mau dibaptis Katolik ya?”

Aku benar-benar tegang saat mengatakan hal itu, terlebih saat menanti tanggapannya. Aku sudah berpikir berulang-ulang sebelum meluncurkan tembakan, agar tidak salah sasaran: ngomong dulu sama papi, masalah diterima atau ditolaknya keinginanku itu, yang penting aku sudah bicara dengan yang empunya keputusan akhir. Jadi, aku sudah berencana, kalau papi bilang “Ya!”, maka aku baru akan bicara dengan mami.

Tapi, ternyata jawaban papi saat itu membuat nafasku yang cukup bergemuruh akibat keteganganku, dapat kembali berjalan dengan normal dan terasa sangat ringan.

“Ya…, terserah kamu saja… kamu kan sekarang sudah dewasa dan bisa memutuskan sendiri mana yang menurut kamu baik. Memang sebaiknya suami isteri itu berjalan sama-sama…”

Kira-kira begitulah jawaban papi.

Dan selang beberapa bulan kemudian, ketika kami sedang makan malam, aku kembali memberanikan diri untuk bicara kepada Mami.
“Mam, aku mau dibaptis Katolik ya?”

Mami pun menjawab: “hmm!”

Jawaban yang sangat singkat, jelas dan padat! :)

Kini, dengan hati ringan dan keyakinan penuh, aku pun dapat berkata kepada suamiku : “Aku siap mengikuti katekumen!”

Bila kurenungkan kembali pencarianku akan kebenaran ajaran
Gereja Katolik, sungguh merupakan perjalanan yang sangat panjang dan penuh misteri. Ajaran Katolik sungguh kaya raya dan luar biasa. Andai saja orang-orang Protestan mau sedikit saja meluangkan waktu dan membuka hati mereka untuk menengok dan mempelajari kedalaman ajaran Katolik yang telah diwariskan secara turun-temurun, sejak zaman Yesus dan para Rasul, bahkan jauh sebelumnya lagi, maka mereka pun pasti akan tercengang menemukan harta karun yang begitu berharga, yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Harta karun yang tersembunyi, dan tidak mungkin terlihat jika mereka tidak mau tahu dan tidak mau berusaha menggalinya!

Tapi, sekarang aku baru mengerti, bahwa tidak mudah bagi kami, orang Protestan untuk membuka hati terhadap ajaran Katolik, demikian juga sebaliknya. Karena semua itu hanyalah karena ‘Rahmat’. Kalau bukan karena Rahmat, mungkin sampai sekarang pun aku akan tetap bertahan pada pengertianku sendiri bahwa “Ajaran Gerejakulah yang paling benar!”.

Nah, sampai di sini dulu saja ya ceritaku untuk saat ini. Sekarang aku sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengikuti kelas katekumen. Nanti, kalau aku sudah masuk dalam kelas katekumen, aku akan bercerita lagi padamu.
Ok???

Bye…

Di tengah keterbatasanku

21

Dari Katolisitas: Berikut ini adalah kesaksian yang luar biasa dari saudari kita, Rachel. Kesaksian iman ini terdiri dari dua bagian, dan tulisan di bawah ini adalah bagian yang pertama. Rachel, terima kasih atas kemurahan hatimu untuk membagikan kisah pengalaman hidupmu. Sungguh, melalui kesaksianmu ini, kami semua memperoleh berkat Tuhan…. Semoga berkat Tuhan melimpah juga di dalam kehidupanmu sekeluarga. Salam kasih dalam Kristus Tuhan dari Katolisitas. Kalau ada pembaca katolisitas yang tergerak untuk menyumbangkan pengalaman hidupnya, silakan untuk mengirimkannya ke e-mail: katolisitas [at] gmail.com


Aku senang sekali bisa berbagi cerita hidupku sebagai seorang tunanetra. Bagaimana Tuhan tetap baik buatku meski aku harus menjalani hari-hariku dengan mata yang remang-remang, nyaris redup. Aku berdoa agar ceritaku ini bisa menjadi berkat dan semangat bagi teman-teman semua, terlebih buat teman-teman yang memiliki keterbatasan seperti yang aku alami. Tapi lebih dari semuanya itu, biarlah ceritaku ini semata-mata hanya untuk kemuliaan nama Tuhan saja. Sebab aku ada hingga saat ini, bukan karena kuat dan gagahku, melainkan semua hanyalah karena kasih karunia Tuhan yang teramat besar, yang telah dengan setia menemani hari-hariku dan siap sedia kapan saja untuk menolongku.

Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (Yoh 9 : 1-3)

Dari lahir sampai SMU, aku tinggal dengan kedua orangtuaku di Sukabumi. Baru setelah kuliah, aku pindah ke Jakarta, nggak bareng lagi sama orangtua.

Nah, sekarang aku akan mulai bercerita apa adanya. Oh ya, sebelumnya aku mau jelaskan dulu kalau aku mengetik cerita ini menggunakan laptop yang sudah diinstall sebuah program yang namanya JAWS. Dialah yang selalu setia membantuku membaca ataupun menulis, karena setiap huruf yang aku ketik akan dia bacakan dengan lafalnya yang masih lafal bahasa Inggris. Semua program di komputer pun akan dia bacakan sehingga teman-teman tunanetra sepertiku bisa mengoperasikan komputer seperti layaknya teman-teman non tunanetra lainnya.

Aku dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, kakakku laki-laki dan adikku perempuan. Aku dilahirkan sebagai bayi yang sehat tak kekurangan suatu apapun, mataku jernih dan bersinar seperti bayi-bayi lainnya. Seturut bergulirnya waktu, akupun bertumbuh menjadi seorang gadis kecil yang lincah, berlarian kesana-kemari, merasakan indahnya dunia bermainku. Tetapi ketika aku hendak masuk ke kelas satu SD, kira-kira usiaku saat itu belum genap 6 tahun, aku mulai menampakkan tingkah laku yang ganjil. Aku mulai sering menabrak barang-barang kecil yang ada di depanku, saat menonton TV pun mataku begitu dekat dengan layar televisi. Mamiku mencoba mengajariku membaca, tapi yang kulihat hanyalah gumpalan-gumpalan hitam yang bergaris-garis. Lantas saja orang tuaku heran dan cemas tidak karuan. Akhirnya mereka membawaku ke dokter mata di Sukabumi. Semua ukuran kacamata mulai dari yang tipis hingga yang tebal dicobakan ke mataku, tapi semuanya itu tidak berpengaruh bagi penglihatanku, hingga membuat dokter itu jadi ikut-ikutan bingung. Tidak putus asa, orangtuaku pun terus membawaku berobat ke Jakarta. Tujuh dokter kami datangi, tapi semua angkat tangan dengan kasus mataku. Hingga akhirnya kami sampai pada dokter terakhir yang mengatakan kepada orangtuaku bahwa mataku akan buta dan menyarankan agar mereka segera mengirimku ke SLBA (Sekolah Luar Biasa untuk penyandang tuna netra). Mendengar itu, orangtuaku menjadi shock berat, tak pernah disangkanya kalau anak kedua mereka akan menjadi seorang penyandang tunanetra. Setelah hari itu, mamiku sering menemukan papi sedang membenturkan kepalanya ke tembok, seakan begitu putus asa dan tidak punya lagi pengharapan. Karena itu mami yang senantiasa menaruh pengharapannya hanya kepada Tuhan, terus mendampingi dan memberikan kekuatan kepada papi.

Memang, terkadang pikiran Tuhan begitu dalam hingga tak dapat terselami, jalan-Nya bukanlah jalan kita, rencana-Nya bukanlah rencana kita, tapi satu yang aku tahu dan yakini bahwa Tuhan tidak pernah merancangkan sesuatu yang buruk bagi anak-anak-NYA, melainkan rancangan yang penuh damai sejahtera untuk memberikan hari depan yang penuh pengharapan. Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan (Yeremia 29 : 11)

Ketika itu, papi yang belum mempercayai Tuhan sepenuhnya, menantang mami dengan mengatakan : “Jika Tuhan benar ada, biarlah Dia membuktikannya lewat anak ini. Saya tidak mau jika sampai anak ini masuk ke SLBA!”

Akhirnya, dengan berbekal iman yang teguh, mami mendaftarkanku ke salah satu sekolah swasta terbaik di Sukabumi. Kebetulan kakaku juga bersekolah di sana, sehingga selain lebih memudahkan mami untuk mengantar jemput kami, kakaku juga bisa membantu menjagaku. Awalnya tidak mudah buatku untuk menyesuaikan diri di lingkungan yang baru dengan keterbatasan penglihatan yang kumiliki. Aku ditempatkan di deretan bangku paling depan, tetapi untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, aku harus tetap berlari ke dekat papan tulis itu dan kemudian kembali ke tempat dudukku untuk menuliskannya ke dalam buku catatanku. Begitulah yang terus kulakukan sampai semua tulisan yang ada di papan tulis selesai kucatat. Sementara untuk membaca tulisan yang ada di buku, aku menggunakan alat bantu kaca pembesar, sehingga membacaku menjadi lambat. Sering kali saat pulang sekolah, mami menemukanku sedang menangis di dekat papan tulis karena belum bisa menyelesaikan catatanku sementara teman-temanku yang lain sudah pada pulang.

Banyak sekali tantangan dan hambatan yang harus kulalui, baik dari teman-teman yang sering mengejekku – bermain pun tidak lagi selincah anak-anak lain – maupun dari sistem pengajaran yang memang tidak dikhususkan buat anak tunanetra sepertiku. Jadi mau tidak mau aku harus berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem pengajaran mereka agar tidak ketinggalan pelajaran. Tidak jarang nilai-nilai pelajaranku pun menjadi buruk karena saat ujian, aku sering tidak bisa menyelesaikannya karena lambatnya aku membaca sementara waktu yang disediakan sangat terbatas. Sering aku merasa sedih dan malu dengan keadaan mataku yang lain daripada yang lain ini, sehingga sering aku mencoba menutupi kecacatanku itu dengan menyembunyikan setiap kesulitan-kesulitan yang ada dihadapanku. Aku tidak mau diperlakukan berbeda dengan teman-teman, jadi aku berusaha sekuatnya agar aku tetap sama dengan kondisi mereka. Jika temanku bermain lompat tali atau benteng-bentengan, atau petak umpet, aku akan tetap ikut walaupun akhirnya aku harus mengalah untuk hanya menjadi anak bawang. Kalau mereka disuruh membaca bergiliran oleh guru, aku pun harus membaca seperti mereka, walaupun akhirnya aku menjadi bahan tertawaan teman-teman karena bacaku sangat lambat dan sering salah-salah, sehingga sering tanganku menjadi gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin. Buatku membaca adalah kegiatan yang sangat menakutkan dan melelahkan. Tapi Tuhan begitu baik, tidak pernah sedetikpun Ia meninggalkanku. Meski berat hari-hari yang harus kujalani, tapi tangan Tuhan selalu menopangku sehingga membuat kakiku tetap kuat untuk berpijak dan melanjutkan langkah hidupku bersama dengan Dia yang dengan setia menggendongku. Tahun demi tahun aku lalui tanpa aku harus tinggal kelas. Melihat itu, papi semakin yakin akan penyertaan Tuhan dan semakin mengasihi-Nya. Itulah mujizat pertama yang keluargaku terima.

Ketika aku harus mengikuti EBTANAS di kelas 6, tiba-tiba kepala sekolah melarangku untuk mengikutinya, dengan alasan takut kalau-kalau NEM sekolah menjadi NEM terendah di antara sekolah-sekolah lainnya hanya gara-gara anak tunanetra yang satu ini. Tapi orangtuaku tidak mengalah begitu saja, dengan doa dan kegigihan mereka, akhirnya aku diijinkan mengikuti EBTANAS. Di pikiranku saat itu, yang penting lulus saja, aku sudah sangat bersyukur. Tapi Tuhan tidak berpikiran seperti itu, Dia tidak pernah mempermalukan anak-anakNya. Setelah NEM keluar, aku sangat tercengang, ternyata Tuhan memberikanku NEM yang sama sekali tidak pernah kupikirkan, apalagi kudoakan sebelumnya. Aku hanya meminta NEM dengan rata-rata 6, karena itu sudah memenuhi syarat kelulusan. Tapi ternyata yang kuterima NEM dengan rata-rata 8. hanya selisih sekitar dua point dengan NEM tertinggi yang diraih teman sekelasku.

Akupun masuk ke SMP menjadi seorang gadis remaja. Jarak penglihatanku makin memburuk tetapi masih mampu berjalan sendiri dan tidak perlu dituntun orang lain. Proteksiku terhadap kecacatanku pun semakin ketat, apalagi sebagai gadis remaja aku juga ingin mendapatkan perhatian lebih dari teman lawan jenis, dan itu membuat perasaanku pun menjadi lebih sensitif. Aku sering menangis sendirian di dalam kamar, bertanya-tanya mengapa Tuhan tega memberikan mata seperti ini kepadaku, sementara kakak dan adikku tidak perlu mengalami keterbatasan penglihatan seperti yang kualami. Sering aku marah pada Tuhan karena ketidakadilan-Nya ini. Sering aku berpikir tentang masa depanku, bagaimana aku bisa bekerja, apakah aku akan terus bergantung pada orangtuaku, tidak mampu hidup mandiri, dan apa mungkin ada cowok yang mau menikahi seorang gadis cacat sepertiku. Pikiran-pikiran seperti itulah yang membuatku merasa sedih dan frustasi. Tapi biasanya aku tidak mau membiarkan diriku berlarut-larut dalam kesedihanku, secepat aku memikirkannya secepat itu pula aku berusaha melupakannya. Aku sadar kalau bukan karena turut campur tangan Tuhan, aku tidak mungkin kuat menghadapi semuanya ini sendiri. Aku tahu ada Tuhan yang selalu menolong, menghibur, dan memberikan kekuatan kepadaku.

Waktu SMP, mamiku membelikanku sebuah kacamata berteropong, mirip seperti yang ada di film Star Trek. Kaca mata itu memang dirancang untuk anak-anak tunanetra yang masih memiliki sedikit penglihatan sepertiku. Jenis tunanetra ada 2 macam, totally blind adalah tunanetra yang sudah total atau yang sama sekali sudah tidak bisa melihat apa-apa termasuk cahaya. Sementara low vision adalah tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan di bawah normal. Aku masih termasuk yang low vision. Kacamata berteropong itu bisa membantuku melihat dari jarak tertentu dan di dalamnya sudah di berikan kaca pembesar, sehingga setiap objek yang ditangkap oleh lensa teropong itu bisa terlihat lebih dekat dan membesar. Aku gunakan kacamata teropong itu untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, sehingga aku tidak perlu lagi mondar-mandir dari meja ke papan tulis. Tapi kacamata itu begitu berat dan besar, sahingga membuat mataku cepat lelah dan tentu saja memaksaku untuk menahan malu di depan teman-temanku, apalagi di depan cowok incaranku.

Tetapi kemampuanku membaca dengan alat itupun tidak bertahan lama, penglihatanku terus menurun. Aku mengandalkan teman-temanku untuk membantu membacakan setiap tulisan yang ada di papan tulis. Meski terkadang ada juga teman yang menolak dengan alasan sedang malas. Kegiatan menangis sendiri di dalam kamar pun semakin padat dan intonasi nada menangisnya pun semakin bervariasi. Aku tidak mau kalau hobiku menangis sampai diketahui orang lain apalagi orangtuaku. Jadi setiap kepedihan, ketakutan, keputusasaan, dan jeritan hatiku pun hanya kutujukan pada Tuhan. Tapi semakin aku menjerit dalam hati, aku semakin merasakan Tuhan dekat denganku, semakin aku sering protes sama Tuhan, semakin hatiku merasa sangat bersalah. Tapi lewat semuanya itu, Tuhan tidak pernah marah padaku, malah aku semakin merasakan Tuhan tambah sayang padaku. Karenanya, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menyalahkan, apalagi sampai marah pada Tuhan. Aku menganggap kalau sampai aku melakukan hal itu lagi berarti aku termasuk orang yang tidak tahu berterimakasih.

Orangtuaku mencoba mengajakku lagi berobat ke luar negeri, ke Singapura dan ke Belanda. Tapi tidak satupun dokter atau profesor mata yang sanggup menolongku. Mulai saat itu aku memastikan pada diri sendiri bahwa tidak ada satu pun orang yang dapat menolongku selain Tuhan. Karena itu, aku mulai belajar untuk berserah penuh pada keputusan-Nya.

Lulus SMP, aku mendaftarkan diri ke SMU. Tapi belum apa-apa kepala sekolah SMU sudah menolakku dengan alasan belum pernah punya pengalaman menerima murid cacat. Tapi waktu Tuhan selalu tepat. Calon kepala sekolah baru yang akan menggantikan kepala sekolah yang menolakku itu di tahun ajaran baru, lebih optimis terhadapku, sehingga dialah yang memperjuangkanku di depan kepala sekolah yang lama. Akhirnya aku pun masuk ke SMU itu, belajar seperti anak-anak lainnya. Aku senang bersekolah di sana, karena selain teman-temannya yang baik-baik, mereka juga senang menolongku. Mereka mengatakan kalau aku adalah seorang gadis yang cantik, tentu saja hal itu membuatku menjadi lebih percaya diri, apalagi dalam hal mencari pacar seperti teman-teman perempuan yang lain. Aku pun semakin bisa menerima diri apa adanya dengan segala kecacatan yang kumiliki, aku tidak malu lagi mengatakan kalau mataku tidak bisa melihat.

Aku meminta ijin kepada mami untuk belajar huruf braille, dan mami pun segera mencarikanku seorang guru SLBA untuk mengajariku membaca dan menulis dengan jari-jariku. Aku mulai mengenal banyak teman-teman tunanetra di SLBA. Hatiku begitu senang seakan aku sudah menemukan duniaku sendiri. Ternyata banyak sekali teman-teman yang juga mengalami kecacatan seperti yang aku alami. Banyak sekali hal-hal baru yang kuterima dari mereka, bagaimana cara mereka berjalan sendiri dengan tongkat mereka, bagaimana cara mereka membersihkan rumah, memasak, dan permainan-permainan apa saja yang biasa mereka lakukan, dan masih banyak lagi hal-hal lain yang membuatku begitu tertarik untuk mempelajarinya. Aku pun menjadi sering bermain ke SLBA itu dengan diantar dan dijemput oleh orangtuaku. Tapi pada suatu hari, orangtuaku tiba-tiba melarangku untuk bermain ke sana, mereka berkata bahwa aku berbeda dengan teman-teman di SLBA itu. Aku benar-benar merasa sedih dan seketika itu juga rasa sepi seakan kembali menyergap hatiku, seolah-olah aku telah kehilangan seorang sahabat terbaik yang sudah lama kucari dan berhasil kutemukan, tapi dengan secepat kilat ia kembali pergi meninggalkanku seorang diri. Ternyata orangtuaku belum juga bisa mengakui kalau anaknya adalah seorang tunanetra.

Ketika aku lulus SMU, aku masih kebingungan memilih universitas. Kebetulan suatu hari, mami melihat seorang tunanetra bergelar S2 sedang diwawancarai di salah satu stasiun televisi perihal PEMILU. Segera saja mami menghubungi stasiun TV itu untuk menanyakan nomor telepon tunanetra tersebut. Dengan cara begitu, akhirnya aku dan mami berhasil menemui tunanetra itu yang ternyata seorang dosen honorer di salah satu universitas Katolik di Jakarta dan juga ketua dari sebuah yayasan tunanetra di bawah Lembaga Daya Darma KAJ, bernama ‘Laetitia’ (Laetitia berarti ‘Gembira’, berlokasi di Jakarta pusat).

Singkatnya, pada tahun 1999 akupun mendaftar di Universitas Katolik Atma Jaya, mengambil jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Selain itu, aku juga tergabung dalam keanggotaan Laetitia. Teman-teman tunanetranya lebih banyak dari pada di SLBA Sukabumi, aku pun kembali senang bukan kepalang, dan ternyata orangtuaku pun tidak lagi melarangku untuk bermain dengan mereka, malah orangtuaku terlihat begitu bersimpatik dengan teman-teman tunanetra yang sangat luar biasa itu. Diam-diam orangtuaku mulai bisa menerima keadaanku yang sebenarnya sebagai tunanetra. Merekapun tidak malu lagi untuk mengatakan kepada khalayak umum, bahwa anak kedua mereka adalah seorang tunanetra. Malah mereka bangga dengan anak keduanya yang meski tidak melihat tapi bisa berkuliah dan bisa bersaing dengan mahasiswa lainnya yang non cacat.

Di kampus, aku belajar seperti mahasiswa lainnya, dalam ruangan yang sama dan sistem pengajaran yang sama pula, tidak ada perlakuan khusus untukku. Aku merekam setiap pengajaran dosen di kelas ke dalam pita kaset dengan menggunakan tape recorder. Demikian juga dengan buku-buku atau catatan-catatan, tapi ada juga yang aku tulis dalam huruf braille. Hanya saat quiz atau ujian, biasanya aku dibantu oleh orang dari sekretariat kampus atau teman-teman dari pastoran kampus untuk membacakan soal-soal, kemudian menuliskan jawaban yang kuberikan dengan lisan ke dalam lembar jawaban. Kesulitannya adalah pada saat membuat gambar atau grafik-grafik, biasanya aku menggambarkannya di telapak tangan mereka dengan jari telunjukku. Setelah mereka paham, barulah mereka mencoba untuk menggambarkannya ke lembar jawaban. Aku mengerjakan ujian itu di ruang dosen.
Selain itu, teman-teman dari Legio Maria juga sering membantu aku merekamkan buku-buku atau diktat-diktat ke dalam pita kaset. Jadi aku bisa menyelesaikan setiap tugas-tugas kampus dengan rapi dan tepat waktu. Nilai-nilai mata kuliahku pun cukup memuaskan. Dan pada 15 November 2003 akhirnya aku dapat meraih gelar sarjana S1, sebagai sarjana pendidikan (SPD).

Sementara itu aku sedang bergumul dalam doa untuk langkah selanjutnya yaitu pekerjaan, karena banyak sekali teman-teman tunanetra seniorku belum mendapat pekerjaan hanya karena kecacatan mereka. Sudah banyak perusahaan yang menolak mereka padahal gelar sarjana sudah mereka sandang. Jujur saja aku sempat merasa khawatir tentang yang satu ini. Aku hanya bisa menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan. Aku yakin kalau selama ini Tuhan sudah menyertai langkah hidupku sampai menjadi seorang sarjana, masakan sekarang aku meragukan Tuhan hanya karena melihat kenyataan yang pahit dari teman-teman tunanetra yang sulit mendapat pekerjaan.

Pada 19 Desember masih di tahun 2003, aku diundang oleh sebuah perusahaan besar di Cikarang untuk membagikan kesaksian hidupku di acara Natal mereka. Tak satupun orang kukenal di sana, hanya yang mengundangku saat itu seorang karyawati yang pernah mendengar kesaksianku sebelumnya di tempat lain.

Saat aku memasuki gedung tempat di mana perayaan Natal itu diselenggarakan, aku mendengar sebuah bisikan di telingaku, tapi seperti juga muncul dari dalam hatiku. Bisikan itu berkata, “Kamu akan bekerja di sini!”. Aku sempat bingung dengan suara itu, tapi pada saat itu aku hanya berpikir bahwa suara itu datang dari hatiku sendiri yang sedang begitu mengharapkan untuk mendapatkan pekerjaan.

Sesuai susunan acara, aku seharusnya di tempatkan di acara terakhir dari acara perayaan. Tapi Tuhan punya rencana lain, karena pembicara pada saat itu terlambat datang, sehingga aku di minta untuk mengisi di awal acara. Ya sudah, jadilah aku bersaksi dan menutupnya dengan satu nyanyian. Setelah aku bersaksi, dilanjutkan dengan acara penyalaan lilin Natal, tiba-tiba owner dari perusahaan tersebut menghampiriku dan bertanya kepadaku:

“Apa kamu sudah bekerja?”

“Belum, Pak!”

“Kamu mau kerja?” tanyanya lagi.

“Mau, Pak!” Jawabku cepat tanpa sedikitpun keraguan, dan inilah kata-kata yang kudengar dari owner itu

“Ya sudah, kamu bekerja dengan saya!”

Seketika itu juga, suara yang tadi kudengar saat memasuki gedung terngiang kembali di telingaku. Begitu senangnya aku sampai semuanya terasa seperti mimpi. Aku mengerti, ternyata suara tadi pasti dari Tuhan, Tuhan telah memberitahuku lebih dulu sebelum owner itu memberitahuku. Tuhan memang benar-benar baik bahkan teramat sangat baik buatku. Aku benar-benar merasakan sebagai anak Raja. Raja telah memerintahkan owner itu untuk menerimaku bekerja di perusahaan yang besar miliknya. Selesai owner itu berbicara denganku, acara dilanjutkan dengan penyampaian khotbah Natal. Selesai khotbah, owner itupun pulang, tidak mengikuti acara sampai akhir. Cara Tuhan dalam menolongku memang sungguh ajaib.

Begitulah, sekarang sudah hampir lima tahun aku bekerja di perusahaan Mulia Keramik. Pertama sebagai resepsionis di mana pekerjaanku selain menerima telepon, menghafalkan begitu banyak nomor extention, dan juga harus menghadapi tamu-tamu baik dari dalam maupun dari luar negeri. Hal itu membuatku semakin berani dan percaya diri dalam menghadapi orang banyak.

Walaupun jarak penglihatanku semakin kabur, tapi aku masih mampu melihat bayang-bayang dan cahaya. Jadi kalau ada tamu yang datang ke depan mejaku, aku masih bisa mengetahuinya, meski sering juga teman sekantor yang sedang berdiri di depan mejaku pun, aku sangka tamu. Bulan Agustus tahun 2007, aku dipindahkan ke bagian HRD Training & Recruitment. Aku bekerja dengan menggunakan laptop yang sudah di-install sebuah program yang namanya JAWS (Job Access With Speech). Program inilah yang selalu setia membantuku membaca ataupun menulis, karena setiap huruf yang aku ketik akan dia bacakan dengan lafalnya yang masih lafal bahasa Inggris. Semua program di komputer pun akan dia bacakan sehingga teman-teman tunanetra sepertiku bisa mengoperasikan komputer seperti layaknya teman-teman non tunanetra lainnya. Selain komputer, program JAWS juga dapat di gunakan pada handphone, hanya namanya saja yang berbeda. Pada HP program bicara itu dinamakan TALK, tapi cara kerjanya sama persis.

Nah, begitulah kira-kira kisah hidupku. Oh ya, ada yang kelupaan, tentang pacar. Waktu kelas 3 SMU, aku pernah punya pacar. Kata temanku, wajah pacarku itu sangat tampan, sehingga banyak teman-teman wanita yang lain pun diam-diam naksir dia. Pacarku bilang kalau dia sangat sayang padaku apapun keadaanku. Tapi selang beberapa waktu, ternyata orangtuanya tidak menyetujui hubungan kami, mereka berkata kepada pacarku itu kalau aku hanya akan jadi beban saja. Sakit rasanya mendengar itu. Akhirnya hubungan kami pun tidak berlangsung lama. Waktu aku sudah kuliah di Jakarta, aku memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan kami. Meski pahit, harus tetap kujalani.

Tapi sekarang, Tuhan sudah memberikan padaku seorang pendamping hidup yang luar biasa. Awalnya dia adalah anggota baru Legio Maria. Pada suatu hari Minggu, teman-teman Legio mengajakku pergi berjalan-jalan. Nah, dia ada di antara mereka. Jadilah kami berkenalan di depan pintu rumahku. Beberapa hari kemudian, dia meneleponku, dan hubungan kami pun semakin dekat. Dia sangat mengasihi Tuhan dan juga sangat menyayangiku. Dia tidak pernah menganggap kalau kecacatanku itu sebagai beban atau sesuatu yang memalukan, sehingga harus ditutup-tutupi. Malah dia begitu bangga mengenalkanku pada teman-temannya dengan mengatakan: “Pacarku ini tunanetra!”. Bukan hanya itu, orangtua dan saudara-saudaranya pun sangat baik terhadapku, mereka begitu bisa menerimaku apa adanya. Di bulan Agustus 2008, kami pun melangsungkan pernikahan.

Dua puluh tujuh tahun sudah aku mengalami begitu banyak kebaikan-kebaikan Tuhan. Meski mataku secara fisik belum sembuh, tapi aku bersyukur, karena Tuhan telah lebih dulu mencelikkan mata hatiku, sehingga aku bisa merasakan betapa baiknya Tuhan dan dapat melihat betapa indahnya rencana Tuhan dalam kehidupanku dan keluarga. Kalau Tuhan mau menyembuhkan mataku, detik ini pun aku yakin Tuhan sanggup melakukannya, tapi janganlah kehendakku yang terjadi, melainkan biarlah kehendak Tuhan saja yang jadi dalam hidupku. Yang aku inginkan sekarang adalah menggunakan hidup ini untuk menjadi kemuliaan bagi nama Tuhan. Amin!

Aku berharap melalui cerita kehidupanku ini, teman-teman penyandang cacat, khususnya penyandang cacat tunanetra sepertiku, yang sampai saat ini belum juga bisa menerima kecacatannya atau merasa tidak mampu untuk berbuat apapun, dapat lebih membuka diri dan berkarya sesuai dengan kemampuan yang Tuhan percayakan kepada kita masing-masing. Ingatlah bahwa kecacatan yang kita miliki bukanlah suatu hambatan untuk kita maju dan berkembang. Asalkan kita memiliki kemauan, pasti kita mampu melakukannya dan mencapai keberhasilan seperti yang kita harapkan.

Dan bagi para orangtua yang mungkin merasa malu dan terpukul karena memiliki anak yang cacat, janganlah terlampau putus asa atau mengucilkan anak tersebut, karena di dalam dunia ini tidak ada seorangpun yang sempurna. Ingatlah bahwa di balik kecacatan mereka, Tuhan telah menyimpan suatu kelebihan yang dapat diolah menjadi sebuah kebanggaan. Carilah dan galilah itu, berilah dukungan dan bantulah anakmu dalam menghadapi segala hambatan dan tantangan yang ada di sekelilingnya. Janganlah memandang mereka dari sisi kecacatannya saja, tapi pandanglah mereka sebagai seseorang yang memiliki potensi untuk berkarya bagi Tuhan dan sesama, bahkan akan membawa kebanggaan bagi kalian sebagai orangtua, karena telah berhasil melaksanakan sebuah tugas besar yang dipercayakan Tuhan kepadamu untuk mendidik dan membesarkannya, dengan segala tantangan yang ada.

Bagi pemerintah, para pengusaha, dan lembaga sosial, hanya satu hal yang ingin aku tekankan di sini, bahwa kami, para penyandang cacat, meski tidak sempurna secara fisik, tapi kami juga memiliki kebutuhan yang sama dengan mereka semua yang mungkin secara fisik sempurna. Kami butuh kesempatan, kami butuh pengakuan, dan kami juga butuh persamaan. Tidak ada yang tidak mungkin untuk kami lakukan, asalkan kami diberikan kesempatan untuk mencoba dan membuktikan potensi kami!

Mukjizat itu nyata

22

Dari Katolisitas:

Kami berterima kasih kepada  Andy Prasetya, yang berkenan membagikan kepada kami, kesaksian imannya yang sangat menyentuh hati. Andy mengalami besarnya kasih Tuhan justru melalui pergumulan hidup ketika mengetahui bahwa anaknya, Calvin, mengalami cacat tubuh. Bagi orang yang tidak mengenal Tuhan, kenyataan ini dapat mendatangkan keputuasaan, namun bagi Andy sekeluarga, kejadian ini malah memperkuat iman dan pengharapan mereka akan Tuhan Yesus. Ya, Tuhan mengetahui segala yang terbaik baik setiap dari kita. Melalui pengalaman Andy ini kita melihat betapa ayat firman Tuhan ini digenapi:

“Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita….” (Rom 5:3-5)

Terima kasih Andy, terima kasih Calvin, atas kesaksian iman ini. Semoga ikatan kasih kita sebagai sesama saudara di dalam Kristus, selalu hidup selamanya, sebab di dalam Kristus Tuhan, tiada yang dapat memisahkan kita,  bahkan maut sekalipun.


Hadiah terindah dari Tuhan

 

Aku lahir dan dibesarkan dari keluarga Katolik, di sebuah kota kecil di Solo, Jawa tengah. Sejak kecil kami dididik secara Katolik. Aku dibaptis sejak kecil dan menuntut ilmu di sekolah Katolik. Namun bagiku saat itu, semuanya hanyalah rutinitas belaka tanpa iman yang benar-benar  menunjukkan seorang Katolik sejati.  Aku bertemu dengan istriku pada saat kami kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Akhirnya setelah selesai kuliah kami memutuskan untuk menikah dan memulai kehidupan berumah tangga. Tak lama kemudian tepatnya tanggal 10 Mei 1997, hadir seorang bayi laki-laki dalam kehidupan kami, yang kemudian kami beri nama Calvin Indi Sutanto. Seorang bayi yang lucu yang lahir melalui persalinan normal. Namun saat indah itu hanya berlangsung untuk waktu yang sangat singkat. Di usianya yang ke-10 hari, kami mendapati Calvin menangis terus dan kedua tangannya tak dapat bergerak. Ketika kami bawa ke dokter , vonis yang kejam pun kami terima bahwa Calvin menderita polio. Kami tidak percaya, karena dengan mata kepala sendiri kami melihat pada saat lahir semua anggota tubuh dia berfungsi dengan normal. Setelah akhirnya mencari beberapa dokter untuk mendapatkan diagnosa yang pasti, sampailah kami pada suatu nama penyakit yang sangat aneh di telinga kami “osteogenesis imperfecta”, suatu penyakit tulang yang langka yang disebabkan kelainan genetika, dimana tulang mudah sekali patah terhadap benturan sekecil apapun. Itulah mengapa kedua tangan Calvin tidak dapat bergerak karena setelah di rontgen baru terlihat bahwa kedua lengannya patah. Dan sedihnya lagi hingga detik itu belum ada satu jenis obat pun yang dapat mengobati  langka tersebut.

Maka dimulailah babak baru di dalam kehidupan kami untuk membesarkan dan menjaga titipan Tuhan ini. Selama hampir satu tahun usianya, sudah berpuluh-puluh kali Calvin mengalami patah tulang di sekujur tubuhnya. Saat belajar merangkak tangannya pun patah, saat belajar duduk paha dan kakinya pun patah. Kami tak bisa membayangkan kesakitan yang dahsyat yang dialaminya setiap kali tulangnya patah. Namun Tuhan sangat adil kepada Calvin. Itu dibuktikan pada saat usianya satu tahun dia sudah dapat berbicara, bahkan membaca sepatah dua patah kata. Sehingga ketika anggota tubuhnya patah, dia sudah dapat berteriak sambil menunjukkan bagian mana yang patah. Karena belum ditemukan obat untuk penyakit tersebut, maka hanya keajaiban dan mujizat Tuhan lah yang menjadi harapan kami satu-satunya. Setiap saat kami selalu berdoa kepada Tuhan untuk menurunkan mujizatNya kepada Calvin. Tak lupa kami pun mengajarkan Calvin untuk selalu berdoa kepada Tuhan pada waktu malam sebelum dia berangkat tidur, untuk memohon kesembuhan.

Di usianya yang ketiga Calvin mendapatkan sebuah hadiah dari Tuhan, yaitu seorang adik kecil perempuan, yang kemudian kami beri nama Anabel. Kelahiran Anabel sempat membawa kebimbangan besar dalam hidup kami, karena menurut dokter kandungan, apabila istriku melahirkan seorang anak laki-laki maka kemungkinan untuk menderita penyakit seperti Calvin bisa terjadi lagi. Walaupun kemungkinan itu kecil, namun kami harus bersiap dengan resikonya. Maka sampai dengan harinya Anabel lahir, melalui persalinan normal dan diketahui berjenis kelamin perempuan,  barulah kelegaan menyelimuti perasaan kami. Mereka berdua pun tumbuh dan berkembang bersama. Namun satu perbedaan fisik yang mencolok bisa dilihat dari keduanya.  Anabel tumbuh sebagaimana anak seusianya, sedangkan Calvin walaupun usianya bertambah, tetapi bentuk fisiknya tetap seperti anak berusia dua tahun.

Rasa lelah untuk berharap

 

Sepanjang hari setiap waktu aku tak berhenti berdoa untuk memohon mujizat pada Tuhan agar Calvin disembuhkan. Namun akhirnya rasa lelah pun menghinggapi diriku. Aku capek memohon kepada Tuhan, namun hingga saat itu Tuhan tak pernah menjawab dan mengabulkan doaku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk marah dan putus hubungan dengan  Tuhan. Biarlah semua ini kutanggung sendiri tanpa mengharapkan belas kasihan dan bantuan Tuhan. Dua tahun lamanya aku meninggalkan Tuhan,  aku sibuk dengan pekerjaanku sendiri tanpa ada waktu untuk merayakan Misa ke gereja, mengucap syukur dan memohon berkat dariNya. Kubiarkan istriku sendiri setiap Minggu pergi ke gereja, tanpa pernah aku menemaninya.  Karena bagiku Tuhan sudah menjauhi aku dan keluargaku, sehingga Dia tak ada waktu lagi untuk mendengarkan dan mengabulkan doaku. Hingga pada suatu ketika dengan sangat terpaksa aku harus menemani istriku ke gereja. Dengan perasaan malas aku terpaksa berangkat menemaninya, kupikir toh hanya satu setengah jam saja aku harus duduk terpekur menemani istriku mengikuti Misa di gereja.

Namun ternyata Tuhan menunjukkan kemuliaanNya saat itu. Ketika pastor menyampaikan homili aku bagaikan ditampar oleh isi kotbahnya. Beliau menceritakan banyak orang berdoa memohon kesembuhan dan mujizat dari Tuhan, namun ketika mujizat itu tak kunjung datang, rasa frustasi dan menyerah akhirnya menghinggapi. Cara memohon atau berdoa yang salah yang menjadi biang keladinya. Sering di dalam doa permohonan kita itu, kita mengharapkan doa kita dikabulkan secepatnya, dan yang lebih parah lagi kita bahkan mendikte Tuhan untuk mengabulkan keinginan kita. Kita sering tidak menyadari bahwa sebenarnya Tuhan sudah menjawab permohonan kita. Tanpa kita sadar akan kebaikan Tuhan tersebut, kita selalu menginginkan sesuatu yang lebih dan sesuai dengan pengharapan kita. “Terjadilah kepadaku menurut kehendakMu“, itulah yang seharusnya terucap dalam setiap doa kita, membiarkan kuasa Tuhan bekerja sesuai dengan kehendakNya. Selesai Misa tersebut aku seperti terlahir kembali. Terima kasih Tuhan telah menegurku dengan caraMu yang begitu indah. Mulai saat itu kuserahkan seluruh permohonanku sesuai dengan kehendakNya, dan bukan kehendakku.

 

Cobaan berat itu datang juga

 

Calvinku akhirnya tumbuh dan berkembang. Dia pun mulai memasuki kehidupan bersosial dengan masuk ke sekolah taman kanak-kanak. Dengan segala kekurangan dalam tubuhnya yang tak dapat berjalan, bersekolah dengan kursi roda dalam mengikuti semua pelajaran dan kegiatan, tak ada sedikitpun rasa minder dan rendah diri pada diri Calvin. Aku dan istriku sangat bersyukur atas kebesaran hati Calvin untuk menyadari segala kekurangannya. Namun untuk menikmati pendidikan bagi dirinya, tak semudah yang didapat anak-anak normal seusianya. Setamat dari TK, kami mulai berusaha mencari sekolah dasar untuk kelanjutan pendidikannya. Namun yang terjadi kemudian, begitu banyak kami mendaftar, begitu banyak juga kami ditolak, bahkan sekolah Katolik idaman Calvin pun tak mengijinkan dia bersekolah disitu, karena takut mengganggu aktivitas teman-temannya. Bahkan kami dianjurkan untuk menyekolahkan Calvin di SLB ( Sekolah Luar Biasa ) untuk anak-anak cacat. Tanpa kecil hati kami pun mendaftarkan Calvin ke SLB. Namun ternyata mereka pun menolak Calvin karena menurut mereka Calvin adalah anak yang normal, hanya fisiknya saja yang menjadi kekurangan dalam dirinya. Dia dapat membaca, menulis, dan mengerjakan semua tugas sekolahnya, jadi akan sangat kasihan apabila Calvin harus bersekolah di SLB karena dia harus bergabung dengan anak-anak yang memiliki banyak keterbatasan dibandingkan dirinya, sehingga justru akan menghambat segala kemampuannya.

Akhirnya Tuhan pun menjawab doa kami, dan Calvin menemukan sebuah sekolah umum yang mau menampungnya, tanpa memandang cacat fisik yang dimilikinya. Bahkan untuk mata pelajaran olah raga dan prakarya dia mendapatkan dispensasi khusus untuk diganti dengan pelajaran teori sebagai pengganti ketidakikutsertaannya. Terpancar begitu besar suka cita dalam diri Calvin karena sekarang dia dapat melanjutkan pendidikannya, sesuatu yang sangat didambakannya. Bahkan di setiap jenjang kelas yang diikutinya, dia berhasil memperoleh ranking dua atau tiga di setiap akhir semester. Itu pun karena tak mungkin bagi dia untuk menjadi yang terbaik atau juara pertama sebab untuk mata pelajaran olah raga dan prakarya hanya nilai minimal yang diperolehnya sebagai pengganti ketidakikutsertaannya.

Kami sangat bangga dengan Calvin, hingga cobaan berat itu datang lagi di saat Calvin menginjak kelas lima sekolah dasar. Dari yang biasanya selalu menjadi peringkat tiga besar di kelas, tiba-tiba Calvin memperoleh peringkat dua dari belakang, alias ke-dua dari ranking yang paling akhir. Kepala Sekolah, guru-guru dan kami sendiri pun bingung dan berusaha mencari tahu penyebabnya. Walaupun saat itu kami juga menyadari perubahan dalam dirinya yang menjadi malas belajar, sering marah-marah, namun kami masih menganggap hal itu wajar untuk anak seusianya. Memang kami sempat heran saat itu karena biasanya telepon di rumah kami begitu sering berdering dari teman-teman Calvin yang berbicara kepada Calvin untuk menanyakan tugas atau bagaimana menjawab soal pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru. Tiba-tiba saja telepon itu jarang sekali berdering lagi.

Hingga pada suatu malam Calvin memanggilku dan mengajak berbicara berdua saja di kamarku. “Papi, bunuh diri itu dosa, nggak?” kalimat itu meluncur dari bibirnya seperti menohok diriku. Oh…Tuhan, mengapa kata-kata itu meluncur dari mulut kecil anakku, dan aku belum siap untuk mendengarnya. Sambil berdoa dan menahan air mata ini untuk tidak menetes, kujawab pertanyaan anakku. Kujelaskan kepadanya bahwa bunuh diri itu adalah sebuah dosa besar karena kita sudah melawan kehendak Tuhan. Belum selesai aku bernapas lega, disusul kemudian pertanyaan berikutnya datang lagi, “Kalau aku bunuh diri dosa, berarti kalo papi yang bunuh aku, dosanya ada di papi dong…aku tetap nggak berdosa.“ Sekali lagi aku bagai tersambar petir mendengar pertanyaan polos itu. Namun Roh Kudus seperti merasuki diriku, hingga akhirnya aku pun dapat menjawab dan menjelaskan kepada Calvin kenapa bunuh diri itu dosa. Dia pun bercerita kepadaku betapa putus asanya dia karena hingga saat itu Tuhan tidak menjawab doa-doanya yang dia panjatkan setiap malam sebelum tidur. Aku bagai tersihir dan teringat kembali akan keadaanku sendiri waktu itu yang lelah memohon kepada Tuhan sehingga akhirnya aku pun menghujat Tuhan dalam hidupku. Akhirnya kujawab juga kegusaran anakku, persis seperti kotbah pastor saat itu yang akhirnya membuka kembali pintu hatiku untuk Tuhan. Kujelaskan pada dia bahwa sebenarnya mujizat itu telah terjadi pada dirinya, karena dia masih diberi umur yang panjang, dan hingga kelas lima saat itu, dia sudah jarang lagi mengalami patah-patah tulang dibandingkan pada saat dia masih balita. Dan kuceritakan pula bahwa kita tidak bisa mendikte Tuhan untuk menghadiahkan kepada kita sesuatu yang sama persis seperti keinginan kita, misalnya dia selalu berdoa untuk bisa berjalan dan esoknya Tuhan langsung mengabulkan dan dirinya dapat langsung berjalan. Dan puji Tuhan Calvin pun akhirnya menyadari kesalahannya dan dia pun berjanji saat kelas enam nanti dia akan kembali berprestasi seperti sebelumnya. Dan tahukah Anda…janji itu dibuktikannya sampai akhirnya malaikat Tuhan menjemputnya.

Rencana Tuhan itu begitu indah….

 

Semester pertama ketika dia duduk di kelas enam, tiba waktunya untuk mengambil raport hasil semester. Dengan harap-harap cemas kami pun pergi ke sekolah Calvin. Ketika kami tiba dan berjumpa dengan wali kelas Calvin, jabat tangan tanda selamat diberikan oleh wali kelas tersebut. Kami terkejut dan tak tahu apa yang terjadi. Ternyata Calvin menepati janjinya untuk kembali berprestasi dan kembali menempati ranking tiga di kelasnya, sesuatu yang sangat membanggakan kami. Namun kebahagiaan kami tak berlangsung lama. Di bulan Desember tahun 2008, dua hari menjelang Natal, tiba-tiba Calvin sakit, bukan patah tulang, tetapi sesuatu yang salah dalam tubuhnya hingga mengganggu pernapasannya. Hingga akhirnya mimpi buruk yang tak pernah terjadi itu hadir dan mencobai kami. Calvin harus dirawat di ICU di Rumah Sakit. Saat itu kami melihat begitu tersiksanya dia karena harus bernapas melalui mesin lewat selang yang masuk dari mulutnya hingga ke paru-parunya, serta begitu banyak alat bantu yang terpasang di tubuhnya. Padahal Calvin ingin sekali mengikuti Misa Natal bersama kami sekeluarga karena tiga bulan sebelumnya dia sudah menerima Komuni Pertama untuk pertama kalinya, sesuatu yang sangat diidamkannya. Akhirnya Calvin pun terpaksa melewatkan Misa malam Natal saat itu dan berharap cepat sembuh dan kembali ke rumah.

Setelah seminggu dirawat akhirnya Calvin pun diperbolehkan pulang, namun dengan syarat tetap menjaga kondisi tubuhnya untuk tidak terlalu capek. Cuaca buruk di musim hujan mengakibatkan kondisi Calvin tidak stabil, sehingga di awal bulan Januari ia kembali harus dirawat di ICU untuk kedua kalinya. Namun kali ini di rumah sakit yang berbeda, mereka tidak memiliki ruang ICU khusus untuk anak, sehingga Calvin pun harus dirawat bersama- sama dengan banyak orang tua yang sakit keras di ruang ICU tersebut. Baru kali ini kami melihat ketakutan dan kecemasan yang begitu mendalam dalam diri Calvin, karena di kamar tersebut hampir setiap hari terdengar jerit tangis dari keluarga pasien yang meninggal, sehingga itu mempengaruhi jiwanya. “Aku takut sendirian, aku takut kalo aku bobo tiba-tiba mati dan nggak bangun lagi “, itulah kalimat yang selalu terucap dari mulutnya. Kami pun terus menjaga setiap waktu dan membesarkan hatinya supaya tetap tabah dan berdoa mohon kesembuhan dari Tuhan. Hampir dua minggu lamanya Calvin dirawat dan akhirnya dokter pun mengijinkannya untuk pulang.

Manusia boleh berencana tapi Tuhan lah yang menentukan. Baru beberapa hari pulang dari rumah sakit, Calvin sudah ngotot untuk bersekolah lagi, dia takut sebentar lagi Ebtanas, dan dia banyak ketinggalan pelajaran dari teman-temannya. Akhirnya dia pun memaksa kami untuk mengijinkan dia masuk sekolah lagi walaupun saat itu kondisinya belum pulih benar dan cuaca musim hujan yang sangat tidak bersahabat. Hanya tiga hari dia dapat bertahan di sekolah, namun tercermin kebahagiaan yang begitu besar dari raut mukanya ketika dia dapat berjumpa lagi dengan teman-teman kelasnya. Pada hari ketiga dia terpaksa pulang lebih cepat dari sekolah karena kondisi tubuhnya yang memburuk. Namun untuk kali ini Calvin tidak mau dirawat di rumah sakit lagi, “Buat apa aku dirawat lagi, aku benci dengan alat-alat itu, aku ini bukan bahan percobaan dokter yang bisa tusuk sana tusuk sini, biarlah aku istirahat di rumah saja, nanti juga pasti sembuh sendiri.” itulah pembelaan darinya agar tidak dibawa ke rumah sakit.

Namun seiring berjalannya waktu, kondisi Calvin makin memburuk, hingga akhirnya kuputuskan untuk memanggil seorang pastor agar memberikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit kepada anak kami tersebut. Ketika pastor datang dan mendoakan dia, pada saat itulah Calvin menghadapi saat kritis atau koma, namun di tengah ketidaksadaran dirinya tiba-tiba dia meminta kami semua untuk diam dan kemudian dia berdoa dengan keras sekali suaranya, “Tuhan kuatkanlah aku dalam menghadapi cobaan Mu ini”. Dua kali dia ucapkan kalimat tersebut sampai kemudian dia tidak sadarkan diri lagi. Bergegas kami melarikan Calvin ke rumah sakit dalam kondisi kritis tersebut. Sesampai di ruang gawat darurat rumah sakit, Calvin mendapatkan pertolongan pertama untuk menjaga kesadaran dia. Tak lama kemudian dokter pun menghampiri kami sambil menyampaikan kabar buruk bahwa kecil kemungkinan Calvin dapat tertolong, dan paling lama satu hari lagi dia dapat bertahan. Hal ini disebabkan di dalam tubuh Calvin mengalami keracunan CO2 ( karbondioksida ) karena paru-parunya tidak dapat berfungsi dengan baik untuk membuang CO2 tersebut keluar dari tubuhnya. Dan seandainya dapat bertahan pun hidupnya akan bergantung dari mesin-mesin bantu yang terpasang di tubuhnya. Hal itulah yang selama ini menyiksa dia. Maka kami pun pasrah dan berserah kepada Tuhan untuk memberikan jalan terbaik bagi anak kami tersebut.

Tuhan sekali lagi menunjukkan kebesaranNya ketika keesokan harinya Calvin bangun dan tersadar. Terpancar kesedihan di matanya ketika menyadari bahwa dirinya kini tergolek lagi di ranjang rumah sakit bersama alat-alat bantu yang terpasang di tubuhnya. Kami pun bersyukur ternyata Tuhan mendengar doa kami, dan masih memberikan waktu kepada anak kami untuk melanjutkan hidupnya. Tak lama kemudian banyak kerabat, teman sekolah Calvin, kepala sekolah dan guru-gurunya datang menjenguk untuk memberikan semangat kepada Calvin agar cepat sembuh. Kami pun terus berdoa dan berserah kepada Tuhan dan mengikhlaskan seandainya Tuhan memang berkenan memanggilnya.

Empat hari setelah dirawat di kamar ICU Calvin tiba-tiba berontak dan memaksa kami untuk membawa pulang ke rumah. Baru sekali ini kami melihat dia memelas sambil memohon untuk boleh pulang dan dirawat di rumah. Ketika kami membujuknya untuk tetap bersabar sambil menunggu kesembuhan dirinya, Calvin pun mulai marah hebat sambil melepas selang-selang dan alat-alat bantu yang menempel di tubuhnya. Akhirnya kami pun menyadari mungkin inilah keinginan terakhir dari Calvin untuk pulang ke rumah, tempat dimana ia ingin beristirahat selamanya. Kami pun dengan berat hati memberanikan diri memohon ijin kepada dokter untuk membawa pulang anak kami tersebut dengan menyadari segala resikonya. Namun sekali lagi Tuhan berkehendak lain. Sambil menunggu jawaban dokter, karena hari itu adalah hari Minggu maka kami harus menunggu jawaban dokter untuk merespon permohonan kami tersebut, tiba-tiba Calvin mengalami pendarahan yang hebat, dimana hal tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya. Karena tetap berontak ingin pulang, Calvin akhirnya ditidurkan dengan memberikan suntikan penenang ke dalam tubuhnya. Dan akhirnya dia pun tertidur dan itulah saat terakhir kami melihatnya dalam keadaan sadar.

Dini hari tanggal 9 Febuari 2009 akhirnya malaikat Tuhan datang menjemputnya. Dia telah pergi meninggalkan kami semua. Namun kami percaya itulah jalan terbaik dari Tuhan yang diberikan kepada kami untuk mengakhiri penderitaannya. Kepergian Calvin bagi keluarga kami adalah suatu bentuk mujizat dari Tuhan. Kenapa mujizat? Ya, karena Tuhan telah menjawab doa kami, Dia telah membebaskan Calvin dari penderitaan yang dia alami selama ini. Tuhan telah memberi kedamaian abadi kepada anak kami tersebut. Kami tak dapat berpikir seandainya dia masih hidup namun bergantung dengan mesin-mesin yang terpasang dalam tubuhnya, sanggupkah dia melewati semua itu. Kami percaya kini dia telah menjadi malaikat kecil Tuhan dan selalu melindungi dan mendoakan keluarga ini. Dan setelah setahun lebih Calvin meninggalkan kami, justru hidup kami makin dekat dengan Tuhan, bukan meninggalkan atau menghujatNya karena telah memberikan kami cobaan yang begitu dahsyat ini. Kami bersyukur karena begitu besarnya cinta Tuhan kepada kami hingga akhirnya Dia mendengarkan doa kami dan mencabut penderitaan itu dari diri Calvin. Dan Tuhan selalu menepati janjiNya untuk menjaga kami hingga saat ini.  http://calvinindi.blogspot.com

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab