Home Blog Page 20

Sudahkah kita setia dalam perkara kecil?

0
Sumber gambar: https://stjohnoneone.com/2014/05/15/parable-of-the-unjust-steward-william-barclay/

[Hari Minggu Biasa XXV: Am 8:4-7; Mzm 113:1-8; 1Tim 2:8; Luk 16:1-13]

Seorang ibu merindukan agar suaminya dapat mengimani Yesus dan dibaptis. Tapi konon suaminya menolak, dengan alasan, “Nanti dulu, Ma. Papa belum siap, sebab sekarang ‘kan Papa masih sibuk dagang…” Lalu ibu tersebut menyahut dengan berseloroh, “Memangnya orang dagang nggak bisa ikut Tuhan Yesus?” Demikianlah, kebanyakan pedagang cenderung punya segudang akal untuk mengelabui pembeli agar memperoleh untung sebanyak- banyaknya. Dan mungkin, karena itu selalu ada konflik batin dalam diri sang pedagang, karena tahu bahwa kalau ia mengimani Tuhan Yesus, ia tak dapat lagi melakukan akal-akalan semacam itu lagi.

Rupanya pergumulan serupa juga telah terjadi di tengah bangsa Israel di zaman Nabi Amos. Takaran gandum mereka buat lebih kecil, harga dinaikkan dan timbangan dipalsukan, dan membuat banyak orang, terutama orang miskin, tambah susah. [Di zaman sekarang, orang memalsukan vaksin, menghapus tanggal kedaluwarsa, ataupun menyuap pejabat]. Karena itu, Allah menegur kecurangan ini, sebagaimana kita dengar di Bacaan Pertama hari ini. Mungkin kita tidak menjual gandum, tidak juga memalsukan timbangan, tetapi dalam bentuk lainnya, kita semua dituntut untuk hidup jujur. Artinya, tidak mencari keuntungan dengan cara yang tidak benar di hadapan Tuhan.

Tapi ternyata hal menghitung untung rugi dan memikirkan kepentingan diri sendiri juga terjadi dalam kehidupan rohani. Ada kecenderungan bahwa kita pun bersikap serupa saat berdoa dan memohon kepada Tuhan. Lebih mudah bagi kita untuk berdoa untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga kita, tapi mungkin sedikit porsi kita berikan untuk mendoakan orang lain, apalagi untuk mendoakan dunia. Apa untungnya mendoakan orang lain, apalagi yang tidak kita kenal?  Namun, firman Tuhan  mengingatkan kita, “Panjatkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur kepada Allah bagi semua orang, bagi pemerintah dan penguasa, agar kita dapat hidup aman dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan. Itulah yang baik dan berkenan kepada Allah…” (1Tim 2:1-3). Alasannya ada di ayat berikutnya, yaitu bahwa Allah, “menghendaki agar semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” Demikianlah Allah menghendaki kita memiliki hati yang besar, agar tidak hanya memikirkan keselamatan diri sendiri, tetapi keselamatan orang lain juga. Sebab dengan mendoakan keselamatan dunia artinya kitapun mendoakan keselamatan diri kita juga. Dengan memikirkan keselamatan kekal, otomatis kita pun diingatkan untuk menjalani urusan kita di dunia dengan jujur dan benar, sebab itulah yang berkenan pada Allah.

Tuhan Yesus melalui Bacaan Injil mengingatkan kita satu hal lagi. Yaitu agar kita setia dalam perkara-perkara kecil. Ini penting, sebab kejujuran dan kebenaran dalam melakukan segala sesuatu, itu dimulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Itu juga dimulai dari keputusan kita untuk selalu memilih mengabdi Allah, daripada mengabdi kepada Mamon, yang artinya adalah kekayaan. St. Sirilus mengatakan, “… Tuhan kita membukakan mata hati kita, dengan menjelaskan apa yang telah dikatakan-Nya, maka kalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapa yang akan mempercayakan harta sejati kepadamu? Maka apa yang terkecil adalah Mamon yang tidak jujur, yaitu kekayaan duniawi, yang nampak sebagai bukan apa-apa bagi orang-orang yang bijaksana secara surgawi… Seseorang setia dalam hal kecil, ketika ia membantu mereka yang tertunduk karena dukacita. Jika kita tidak setia dalam hal-hal kecil, bagaimana kita akan memperoleh harta sejati, yaitu karunia rahmat ilahi yang menghasilkan buah, dengan menanamkan gambar Allah di jiwa manusia? Tapi bahwa perkataan Tuhan condong kepada arti ini… sebab kata-Nya, Dan jika kamu tidak setia dalam hal yang menjadi milik orang lain, siapa yang akan memberi kepadamu apa yang menjadi milikmu sendiri?” (St. Cyril, Catena Aurea, Luk 16:8-13).

Saudara-saudariku terkasih, Tuhan Yesus menghendaki agar kita mengabdi kepada-Nya dengan hati yang tidak terbagi. Ia mau agar kita melayani-Nya dengan sepenuh hati, dan dengan segala talenta yang Ia percayakan kepada kita: bakat, waktu dan harta milik. Dan Tuhan menghendaki agar ini dimulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Kita perlu mengarahkan segala sesuatu kepada Tuhan: seluruh pekerjaan kita, rencana-rencana kita, waktu luang kita…. Yesus ingin agar kita menjadi murid-Nya yang koheren, yang menyesuaikan perbuatan kita dengan iman kita. Sebab jangan sampai Tuhan hanya urusan di hari Minggu, sedang hidup dari hari Senin sampai Sabtu, tidak nyambung dengan apa yang Tuhan ajarkan. Ya, pedagang, pengusaha, dokter, insinyur, pengacara, guru, artis, pelajar, ibu rumah tangga,… semua pekerjaan ini dapat dibuat menjadi sarana bagi kita untuk menjadi saksi Kristus. Dengan menjadi saksi-Nya, kita memenuhi panggilan kita untuk hidup sebagai anak-anak Allah. Dengan demikian, kita—meminjam perkataan St. Sirilus—“menanamkan gambar Allah” di jiwa manusia, yaitu di jiwa kita dan di jiwa sesama kita. Semoga rahmat Tuhan membantu kita menerapkan ajaran Kristus, yaitu: kejujuran, kebenaran, dan cinta kasih, dalam pekerjaan kita, mulai dari hal-hal yang kecil… agar kelak Tuhan Yesus berkenan mempercayakan hal yang besar, yang diberikan-Nya menjadi milik kita yang sejati: yaitu keselamatan jiwa kita. Amin.

Sin amnesty, mau?

0
Sumber gambar: http://seancarey.co/wp-content/uploads/2015/03/Sheepdog.jpg

[Hari Minggu Biasa XXIV: Kel 32:7-11,13-14; Mzm 51:3-19; 1Tim 1:12-17; Luk 15:1-32]

Belakangan ini ada istilah yang lumayan populer: Tax amnesty. Pengampunan pajak. Slogannya pun tak kalah menarik: Ungkap, Tebus, Lega. Melalui Tax Amnesty ini, kita sebagai umat beriman diajak untuk secara jujur “memberikan apa yang wajib kita berikan kepada Kaisar (lih. Luk 20:25)” [dalam hal ini adalah, kepada Pemerintah], sebagai tanggung jawab kita sebagai warga negara di dunia. Namun sebenarnya, sebagai umat beriman kita juga memiliki tanggung jawab, jika kita ingin kelak menjadi warga di Surga. Yaitu, untuk “memberikan apa yang menjadi hak Allah”: selain pujian dan syukur kepada-Nya, juga ungkapan tobat atas segala dosa kita. Maka slogan “Ungkap, Tebus, Lega” kurang lebih juga dapat dihubungkan dengan kehidupan rohani kita.

Di Bacaan Pertama kita mendengar kisah bagaimana bangsa Israel jatuh dalam dosa menyembah berhala, ketika Nabi Musa sedang berada di Gunung Sinai, menerima perintah Allah  (lih. Kel 32:7-8). Seakan lupa pada pertolongan Tuhan yang baru saja melepaskan mereka dari perbudakan Mesir, bangsa Israel membuat allah mereka sendiri dari emas tuangan. Namun syukurlah, atas doa syafaat Musa, dan kemurahan hati Allah, maka Allah tidak jadi menghukum bangsa Israel. Di sini nampak bahwa Allah adalah Allah yang Pengampun, dan berbelas kasih, sebagaimana kita daraskan dalam Mazmur hari ini. Kisah bangsa Israel menegur kita, agar jangan kita pun memiliki sikap serupa, yang kurang berterima kasih kepada Tuhan, “take God for granted”, dan bahkan memberikan perhatian dan penghargaan utama kepada apa-apa yang bukan Tuhan. Namun walau umat-Nya sering tidak setia, Allah tetap setia kepada umat-Nya.

Kesabaran dan belas kasih Allah paling besar dinyatakan  melalui pengorbanan Yesus Kristus, Putra-Nya yang datang ke dunia untuk menyelamatkan kita, orang berdosa. Rasul Paulus bahkan mengatakan, bahwa di antara orang-orang berdosa, ia adalah orang yang paling berdosa. Namun justru itu ia dikasihani, sebab Tuhan mau menyatakan seluruh kesabaran-Nya (1Tim 1:15-16). Demikianlah, Allah tidak pernah menyerah sampai Ia dapat mengampuni orang-orang yang telah melukai hati-Nya dengan dosa-dosa mereka. Allah, digambarkan sebagai gembala yang baik, yang terus mencari dombanya yang hilang,  atau sebagai bapa yang dengan setia menantikan anaknya yang hilang untuk kembali pulang (lih. Luk 15:4,20-32).

Nah, namun dalam membaca Injil hari ini, mungkin kita bertanya, bagaimana dengan domba-domba yang tidak hilang? Bagaimana dengan si anak sulung yang tinggal di rumah bapanya? Bukankah mereka juga layak menerima “perlakuan istimewa” seperti yang diberikan kepada domba yang hilang dan anak yang hilang? Kita perlu waspada terhadap sikap “merasa diri sudah benar” yang berujung kepada sikap iri hati kepada saudara kita yang bertobat, seperti sikap si anak sulung.  Lagipula, sejujurnya, kita perlu dengan rendah hati mengakui bahwa di dalam hidup kita, kitapun pernah, bahkan mungkin sering juga menjadi “anak yang hilang”. Kalau kita memiliki kepekaan jiwa, kitapun akan menyadari bahwa sering kita jatuh ke dalam dosa yang memisahkan kita dari Allah, yang membuat kita seolah meninggalkan-Nya, agar kita dapat mengikuti kesenangan kita sendiri. Injil hari ini mengajak kita untuk bertobat dan mengingatkan kita bahwa bagi kita pertobatan itu tidak cukup hanya terjadi sekali dalam hidup, tetapi terus menerus seumur hidup, setiap kita jatuh dalam dosa.  Allah Bapa menantikan kita kembali pulang, jika kita meninggalkan-Nya, atau menjauh daripada-Nya.   

Dalam sakramen Pengakuan Dosa, Allah bertindak melalui para imam untuk memulihkan kita kepada keadaan rahmat  dan kepada martabat kita sebagai anak-anak Allah. Yesus menetapkan sakramen ini supaya kita dapat kembali, lagi dan lagi, ke rumah Bapa dan memperoleh pengampunan- Nya. “Allah Bapa kita, ketika kita datang kepada-Nya dengan menyesal, mendatangkan sesuatu yang berharga dari keadaan kita yang menyedihkan; mendatangkan kekuatan dari kelemahan kita. Jadi apakah yang akan Ia persiapkan bagi kita, jika kita tidak meninggalkan Dia, jika kita menghadap-Nya setiap hari, jika kita menyapa-Nya dengan cinta dan meneguhkan kasih kita kepadaNya dengan perbuatan-perbuatan, jika kita pergi kepada-Nya untuk segala sesuatu, mengandalkan kuasa dan belas kasih-Nya? Jika pulangnya seorang anak yang telah mengkhianatiNya cukuplah bagi-Nya untuk menyiapkan sebuah pesta, apakah yang akan Ia persiapkan bagi kita, yang telah berusaha untuk tetap selalu berada di sisi-Nya?” (St. Jose Maria Escriva, Friends of God, 309)

Melalui sakramen Pengakuan dosa, Allah memberikan kepada kita kesempatan untuk bertobat dan memperoleh sin amnesty. Memang Tuhan Yesus-lah yang menebus dosa-dosa kita, namun untuk menerima penebusan dosa itu, Ia menghendaki kita mengambil bagian di dalamnya, untuk menyatakan pertobatan kita dan kesungguhan kita untuk memperbaikinya. Mari kita datang kepada-Nya dalam sakramen Pengakuan, mengungkapkan dosa-dosa kita, menebusnya dengan melakukan penitensi dan silih, agar kitapun beroleh kelegaan. Mari menikmati kelegaan, tidak saja dari tax amnesty, tetapi juga dari sin amnesty, yang dari Tuhan!

Kristus Sang Kebijaksanaan, pimpinlah kami!

0
Sumber gambar: http://www.cslewisinstitute.org/webfm_send/992

[Hari Minggu Kitab Suci Nasional: Keb 9:13-18; Mzm 90:3-17; Fil 9-10,12-17:18-19.22-24; Luk 14:25-33]

Ada pepatah mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang”. Memasuki Bulan Kitab Suci, Gereja mengajak kita untuk semakin membaca dan merenungkan Kitab Suci. Maksudnya tentu agar kita semakin mengenal Kristus Sang Sabda Allah, dan agar kita semakin mengasihi-Nya. Kristus, dalam Kitab Perjanjian Lama kerap digambarkan sebagai “Kebijaksanaan” Allah, sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Pertama hari ini. Dalam Kitab Kebijaksanaan Salomo, tertulis, “Siapa gerangan dapat mengenal kehendak-Mu kalau Engkau sendiri tidak menganugerahkan Kebijaksanaan, jika Roh Kudus-Mu dari atas tidak Kau-utus?” (Keb 9:17) Samar-samar, kita melihat gambaran pernyataan diri Allah Tritunggal di sini: Allah menyatakan diri-Nya, kehendak-Nya, dalam Kebijaksanaan —yaitu Putra-Nya Yesus Kristus—dan Roh Kudus-Nya.

Dalam Bacaan Injil, Kristus menghubungkan kebijaksanaan Allah itu, dengan Salib. Sebab dengan salib suci-Nya, Yesus menyatakan kebijaksanaan Allah yang tertinggi: keadilan dan kasih Allah yang sempurna. Maka, Yesus mensyaratkan agar kita yang mau menjadi murid-Nya, harus mau mengikuti-Nya dengan memikul salib kita masing-masing. Kata Yesus, “Barangsiapa tidak memanggul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:25-33). Salib Kristus bagi kita umat Kristiani, memang berarti dua hal prinsip. Yang pertama adalah betapa kejamnya dosa—sehingga dengan sedemikian menderita Putra Allah sendiri harus menebusnya—dan kedua, adalah betapa besarnya kasih Allah sampai mau memberikan diri sehabis-habisnya, rela wafat di kayu salib bagi kita.

Tiap-tiap hari, Sabda Tuhan memimpin kita untuk semakin menghidupi “misteri salib” ini. Yaitu, agar kita senantiasa mau “mati terhadap dosa” dan mau memberikan diri kepada Tuhan dan sesama. Untuk dapat memberikan diri  ini Tuhan Yesus mensyaratkan agar kita mengasihi Dia lebih daripada kita mengasihi orangtua dan sanak saudara (lih. Luk 14:26-27). Namun kita tahu, bahwa hal ini tidaklah mudah, karena kerap bententangan dengan kecenderungan kita sebagai manusia. Karena itu, Bacaan Injil hari ini juga memberitahukan kepada kita bagaimana caranya untuk memupuk kasih itu. Yaitu, dengan setiap hari rajin mengadakan pemeriksaan batin, duduk dahulu dan bertanya kepada diri sendiri, sejauh mana kita telah menomorsatukan Tuhan dan melakukan kehendak-Nya. “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya….” (Luk 14:28). St. Agustinus menjelaskan, “[Kata Yesus menutup khotbah-Nya], ‘Demikianlah juga, setiap orang di antara kamu yang tidak meninggalkan semua yang dimilikinya, ia tak dapat menjadi murid-Ku.’ Maka harga untuk membangun menara dan kekuatan sepuluh ribu tentara melawan raja yang punya dua puluh ribu tentara, tidak lain adalah bahwa setiap orang harus meninggalkan semua yang dimilikinya. Maka kata pengantar dari pengajaran Yesus ini berkaitan dengan kesimpulan akhirnya. Sebab dengan berkata bahwa barangsiapa meninggalkan semua yang dimilikinya, termasuk juga bahwa ia ‘membenci’ ayah dan ibunya, istrinya, dan anak-anaknya. [Membenci di sini maksudnya to love less, sebab dibandingkan kasih kepada Tuhan, kasih kepada orangtua tingkatannya ada di bawahnya.] Sebab semua ini adalah milik orang itu sendiri yang mengikatnya dan merintanginya dari memperoleh harta milik tertentu yang tidak akan berlalu dengan waktu, melainkan berkat-berkat yang akan tetap tinggal selamanya.” (St. Augustine, Catena Aurea, Luk 14: 25-33). “Meninggalkan segala miliknya” memang menjadi dasar bagi mereka yang mengikuti jejak para rasul, untuk secara khusus membaktikan diri dalam hidup membiara. Namun meninggalkan keterikatan terhadap segala yang dimiliki demi kasih kepada Tuhan, itu adalah panggilan bagi setiap orang beriman.

Tiap-tiap hari, kita dihadapkan dengan pilihan untuk berpaut pada Tuhan dan melakukan kehendak-Nya, atau kita lebih memilih untuk terikat kepada apa yang kita miliki. Dengan latihan pemeriksaan batin setiap hari, dengan dipimpin sabda Tuhan, kita selalu diingatkan untuk memilih Tuhan. Mari kita membuat niat yang teguh untuk dengan tekun dan sungguh-sungguh memeriksa batin kita setiap hari. Pemeriksaan batin ini bukan hanya semata mengingat-ingat kembali tingkah laku kita di hari itu, namun lebih lagi, merupakan percakapan antara jiwa kita dengan Tuhan. Agar kita dapat melihat dengan jujur ke dalam diri kita, mungkin kita dapat berdoa sederhana sebagaimana diucapkan oleh orang buta di Yerikho, “Tuhan, bantulah aku supaya aku dapat melihat!” (lih. Mrk 10:51). Supaya aku dapat melihat apa yang memisahkanku dengan Engkau, apakah dosa dan kesalahanku, apakah yang dapat kuperbaiki… entah dalam sikapku, sifatku, pelayananku, perhatianku… agar lebih memancarkan kasih kepada orang-orang di sekitarku. Kumohon pimpinlah hidupku, ya Kristus, Sang Sabda Kebijaksanaan Ilahi. Amin.

Kerendahan hati memikat hati Tuhan

0
Sumber gambar: http://abcdfinnestad.blogspot.co.id/2010_06_01_archive.html

[Hari Minggu biasa ke XXII;  Sir 3:17-18.20.28-29; Mzm 68:4-11; Ibr 12:18-19.22-24; Luk 14:7-14]

Bacaan Sabda Allah hari ini mengingatkan kepada kita sikap yang paling berkenan di mata Tuhan: kerendahan hati. Walaupun “kerendahan hati” mudah diucapkan, tetapi tidak sedemikian mudah diterapkan dalam hidup. Sebab  kecenderungan umum manusia adalah menunjukkan diri sebagai yang terbaik agar dikagumi orang lain. Namun hari ini, Allah meminta agar kita mematikan kecenderungan tersebut. Bacaan Pertama mengingatkan kita, “Makin besar engkau, patutlah makin kaurendahkan dirimu, supaya engkau mendapat karunia di hadapan Tuhan” (Sir 3:18). Hal inipun dikatakan oleh Tuhan Yesus dengan cara yang berbeda, dalam Bacaan Injil. “Kalau engkau diundang ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan… tetapi… duduklah di tempat yang paling rendah…” (Luk 14:8,10). Pada akhirnya ‘pesta perkawinan’ mengingatkan kita pada pesta perkawinan Anak Domba di kota Allah yang hidup, Yerusalem Surgawi, di mana kita akan berhadapan dengan Tuhan Yesus, Pengantara Perjanjian Baru (lih. Ibr 12:22,24). Semoga kita telah melalui latihan kerendahan hati di dunia ini, agar jika saat itu tiba, kita telah memiliki kebajikan kerendahan hati yang berkenan kepada Tuhan.

Kerendahan hati yang sejati, tidak bertentangan dengan keinginan yang sehat untuk mencapai kemajuan diri, baik dalam hal prestasi maupun pekerjaan. Tapi orang yang yang rendah hati tidak suka pamer. Ia sepenuhnya sadar bahwa tujuan hidupnya bukan untuk dikagumi dan dipuji orang, tetapi untuk melaksanakan tugas dan misi yang Tuhan percayakan kepadanya, demi kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesamanya. Maka sikap kerendahan hati tidak ada hubungannya dengan sikap pemalu atau senang dengan apa yang “sedang-sedang saja”. Untuk menjadi rendah hati, kita perlu menyadari bahwa kita ini bukan siapa-siapa, tetapi sangat dikasihi oleh Tuhan. Kita bukan apa-apa, tetapi diberi talenta dan rahmat-Nya serta diangkat menjadi anak-anak-Nya. Jika kita mempunyai sikap ini, kita dapat berkata bersama pemazmur, “Bukan kepada kami, ya Tuhan, bukan kepada kami, tetapi kepada nama-Mu lah beri kemuliaan….” (Mzm 113:1).

Jadi, agar kita dapat bertumbuh dalam kerendahan hati, kita perlu menghargai di satu sisi kerendahan kita, dan di sisi lain, semua karunia pemberian Tuhan, termasuk talenta yang Tuhan beri, yang daripadanya Tuhan mengharapkan buah. “Di samping kekurangan-kekurangan kita, kita adalah pembawa harta ilahi yang tak terbilang harganya: kita adalah alat-alat Tuhan. Dan karena kita ingin menjadi alat-alat yang baik, semakin kecil dan miskin kita memandang diri kita sendiri dalam kerendahan hati yang sejati, semakin Tuhan akan menyediakan segalanya yang kurang pada kita” (St. Josemaria Escriva, Letter 24, 24 March 1931). Ini akan membuat kita selalu bisa tersenyum dan bersuka cita dalam pelayanan maupun tugas-tugas kita: Tuhanku akan menyediakan apa yang kurang padaku.

Sikap kerendahan hati juga akan membuat kita menyadari bahwa segala yang baik itu berasal dari Tuhan dan segala yang buruk itu dari kita sendiri. Dengan kesadaran ini, kita dapat belajar untuk menerima dengan lapang hati, kejadian-kejadian yang membuat kita merasa malu. Dan ini, tidak usah dicari-cari, sebab dapat datang dengan sendirinya, entah karena kelalaian kita, atau karena kesalahan kita. Dalam keadaan ini, memang kecenderungan manusia mendorong kita untuk marah,  tidak terima atau berusaha menutup-nutupi kesalahan kita. Kita mesti meminta rahmat Tuhan agar jika ini terjadi, kita tidak terlalu gengsi untuk meminta maaf. Juga, agar kita dapat melihat peristiwa ini dari sudut pandang yang berbeda. Marilah kita mengingat bahwa dulupun Tuhan Yesus pernah melalui pengalaman dipermalukan sedemikian rupa di Jalan Salib-Nya sampai wafat-Nya. Bahkan, lebih lagi, karena semua itu diterima-Nya padahal Ia sama sekali tidak bersalah. Maka penghinaan yang kita terima tidak ada apa-apanya dengan penghinaan yang pernah diterima oleh Tuhan Yesus. Jika kita dipermalukan, mari kita memohon kepada-Nya agar kejadian tersebut dapat menyatukan diri kita dengan-Nya, dan agar kita menjadikan pengalaman itu sebagai kesempatan untuk berbuat silih atas dosa-dosa kita. Semoga dengan demikian, hati kita dimurnikan dan kita semakin dipenuhi dengan kasih dan rahmat-Nya. Agar tergenapilah firman Tuhan ini, “Siapa yang merendahkan diri, akan mendapat karunia di hadapan Tuhan” (lih. Mzm 3:18).

Namun St. Fransiskus dari Sales juga mengingatkan kita supaya kita jangan berpura-pura rendah hati. Atau, punya kerendahan hati yang palsu, yaitu “bahwa ketika kita berkata bahwa kita bukan apa-apa… kita akan sangat menyesal dan kecewa jika orang menganggap kita benar-benar bukan apa-apa… Sebaliknya, kita berpura-pura mundur dan menyembunyikan diri, supaya seluruh dunia mengejar dan mencari kita. Kita berpura-pura menginginkan diri kita sebagai yang terakhir dan duduk di tempat terendah, tetapi dengan pandangan supaya kita dapat beralih dengan lebih mudah ke tempat yang tertinggi. Kerendahan hati tidak memamerkan diri atau menggunakan banyak kata-kata yang merendah….” (St. Francis de Sales, Introduction to the Devout Life, III,5.).

Akhirnya, baiklah jika kita belajar dari Bunda Maria, yang merupakan teladan kita dalam hal kerendahan hati. Ia sungguh menyadari kerendahannya namun pada saat yang sama, besarnya perbuatan-perbuatan Tuhan kepada-Nya. Semoga kita pun dapat melambungkan pujian ini bersama Bunda Maria, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya…. karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus…” (Luk 1:46-49).

Pejuang Kehidupan (Bersahabat dengan Kanker)

0

Puisi permenungan pelayanan oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Dua belas tahun sudah
aku berkeliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain,
dari rumah ke rumah,
untuk mengunjungi para penderita kanker,
menyapa mereka dan berdoa bagi mereka.

Tubuh mereka lemas dan kurus,
seiring hilangnya sejengkal demi sejengkal jiwanya.
Kelelahan nampak dalam kecekungan mata.

Akan tetapi,
jiwa mereka tak pernah menyerah
melawan penyakit yang mematikan.

Perjuangan mereka tak kenal lelah.
Mereka terus mengiba kepada Tuhan
di tengah derita,
agar Ia memperpanjang kehidupannya jikalau Ia berkenan.

Tangisan mereka menjadi doa di dalam keterpurukan.
Air mata mereka membangun kembali cinta
yang lebih tulus kepada Tuhan
dan keluarga

Cinta memberikan secercah harapan di tengah kegalauan.

Aku malu dengan diriku sendiri,
yang mudah mengeluh dengan kesulitan kecil.
Padahal, penderitaanku tidak sebanding dengan penderitaan mereka.

Di balik rapuhnya raga mereka,
di sisa-sisa hembusan nafas mereka,
mereka tetap tersenyum sampai pada akhir hayatnya.

Senyuman mereka menandakan bahwa mereka
mampu bersahabat dengan penyakitnya.
Senyuman mereka adalah senyuman pejuang kehidupan yang gagah.
Senyuman yang memberi kenangan manis yang tak terlupakan.
Dari saudara-saudari inilah, aku belajar memaknai setiap lembar kehidupan.

Trimakasih kawan atas pelajaran indah,
bagaimana melawan keganasan kanker dengan persahabatan.

Tuhan memberkati

Selamat Jalan, Rosa

0

“Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang” (Mazmur 23:2)

Sharing kehidupan oleh Romo Felix Supranto, SS.CC

Saya mengenal Rosa sejak ia duduk di kelas 1 SMP di Tanjungpinang-Kepulauan Riau ketika saya melayani paroki di sana. Rosa memiliki iman yang sangat mendalam. Imannya terungkap dalam pelayanan sebagai ketua Legio Maria. Ia selalu mengunjungi orang-orang sakit yang dirawat di rumah sakit di samping gereja setelah Misa. Ia dan adik-adiknya, yaitu Sonya, Noni, Balde, Novi, menganggap saya sebagai ayah mereka.

Setelah lulus SMEA di Tanjungpinang, ia mengubah tradisi dengan merantau di Jakarta untuk kuliah sambil bekerja. Ia datang hanya membawa uang perjalanan dan uang pangkal kuliah. Perjuangannya luar biasa, sampai pernah jatuh ketika turun dari bus kota. Perjuangannya menghasilkan buah, yaitu selesai kuliahnya dan berhasil mendirikan sebuah usaha untuk pendidikan. Ia berkata kepada saya: “Saya harus membuka jalan dan teladan bagi adik-adikku agar berhasil dalam Tuhan”. Adik-adiknya memang akhirnya mengikutinya di Jakarta.

Di Jakarta itulah ia bertemu dengan Gunardi yang menjadi suaminya. Gunardi adalah suami yang sangat baik. Buah dari pernikahan mereka adalah dua anak yang sangat baik. Saya yang memberikan nama bagi kedua anak itu, yaitu Elita dan Pius. Kedua anak itu memanggil saya Akong Romo (Opa Romo) sebagaimana Rosa membahasakannya kepada mereka.

Beberapa tahun belakangan ini ia menderita penyakit yang serius. Ia tidak mengeluh dan berjuang mengalahkannya. Ia tetap bekerja dan tetap melayani dalam gereja. Semangat hidupnya sangat luar biasa.

Saya, tanggal 25 Juni 2016 yang lalu, mengunjunginya untuk berdoa dan memberikan komuni baginya. Kebutuhan hidup rohani memang merupakan kerinduannya. Doa dan Komuni Kudus memberikan sukacita dalam jiwanya. Pada waktu itu saya melihat keadaan tubuhnya yang semakin kurus. Saya ingin memberikan surprise pada ulang tahunnya ke-42 pada tanggal 29 Juni 2016 dengan membawa kue ulang tahun jam 05.30. Ia nampak sangat sukacita menerima hadiah ulang tahunnya yang tak pernah ia kira. Ternyata ulang tahunnya itu adalah ulang tahunnya yang terakhir seperti yang saya duga.

Satu minggu kemudian saya akan mengunjunginya lagi untuk memberikan komuni pada hari Minggu seperti yang telah saya janjikan kepadanya. Ia mengatakan kepada saya: “Romo tidak usah datang karena saya sudah ke gereja. Banyak orang lain lebih membutuhkan pelayanan Romo daripada saya”. Itulah Rosa yang senantiasa mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri.

Pada tanggal 28 Juli 2016 ia menelepon saya dengan suara yang sangat berat: “Romo, kunjungilah saya. Jangan lama-lama ya”. Permohonannya itu membuat saya mengerti bahwa akan terjadi sesuatu dengan dirinya karena ia tidak pernah mau merepotkan orang lain. Pada tanggal 30 Juli 2016 saya bergegas menuju ke rumahnya. Benarlah apa yang saya pikirkan. Ia telah terbaring lemah di tempat tidurnya. Ia minta berbicara pribadi dengan saya. Ia mengatakan kepada saya: “Romo, saya sudah menyerahkan diri saya kepada Tuhan. Saya minggu ini mungkin akan berpulang. Saya minta Romo untuk merayakan Misa bagiku pada hari Jumat Pertama, peringatan Hati Kudus Yesus. Saya meminta Romo untuk mendampingi suami, anak-anak, dan adik-adikku”. Ia kemudian mendaraskan doa yang sangat indah: “Tuhan Yesus, dengan sakit ini, saya semakin mensyukuri setiap hembusan nafasku yang tersisa. Terimakasih Tuhan atas orang-orang yang telah mengunjungi aku dan mendoakan aku. Kini aku letakkan penyakitku di atas telapak kaki-Mu”. Ia kemudian meminta Sakramen Pengampunan Dosa dan Komuni Kudus.

Tanggal 1 Agustus 2016 malam, saya mendengar bahwa Rosa dirawat di rumah sakit. Esok harinya, tanggal 2 Agustus 2016 pukul 03.30 saya mengunjunginya. Keadaannya semakin lemah. Ia terus menerus mengatakan bahwa ia sedang terbaring di padang rumput yang hijau seperti yang dikatakan oleh Pemazmur: “Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang” (Mazmur 23:2). Saya sangat terharu bahwa ia berbicara kepada Deasy: “Titip Romo ya Deas…”. Yang dimaksudkannya adalah untuk memperhatikan kesehatan saya. Dalam keadaan sakit pun, ia masih memikirkan keadaan orang lain. Kemudian ia masih bisa menerima komuni yang saya berikan. Setelah menerima komuni, ia meminta saya untuk mengalungkan rosario di lehernya. Ia menghadap Bapa dengan tenang pada hari Rabu, 3 Agustus 2016, pukul 00.43.

Pada tanggal 3 Agustus 2016 pukul 22.00 saya pergi ke rumah duka untuk berdoa bagi jiwa Rosa dan meneguhkan suami dan anak-anaknya. Saya berkata dalam hati kepada Rosa: “Rosa, engkau telah memancarkan cahaya Allah Bapa yang harum bagi keluarga dan sesama sesuai dengan arti namamu ‘Rosa’ berarti bunga dan ‘Cecilia’ berarti cahaya surgawi’. Selama hidupnya, Rosa sudah menjalankan Sabda Tuhan: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Matius 5:16).

Selamat jalan Rosa, engkau pasti berbahagia terbaring di pangkuan Bapa di Surga.

Keep in touch

18,000FansLike
17,700FollowersFollow
30,300SubscribersSubscribe

Podcasts

Latest sermons