Home Blog Page 19

Ia datang kepada umat-Nya, tapi mereka tidak menerima-Nya

0
sumber gambar: https://www.stevewiens.com/2013/12/02/advent-when-you-realize-you-are-pregnant-with-god/

[Minggu Adven I: Yes 2:1-5; Mzm 122:1-9; Rm 13: 11-14; Mat 24:37-44]

Tahun-tahun belakangan ini, ada istilah dalam bahasa Jawa yang tiba-tiba menjadi populer: blusukan. Hal ini, yang dapat dikatakan dipelopori oleh Presiden Jokowi sejak beliau menjadi walikota di Surakarta, kini dilakukan oleh banyak pemimpin dan tokoh masyarakat. Laporan tentang blusukan dari berbagai tokoh masyarakat itu dapat kita lihat di televisi, di artikel-artikel maupun rekaman audio visual di media sosial. Namun satu hal yang biasanya terekam dari berita itu adalah antusiasme rakyat menyambut sang tokoh. Komunikasi terjalin, entah sekilas dengan selfie, maupun dengan dialog dan percakapan yang akrab antara si pemimpin dan rakyat yang dikunjunginya.

Sayangnya, tidak demikian yang terjadi, ketika Tuhan Yesus datang ke dunia sekitar 2000 tahun yang lalu. Ibaratnya, Tuhan blusukan ke tengah umat-Nya, namun umat-Nya tak memberi perhatian, bahkan tak menyadarinya. Bahasa gaulnya, kebanyakan umat-Nya cuek saja. Mereka hidup seolah-olah Tuhan tidak datang di tengah-tengah mereka. Mereka tidak menyediakan tempat yang layak bagi Dia. Itulah sebabnya Yesus Sang Mesias lahir di kandang hewan, dan Ia dibaringkan di palungan, “karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:7). Bahkan setelah sekitar 2000 tahun telah berlalu, di Yerusalem dan sekitarnya, atau yang kerap disebut “Holy Land”, konon umat Kristennya hanya sekitar 1.5% sampai 2.1% saja. Hal ini membuat kita pantas merenung, tentang betapa kerasnya hati manusia, yang menolak Allah sendiri, ketika Ia mengambil rupa manusia dan datang di tengah mereka. Betapa masih kerasnya hati banyak orang sampai saat ini, yang walaupun mengetahui bahwa Tuhan Yesus telah menggenapi nubuat para nabi, namun tetap memutuskan untuk tidak percaya kepada-Nya.

Namun janganlah kita menuding kepada orang-orang yang hidup di Timur Tengah nun jauh di sana. Sebab sesungguhnya, bisa jadi kita pun termasuk dalam bilangan orang-orang yang cuek terhadap kedatangan Tuhan Yesus. Atau, kita tidak memberikan perhatian yang selayaknya untuk kedatangan-Nya. Itulah sebabnya, Gereja mengajak kita setiap tahunnya untuk mempersiapkan diri untuk menyambut hari Natal dengan masa Adven. Adven yang artinya kedatangan, mengacu kepada kedatangan Kristus, yang kita rayakan secara khusus pada hari Natal. Setiap tahun di sepanjang kehidupan kita, Gereja mengajak kita menyambut kelahiran Kristus secara baru di dalam hati kita. Hidup kita adalah masa persiapan yang panjang akan kedatangan Kristus yang kedua, yang pasti akan terjadi. Oleh karena itu, bacaan-bacaan Kitab Suci di masa Adven mengingatkan kita untuk berjaga-jaga menantikan kedatangan Yesus yang kedua itu, baik di Akhir Zaman, maupun di saat kematian kita, sebagaimana kita dengar di Bacaan Injil hari ini (lih. Mat 24:44). Sebab kita tak dapat mengetahui kapan saat itu akan datang secara persis. Kita hanya dianjurkan untuk berjaga-jaga secara aktif. Bacaan Pertama mengajak kita untuk berjaga-jaga dengan “berjalan dalam terang Tuhan” (Yes 2:5); Mazmur mengajak kita untuk beribadah di rumah Tuhan bersama-sama dengan sesama saudara seiman, menuju ke altar Allah dengan sukacita (lih. Mzm 122:1-9). Dan Bacaan Kedua mengajak kita untuk bertobat, meninggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan hidup sebagai anak-anak Terang (lih. Rm 13:11-14).  

Bagi kita umat Katolik, ajakan untuk bertobat paling nyata diwujudkan dengan mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa. Dosa adalah penghalang yang membuat pertumbuhan hidup Kristiani kita terhambat. Dosa-dosa inilah yang menyebabkan hati nurani kita menjadi tumpul dan membuat kita menjadi cuek, kurang menghargai kedatangan Tuhan  Yesus sehingga otomatis menjadi kurang siap menyambut kedatangan-Nya. Rasul Yohanes menyebutkan ada tiga akar dosa, yaitu “keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup” (1Yoh 2:16). St. Jose Maria Escriva menjelaskan tentang hal ini: “Keinginan daging tidak terbatas pada kecenderungan panca indera yang tak teratur secara umum atau keinginan seksual secara khusus. Hal ini juga mengacu kepada kesenangan akan kenyamanan, kepada keengganan untuk menggerakkan diri kita sendiri atau bahkan untuk menjadi siap siaga, sehingga membuat kita mencari sekecil-kecilnya hal yang tidak nyaman,  mencari apa yang paling menyenangkan, mencari jalan yang ditawarkan kepada kita yang kelihatannya lebih pendek dan tidak menyusahkan, bahkan jika itu harus dibayar dengan kegagalan kita untuk tetap setia kepada Allah. Musuh yang lain adalah keinginan mata, keserakahan yang mendalam yang menganggap tidak berharga apa yang tak dapat diwariskan. Mata jiwa menjadi rabun; akal budi berpikir dirinya sendiri sudah cukup memadai, menyingkirkan Allah sebagai yang tidak perlu. Ini adalah godaan halus yang didukung oleh martabat kecerdasan yang telah dikaruniakan Allah Bapa kepada kita agar kita dapat mengenal dan mengasihi-Nya tanpa terpaksa. Terbujuk oleh godaan ini, akal budi manusia menganggap dirinya sendiri sebagai pusat alam semesta,  dengan sukacita [mengingat] kembali kepada perkataan ular di Kitab Kejadian, ‘kamu akan menjadi seperti Allah’ (Kej 3:5) dan dipenuhi dengan cinta diri, ia berpaling dari cinta Allah. Dengan cara ini, kita dapat menyerahkan diri secara tak bersyarat ke dalam tangan musuh yang ketiga, yaitu ‘keangkuhan hidup’. Ini bukan hanya semata-mata hal fantasi sesaat, hasil khayalan dari kesia-siaan cinta diri, [tapi] ini adalah segala bentuk dosa kesombongan—menganggap diri pasti selamat. Jangan kita menipu diri sendiri. Ini adalah dosa yang paling parah daripada segala kejahatan, akar dari setiap penyimpangan yang dapat dibayangkan…” (St. Jose Maria Escriva, Christ is passing by, 5-6).

Sebagai umat Katolik yang percaya akan Kristus, tentu kita mempunyai harapan yang besar untuk menerima rahmat keselamatan dari Allah. Namun harapan yang besar ini tidak untuk diartikan sama dengan keyakinan absolut pasti selamat, tanpa mau melakukan apapun yang harus kita lakukan sebagai tanggapan atas rahmat Allah itu. Sebab sikap sedemikian dapat mengarah kepada kesombongan rohani. Seorang teolog besar di abad ke-16, Francisco Suarez (1548-1617), menjelaskan tentang dosa kesombongan rohani yang menganggap diri pasti selamat, yang mengambil 5 bentuk sikap, yaitu: 1) dengan berharap memperoleh kebahagiaan kekal atau pemulihan persahabatan dengan Allah setelah ia jatuh dalam dosa berat—dengan kekuatan kodratinya sendiri tanpa bantuan rahmat Allah; 2) menganggap dirinya pasti diampuni tanpa pertobatan yang memadai; 3) berharap bahwa Allah dapat membantunya melakukan kejahatan; 4) menganggap bahwa dirinya dapat mencapai kemuliaan adikodrati tanpa kesesuaian dengan ketentuan penyelenggaraan Allah; 5) menganggap bahwa dirinya dapat tetap hidup dalam dosa, dan tetap percaya diri seolah ia tak pernah kehilangan kemurnian yang diperolehnya saat Baptisan (Lih. Suarez, “De Spe”, disp. 2a. Sect 3, n.2).

Di awal Masa Adven ini, mari kita memeriksa batin kita. Mari kita bertobat, jika kita telah gagal menolak dosa, entah itu yang berkenaan dengan keinginan daging, keinginan mata ataupun keangkuhan hidup. Tentang keangkuhan hidup ini, kita perlu dengan jujur melihat, apakah pada kita ada salah satu dari kelima sikap yang menunjukkan kesombongan yang dikatakan oleh St. Escriva sebagai ‘dosa yang paling parah’ tersebut. Yaitu, menganggap diri pasti selamat, namun tidak mau melakukan bagian yang harus kita lakukan untuk bekerjasama dengan rahmat Allah yang menyelamatkan itu. Sikap sedemikian dapat mengarah kepada kurangnya penghargaan terhadap kedatangan Kristus ataupun kelahiran-Nya secara baru di hati kita, sebab sudah menjadi terlalu yakin bahwa tanpa memperbaiki diri sekalipun, keselamatan sudah pasti diperoleh. Sejujurnya, mungkin ini yang terjadi di banyak negara-negara maju maupun di masyarakat yang semakin sekuler dan konsumtif. Orang menjadi tak begitu peduli untuk menyiapkan hati menyambut kedatangan Kristus. Hari Natal hanya dianggap sebagai kesempatan berpesta atau berhura-hura, belanja ini itu, namun kehilangan makna rohaninya. Yaitu kedatangan Sang Mesias yang seharusnya disambut dengan hati yang bersih dan penuh kerinduan.

Mari kita belajar dari Bunda Maria, untuk memperbaiki diri di masa Adven ini. Kita meneladani sikap permenungannya dalam keheningan, tentang kelahiran Putra-Nya Yesus Sang Mesias. Semoga dengan demikian, kita semakin merindukan kedatangan-Nya dan hati kita tidak disibukkan dan dipenuhi oleh hal-hal lain yang tidak atau kurang penting jika dilihat dalam terang kedatangan Tuhan. “Tuhan Yesus, bantulah aku agar merindukan kedatangan-Mu dalam hidupku. Dan bantulah aku mempersiapkannya seturut kehendak-Mu. Amin.

“Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja!”

0
Sumber gambar: http://www.rcchicago.com/archives/773

[Hari Raya Tuhan Yesus Kristus Raja Semesta Alam: 2Sam 5:1-3; Mzm 122:1-5;  Kol 1:12-20; Luk 23:35-43]

Hari ini Gereja merayakan Hari  Raya Tuhan Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Apa yang muncul di pikiran kalau kita mendengar kata “Raja”? Mungkin tampil di benak kita, seseorang yang berpakaian keemasan, bermahkota, memegang tongkat dan duduk di tahta. Beginikah gambaran Tuhan Yesus di Surga? Hhmm… Kita dapat mengetahuinya dengan lebih jelas kelak, jika kita telah memandangNya dalam Kerajaan-Nya. Kitab Wahyu memaparkan tentang kemuliaan Tuhan yang demikian tak terbayangkan (lih. Why 4), karena memang tak pernah kita lihat contohnya pada kerajaan manapun di dunia ini. Sebab kemuliaan raja di dunia yang tertinggi sekalipun tidak akan dapat dibandingkan dengan kemuliaan Tuhan di Surga. Sabda Tuhan menyatakan bahwa Kristus “satu-satu nya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri…” (1Tim 6:16). Kemuliaan Tuhan inilah yang secara sekilas diperlihatkan kepada para Rasul ketika Yesus dimuliakan di atas gunung Tabor (Mat 17:1-2). Peristiwa ini memberi pengharapan kuat kepada para murid untuk tetap setia beriman sampai akhir (1Ptr 1:16-18), sebab mereka menantikan penggenapan akan janji Tuhan ini. Seberapapun besar kesusahan, penderitaan, bahkan penganiayaan yang kita alami di dunia tidak akan sebanding dengan kemuliaan yang akan kita terima, jika kita tetap setia kepada Kristus. Sebab Kristus telah mengalahkan kuasa dosa dan maut, segala kejahatan dan bahkan si jahat itu sendiri, dan di akhir zaman kemuliaan-Nya akan dinyatakan dengan sempurna.

Allah menghendaki agar kita mengambil bagian dalam kemuliaan-Nya itu. Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk bersyukur kepada-Nya, sebab Ia membuat kita “layak mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam Kerajaan Terang” (Kol 1:12). Sebab oleh jasa Kristus yang telah menebus dosa-dosa kita di kayu salib, kita telah dipindahkan dari kuasa kegelapan menuju kerajaan-Nya. Namun karunia istimewa ini yang kita terima saat Baptisan, harus kita jaga terus. Kita perlu berjuang untuk hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai anak-anak Allah. Rasul Petrus mengingatkan, “Ia [Tuhan] telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia. Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang…. Dengan demikian kepada kamu akan dikaruniakan hak penuh untuk memasuki Kerajaan kekal, yaitu Kerajaan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (2Ptr 1:4-11).

Maka syarat agar kita dapat mengambil bagian dalam kemuliaan Tuhan Yesus adalah kita hidup sesuai dengan ajaran iman kita, yang diwujudkan dengan kasih. Yesus telah menunjukkan kasih-Nya yang tak terbatas kepada kita, dengan kerelaan-Nya wafat di kayu salib demi menebus dosa-dosa kita. Kita pun dapat belajar dari penjahat yang bertobat, yang disalibkan di sisi Yesus. Walaupun hanya sedikit yang tertulis tentangnya, kita mendengar dari Bacaan Injil hari ini, bahwa penjahat itu bertobat sesaat sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir. Juga, ia secara tidak langsung menganjurkan kepada sesama rekan penjahat yang juga disalibkan itu agar bertobat. Mengingat bahwa orang yang disalib mengalami kesakitan yang sangat luar biasa saat bernafas, apalagi berbicara, tentunya kita perlu menghargai apa yang dilakukan orang ini. Mengajak orang lain untuk merenungkan kesalahannya dan bertobat adalah salah satu bentuk kasih yang tertinggi. Sebab pertobatan adalah awal suatu perjalanan iman yang mengarahkan seseorang kepada keselamatan kekal. Tak ada bentuk kasih yang lebih tinggi kepada sesama, selain daripada menginginkan mereka untuk dapat sampai pada keselamatan kekal.

Di akhir tahun liturgi dan di Hari Raya Kristus Raja ini, mari kita menilik ke dalam hati kita, sejauh mana kita setia dalam iman kita dan sejauh mana kita mewujudkannya dengan kasih. Sebab berbeda dari para raja di dunia, Kristus menunjukkan “kemuliaan-Nya” justru dalam pelayanan-Nya, kemiskinan-Nya dan pengorbanan-Nya, demi kasih-Nya kepada kita umat manusia, termasuk Anda dan saya. Sudahkah kita mengikuti teladan Yesus Sang Raja kita ini? Sudahkah kita mau hidup sederhana, mau melayani dan rela berkorban demi kasih kepada sesama? Sebab jika kita berbuat demikian, kita menempatkan Tuhan Yesus sebagai Raja di hati kita, dan kemuliaan-Nya pun telah dapat kita alami sejak di dunia ini. St. Ambrosius mengatakan, “Tuhan selalu memberi lebih banyak daripada yang kita minta. Penjahat itu hanya meminta supaya Yesus mengingatnya, tetapi Yesus berkata, ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.’ Intisari kehidupan adalah hidup dengan Yesus Kristus. Dan di mana Kristus berada, di sana Kerajaan-Nya ditemukan” (St. Ambrose, Commentary on St. Luke’s Gospel, in loc.). Marilah kita pun mendoakan perkataan yang sama ini dengan tulus, “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” (Luk 23:42). Dan semoga Tuhan Yesus menjawabnya seturut kemurahan hati-Nya.

Tetap bertahan sampai akhir

0
Sumber gambar: http://szezeng.blogspot.co.id/2014/12/hell-is-valley-of-hinnom-so-jesus-is.html

[Hari Minggu Biasa XXXIII: Mal 4:1-2; Mzm 98:5-9;  2Tes 3:7-12; Luk 21:5-19]

Keadaan dunia akhir-akhir ini mungkin dapat membuat kita sejenak menarik nafas panjang. Keruwetan tak hanya terjadi di negara kita, tetapi juga di negara-negara lain. Sepertinya silih berganti, berita tentang konflik, kekerasan, kejahatan. Konon demi kebaikan, orang membunuh atau membuat rusuh. Orang zaman ini tak enggan membuat teori sendiri tentang spiritualitas yang ujung-ujungnya menempatkan manusia sebagai ‘Tuhan’ bagi dirinya sendiri. Mengacu kepada energi dan cakra yang digabungkan dengan doa-doa dalam nama Yesus, orang memperkenalkan ‘Akulah Dia [Tuhan]’ (Luk 21:8) dengan cara-cara baru yang asing dan tidak dikenal dalam tradisi Gereja. Belum lagi kalau kita bicara tentang kemerosotan moral. Apa yang dulu dianggap tabu, di zaman ini dianggap ‘biasa’. Film-film menampilkan lakon utama yang selingkuh, seolah mau menggiring opini publik bahwa selingkuh  dalam kondisi tertentu OK saja. Perselisihan ataupun perselingkuhan dianggap alasan yang sah untuk perceraian. Sejumlah orang mendorong pihak-pihak tertentu agar menyetujui perkawinan sesama jenis. Aborsi dianggap sebagai jalan keluar, jika dipandang sang ibu atau ayahnya belum siap jadi orangtua. Penggunaan alat kontrasepsi dianggap wajar, supaya penggunanya terlepas dari konsekuensi akan kemungkinan adanya kehidupan baru…. dan seterusnya. Di negara-negara tertentu, isu-isu ini bahkan sudah menjadi isu yang cukup menyudutkan Gereja Katolik, yang karena teguh berpegang kepada prinsip ajaran Kristus dan para rasul, dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Namun kalau kita membaca firman Tuhan hari ini, kita mengetahui bahwa Kristuslah yang telah menubuatkan semua kekacauan itu yang akan terjadi sebelum Ia datang kembali di akhir zaman. Tetapi, “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu” (Luk 21:19). Sebab terang memang akan nampak makin bersinar di tengah kegelapan. Kekacauan itu diizinkan ada oleh Tuhan, untuk menguji iman kita. Nabi Maleakhi sekitar 400 tahun sebelum Kristus bernubuat tentang orang-orang yang taat pada Tuhan sampai akhir: “Tetapi kamu yang takut akan nama-Ku, bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya” (Mal 4:2). Di tengah dunia ini, yang menawarkan banyak hal agar kita berpaling dari Allah, kita diingatkan oleh  janji Tuhan, bahwa jika kita bertahan untuk tetap taat setia kepada-Nya, kita akan memperoleh kehidupan kekal. Firman Allah mengatakan bahwa menuruti dan melakukan perintah-perintah-Nya, memang adalah tanda bukti kasih kita kepada-Nya (1Yoh 5:2-3). Dan oleh perbuatan yang sesuai dengan firman-Nya itu, kita akan diadili (lih. Mat 16:27, 1Ptr 1:17, Rm 2:6). Karena itu, setiap kali mendengar firman Tuhan tentang kedatangan-Nya di akhir zaman, kita diingatkan untuk memiliki sikap berjaga-jaga. Artinya agar selagi hidup, kita jangan gegabah dan mengikuti arus dunia, sehingga berbuat fasik seolah pengadilan Tuhan tidak ada. Sebab jika kita hidup sedemikian, kita akan hangus seperti jerami pada hari Tuhan itu (lih. Mal 4:1). Sebaliknya, kita diingatkan untuk “tetap tenang melakukan pekerjaan kita” (2Tes 3:12). Yesus sendiri mengingatkan tentang tanda-tanda sebelum kedatangan-Nya itu, “jangan sampai kamu disesatkan… janganlah kamu terkejut… tetap teguhlah di dalam hatimu” (Luk 21:8,9,14).

Maka, sikap berjaga-jaga yang diajarkan oleh Gereja bukan sikap yang pasif menunggu, tetapi yang aktif berkarya. Dalam setiap pekerjaan dan kegiatan kita sehari-hari, kita dipanggil untuk menjadi saksi-saksi iman. Artinya, orang-orang yang berani dan konsisten untuk hidup sesuai dengan iman kita. Sebab iman yang dijalankan dengan baik akan berbuah kasih sejati, yang tidak hanya berorientasi kesenangan di dunia ini, tetapi kepada keselamatan kekal. Kita dipanggil untuk terus berkarya menjunjung tinggi keutuhan keluarga dan perkawinan. Terus memusatkan perhatian kepada karya-karya nyata yang menjunjung kesejahteraan rohani dan jasmani. Memupuk nilai-nilai kerja keras, kejujuran, keadilan, kesederhanaan, kemurnian, belas kasih, dan… ya, pertobatan dan pengampunan. St. Jose Maria Escriva mengatakan, “Kita perlu mencabut dari hidup kita masing-masing, semua hal yang merintangi kehidupan Kristus di dalam kita: yaitu keterikatan kita kepada kenyamanan kita, godaan menjadi orang yang mementingkan diri sendiri, kecenderungan diri  menjadi pusat dari segalanya… Melalui karya-karya kita, melalui pergaulan kita, kamu harus menunjukkan kasih Kristus dan ungkapan nyata persahabatan, pengertian, perhatian kasih persaudaraan dan damai sejahtera…” (St. Jose Maria Escriva, Christ is passing by, 158, 166). Karena itu, bagi umat Kristiani, karya dan pekerjaan menjadi kesempatan mengejar kekudusan, dan membawa sesama kepada Kristus. Kita dipanggil untuk mengubah pekerjaan kita menjadi doa, dengan hanya mencari kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesama, ketika kita mempersembahkan seluruh pekerjaan kita di awal hari dan mengucap syukur kepada Tuhan saat kita menyelesaikannya, dan jika kita memohon pertolongan Tuhan saat kita menghadapi tantangan dan kesulitan. Melalui profesi kita masing-masing, kita diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menyebarkan pesan keselamatan Kristus, melalui pembicaraan kita, tanggapan kita terhadap suatu masalah/ rintangan, kemauan kita untuk mendengarkan dan peduli pada kesusahan orang lain. Maka,  “Pekerjaan adalah sarana yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Maksudnya adalah untuk mengisi hari-hari kita dan membuat kita menjadi pengambil bagian dalam kuasa Tuhan yang mencipta dan kreatif. Pekerjaan memampukan kita  memperoleh nafkah, dan di saat yang sama, memetik buah-buah kehidupan kekal (Yoh 4:36)… [Maka], pekerjaan lahir dari kasih; merupakan pernyataan kasih dan diarahkan kepada kasih. Kita melihat tangan Tuhan… dalam  pengalaman kita di pekerjaan dan usaha. Maka pekerjaan menjadi doa dan ucapan syukur, sebab kita tahu bahwa kita ditempatkan di dunia oleh Tuhan, supaya kita dikasihiNya dan dijadikanNya ahli waris bagi janji-janji-Nya”  (St. Jose Maria Escriva, Friends of God, 57; Christ is passing by, 48). Apakah janji-janji Tuhan itu? Rasul Paulus menjawabnya, “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu… lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu” (Flp 4:8-9). Karena itu, jika kita tetap bertahan, setia melakukan apa yang benar dan mulia, Tuhan akan menyertai kita. Dan Tuhan yang menyertai kita itu, akan membebaskan dan menyelamatkan kita. Terpujilah nama-Nya!

Mengarahkan hati pada apa yang kekal

0
Sumber gambar: http://www.warrencampdesign.com/heartyBoys-fpcc.com/part4/week67.html

[Hari Minggu Biasa XXXII: 2Mak 7:1-2,9-14; Mzm 17:1-15;  2Tes 2:16-3:5; Luk 20:27-38]

Tak terlukiskan rasa kagumku setiap kali mendengar kesaksian seseorang yang memilih untuk memberikan dirinya secara total untuk Kerajaan Allah, entah sebagai imam, biarawan atau biarawati. Aku kagum akan besarnya rahmat Allah yang tercurah kepada mereka, namun juga kemurahan hati mereka untuk menanggapinya. Mereka menjadi gambaran bagi dunia, tentang persatuan kasih dan kebahagiaan penuh di Surga yang bersumber pada Allah semata.

Perjalanan hidup kita di dunia ini memang menjadi semacam “persiapan” bagi penggenapannya di kehidupan yang akan datang, yaitu untuk persatuan dengan Allah. Karena itu, kalau kita benar-benar ingin masuk Surga, itu harus tercermin dari keputusan kita ketika dihadapkan pada pilihan: mau ikut dunia atau mau taat kepada Tuhan. Ini seperti apa yang kita dengar di Bacaan Pertama, tentang kisah ibu dan ketujuh anaknya yang memilih untuk menaati hukum Taurat, walaupun karenanya mereka dihukum mati (lih. 2Mak 7). Dalam konteks sekarang, di tengah berbagai tawaran dunia, kita juga dituntut untuk mentaati hukum Kristus. Hal kontras ini dapat mengemuka di banyak keadaan. Bagi pasangan suami istri: mau pilih untuk selingkuh atau setia memegang janji perkawinan? Bagi pasangan muda mudi yang belum menikah: mau pilih seks pranikah atau menjaga kemurnian? Bagi yang punya kecenderungan seksual pada sesama jenis: mau mengikuti dorongan nafsu atau mengendalikan diri? Bagi para pecandu dosa tertentu: mau jatuh lagi, atau meninggalkan kebiasaan buruk itu? Bagi pengusaha: mau korupsi atau jujur? Bagi rohaniwan rohaniwati: mau taat, hidup sederhana dan kudus atau sebaliknya? Di sepanjang hidup di dunia, kita dihadapkan pada banyak pilihan, dan pilihan yang kita buat saat ini mencerminkan apakah kita sudah siap untuk memasuki kehidupan kekal di Surga. Jika kita masih lebih memilih apa yang lebih diterima dunia daripada apa yang dikehendaki Allah, maka sebenarnya, perbuatan kita belum sesuai dengan harapan kita sendiri untuk masuk Surga. Jika kita masih jatuh bangun untuk menaati perintah Tuhan, firman Tuhan hari ini mengingatkan kita untuk bertobat dan kembali memilih Allah daripada kesenangan kita sendiri. Sebab hanya dengan demikian, kita dapat menjadi semakin serupa dengan mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam kehidupan kekal di Surga.

Injil hari ini memaparkan tentang penjelasan Tuhan Yesus tentang bagaimana keadaan mereka yang di Surga. Yesus menjelaskan hal ini untuk menjawab pertanyaan orang-orang Saduki tentang kasus seorang wanita yang dinikahi oleh seorang pria yang kemudian meninggal dunia tanpa dikaruniai anak. Lalu wanita itu dinikahi oleh saudaranya yang kedua sampai ketujuh, yang masing-masing meninggal, tanpa keturunan. Setelah itu, wanita itu pun meninggal. Orang-orang Saduki itu bertanya kepada Yesus: setelah kebangkitan, menjadi istri saudara yang ke-berapa-kah wanita itu, karena ketujuhnya telah beristrikan dia. Sepertinya, orang-orang Saduki ini sengaja menyusun kisah yang ekstrim, supaya sepertinya tidak bisa dijawab, tentang bagaimana akhir kisah percintaan yang ruwet itu, jika masih ada kehidupan setelah di dunia ini. Namun makna perkawinan menurut dunia memang tidak sama dengan makna perkawinan menurut Tuhan, yang memiliki dimensi gambaran kasih Allah kepada umat-Nya.    Firman Tuhan mengajarkan, agar suami  mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi Gereja-Nya, dan istri mengasihi suaminya seperti Gereja mengasihi Kristus (lih Ef 5:22-33). Dengan mengikuti teladan kasih yang total antara Kristus dan Gereja, suami dan istri mengambil bagian dalam kasih Allah, dan dengan demikian mereka saling menguduskan dan mempersiapkan diri bagi penggenapan kasih Allah itu di Surga. Demikian pula, mereka yang menjalani hidup selibat bagi Allah, yang telah dengan lebih jelas menyatakan hubungan kasih yang total itu, sejak hidup di dunia ini.

Jadi pikiran kaum Saduki memang tidak sejalan dengan pikiran Tuhan Yesus. Mereka tidak percaya akan adanya kebangkitan orang mati. Mereka tidak percaya bahwa jiwa manusia itu kekal, dan akan menikmati persatuan kasih yang sempurna dengan Allah, tentu jika ia taat setia kepada Allah. Maka setelah Yesus mengajarkan tentang adanya kebangkitan, dan bahwa Ia sendiri akan bangkit pada hari ketiga setelah kematian-Nya (lih. Luk 18:32-33), kaum Saduki  menyusun kisah tentang ketujuh saudara itu, untuk mencobai Yesus. Namun Yesus menjawab bahwa mereka yang dibangkitkan itu, “tidak kawin dan tidak dikawinkan, sebab mereka tidak dapat mati lagi….” (Luk 20:35-36). Bagaimana memahami pernyataan Yesus ini?  St. Agustinus menjelaskan, “Perkawinan adalah demi anak-anak, anak-anak ada demi kelanjutan keturunan dan kelanjutan keturunan ada, karena ada kematian. Karena itu, ketika tidak ada lagi kematian, tidak ada lagi perkawinan…. Karena percakapan kita tersusun dan dituntaskan oleh kepergian/ kesudahan dan kelanjutan suku-suku kata, demikian juga manusia itu sendiri… dengan kepergian dan kelanjutan, menyusun dan merampungkan keteraturan di dunia ini, yang  dibangun oleh keindahan benda-benda yang sifatnya hanya sementara. Tetapi di kehidupan yang akan datang, dengan melihat kepada Sang Sabda yang kita rindukan—yang terbentuk bukan dari kepergian dan kelanjutan suku-suku kata, tetapi semua yang Ia miliki, dimiliki-Nya secara kekal dan seketika—maka mereka yang mengambil bagian di dalam-Nya—yang bagi mereka Sabda itu sendiri menjadi hidup—tak akan berakhir oleh kematian, ataupun dilanjutkan dengan kelahiran, seperti bahkan sekarang ini terjadi pada para malaikat. Demikianlah dikatakan selanjutnya, sebab mereka menjadi sama seperti para malaikat. Sebab sebagaimana begitu banyak malaikat yang memang sangat besar jumlahnya, tetapi mereka tidak menjadi lebih banyak melalui kelahiran, melainkan mereka telah ada sejak penciptaan. Sehingga juga kepada mereka yang dibangkitkan kembali, mereka tidak lagi perlu untuk menikah….” (St. Augustine, Catena Aurea, Luk 20:27-40).

Maka “menjadi seperti malaikat” di Surga bukan berarti bahwa di Surga suami istri tidak saling mengenali dan mengasihi. Yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu bahwa kasih mereka akan menjadi sempurna di dalam Allah, sebab segalanya sempurna di Surga. Namun bahwa kebahagiaan mereka tidak lagi diperoleh dari hubungan perkawinan mereka, melainkan dari Allah sendiri, yang meraja di dalam semua (lih. 1Kor 15:28).

Mengakhiri renungan ini, mari kita mengarahkan hati kepada pengharapan iman kita akan keselamatan kekal. Biarlah doa Rasul Paulus ini meneguhkan kita, agar kita dapat selalu memilih untuk taat kepada Tuhan: “Semoga Tuhan menghibur dan menguatkan hatimu dalam segala karya dan tutur kata yang baik… Ia akan menguatkan hatimu dan akan memelihara kamu terhadap yang jahat… Kiranya Tuhan tetap mengarahkan hatimu kepada kasih Allah dan kepada ketabahan Kristus” (2Tes 2: 17; 3:3,5). Ya Allah Bapa, topanglah kami dengan rahmat-Mu, supaya kami dapat menjadi taat setia seperti Kristus dalam menjalani hidup kami di dunia ini. Supaya dengan demikian kelak Kau dapati kami boleh memperoleh keselamatan kekal. Amin.

Belas kasih Tuhan mencari orang yang tersingkir

0
Sumber gambar: https://gerardnadal.files.wordpress.com/2012/02/zacchaeus2.jpg?w=500&h=319

[Hari Minggu Biasa XXXI: Keb 11:22-12:2; Mzm 145:1-14;  2Tes 1:11-2:2; Luk 19:1-10]  

Belum lama ini kita dikejutkan akan berita pemberantasan pungli di Kementerian Perhubungan. Banyak orang berharap agar kebiasaan pungli ini dapat semakin dihapus di negeri kita. Ini menunjukkan bahwa kebanyakan rakyat tidak suka akan adanya pungutan liar. Di zaman Yesus, kebiasaan pungli juga sudah ada, yang dilakukan oleh para pemungut cukai. Para pemungut cukai adalah orang-orang yang sehari-harinya melakukan pungli. Mereka menarik pajak dari sesama kaum Yahudi sendiri, demi kepentingan bangsa Romawi yang menjajah mereka; lalu jumlahnya ditambahi dengan pungutan liar yang masuk ke kantong para pemungut cukai itu sendiri. Tak heran orang-orang Yahudi membenci para pemungut cukai, apalagi kepala pemungut cukai, seperti Zakeus. Injil mengatakan bahwa di mata masyarakat, pemungut cukai dianggap sebagai pendosa (lih. Luk 5:30; 15:1; 19:7-10), yang otomatis dijauhi orang. Namun rupanya apa yang dijauhi orang, malah didekati oleh Allah. Sebab Allah menginginkan pertobatan mereka. Dengan cara-Nya sendiri, Ia mengingatkan orang-orang yang telah jatuh dalam dosa agar menjauhi kejahatan yang mereka perbuat, dan agar mereka percaya kepada-Nya (lih. Keb 12:2). Ini dilakukanNya sebab Ia adalah Allah yang maha rahim, yang belas kasih-Nya sangatlah tak terpahami.

Demikianlah Injil berkali-kali menyampaikan, betapa belas kasih Allah mencari, menemukan dan merangkul orang-orang yang tersingkirkan. Ini kita dengar dalam kisah Tuhan Yesus yang memilih untuk menumpang di rumah Zakeus, dalam Injil hari ini. St. Ambrosius telah menulis, “Dari semua orang yang dapat dipilih, Ia [Tuhan Yesus] memilih seorang kepala pemungut cukai. Siapa yang dapat kehilangan pengharapan bagi dirinya sendiri, ketika bahkan orang seperti itu [seperti Zakeus] dapat memperoleh keselamatan?” (St. Ambrose, Commentary on St. Luke’s Gospel, in loc) Tuhan tak pernah melupakan orang-orang yang telah dipilih-Nya. Figur Zakeus mengajarkan kepada kita bahwa tak ada seorangpun yang dapat luput dari jangkauan rahmat Tuhan. Pendosa yang terberat sekalipun tetap dapat disapa dan diampuni oleh Tuhan, jika ia bertobat.  

Namun, walaupun rahmat Tuhan mendahului pertobatan Zakeus, namun pertobatan Zakeus itu sendiri tetap tak dapat dianggap sepele. Zakeus bersedia mengembalikan uang yang pernah dicurinya [hasil pungli-nya] sebanyak empat kali lipat—dan dengan demikian memenuhi hukum Musa (lih. Kel 22:1)—bahkan lebih lagi, ia bersedia membagi-bagikan setengah dari harta miliknya kepada orang miskin. Kerinduan Zakeus untuk bertemu dengan Yesus juga diikuti oleh kesediaannya untuk meninggalkan dosa-dosanya dan hidup baru menurut hukum Tuhan. Kunjungan Yesus ke rumahnya menjadi momen penting yang mengubah hidupnya, yang menjadikannya manusia baru.

Bagaimana dengan kita? Sesungguhnya kita pun telah berkali-kali menerima kunjungan Yesus ke rumah hati kita, secara khusus setiap kali kita menyambut Ekaristi kudus. Sudahkah kita menyambut Yesus dengan kasih dan sukacita yang besar seperti Zakeus menyambut-Nya? Sudahkah kita mau diubah oleh Tuhan Yesus, seperti Zakeus? Sebab jangan sampai kunjungan Tuhan Yesus tidak membuat kita tergerak hati untuk meninggalkan kesalahan kita dan berusaha hidup lebih baik daripada sebelumnya. Semoga dengan lebih sering menerima Ekaristi Kudus, hati kita pun dibuat menjadi lebih peka, untuk melihat bahwa di sekitar kita ada banyak orang yang seperti Zakeus, yang merindukan kunjungan Tuhan Yesus. Dan bahwa kita yang telah menerima Tuhan Yesus, dapat membawa kehadiran-Nya kepada orang-orang yang merindukan Dia.

Kita telah hampir sampai pada penghujung Tahun Yubelium Luar Biasa Kerahiman Allah. Mari kita memeriksa batin kita, sejauh mana kita telah menerima  kerahiman Allah dan membiarkan Sang Kerahiman itu mengubah hidup kita. Dan sejauh mana kita pun telah memiliki kerahiman, atau belas kasih  kepada semua orang, terutama kepada mereka yang tersingkirkan ataupun terpinggirkan. Semoga doa Rasul Paulus  menguatkan kita,  yaitu, “supaya Allah kita menganggap kamu layak bagi panggilan-Nya dan dengan kekuatan-Nya menyempurnakan kehendakmu untuk berbuat baik, dan menyempurnakan segala pekerjaan imanmu. Dengan demikian nama Yesus, Tuhan kita, dimuliakan di dalam kamu, dan kamu di dalam Dia, sesuai dengan kasih karunia Allah kita dan Tuhan kita Yesus Kristus” (2Tes 1:11-12). Marilah berdoa, “Ya, Tuhan yang pengasih dan penyayang, betapa panjang sabar dan belas kasih setia-Mu kepada kami. Bantulah aku untuk juga menjadi seorang yang pengasih dan penyayang, yang sabar dan berbelas kasih, seperti diri-Mu. Amin.”

Merendahkan diri di hadapan Tuhan

0
Sumber gambar: http://4.bp.blogspot.com/-o6aQwl8_k5A/Uf6_ZomDKHI/AAAAAAAARvs/ddXBhoUbIns/s320/parable-of-the-pharisee-and-tax-collector.jpg

[Hari Minggu Biasa XXX: Sir 35:12-18; Mzm 34:2-3, 17-23; 2Tim 4:6-8,16-18; Luk 18:9-14]  

Pukul enam kurang sepuluh menit. Cuaca mendung membuat pagi itu terasa masih gelap. Bergegas kumasuki gereja untuk mengikuti Misa Kudus, mengambil tempat seperti biasa. Tepat di hadapanku berlutut seorang ibu yang rambutnya telah putih, hampir seluruhnya. Ketika hendak kupejamkan mata, tak kusengaja aku melihat sesuatu yang membuatku tersenyum sendiri. Ibu itu memakai baju yang terbalik, sehingga tampaklah merk dan obrasannya. Mestinya aku langsung berdoa, tapi nyatanya, pikiranku melesat jauh… “Wah,… buru-buru kali ya si ibu ini, sampai memakai baju terbalik ke gereja….” Namun rupanya, cerita pagi itu tidak berakhir sampai di situ. Tepat sore harinya ketika hendak berolah raga, aku bergegas memakai kaos, sementara pikiranku melayang kepada hal-hal lain. Begitu selesai berolah raga, ketika hendak mandi, kupandang diriku di cermin, dan … astaga! Rasanya aku hampir tak percaya. Aku pun memakai kaos yang terbalik! Rupanya Tuhan sedang mengajariku, untuk tidak mudah mengomentari orang lain, sebab aku pun dapat berbuat kesalahan yang sama. Tuhan, ampunilah aku!

Bacaan Injil hari ini mengajarkan agar kita tidak lekas menghakimi, dan merasa diri lebih baik daripada orang lain, terutama dalam doa-doa kita. Kita dapat belajar dari kisah orang Farisi dan pemungut cukai itu, yang sama-sama berdoa, namun isi doa mereka sangatlah berlawanan. Dalam doanya, orang Farisi itu meninggikan diri sedangkan sang pemungut cukai itu, merendahkan dirinya. St. Agustinus berkata, “Kalau kamu memeriksa perkataannya [doa orang Farisi], kamu menemukan bahwa ia tak meminta apapun kepada Tuhan. Memang ia berdoa, tetapi bukannya meminta kepada Tuhan, ia memuji dirinya sendiri; dan bahkan menghina orang yang meminta. Sebaliknya, pemungut cukai itu, terdorong oleh hati nuraninya yang terluka berdiri jauh-jauh, dan oleh kesalehannya ia dibawa mendekat…. Tuhan dekat kepadanya dan mendengarkan dia. Sebab Allah ada di tempat tinggi, namun Ia mendengarkan orang yang rendah itu…. Hati nuraninya membebaninya, namun harapannya mengangkatnya, ia memukul dadanya sendiri, ia menjatuhkan penilaian atas dirinya sendiri. Karena itu Tuhan berkenan kepada orang yang menyesal itu. Kamu telah mendengar tuduhan orang yang sombong itu, dan kamu telah mendengar pengakuan yang rendah hati dari orang yang dituduh itu. Kini dengarkanlah keputusan Sang Hakim: Sungguh Kukatakan kepadamu, orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang yang lain itu tidak” (St. Augustine, Catena Aurea, Luk 18:9-14). Allah berkenan kepada orang-orang yang rendah hati, yang dalam kelemahannya mengandalkan pertolongan Tuhan. Demikianlah dalam berbagai kisah dalam Kitab Suci tertulis betapa Allah berkenan kepada pihak-pihak yang lemah yang berlindung kepada-Nya, seperti contohnya para janda dan yatim piatu—sebagaimana kita dengar di Bacaan Pertama (lih. Sir 35:12-18); dan para murid Tuhan yang dikejar-kejar dan dianiaya, seperti Rasul Paulus (lih. 2Tim 4:16-18).   

Jadi sabda Tuhan hari ini mengajarkan kepada kita, sikap batin yang benar dalam berdoa. Pertama, doa adalah dialog dengan Tuhan. Ketika berdoa, kita mengarahkan hati kepada-Nya, dan tidak berfokus kepada diri kita sendiri ataupun pikiran akan diri sendiri. Kedua, kita datang ke hadirat Tuhan dengan kerendahan hati, dengan mengakui kelemahan dan dosa-dosa kita. Kita tidak membandingkan diri kita dengan orang lain, apalagi merasa lebih baik daripada orang lain. Ketiga, kita memohon belas kasihan-Nya dan mengandalkan Allah, sebab kita percaya bahwa Ia berkenan kepada orang yang rendah hati yang berbakti kepada-Nya.

Kini menjadi semakin make sense bagiku, mengapa dalam  perayaan Ekaristi, kita dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, mendaraskan doa-doa tobat: “Saya mengaku, kepada Allah yang maha kuasa, dan kepada saudara sekalian, bahwa saya telah berdosa…. Tuhan, kasihanilah kami, Kristus, kasihanilah kami, Tuhan kasihanilah kami…; Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, kasihanilah kami… Doa-doa ini mengungkapkan iman Gereja yang dengan kerendahan hati datang kepada Tuhan. Kuucapkan doa-doa tersebut dengan penghayatan yang baru. Saat imam mengangkat Hosti yang telah diubah menjadi Tubuh Kristus dan berkata, “Inilah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Berbahagialah kita yang diundang ke perjamuan-Nya….”, kuarahkan mata hatiku kepada Tuhan Yesus yang hadir dalam Hosti itu. Dan dalam kerendahan sebagai seorang hamba, kutundukkan kepalaku dan kudaraskan doa ini dengan sungguh, “Ya, Tuhan, saya tidak pantas, Tuhan datang pada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh….”

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab