Home Blog Page 21

Kristus Sang Kebijaksanaan, pimpinlah kami!

0
Sumber gambar: http://www.cslewisinstitute.org/webfm_send/992

[Hari Minggu Kitab Suci Nasional: Keb 9:13-18; Mzm 90:3-17; Fil 9-10,12-17:18-19.22-24; Luk 14:25-33]

Ada pepatah mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang”. Memasuki Bulan Kitab Suci, Gereja mengajak kita untuk semakin membaca dan merenungkan Kitab Suci. Maksudnya tentu agar kita semakin mengenal Kristus Sang Sabda Allah, dan agar kita semakin mengasihi-Nya. Kristus, dalam Kitab Perjanjian Lama kerap digambarkan sebagai “Kebijaksanaan” Allah, sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Pertama hari ini. Dalam Kitab Kebijaksanaan Salomo, tertulis, “Siapa gerangan dapat mengenal kehendak-Mu kalau Engkau sendiri tidak menganugerahkan Kebijaksanaan, jika Roh Kudus-Mu dari atas tidak Kau-utus?” (Keb 9:17) Samar-samar, kita melihat gambaran pernyataan diri Allah Tritunggal di sini: Allah menyatakan diri-Nya, kehendak-Nya, dalam Kebijaksanaan —yaitu Putra-Nya Yesus Kristus—dan Roh Kudus-Nya.

Dalam Bacaan Injil, Kristus menghubungkan kebijaksanaan Allah itu, dengan Salib. Sebab dengan salib suci-Nya, Yesus menyatakan kebijaksanaan Allah yang tertinggi: keadilan dan kasih Allah yang sempurna. Maka, Yesus mensyaratkan agar kita yang mau menjadi murid-Nya, harus mau mengikuti-Nya dengan memikul salib kita masing-masing. Kata Yesus, “Barangsiapa tidak memanggul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:25-33). Salib Kristus bagi kita umat Kristiani, memang berarti dua hal prinsip. Yang pertama adalah betapa kejamnya dosa—sehingga dengan sedemikian menderita Putra Allah sendiri harus menebusnya—dan kedua, adalah betapa besarnya kasih Allah sampai mau memberikan diri sehabis-habisnya, rela wafat di kayu salib bagi kita.

Tiap-tiap hari, Sabda Tuhan memimpin kita untuk semakin menghidupi “misteri salib” ini. Yaitu, agar kita senantiasa mau “mati terhadap dosa” dan mau memberikan diri kepada Tuhan dan sesama. Untuk dapat memberikan diri  ini Tuhan Yesus mensyaratkan agar kita mengasihi Dia lebih daripada kita mengasihi orangtua dan sanak saudara (lih. Luk 14:26-27). Namun kita tahu, bahwa hal ini tidaklah mudah, karena kerap bententangan dengan kecenderungan kita sebagai manusia. Karena itu, Bacaan Injil hari ini juga memberitahukan kepada kita bagaimana caranya untuk memupuk kasih itu. Yaitu, dengan setiap hari rajin mengadakan pemeriksaan batin, duduk dahulu dan bertanya kepada diri sendiri, sejauh mana kita telah menomorsatukan Tuhan dan melakukan kehendak-Nya. “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya….” (Luk 14:28). St. Agustinus menjelaskan, “[Kata Yesus menutup khotbah-Nya], ‘Demikianlah juga, setiap orang di antara kamu yang tidak meninggalkan semua yang dimilikinya, ia tak dapat menjadi murid-Ku.’ Maka harga untuk membangun menara dan kekuatan sepuluh ribu tentara melawan raja yang punya dua puluh ribu tentara, tidak lain adalah bahwa setiap orang harus meninggalkan semua yang dimilikinya. Maka kata pengantar dari pengajaran Yesus ini berkaitan dengan kesimpulan akhirnya. Sebab dengan berkata bahwa barangsiapa meninggalkan semua yang dimilikinya, termasuk juga bahwa ia ‘membenci’ ayah dan ibunya, istrinya, dan anak-anaknya. [Membenci di sini maksudnya to love less, sebab dibandingkan kasih kepada Tuhan, kasih kepada orangtua tingkatannya ada di bawahnya.] Sebab semua ini adalah milik orang itu sendiri yang mengikatnya dan merintanginya dari memperoleh harta milik tertentu yang tidak akan berlalu dengan waktu, melainkan berkat-berkat yang akan tetap tinggal selamanya.” (St. Augustine, Catena Aurea, Luk 14: 25-33). “Meninggalkan segala miliknya” memang menjadi dasar bagi mereka yang mengikuti jejak para rasul, untuk secara khusus membaktikan diri dalam hidup membiara. Namun meninggalkan keterikatan terhadap segala yang dimiliki demi kasih kepada Tuhan, itu adalah panggilan bagi setiap orang beriman.

Tiap-tiap hari, kita dihadapkan dengan pilihan untuk berpaut pada Tuhan dan melakukan kehendak-Nya, atau kita lebih memilih untuk terikat kepada apa yang kita miliki. Dengan latihan pemeriksaan batin setiap hari, dengan dipimpin sabda Tuhan, kita selalu diingatkan untuk memilih Tuhan. Mari kita membuat niat yang teguh untuk dengan tekun dan sungguh-sungguh memeriksa batin kita setiap hari. Pemeriksaan batin ini bukan hanya semata mengingat-ingat kembali tingkah laku kita di hari itu, namun lebih lagi, merupakan percakapan antara jiwa kita dengan Tuhan. Agar kita dapat melihat dengan jujur ke dalam diri kita, mungkin kita dapat berdoa sederhana sebagaimana diucapkan oleh orang buta di Yerikho, “Tuhan, bantulah aku supaya aku dapat melihat!” (lih. Mrk 10:51). Supaya aku dapat melihat apa yang memisahkanku dengan Engkau, apakah dosa dan kesalahanku, apakah yang dapat kuperbaiki… entah dalam sikapku, sifatku, pelayananku, perhatianku… agar lebih memancarkan kasih kepada orang-orang di sekitarku. Kumohon pimpinlah hidupku, ya Kristus, Sang Sabda Kebijaksanaan Ilahi. Amin.

Kerendahan hati memikat hati Tuhan

0
Sumber gambar: http://abcdfinnestad.blogspot.co.id/2010_06_01_archive.html

[Hari Minggu biasa ke XXII;  Sir 3:17-18.20.28-29; Mzm 68:4-11; Ibr 12:18-19.22-24; Luk 14:7-14]

Bacaan Sabda Allah hari ini mengingatkan kepada kita sikap yang paling berkenan di mata Tuhan: kerendahan hati. Walaupun “kerendahan hati” mudah diucapkan, tetapi tidak sedemikian mudah diterapkan dalam hidup. Sebab  kecenderungan umum manusia adalah menunjukkan diri sebagai yang terbaik agar dikagumi orang lain. Namun hari ini, Allah meminta agar kita mematikan kecenderungan tersebut. Bacaan Pertama mengingatkan kita, “Makin besar engkau, patutlah makin kaurendahkan dirimu, supaya engkau mendapat karunia di hadapan Tuhan” (Sir 3:18). Hal inipun dikatakan oleh Tuhan Yesus dengan cara yang berbeda, dalam Bacaan Injil. “Kalau engkau diundang ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan… tetapi… duduklah di tempat yang paling rendah…” (Luk 14:8,10). Pada akhirnya ‘pesta perkawinan’ mengingatkan kita pada pesta perkawinan Anak Domba di kota Allah yang hidup, Yerusalem Surgawi, di mana kita akan berhadapan dengan Tuhan Yesus, Pengantara Perjanjian Baru (lih. Ibr 12:22,24). Semoga kita telah melalui latihan kerendahan hati di dunia ini, agar jika saat itu tiba, kita telah memiliki kebajikan kerendahan hati yang berkenan kepada Tuhan.

Kerendahan hati yang sejati, tidak bertentangan dengan keinginan yang sehat untuk mencapai kemajuan diri, baik dalam hal prestasi maupun pekerjaan. Tapi orang yang yang rendah hati tidak suka pamer. Ia sepenuhnya sadar bahwa tujuan hidupnya bukan untuk dikagumi dan dipuji orang, tetapi untuk melaksanakan tugas dan misi yang Tuhan percayakan kepadanya, demi kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesamanya. Maka sikap kerendahan hati tidak ada hubungannya dengan sikap pemalu atau senang dengan apa yang “sedang-sedang saja”. Untuk menjadi rendah hati, kita perlu menyadari bahwa kita ini bukan siapa-siapa, tetapi sangat dikasihi oleh Tuhan. Kita bukan apa-apa, tetapi diberi talenta dan rahmat-Nya serta diangkat menjadi anak-anak-Nya. Jika kita mempunyai sikap ini, kita dapat berkata bersama pemazmur, “Bukan kepada kami, ya Tuhan, bukan kepada kami, tetapi kepada nama-Mu lah beri kemuliaan….” (Mzm 113:1).

Jadi, agar kita dapat bertumbuh dalam kerendahan hati, kita perlu menghargai di satu sisi kerendahan kita, dan di sisi lain, semua karunia pemberian Tuhan, termasuk talenta yang Tuhan beri, yang daripadanya Tuhan mengharapkan buah. “Di samping kekurangan-kekurangan kita, kita adalah pembawa harta ilahi yang tak terbilang harganya: kita adalah alat-alat Tuhan. Dan karena kita ingin menjadi alat-alat yang baik, semakin kecil dan miskin kita memandang diri kita sendiri dalam kerendahan hati yang sejati, semakin Tuhan akan menyediakan segalanya yang kurang pada kita” (St. Josemaria Escriva, Letter 24, 24 March 1931). Ini akan membuat kita selalu bisa tersenyum dan bersuka cita dalam pelayanan maupun tugas-tugas kita: Tuhanku akan menyediakan apa yang kurang padaku.

Sikap kerendahan hati juga akan membuat kita menyadari bahwa segala yang baik itu berasal dari Tuhan dan segala yang buruk itu dari kita sendiri. Dengan kesadaran ini, kita dapat belajar untuk menerima dengan lapang hati, kejadian-kejadian yang membuat kita merasa malu. Dan ini, tidak usah dicari-cari, sebab dapat datang dengan sendirinya, entah karena kelalaian kita, atau karena kesalahan kita. Dalam keadaan ini, memang kecenderungan manusia mendorong kita untuk marah,  tidak terima atau berusaha menutup-nutupi kesalahan kita. Kita mesti meminta rahmat Tuhan agar jika ini terjadi, kita tidak terlalu gengsi untuk meminta maaf. Juga, agar kita dapat melihat peristiwa ini dari sudut pandang yang berbeda. Marilah kita mengingat bahwa dulupun Tuhan Yesus pernah melalui pengalaman dipermalukan sedemikian rupa di Jalan Salib-Nya sampai wafat-Nya. Bahkan, lebih lagi, karena semua itu diterima-Nya padahal Ia sama sekali tidak bersalah. Maka penghinaan yang kita terima tidak ada apa-apanya dengan penghinaan yang pernah diterima oleh Tuhan Yesus. Jika kita dipermalukan, mari kita memohon kepada-Nya agar kejadian tersebut dapat menyatukan diri kita dengan-Nya, dan agar kita menjadikan pengalaman itu sebagai kesempatan untuk berbuat silih atas dosa-dosa kita. Semoga dengan demikian, hati kita dimurnikan dan kita semakin dipenuhi dengan kasih dan rahmat-Nya. Agar tergenapilah firman Tuhan ini, “Siapa yang merendahkan diri, akan mendapat karunia di hadapan Tuhan” (lih. Mzm 3:18).

Namun St. Fransiskus dari Sales juga mengingatkan kita supaya kita jangan berpura-pura rendah hati. Atau, punya kerendahan hati yang palsu, yaitu “bahwa ketika kita berkata bahwa kita bukan apa-apa… kita akan sangat menyesal dan kecewa jika orang menganggap kita benar-benar bukan apa-apa… Sebaliknya, kita berpura-pura mundur dan menyembunyikan diri, supaya seluruh dunia mengejar dan mencari kita. Kita berpura-pura menginginkan diri kita sebagai yang terakhir dan duduk di tempat terendah, tetapi dengan pandangan supaya kita dapat beralih dengan lebih mudah ke tempat yang tertinggi. Kerendahan hati tidak memamerkan diri atau menggunakan banyak kata-kata yang merendah….” (St. Francis de Sales, Introduction to the Devout Life, III,5.).

Akhirnya, baiklah jika kita belajar dari Bunda Maria, yang merupakan teladan kita dalam hal kerendahan hati. Ia sungguh menyadari kerendahannya namun pada saat yang sama, besarnya perbuatan-perbuatan Tuhan kepada-Nya. Semoga kita pun dapat melambungkan pujian ini bersama Bunda Maria, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya…. karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus…” (Luk 1:46-49).

Pejuang Kehidupan (Bersahabat dengan Kanker)

0

Puisi permenungan pelayanan oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Dua belas tahun sudah
aku berkeliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain,
dari rumah ke rumah,
untuk mengunjungi para penderita kanker,
menyapa mereka dan berdoa bagi mereka.

Tubuh mereka lemas dan kurus,
seiring hilangnya sejengkal demi sejengkal jiwanya.
Kelelahan nampak dalam kecekungan mata.

Akan tetapi,
jiwa mereka tak pernah menyerah
melawan penyakit yang mematikan.

Perjuangan mereka tak kenal lelah.
Mereka terus mengiba kepada Tuhan
di tengah derita,
agar Ia memperpanjang kehidupannya jikalau Ia berkenan.

Tangisan mereka menjadi doa di dalam keterpurukan.
Air mata mereka membangun kembali cinta
yang lebih tulus kepada Tuhan
dan keluarga

Cinta memberikan secercah harapan di tengah kegalauan.

Aku malu dengan diriku sendiri,
yang mudah mengeluh dengan kesulitan kecil.
Padahal, penderitaanku tidak sebanding dengan penderitaan mereka.

Di balik rapuhnya raga mereka,
di sisa-sisa hembusan nafas mereka,
mereka tetap tersenyum sampai pada akhir hayatnya.

Senyuman mereka menandakan bahwa mereka
mampu bersahabat dengan penyakitnya.
Senyuman mereka adalah senyuman pejuang kehidupan yang gagah.
Senyuman yang memberi kenangan manis yang tak terlupakan.
Dari saudara-saudari inilah, aku belajar memaknai setiap lembar kehidupan.

Trimakasih kawan atas pelajaran indah,
bagaimana melawan keganasan kanker dengan persahabatan.

Tuhan memberkati

Selamat Jalan, Rosa

0

“Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang” (Mazmur 23:2)

Sharing kehidupan oleh Romo Felix Supranto, SS.CC

Saya mengenal Rosa sejak ia duduk di kelas 1 SMP di Tanjungpinang-Kepulauan Riau ketika saya melayani paroki di sana. Rosa memiliki iman yang sangat mendalam. Imannya terungkap dalam pelayanan sebagai ketua Legio Maria. Ia selalu mengunjungi orang-orang sakit yang dirawat di rumah sakit di samping gereja setelah Misa. Ia dan adik-adiknya, yaitu Sonya, Noni, Balde, Novi, menganggap saya sebagai ayah mereka.

Setelah lulus SMEA di Tanjungpinang, ia mengubah tradisi dengan merantau di Jakarta untuk kuliah sambil bekerja. Ia datang hanya membawa uang perjalanan dan uang pangkal kuliah. Perjuangannya luar biasa, sampai pernah jatuh ketika turun dari bus kota. Perjuangannya menghasilkan buah, yaitu selesai kuliahnya dan berhasil mendirikan sebuah usaha untuk pendidikan. Ia berkata kepada saya: “Saya harus membuka jalan dan teladan bagi adik-adikku agar berhasil dalam Tuhan”. Adik-adiknya memang akhirnya mengikutinya di Jakarta.

Di Jakarta itulah ia bertemu dengan Gunardi yang menjadi suaminya. Gunardi adalah suami yang sangat baik. Buah dari pernikahan mereka adalah dua anak yang sangat baik. Saya yang memberikan nama bagi kedua anak itu, yaitu Elita dan Pius. Kedua anak itu memanggil saya Akong Romo (Opa Romo) sebagaimana Rosa membahasakannya kepada mereka.

Beberapa tahun belakangan ini ia menderita penyakit yang serius. Ia tidak mengeluh dan berjuang mengalahkannya. Ia tetap bekerja dan tetap melayani dalam gereja. Semangat hidupnya sangat luar biasa.

Saya, tanggal 25 Juni 2016 yang lalu, mengunjunginya untuk berdoa dan memberikan komuni baginya. Kebutuhan hidup rohani memang merupakan kerinduannya. Doa dan Komuni Kudus memberikan sukacita dalam jiwanya. Pada waktu itu saya melihat keadaan tubuhnya yang semakin kurus. Saya ingin memberikan surprise pada ulang tahunnya ke-42 pada tanggal 29 Juni 2016 dengan membawa kue ulang tahun jam 05.30. Ia nampak sangat sukacita menerima hadiah ulang tahunnya yang tak pernah ia kira. Ternyata ulang tahunnya itu adalah ulang tahunnya yang terakhir seperti yang saya duga.

Satu minggu kemudian saya akan mengunjunginya lagi untuk memberikan komuni pada hari Minggu seperti yang telah saya janjikan kepadanya. Ia mengatakan kepada saya: “Romo tidak usah datang karena saya sudah ke gereja. Banyak orang lain lebih membutuhkan pelayanan Romo daripada saya”. Itulah Rosa yang senantiasa mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri.

Pada tanggal 28 Juli 2016 ia menelepon saya dengan suara yang sangat berat: “Romo, kunjungilah saya. Jangan lama-lama ya”. Permohonannya itu membuat saya mengerti bahwa akan terjadi sesuatu dengan dirinya karena ia tidak pernah mau merepotkan orang lain. Pada tanggal 30 Juli 2016 saya bergegas menuju ke rumahnya. Benarlah apa yang saya pikirkan. Ia telah terbaring lemah di tempat tidurnya. Ia minta berbicara pribadi dengan saya. Ia mengatakan kepada saya: “Romo, saya sudah menyerahkan diri saya kepada Tuhan. Saya minggu ini mungkin akan berpulang. Saya minta Romo untuk merayakan Misa bagiku pada hari Jumat Pertama, peringatan Hati Kudus Yesus. Saya meminta Romo untuk mendampingi suami, anak-anak, dan adik-adikku”. Ia kemudian mendaraskan doa yang sangat indah: “Tuhan Yesus, dengan sakit ini, saya semakin mensyukuri setiap hembusan nafasku yang tersisa. Terimakasih Tuhan atas orang-orang yang telah mengunjungi aku dan mendoakan aku. Kini aku letakkan penyakitku di atas telapak kaki-Mu”. Ia kemudian meminta Sakramen Pengampunan Dosa dan Komuni Kudus.

Tanggal 1 Agustus 2016 malam, saya mendengar bahwa Rosa dirawat di rumah sakit. Esok harinya, tanggal 2 Agustus 2016 pukul 03.30 saya mengunjunginya. Keadaannya semakin lemah. Ia terus menerus mengatakan bahwa ia sedang terbaring di padang rumput yang hijau seperti yang dikatakan oleh Pemazmur: “Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang” (Mazmur 23:2). Saya sangat terharu bahwa ia berbicara kepada Deasy: “Titip Romo ya Deas…”. Yang dimaksudkannya adalah untuk memperhatikan kesehatan saya. Dalam keadaan sakit pun, ia masih memikirkan keadaan orang lain. Kemudian ia masih bisa menerima komuni yang saya berikan. Setelah menerima komuni, ia meminta saya untuk mengalungkan rosario di lehernya. Ia menghadap Bapa dengan tenang pada hari Rabu, 3 Agustus 2016, pukul 00.43.

Pada tanggal 3 Agustus 2016 pukul 22.00 saya pergi ke rumah duka untuk berdoa bagi jiwa Rosa dan meneguhkan suami dan anak-anaknya. Saya berkata dalam hati kepada Rosa: “Rosa, engkau telah memancarkan cahaya Allah Bapa yang harum bagi keluarga dan sesama sesuai dengan arti namamu ‘Rosa’ berarti bunga dan ‘Cecilia’ berarti cahaya surgawi’. Selama hidupnya, Rosa sudah menjalankan Sabda Tuhan: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Matius 5:16).

Selamat jalan Rosa, engkau pasti berbahagia terbaring di pangkuan Bapa di Surga.

Cahaya Surgawi

0

Sharing pelayanan oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Ini sepenggal pengalaman tentang cahaya surgawi. Cerita selengkapnya akan ditampilkan kemudian. Aku, pada hari Senin malam tanggal 11 Juli 2016, menyusuri jalan setapak yang gelap di Kampung Jelupang. Aku datang untuk memberi penghiburan kepada Bapak Matius Siagian Sinaga dan Ibu Mas Tiur. Mereka sedang berdukacita karena anaknya, Theresia Citra, berusia lima tahun, meninggal dalam kecelakaan lalu lintas empat puluh hari silam. Rupanya kebersamaan ini menjadi peneguhan bagi keluarga itu. Pada saat itu terjadi peristiwa yang sangat mengharukan di mana Ibu Mas Tiur berbicara dari hati yang terdalam kepada anaknya itu yang fotonya terpajang di altar:

Anakku sayang,
engkau sedang main apa sekarang?
Engkau senantiasa berada dalam hati ibu.

Empat puluh hari engkau telah pergi dari sisiku.
Namun, engkau tetap anakku.
Engkau tetap berada dalam cintaku.
Setiap malam aku tetap menceritakan santo-santa kesukaanmu.

Arti namamu yang penuh makna,
membuat aku harus merelakan kepergianmu.
Kepergianmu merupakan tanda dari Tuhan
bahwa engkau sangat berarti bagiNya.

Engkau sekarang berada di Surga nan indah.
Ibu senantiasa berdoa agar kelak kita bisa berjumpa.
Nak, ibu tetap sayang dan sayang kepadamu.

Bapak Matius Siagian Sinaga dan Ibu Mas Tiur, puterimu, Theresia Citra pasti sudah masuk surga, menjadi cahaya surgawi.

Tuhan memberkati

Kanker Bukanlah Angker

0

Sharing pelayanan oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Setelah selesai merayakan Misa peringatan arwah di sebuah lingkungan pada tanggal 23 Mei 2016, aku duduk bersama umat untuk mendengarkan cerita kehidupan. Seorang ibu tiba-tiba mendatangiku dan berkata: “Romo, aku sudah lama ingin bertemu dengan Romo. Tak terduga Tuhan mempertemukan kita di sini”. Ibu itu bernama Ibu Nani. Usianya limapuluh delapan tahun. Ia memiliki tiga anak. Wajahnya masih segar. Ibu Nani nampak jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya, hanya tubuhnya agak kurus.

Ia kemudian mensharingkan kejadian dalam hidupnya belum lama ini. Pada tanggal 17 September 2016 ia dinyatakan menderita kanker paru-paru stadium empat. Mendengar vonis itu, ia bagaikan tersambar petir di siang bolong. Ia tidak dapat melukiskan perasaannya atas berita yang tak pernah ia duga ini. Ia tak habis mengerti mengapa ia bisa menderita kanker. Kanker itu sekarang telah menjalar sampai tulang-tulang. “Sakitnya luar biasa kalau dirasakan”, katanya.

Aku kemudian bertanya kepadanya: “Bagaimana ibu bisa menahan sakitnya”. Ia menjawab: “Aku mengandalkan Tuhan. Aku bersama keluargaku terus berdoa dan memohon agar Tuhan memberi ketabahan dan kekuatan kepadaku untuk menghadapi ujian kehidupan ini dengan ikhlas. Dalam situasi yang sulit ini, harapanku hanya satu, yaitu bersandar kepada Tuhan. Jika aku tidak mempunyai Tuhan, aku tidak akan demikian tabah menghadapi penyakit kanker ini. Tanpa Tuhan, aku akan sama seperti orang yang tidak beriman; akan gelisah, terus mengeluh, dan menyesali nasib diri yang malang. Aku kini menghabiskan waktuku membaca Firman Tuhan dan kegiatan gerejani. Ternyata kanker bukanlah angker jika dihadapi dengan iman”.

Aku tertegun mendengarkan kesaksiannya. Penderitaannya sungguh memurnikan imannya kepada Tuhan, seperti proses pemurnian emas: “Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu–yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api–sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya” (1Petrus 1:7). Seperti proses menjadikan emas murni dengan api yang sangat panas, tolok ukur iman murid Tuhan terpancar dalam reaksinya pada penderitaan hidup. Semakin tabah dalam menghadapi pergumulan kehidupan, ia semakin menunjukkan kelas imannya yang tinggi.

Kata-katanya “kanker bukanlah angker jika diterima dengan iman” sungguh melekat di hatiku. Imannya memberi kekuatan baru kepadanya untuk dapat menanggung kankernya dengan rela seperti yang telah dikatakan Yesaya: “tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yesaya 40:31). Iman sungguh bisa mengubah ketakutan menjadi keberanian dan ganas menjadi jinak. Dengan iman, penderitaannya dapat ia jalani dengan sabar

Aku kemudian merenungkan keadaan manusia di era digital ini. Katanya manusia semakin canggih, tetapi banyak manusia yang mengaku beriman justru mudah bersungut-sungut dan bahkan menyerah ketika menghadapi masalah kecil saja. Kini banyak wajah-wajah frustasi di balik kehebatan jaman digital.

Pesan yang dapat kita renungkan dari pengalaman ibu Nani itu: Kesabaran itu senantiasa berbuah indah walaupun pada awalnya terasa pahit. Karena itu, jangan biarkan jiwa resah dan gelisah ketika harus menapaki jalan yang menyakitkan karena penghujung jalan biasanya manis: “Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi” (Yakobus 5:7).

Tuhan memberkati

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab