Home Blog Page 198

Apakah ‘hidup sia- sia’ (1 Pet 1:8-19)?

8

Pertanyaan:

Syaloom,

Sekarang saya sedang membaca kisah2 hidup santo dan santa termasuk Santa Theresia Liseux. Di sana saya melihat cara dia bermati raga mulai dr hal kecil sampai menyesah diri dan ada pula selipan kisah dari santo lain yang menyiksa dirinya.

Saya pun kadang melakukan hal kecil untuk tidak makan kesukaan saya. Tetapi ketika saya membaca kisah Santa dan Santo entah kenapa saya teringat dengan ayat ( yang saya percaya Tuhan berikan ayat ini kepada saya sebelum saya operasi tumor) yaitu 1 Petrus 1:18-19 “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyang kamu….”

Lalu ayat 1 Petrus 2:24 ” Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam Tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya, kamu telah sembuh”

Pertanyaan saya:

1. Apakah cara hidup yang sia-sia itu? Kalau ketika saya renungkan lagi ini seperti pembenaran dia sudah tanggung semuanya lg sebagai Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Jadi kalau dilihat dari agama Yahudi mungkin ga usah lagi mempersembahkan “korban” sebagai penghapusan dosa lagi? Dan ini ujung2 nya ke paham sekali selamat tetap selamat. Jadi ga usa susah payah lagi wong sudah ditanggung semua dosa masa lalu, masa kini, dan masa depan kita. Apakah benar ?

2. Apakah arti dr ayat 1 Petrus 2:24? Dulu saya pas awal2 tobat mikirnya seperti Martin Luther dibenarkan oleh iman. Karena kita nggak mgkn berbuat dosa. Jadi berusaha ga buat dosa dan Tuhan yang tanggung semua nya. Apakah benar?

3. Mati raga seperti menyiksa diri apakah termasuk cara hdup yang sia2? Karena saya jg melihat jaman dulu orang Hindu menyiksa dirinya tdr di atas paku untuk dekat dengan Tuhan atau mencapai kesempurnaan. Seperti sia-sia saja. Saya jadi sdikit byk mgkn ngerti pikiran Martin Luther yang saya kutip dr Wikipedia
“Luther dedicated himself to monastic life, devoting himself to fasting, long hours in prayer, pilgrimage, and frequent confession.[20] He would later remark, “If anyone could have gained heaven as a monk, then I would indeed have been among them.”[21] Luther described this period of his life as one of deep spiritual despair. He said, “I lost touch with Christ the Savior and Comforter, and made of him the jailor and hangman of my poor soul.”[22]”

D satu sisi ada keindahan dr pemikiran itu karena semata-mata menggantungkan kepada Tuhan Yesus sehingga kita tidak bisa “membeli” keselamatan kita dengan cara bebuat baik atau puasa atau siksa diri, atau doa terus2an. Tapi di sisi lain seperti mau kabur saja dari pengkudusan diri. Jadi apakah itu sia2 utk “membeli” keselamatan seperti itu?

Terima Kasih,
Leonard

Jawaban:

Shalom Leonard,

1 Pet 1:18-19 mengatakan: “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.”

1. Apa itu cara hidup yang sia- sia?

Cara hidup sia-sia yang dimaksud dalam 1 Pet 1:18-19 adalah hidup dalam dosa; dan dari cara hidup macam inilah kita telah ditebus oleh Kristus, sehingga selanjutnya kita dimampukan oleh-Nya untuk menolak dosa (“mati” terhadap dosa), dan hidup bagi Allah (lih. Rom 6:11). Bagi kita umat Kristiani, rahmat penebusan Kristus ini kita terima pada saat Pembaptisan, dan kemudian kita dapat terus memperoleh rahmat Allah untuk mempertahankan rahmat penebusan ini melalui sakramen- sakramen lainnya.

Namun demikian, bukan berarti kalau sudah ditebus maka manusia sudah pasti tidak jatuh lagi ke dalam dosa, sebab Pembaptisan memang menghapus semua dosa (dosa asal dan dosa pribadi sampai pada saat dibaptis), namun tidak menghapus apa yang disebut sebagai concupiscentia (kecenderungan untuk berbuat dosa). Hal ini tetap ada pada diri manusia sebagai akibat dari dosa Adam; dan oleh karena itu perjuangan untuk mengalahkan kecenderungan inilah yang membuat kita bertumbuh di dalam kekudusan. Dalam usaha kita mengalahkan kecenderungan berbuat dosa inilah para Santa/o ini melatih diri dengan mati raga; agar mereka dapat bertumbuh dalam hal pengendalian diri dan kerendahan hati. Kristus sendiri berpuasa (Lih. Mat 4:2, Luk 4:2) dan mengajarkan hal doa dan puasa kepada para murid-Nya (lih. Mat 9:15; 17:21). Hal mati raga dan berpuasa hendaknya jangan diartikan sebagai tindakan sia- sia, melainkan sebagai upaya untuk memusatkan hati kepada Tuhan, dalam hal ini, untuk menyatukan mati raga kita dengan penderitaan Kristus, agar kita dapat mengambil bagian di dalam kebangkitan-Nya.

Maka penebusan Kristus bukan untuk diartikan bahwa itu sudah otomatis membawa kita ke surga tanpa perlu kerjasama kita lagi. Sebaliknya kita harus turut mengambil bagian di dalamnya. St. Agustinus pernah mengajarkan demikian, “God who created you without you, cannot save you without you” (Tuhan yang menciptakan kamu tanpa kamu, tidak dapat menyelamatkan kamu tanpa kamu. Artinya, agar kita dapat selamat, kita harus turut berjuang mengalahkan dosa dan kecenderungan untuk berbuat dosa, dan bukannya malah sebaliknya, tetap berbuat dosa saja, karena dosa kita sudah ditanggung oleh Kristus. Prinsip ini malah bertentangan dengan Kitab Suci (lih. Rom 6:1-2); dan bahkan bertentangan dengan ayat sebelumnya yang mengajarkan agar kita harus menjaga perbuatan kita, sebab kita kelak akan dihakimi sesuai dengan perbuatan kita: “Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.” (1 Pet 1:17).

2. 1 Pet 2:24

Menurut penjelasan The Navarre Bible, Catholic Epistles, adalah sebagai berikut:

“Penderitaan Kristus yang menggenapi nubuat kitab Nabi Yesaya (lih. Yes 52:13- 53:12) tidaklah sia- sia, sebab penderitaan itu mempunyai nilai- nilai penebusan. Kristus telah memikul dosa- dosa kita dan membawanya ke kayu salib, dengan mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban penebus dosa. Dengan demikian kita dibebaskan dari dosa, (“mati terhadap dosa”) dan dapat hidup dalam kebenaran, yaitu dapat hidup kudus dengan bantuan rahmat Tuhan.”

Dengan mengimani Kristus, kita telah ditebus oleh Kristus, sehingga kita dimampukan oleh-Nya untuk menolak dosa; namun demikian kita sendiri harus terus berjuang agar tidak jatuh lagi ke dalam dosa ataupun kembali hidup seperti manusia yang lama. Jadi iman yang menyelamatkan itu adalah iman yang hidup yang disertai dengan perbuatan kasih yang mencerminkan pertobatan sejati.

Untuk pengertian Sola Fide yang benar, yang diajarkan oleh Paus Benediktus XVI, silakan klik di sini.

3. Apakah matiraga merupakan cara hidup yang sia- sia?

Tergantung motivasinya. Sebab jika motivasinya bukan kasih, melainkan misalnya untuk mencari kebanggaan diri ataupun pujian dari orang lain, maka ya, dapat dikatakan matiraga itu tidak mempunyai nilai yang berguna untuk keselamatan kekal. Namun jika matiraga didorong oleh motivasi kasih kepada Tuhan dan sesama, di mana kita mempersatukan matiraga kita dengan kurban Kristus, sebagai tanda pertobatan kita ataupun untuk mendoakan orang lain agar beroleh keselamatan kekal; maka perbuatan matiraga ini dapat disebut sebagai perbuatan kasih sebagai bukti iman. Perbuatan ini merupakan penggenapan ayat, “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” (Kol 1:24). Sesungguhnya hal inilah yang dilakukan oleh para Santa/o yang bermatiraga dan berpuasa; yaitu mereka mendoakan banyak orang agar mereka dapat sampai kepada pertobatan dan pengenalan akan Allah; sehingga semakin banyak orang dapat diselamatkan.

Selanjutnya tentang Mengapa Kita Berpantang dan Berpuasa, silakan klik di sini.

Maka jika puasa atau matiraga dianggap dapat ‘membeli’ keselamatan; itu adalah keliru. Sebab tanpa iman, segala perbuatan ini tidak ada artinya bagi keselamatan. Yang terjadi adalah dengan mengimani Kristus, kita memperoleh rahmat keselamatan, dan matiraga hanya merupakan partisipasi kita yang sangat sederhana dalam kurban Kristus yang telah membuka jalan bagi kita kepada keselamatan kekal. Jika Luther mempunyai pengalaman yang berbeda dengan para kudus, saya tidak dapat memberikan komentar, namun yang jelas, ada banyak orang kudus yang dapat menghayati kehidupan monastik dengan sungguh dan mereka bertumbuh dalam kerendahan hati dan kekudusan dengan melaksanakan matiraga dan kehidupan doa kontemplatif. St. Antonius Pertapa, St. Bernardus, St. Teresa dari Avila, St. Yohanes Salib, St. Theresia dari Liseux, St. Fransiskus Asisi, St. Thomas Aquinas, St. Padre Pio, St. Maria Faustina, hanya sebagian kecil saja di antaranya. Pengalaman Luther tidak dapat membatalkan kenyataan yang sudah terjadi selama sepanjang sejarah Gereja, yang dialami oleh orang- orang kudus ini.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Mengapa Tuhan hendak membunuh Musa dan apakah tanda di tangan dan di dahi?

3

Pertanyaan:

Dear katolisitas, ibu Ingrid dan pak Stef,

Ini adalah pertanyaan saya dari kitab Keluaran:
1. Pasal 4: 24 : tetapi di tengah jalan, di suatu tempat bermalam, TUHAN bertemu dengan Musa dan berikhtiar untuk membunuhnya..
Pertanyaan saya:mengapa Tuhan berikhtiar membunuh Musa?
2. Apa yang dimaksud dengan pengantin darah pada pasal 4 ayat 25-26
3. Pasal 13 ayat 9a: hal itu harus menjadi tanda pada tanganmu dan menjadi peringatan di dahimu, dan ayat 16a: hal itu harus menjadi tanda pada tanganmu dan menjadi lambang di dahimu. Pada Wahyu pasal 13 ayat 16 : dan ia menyebabkan, sehingga kepada semua orang, kecil atau besar, kaya atau miskin, merdeka atau hamba, diberi tanda pada tangan kanannya atau pada dahinya… Tuhan memakai tangan dan dahi sebagai peringatan bahwa Tuhanlah yang membawa Israel keluar dari Mesir tetapi antikris memakai lambang juga di dahi dan tangan….
Yang jadi pertanyaan saya mengapa di tangan dan di dahi? dan apa maksudnya..

Terimakasih Ibu..kiranya Ibu mau menjawabnya…(saya baru menjadi penganut Katolik,Bu)

Salam – Fidelis

Jawaban:

Shalom Fidelis,

Terima kasih atas pertanyaannya tentang beberapa ayat. Berikut ini adalah jawaban yang dapat saya berikan.

1. Keluaran 4:24-26

Kel 4:24, yang menuliskan “Tetapi di tengah jalan, di suatu tempat bermalam, TUHAN bertemu dengan Musa dan berikhtiar untuk membunuhnya.” Kalau kita membaca konteks dari Keluaran 4, maka kita dapat melihat bahwa dari ayat 1-17, Tuhan memilih Musa secara khusus untuk memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Dan kemudian Musa beserta dengan istrinya, Zipora dan anaknya pergi ke Mesir. Namun, di tengah jalan, dikatakan bahwa Tuhan ingin membunuhnya. Dalam hal ini, kita harus melihat bahwa “membunuhnya” dapat diartikan bahwa mungkin Musa terkena satu penyakit, satu kejadian yang buruk, yang dapat saja mencabut nyawanya. Kalau di ayat-ayat sebelumnya, Tuhan meminta Musa untuk memimpin bangsa Israel, sekarang Musa harus membuktikan bahwa diri-Nya dapat memimpin keluarganya terlebih dahulu, membuktikan bahwa dia sendiri juga menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuhan.

Musa telah lalai untuk menyunat anaknya, di mana sunat merupakan tanda perjanjian dengan Tuhan dan hal ini dikatakan di kitab Kejadian sebagai berikut “Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat” (Gen 17:10) Dan hukuman bagi yang tidak menjalankan perjanjian ini adalah: “Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang /ebangsanya: ia telah mengingkari perjanjian-Ku.” (Kej 17:14) Dalam konteks inilah, maka Musa yang bertanggung jawab agar anaknya mengikuti perjanjian Tuhan, namun ternyata tidak menjalankannya, akhirnya menerima akibatnya. Menyadari akan hal ini, maka istri Musa menyunat anaknya dan menyentuhkan kulit khatan anaknya kepada kaki Musa, sebagai tanda bahwa sunat sebagai tanda perjanjian dengan Tuhan telah dilaksanakan, sehingga dia berharap bahwa Musa dapat dilepaskan dari hukuman Tuhan. Dan Zipora mengatakan bahwa Musa adalah pengantin darah baginya , yaitu karena dia telah menyelamatkan Musa sehingga Musa tetap hidup menjadi suaminya dengan cara meneteskan darah dari anaknya yang disunat.

Dari perikop ini, kita dapat melihat bahwa untuk menjadi pemimpin, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah memimpin diri sendiri dan keluarganya. Ini juga sesuai dengan kriteria yang diberikan oleh rasul Paulus kepada Timotius dalam memilih tetua. dikatakan “Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?” (1Tim 3:5).

2. Keluaran 13:9, Kel 13:16 dan Wahyu 13:16

Mari kita melihat Keluaran 13:9 dan Kel 13:16.

Hal itu bagimu harus menjadi tanda pada tanganmu dan menjadi peringatan di dahimu, supaya hukum TUHAN ada di bibirmu; sebab dengan tangan yang kuat TUHAN telah membawa engkau keluar dari Mesir.” (Kel 13:9)

Hal itu harus menjadi tanda pada tanganmu dan menjadi lambang di dahimu, sebab dengan kekuatan tangan-Nya TUHAN membawa kita keluar dari Mesir.” (Kel 13:16)

Dan ia menyebabkan, sehingga kepada semua orang, kecil atau besar, kaya atau miskin, merdeka atau hamba, diberi tanda pada tangan kanannya atau pada dahinya,” (Why 13:16)

Memang kalau kita melihat, Kel 13:9 dan Kel 13:16 menyatakan bahwa orang Israel harus mengingat tanda yang diberikan oleh Tuhan dan dikenakan pada tangan dan dahi. Mereka memasukkan beberapa ayat ke dalam tefillin atau phylacteries, yaitu semacam kotak dengan ayat-ayat di dalamnya dan dikenakan pada tangan dan dahi, yang masih dilakukan sampai saat ini. Tanda di tangan dan di dahi menjadi tanda peringatan Tuhan yang membebaskan bangsa Israel, sehingga mereka dapat menceritakan perbuatan tangan Tuhan yang ajaib dari satu generasi ke generasi yang lain. Hal ini dituliskan dalam kitab Ulangan sebagai berikut “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (Ul 6:7; bdk Ul 11:19) Salah satu ayat yang harus dicantumkan adalah Ulangan 6:4-9, yang menuliskan “4 Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! 5 Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (ay.4-5) Oleh karena itu, mungkin saja tangan dan dahi melambangkan peringatan dan tanda untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan jiwa (dilambangkan dengan dahi di kepala) dan dengan segenap kekuatan (dilambangkan dengan tangan). Dan kasih kepada Tuhan inilah yang mewarnai pengajaran yang harus mereka sampaikan kepada anak-anak mereka.

Kitab Wahyu menceritakan bahwa anti Kristus juga mempunyai tanda pada tangan kanan dan dahi. (lih. Why 13:16). Dikatakan bahwa anti Kristus ini menyesatkan banyak orang, sehingga banyak orang akan tersesat, baik dengan kemauan mereka sendiri atau karena paksaan. Tanda di tangan dan dahi merupakan satu tanda bahwa mereka telah menyerahkan diri seutuhnya pada kekuasaan anti Kristus. Kalau sebelumnya tanda di dalam Kitab Keluaran menjadi tanda kekuasaan Tuhan kepada umat-Nya dan penyerahan umat-Nya kepada Tuhan yang telah membebaskan mereka, maka di kitab Wahyu tanda di tangan dan di dahi menjadi tanda perbudakan oleh anti Kristus. Jadi, anti Kristus memang dapat saja menggunakan tanda yang sama – termasuk tanda di tangan dan dahi serta mukjizat untuk menyesatkan banyak orang. Semoga jawaban ini dapat membantu.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org

Dengarlah Seruan dari Familiaris Consortio yang Telah Berumur 30 Tahun

19

Seandainya dunia mendengarkan seruan Familiaris Consortio …

Ibarat kapal yang diterjang badai di lautan, dunia saat ini diguncang badai kemerosotan nilai-nilai moral. Bahaya ini juga mengancam keluarga-keluarga, termasuk keluarga-keluarga Katolik. Sebenarnya 30 tahun yang lalu, Gereja Katolik, melalui Anjuran Apostolik – Familiaris Consortio (tentang Peranan keluarga Kristiani dalam dunia modern), telah memberikan arahan agar keluarga-keluarga Katolik dapat bertahan terhadap ancaman kemerosotan moral, dengan menjadikannya sarana untuk menguduskan para anggotanya. Dengan demikian keluarga dapat bertahan terhadap badai kehidupan dunia ini,  yang cenderung merendahkan tujuan perkawinan dan keluarga. Namun, sayangnya seruan Familiaris Consortio kurang terdengar atau kurang didengarkan, sehingga banyak pasangan suami istri yang memasuki hidup perkawinan tanpa memahami makna perkawinan yang sesungguhnya. Inilah sebabnya ada banyak perkawinan Katolik yang gagal, atau kandas di tengah jalan. Sudah saatnya kita mendengarkan seruan Familiaris Consortio, sehingga keluarga dapat dibangun di atas dasar yang kuat, yaitu atas dasar cinta kasih seturut kehendak Tuhan.

Manusia diciptakan untuk cinta

Kita mungkin sudah terbiasa mendengar lirik lagu- lagu roman anak muda yang mengatakan, “Manusia diciptakan untuk cinta.” Tetapi menjadi luar biasa ketika kita mendengar pernyataan yang serupa, diajarkan oleh seorang Paus. Tahu apa Paus tentang cinta, wong dia sendiri tidak menikah?, demikian mungkin ada orang bertanya- tanya. Tetapi jika kita sudah membaca ajarannya dalam Familiaris Consortio, yang sebentar lagi kita peringati 30 tahun sejak diterbitkannya, maka kita akan tertunduk kagum dan mengakui kedalaman maksud pengajaran Bapa Paus itu. Sebab cinta yang dimaksudkannya di sini bukan cinta picisan yang sifatnya sementara, ataupun cinta roman yang dapat berubah- ubah sesuai perasaan hati. Cinta di sini maksudnya adalah cinta sejati, seperti yang dicontohkan oleh Allah sendiri, melalui Yesus Kristus Putera-Nya kepada kita manusia. Setiap dari kita dipanggil Allah untuk mengikuti teladan cinta Kristus itu, yaitu: memberikan diri kita kepada Tuhan dan sesama. Dan bentuk pemberian diri antara seorang pria dan seorang wanita itulah yang nyata terjadi di dalam perkawinan Kristiani. Hanya dengan hidup dalam cinta sejati seperti yang direncanakan Allah itulah, suami istri dapat mencapai kebahagiaan sejati yang mereka cita- citakan dalam hidup perkawinan mereka. Wow, betapa indahnya! Mungkin sudah saatnya kita menyimak pengajaran Bapa Paus ini, seperti anak- anak mendengarkan pengajaran dari sang ayah, tentang bagaimana sebenarnya agar kita dapat hidup berbahagia dalam cinta sejati seperti yang dikehendaki Allah…

Mengapa rencana Allah tentang perkawinan dan keluarga harus diwartakan?

Perkawinan dan keluarga tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Baik perkawinan maupun keluarga yang dibentuk olehnya mengandung nilai- nilai yang sangat berharga tentang manusia itu sendiri, karena di dalamnya manusia lahir, bertumbuh dan hidup di dalam cinta kasih. Oleh sebab itu, Gereja menyampaikan makna yang sesungguhnya tentang perkawinan dan keluarga, kepada mereka yang terpanggil untuk hidup berkeluarga, agar mereka dapat memahami keindahan dan keagungan panggilan hidup untuk mencintai dan untuk menghargai rahmat kehidupan ini. ((lihat Paus Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik, Familiaris Consortio, selanjutnya disebut FC 1)). Ini adalah Kabar Gembira yang harus diwartakan oleh Gereja, sebab jika rencana Tuhan akan perkawinan dan keluarga diwartakan maka kita manusia dapat berkembang seperti rencana Allah, dan semua umat Allah dapat diperbaharui. ((lih. FC 3))

Masalahnya sekarang, dunia sedang sakit. Walaupun kita melihat adanya tanda- tanda di mana manusia menanggapi rencana keselamatan Allah, tetapi di saat yang sama kita melihat adanya banyak orang yang menolak rencana Allah dan memilih jalannya sendiri. Ini kita lihat juga di dalam kehidupan perkawinan dan keluarga. Dewasa ini, ada banyak perceraian, atau kalaupun tidak bercerai, ada banyak pasangan suami istri tidak memahami bagaimana seharusnya menghargai satu sama lain, ada kesalahpahaman tentang konsep otoritas orang tua terhadap anak, ada masalah dalam pendidikan anak- anak, ada peningkatan jumlah aborsi, sterilisasi dan secara umum, mentalitas kontraseptif meningkat. Banyak orang di negara- negara berkembang seperti di Indonesia tidak mengetahui bahwa pemakaian alat kontrasepsi tidak sesuai dengan kehendak Allah, sebab kelihatannya diijinkan atau malah dianjurkan. Program KB yang digalakkan oleh pemerintah sepertinya sampai mematikan suara hati nurani, seolah pemakaian alat kontrasepsi adalah sesuatu yang wajar- wajar saja. Dalam kondisi ini, Paus Yohanes Paulus II mengajak agar sama- sama kita mendidik suara hati kita untuk menjadi semakin terbuka akan apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh Allah dalam hal ini. ((lih. FC 8))

Apakah yang diajarkan oleh Kristus tentang perkawinan dan keluarga?

Tuhan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Kej 1:26), artinya adalah Tuhan menciptakan manusia melalui kasih, dan Ia memanggil manusia untuk kasih, ((lih. FC 11)), karena Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8). Allah sendiri hidup di dalam persekutuan kasih, yaitu persekutuan Pribadi Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Oleh rencana Allah inilah, maka pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan dan tanggungjawab untuk mengasihi dan untuk hidup di dalam persekutuan kasih. Jadi panggilan untuk mengasihi adalah panggilan yang mendasar dan tertanam dalam setiap manusia. ((lih. FC 11))

Nah, untuk mengasihi, manusia tidak hanya melibatkan jiwa saja, tetapi juga tubuh, karena manusia diciptakan tidak saja terdiri dari jiwa, tetapi tubuh juga. Ini sesungguhnya mudah dipahami, sebab dalam keseharian kita, semua ungkapan kasih selalu melibatkan tubuh untuk menyampaikannya. Bukankah kalau kita mengatakan kata, “Aku mengasihimu” melibatkan mulut? Atau kalau kita membelai, kita melibatkan tangan? Bayangkan kalau tidak ada tubuh yang terlibat, alangkah seramnya! Jadi, kasih selalu melibatkan tubuh dan jiwa, atau lebih tepatnya, tubuh turut mengambil bagian dalam kasih yang rohani. Bahkan pada saat kita berdoa dan memuji Tuhan sekalipun, kita melibatkan tubuh kita. Dengan pengertian inilah kita semakin memahami makna panggilan untuk mengasihi, baik dalam kehidupan perkawinan, maupun kehidupan selibat, sebab pemberian diri kita tidak hanya melibatkan jiwa, tetapi juga tubuh kita. Demikian juga, makna kasih tidak terbatas hanya kepada sesuatu yang bersifat biologis, tetapi keseluruhan diri manusia. Pemberian diri ini, yang dinyatakan dalam kehidupan keluarga ataupun selibat, sifatnya menyeluruh dan menyangkut komitmen seumur hidup, sebab jika tidak, namanya bukan cinta yang total. ((lih. Ibid. 11))

Cinta yang total ini secara khusus dieskpresikan dalam hal hubungan suami istri. Cinta yang semacam ini mensyaratkan hubungan antara seorang pria dan seorang wanita saja, tidak ada yang lain, sebab jika tidak, maka kasih antara keduanya menjadi tidak total, melainkan terbagi. Di sini menjadi sangat relevan untuk membandingkan perkawinan dengan persekutuan kasih antara Tuhan dan umat pilihan-Nya ((lih. FC 12)), yang digenapi secara sempurna dalam persekutuan kasih antara Tuhan Yesus dengan Gereja-Nya ((lih. FC 13)), yang bersifat total, esklusif dan tak terceraikan. Allah selalu setia kepada umat pilihan-Nya, tak peduli berapa kali umat-Nya tidak setia kepada-Nya. Demikian pula Kristus terhadap Gereja-Nya. Kristus hanya mempunyai satu Mempelai, yaitu Gereja yang didirikan-Nya, dan kepada Gereja-Nya inilah Yesus menyerahkan nyawa-Nya untuk menguduskannya. Hai para suami, pandanglah salib Kristus dan temukanlah makna panggilan anda yang sesungguhnya: yaitu mengasihi istrimu sampai kepada tahap menyerahkan dirimu seutuhnya kepadanya. Sudahkah demikian? Atau juga para istri, sudahkah tunduk kepada suamimu di dalam Tuhan, sama seperti Gereja tunduk terhadap Kristus? Sebab jika Kristus yang menjadi fokus perhatian pasangan suami istri, maka berkuranglah kemungkinan keduanya saling menuntut, saling menyalahkan dan menyakiti, ataupun mau menangnya sendiri. Sebaliknya suami istri dapat lebih saling memahami dan menghormati satu sama lain, sebab mereka menyadari bahwa Tuhan Yesus hadir di dalam diri pasangan mereka. Mereka mempunyai motivasi yang kuat untuk mengasihi,  demi Kristus yang telah terlebih dahulu menyerahkan diri bagi mereka di kayu salib.

Hubungan suami istri: sakral di mata Tuhan

Mungkin ada banyak pasangan menyangka bahwa Tuhan tak punya kepentingan apapun di tempat tidur, sehingga kurang lebih inilah yang ada di benak mereka, “Tuhan pimpinlah aku di manapun aku berada, kecuali di tempat tidurku, sebab itu adalah urusanku sendiri….” Tetapi ternyata, justru Tuhan mempunyai perhatian di dalam setiap jengkal kehidupan pasangan suami istri, dan ya, termasuk di tempat tidur. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa hubungan seksual suami istri bahkan merupakan puncak hubungan kasih di mana pasangan suami istri mengambil bagian dalam kasih Kristus yang menyerahkan Diri-Nya bagi Gereja-Nya di kayu salib. Sebab melalui pemberian diri Kristus itu, Gereja dibawa ke dalam persatuan yang tak terpisahkan dengan-Nya: keduanya menjadi satu daging, dan menjadi satu Roh. ((lih. FC 13)) Maka persatuan suami istri merupakan persatuan yang tidak sekedar persekutuan jasmani, tetapi juga perasaan dan kehendak, sehati dan sejiwa. Kesatuan semacam ini menuntut kasih yang total, tak terceraikan, setia, saling memberikan diri, dan terbuka terhadap kelahiran. ((lih. Paus Paulus VI, surat ensiklik Humanae Vitae, 9))

Maka pasangan suami istri yang telah dibaptis merupakan tanda yang tetap tentang pengorbanan Kristus di kayu salib. Karena itu, perkawinan suami istri adalah sakramen, artinya suami menjadi tanda kehadiran Kristus bagi istrinya, demikian pula istri kepada suaminya. Kalau dalam pembaptisan, kehadiran Kristus ditandai dengan air, dan pada Krisma,  tandanya adalah minyak suci; maka di dalam sakramen Perkawinan, tanda kehadiran Kristus adalah pasangan suami istri itu sendiri. Sekarang pertanyaannya adalah: sudahkah hal ini diterapkan oleh pasangan suami istri, terutama jika salah satu di antaranya sedang sakit, bersedih, lelah, atau marah? Apakah dalam kondisi itu pasangan akan membawa ketenangan, dan karenanya menghadirkan Kristus, ataukah sebaliknya?

Di dalam perkawinan Kristiani, suami istri tidak saja dipanggil untuk menjadi saksi iman bagi pasangannya, tetapi juga bagi anak- anaknya, tentang karya keselamatan Kristus sebab mereka mengambil bagian di dalamnya. Untuk maksud inilah maka Allah sendiri memberikan rahmat-Nya kepada pasangan suami istri dalam sakramen perkawinan, agar mereka memperoleh kekuatan yang dari Tuhan sendiri untuk mengambil bagian dalam rencana keselamatan Allah. Paus mengajarkan bahwa sakramen perkawinan memberi rahmat  dalam tiga hal: yaitu rahmat untuk mengenang karya Allah yang terbesar yang dinyatakan dengan pengorbanan Kristus, rahmat untuk mewujudkan kasih kepada pasangan dan anak- anak, dan rahmat untuk memberi kesaksian tentang pengharapan akan persekutuan sempurna dengan Kristus di surga kelak. ((lih. FC 13))

Rahmat sakramen ini menguduskan hubungan suami istri, dan menjadikannya sungguh bermakna. Penghormatan akan dalamnya makna hubungan suami istri akan membuat kita semakin memahami makna selibat bagi Kerajaan Allah. Sebab kalau yang dikorbankan adalah sesuatu yang tidak berharga, maka tidak adalah artinya pengorbanan itu. Tetapi jika yang dikorbankan adalah sesuatu yang sangat berharga, demi panggilan mewartakan Kerajaan Allah dengan lebih total, maka besarlah makna pengorbanan yang dilakukan oleh para imam, bruder dan suster. Mereka menggambarkan realita Kerajaan Allah di Surga di kehidupan kita di dunia ini, karena manusia memberikan diri-Nya sepenuhnya kepada Allah. ((lih. FC 16))

Anak adalah berkat

Menurut rencana Allah, selain untuk kebahagiaan suami istri, perkawinan ditujukan untuk perkembangbiakan manusia dan pendidikan anak- anak di mana mereka menemukan mahkotanya ((lih. Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes 50, FC 14)). Dalam kasih suami istri itulah pengenalan suami istri mencapai puncaknya sehingga mereka menjadi satu daging, dan layak menerima karunia yang terbesar, yaitu turut ambil bagian dalam karya penciptaan Allah, dengan memberikan kehidupan kepada seseorang manusia yang baru. Dengan kelahiran anak, maka pasangan suami istri dipanggil untuk menjadi orang tua bagi anaknya, dan untuk menjadi tanda yang kelihatan akan kasih Allah bagi anak- anak mereka. ((lih. FC 14)) Namun demikian, jika pasangan tidak dikaruniai anak, tidak berarti bahwa hubungan suami istri menjadi kehilangan makna, sebab kondisi tersebut dapat menjadi kesempatan untuk melayani kehidupan sesama, seperti melalui adopsi, kegiatan- kegiatan gerejawi, pelayanan bagi keluarga- keluarga lain ataupun kepada kaum miskin. ((Ibid.))

Makna dan peran Keluarga

Rencana Allah tidak saja menyingkapkan makna keluarga tetapi juga perannya, yaitu apa yang harus dilakukannya. Untuk mengatahui hal ini, kita melihat kembali ke masa Penciptaan, di mana manusia diciptakan karena kasih Allah, di dalam kasih Allah dan di dalam keserupaan dengan Allah. Oleh karena itu, keluarga adalah persekutuan kasih dan persekutuan kehidupan, yang tugasnya adalah menjaga, menyatakan dan menyampaikan kasih –baik kepada sesama anggota keluarga maupun kepada masyarakat sekitarnya– dan dengan demikian menjadi gambaran akan kasih Allah kepada umat manusia dan kasih Kristus kepada Gereja-Nya. ((lih. FC 17))

Berpijak pada makna ini maka Sinoda para Uskup pada tanggal 25-26 Oktober 1980 menyebutkan ada empat tugas keluarga secara umum, yaitu: membentuk persekutuan , melayani kehidupan, mengambil bagian dalam perkembangan masyarakat, dan mengambil bagian dalam kehidupan dan misi Gereja.

Keluarga sebagai persekutuan yang tak terceraikan

Keluarga adalah persekutuan orang- orang atas dasar cinta kasih. Tanpa cinta, keluarga tidak dapat hidup dan berkembang. Berikut ini adalah pernyataan tentang cinta dari Paus Yohanes Paulus II yang ditulisnya dalam surat ensikliknya yang pertama:

“Manusia tak dapat hidup tanpa cinta. Ia tetap menjadi sosok yang tidak dapat dipahami oleh dirinya sendiri, dan hidupnya tidak berarti, jika cinta tidak dinyatakan kepadanya, jika ia tidak mengenal cinta, jika ia tidak mengalaminya dan menjadikannya sebagai miliknya, jika ia tidak mengambil bagian di dalamnya.” ((Yohanes Paulus II, surat ensiklik Redemptor Hominis, 10))

Nah, dalam keluarga, cinta yang dimaksud adalah cinta antara suami dan istri, dan cinta antara setiap anggota keluarga, antara orang tua dan anak, antara kakak dan adik, dan cinta inilah yang menjadi jiwa bagi persekutuan itu. Cinta antara suami dan istri yang mengawali terbentuknya keluarga ini adalah cinta yang tak terpisahkan, sebab mereka dipanggil untuk “menjadi satu tubuh”. Artinya adalah, suami istri saling memberikan diri secara total, dan persatuan ini harus semakin diperkaya tiap- tiap hari. Persatuan yang dimaksud tidak saja bersifat badani, tetapi juga dalam hal karakter, hati, pikiran, kehendak dan jiwa. ((lih. FC 19)) Artinya, suami istri dapat saling melengkapi, saling menginginkan hal- hal yang menyenangkan hati pasangannya; tidak mempunyai ‘hobby‘ berselisih paham, melainkan selalu berusaha memahami kehendak pasangan.  Alangkah indahnya jika setiap pasangan suami istri dapat mencapai kesatuan yang saling melengkapi sedemikian rupa!

Tuhan menghendaki agar kesatuan antara suami dan istri ini tidak terceraikan, karena perkawinan merupakan tanda kesetiaan Allah kepada manusia dan kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya. Atau dengan kata lain: menjadi tanda kesetiaan cinta Allah kepada setiap orang. ((lih. FC 20)) Menjadi saksi akan kesetiaan perkawinan yang tak terceraikan ini adalah salah satu tugas pasangan Kristiani yang paling genting saat ini, di saat dunia dikaburkan oleh banyak pandangan yang menurunkan derajat perkawinan, seolah hanya pelampiasan keinginan jasmani semata. Jika pasangan suami istri dan anak- anak hidup dalam kasih yang total, maka keluarga menjadi gambaran nyata sebuah Gereja, sehingga tepatlah jika keluarga itu disebut sebagai Gereja kecil atau ecclesia domestica. ((lih. FC 49)) Sebab dengan menerapkan kasih seperti teladan Kristus, keluarga turut mengambil bagian di dalam hidup dan misi Gereja dalam membangun Kerajaan Allah.

Untuk membangun ikatan persekutuan dalam keluarga, para orang tua mengambil bagian dalam otoritas Tuhan dalam hal mendidik anak- anak, sedangkan anak- anak mempersembahkan ketaatan kepada orang tua, atas dasar kasih. ((lih. FC 21)) Sedangkan untuk mempertahankan persekutuan keluarga diperlukan pengorbanan dari setiap anggota keluarga. Pengorbanan ini maksudnya adalah kesiapsediaan untuk saling memahami, saling menanggung beban, dan saling memafkan. Di dalam keluargalah anak- anak pertama kali belajar untuk meminta maaf dan memberi maaf, agar kedua hal itu tidak menjadi sesuatu yang sangat “mahal dan sulit” untuk dilakukan ketika mereka menjadi dewasa. Bukankah salah satu pemicu perpisahan suami dan istri dalam keluarga adalah karena mereka sulit untuk memaafkan satu sama lain?

Maka benarlah bahwa ada banyak kebajikan yang harus diajarkan kepada anak- anak sejak dini, agar menjadi karakter bagi mereka. Untuk meneruskan nilai- nilai kebajikan yang baik kepada anak- anak memang diperlukan komitmen kedua orang tua, baik bapak sebagai kepala keluarga maupun ibu. Kondisi kedua orang tua yang terpaksa bekerja untuk mencari nafkah tidak meniadakan tugas keduanya untuk memperhatikan dan mendidik anak- anak. Tugas mendidik anak- anak ini bukan sesuatu yang sepele, sehingga bisa dialihkan kepada orang lain, sebab orang tua tetaplah adalah pendidik yang utama dalam keluarga. ((lih. Katekismus Gereja Katolik 1653, FC 36 ))

Seorang bapak mempunyai tugas sebagai suami dan ayah dalam keluarga, artinya ia harus melindungi istri dan anak- anaknya, sejak mulainya terbentuk janin di dalam kandungan istrinya, memperhatikan dan berkomitmen untuk mendidik anak- anak, bekerja mencari nafkah tanpa harus menyebabkan terbaginya perhatian ataupun berkurangnya cinta kepada keluarga. Adalah juga tugas seorang ayah untuk memberikan teladan hidup yang mengajarkan anak- anak tentang pengalaman yang hidup akan Kristus dan Gereja-Nya ((lih. FC 25)). Demikian pula ibu, sangatlah dianjurkan, jika tidak terpaksa karena keadaan ekonomi, agar tidak bekerja di luar rumah, karena dalam perkembangannya anak- anak membutuhkan pendampingan seorang ibu, yang tidak hanya mengurus hal antar jemput sekolah, tetapi lebih dari itu,  membentuk karakter anak sesuai dengan iman Kristiani. Relevan disebutkan di sini adalah bahwa perhatian dan cinta kasih secara istimewa layak diberikan kepada anggota keluarga yang paling lemah, yaitu anak sejak dalam kandungan ibu, anak yang terkecil, yang sakit ataupun cacat ((lih. FC 26)) dan orang tua (oma/ opa) yang hidup dalam keluarga tersebut ((lih. FC 27)).

Keluarga yang melayani kehidupan artinya: terbuka terhadap penyaluran kehidupan

Sebenarnya, peran keluarga untuk melayani kehidupan berakar dari penciptaan manusia menurut gambaran dan rupa Allah, sehingga “Allah memanggil mereka untuk turut serta di dalam kuasa dan kasih-Nya sebagai Pencipta dan Bapa, melalui kerjasama yang bebas dan bertanggung jawab dalam meneruskan karunia kehidupan manusia: Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu…” ((Kej 1:28, lih. FC 28)). Dengan demikian tugas yang mendasar dari sebuah keluarga adalah untuk melayani kehidupan. ((lih. FC 28)) Oleh karena itu, kesuburan merupakan buah dan tanda kasih suami istri, yang menjadi kesaksian hidup bahwa suami dan istri telah saling memberikan diri secara penuh. Dengan cara pemberian diri yang total dan yang menghasilkan ‘buah’ inilah, pasangan suami istri bekerjasama dengan Allah dalam karya penciptaan-Nya untuk meluaskan keluarga-Nya. Namun kerjasama ini tidak hanya berhenti dengan melahirkan saja, tetapi juga mendidik anak- anak baik secara moral maupun spiritual, sehingga nantinya anak- anak juga dapat meneruskannya kepada dunia sekitar mereka.

Justru karena kasih suami istri itu mengambil bagian dalam misteri kehidupan dan kasih Allah, maka Gereja mempunyai tugas untuk melindungi martabat perkawinan dan tanggungjawabnya yang besar untuk meneruskan kehidupan ((lih. FC 29)). Gereja selalu menjunjung tinggi kehidupan manusia, walaupun lemah dan menderita, sebab dalam keadaan sedemikian sekalipun, kehidupan tetaplah merupakan karunia Allah. Maka Gereja mengecam segala bentuk pelanggaran terhadap martabat manusia, yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan pasangan untuk memutuskan perihal jumlah anak mereka. Akibatnya, “Kekerasan apapun seperti kontrasepsi, sterilisasi, dan aborsi harus sepenuhnya dikecam, dan dengan keras ditolak,” ((FC 30)) demikian Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, menegaskan kembali apa yang pernah disampaikan oleh Paus Paulus VI dalam Humanae Vitae 14.

Di tengah dunia yang cenderung merendahkan makna seksualitas manusia, Gereja Katolik terpanggil untuk menegaskan bahwa seksualitas adalah sebuah nilai dan tugas dari tiap- tiap orang secara keseluruhan; baik sebagai laki- laki ataupun perempuan, sebab keduanya diciptakan sesuai dengan gambaran Allah. ((lih. FC 32)) Untuk itu, kasih suami istri tidak terpisahkan dari penerusan kehidupan yang dilakukan secara bertanggungjawab. Namun prosedurnya tidak hanya tergantung dari maksud yang tulus ataupun dari penilaian pribadi atas maksud- maksud lainnya, melainkan harus kembali kepada ‘apa sebenarnya yang direncanakan oleh Allah sejak semula’. Dalam hal ini, Gereja menegaskan bahwa hubungan seksual suami istri pada dasarnya mempunyai dua makna yang tak terpisahkan, yaitu pertama, makna yang menyatukan (unitive) dan kedua, yang menghasilkan penyaluran kehidupan/ kesuburan (procreative). ((lih. HV 12, FC 32))  Pemisahan dari kedua makna ini, seperti pada penggunaan alat- alat kontrasepsi, akan merendahkan seksualitas manusia, dan juga diri suami istri sendiri, dengan mengubah makna ‘pemberian diri yang total/ sepenuhnya’; karena faktanya yang diberikan bukanlah diri yang sepenuhnya. Sepertinya ini mau mengatakan, “Aku memberikan diriku, tetapi tidak kesuburanku.” Pada penggunaan alat- alat kontrasepsi, pasangan menerima makna yang pertama (unitive) tetapi menolak makna yang kedua (procreative) dari hubungan suami istri; dan dengan demikian melakukan ‘manipulasi’ hubungan suami istri sehingga tidak sesuai dengan makna aslinya seperti yang direncanakan Allah sejak awal mula. Jika hal ini terus dilakukan, sesungguhnya pasangan suami istri mengambil resiko yang sangat besar yang dapat mengakibatkan keharmonisan hubungan mereka sendiri. Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya Humanae Vitae pernah ‘bernubuat’, bahwa jika kedua tujuan hubungan suami istri dipisahkan dengan penggunaan alat kontrasepsi, maka akan terjadi “naiknya angka perceraian dan ketidaksetiaan dalam perkawinan, serta pemerosotan moral, karena pasangan tidak terlatih untuk mengendalikan diri. Sebab dengan mental kontraseptif, pada akhirnya suami akan kehilangan respek terhadap istrinya, dan tidak lagi peduli dengan kesehatan fisik dan mental istri. Suami dapat cenderung menjadikan istri sebagai objek untuk pemuasan diri daripada menghormatinya sebagai pasangan yang terkasih.” ((Paus Paulus VI, Surat ensiklik, Humanae Vitae 17)). Betapa nubuat ini sekarang telah terpenuhi, setelah satu generasi telah berlalu dari saat dikeluarkannya surat ensiklik tersebut.

Ceritanya berbeda, jika yang dilakukan adalah perencanaan keluarga secara alamiah (KBA), karena dengan melakukan cara ini, pasangan tetap menghormati kesatuan makna unitive dan procreative dalam hubungan suami istri. Pelaksanaan KBA yang didasari atas pengamatan siklus kesuburan istri, mendorong suami dan istri untuk berdialog dan bersama- sama menerapkan tanggung jawab dan pengendalian diri. ((lih. FC 32)) Kerjasama suami dan istri dalam hal ini menempatkan keduanya pada tingkat martabat yang sama. Suami menerima dan menghormati keseluruhan pribadi istri sebagai subyek, bukan sebagai obyek pemuasan keinginan semata. Dengan demikian, seksualitas dipahami dalam artinya yang agung, sebab maksud utama pengadaannya dipertahankan, yaitu untuk mempersatukan suami dan istri, dan untuk mengambil bagian dalam misteri kehidupan dan kasih Allah yang dapat membuahkan kehidupan yang baru.

Gereja tidak menutup mata terhadap banyaknya tantangan ataupun kesulitan untuk menerapkan perencanaan KBA ini, oleh karena itu Gereja mendorong semua pihak untuk turut menyelesaikan masalah ini, tetapi tanpa mengkompromikan kebenaran. Sebab Gereja meyakini bahwa tidak ada pertentangan antara hal ‘meneruskan kehidupan’ (procreation) dengan menumbuhkan cinta sejati yang ‘mempersatukan suami istri’ (union). ((lih. FC 33)) Untuk melaksanakan hal ini, pasangan perlu menerapkan ketelatenan, kesabaran, kerendahan hati, kekuatan, dan kepercayaan penuh kepada Tuhan dengan mengandalkan rahmat-Nya, yang dapat diterima melalui doa- doa dan sakramen, terutama sakramen Ekaristi dan sakramen Tobat. ((Ibid. 33)) Sebab bukannya tidak mungkin, karena ketidaktahuan ataupun karena kegagalan, pasangan menerapkan perencanaan jumlah anak dengan cara yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja. Jika demikian, mereka perlu memohon pengampunan dan belas kasihan Allah dalam sakramen Tobat, agar selanjutnya mereka menerima rahmat untuk dapat melaksanakan kehendak Tuhan.

Maka, pasangan perlu mengetahui cara yang akurat untuk mengamati siklus kesuburan istri ((salah satunya adalah Metoda Creighton, yang dapat diperoleh informasinya di link https://katolisitas.org/2009/12/31/metoda-creighton-kb-alamiah-yang-cukup-akurat/ )) dan selanjutnya menerapkan pengendalian diri untuk menindaklanjuti siklus tersebut. Artinya suami istri berpantang hubungan seksual secara berkala yaitu pada masa subur istri, jika yang diinginkan adalah pembatasan jumlah anak. Walaupun nampaknya sulit, namun hal ini dapat dilakukan, dan bahkan fakta menunjukkan bahwa KBA berdampak positif bagi hubungan suami dan istri. Dengan KBA, hubungan suami istri dimurnikan dan dipererat, dan karenanya menyampaikan makna yang lebih tinggi dari pemahaman dunia. Di Amerika diadakan survey untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penggunaan metoda KBA dengan tingkat perceraian, dan hasilnya menunjukkan bahwa tingkat perceraian berkisar antara 42-50 % pada pasangan yang menggunakan kontrasepsi, sedangkan pada pasangan yang melaksanakan KBA, tingkat perceraian berkisar jauh di bawahnya, antara 0.2% -5% ((menurut artikel yang ditulis oleh Steve Pokorny, Feb 09, 2011, Natural Family Planning, di link http://catholiclane.com/natural-family-planning-a-gift-from-god/)). Fakta ini tidaklah mengherankan, karena pelaksanaan KBA  melibatkan kasih yang menyeluruh dan saling menghormati antara suami dan istri, sehingga tidak ada kecenderungan untuk menjadikan salah satu pihak sebagai obyek semata. KBA menjadi cara yang baik untuk melatih suami istri untuk tidak semata memikirkan diri sendiri, saling menghormati, dan secara mendalam menerapkan tanggung jawab dalam hubungan suami istri.

Tuhan menginginkan agar kita sebagai pasangan suami istri bertumbuh di dalam kekudusan, yang artinya membuat kemajuan dalam kehidupan moral. Artinya suami istri dipanggil untuk semakin mencerminkan kasih Kristus. Kristus telah memberikan teladan-Nya bahwa mengasihi tidak terlepas dari pengorbanan, maka kitapun perlu belajar menjadikan pengorbanan sebagai jalan menuju kebahagiaan kita, seperti Kristus yang mencapai kebangkitan-Nya lewat sengsara dan salib-Nya. ((FC 34))

Keluarga yang mendidik anak- anak

Karena orang tua sudah diikutsertakan Tuhan dalam proses penciptaan anak- anak mereka, maka selanjutnya orang tua juga mempunyai tugas untuk mendidik mereka. Maka orang tua menjadi “pendidik pertama dan utama bagi anak- anak mereka” (KGK 1653, lih. FC 36), dan peran ini tidak dapat digantikan dan tidak dapat sepenuhnya didelegasikan kepada orang lain. ((lih. FC 36)) Orang tua bertugas menciptakan suasana rumah tangga yang penuh kasih dan menghormati Tuhan dan orang lain, dan keluargalah yang menjadi sekolah pertama bagi anak- anak  untuk mengajarkan bagaimana caranya hidup menjadi orang yang baik. ((Ibid.)) Dasar utama seluruh kegiatan pendidikan di dalam keluarga adalah cinta kasih orang tua, dan tujuannya adalah agar anak bisa lebih ‘pandai’ mengasihi.

Pertanyaannya sekarang, anak- anak perlu dididik apa supaya lebih pandai mengasihi? Paus Yohanes Paulus II menyebutkan bahwa orang tua harus mengajarkan kepada anak- anak tentang nilai- nilai dasar kehidupan manusia. Pertama adalah agar anak- anak menghargai setiap orang bukan dari apa yang ia miliki, melainkan untuk menghargai orang itu sebagai pribadi. Anak- anak juga perlu diajari tentang nilai- nilai keadilan dan kasih. Dalam hal ini anak- anak harus dapat belajar dari orang tuanya bagaimana memberi dengan suka cita. Di Dalam keluarga harus dipupuk keinginan untuk rela berkorban demi kebahagiaan orang lain, sebab pemberian yang tulus sedemikian bahkan akan melipatgandakan sukacita dan kebahagiaan bersama. Maka hidup saling berbagi dalam persekutuan harus menjadi kebiasaan sehari- hari dalam keluarga. ((lih. FC 37))

Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa pendidikan ini tidak terbatas pada mengajarkan anak- anak untuk menjadi orang yang baik, tetapi di atas semua itu, agar anak- anak memperoleh pengetahuan tentang keselamatan kekal, supaya mereka menjadi semakin sadar akan karunia iman yang mereka miliki. Anak- anak juga perlu belajar bagaimana menyembah Allah dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:23), di dalam upacara liturgi. ((lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis, 2)). Orang tua perlu menjelaskan makna sakramen- sakramen terutama Ekaristi/ Misa Kudus, agar anak- anak memiliki kerinduan untuk mengambil bagian di dalamnya. Ini hanya mungkin jika orang tua memahami terlebih dahulu akan makna Misa Kudus. Sebab laksana gelas yang baru bisa menumpahkan isinya, jika gelas itu berisi; demikian pula orang tua harus mempunyai penghayatan akan Misa Kudus terlebih dahulu, sebelum ia dapat membagikan penghayatan itu kepada anak- anaknya.

Maka dalam mendidik anak- anak, orang tua adalah pewarta Injil yang pertama kepada anak- anaknya, pertama- tama melalui teladan hidup, melalui doa bersama sebagai satu keluarga, dengan pembacaan sabda Tuhan, dan dengan memperkenalkan anak- anak kepada Gereja. ((FC 39)) Dalam hal ini orang tua tidak bekerja sendirian, namun dibantu juga oleh pihak sekolah, ataupun juga kelompok Bina Iman di paroki. Namun keberadaan sekolah dan Bina Iman ini tidak menggantikan peran orang tua dalam mengajarkan tentang iman kepada anak- anak mereka.

Hal yang tak kalah penting diajarkan kepada anak- anak adalah hal pendidikan seksualitas, walaupun ini harus disampaikan dengan hati- hati sesuai dengan umur mereka, dan dengan bekerja sama dengan para pendidik di sekolah. Maksudnya adalah agar anak- anak dapat memperoleh pengajaran yang benar tentang seksualitas, agar tidak menerima begitu saja pandangan publik yang umumnya menilai seks sebagai hal yang biasa, tidak sakral, karena hanya berkaitan dengan tubuh saja. Orang tua harus dengan berani mengajarkan makna seksualitas sesungguhnya, bahwa seksualitas berkaitan dengan keseluruhan pribadi seseorang yang terdiri dari tubuh, perasaan dan jiwa. Dalam hal ini, pendidikan tentang kemurnian adalah keharusan. Orang tua harus mengajarkan kepada anak- anaknya pentingnya menjaga kemurnian tubuh, agar mereka dapat berkembang dalam kedewasaan yang sesungguhnya dan mempunyai penghargaan terhadap makna yang mendalam tentang hubungan suami istri. ((Ibid.))

Akhirnya, keluarga juga dipanggil untuk menjadi penyalur kehidupan buat keluarga- keluarga yang lain, artinya, untuk juga berbagi berkat kepada sesama. Keluarga yang mampu mungkin dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi anak- anak dari keluarga yang tidak mampu, ((lih. FC 40)) menjadi bapak dan ibu asuh, baik bagi anak- anak yatim piatu, anak- anak cacat, tetapi juga bagi para calon imam. Pendeknya keluarga yang dipenuhi semangat kasih Allah itu sifatnya menyalurkan kasih itu ke luar batas- batas ikatan keluarganya sendiri, untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Inilah salah satu buah Roh Kudus yang dihasilkan oleh hubungan kasih di dalam keluarga yang memancarkan kehidupan.

Keluarga mengambil bagian di dalam perkembangan masyarakat

Tak bisa dipungkiri bahwa “keluarga merupakan sel pertama dan terpenting dalam masyarakat.” ((Konsili Vatikan II, tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem, 11)) Oleh karena itu, keluarga merupakan tempat asal dan sarana untuk mewujudkan masyarakat yang semakin manusiawi, yang di dalamnya nilai- nilai kebajikan dipelihara, dilaksanakan dan diteruskan ke generasi berikutnya ((lih. Konsili Vatikan II, tentang Gereja di Dunia Modern, Gaudium et Spes, 52)). Oleh karena itu, pembinaan keluarga menjadi penting, sebab keluarga yang baik menghasilkan masyarakat yang baik, demikian pula sebaliknya. Dalam konteks keluarga sebagai persekutuan kasih yang rela berbagi inilah Paus menghimbau agar keluarga mempunyai perhatian kepada keluarga- keluarga yang lain, terutama yang miskin dan yang membutuhkan pertolongan. ((lih. FC 44, 47))

Hidup di lingkungan yang tak pernah jauh dari sesama yang membutuhkan, kita selalu mempunyai banyak kesempatan untuk berbagi, sesuai dengan tema APP di tahun 2011 ini. Kesempatan berbagi itu dapat dimulai di rumah kita sendiri, mulai dari kerabat kita yang membutuhkan pertolongan, namun juga termasuk pembantu rumah tangga kita, sopir, satpam, tukang parkir, dan seterusnya, sehingga uluran tangan kita dapat mereka salurkan kepada keluarga mereka juga. Bapa Paus juga mengundang kita agar menganggap mereka “bukan sebagai orang luar, tetapi sebagai sesama anggota keluarga Allah”. ((lih. FC 41)) Dengan berbagi kepada sesama atas dasar kasih ini, kita melaksanakan misi kita sebagai murid- murid Kristus, yaitu dengan menggunakan harta milik kita untuk meluaskan Kerajaan Allah. Dan dengan semangat kesatuan sebagai satu keluarga Allah ini, kita menjadi saksi yang hidup bagi Kerajaan-Nya.

Keluarga mengambil bagian dalam Kehidupan Menggereja

Sebagaimana keluarga adalah sel masyarakat yang terpenting, demikian pula keluarga merupakan Gereja kecil atau “ecclesia domestica” yang menjadi gambaran hidup tentang misteri Gereja. ((lih. FC 49)) Gerejalah yang melahirkan keluarga- keluarga Kristiani, yang menyalurkan kepada mereka rahmat Allah yang menyelamatkan melalui sakramen- sakramennya. Gereja mendorong dan membimbing keluarga untuk menghayati panggilannya untuk hidup dalam kasih, agar dapat meneladani kasih pengorbanan Kristus yang diberikan kepada manusia. ((Ibid.)) Karena keluarga adalah bagian dari Gereja, maka keluarga juga mengambil bagian dalam misi Gereja untuk menyampaikan kasih Kristus kepada umat manusia.

Sesuai dengan tugas kita setelah dibaptis untuk mengambil bagian dalam misi Yesus Kristus sebagai Nabi, Imam dan Raja ((lih. KGK 783-786; lih. Paus Yohanes Paulus II, surat ensiklik Christifideles Laici, 14)), maka setiap keluarga Kristiani dipanggil Allah untuk turut mengambil bagian di dalam ketiga misi ini; yaitu sebagai komunitas umat yang percaya dan mewarta, sebagai komunitas yang berdialog dengan Tuhan, dan sebagai komunitas yang melayani sesama ((lih. FC 50)).

Keluarga sebagai komunitas umat yang percaya dan mewarta

Keluarga mengambil bagian dalam misi kenabian dengan mewartakan sabda Tuhan, dan karena itu menjadi komunitas yang semakin percaya dan semakin merasul, dengan menjadikan Injil sebagai gaya hidup di dalamnya. Hanya dengan ketaatan iman, dan dalam terang iman, maka keluarga dapat  mamahami dan mengagumi dengan rasa syukur yang mendalam, tentang martabat perkawinan dan keluarga yang begitu luhur, karena Allah berkenan menjadikannya sebagai gambaran akan tanda perjanjian antara Allah dan manusia, antara Kristus dengan Gereja-Nya. ((lih. FC 51))

Maka proses persiapan perkawinan harusnya mengarah ke sana, yaitu mempersiapkan pasangan menerima panggilan hidup mereka untuk melayani Kerajaan Allah dalam status mereka sebagai suami istri. Tuhan yang memanggil mereka untuk memasuki perkawinan adalah Allah yang terus memanggil mereka untuk tetap setia di dalam perkawinan, dan dengan demikian pasangan suami istri mengambil bagian dalam kasih Kristus kepada Gereja-Nya. ((Ibid.)) Jika pasangan ini telah menerima Injil dan hidup di dalamnya, maka keluarga tersebut akan menjadi komunitas yang mewartakan Injil, di mana pesan- pesal Injil diteruskan dan memancar ke luar. ((lih. FC 52)) Keluarga menjadi saksi hidup tentang perjanjian kekal antara Kristus dengan Gereja-Nya yang dipenuhi sukacita kasih dan pengharapan. Dengan demikian, keluarga Kristiani mewartakan dengan lantang tentang Kerajaan Allah di masa sekarang dan pengharapan akan kehidupan yang terberkati di masa yang akan datang.

Oleh karena itu, peran orang tua dalam mewartakan Injil kepada anak- anak mereka menjadi tidak tergantikan. Hal ini disampaikan dengan kasih, kesederhanaan, kepraktisan dan teladan hidup sehari- hari. ((lih. Paus Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik, Catechesi Tradendae, 68, FC 53)) Orang tua harus membantu anak- anak untuk menemukan panggilan hidup mereka, dengan menanamkan nilai- nilai luhur untuk melayani sesama saudara dengan kasih, melakukan tugas keseharian dengan kesetiaan, dan menyadari tentang keikutsertaan mereka dalam misteri pengorbanan Kristus. Hal ini tidak hanya dilakukan ketika anak- anak masih kecil tetapi terlebih di usia remaja, saat jiwa anak- anak mulai berontak atau kadang bahkan sampai menolak iman Kristiani yang telah mereka terima semasa kecil. Menghadapi hal ini, orang tua harus tetap teguh dan tenang, sambil menimba kekuatan dari persekutuan yang erat dengan sesama keluarga di paroki yang juga mengalami pengalaman serupa. ((lih. FC 53))

Misi pewartaan juga dapat dijalankan di dalam keluarga itu sendiri, terutama jika ada salah satu anggota keluarga yang belum mengenal Kristus, atau anggota keluarga yang tidak konsisten dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang Katolik. Dalam hal ini anggota yang Katolik harus memberikan teladan iman yang hidup kepada mereka agar mereka terdorong untuk sepenuhnya menerima Kristus sebagai Penyelamat mereka ((FC 54)), dan hidup sesuai ajaran-Nya. Selanjutnya, tak kalah pentingnya adalah, keluarga harus memupuk panggilan misionaris untuk mewartakan Injil di antara anak-anaknya, “dengan mengajarkan kepada mereka sejak usia dini tentang kasih Allah kepada semua orang.” ((Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Kerasulan Awam, Apostolica Actuositatem, 30))

Keluarga Kristiani sebagai Komunitas yang berdialog dengan Tuhan

“Pernyataan Injil dan penerimaannya di dalam iman mencapai puncaknya di dalam perayaan sakramen- sakramen.” ((FC 55)) Bermula dari sakramen perkawinan, keluarga Kristiani terus menerima rahmat dari Tuhan sendiri; dan dipanggil untuk melakukan dialog dengan Allah melalui sakramen-sakramen, melalui persembahan hidup masing- masing anggotanya, dan melalui doa- doa. Dengan cara inilah keluarga menjalankan tugas/ misi imamat bersama yang diterima saat Pembaptisan. Dengan rahmat Tuhan yang telah mereka terima, keluarga dipanggil untuk hidup kudus dan menguduskan komunitas gerejawi dan dunia sekitar mereka. ((Ibid.)), dan dengan demikian mengambil bagian dalam misi Kristus sebagai Imam yang menguduskan umat manusia. Sumber awal bagi pengudusan perkawinan Kristiani adalah sakramen perkawinan. ((lih. FC 56)) Dalam sakramen perkawinan, pasangan suami istri mengambil bagian dalam misteri Wafat dan Kebangkitan Kristus, di mana kasih suami istri dimurnikan dan dijadikan kudus oleh Allah: yaitu dengan saling menampakkan kasih setia dan pemberian diri yang tulus, sebagaimana Kristus telah mengasihi Gereja-Nya dengan setia dan menyerahkan Diri-Nya baginya. Oleh rahmat sakramen perkawinan, suami istri menerima karunia dan tanggungjawab untuk menerjemahkan kekudusan di dalam kehidupan sehari- hari, namun juga untuk mengubah kehidupan mereka menjadi “kurban rohani” bagi Tuhan ((Ibid.)) Bukankah itu pengorbanan, jika pasangan suami istri menaati kehendak Allah dengan melaksanakan KBA? Bukankah itu pengorbanan jika orang tua, walaupun mempunyai banyak kesibukan lainnya, tetapi tetap berkomitmen menyediakan waktu untuk berdoa bersama anak- anak, dan membacakan kisah- kisah Kitab Suci kepada mereka setiap malam menjelang tidur? Bukankah itu pengorbanan jika keluarga mendampingi juga keluarga lain yang sedang menghadapi masalah? Semua pengorbanan ini adalah cara yang dipakai Allah untuk menguduskan keluarga.

Maka peran keluarga untuk saling menguduskan mempunyai akarnya dari Pembaptisan, dan mencapai puncaknya dalam perayaan Ekaristi. Mengapa? Sebab perayaan Ekaristi menghadirkan kembali perjanjian antara Kristus dengan Gereja-Nya, yang dimeteraikan dengan darah-Nya. ((lih. Yoh 19:34; FC 57)) Di dalam kurban Kristus ini pasangan suami istri memperoleh rahmat dari sumbernya, dari mana perjanjian perkawinan mereka berasal, didirikan, dan terus menerus diperbaharui. Ekaristi memberikan kepada keluarga, karunia cinta kasih yang menjadi dasar dan jiwa bagi persekutuan keluarga dan misi yang diembannya. Di samping Ekaristi, Sakramen Tobat juga mengambil peran yang penting bagi pengudusan keluarga. ((lih. FC 58)) Adalah suatu permenungan bagi setiap keluarga, sejauh mana mereka telah melaksanakan hal- hal ini? Adakah orang tua setia mengajak anak- anak untuk mengikuti perayaan Ekaristi, sedikitnya setiap hari Minggu? Adakah orang tua mengadakan waktu untuk membantu anak- anak memeriksa batin mereka sebelum mengaku dosa dalam Sakramen Tobat? Atau jangan- jangan hal ini tidak dilakukan karena kedua orang tua bahkan tidak pernah, atau jarang sekali mengaku dosa?

Di atas semua itu, doa bersama sebagai satu keluarga merupakan sesuatu yang sangat penting, sebab dengan melaksakannya, firman Allah dalam Mat 18:19-20 tergenapi atas mereka, “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” Tak heran, Bunda Teresa mengajarkan, “Keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersama.” ((Mother Teresa’s Address to the United Nations, October 26, 1985: “For family that prays together stays together”)). Di dalam doa, keluarga bersatu hati dalam suka maupun duka, pengharapan maupun kekecewaan, kelahiran, ulang tahun, ulang tahun perkawinan, perpisahan, kedatangan kembali, ujian sekolah dan seterusnya. Berbagai kesempatan tersebut merupakan saat- saat untuk mengucapkan syukur, memohon dan memasrahkan semua anggota keluarga kepada Tuhan. Orang tua mempunyai peran yang sangat penting untuk mengajarkan anak- anak berdoa. Sudahkah ini dilakukan oleh para ibu dan ayah? Paus Paulus VI pernah mengatakan, “Para ibu, apakah engkau mengajarkan anak- anak doa- doa Kristiani? Apakah engkau bersama dengan para imam, mempersiapkan anak- anak untuk … sakramen- sakramen Pengakuan dosa, Komuni, dan Penguatan? Apakah ketika mereka sakit engkau mendorong mereka untuk merenungkan penderitaan Kristus, untuk memohon pertolongan dari Bunda Maria dan para orang kudus? Apakah keluarga berdoa rosario bersama? Dan engkau, para bapa, apakah engkau berdoa bersama dengan anak- anakmu…? Teladan kejujuranmu dalam pikiran dan perbuatan, yang disertai dengan doa bersama, adalah pelajaran kehidupan, dan sebuah tindakan penyembahan yang bernilai tunggal. Dengan cara ini engkau membawa damai ke rumahmu… Ingatlah bahwa dengan cara ini kamu membangun Gereja.” ((Paus Paulus VI, Audiensi Umum, 11 Agustus 1976, seperti dikutip dalam FC  60))

Maksud dari doa bersama ini adalah untuk mempersiapkan anak terhadap doa- doa liturgis Gereja, terutama dalam perayaan Ekaristi. Keluarga dapat merayakan juga perayaan- perayaan liturgis di rumah, tak terbatas kepada Natal, Paskah, tetapi juga hari peringatan lainnya, seperti Pesta Keluarga Kudus, Kerahiman Ilahi, Pentakosta, dan seterusnya, sesuai dengan cara yang sesuai dengan kehendak bersama para anggota keluarga. Selain dari doa pagi dan malam, keluarga juga dianjurkan untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci, mempersiapkan perayaan sakramen terutama Ekaristi [misalnya Sabtu malam keluarga telah membaca dan merenungkan bersama, bacaan Injil untuk Misa hari Minggu esoknya], mendoakan devosi dan penyerahan kepada Hati Kudus Yesus, bermacam devosi kepada Bunda Maria, terutama doa rosario, mengucapkan doa sebelum dan sesudah makan, dan pelaksanaan doa- doa devosi lainnya. Tentang doa rosario, Paus Yohanes Paulus II mengacu kepada himbauan Paus Paulus VI, “Kami menghendaki, sebagai kelanjutan pemikiran para pendahulu kami, untuk dengan teguh merekomendasikan didoakannya rosario keluarga… Tidak usah diragukan lagi bahwa… rosario harus dianggap sebagai salah satu doa bersama yang sangat ampuh, dan keluarga diundang untuk mendoakannya….” ((Paus Paulus VI, Apostolic Exhortation Marialis Cultus, 52,54, FC 61))

Mengapa peran doa begitu penting? Karena doa merupakan sebuah bagian yang mendasar dalam kehidupan Kristiani, “ekspresi pertama kebenaran yang terdalam dari manusia” ((Paus Yohanes Paulus II, Khotbah di Mentorella Shrine, 29 Oktober 1978: Insegnamenti di Giovanni Paolo II, I (1978), 78-79)), bahwa manusia membutuhkan Tuhan. Doa merupakan modal yang terkuat bagi keluarga untuk melaksanakan tugas mereka. Jadi keterlibatan nyata sebuah keluarga Kristiani dalam kehidupan dan misi Gereja, berbanding lurus dengan kesetiaan dan intensitas doa yang didoakan oleh keluarga, yang melaluinya keluarga disatukan dengan Sang Pokok Anggur yaitu Kristus Tuhan. ((lih. FC 62))

Keluarga sebagai komunitas yang melayani sesama

Selanjutnya, selain dipanggil untuk mewartakan iman (tugas kenabian), dan untuk menyatakan iman lewat sakramen- sakramen (tugas imamat bersama), keluarga juga dipanggil untuk melayani sesama secara nyata dengan melaksanakan hukum kasih (tugas sebagai raja yang melayani). Dengan melayani sesama, keluarga turut mengambil bagian dalam misi Kristus sebagai Raja yang telah lebih dahulu melayani kita. Kristus menghendaki agar kita memiliki semangat penyangkalan diri dan hidup kudus untuk mengalahkan kuasa dosa di dalam diri kita. Selanjutnya, dengan melayani Kristus yang hadir dalam sesama itulah, keluarga dapat dengan rendah hati menghantarkan saudara dan saudarinya kepada Kristus. ((lih. FC 63)) Sebab kasih tidaklah mengenal batas, setiap orang adalah saudara dan saudari kita yang diciptakan menurut gambaran Allah. Terutama di dalam mereka yang lemah dan miskinlah kita melihat wajah Kristus, dan merekalah orang- orang yang harus kita kasihi dan layani, ((lih. FC 64)) sebab dengan demikian kita melayani Kristus. Pertanyaannya sekarang, siapakah orang- orang yang lemah, menderita dan miskin di sekitar keluarga kita? Sebab disitulah sebenarnya Kristus hadir dan menantikan uluran kasih kita.

Gereja mendampingi keluarga dalam perjalanan hidupnya

Melihat pentingnya peran keluarga, maka sangat pentinglah peran Gereja untuk senantiasa mendukung dan mendampinginya. Para generasi muda jaman sekarang ini, sungguh perlu memperoleh pendampingan agar mereka dapat memahami makna perkawinan Kristiani. Pendampingan Gereja dimulai dari masa persiapan untuk perkawinan, dan ini terbagi atas tiga tahap ((lih. FC 66)). Tahap pertama adalah tahap jauh yang dimulai sejah masa kanak- kanak. Katekese pada anak- anak harus menyampaikan kepada mereka bahwa panggilan hidup berkeluarga adalah panggilan dan misi yang sejati, tanpa mengecualikan kemungkinan untuk memberikan diri seutuhnya kepada Tuhan sebagai imam ataupun panggilan religius lainnya. Tahap kedua adalah tahap antara, yang adalah tahap persiapan penerimaan sakramen- sakramen, agar sakramen dapat diterima dengan sikap batin yang baik; dan juga persiapan untuk tugas kerasulan awam, keterlibatan dalam komunitas ataupun persekutuan yang diperuntukkan bagi kebaikan keluarga- keluarga. Tahap selanjutnya adalah tahap Persiapan Perkawinan, yang diadakan beberapa bulan sebelum perkawinan itu sendiri, yang umum dikenal dengan KPP (Kursus Persiapan Perkawinan). Di sini patut diusahakan oleh pihak Gereja setempat untuk memberikan pembekalan kepada calon pasangan suami istri tentang hal- hal seputar perkawinan Katolik, seperti ajaran Gereja, pendidikan anak, KBA, dst, yang relevan bagi mereka. ((Ibid.))

Setelah ketiga tahapan ini dilalui, maka tibalah saatnya mengadakan pemberkatan perkawinan, yang dilakukan di dalam liturgi, yang tak hanya harus sah tetapi juga berbuah. Dengan demikian diperlukan penyelidikan kanonik sebelumnya untuk menjamin tidak adanya halangan perkawinan, halangan dalam hal konsensus, maupun dalam forma kanonika. Perayaan liturgis perkawinan harus mencakup di dalamnya proklamasi Sabda Allah dan pernyataan iman dari umat, ((lih. FC 67)) dan pernyataan yang paling sempurna tentang makna sakramen Perkawinan adalah di dalam perayaan Ekaristi. Perayaan pemberkatan perkawinan ini mensyaratkan juga sikap moral, sikap batin dan iman dari pasangan yang akan menikah. Maka jika salah satu dari pasangan suami istri itu bukan Katolik, maka pihak pastor wajib memberitahukan syarat- syarat perkawinan Katolik. Jika pasangan tersebut menolak syarat- syarat tersebut secara eksplisit dan secara formal, maka pastor tidak dapat meresmikan perayaan perkawinan tersebut. Jika ini yang terjadi, bukan Gereja yang menghalangi perayaan tersebut, melainkan pihak pasangan itu sendiri. ((lih. FC 68)) Jelaslah, diperlukan evangelisasi dan katekese yang baik, sebelum dan sesudah perkawinan agar pasangan dapat diberkati perkawinannya secara sah, tetapi juga dapat membuahkan kebaikan bagi kehidupan perkawinan mereka sesudahnya.

Setelah perkawinan diberkati, komitmen seluruh komunitas Gereja lokal turut mengemban tugas membimbing pasangan yang baru menikah ini. Bimbingan ini sangat diperlukan oleh para pasangan muda yang menemukan tanggungjawab baru dan bahkan mungkin kesulitan- kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru sebagai suami istri, atau dengan kelahiran anak- anak. Dalam hal ini, keluarga- keluarga dalam paroki dapat saling membantu dalam suatu karya kerasulan keluarga. Saling membantu di antara keluarga yang satu dengan yang lain merupakan cara termudah dan paling efektif untuk meneruskan nilai- nilai Kristiani. Keluarga- keluarga dapat saling membangun, karena keluarga tidak terbatas hanya menerima, tetapi juga mempraktekkannya, dan keluarga yang mengarahkannya diperkaya dengan kesaksian hidup keluarga yang melakukannya ini. Dalam pendampingan pastoral keluarga muda, Gereja perlu memberikan perhatian khusus untuk membantu mereka hidup dalam kasih perkawinan yang bertanggung jawab terutama dalam melayani kehidupan, agar mereka dapat menerima dan mengasihi anak- anak mereka sebagai berkat dari Tuhan dan menerima dengan suka cita tugas melayani anak- anak dalam pertumbuhannya, baik secara jasmani maupun rohani. ((lih. FC 69))

Pembimbingan ini dapat dilakukan oleh para imam dan para religius lainnya, namun juga terutama oleh sesama keluarga, karena dengan diangkatnya perkawinan menjadi sakramen oleh Allah, Ia juga memberikan misi kepada keluarga untuk merasul kepada keluarga- keluarga lainnya. Karya kerasulan ini disampaikan melalui kesaksian hidup mereka menaati hukum ilahi, melalui pendidikan iman anak- anak mereka, melalui pendidikan tentang kemurnian, tentang melindungi anak-anak dari pengaruh buruk dalam hal moral dan keyakinan, melalui penggabungan mereka dalam komunitas gerejawi dan sipil, membantu mereka menemukan panggilan hidupnya, dan seterusnya. ((lih. FC 71)) Maka perlu di sini ditumbuhkembangkan perkumpulan keluarga di dalam Gereja yang tugasnya mendorong umat untuk melaksanakan tugas cinta kasih, yang membuat keluarga- keluarga menjadi terang dan ragi bagi keluarga- keluarga lainnya. ((lih. FC 72)) Namun demikian, untuk kebaikan bersama, keluarga- keluarga Kristiani juga perlu terlibat dalam perkumpulan- perkumpulan di luar gereja yang tujuannya untuk membangun masyarakat dalam kebersamaan dan solidaritas.

Di atas semua itu, para uskup adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pembinaan pastoral keluarga- keluarga di keuskupannya. ((lih. FC 73)) Tanggung jawab ini tidak terbatas pada tanggung jawab moral dan liturgis, tetapi juga secara personal, untuk membantu keluarga yang sedang dalam aneka kesulitan dan penderitaan, agar mereka dapat melihat kehidupan di dalam terang Kristus. Demikian juga para imam dan diakon, yang mendampingi keluarga- keluarga seperti layaknya seorang bapa. Oleh karena itu pengajaran dan saran mereka harus sesuai dengan pengajaran Magisterium yang asli, supaya dapat membantu keluarga- keluarga untuk memperoleh iman yang benar, dan menerapkannya di dalam kehidupan nyata. Kesetiaan kepada pengajaran Magisterium ini akan membantu para imam untuk menghindari memberi saran yang mengacaukan suara hati umatnya. ((Ibid.)) Hal ini menjadi penting, karena sering kita mendengar bahwa umat menjadi bingung perihal boleh atau tidaknya penggunaan alat kontrasepsi, justru karena diberi pengarahan oleh imam agar mengikuti suara hati, atau yang lebih parahnya, imam memperbolehkannya. Padahal jelas di sini tugas imam adalah membentuk suara hati umat, agar dapat menerima pengajaran Magisterium Gereja, dan bukan dengan memberikan kompromi sesuai pemahamannya sendiri. Dalam hal pengaturan kelahiran, pengajaran Magisterium jelas tertuang dalam Humanae Vitae, yang dengan tegas melarang penggunaan segala jenis alat kontrasepsi untuk alasan apapun ((lih. Paus Paulus VI, Humanae Vitae, 14: “Oleh karena itu, Kami mendasarkan perkataan Kami atas prinsip- prinsip pertama dari kemanusiaan dan ajaran Kristiani tentang perkawinan ketika Kami diharuskan sekali lagi untuk menyatakan bahwa pemutusan secara langsung dari proses pembuahan/ generatif yang sudah dimulai, dan di atas semua itu semua tindakan aborsi, bahkan untuk alasan- alasan terapi, sama sekali tidak termasuk sebagai cara- cara yang dapat dibenarkan untuk pengaturan jumlah anak- anak. Demikian juga untuk ditolak, seperti telah ditegaskan berkali- kali oleh Magisterium Gereja, adalah sterilisasi langsung, baik di pihak laki- laki maupun perempuan, baik bersifat permanen/ tetap selamanya atau sementara.
Juga tidak termasuk adalah segala perbuatan, baik sebelum, pada saat, ataupun sesudah hubungan seksual, yang secara khusus dimaksudkan untuk mencegah kelahiran/prokreasi, apakah sebagai tujuan ataukah sebagai cara.
Juga tidak perlu dipertanyakan, sebagai pembenaran bagi hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif, bahwa kejahatan yang lebih kecil adalah untuk dipilih jika dibandingkan dengan kejahatan yang lebih besar, atau bahwa suatu hubungan seksual adalah untuk digabungkan dengan tindakan prokreasi dari kejadian lampau ataupun yang akan datang sebagai satu kesatuan, dan untuk dinilai memenuhi syarat dengan kebaikan moral seperti ini. Walaupun benar, bahwa seringkali dibenarkan untuk mentolerir kejahatan moral yang lebih kecil untuk menghindari kejahatan yang lebih besar ataupun untuk mendorong kebaikan yang lebih besar, adalah tidak pernah dibenarkan, bahkan untuk alasan- alasan yang besar, untuk melakukan kejahatan agar kebaikan dapat dihasilkan darinya- dengan perkataan lain, untuk melakukan sesuatu secara langsung dengan sengaja, yang dengan sendirinya secara kodrati bertentangan dengan hukum moral, dan karena itu harus dinilai sebagai sesuatu yang tidak layak bagi manusia, meskipun maksudnya adalah untuk melindungi ataupun memajukan kesejahteraan individu, keluarga ataupun masyarakat secara umum. Akibatnya, adalah sebuah kesalahan serius untuk menganggap bahwa sebuah kehidupan berkeluarga yang tidak menjalani hubungan- hubungan normal dapat membenarkan hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif dan karena itu salah secara mendasar, lihat juga FC 30.)), karena prinsipnya alat kontrasepsi menolak tujuan penyaluran kehidupan melalui hubungan suami istri. Paus Pius XI dalam Casti Connubii, juga telah mengajarkan hal yang serupa: “Tindakan apapun dari perkawinan, yang dilakukan sebagai suatu tindakan yang disengaja menelantarkan kodrat dari kekuatan untuk memberikan kehidupan, adalah bertentangan dengan hukum Tuhan dan hukum kodrat, dan kepada yang melakukan perbuatan tersebut dicap dengan kesalahan dosa berat.” ((Paus Pius XI, surat ensiklik Casti Connubii, 56))  Selanjutnya, Paus Pius XI juga mengingatkan kepada para uskup dan imam agar “jangan membiarkan umat beriman menjadi keliru dalam hal hukum Tuhan yang sangat besar ini; terlebih lagi menganggap diri mereka kebal [tidak tersangkut paut] dari pandangan yang salah ini [yaitu tentang kontrasepsi], apalagi bekerja sama untuk memperbolehkannya. Jika ada imam atau gembala jiwa- jiwa – yang semoga tidak ada sebab tidak diijinkan Tuhan- yang memimpin umat beriman yang dipercayakan kepada mereka ke dalam kesalahan- kesalahan ini, atau sedikitnya meneguhkan mereka dengan persetujuan atau dengan sikap diam yang patut dipersalahkan, biarlah ia mengingat kenyataan bahwa ia harus mempertanggungjawabkan tentang hal ini di hadapan Tuhan, Hakim yang Tertinggi, karena pengkhianatan atas kepercayaan yang kudus yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.” ((Paus Pius XI, surat ensiklik Casti Connubii, 57, HV 28-30)). Begitu serius sesungguhnya ajaran Magisterium Gereja Katolik tentang larangan penggunaan alat kontrasepsi ini. Dan sebenarnya, demi kebaikan perkawinan mereka, para pasangan suami istri berhak memperoleh pengetahuan tentang hal ini, dan bagaimana cara yang praktis untuk menerapkannya, dan bukannya segala hal dikembalikan kepada hati nurani di saat nurani mereka tidak dibentuk secara memadai oleh pemahaman akan ajaran Gereja yang otentik tentang hal ini.

Di samping itu, para biarawan dan biarawati dapat juga membantu dalam karya kerasulan keluarga. Kehidupan mereka menjadi saksi tentang kasih Allah yang universal. Dengan kaul kemurnian demi Kerajaan Allah, mereka mempersembahkan diri seutuhnya untuk melayani Tuhan dan karya kerasulan. Persembahan diri yang total inilah yang dapat memberikan kontribusi kepada karya kerasulan keluarga. ((lih. FC 74)) Kontribusi lainnya diperoleh dari kaum awam yang ahli di bidang yang berhubungan dengan keluarga (dokter, psikolog, pengacara, konsultan, dst) yang terlibat dalam usaha untuk mendukung, mencerahkan, memberi saran kepada karya kerasulan keluarga. ((lih. FC 75)) Selain itu, kontribusi juga diberikan oleh komunikasi sosial (mass media), jika sarana ini digunakan untuk meluaskan pengaruh yang baik bagi kehidupan keluarga dan pendidikan anak. ((lih. FC 76)) Pentinglah untuk diketahui oleh mereka semua yang berkecimpung dalam hal komunikasi massa agar menghormati nilai- nilai keluarga, agar jangan mereka menyebarluaskan segala bentuk erotisme dan kekerasan, perceraian dan tabiat generasi muda yang terpusat pada diri sendiri, yang merupakan serangan bagi keluarga dan bagi kebaikan manusia itu sendiri. ((Ibid.))

Di bagian akhir Familiaris Consortio, Paus menyebutkan tentang beberapa kondisi khusus dalam perkawinan. Contohnya, adalah keluarga para migran, yang sedapat mungkin memperoleh bimbingan para imam dari ritus, budaya dan bahasa mereka di negara perantauan tersebut. Problem lainnya adalah keluarga yang anggotanya berbeda- beda agamanya. Dalam hal ini, pihak yang Katolik harus diperkuat imannya oleh pelayanan pastoral Gereja. Pelayanan pastoral juga harus diberikan kepada kaum muda yang kadang berontak terhadap iman mereka, mereka yang menikah di usia muda, mereka yang disia- siakan pasangan hidupnya, mereka yang ditinggal mati oleh pasangannya, para kaum manula yang kesepian, dan seterusnya. Kepada mereka semua, Gereja mengarahkan agar mereka menimba kekuatan dari Salib Kristus dan kebangkitan-Nya. ((lih FC. 77)) Kondisi khusus lainnya adalah pada pasangan kawin campur, yang jumlahnya terus meningkat dewasa ini. Perhatian harus diberikan kepada kewajiban pihak Katolik untuk dapat dengan bebas melaksanakan imannya dan sedapat mungkin membaptis anak- anak dan mendidik mereka secara Katolik. ((lih. FC 78)) Melalui komunitas Gereja setempat, pihak yang Katolik ini harus dikuatkan imannya, agar sampai kepada pemahaman iman Katolik yang benar dan melaksanakannya, sehingga dapat menjadi saksi yang hidup bagi suami dan anak- anaknya.

Selanjutnya, karena Gereja Katolik sangat menghargai makna luhur perkawinan, maka Gereja tidak dapat menerima kondisi- kondisi yang mulai umum dilakukan pasangan- pasangan muda dewasa ini, yaitu perkawinan percobaan (trial marriages) yang dapat ‘bubar’ sewaktu- waktu, dan ‘kumpul kebo’- hidup bersama tanpa ikatan perkawinan (de facto free union). Gereja Katolik tidak dapat menyetujui ‘perkawinan’ model ini, pertama- tama karena mereka merendahkan makna religius perkawinan, dengan tidak menganggapnya sebagai tanda perjanjian Tuhan kepada umat-Nya. Alasan kedua, karena secara sosial itu merusak konsep keluarga, merendahkan nilai kesetiaan, memungkinkan masalah psikologis pada anak-anak, dan semakin memupuk egoisme. ((lih. FC 80,81))

Kondisi berikutnya adalah kondisi perkawinan umat Katolik yang hanya terdaftar secara sipil saja, tetapi tidak diberkati di gereja. Ini juga tidak dapat diterima oleh Gereja Katolik, sebab biar bagaimanapun kemungkinan perceraian sipil sering tetap ada dalam benak mereka yang menikah hanya di catatan sipil ((lih. FC 82)), dan ini tidak sesuai dengan pengajaran Gereja Katolik, yang mensyaratkan kesetiaan dan tak terceraikan seumur hidup.

Kondisi khusus selanjutnya adalah pasangan yang terpaksa berpisah. Perpisahan [bukan perceraian] ini sesungguhnya harus dianggap sebagai langkah terakhir, jika segala cara untuk berdamai terbukti tidak berhasil. Keadaan kesepian maupun kesulitan lainnya mungkin sekali dihadapi oleh pihak yang tidak bersalah. Dalam hal ini pelayanan pastoral harus membantu mereka untuk tetap memelihara kesetiaan, walaupun sulit, dan untuk menumbuhkan kesadaran untuk mengampuni, dan jika mungkin, untuk rujuk dengan pasangannya. Jika sampai terjadi perceraian [secara sipil], tidak diperkenankan bagi masing- masing untuk menikah lagi, namun mengkhususkan diri untuk melaksanakan tugas- tugas keluarga dan tanggung jawabnya sebagai seorang Katolik. ((lih. FC 83)) Namun adakalanya orang- orang yang mengajukan cerai sipil ini bermaksud untuk menikah lagi, walau tidak di Gereja Katolik. Dalam kondisi ini, Gereja kembali menegaskan ketentuan yang berdasarkan Kitab Suci bahwa mereka yang telah menikah secara sah, namun bercerai dan kemudian menikah lagi tidak diperkenankan untuk menerima Komuni kudus. ((lih. FC 84)) Mereka dilarang untuk menerima Komuni karena status dan kondisi hidupnya bertentangan dengan kesatuan kasih antara Kristus dengan Gereja-Nya -yang total dan setia seumur hidup- yang ditandai dengan Ekaristi. Jika mereka diperbolehkan menerima Komuni, maka umat akan dibawa kepada kebingungan tentang ajaran Gereja tentang perkawinan yang tak terceraikan. Jika sampai mereka sungguh menyesal dan bertobat dari perbuatan mereka ini, mereka dapat mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa, yang dapat membuka jalan kepada Ekaristi, asalkan mereka siap melaksanakan konsekuensinya, yaitu untuk tidak hidup sebagai suami istri dengan pasangan yang sekarang (live in perfect continence),  artinya pantang melakukan tindakan- tindakan yang layak hanya bagi suami istri. ((lih. FC 84)) Penghormatan yang tinggi akan makna perkawinan Katolik inilah yang melarang para imam untuk melakukan upacara perayaan apapun untuk mereka yang bercerai namun kemudian menikah lagi, sebab upacara itu menimbulkan kesan adanya perkawinan sah yang berikutnya, dan ini akan menimbulkan kebingungan pada umat. ((Ibid.))

Akhirnya, Gereja juga memberi perhatian kepada mereka yang hidup tanpa keluarga, terutama mereka yang miskin dan terbuang, yang hidup sendiri, dan yang tak punya tempat tinggal. Gereja harus melakukan langkah- langkah konkrit untuk menerima mereka di keuskupan dan paroki, di komunitas gerejawi dam gerakan kerasulan. Sebab, “Tidak ada seorangpun yang tidak memiliki keluarga di dunia ini: Gereja adalah sebuah tempat tinggal dan keluarga bagi setiap orang, terutama mereka yang ‘letih lesu dan berbeban berat’.” ((FC 85))

Kesimpulan: Pandanglah salib Kristus, dan timbalah kekuatan daripadanya!

Sebagai kesimpulan, Paus kemudian menekankan pentingnya pemahaman tentang makna panggilan hidup berkeluarga, karena masa depan umat manusia ditempuh melalui keluarga. Maka penting di sini agar nilai- nilai dan persyaratan sebuah keluarga  Kristiani dapat dipertahankan dan diperkuat. Di sinilah terdapat peran tiap- tiap keluarga dan Gereja. Keluarga harus kembali memahami kehendak Allah sejak awal mula pada saat membentuk keluarga, yang dinyatakan dengan sempurna melalui pengorbanan Kristus di kayu salib sebelum kebangkitan-Nya. Kita semua diundang untuk memandang salib Kristus, dan menimba kekuatan daripadanya. Sebab kita sebagai anggota Tubuh-Nya, mengambil bagian juga di dalam salib itu, sebelum kita mengambil bagian juga di dalam kemuliaan-Nya. Semua keluarga Kristiani, ya, kita semua, harus berani berkorban agar kita mencapai pemenuhan indahnya makna cinta kasih dalam keluarga dan disempurnakan di dalamnya. ((lih. FC 86))

Demikianlah sekilas tentang pengajaran Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio. Sungguh luas dan dalam pesan yang ingin disampaikan oleh Bapa Paus kepada kita semua. Namun memang intinya tidak jauh dari hukum cinta kasih, yaitu Tuhan menghendaki agar kita hidup dalam kasih, dan belajar mengasihi. Jika itu menghantar kita kepada kehidupan berkeluarga, marilah kita laksanakan sesuai dengan rencana dan kehendak Allah. Sebab hanya dengan demikianlah, kita menemukan kebahagiaan kita yang sejati, yang menghantar kita sekeluarga ke dalam kebahagiaan kekal di surga. Tidak ada kata terlambat untuk menerapkan pesan Familiaris Consortio, yang tahun ini genap berusia 30 tahun. Pesan ini, justru sangat relevan di zaman ini, di mana keluarga menghadapi tantangan dunia yang cenderung merendahkan maknanya. Mari, kita semua – baik klerus maupun awam – bahu membahu untuk membangun keluarga agar sesuai dengan rencana Allah sejak semula, yaitu menjadikannya sebagai gambaran Gereja kecil, di mana kasih Allah menjadi dasarnya dan bersinar di dalamnya.

Keluarga Kudus di Nazaret, Yesus, Bunda Maria dan St. Yusuf, doakanlah kami….

[Artikel ini pernah dimuat di Buletin Keluarga, Komisi Keluarga KWI, edisi II/ Mei- Agustus 2011]

Mengasihi Sesama (1) : Saat Sedang Tidur

9

Pernahkah kita mengamati seseorang yang sedang tidur nyenyak? Atau melihat foto Anda sendiri di kala mata Anda terpejam di dalam tidur yang lelap? Saat kita mengamati secara lebih cermat wajah seseorang saat ia tidur, apakah kesan paling kuat yang muncul di dalam hati kita? Bagi saya, perasaan paling kuat yang saya tangkap di ekspresi seseorang saat ia tidur, adalah perasaan damai. Kedamaian itu seringkali ikut menyusup di dalam hati, apalagi bila orang yang sedang tidur itu adalah orang yang kita sayangi, khususnya pasangan hidup, orangtua, atau anak-anak kita.

Ekspresi seseorang saat sedang tidur mungkin merupakan ekspresi paling alamiah dari manusia, ekspresi murni yang tidak terkontaminasi berbagai persoalan hidup yang memicu gejolak emosional kita sehari-hari. Eskpresi cerminan manusia dari hakekatnya yang utuh sejak ia diciptakan baik adanya sejak semula, tanpa terkontaminasi pengaruh-pengaruh karakter yang dibawanya dari  lahir. Misalnya orang yang berpembawaan judes, murung, atau sadis sekalipun, dalam keadaan tidur lelap, akan tetap tersirat ketenangan dan kedamaian, dua bekal yang pertama kali ia terima dari Pencipta Kehidupan ketika ia dibentuk di dalam rahim ibu yang mengandungnya.

Saya berpikir bahwa ekspresi Saul saat sedang tidur jugalah yang antara lain membuat Daud tidak membunuhnya di saat Daud menemukan orang yang selalu mengejar-ngejarnya itu, ada di depan matanya dalam keadaan tidur lelap dan tidak siaga sama sekali. Keadaan itu sempat disimpulkan Abisai sebagai bukti, bahwa musuh Daud sudah diserahkan Allah ke dalam tangan Daud untuk diakhiri hidupnya. Tetapi Daud menolak. Itu adalah untuk kedua kalinya Daud mendapat kesempatan untuk membunuh Saul, tetapi ia kembali membiarkannya hidup. Ketaatan Daud kepada Tuhan yang telah mengurapi Saul, membuat Daud tidak hendak membunuh Saul (lih. 1 Sam 26 : 7 – 11). Dan mungkin juga karena dilihatnya wajah Saul yang damai dan jauh dari kesan garang, di dalam tidurnya yang lelap. Kedamaian yang menimbulkan belas kasihan dan meredakan amarah.

Pernahkah kita memikirkan bahwa Tuhan mengasihi kita begitu indah dan sempurna, seolah-olah Ia selalu memandangi kita saat kita sedang tidur? Di mata-Nya, kita adalah anak-anak-Nya yang begitu lembut dan rapuh, selalu menghauskan damai (walau kita sendiri sering tak menyadarinya, bahkan merusak damai itu sendiri dengan ego-ego kita), dan yang membutuhkan pertolongan setiap saat. Hati-Nya luluh setiap kali Ia memandang kita. Walaupun Dia tahu dan melihat betapa banyaknya pelanggaran-pelanggaran kita, betapa sukarnya mengubah kebiasaan-kebiasaan kita yang jelek dan menyedihkan hati-Nya, atau betapa egois dan tidak perdulinya kita kepada sesama manusia. Tuhan mempunyai mata yang kekal yang dapat melihat manusia dalam keadaannya yang paling murni sejak awal ia diciptakan, keadaan damai seperti saat ia sedang tidur. Diciptakan baik sejak semula. Dan Tuhan tahu, betapapun kerasnya hati manusia akibat tempaan hidup, namun kelembutan dan kedamaian di awal kehidupan manusia di saat Tuhan pertama kali membentuknya, tidak pernah hilang, betapapun sedikitnya.

Tuhan menciptakan Hawa sebagai penolong dan teman bagi manusia pertama, Adam, ketika ia sedang tidur (lih. Kej 2 : 21). Pada saat itu, tentulah Adam pun tampak begitu damai, dan tidak berdaya, dan belas kasihan Allah begitu besar saat Ia menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam. Mungkin itu pula sebabnya mengapa wanita pada umumnya dikenal mempunyai hati yang lembut dan penuh belas kasihan, karena wanita diciptakan Tuhan dalam keadaan yang penuh cinta dan belas kasihan kepada manusia.

Bagaimana jika dalam saat-saat penuh konflik dengan sesama, kita meluangkan waktu untuk memandang sesama kita, seolah-olah kita melihat mereka dalam keadaan tidur, penuh damai dan kepasrahan? Mampukah itu menolong kita untuk memaklumi dan mengampuni orang-orang yang sikapnya begitu menjengkelkan kita, orang-orang yang berbeda pandangan dengan kita, orang-orang yang telah melukai kita, orang-orang yang cuek kepada kita?  Dapatkah itu mengingatkan kita bahwa orang-orang itu juga dicintai Allah? Menyadari bahwa pada awal mula ia diciptakan, ia begitu damai dan tak berdaya, dan bahwa proses-proses kehidupan atau perjumpaannya dengan berbagai pengalaman pahitlah yang mungkin telah menggerusnya begitu rupa, sehingga ia menjadi orang yang nampaknya begitu sulit dan menjengkelkan kita. Ya, seperti yang kita baca dalam perumpamaan tentang pengampunan, yang diajarkan sendiri oleh Yesus, yaitu jika Tuhan sudah begitu mengasihi saya, melimpahi saya dengan begitu banyak berkat kehidupan setiap saat, dan mengampuni saya setiap kali saya datang kepadaNya untuk bertobat, apakah saya masih tega untuk setiap kali menghakimi sesama saya, melupakan kebutuhan dan ketidakberdayaan mereka, atau bersikukuh tidak ingin mengampuni orang-orang yang sudah bersalah kepada saya dan mengacuhkan saya? Sementara mereka pun masih bergumul dengan berbagai masalah hidup yang kompleks, termasuk upaya-upaya pengendalian diri yang masih sering gagal, seperti juga saya?

Pasangan suami isteri yang sedang bersitegang hingga dibawa tidur, mungkin dapat mencoba meredakan amarah atau kecewa kepada pasangannya bukan dengan cara memunggunginya, tetapi justru berbaliklah padanya, tinggalkanlah sejenak segenap kemarahan dan kekecewaan. Pandanglah wajahnya dalam tidurnya. Mungkin di tengah guratan kelelahan di wajahnya, ada secercah damai yang diberikan Tuhan dalam hatinya dan yang tidak dapat diambil oleh apapun juga. Dan rasakanlah itu memenuhi hati kita juga. Tuhan sangat mengasihi dia, sebagaimana Dia mengasihi saya dan Anda. Atau ketika anak-anak kita terasa sangat menjengkelkan kita pada hari itu, tataplah wajah mereka di peraduan mereka di akhir hari, dan di wajah-wajah itu, mungkin kita akan menemukan cerminan belas kasih Allah yang melampaui segala keterbatasan kita, yang juga selalu menolong kita. Dan Dia memanggil kita untuk juga selalu memandang jiwa sesama kita dengan penuh kasih yang tulus dan belas kasihan. Sambil mengakhiri hari dengan doa mohon belas kasihan Allah, kita pun mohon agar Tuhan menyentuh hati kita dengan damai-Nya, sehingga semua beban kekesalan, kebencian, dan kegelisahan kita kepada sesama, larut dalam lautan belas kasih Allah yang sempurna.

Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihiNya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. (Kol 3 : 12 – 15)

 

Berbaliklah, cermatilah, ….lalu kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan..!

Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya! (Mazmur 34 : 8). Kiranya Tuhan menyertai kita. (triastuti)

Mengasihi Sesama (2) : Menemukan Sudut Terbaik

4

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu ( 1 Kor 13 : 4-7).


Dari semua pengajaran mengenai sikap-sikap kasih yang saya baca di Korintus 13 di atas, sikap “menutupi segala sesuatu” selalu menarik perhatian saya semenjak masa kanak-kanak, karena artinya tidak langsung jelas bagi saya, sebagaimana arti dari sikap-sikap kasih yang lainnya. Apa yang harus saya tutupi, mengapa harus saya tutupi, dan bagaimana saya menutupinya? Tetapi dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit hati saya menuntun saya untuk mengerti bagaimana saya dipanggil untuk menutupi kelemahan sesama dan tidak membeberkannya di depan orang lain, kecuali dalam kasus-kasus di mana informasi itu diperlukan. Tetapi di dalam sebagian besar peristiwa dalam hidup ini, pengetahuan mengenai keburukan orang lain seringkali tidak perlu dibeberkan di muka umum atau diberitahukan kepada pihak lain, karena memang tidak ada perlunya, walau kadang itu mengasyikkan. Ya, itulah yang dalam kehidupan sehari-hari sering disebut sebagai bergosip, memang ibarat sebuah jalan yang lebar dan mengasyikkan, namun yang tidak membawa kepada hidup. Membicarakan keburukan orang lain juga kadang dilakukan sebetulnya untuk menutupi kekurangan-kekurangan diri sendiri. Mengenai kelemahan orang lain, kalau kebetulan kita tahu, cukuplah diri kita sendiri yang mengetahuinya, dan menyimpannya rapat-rapat. Ajaran kasih dalam ayat di atas mengajak saya mengatakan apa yang perlu saja, apa yang membangun dan positif mengenai orang lain, bahkan memuji orang lain, sekalipun sesungguhnya saya juga mengetahui kelemahan, kegagalan,atau kealpaan yang dilakukan orang lain tersebut.

Kemudian, pada suatu hari, ada satu peristiwa kecil yang menguatkan saya untuk terus melangkah dalam menutupi segala sesuatu, bahkan lebih lagi, yaitu justru dengan terus menerus mengingat dan mengabadikan kebaikan dan kelebihan orang lain, serta kenangan yang baik tentang dia, termasuk orang-orang yang telah menyakiti hati saya, atau yang tidak sejalan dengan saya. Siang itu, saya sedang berada di ruang tunggu sebuah rumah sakit, hendak bertemu dengan seorang dokter untuk mengkonsultasikan hasil pemeriksaan rutin kesehatan saya. Ada sebuah foto berbingkai di dinding ruang tunggu itu, yang sangat menarik perhatian saya, karena tidak biasa. Foto itu menggambarkan suatu daerah di permukaan bumi di atas permukaan lautan luas. Sebetulnya daerah itu sangat biasa dan tidak terdapat detil apapun di situ, tetapi dalam foto itu bentuknya sangat unik, yaitu seperti suatu lidah raksasa dengan latar belakang yang kontras di belakangnya. Saya mengamati ada tanda tangan yang digoreskan di bagian kanan bawah foto itu. Dan di bawah bingkainya, saya membaca sebaris keterangan yang diketik dengan rapih, “The Tongue of The Ocean and the Bahamas” (Lidah Lautan dan Bahama).  Kalimat selanjutnya di bawah keterangan itu yang membuat saya tercenung, bunyinya demikian, “The key to this picture is getting in position to take it – Walt Cunningham – Apollo 7”. Jadi rupanya daerah itu adalah salah satu sudut kepulauan Bahama, difoto oleh salah satu awak pesawat Apollo 7, astronot Walt Cunningham. Ia memotretnya dari sebuah pesawat ruang angkasa yang sedang mengorbit ribuan kilometer di atas permukaan bumi, sehingga sudut pengambilan gambar yang dihasilkan adalah sudut yang tidak biasa, dan tentu saja, dari sebuah ketinggian yang tidak biasa pula. Hasilnya adalah sebuah “sudut pandang” atau “sudut fotografi” yang menghasilkan bentuk yang unik dari daerah yang difoto itu, yang tentu saja tidak dapat dihasilkan oleh kamera-kamera yang dioperasikan di bumi, secanggih apapun juga kameranya. Sang astronot menuliskan bahwa rahasia keindahan foto permukaan bumi yang ia hasilkan adalah menemukan posisi yang tepat untuk mengabadikannya. Ya, dengan posisi setinggi itu di atas permukaan bumi,  sudut pengambilan gambar memang jadi tidak ada duanya, mampu menghasilkan citra sebuah daerah yang sebetulnya gersang tidak ada apa-apanya itu, menjadi berbentuk unik dan menarik, yang akhirnya menjadi suatu karya seni yang pantas menghiasi ruang tunggu rumah sakit yang nyaman itu.

Seni menemukan posisi yang tepat untuk mengabadikannya. Bagaimana kalau saya ‘memotret’ sesama dari sudut terbaiknya, dan menyimpannya dalam suatu bingkai yang indah, untuk kemudian saya letakkan di dinding hati saya, menghiasinya dengan kenangan akan kasih, kelebihan, kebaikan yang tentu ada pada diri setiap orang, bahkan kadang tanpa perlu dicari-cari, dan mungkin bahkan pernah kita alami juga dalam relasi pergaulan kita dengannya. Bila sudut terbaik itu yang selalu kita kenang dan ingat, kita pandangi selalu dalam ruang hati kita, apakah akan lebih mudah bagi kita untuk menerima kekurangan orang lain, mengasihinya apa adanya sebagaimana Tuhan mengasihi dia dan saya, serta mengampuni kesalahan-kesalahannya ? Apakah ‘foto lidah lautan dari ruang angkasa’ itu, yang dihasilkan dari sudut niat baik untuk menghargai setiap yang baik dari sesama kita, mampu menolong kita untuk tetap bersabar dan mencintai di saat ia sedang melakukan hal-hal yang sangat meresahkan hati kita? Hanya hati kita masing-masing yang dapat menjawabnya, dan usaha kita yang selalu ingin mencari dan mengabadikan hal-hal yang indah dan baik dari setiap orang, yang akan menentukan keberhasilan kita . Berfokus kepada kebaikannya, mengabadikan keindahan dan keunikan sesama, dan melupakan serta mengampuni kekurangan-kekurangannya. Semoga kita terus berusaha mencari dan mengusahakan sudut terbaik itu untuk dapat mengabadikan kebaikan dan keunikan sesama di dalam hati kita.

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah; apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. (Roma 12 : 2). Semoga Tuhan menyertai kita. (triastuti)

Kesucian Hati Imam Diosesan dan Perutusannya

27

Kehidupan seorang imam

Kehidupan seorang imam di zaman ini selalu penuh tantangan, baik yang besar maupun kecil. Di manapun, kapanpun, dalam hal apapun, tantangan menghiasi setiap jalan seorang imam bagaikan berjalan menemui kerikil-kerikil tajam. Jatuh bangunnya kehidupan seorang imam itulah sebuah dinamika perjalanan menuju kesucian para imam. Suci atau kudus dalam konteks Kitab Suci Perjanjian Lama (KS PL) senantiasa diartikan “yang dikhususkan bagi Allah”. Imam yang disucikan dalam KS PL berarti orang yang terpilih dan dikhususkan bagi Allah. Maka kehidupan seorang imam dikuduskan oleh Allah dalam melayani umat-Nya. Meskipun demikian seorang imam adalah manusia biasa yang kadang pernah jatuh karena dosa. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah imam mampu bangun kembali dan meneruskan perjalanan imamatnya atau tetap di situ?

Kesucian menurut Kitab Suci

Dalam konteks Kitab Suci Perjanjian Baru dan dunia millenium saat ini, kesucian seorang imam tidaklah hanya dilihat dari sisi kerohanian karena dia adalah seorang yang dipilih Allah menjadi imam-Nya, melainkan karena seorang imam adalah manusia biasa yang setia dalam panggilannya. Maka kesucian mesti dilihat dari kemampuan dan daya tahan seorang imam dalam menjalankan kehidupan imamatnya. Ketika jatuh, seorang imam sadar dan mengakui kesalahannya dan bangkit untuk bangun kembali, berjalan tegak menapaki jalan imamat sehari-hari. Untuk itu ada beberapa hal pokok yang perlu mendapat perhatian bagi seorang imam yang berusaha hidup suci dalam panggilan imamatnya. Seorang imam adalah seorang yang dipilih oleh Allah untuk berdoa bersama dengan umat-Nya. Konsili Vatikan II dalam Dekrit Presbyterorum Ordinis, 5 menyatakan: Allah satu-satunya yang kudus menguduskan, berkenan mengikutsertakan manusia sebagai rekan serta pembantu-Nya untuk dengan rendah hati melayani karya pengudusan. Imam mengambil bagian dalam kekudusan Allah dan menyalurkan kekudusan itu kepada umat beriman. Pengudusan itu berpusat pada misteri wafat dan kebangkitan Kristus dari alam maut. Dalam pengudusan itu, imam berperan sebagai pendoa yang terus menerus melatih diri. Maka seorang imam selain berdoa pribadi wajib mendoakan Ibadat Harian atau Ofisi. Doa menjadi senjata utama dalam menghadapi kerikil dan batu besar yang menghadang perjalanan seorang imam.

Tantangan kesucian imam

Tantangan terbesar bagi seorang imam di zaman ini adalah kemampuan imam untuk berdialog dengan umat. Kemampuan berdialog bagi seorang imam dituntut dalam rangka pastoral kegembalaan bagi umat. Apalagi jika seorang imam yang berkarya di Keuskupan Agung Jakarta, tentu “tuntutan” kemampuan berdialog menjadi lebih tinggi. Umat Keuskupan Agung Jakarta cenderung lebih kompleks, maka persoalan yang ada juga lebih variatif. Mencari jalan keluar lewat dialog dengan umat mungkin juga lebih sulit. Dialog juga tidak hanya melulu untuk mencari jalan keluar atas suatu masalah. Dialog diperlukan juga untuk menjadi dekat dengan umat, apapun latar belakangnya, tanpa pandang bulu. Seorang imam adalah pemimpin pastoral sebagai gembala yang baik (bdk. Yoh 10:11). Yesus mengikutsertakan para murid-Nya untuk mencari domba yang hilang. Tugas penggembalaan itu terkait dengan kuasa yang diterima dari Yesus. Kuasa itu diberi untuk menyalurkan kekuatan ilahi demi kesejahteraan rohani dan merangkul semua domba dalam kawanan yang sama. Maka untuk itu dibutuhkan hidup kerohanian seorang gembala yang melayani dan rela berkorban demi umatnya. Untuk itu pula dibutuhkan kemampuan pendampingan seorang imam kepada umatnya. Dengan persoalan yang kompleks, kemampuan para imam untuk bisa mengimbangi dalam pendampingan juga menjadi tantangan. Bagaimana membantu umatnya melewati masa sulit sebagai wakil sosok Kristus yang hadir di dunia. Bagaimanapun, umat yang mengalami masalah tentu butuh sahabat yang bisa dijadikan tempat bersandar selain imam yang mampu memberikan penguatan spiritual.

Jakarta dan sekitarnya menawarkan kehidupan yang metropolis. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para imam untuk tetap setia dengan kaul kekalnya. Berbagai fasilitas yang bersifat hiburan mulai dari internet sampai model ponsel terbaru, sungguh menggoda sebagai “pelarian” dari kejenuhan dan stres. Para imam bisa saja terpeleset dan terlena ke dalam kondisi yang nyaman, manja, mapan, merasa tidak cukup, bahkan sampai mencari ketenaran, kuasa, dan harta. Ini sangat bertolak belakang dengan kesucian hidup imam. Maka tantangan ini menjadi unik karena berbeda satu dengan lainnya. Di tengah gaya hidup metropolis seperti ini, muncul dilema antara melayani dan ingin dilayani. Tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat ekonomi umat Keuskupan Agung Jakarta sangat banyak yang di atas rata-rata. Maka “fasilitas” yang diberikan kepada imamnya sebagai tanda kasih bisa menjadi bumerang. Maka baik kalau umat jangan memberikan hadiah yang mewah kepada imam, karena dapat menimbulkan akibat yang kurang baik. Yesus sendiri membasuh kaki para rasul-Nya pada Malam Perjamuan Terakhir. Semangat ini seyogyanya juga dimiliki oleh para imam. Melayani dengan rendah hati, bukan dilayani.

Menjadi seorang imam tentu menyangkal diri, meninggalkan hal-hal duniawi dan mengorbankan kepentingan pribadinya, termasuk ego. Seperti halnya Kristus yang mengorbankan diri-Nya di kayu salib, begitu juga para imam mengorbankan dirinya untuk gereja. Pada prakteknya, pengorbanan yang dilakukan memang terlihat sepele, seperti hobi. Hobi pada umumnya dilakukan pada waktu senggang, bukan menjadi prioritas hidup. Maka ketika pelayanan berhadapan dengan kebutuhan pribadi duniawi, para imam diharapkan untuk mengutamakan pelayanan. Imam bukan hanya untuk Gereja atau hanya untuk umat. Imam menjadi pelayan keduanya. Kedekatan dengan umat bisa dijadikan tolok ukur bagaimana imam melayani umatnya tanpa pilih kasih. Imam diharapkan menjadi gembala di tengah kawanannya, bukan di luar. Gembala yang baik tentu berada di antara dombanya, menjaga agar kawanannya tetap teguh, bersatu, dan tidak hilang seekor pun. Imam juga diharapkan untuk memiliki komitmen untuk bekerja sama tidak hanya dengan umat tapi juga gereja lokal berdasarkan kebijakan gereja lokal. Imam-imam misionaris dan diosesan harus dapat bekerja sama dengan baik. Dengan kolaborasi yang baik di antara para imam ini, tentu membuat umat juga semakin gembira menjalani hidupnya.

Yang perlu dilakukan seorang imam

Ada beberapa hal yang diharapkan untuk dilaksanakan para imam untuk mencapai kesucian:

  • Bertumbuh dalam kematangan hidup rohani. Doa pribadi dan offisi harian dan meditasi merupakan jalan kematangan hidup rohani
  • Mengembangkan kepribadian yang utuh dan matang. Dengan rohani dan kepribadian yang matang, umat akan merasa lebih aman dan damai hidup bersama gembalanya.
  • Belajar setia pada Kristus dengan merayakan Ekaristi Kudus setiap hari. Menjadi imam adalah panggilan untuk menjadi sosok Kristus di dunia. Kesetiaan pada panggilan dan hidup imamat tidak akan habis dikikis oleh tantangan dan waktu, melainkan akan semakin dinamis dan dewasa.
  • Melakukan aksi cinta kasih pastoral yang total pada Kristus, Sang Gembala Agung.
  • Menghidupi kesucian hidup imam dengan latihan rohani: rekoleksi dan retret, meditasi harian, dan adorasi pada Sakramen Maha Kudus. Menjadi seorang imam adalah menjalani pola hidup yang suci. Sebagai manusia, imam juga bisa sesekali jatuh. Dengan kesadaran hidup suci itu, tentu pertobatan yang sungguh bisa mengembalikan kesucian hidup imam.

Hidup menjadi imam tentu tidak dapat dijalani oleh sembarang orang. Hanya yang terpanggil dan terpilih yang berjalan berdampingan dengan Kristus. Menjadi sangat indah di tengah kehidupan duniawi yang semakin tidak jelas arahnya, ada seorang yang memberikan hidupnya sebagai persembahan pada Kristus di altar-Nya yang suci. Dan itulah imam kita. Maka dukung dan kasihi imam-imam Anda dan terima apa adanya sebagai manusia yang biasa, namun memiliki anugerah kuasa ilahi untuk Gereja.

Imam diosesan dan perutusannya

Paus Yohanes Paulus II dalam Ensikliknya Redemptoris Missio mengatakan bahwa “tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaiannya, bahkan masih di tahap awal. (bdk. RM. 1). Maka Ia  mengundang peran aktif seluruh umat Kristiani untuk terlibat dalam karya misioner. Hampir seluruh pewartaaan Gereja  diwarnai perutusan misioner, khususnya di zaman sekarang ini. Jadi kata misioner tidak asing lagi bagi mereka yang bergerak dalam pewartaan. Bahkan untuk anak-anak SEKAMI (Serikat Kepausan Anak Misioner)  dikenal istilah Misionaris Cilik.   Pada imam diosesan dikenal satu istilah “Misionaris Fidei Donum”. Istilah Misionaris Fidei Donum ini muncul ketika dikeluarkannya Ensiklik Fidei Donum oleh Paus Pius XII, 21 April 1957. Ensiklik Fidei Donum ditulis pra konsili Vatikan II. Pada masa itu pandangan tentang seorang misionaris adalah seseorang yang diutus keluar negara / tanah misi. Ensiklik ini berisikan himbauan kepada para uskup (sedunia) untuk mengijinkan para imam diosesan (dalam kurun tertentu) menjadi misionaris di Afrika. Karena pada waktu itu negara Afrika baru terbebas dari penjajahan (mendapatkan kemerdekaannya).

Para imam inilah dikenal dengan sebutan “Misionaris Fidei Donum”. Dan  sampai saat ini, istilah “Misionaris Fidei Donum” masih tetap dipakai. Bahkan untuk negara Eropa (Italia) adanya satu komisi untuk menangani secara khusus bagi “Misionaris Fidei Donum”.  Namun di zaman millennium III, hampir seluruhnya himbauan/surat Paus mengarahkan pada seluruh umat Kristiani (kita) untuk menjadi seorang misionaris. Berjiwa misioner bagi setiap orang yang telah dibaptis. Menjadi misionaris dengan ikut ambil bagian dalam karya perutusan misioner Gereja. Namun, bagi para imam, mereka mempunyai kekhususan sendiri dalam tugas perutusan. Terlebih di daerah-daerah di mana orang-orang Kristen merupakan minoritas, para imam mendapatkan tugas secara khusus (bdk. RM. 67).

Walaupun demikian, setiap imam mempunyai tugas yang sama, yakni untuk membangun umat Allah. Hal ini ditegaskan dalam dokumen Pastoral davo Vobis sebagai berikut: Kenyataannya semua imam, entah diosesan atau religius, berpartisipasi dalam satu-satunya imamat Kristus, Kepala dan Gembala. Mereka mengerjakan satu hal yang sama, yakni: “membangun Tubuh Kristus, yang memerlukan bermacam-macam fungsi serta penyesuaian baru, khususnya dewasa ini”, lagi pula dari abad ke-abad diperkaya dengan karisma-karisma yang setiap kali baru (PdV, 17).

Para imam mendapatkan perutusan misioner berdasarkan Sakramen Tahbisan Imamat yang diterimanya. Jadi dalam hal ini, semua imam tergolong misionaris. Dalam Ensiklik Redemptoris Missio, 67 dijelaskan demikian:  “Sebagai rekan-rekan para uskup, para imam dipanggil berdasarkan pada Sakramen Tahbisan Imamat untuk ikut ambil bagian di dalam kepedulian akan tugas perutusan Gereja, “anugerah rohani, yang diterima para imam dalam tahbisan, tidak mempersiapkan mereka untuk satu perutusan yang terbatas dan sempit, melainkan untuk perutusan keselamatan, yang sangat luas dan universal sampai ke ujung bumi” dalam cakupan universal perutusan yang diserahkan Kristus kepada para Rasul”. Karena alasan ini maka pendidikan untuk para calon imam mesti diarahkan pada usaha memberikan mereka “jiwa yang benar-benar Katolik. Yang membiasakan mereka melampau batas-batas dioses, negara, atau ritusnya, dan membantu kebutuhan seluruh gereja dengan hati yang siap untuk mewartakan Injil di mana saja”. (bdk. RM. 67, PvD 18, PO.20).  (Tulisan ini diolah dari berbagai sumber)

RD. D. Gst Bgs Kusumawanta

(Ketua Unio Indonesia 2011-2014)

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab