Home Blog Page 196

Mat 5:22: “Raka”= kafir?

0

Pertanyaan:

Syalom katolisitas

Terima kasih karena teleh memberikan wawasan yang mendalam tentang keimanan kita.,
Saya ingin bertanya, apakah definisi dari kafir itu?
Saya agak tersinggung dengan saudara saudara kita di sebelah yang dengan mudahnya meng”kafir”kan keyakinan kita.
padahal dari agama kita sendiri sesuai dengan Matius 5: 22 kita dilarang keras untuk mengkafirkan orang lain.
apakah ada hukuman bagi kita umat Katolik apabila kita secara sengaja ataupun tidak sengaja mengkafirkan orang lain?

terima kasih atas jawabannya
Jesus Love Us
Alloysius Danan

Jawaban:

[Dari Katolisitas: Terima kasih kepada Romo Indra Sanjaya, Pr. yang telah membantu menjawab pertanyaan ini]

Shalom Alloysius,

Beberapa catatan di bawah ini mungkin bisa membantu memahami teks Mat 5:22.

Yang dipertanyakan adalah kata raka dan mōros.

1.  Kata “raka”

Kata yang pertama (raka) memang merupakan transliterasi dari kata Aram aq’yre rēqā<. Di dalam Perjanjian Baru, kata ini hanya dipakai di sini saja. Apa arti kata ini? Beberapa leksikon memberi makna empty-headed, fool (term of strong abuse). Yang jelas kata ini merupakan sebuah kata-kata untuk menghina orang lain. Kemungkinan kata ini sebenarnya adalah sebuah onomatope (kata yang menirukan bunyi) dari bunyi orang yang mengeluarkan riak dari tenggorokan dan siap untuk meludahkannya ke wajah orang lain. Meludah ke wajah orang lain tentulah suatu tindakan penghinaan yang luar biasa. Oleh karena itu beberapa versi Inggris tetap mempertahankan atau tidak menerjemahkan kata tersebut agar nuansa penghinaannya tetap kentara (GNV, Vulgata, KJV dll).

Untuk terjemahan Indonesia, mari kita lihat teks-teks di bawah ini. Saya sengaja menampilkan beberapa teks untuk melihat bagaimana selama ini, teks tersebut diterjemahkan.

GNT Matthew 5:22 evgw. de. le,gw u`mi/n o[ti pa/j o` ovrgizo,menoj tw/| avdelfw/| auvtou/ e;nocoj e;stai th/| kri,sei\ o]j dV a’n ei;ph| tw/| avdelfw/| auvtou/( ~Raka,( e;nocoj e;stai tw/| sunedri,w|\ o]j dV a’n ei;ph|( Mwre,( e;nocoj e;stai eivj th.n ge,ennan tou/ puro,jÅ

Terjemahan Lama (1954):

5:22 Tetapi Aku berkata kepadamu, bahwa tiap-tiap orang yang marah akan saudaranya, ia akan terkena hukum; dan barangsiapa yang berkata kepada saudaranya: Hai jahil! ia akan dihukumkan oleh majelis besar; dan barangsiapa yang berkata: Hai gila! ia akan terkena hukum masuk api neraka.

TB 1 (1974):

5:22 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

TB 2 (1997):

5:22 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang mencaci maki saudaranya harus dihadapkan ke Mahkamah Agama, dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Alkitab dalam BIS

5:22 Tetapi sekarang Aku berkata kepadamu, barangsiapa marah * kepada orang lain, akan diadili; dan barangsiapa memaki orang lain, akan diadili di hadapan Mahkamah Agama. Dan barangsiapa mengatakan kepada orang lain, ‘Tolol,’ patut dibuang ke dalam api neraka.

*barangsiapa marah: beberapa naskah kuno: barangsiapa marah tanpa sebab.

Kitab Suci Komunitas Kristiani

Tetapi sekarang Aku berkata kepadamu, barang siapa yang marah kepada saudaranya, akan dihadapkan kepada pengadilan. Barang siapa yang menghina saudaranya akna dihadapkan kepada sidang majelis, dan barang siapa yang mempermalukan saudaranya akan dibuang ke dalam api neraka.

Perjanjian Baru versi Arnoldus-Ende 1968

Akan tetapi Aku bersabda kepadamu: Barang siapa jang memarahi saudaranja, iapun harus dihadapkan kepada madjelis pengadilan. Dan barang siapa jang mengatai saudaranja “kau djahil” harus dihadapkan kepada madjelis agung, dan jang berkata “kau gila” harus dihukum masuk naraka.

[Untuk perbandingan lebih luas lagi, silakan lihat di http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=matius&chapter=5&verse=22]

Silakan diperhatikan bahwa kata ‘kafir’ sebagai terjemahan raka, sebenarnya hanya terdapat dalam TB 1 (1974), versi yang dimiliki oleh sebagian besar dari kita. Dalam edisi revisi yang terbit tahun 1997, kata tersebut sudah tidak ada. Sebagai gantinya muncul rumusan yang lebih luwes ‘siapa yang mencaci maki saudaranya’. Saya tidak tahu mengapa TB 1974 memilih kata ‘kafir’ karena TL 1954 juga tidak menggunakan kata tersebut (yang dipakai malahan ‘jahil’).

2. Kata “moros”

Kata kedua adalah kata mōros. Ini adalah kata asli Yunani, bukan berasal dari tempat lain. Biasanya kata ini diterjemahkan dengan kata ‘bodoh.’ Lihat misalnya Mat 23:17. Tim penerjemah LAI, memilih kata ‘jahil’ untuk menerjemahkan kata mōros. Masalahnya, kata ‘jahil’ secara spontan seringkali dianggap sama dengan kata ‘usil’. Namun kalau kita melihat Kamus Bahasa Indonesia (2008), kata kata ‘jahil’ mempunyai 2 arti:

  1. bodoh; tidak tahu (terutama tt ajaran agama)
  2. suka mengganggu (menggoda, dsb), nakal, jail.

Dengan kata lain, kata ‘jahil’ sebenarnya sama dengan kata ‘bodoh’ (fool) dalam hal keagamaan.

Bagi saya, terjemahan versi Indonesia memang tidak amat tepat. Mungkin malah terjemahan BIS lebih memadai. Tetapi biarlah demikian….

3. Istilah ‘mengkafirkan’

Soal berikutnya adalah yang berkaitan dengan ‘mengkafirkan’. Di sini kita harus hati-hati, karena amat mudah pembicaraan akan melenceng. Sudah saya katakan di atas bahwa kata raka, sebenarnya tidak mempunyai nuansa sebagaimana sekarang kita memahami kata tersebut. Oleh karena itu, berbicara tentang ‘kafir’ dan ‘mengkafirkan’ sebenarnya tidak perlu dikaitkan dengan Mat 5:22.

Kata ‘kafir’ biasanya mempunyai makna dasar ‘tidak percaya kepada Allah (dan Rasul-Nya)’. Kata ini sebenarnya justru lebih dekat dengan makna kata moros, yang acapkali diterjemahkan dengan kata ‘bodoh’. Orang bodoh adalah orang yang tidak mau menerima kenyataan adanya Allah. Dalam Mzm 14:1 dikatakan bahwa ‘Orang dungu berkata dalam hati, “Tidak ada Allah”. Mengatakan orang lain ‘bodoh’ (fool) sebenarnya merupakan penghinaan yang luar biasa.

4. Apakah ada hukuman kalau kita mengkafirkan sesama

Terhadap pertanyaan apakah ada hukuman kalau kita mengkafirkan sesama…Yang jelas, aturannya tidak perlu dikaitkan dengan Mat 5:22 ini. Namun apa perlunya sih mengkafirkan orang lain?

Demikian catatan kecil saya. Semoga ada manfaatnya.

Salam,
Rm. Indra Sanjaya Pr.

[Tambahan dari Katolisitas]

Mengacu kepada penjelasan St. Agustinus tentang ayat ini seperti dikutip oleh St. Thomas Aquinas dalam Catena Aurea,

Di sini ada 3 tingkatan kemarahan, kemarahan, suara yang mencerminkan kemarahan dan kata-kata kebencian, “Jahil”. Maka ada 3 tingkatan kemarahan: 1)  marah di hati, 2) marah dengan mengeluarkan bunyi marah (spt mengeluarkan riak, diterjemahkan “raka” yang bunyinya menyerupai orang mengeluarkan riak dari tenggorokan); dan 3) marah dengan kata-kata kasar. Jika tiga proses itu sudah dilewati, artinya lepas sudah pengendalian diri, dan di situ lah letak dosa beratnya. Tanpa pertobatan, maka dosa semacam ini dapat menghantar seseorang ke neraka. Tetapi jika ia bertobat, Allah dapat mengampuninya dan ia terhindar dari siksa neraka.

Mengapa Bunda Maria disebut Ratu surga?

1

Gelar Bunda Maria sebagai Ratu surga berhubungan dengan gelar Bunda Maria yang lainnya, yaitu bahwa Bunda Maria adalah Bunda Kristus yang adalah Sang Raja di atas segala raja di bumi ini (lih. Why 1:5).

1. Kitab Suci mengajarkan bahwa para kudus di surga akan menerima mahkota kehidupan, terlebih Bunda Maria yang adalah orang kudus yang terbesar.

Rasul Paulus mengajarkan bahwa Tuhan memberikan mahkota kebenaran kepada orang- orang yang telah mengakhiri pertandingan dalam kehidupan ini dengan baik dengan memelihara iman (lih 2 Tim 4:8). Jika ini berlaku untuk Rasul Paulus, hal ini pastilah lebih lagi berlaku untuk Bunda Maria, yang ketaatan imannya terus terpelihara sejak mengandung Tuhan Yesus sampai mendampingi-Nya di kaki salib-Nya. Kesetiaan Bunda Maria yang bertahan sampai akhir, mendatangkan mahkota kehidupan yang dijanjikan Tuhan (lih. Yak 1:12, 1 Pet 5:4, Why 2:10). Janji mahkota kehidupan bagi orang beriman ini digenapi secara istimewa dalam diri Bunda Maria, seorang yang sungguh beriman dan telah lebih dahulu dipilih Allah untuk melahirkan Kristus Putera-Nya. Di dalam Maria dipenuhi janji Tuhan yang memberikan, “kerajaan yang mulia dan mahkota yang indah dari tangan Tuhan” kepada orang-orang yang benar (Keb 5:16).

2. Sabda Tuhan menggambarkan Bunda Maria sebagai Perempuan yang bermahkota dua belas bintang

Kitab Wahyu 12 menyebutkan penglihatan Rasul Yohanes akan surga di mana terlihat Sang Tabut Perjanjian, yaitu seorang perempuan yang berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan bermahkotakan dua belas bintang” (lih. Why 11: 19- Why 12: 1). Tanda besar di langit itu, yaitu perempuan tersebut, adalah Bunda Maria, sebab Anak laki- laki yang dilahirkannya dan yang akan menggembalakan semua bangsa itu adalah Kristus.

3. Dalam Kitab Suci, disebutkan bahwa ratu kerajaan yang duduk di sebelah kanan raja adalah bunda sang raja

Dalam Perjanjian Lama, ratu kerajaan bukanlah istri sang raja, namun adalah ibu sang raja, yang disebut geḇiyrāh (ibu suri). Sebab di masa itu raja dapat mempunyai lebih dari satu istri, sedang ia hanya mempunyai satu ibu. Geḇiyrāh ini dihormati bersama raja (lih. Yer 13:18), dan namanya dicantumkan bersama dengan setiap raja Yehuda (1 Raj 14:21, 15:9-10, 22:42; 2 Raj 12:2; 14:2; 15:2; 15:33; dst), yang merupakan keturunan Raja Daud.

Dalam kitab Raja- raja yang pertama, dikatakan bahwa Ratu Batsyeba menghadap Raja Salomo dan Raja memberikan tempat duduk/ tahta kepada bundanya di sebelah kanan-Nya (lih. 1 Raj 2:19). Kitab Mazmur juga mengisahkan adanya permaisuri yang berpakaian emas, berada di sebelah kanan sang Raja, yang mengacu kepada Kristus (lih. Mzm 45:10), yang tahtanya tetap untuk selama- lamanya (Mzm 45:7; lih. Luk 1:32-33). Dengan demikian gelar Bunda Maria sebagai Ratu Surga berhubungan dengan perannya yang istimewa dalam sejarah keselamatan, yaitu sebagai Bunda yang melahirkan Kristus Sang Raja Penyelamat umat manusia (lih. Luk 1:31-32).

Maka gelar ‘Ratu Surga’ (gebirah) yang mengacu kepada Bunda Maria tidak sama dengan istilah ratu surga (meleḵeṯ:) yang disebut dalam Yer 7:18, 44:17. Sebab, gebirah mengacu kepada ibu sang raja dari keturunan Yehuda, sedangkan meleḵeṯ: mengacu kepada dewi kesuburan bangsa-bangsa Semit, yaitu Astoret atau Astarte.

Dasar Kitab Suci

  • Why 12:1: Seorang perempuan berselubungkan matahari dan bermahkotakan dua belas bintang.
  • 1 Raj 2:19: Raja Salomo memberikan tempat kepada Batsyeba, ibu-Nya, di sebelah kanannya; demikian pula Kristus, kepada Bunda-Nya.
  • Neh 2:6: Bunda Sang Raja sebagai Ratu, duduk di sisi Raja.
  • Mzm 45:10: Permaisuri berpakaian emas dari Ofir berdiri di sebelah kanan Sang Raja- [yang adalah Kristus]
  • 2 Tim 4:7-8: Rasul Paulus mengatakan bahwa baginya telah tersedia mahkota kebenaran, karena telah memelihara iman.
  • Yak 1:12: Mereka yang bertahan sampai kesudahannya akan menerima mahkota kehidupan.
  • 1 Pet 5:4: Gembala Agung akan memberikan kamu mahkota yang tidak dapat layu.
  • Why 2:10: Yesus akan memberikan mahkota kehidupan kepada umat beriman.
  • Keb 5:16: Orang- orang benar akan menerima mahkota yang indah dari tangan Allah.

Dasar Tradisi Suci

  • St. Athanasius (296-373): “Jika Sang Anak adalah Raja, maka ibu yang melahirkan-Nya adalah layak dan sungguh pantas disebut sebagai Ratu dan yang berkuasa.” (seperti dikutip oleh St. Alfonsus Liguori, dalam The Glories of Mary, ch. 1.i)
  • St. Ephraim (306-373 AD): “Wanita Mulia dan Surgawi, Majikan, Ratu, lindungi dan jagalah saya di bawah sayapmu, supaya jangan Setan, penabur kehancuran, berkuasa atasku, supaya jangan musuh jahatku berjaya atasku.” (Diterjemahkan dari St. Ephraim, Oratio ad Ssmam Dei MatremOpera omnia, Ed. Assemani, t. III (graece), Romae, 1747, p. 546.)
  • St. Andreas dari Krete (abad ke 7): “Bunda-Nya yang tetap perawan yang dari rahimnya, Tuhan mengambil rupa manusia, kini dipindahkan oleh-Nya dari tempat tinggalnya di dunia menjadi Ratu umat manusia.” (St. Andrew of Crete, Homily 2 on the Dormition of the Blessed Mother of God, PG 97,1079b, dikutip oleh Paus Pius XII dalam Ad Caeli Reginam.) Selanjutnya ia berkata, “Ratu dari segenap umat manusia, setia terhadap arti dari namanya itu, yang ditinggikan di atas segalanya, walau tidak menjadi di atas Tuhan sendiri.” (Homily 3 on the Dormition, Ibid.)
  • St. Bernardinus dari Siena (1380-1444): “Ketika Maria setuju untuk menjadi Bunda dari Sabda Ilahi, maka oleh persetujuannya ia memperoleh gelar Ratu bagi dunia dan semua ciptaan.” (seperti dikutip oleh St. Alfonsus Liguori, dalam The Glories of Mary, ch. 1.i)
  • St. Louis de Montfort (1673-1716): “Tuhan menjadikan Maria ratu surga dan bumi; pemimpin pasukan-Nya …. pembagi rahmat-Nya, pekerja mukjizat-mukjizat-Nya, penghancur musuh-Nya dan penolong yang setia di dalam pekerjaan- pekerjaan-Nya dan kemenangan-Nya.”…. “Betapa tepatnya, ketika St. Albertus Agung menghubungkan sejarah Ratu Ester dari Kitab Ester sebagai gambaran Ratu Maria kita!…. Ia [Ester] berdiri di hadapan Raja Ahasuerus dan memohon bagi bangsanya: “Jika engkau berkenan kepadaku, O Raja, kabulkanlah permohonanku demi bangsaku.” Lalu, karena kasihnya kepada Ester, Ahasuerus mengabulkan permohonannya dan mendekritkan keselamatan bagi bangsa Yahudi. Maka, bagaimana Tuhan dapat menolak Bunda Maria, yang dikasihi-Nya dengan limpah, ketika ia memohon bagi bangsanya, yaitu para pendosa yang mempercayakan diri mereka kepadanya?” (St. Alfonsus Liguori, The Glories of Mary, ed. Msgr Charles Dollen, (New York: Alba house, 1988) p. 4-5)

Dasar Magisterium

  • Paus Pius XII (1876- 1958) dalam Ad Caeli Reginam:

“Ia, Sang Putera Allah, memantulkan kemuliaan, keagungan dan kekuasaan kerajaan-Nya kepada Bunda Surgawi-Nya, sebab setelah dihubungkan dengan Sang Raja dari para Martir di dalam karya Penebusan umat manusia sebagai Bunda dan kawan sekerja (Co- operatix), ia [Bunda Maria] tetap selamanya diasosiasikan dengan Dia, dengan kuasa yang hampir tak terbatas, di dalam pembagian rahmat Allah yang mengalir dari Penebusan Kristus. Yesus adalah Raja sepanjang kekekalan, oleh karena kodratnya maupun haknya sebagai Pemenang: melalui Dia, dengan Dia dan di bawah Dia, Maria adalah Ratu oleh karena rahmat Tuhan, oleh hubungan ilahi, oleh haknya sebagai pemenang dan oleh pemilihan yang sifatnya khusus…. (Homily 2 on the Dormition of the Blessed Mother of God, PG 97,1079b, quoted by Pius XII in Ad Caeli Reginam ).

  • Paus Pius XII dalam Konstitusi Apostolik, Munificentissimus Deus (1950)

“Sering ada teolog dan pengkhotbah yang mengikuti jejak Bapa Gereja yang suci (lih. St. John Damascene, op. cit., Hom. II, n. 11;  St. Modestus, the Encomium) telah dengan bebas menggunakan kejadian dan ekspresi yang diambil dari Kitab Suci untuk menjelaskan iman mereka tentang diangkatnya Maria ke surga…. beberapa menggunakan perkataan dari Kitab Mazmur: “Bangunlah O Tuhan ke tempat peristirahatan-Mu, Engkau dan tabut yang telah kau kuduskan (lih. Mzm 131:8); dan telah melihat Tabut Perjanjian yang dibangun atas kayu yang tidak rusak dan ditempatkan di Bait Allah, sebagai gambaran dari tubuh Perawan Maria yang termurni, yang dijaga dan dibebaskan dari segala kerusakan kubur dan diangkat kepada kemuliaan surgawi…. mereka juga menjabarkan ia [Maria] sebagai Sang Ratu yang masuk dengan kemuliaan ke dalam ruang- ruang surga dan duduk di sisi kanan Sang Penebus Ilahi…. (MD 26)

“..Keserupaan antara Bunda Allah dan Putera Ilahinya, dalam hal kemuliaan dan martabat tubuh dan jiwanya – keserupaan yang mencegah kita untuk berpikir bahwa sang Ratu surga terpisah dari Sang Raja surga- membuat  suatu keharusan bahwa Maria “harus berada hanya di mana Kristus berada”. (St. Bernardine of Siena, In Assumptione B. Mariae Virginis, Sermo 11.) Lagipula, adalah suatu yang masuk akal dan layak bahwa tidak hanya jiwa dan tubuh laki- laki saja, tetapi juga jiwa dan tubuh perempuan harus memperoleh kemuliaan surgawi….” (MD 33)

“Oleh karena itu, Bunda Tuhan yang terhormat, dari segala kekekalan digabungkan secara tersembunyi dengan Yesus Kristus …. akhirnya memperoleh sebagai puncak tertinggi dari segala haknya yang istimewa, bahwa ia harus dijaga agar bebas dari kerusakan kubur dan bahwa seperti Puteranya, setelah mengalahkan maut, ia dapat diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surga, di mana sebagai Ratu, ia duduk di dalam kemegahan di sisi kanan Putera-Nya, Raja segala masa yang kekal (lih. 1 Tim 1:17, MD 40)

  • Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium:

“Akhirnya Perawan tak bernoda, yang tidak pernah terkena oleh segala cemar dosa asal, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, telah diangkat melalui kemuliaan di Sorga beserta badan dan jiwanya. Ia telah ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh menyerupai Puteranya, Tuan di atas segala tuan (lih. Why 19:16), yang telah mengalahkan dosa dan maut.” (LG 59)

  • Katekismus Gereja Katolik 966:
    KGK 966    “Akhirnya Perawan tak bernoda, yang tidak pernah terkena oleh segala cemar dosa asal, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, telah diangkat memasuki kemuliaan di surga beserta badan dan jiwanya. Ia telah ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh menyerupai Puteranya, Tuan di atas segala tuan, yang telah mengalahkan dosa dan maut” (LG 59) Bdk. Pengumuman dogma mengenai Maria diangkat ke surga oleh Paus Pius XII, 1950: DS 3903). Terangkatnya Perawan tersuci adalah satu keikutsertaan yang istimewa pada kebangkitan Puteranya dan satu antisipasi dari kebangkitan warga-warga Kristen yang lain.

Diskusi lebih lanjut

Kebenaran Sejarah dalam Kitab Kejadian

17

Paus Benediktus XVI mengajarkan, “…Harus diingat bahwa pertama-tama dan yang utama, bahwa wahyu Kitab Suci berakar dalam sejarah….”[1] Artinya,   pada dasarnya Kitab Suci adalah kitab yang menyampaikan kebenaran yang sungguh terjadi dalam sejarah manusia. Karena itu, secara umum kita menerima bahwa apa yang disampaikan dalam Kitab Suci adalah fakta yang sungguh terjadi secara historis, kecuali jika didukung oleh bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa para penulis kitab bermaksud menyampaikan perumpamaan atau alegori, ataupun arti lain yang berlainan dengan arti literal/ arti historis.

Menjadi menarik, ketika dewasa ini berkembang pemahaman yang mempertanyakan kebenaran sejarah yang tertulis dalam Kitab Kejadian, khususnya bab 1 sampai 3. Memang kitab tersebut tidak untuk disejajarkan dengan kitab sejarah dan dipahami seperti kita membaca buku sejarah, atau segala yang tertulis di sana harus diartikan secara literal. Sebab memang Kitab Suci ditulis pertama-tama untuk menyampaikan kebenaran ajaran iman. Namun demikian, tidak berarti bahwa sebagai kitab iman, maka apa yang tertulis di sana tidak mengandung kebenaran sejarah sama sekali. Untuk memahaminya mari kita mengacu kepada penjelasan Pontifical Biblical Commission, yang walaupun tidak mempunyai kuasa otoritatif seperti Magisterium, namun toh menyampaikan dasar yang perlu diperhatikan untuk memahami bagaimana menginterpretasikan Kitab Kejadian tersebut. Pontifical Biblical Commission di tahun 1909 mengajarkan bahwa ketiga bab pertama dalam Kitab Kejadian juga mempunyai nilai historis. Artinya, sungguh terjadi sehingga bukan hanya dongeng.  Berikut ini terjemahannya:[2]

Concerning the Historical Character of the First Three Chapters of Genesis

Pontifical Biblical Commission, June 30, 1909 (AAS 1 [1909] 567ff; EB 332ff; Dz 2121ff)
translated by E.F. Sutcliffe SJ

Tentang Sifat Historis dari ketiga Bab Pertama di Kitab Kejadian

Komisi Kitab Suci Pontifikal, 30 Juni, 1909, (AAS 1 [1909] 567ff; EB 332ff; Dz 2121ff)
diterjemahkan oleh Ingrid Listiati- katolisitas.org

I: Do the various exegetical systems excogitated and defended under the guise of science to exclude the literal historical sense of the first three chapters of Genesis rest on a solid foundation?

Answer: In the negative.

I. Apakah bermacam sistem eksegesis/ telaah tekstual Kitab Suci yang dikembangkan dan dipertahankan di bawah kedok ilmu pengetahuan untuk mengabaikan arti literal historis dalam tiga bab pertama Kitab Kejadian, mempunyai dasar yang kuat?

Jawab: Tidak.

II: Notwithstanding the historical character and form of Genesis, the special connection of the first three chapters with one another and with the following chapters, the manifold testimonies of the Scriptures both of the Old and of the New Testaments, the almost unanimous opinion of the holy Fathers and the traditional view which the people of Israel also has handed on and the Church has always held, may it be taught that: the aforesaid three chapters of Genesis Contain not accounts of actual events, accounts, that is, which correspond to objective reality and historical truth, but, either fables derived from the mythologies and cosmogonies of ancient peoples and accommodated by the sacred writer to monotheistic doctrine after the expurgation of any polytheistic error; or allegories and symbols without any foundation in objective reality proposed under the form of history to inculcate religious and philosophical truths; or finally legends in part historical and in part fictitious freely composed with a view to instruction and edification?

Answer: In the negative to both parts.
II. Meskipun adanya sifat dan bentuk historis dari Kitab Kejadian, hubungan khusus di antara ketiga bab pertama, antara satu bab dengan bab lainnya dan dengan bab-bab berikutnya, banyaknya kesaksian dalam Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Baru, pendapat para Bapa Gereja yang hampir sepakat dan pandangan tradisional yang telah dilestarikan oleh bangsa Israel dan yang selalu diyakini oleh Gereja, bolehkah diajarkan bahwa: ketiga bab pertama Kitab Kejadian memuat (1) bukan kejadian-kejadian nyata, yang sesuai dengan kenyataan obyektif dan kebenaran sejarah, tetapi (2) entah dongeng-dongeng yang diperoleh dari mitos dan kosmogoni dari bangsa- bangsa kuno dan diakomodasikan oleh pengarang suci menjadi ajaran monotheistik setelah dibersihkan dari kesalahan politheisme; atau bermacam perumpamaan/ alegoris dan simbol-simbol tanpa dasar apapun dalam realita obyektif, yang disampaikan dalam bentuk sejarah untuk menanamkan kebenaran- kebenaran religius dan filosofis; atau akhirnya [merupakan] legenda- legenda yang separuh historis dan separuh lagi fiksi yang disusun dengan bebas dengan pandangan untuk pengajaran dan pendidikan?


Jawab: Tidak untuk keduanya [(1) Tidak; (2) Tidak)]
III: In particular may the literal historical sense be called in doubt in the case of facts narrated in the same chapters which touch the foundations of the Christian religion: as are, among others, the creation of all things by God in the beginning of time; the special creation of man; the formation of the first woman from the first man; the unity of the human race; the original felicity of our first parents in the state of justice, integrity, and immortality; the command given by God to man to test his obedience; the transgression of the divine command at the instigation of the devil under the form of a serpent; the degradation of our first parents from that primeval state of innocence; and the promise of a future Redeemer?

Answer: In the negative.

III: Secara khusus, bolehkah meragukan arti historis literal dalam kasus kejadian-kejadian yang dikisahkan di bab- bab yang sama yang berkenaan dengan pondasi agama Kristiani: seperti antara lain, penciptaan segala sesuatu oleh Tuhan pada awal mula; penciptaan manusia secara khusus; pembentukan wanita pertama dari pria pertama; kesatuan seluruh umat manusia; kebaikan asal mula dari orangtua pertama (Adam dan Hawa) dalam tingkat keadilan, integritas, dan tidak dapat mati; perintah Tuhan diberikan untuk menguji ketaatannya; pelanggaran terhadap perintah ilahi karena bujukan setan dalam rupa ular, penurunan tingkat orangtua pertama (Adam dan Hawa) dari keadaan awalnya yang tidak berdosa; dan janji akan Sang Penebus di masa mendatang?

Jawab: Tidak.

IV: In the interpretation of those passages in these chapters which the Fathers and Doctors understood in different manners without proposing anything certain and definite, is it lawful, without prejudice to the judgement of the Church and with attention to the analogy of faith, to follow and defend the opinion that commends itself to each one?

Answer: In the affirmative.

IV. Di dalam interpretasi perikop-perikop itu di dalam bab-bab ini dimana para Bapa Gereja dan Doktor Gereja memahaminya dengan cara yang berbeda-beda tanpa merumuskan sesuatu yang tertentu dan definitif, apakah diperbolehkan, tanpa merendahkan pandangan Gereja dan dengan perhatian kepada analogi iman, untuk mengikuti dan mempertahankan pendapat yang mempercayakan diri sendiri kepada masing- masing [interpretasi tersebut]?

Jawab: Ya.

V: Must each and every word and phrase occurring in the aforesaid chapters always and necessarily be understood in its literal sense, so that it is never lawful to deviate from it, even when it appears obvious that the diction is employed in an applied sense, either metaphorical or anthropomorphical, and either reason forbids the retention or necessity imposes the abandonment of the literal sense?

Answer: In the negative.

V. Apakah setiap kata dan frasa yang ada di bab-bab tersebut selalu dan harus dimengerti dalam arti literal, sehingga tidak pernah boleh  bergeser sedikitpun darinya, bahkan ketika itu nampak jelas bahwa gaya bahasa digunakan di dalam artian yang berkenaan dengan, entah metaforik (perumpamaan) ataupun antropomorfis (pembandingan dengan keadaan manusiawi) dan entah akal sehat melarang pengingatan atau kebutuhan menekankan pengabaian arti literal?

Jawaban: Tidak

VI: Provided that the literal and historical sense is presupposed, may certain passages in the same chapters, in the light of the example of the holy Fathers and of the Church itself, be wisely and profitably interpreted in an allegorical and prophetic sense?

Answer: In the affirmative.

VI. Asalkan arti literal dan historis diasumsikan terlebih dahulu, bolehkah perikop- perikop tertentu di dalam bab- bab yang sama, dengan terang contoh dari para Bapa Gereja yang suci dan dari Gereja sendiri, diinterpretasikan dengan bijak dan berguna, sebagai arti alegoris (perumpamaan) dan profetis (nubuat)?

Jawab: Ya, boleh.

VII: As it was not the mind of the sacred author in the composition of the first chapter of Genesis to give scientific teaching about the internal Constitution of visible things and the entire order of creation, but rather to communicate to his people a popular notion in accord with the current speech of the time and suited to the understanding and capacity of men, must the exactness of scientific language be always meticulously sought for in the interpretation of these matters?Answer: In the negative. VII. Oleh karena bukan maksud dari para pengarang suci dalam penyusunan bab pertama Kitab Kejadian untuk memberikan pengajaran ilmiah tentang Konsititusi/ penciptaan internal benda-benda yang kelihatan dan seluruh keteraturan penciptaan, tetapi lebih kepada untuk menyampaikan kepada bangsanya gambaran populer sesuai dengan gaya bahasa pada saat itu dan yang disesuaikan dengan pemahaman dan kemampuan manusia, haruskah ketepatan bahasa ilmu pengetahuan selalu dengan teliti dicari di dalam interpretasi hal- hal ini?

Jawab: Tidak.

VIII : In the designation and distinction of the six days mentioned in the first chapter of Genesis may the word Yom (day) be taken either in the literal sense for the natural day or in an applied sense for a certain space of time, and may this question be the subject of free discussion among exegetes?

Answer: In the affirmative.

VIII. Dalam penentuan dan pembedaan enam hari yang disebutkan di dalam bab pertama kitab Kejadian, bolehkah kata Yom (hari) diartikan entah dalam arti literal sebagai hari yang natural atau di dalam arti untuk dikenakan kepada sejumlah rentang waktu, dan bolehkah pertanyaan ini menjadi subyek diskusi bebas di antara para ahli Kitab Suci?

Jawab: Ya, boleh.

Sedangkan tentang gaya bahasa/sastra (literary genre) kesebelas bab pertama dalam Kitab Kejadian, menurut surat dari Sekretaris Komisi Kitab Suci kepada Kardinal Suhard. Uskup Agung Paris, tanggal 16 Januari, 1948, mengatakan:[3]

“…Masalah tentang bentuk-bentuk sastra dari kesebelas bab kitab Kejadian adalah lebih samar dan rumit. Bentuk gaya bahasa/ sastra ini tidak persis sesuai dengan katagori klasik, dan tidak dapat dinilai menurut sastra Yunani-Latin ataupun sastra modern. Maka historisitas (nilai sejarah) dari bab-bab ini tidak dapat disangkal ataupun dengan mudah diafirmasi, tanpa penerapan norma-norma sastra yang tidak cocok dengan klasifikasi sastra dimana mereka digolongkan. Maka, jika diterima bahwa dalam bab-bab ini sejarah dalam pengertian klasik dan mnodern tidak ditemukan, maka juga perlu diakui bahwa ilmu pengetahuan modern juga tidak memberikan solusi positif kepada semua masalah di bab-bab ini…. Jika seseorang menentang dengan sikap apriori bahwa penjabaran di bab-bab tersebut tidak mengandung sejarah dalam pengertian modern, ia akan dengan mudahnya beranggapan bahwa bab-bab ini sama sekali tidak benar secara historis, meskipun kenyataannya bab-bab ini menghubungkan dengan cara yang sederhana dan figuratif, yang sesuai dengan kemampuan orang-orang yang kurang berpendidikan/ mempunyai pengetahuan, kebenaran-kebenaran fundamental yang mengacu kepada urusan keadaan jiwa dan tubuh, dan menggambarkan dengan cara populer tentang asal usul umat manusia dan asal usul sebuah bangsa terpilih ….”

Umat Kristiani mengimani bahwa Kitab Suci ditulis oleh pengarang kitab atas ilham Roh Kudus; artinya tidak harus ia sendiri mengalami atau menjadi saksi kejadian tersebut, sebab Roh Kudus-lah yang mengilhami dia untuk mencatat segala sesuatu yang terjadi sesuai dengan faktanya, seperti yang dikehendaki oleh Allah. Dengan prinsip ini tidak harus Adam dan Hawa atau para saksinya (sekitar 4000-an SM) yang mengarang Kitab Kejadian; dan Tradisi Gereja mengajarkan kepada kita bahwa kelima kitab Musa yaitu Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan dikarang oleh Nabi Musa, yang hidup sampai sekitar 1400-an SM; namun pengeditan naskah Pentateukh dilakukan oleh para penerusnya sampai sekitar tahun 550 SM.


[1]Paus Benediktus XVI, Verbum Domini, 42.

[2]Dom Orchard, OSB, A Catholic Commentary on Holy Scripture, (London, New York: Thomas Nelson & Sons, 1953), p. 68-69.

[3]Dom Orchard, OSB, A Catholic Commentary on Holy Scripture, (London, New York: Thomas Nelson & Sons, 1953), p. 74-75.

Gal 2:16: Terjemahan ‘hanya oleh iman’, tepatkah?

5

Pertanyaan:

Dear Katolisitas,

setelah menemukan bahkan pada Alkitab dgn Deuterokanonika kata “hanya oleh iman” pada Gal 2:16
“Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi HANYA OLEH KARENA IMAN dalam Kristus Yesus. Sebab itu kamipun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: “tidak ada seorangpun yang dibenarkan” oleh karena melakukan hukum Taurat.”

saya menjadi bertanya2 apakah terjemahan ini valid?

Jika melihat versi Kitab Suci edisi Pastoral, KJV, Latin Vulgata, Douay Rheims, semuanya tdk mengandung kata yg berarti “HANYA”.Jadi mengapa bisa terselip kata “HANYA” dalam Alkitab versi LAI dan LBI?

Trims
Mea Culpa

Jawaban:

Shalom Mea Culpa,

Kami di Katolisitas berterima kasih kepada anda yang bertanya tentang terjemahan ayat Gal 2:16, karena melalui pertanyaan anda, kami memperoleh juga jawaban yang sangat baik dari Romo Dr A. Hari Kustono Pr dan Rm Dr V. Indra Sanjaya Pr dari Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta. Terima kasih juga kepada Romo Santo Pr, yang telah menghubungkan kami di Katolisitas, dengan kedua imam yang sangat istimewa ini.

Demikianlah jawaban mereka, kami sampaikan satu persatu:

Jawaban dari Romo Hari Kustono:

Dalam bahasa Yunani dikatakan demikian: “ou dikaiouthai anthropos ex ergon nomou ean me dia pisteos Iesou Christou“. Arti harafiahnya: “manusia tidak dibenarkan karena pekerjaan-pekerjaan hukum tetapi (kecuali) melalui (oleh karena) iman akan Yesus Kristus.” Dalam bahasa Inggris memang tidak ada ungkapan “only” yang bisa diterjemahkan “hanya”. Beberapa terjemahan Inggris memakai “but by the faith“, bahasa Latin memakai ungkapan “nisi per fidem” artinya “jika tidak melalui iman” atau “kecuali melalui iman”, bahasa Jerman (EIN) memakai “sondern durch den Glauben” artinya “melainkan melalui iman” atau “tetapi melalui iman”.  Memang terjemahan pada umumnya tidak serta merta harus memakai kata “hanya”. Terjemahan Perancis memang memberi nuansa seperti itu, karena edisi bahasa Perancis (TOB) memakai ungkapan “mais seulement par la foi” yang artinya “tetapi hanya oleh iman” (but only).

Apakah ayat ini dipakai sebagai dasar ajaran “sola fide“? Mungkin…, tetapi sebenarnya kalau kita lihat konteksnya, Rasul Paulus di sini mau mempertentangkan keselamatan karena “melakukan Taurat” dengan keselamatan “karena iman”. Yang mau ditekankan adalah bahwa keselamatan merupakan anugerah Allah, dan bukan hasil pekerjaan manusia. Itu dikatakan oleh Rasul Paulus untuk melawan pengajar Yahudi-Kristen yang masih ingin membawa-bawa Taurat sebagai syarat keselamatan. Rasul Paulus sendiri, jika berbicara mengenai iman, selalu di dalamnya termasuk perbuatan. Dari konteks ajarannya, tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa iman saja yang penting, sedangkan perbuatan tidak penting untuk keselamatan. Bagi Rasul Paulus, perbuatan hendaknya didasari oleh iman. Kita menerima ungkapan “indikatif keselamatan mendahului imperatif moral”, artinya: kamu selamat maka berbuatlah baik. Jangan dibalik: berbuatlah baik supaya kamu selamat. Kita berbuat baik sebagai orang yang sudah diselamatkan dan dikasihi bahkan “dilabuhi pati” oleh Tuhan Yesus Kristus. Sebenarnya sudah ada pertemuan antara paham Katolik dan Protestan (Lutheran) dalam hal pembenaran (justifikasi), seperti saya kutip berikut ini:

 

“The Joint Declaration on the Doctrine of Justification (JDDJ), signed by both Lutheran World Federation and The Roman Catholic Church on 31 October 1999, clearly stated that “consensus in basic truths of the doctrine of justification exists between Lutherans and Catholics.” … In Roman Catholic and Lutheran doctrines, as expressed under section 4.7 no.37, “we confess together that good works – a Christian life lived in faith, hope and love – follow justification and are its fruits. When the justified live in Christ and act in the grace they receive, they bring forth, in biblical terms, good fruit. Since Christians struggle against sin their entire lives, this consequence of justification is also for them an obligation they must fulfill. Thus both Jesus and the apostolic Scriptures admonish Christians to bring forth the works of love.” The declaration reinstates that several theological views on justification held by Lutherans and Catholics, though not apparently similar to each other, are in fact explaining the same “basic truths of the doctrine of justification” at different angles.

Kiranya jelas bahwa paham yang menganggap Protestan hanya mementingkan iman, sedangkan Katolik mementingkan perbuatan (mengikuti Yak 2:24) tidak berlaku. The Joint Declaration on the Doctrine of Justification yang ditandatangani pada tanggal 31 Oktober 1999 sudah menjelaskan bahwa doktrin pembenaran dalam Lutheran dan Katolik sebenarnya menjelaskan ajaran yang sama, hanya dilihat dari sudut berbeda. Pekerjaan-pekerjaan baik yang kita lakukan merupakan buah dari pembenaran dan itu merupakan konsekuensi yang harus terjadi.

Semoga penjelasan ini dapat dipahami. Kata “hanya” bukan menjadi arus umum. Kalau toh mau dipertahankan, perlu disadari bahwa itu dikatakan oleh Rasul Paulus untuk menentang keyakinan bahwa pekerjaan Hukum Taurat – lah yang membuat seorang dibenarkan. Padahal keselamatan atau pembenaran (yang sudah terjadi berkat wafat dan kebangkitan Kristus) menjadikan iman sebagai syarat. Kalau Rasul Paulus bicara mengenai iman, itu bukan berarti iman sebagai ungkapan saja tetapi iman yang terwujud dalam perbuatan.

Jawaban dari Romo Indra Sanjaya:

Berikut ini adalah teks Yunani Perjanjian Baru (Greek New Testament)

Galatians 2:16 eivdo,tej Îde.Ð o[ti ouv dikaiou/tai a;nqrwpoj evx e;rgwn no,mou eva.n mh. dia. pi,stewj VIhsou/ Cristou/( kai. h`mei/j eivj Cristo.n VIhsou/n evpisteu,samen( i[na dikaiwqw/men evk pi,stewj Cristou/ kai. ouvk evx e;rgwn no,mou( o[ti evx e;rgwn no,mou ouv dikaiwqh,setai pa/sa sa,rxÅ

1.    Menurut GNT (Edisi Kritis Greek New Testament 4th edition) tidak ada varian dan catatan tentang teks tersebut. Artinya, dari sudut pandang tekstual, teks ini bisa dipertanggungjawabkan.
2.    Bagian yang ditanyakan adalah eva.n mh. dia. pi,stewj VIhsou/ Cristou yang diterjemahkan “Kita tahu bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya melalui iman dalam Kristus Yesus.”
3.    Menurut saya, persoalan terjemahan terletak pada kata Yunani eva.n mh. Di dalam kamus kata ini berarti: if not, unless. Dalam bahasa Indonesia, ‘kalau tidak’ atau ‘kecuali’ bisa berarti juga ‘hanya’ (lihat misalnya Mat 12:4). Dengan demikian, menurut saya, sebenarnya tidak ada persoalan untuk menggunakan kata ‘hanya’. Terjemahan itu valid. Hal ini didukung oleh terjemahan P. Tom Jacobs, “Karena kami, yang menurut kelahiran adalah orang Yahudi dan bukan orang berdosa dari bangsa-bangsa lain, tahu, bahwa manusia tidak dibenarkan karena melakukan hukum Taurat tetapi hanya karena iman (akan) Yesus Kristus, maka kami pun percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh iman (akan) Kristus dan tidak karena melakukan Taurat” (Gal 2:15-16 dalam Jacobs, Paulus, 172). Jelas bahwa P. Tom Jacobs juga menerima dan menggunakan kata ‘hanya.’
4.    Memang benar bahwa versi-versi yang ada tidak mengandung kata yang bernuansa ‘hanya’ termasuk juga NKJV/ King James Version) yang bisa dianggap sangat Protestan. Tampaknya hal ini terjadi karena terjemahan tersebut membaca eva.n mh. dengan avlla., yang biasa diterjemahkan ‘tetapi’. Kalau kita memperhatikan teks Terjemahan Lama (1954) kita mendapatkan teks seperti ini: “tetapi kami mengetahui, bahwa tiada seorang dibenarkan oleh sebab melakukan hukum Taurat, melainkan oleh sebab iman kepada Kristus Yesus, demikianlah kita ini sudah percaya akan Kristus Yesus, supaya kita dibenarkan oleh sebab iman kepada Kristus dan bukannya oleh sebab melakukan hukum Taurat, karena dengan melakukan hukum Taurat itu seorang pun tiada dibenarkan.” Sementara terjemahan Italia (ma solo in forza della fede in Gesù Cristo – IEP; ma soltanto per mezzo della fede in Cristo Gesù – NRV), TOB (mais seulement par la foi de Jésus Christ) menggunakan kata ‘hanya’.
5.    Yang penting adalah dalam konteks ini, ‘hanya melalui iman akan Yesus Kristus’ diperlawankan dengan ‘mengerjakan pekerjaan hukum (Taurat)’. Yang dipertentangkan adalah iman dan hukum (Taurat) dan jangan diperluas atau jangan lepas konteks. Dalam konteks Surat Galatia, pertentangan antara iman akan Yesus Kristus dan Hukum (Taurat) memang amat kuat. Maka ungkapan ‘hanya melalui iman akan Yesus Kristus’ harus dibaca secara utuh dengan kalimat sebelumnya, sehingga hal yang dipertentangkan menjadi jelas (yaitu Hukum Taurat dipertentangkan dengan iman kepada Yesus Kristus). Kecenderungan untuk mencomot rumus ‘hanya melalui iman akan Yesus Kristus’ (sola fide) kemudian begitu saja diperlawankan dengan (segala macam) perbuatan amat terbuka di sini; namun dari konteksnya, bukan itu maksudnya.

Kesimpulan:

Jadi, dari keterangan Romo Hari dan Romo Indra, kita dapat menyimpulkan bahwa terjemahan Gal 2:16, yang menyebutkan ‘hanya oleh karena iman’ di sini dapat dikatakan valid/ benar, sepanjang dipahami konteksnya. Yaitu bahwa dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Rasul Paulus menjelaskan tentang kontras antara perbuatan melakukan hukum Taurat dan iman dalam Kristus; dan Rasul Paulus mengajarkan bahwa kita dibenarkan oleh Tuhan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh iman akan Kristus. Namun “hanya iman” ini tidak untuk dipergunakan untuk konteks umum yang seolah- olah manyatakan bahwa iman saja, tanpa didukung perbuatan baik, dapat membuat kita dibenarkan Tuhan. Sebab pemahaman macam ini malah tidak sesuai dengan banyak ayat Kitab Suci lainnya yang jelas mengatakan bahwa kita akan diadili sesuai dengan perbuatan kita (lih. 2 Kor 11:15; Yak 2:24; Why 20:13); dan bahwa iman yang tidak disertai dengan perbuatan adalah iman yang mati (lih. Yak 2:17, 26). Maka jelaslah bahwa Sabda Tuhan tidak pernah bermaksud memisahkan iman dari perbuatan baik/ kasih sebagai bukti dari iman; namun hanya menjelaskan bahwa perbuatan menurut hukum Taurat (sekalipun baik) jika tidak disertai iman, tidak dapat membuat kita otomatis dibenarkan oleh Allah.

Demikianlah Mea culpa, yang dapat kami sampaikan menanggapi pertanyaan anda. Semoga ulasan ini dapat berguna bagi kita semua.

Kepada Romo Hari Kustono dan Romo Indra Sanjaya, terima kasih atas penjelasan Romo yang mencerahkan kami semua. Semoga Tuhan memberkati pelayanan Romo. Kepada Romo Antonius Hari Kustono Pr, yang pada tanggal 16 September 2011 yang baru lalu merayakan peringatan ulang tahun ke-25 (perayaan perak) Imamatnya, mari kita ucapkan selamat! Semoga Tuhan selalu memberkati pelayanan Romo dan terus menambahkan berkat suka cita dan damai sejahtera dalam kehidupan panggilan Romo sebagai imam-Nya. Teriring doa dari kami semua di Katolisitas.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Ul 33:2: Siapa Paran, Seir dan Sinai?

6

Pertanyaan:

Syalom Bu Inggrid,

Saya ingin bertanya maksud dari Ulangan 33:2
“Berkatalah ia: “TUHAN datang dari Sinai dan terbit kepada mereka dari Seir; Ia tampak bersinar dari pegunungan Paran dan datang dari tengah-tengah puluhan ribu orang yang kudus; di sebelah kanan-Nya tampak kepada mereka api yang menyala.”

Pada Forum sebelah, ada umat islam yg mengklaim bahwa ayat tsb merupakan nubuat kedatangan nabi muhamad.
Sinai diartikan Musa,
Seir diartikan Abraham (klo ga salah),
Dan Paran diartikan Muhamad
Saya Lupa mungkin paran dan seir terbalik.

Mohon Penjelasan maksud Sinai, Seir, dan Paran, ketiganya menubuatkan siapa saja.

Dan saya minta ijin untuk memposting beberapa artikel/tanya jawab di http://www.ForumKristen.com
Baik yang saya copy lengkap maupun yang saya edit lagi, pastinya tidak lupa menuliskan link nya https://katolisitas.org
Yang baru saya posting mengenai Bersyukurlah ada Api Penyucian. Dan jika ada waktu, saya berharap bantuan dari Team Katolisitas untuk membantu kami menjawab pertanyaan2 dari Non Katolik.

Saya Ucapkan Banyak Terima Kasih.
Adi Hermawan

Jawaban:

Shalom Adi Hermawan,

Demikianlah keterangan yang saya peroleh dari A Catholic Commentary on Holy Scripture, Dom Orchard OSB, ed., tentang penjelasan Ul 33:2: Berkatalah ia: “TUHAN datang dari Sinai dan terbit kepada mereka dari Seir; Ia tampak bersinar dari pegunungan Paran dan datang dari tengah-tengah puluhan ribu orang yang kudus; di sebelah kanan-Nya tampak kepada mereka api yang menyala.”

“Dalam Ul 33:1-29 dituliskan berkat yang diucapkan oleh Nabi Musa. Perikop ini menjabarkan pernyataan berkat yang disampaikan dalam bentuk puisi, kepada suku- suku Israel. Ayat 2-5 merupakan bagian pertama, menyerupai mazmur: Tuhan membawa umat-Nya ke tanah Palestina. Tema ini serupa seperti yang disebutkan dalam Hak 5:4-; Mzm 17:7-; 77:13; Hab 3:3-, yang menyebutkan penampakan keagungan Tuhan, -“Theophany“…. Tuhan disertai dengan puluhan ribu malaikat kudus-Nya, ketika memberikan hukum Taurat kepada bangsa Israel, yang disebut sebagai umat yang terdiri dari orang- orang kudus (Bil 16:3) …. Hukum Taurat…”dari tengah- tengah api, Ia telah memberikan hukum Taurat kepada kami.” ….”Ia telah bersinar dari bukit Paran, dan puluhan ribu orang menyertai-Nya. Yang Mahakudus, yang memegang di tangan-Nya api dan hukum Taurat itu.” Lihat Yes 6:3. Tuhan memimpin umat-Nya, seperti Jenderal yang menang, melalui padang belantara, seringkali menampakkan diri kepada mereka untuk memberikan hukuman kepada para pemberontak (Calmet) — Ketika pertama kali Ia turun di Gunung Sinai, selanjutnya kemuliaan-Nya bersinar di Paran dan Seir, seperti sebagai sebuah perkembangan/ kemajuan di sana (Menochius)– Hukum Taurat digambarkan sebagai api yang menyala, tidak hanya karena diberikan di tengah apai yang menyala, tetapi sebab hukum tersebut untuk dilakukan dengan semangat yang bernyala (Haydock) …”

Maka di sini ayat Ul 33:2 tidak dapat dipisahkan dari makna keseluruhan perikop yang intinya adalah sesuai dengan judul perikopnya, yaitu: Berkat Musa kepada Suku- suku Israel. Artinya perikop ini menceritakan tentang dua hal utama, yaitu: berkat Tuhan (yang memberi berkat), dan suku- suku Israel (yang menerima berkat). Tentang suku- suku Israel tersebut, dijelaskan secara literal bahwa mereka adalah keturunan Yakub (lih. Ul 33:28), yang adalah anak Ishak, bukan anak Ismail. Maka jika ada interpretasi yang mengatakan bahwa berkat Allah dalam konteks Ul 33:2, ditujukan kepada orang/ bangsa yang bukan keturunan Yakub, ini adalah interpretasi yang tidak sesuai dengan teks yang secara literal tertulis dalam perikop tersebut.

Memang dalam menginterpretasikan Kitab Suci, prinsipnya adalah kita dapat melihat arti literal dan arti spiritualnya, namun kita harus tetap berpegang bahwa arti spiritual itu tidak boleh bertentangan dengan arti literalnya. Dengan prinsip ini, tidak mungkin menginterpretasikan Paran sebagai seseorang yang bukan keturunan Yakub, padahal secara keseluruhan jelas disebutkan bahwa berkat Allah diberikan kepada suku- suku Israel yang sumbernya adalah Yakub (Ul 33:28).

Jadi tentang pertanyaan anda: Paran, Seir dan Sinai itu untuk diinterpretasikan siapa? Maka saya menjawab, nampaknya ini adalah nama- nama tempat yang berhubungan dengan Theophany, yaitu tempat Allah menyatakan kemuliaan-Nya; dan tidak usah dipaksakan bahwa nama- nama tempat ini harus diinterpretasikan sebagai seseorang. Memang Paran adalah nama tempat di mana Hagar dan Ismail tinggal, setelah diusir dari perkemahan Abraham (Kej 21:21), namun bukan itu saja. Paran juga merupakan tempat yang dilalui oleh bangsa Israel dalam perjalanan ke Tanah Terjanji (lih. Bil 10:12; 12:16) yang dari sini Musa mengirim mata- mata untuk mengawasi Kanaan (Bil 13:3). Juga Paran disebut sebagai lokasi Kadesh (lih. Bil 13:26). Raja Daud melakukan perjalanan ke padang gurun Paran, setelah Samuel wafat (lih. 1 Sam 25:1). Dengan demikian, kita tidak bisa mengidentifikasikan Paran dengan Ismail saja, karena Paran sebagai nama tempat, juga disebut dalam riwayat tokoh- tokoh Perjanjian Lama lainnya. Selain itu, pada faktanya, sekarang Paran juga bukan merupakan daerah muslim, namun adalah daerah moshav (permukiman Yahudi) di perbatasan Israel. Silakan anda klik di Wikipedia, untuk membaca tentang daerah Paran (foto kawasan diambil tahun 2008).

Demikian pula dengan Sinai dan Seir. Sinai memang merupakan tempat di mana Allah memberikan kesepuluh perintah Allah kepada nabi Musa (Kel 19:1-, Bil 10:11), namun sesungguhnya Allah-lah yang lebih tepat/ secara langsung berkaitan dengan Sinai ini, sebab Kitab Suci menyebut Sinai sebagai ‘gunung Allah’ (Kel 3:1) atau ‘gunung Tuhan’ (Bil 10:33). Sedangkan Seir lebih mengacu kepada pegunungan di tanah Edom (lih. Ul 1:2,44; 2:1; 33:2; Yos 11:17; 12:7, Hak 5:4, 1Taw 4:42), sehingga sering diidentifikasikan dengan Edom (Kej 32:3, 36:8-9; Bil 24:18; Yeh 35:15).

Demikian tanggapan saya atas pertanyaan anda. Mari, dalam mempelajari Kitab Suci kita membaca terlebih dahulu apa yang menjadi interpretasi yang sejalan dengan arti keseluruhan Kitab Suci, sehingga kita tidak mudah dibingungkan oleh interpretasi- interpretasi lain yang bahkan tidak cocok/ tidak sesuai dengan maksud perikop yang sedang dibicarakan.

Ya, anda dapat menggunakan jawaban dari situs ini dan mengutipnya, asalkan anda menyertakan sumbernya, dari www.katolisitas.org. Namun untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan dari pihak non- Katolik di forum lain, kami tidak dapat berjanji untuk melakukannya, sebab tugas kami di situs Katolisitas ini saja sudah cukup menyibukkan kami. Jika yang bersangkutan bersedia, silakan mengunjungi dan bertanya di situs Katolisitas.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Yes 11:2-3: 6 karunia atau 7 karunia Roh Kudus?

2

Pertanyaan:

Shalom Katolisitas,

Ada yang mau saya tanyakan mengenai Yesaya 11:2-3 berikut:
“Roh Tuhan akan ada padanya, roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan dan TAKUT AKAN TUHAN; ya, kesenangannya ialah TAKUT AKAN TUHAN.”

Teks kitab Nabi Yesaya dalam bahasa Ibrani mencatat hanya enam karunia dengan karunia TAKUT AKAN TUHAN disebutkan dua kali, terjemahan Septuaginta bahasa Yunani dan Vulgata bahasa Latin mencatat tujuh karunia, dengan menambahkan “kesalehan” dan menghilangkan pengulangan TAKUT AKAN ALLAH.
(sumber: http://yesaya.indocell.net/id551.htm)

Bisakah tolong dijelaskan mengenai hal ini? Bagaimana saya bisa menjawab tudingan bahwa tambahan “kesalehan” pada ketujuh karunia Roh Kudus ini dianggap sebagai bentuk tidak terpeliharanya firman Allah dari teks aslinya?

Salam kasih dalam Kristus Tuhan
Emmanuela

Jawaban:

Shalom Emmanuela,

Berikut ini adalah keterangan yang kami peroleh dari Dr. Lawrence Feingold STL, pembimbing Teologis situs Katolisitas tentang mengapa dalam terjemahan Septuaginta disebutkan tujuh karunia Roh Kudus (kami sertakan dalam dua bahasa, bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia):

Penjelasan tentang mengapa terdapat tujuh karunia Roh Kudus dalam terjemahan Septuaginta (oleh Dr. Lawrence Feingold STL) Terjemahannya dalam bahasa Indonesia (oleh Ingrid Listiati MTS)
The Messianic prophecy of Isaiah 11:2-3 is the origin of the well-known Christian enumeration of the seven gifts of the Holy Spirit: wisdom, understanding, counsel, fortitude, knowledge, piety, and fear of the Lord. These gifts are also highly revered in Jewish spirituality.

The Hebrew text actually seems to mention only six gifts, repeating the last gift of fear of the Lord twice. However, the Greek Septuagint translation from the third century BC gives seven gifts. Where the Hebrew text gives fear of the Lord twice, the Septuagint translates “piety and fear of the Lord.”

Why did the translators of the Septuagint do this? It is not certain, but there is reason to think that it was done to fill out the symbolic number seven representing fullness, and harmonize with other texts of the prophets which speak of “seven spirits” and seven “eyes” of the Lord. [The seven “eyes” of the Lord are spoken of in Zech 4:10: “These seven are the eyes of the lord, which range through the whole earth.” The book of Revelation establishes a connection of the seven eyes with “seven spirits” of the Lord; see Rev 3:1; 4:5; and especially Rev 5:6: “I saw a Lamb standing, as though it had been slain, with seven horns and with seven eyes, which are the seven spirits of God sent out into all the earth.”] Indeed, the seven spirits of the Lord, or seven gifts of the Holy Spirit, were an element of Tradition before Christ.

St. Jerome’s famous Latin translation, the Vulgate, although generally translated directly from the Hebrew, here uncharacteristically follows the Septuagint. The reason for this is undoubtedly that the seven gifts of the Holy Spirit had already deeply entered the Christian spiritual Tradition. [The Septuagint translation frequently shows a development of doctrine within the life of Israel, in that the Septuagint translation reflects the state of Jewish understanding in the third and second centuries BC. Thus it is a very important witness of the Jewish living Tradition. It is also possible that the Septuagint and the Vulgate were based on Hebrew textual traditions different from that of the Masoretic text, with a potentially equal claim to authenticity.]

The close relation between piety and filial fear of the Lord is shown to us in the Hebrew text of Isaiah 11:2-3, which lists the fear of the Lord twice. The authoritative Greek translation of the Septuagint, nevertheless, distinguished the two gifts, referring to the second as piety.

Nubuat tentang Mesias dalam Kitab Yesaya (Yes 11:2-3) adalah asal dari penjabaran tentang tujuh karunia Roh Kudus: kebijaksanaan, pengertian, nasehat, keperkasaan, pengetahuan, kesalehan dan takut akan Tuhan. Karunia- karunia ini juga sangat dihormati dalam spiritualitas Yahudi.

Teks Ibrani nampaknya menyebutkan hanya enam karunia, dengan mengulangi karunia yang terakhir, yaitu takut akan Tuhan, sebanyak dua kali. Meskipun demikian, terjemahan Yunani Septuaginta dari abad ke- 3 sebelum Masehi menyebutkan tujuh karunia. Teks Ibrani menyebutkan takut akan Tuhan dua kali, sedangkan Septuaginta menerjemahkan, “kesalehan dan takut akan Tuhan.”

Mengapa para penerjemah Septuaginta melakukan hal ini? Tidak diketahui dengan pasti, tetapi ada alasan untuk berpikir bahwa ini dilakukan untuk melengkapi angka simbolis tujuh yang mengartikan kesempurnaan, dan menyesuaikan dengan teks- teks para nabi yang lain yang mengatakan “tujuh Roh” dan “tujuh mata” Tuhan. [Tujuh “mata” Tuhan dikatakan dalam Zak 4:10: “…Yang tujuh ini adalah mata TUHAN, yang menjelajah seluruh bumi.” Kitab Wahyu menyatakan hubungan antara tujuh mata dengan “tujuh Roh”; (lih. Why 3:1; 4:5 dan khususnya Why 5:6): “Maka aku melihat … seekor Anak Domba seperti telah disembelih, bertanduk tujuh dan bermata tujuh: itulah ketujuh Roh Allah yang diutus ke seluruh bumi.”]. Sungguh, ketujuh Roh Tuhan, atau ketujuh karunia Roh Kudus, adalah elemen Tradisi sebelum Kristus.

Terjemahan Latin St. Hieronimus yang terkenal, Vulgata, meskipun secara umum diterjemahkan langsung dari bahasa Ibrani, di sini secara tidak umum mengikuti terjemahan Septuaginta. Tidak diragukan lagi, alasannya adalah bahwa ketujuh karunia Roh Kudus telah berakar dalam Tradisi spiritual Kristiani. [Terjemahan Septuaginta telah berkali- kali menunjukkan perkembangan ajaran di dalam kehidupan bangsa Israel, di mana terjemahan Septuaginta mencerminkan tingkatan pemahaman bangsa Yahudi di abad ketiga dan kedua sebelum Masehi, oleh karena itu adalah saksi yang sangat penting dari Tradisi Yahudi yang hidup. Juga mungkin terjadi bahwa Septuaginta dan Vulgata disusun berdasarkan tradisi- tradisi tekstual Ibrani yang berbeda dengan teks Masoretik, yang keduanya secara potensial mempunyai klaim otentisitas yang sama.]

Hubungan yang dekat antara kesalehan dan takut akan Tuhan [filial fear of the Lord] dinyatakan kepada kita di dalam teks Ibrani Yes 11:2-3, yang menyebutkan ‘takut akan Tuhan’ sebanyak dua kali. Meskipun demikian terjemahan Yunani Septuaginta yang otoritatif membedakan antara keduanya, dengan menyebutkan ‘takut akan Tuhan’ yang kedua sebagai ‘kesalehan’.

Maka dapat disimpulkan bahwa karunia “kesalehan” di Yes 11:2-3 bukanlah merupakan tambahan. Sebab memang di sana disebut dua kali karunia ‘takut akan Tuhan’; yaitu ‘takut akan Tuhan’ dan ‘kesenangannya ialah takut akan Tuhan’; dan ungkapan yang kedua inilah yang diterjemahkan dengan istilah ‘kesalehan’. Demikian pula, dapat terjadi bahwa Septuaginta mengambil teks tradisi Ibrani yang berbeda dengan teks Maroretik, namun keduanya tetap otentik, sebab keduanya menyampaikan tradisi Yahudi yang ada dalam kehidupan spiritualitas Yahudi pada saat itu. Teks Septuagint menerjemahkan ayat- ayat Yes 11: 2-3 dengan melihat kaitan ayat tersebut dengan ayat lainnya dalam Kitab Suci yang menghubungkan ketujuh karunia ini dengan ketujuh ‘mata’ Tuhan.

Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa Sabda Allah dalam Kitab Suci diberikan kepada Gereja, maka Gerejalah yang berhak untuk menafsirkannya dengan benar. Mereka yang tidak mengimani kebenaran dalam Kitab Suci tidak dapat menginterpretasikannya dengan benar, sebab titik perhatian mereka cenderung terbatas pada ayat- ayat tertentu dan menginterpretasikannya sendiri berdasarkan atas pengertiannya terhadap ayat itu saja, tanpa melihat kaitannya dengan keseluruhan ayat dalam Kitab Suci, sedangkan Gereja selalu melihat Kitab Suci sebagai satu kesatuan, di mana ayat yang satu berhubungan dengan ayat- ayat yang lain. Khusus mengenai ayat Yes 11:2-3, sesungguhnya bukan Gereja yang menginterpretasikannya, tetapi teks Kitab Suci sendiri yang telah menyatakannya, berdasarkan atas Tradisi Yahudi pada saat itu -yang sudah ada sebelum Gereja resmi berdiri- karena teks itu sudah ada sejak abad 2-3 sebelum Masehi. Dengan demikian terjemahan ‘kesalehan’ dalam Septuaginta tidak dapat dikatakan sebagai bukti bahwa Kitab Suci tidak asli/ tidak otentik.

Demikian yang dapat saya sampaikan menanggapi pertanyaan anda. Semoga berguna.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab