Home Blog Page 191

Yoh 21:20-24: Rasul Yohanes tidak Wafat?

0

Pertanyaan:

dear team katolisitas
sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas semua jawaban dari team ,
saya ingin menanyakan perihal Yoh 21:20-24 , meskipun mungkin itu bukan urusan kita seperti yang Tuhan katakan pada rasul Petrus.
– apakah murid Tuhan tsb benar benar hidup kekal di dunia sampai kedatangan Tuhan Yesus, apakah ada catatan gereja untuk hal tsb
– siapakah murid tsb
– ataukah memang tidak ada catatan mengenai hal tsb
mohon maaf karena menanyakan hal tsb, terima kasih

Yongky

Jawaban:

Shalom Yongky,

Berikut ini adalah keterangan The Navarre Bible dan A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom Orchard OSB,Ā  tentang ayat tersebut:

“Menurut St. Irenaeus (Against Heresies, II,22,5; III,3,4) St. Yohanes hidup lebih lama daripada para rasul lainnya, sampai jaman Kaisar Trajan (98-117). Kemungkinan penulis Injil menuliskan ayat- ayat ini untuk menghapus ide bahwa ia tidak akan mati. Menurut teks, Yesus tidak menjawab pertanyaan Rasul Petrus. [Yesus mengatakan] yang terpenting bukan untuk menjadi gelisah akan apa yang akan terjadi di masa mendatang, tetapi untuk melayani Tuhan dengan setia, seperti yang telah dicontohkan-Nya.”

Sebagai keterangan, St. Irenaeus (abad- 2) adalah murid dari St. Polycarpus, yang adalah murid dari Rasul Yohanes, sehingga keterangan dari St. Irenaeus cukup dapat dipercaya.

“Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu….” (Yoh 21:24) sebenarnya dalam bahasa Yunaninya, menurut Estius dan Jansenius, Uskup Ghent, adalah “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tetap tinggal sampai Aku datang…” (So I will have him to remain till I come), sebagaimana ada di banyak terjemahan Latin.Ā  Dengan demikian, ada yang menginterpretasikan bahwa Rasul Yohanes tetap tinggal hidup sampai Yesus menjemputnya dalam kematian (Rasul Yohanes adalah satu- satunya Rasul yang tidak wafat sebagai martir). Ada juga yang mengacu bahwa perkataan Kristus tentang kedatangan-Nya ini mengacu kepada kehancuran Yerusalem di tahun 70 dan Rasul Yohanes lolos dari kejadian ini.”

Jadi memang murid yang sedang dibicarakan di perikop itu adalah Rasul Yohanes, tetapi tidak berarti bahwa Rasul Yohanes tidak mengalami kematian, sebab Kitab Suci sendiri tidak menuliskan secara eksplisit demikian, demikian juga jika kita melihat kesaksian tulisan dari St. Irenaeus.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Mat 10:16: Secerdik ular, setulus merpati

2

Pertanyaan:

Shalom Ingrid

Mohon tanya :
Mengapa Tuhan menyuruh kita untuk meniru kecerdikan dari Ular / Satan ? Seperti ayat berikut ini :

Hendaklah engkau cerdik seperti Ular dan tulus seperti burung Merpati

Terima kasih

Mac

Jawaban:

Shalom Machmud,

Mat 10:16 mengatakan: “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.

Ayat ini tidak bermaksud agar kita meniru setan. Sebab ‘cerdik/ bijaksana seperti ular dan tulus seperti merpati’ (be wise as serpents and innocent as doves) merupakan sebuah peribahasa, yang mengacu kepada sifat- sifat positif yang dapat disimbolkan oleh kedua binatang tersebut.

Menurut keterangan dari A Catholic Commentary on Holy Scripture, Dom Orchard, ed., maksud ayat ini adalah:

Cerdik (wise= bijaksana) seperti ular dan tulus seperti merpati… adalah peribahasa dan anjuran agar kita berhati- hati, dan dengan tenang dan bijaksana, namun tidak membahayakan, polos, dan tulus di dalam bertindak dan berhubungan dengan orang lain. Dengan kata lain, sederhana apa adanya, tak berbahaya, terus terang, tulus dan tanpa kelicikan. … di tengah- tengah serigala. Meskipun Kristus mengutus para murid-Nya tidak hanya ke tengah- tengah serigala, tetapi bahkan di tengah- tengah serigala, tetap Ia memerintahkan agar mereka bertindak dengan kelembutan seperti domba dan kesederhanaan seperti merpati. Dengan demikian Ia memperlihatkan dengan jelas kebesaran kuasa-Nya, dengan mengalahkan serigala dengan domba yang terus menerus terancam dimangsa dan dicabik- cabik oleh mereka [serigala-serigala itu], …. untuk mengubah kodrat serigala yang buas, di dalam kelembutan dan kepolosan (innocence). Asalkan kita mempertahankan kodrat sebagai domba, kita akan dengan mudah mengatasi para penentang kita; tetapi jika kita berubah menjadi serigala, maka kita menjadi cemoohan dari para musuh kita….Ā  Penyelamat kita, di dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, mengetahui dengan sungguh kodrat segalanya; nafsu bukan untuk dikalahkan dengan nafsu, tetapi hanya dengan kelemahlembutan. Oleh karena itu, inilah yang dilakukan oleh para Rasul, ketika orang- orang Yahudi itu menegur mereka dengan berkata, Tidakkah sudah kita perintahkan kepadamu berkali- kali agar tidak mengajar di dalam nama ini [nama Yesus]? (lih. Kis 4). Meskipun para Rasul mempunyai kuasa untuk melakukan mukjizat- mukjizat yang besar, namun mereka tidak berlaku kasar, tidak ekstrim, baik di dalam perkataan maupun perbuatan. Dengan kesederhanaan mereka menjawab, Silakan kamu putuskan sendiri, manakah yang benar di hadapan Tuhan: taat kepadamu atau taat kepada Allah. Dan pada saat yang sama, mereka menujukkan kebijaksanaan mereka dengan berkata, Kami tidak mungkin untuk tidak berkata- kata tentang apa yang telah kami dengar dan kami lihat. (St. Yohanes Krisostomus, hom. xxxiv.)

Sebagai domba…. Ia [Kristus] membandingkan mereka dengan domba, tidak saja karena kepolosan mereka, tetapi juga karena mereka diutus tanpa senjata dan berkekurangan dari semua dukungan manusia -dalam hal makanan, pakaian dan tempat tinggal…. Bijaksana… Agar kamu dapat berhati- hati terhadap jebakan para musuhmu. Kebijaksanaan ular di sini dipuji, karena ketika ia tidak dapat melarikan diri [dari jebakan musuhnya], ular itu akan setidak- tidaknya mempertahankan kepalanya bebas dari kesakitan, sementara merelakan sisa tubuhnya menderita. Oleh karena itu, para murid Kristus, yang mempunyai Kristus sebagai kepala mereka, harus mempertahankan iman mereka, meskipun kehilangan apapun yang lain.”

Maka memang di sini Yesus ingin mengambil sifat positif dari ular dan merpati yaitu kebijaksanan/ kecerdikan dan ketulusan, dan mengajarkan sifat- sifat tersebut kepada para murid-Nya untuk mewartakan Kabar Gembira. Dunia mungkin tidak menerima kita, atau bahkan menyerang kita sebagaimana serigala menyerang domba- domba, namun dengan mengandalkan kuasa Tuhan, maka kebijaksanaan dalam tutur kata maupun tingkah laku, ketulusan dan kelemahlembutan kita akan menang dan mengatasi keberingasan mereka yang melawan kita.

Semoga kita dapat mengingat dan melaksanakan prinsip ini pada saat kita mewartakan Injil Tuhan.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Jika ingin menyamai Allah tapi tidak makan buah, Adam & Hawa tetap diusir?

14

[Dari Katolisitas: tanya jawab ini adalah kelanjutan dari tanya jawab ini, silakan klik. Namun karena penjabarannya yang panjang, kami pisahkan dalam topik tersendiri]

Pertanyaan:

Shaloom Bu Inggrid,

Terima kasih atas jawabannya, tp mau iseng2 tanya, mungkin jawabannya tidak akan ada yang tau.

Dulu saya dibilang kalau karena Adam dan Hawa makan buah tsb, jadi manusia jatuh ke dalam dosa, karena mereka dulu tak tercemar oleh dosa

Jadi andaikan mereka tidak makan, tetapi udah ada pikiran mau menyamai Tuhan apakah mereka tetap diusir dr Taman Eden karena mereka sudah tercemar dosa…

Terima Kasih

Jawaban:

Shalom Leo,

Nampaknya kita tidak dapat memisahkan sama sekali hal memakan buah dan keinginan untuk menyamai Tuhan. Sebab dengan memakan buah itu, Adam dan Hawa menyatakan ketiadaktaatannya kepada Tuhan; atau hal memakan buah itu merupakan simbol dari ketidaktaatan mereka.

Berikut ini adalah jawaban dari Dr. Lawrence Feingold STL, pembimbing Teologis situs ini, dan saya sertakan terjemahannya di sampingnya:

Jawaban dari Dr. Lawrence Feingold STL tentang dosa asal Terjemahan oleh Ingrid Listiati, MTS
We can only speculate here using theological principles, and thus we cannot claim a certainty. However, I would answer as follows.

Genesis 1-3 are history, but a history that is archaic and symbolic, in accordance with the mentality of more earlier or more primitive cultures. Thus it is not necessary to take the account of the original sin literalistically. We can see eating of the fruit of the tree of the fruit of the knowledge of good and evil as a symbol of man seeking to make himself like God in a way that he cannot be: seeking to free himself from God’s dominion over good and evil.

Thus the essence of the original sin was precisely seeking to be God in a way in which a creature cannot be. No creature can have dominion over good and evil, for that belongs to God alone as the Creator and the Final End. He alone is the eternal moral law. The question that you asked seemed to separate the eating of the tree of the knowledge of good and evil, and desiring to be God (or better: desiring to be like God in a way that a creature cannot be–determining good and evil autonomously). I would say that the original sin was precisely the desiring to be morally autonomous. This desire was expressed or represented as eating of the fruit of the tree of knowledge of good and evil. In other words, we can distinguish the essence of the original sin (desiring moral autonomy), and the symbolic form in which this was represented.

I have a section on John Paul II’s interpretation of the original sin which might be helpful here. I wrote:

John Paul II gave a profound interpretation of the nature of the original sin in his encyclical of 1986, Dominum et vivificantem, on the role of the Holy Spirit in the life of the Church. In the second part of this encyclical he makes a brief analysis of the nature of the original sin of Adam and its paradigmatic value as a deliberate rejection of the truth of God’s Word and the goodness of His Law as an expression of His loving Providence. He writes: “This original disobedience presupposes a rejection, or at least a turning away from the truth contained in the Word of God, who creates the world. . . . He is the Word who is also the eternal law, the source of every law which regulates the world and especially human acts.”(Dominum et vivificantem 33)

The original sin, and every sin, is a rejection of the Word of God, the Logos, who is also God’s eternal law. The original sin, and every sin, is thus a rejection of Christ, the Logos, and a disbelief in the Logos as Eternal Law. John Paul II writes:

The rejection expresses itself in practice as ‘disobedience,’ in an act committed as an effect of the temptation which comes from the ‘father of lies.’ Therefore, at the root of human sin is the lie which is a radical rejection of the truth contained in the Word of the Father, through whom is expressed the loving omnipotence of the Creator. (Dominum et vivificantem 33)

In Dominum et vivificantem 36, John Paul II further develops the notion of the original sin as a refusal to respect the limitation of the human condition as a creature, subject to the eternal law of God. This law is a law of love, leading man to realize his beatitude through the perfection of his personality in perfect self-giving to neighbor and to God. The devil inspires man with a suspicion against the goodness of God and the gift of the eternal wisdom manifested in the law of God. The Pope writes:

The “image of God,” consisting in rationality and freedom, expresses the greatness and dignity of the human subject, who is a person. But this personal subject is also always a creature: in his existence and essence he depends on the Creator. According to the Book of Genesis, “the tree of the knowledge of good and evil” was to express and constantly remind man of the “limit” impassable for a created being. God’s prohibition is to be understood in this sense: the Creator forbids man and woman to eat of the fruit of the tree of the knowledge of good and evil. The words of the enticement, that is to say the temptation, as formulated in the sacred text, are an inducement to transgress this prohibition-that is to say, to go beyond that “limit”: “When you eat of it your eyes will be opened, and you will be like God [“like gods”], knowing good and evil.”

“Disobedience” means precisely going beyond that limit, which remains impassable to the will and the freedom of man as a created being. For God the Creator is the one definitive source of the moral order in the world created by him. Man cannot decide by himself what is good and what is evil-cannot “know good and evil, like God.” In the created world God indeed remains the first and sovereign source for deciding about good and evil, through the intimate truth of being, which is the reflection of the Word, the eternal Son, consubstantial with the Father.

Kita hanya dapat memperkirakan di sini dengan menggunakan prisnip- prinsip teologis, dan karena itu kita tidak dapat mengklaim pasti benar. Namun demikian, saya akan menjawab demikian:

Kitab Kejadian 1-3 adalah kisah sejarah, namun merupakan sejarah yang archaik dan simbolis, sesuai dengan mentalitas dari budaya- budaya yang lebih awal atau yang lebih primitif. Karena itu, tidaklah perlu untuk menangkap kejadian tentang dosa asal dengan cara literalistik. Kita dapat melihat hal memakan buah pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan yang buruk sebagai simbol dari manusia yang ingin menjadikan dirinya sendiri sebagai Tuhan dengan cara yang tidak dapat dilakukannya: [yaitu] menghendaki untuk membebaskan dirinya sendiri dari kuasa Tuhan atas hal baik dan yang buruk.

Maka hakekat dari dosa asal tepatnya adalah menghendaki untuk menjadi Tuhan dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh mahluk ciptaan. Tak ada mahluk ciptaan yang mempunyai kuasa atas hal yang baik dan buruk, sebab kuasa itu adalah milik Tuhan saja sebagai Pencipta dan Tujuan Akhir. Ia sendiri adalah Sang hukum moral yang kekal. Pertanyaan yang Anda ajukan sepertinya memisahkan antara hal memakan buah pohon pengetahuan baik dan buruk dengan keinginan untuk menjadi Tuhan (atau: keinginan untuk menjadi seperti Tuhan dengan cara yang tak dapat dilakukan oleh mahluk ciptaan– yaitu menentukan hal yang baik dan buruk, secara otonom, terlepas dari Tuhan). Saya katakan bahwa dosa asal adalah kehendak untuk menjadi otonom secara moral. Kehendak ini dinyatakan atau dilambangkan sebagai memakan buah dari pohon pengetahuan akan hal yang baik dan buruk. Dengan kata lain, kita dapat membedakan hakekat dosa asal (yaitu menghendaki otonomi moral) dan bentuk simbolis yang melambangkannya [yaitu makan buah pohon tersebut].

Saya mempunyai secuplik tulisan tentang interpretasi Paus Yohanes Paulus II tentang dosa asal, yang mungkin dapat membantu di sini, demikian saya menuliskannya:

Paus Yohanes Paulus II memberikan interpretasi yang mendalam tentang kodrat dosa asal dalam surat ensikliknya tahun 1986, Dominum et vivificantem, tentang peran Roh Kudus dalam kehidupan Gereja. Di bagian kedua dari surat ensiklik ini, ia membuat analisa singkat tentang kodrat dosa asal Adam dan nilai maknanya sebagai penolakan yang disengaja akan kebenaran Sabda Tuhan dan kebaikan Hukum-Nya sebagai sebuah pernyataan Penyelenggaraan-Nya yang penuh kasih. Paus menulis, “Ketidaktaan awal ini didahului oleh sebuah penolakan, atau setidaknya sebuah pengingkaran dari kebenaran yang terkandung di dalam Sabda Allah yang menciptakan dunia… Ia adalah Sang Sabda yang juga adalah hukum yang kekal, sumber dari setiap hukum yang mengatur dunia dan secara khusus perbuatan- perbuatan manusia” (Dominum et vivificantem 33)

Dosa asal dan setiap dosa, adalah penolakan akan Sabda Tuhan, Sang Logos, yang adalah hukum Tuhan yang kekal. Dosa asal dan setiap dosa adalah penolakan terhadap Kristus, Sang Logos, dan ketidakpercayaan akan Sang Logos sebagai Hukum yang kekal. Paus menulis:

Penolakan menyatakan dirinya di dalam kehidupan sehari- hari sebagai ‘ketidaktaatan’, di dalam sebuah tindakan yang dilakukan sebagai akibat dari godaan yang datang dari ‘bapa segala kebohongan’ [Iblis]. Oleh karena itu, akar dari dosa manusia adalah kebohongan yang adalah penolakan radikal akan kebenaran yang terkandung di dalam Sabda Allah Bapa, yang melaluinya dinyatakan kemahakuasaan Sang Pencipta yang penuh kasih. (Dominum et vivificantem 33)

Di dalam Dominum et vivificantem 36, Paus Yohanes Paulus II selanjutnya mengembangkan pandangan bahwa dosa asal adalah penolakan untuk menghormati batasan keadaan manusia sebagai mahluk ciptaan, yang tunduk kepada hukum Tuhan yang kekal. Hukum ini adalah hukum kasih, yang memimpin manusia untuk menyadari kebahagiaan akhirnya melalui penyempurnaan kepribadiannya di dalam hal pemberian diri yang sempurna kepada sesama dan kepada Tuhan. Iblis mendorong manusia dengan kecurigaan melawan kebaikan Tuhan dan karunia kebijaksanaan kekal yang dinyatakan di dalam hukum Tuhan. Paus menulis:

“Gambaran Tuhan” yang terdapat di dalam kemampuan akal budi dan kehendak bebas, menyatakan kebesaran dan martabat manusia, yang adalah seorang pribadi.Ā  Namun tokoh pribadi ini juga selalu adalah mahluk ciptaan: di dalam keberadaannya dan hakekatnya, ia tergantung kepada Sang Pencipta. Menurut Kitab Kejadian, ‘pohon pengetahuan akan yang baik dan buruk’ adalah untuk mengekspresikan dan mengingatkan manusia secara terus menerus tentang batasan yang tak dapat diseberangi oleh seorang mahluk ciptaan. Larangan Tuhan harus dipahami dalam arti ini: Sang Pencipta melarang manusia laki-laki dan perempuan untuk makan buah pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan buruk. Kata- kata bujukan yaitu godaan, seperti yang dirumuskan di dalam teks suci adalah rayuan untuk melanggar larangan ini- yaitu, untuk melanggar “batas” itu: “Ketika kamu memakannya, matamu akan terbuka dan kamu akan menjadi seperti Tuhan, dengan mengetahui hal- hal yang baik dan buruk.”

“Ketidaktaatan” berarti melampaui batas itu, yang tetap tak terseberangi bagi kehendak dan kebebasan manusia sebagai mahluk yang diciptakan. Sebab Tuhan Pencipta adalah satu-satunya sumber yang definitif akan keteraturan moral di dunia yang diciptakan oleh-Nya. Manusia tidak dapat memutuskan sendiri apa yang baik dan apa yang buruk -manusia tidak dapat “mengetahui hal yang baik dan buruk seperti Tuhan.” Di dunia yang diciptakan, sungguh Tuhan tetaplah menjadi sumber yang pertama dan agung untuk memutuskan tentang hal yang baik dan buruk, melalui kebenaran yang intim, yang adalah permenungan Sang Sabda, Putera Allah yang kekal, yang sehakekat dengan Allah Bapa.

Jadi nampaknya pengandaiannya yang kurang tepat, ya, Leo. Sebab kejadian memakan buah pohon pengetahuan itu adalah simbol dari penolakan Adam dan Hawa untuk taat kepada Tuhan. Maka saya ingin merevisi dan melengkapi apa yang sudah saya katakan sebelumnya, bahwa memang umumnya dosa dimulai di pikiran dahulu baru kemudian setelah dikunyah- kunyah diwujudkan dalam perbuatan. Namun di kisah terjadinya dosa asal ini tidak dibedakan antara dosa di pikiran dahulu baru kemudian diwujudkan dalam perbuatan, sebab secara keseluruhan kejadian memakan buah tersebut adalah simbol yang menggambarkan ketidaktaatan Adam dan Hawa karena mereka ingin menjadi seperti Tuhan, dengan menentukan sendiri bagi mereka apa yang baik dan yang buruk (secara moral), tanpa mengindahkan kehendak Tuhan Pencipta mereka.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Bunda Maria: yang Terbesar di antara Para Kudus?

19

Pertanyaan:

Dear mbak Ingrid

Seorang kawan Katolik mengatakan kepada saya bahwa Maria adalah manusia yang paling mulia setelah YESUS. Di dalam kerajaan Surga setelah Allah Tritunggal, Maria adalah sosok nomer dua bahkan lebih dari para malaikat. Ketika saya tanya alasannya ia menjawab demikian: Tugas perutusan Maria selama hidupnya di dunia jauh lebih besar dari semua Nabi2 perjanjian lama dan bahkan jauh lebih besar dari Yohanes Pembaptis yang oleh Yesus sendiri katakan sebagai terbesar di dunia.

Saya tanya perutusan apakah yang telah dijalani Maria sehingga dia boleh dianggap sebagai yang terbesar dalam kerajaan Allah setelah Allah Tritunggal? Dia menjawab

Sebab Maria yang mengandung TUHAN Sebagai Ibu yang mengandung Putra Allah, Maria merasakan penolakan yang menyakitkan ketika manusia menolak menyediakan rumahnya bagi TUHAN yang akan lahir. Maria yang mengandung dan melahirkan TUHAN. Dan puncaknya adalah Maria mengalami penderitaan batin yang berat ketika harus menyaksikan dan mempersembahkan Putra-Nya di Golgota demi penebusan.

Kemudian lantas bagaimana dengan Yusuf? Bukankah dalam keluarga kepala keluarga adalah Bapak bukan Ibu, jika dengan Yusuf saja Maria berada di bawahnya, bagaimana bisa dikatakan bahwa Maria adalah sosok nomer dua di Surga setelah Allah Tritunggal dan ia menjawab

Sebab Maria yang mengandung TUHAN bukan Yosef yang mengandung TUHAN

Lantas bagaimana dengan Yusuf? Dia menjawab Yusuf menempati di surga pada peringkat ke tiga setelah Maria di peringkat ke dua. Saya tanya apa alasannya bahwa Yusuf harus disebut sebagai menempati peringkat ke tiga? Bagaimana dengan Firman TUHAN tentang Yohanes? Di tempat ke berapa dia? Bukankah YESUS sendiri berfirman bahwa YOHANES lah yang terbesar?

Dari diskusi ini timbul pertanyaan saya:

Benarkah doktrin gereja Katolik mengajarkan bahwa Maria adalah sosok termulia setelah Allah Tritunggal dan Yusuf di peringkat ke tiga? Lantas bagaimana dengan posisi Yohanes Pembaptis? Dan bagaimana dengan Petrus dan ke 11 rasul lainnya di peringkat ke berapakah mereka? Apakah mereka2 ini tidak lebih besar dari Maria dan Yusuf? Jika benar tidak lebih besar apa dasarnya gereja Katolik mengatakan demikian? Lantas bagaimana dengan nabi-nabi perjanjian lama? Di posisi ke berapakah mereka? Apakah mereka tidak lebih besar dari pada 12 Rasul dan Maria serta Yusuf? Jika ia apa dasarnya mengatakan demikian?

Kedua: Soal perutusan Maria yang dikatakan istimewa dari segala ciptaan ini adalah tanggapan saya: Mengandung dan melahirkan adalah hal biasa bagi wanita itu sudah kodratnya yang diberikan Tuhan. Kalau Yusuf yang mengandung itu baru aneh. Jadi tugas sebagai ibu untuk melahirkan adalah seperti tugas Yusuf yang memberi nafkah (makan-pakaian). Jadi mengandung dan melahirkan (Tuhan) bukanlah sesuatu penderitaan tetapi lebih kepada kebanggaan, demikian juga bagi Yusuf yang memberi makan pada ā€œTuhanā€ bukanlah suatu beban berat melainkan anugerah. Tentu saja kita harus menghormati keduanya, tapi kalau kita baca pengajaran dalam PB seorang istri harus menghormati suami dan bukan suami yang menghormati istri, melainkan suami harus mengasihi istri. Tentang kehilangan Putra, belum tentu seorang ibu lebih sedih daripada ayahnya, tetapi mungkin sang ayah lebih bisa mengendalikan emosinya saat kehilangan atau sebaliknya akan tetapi kalau seturut Firman dalam PB perbandingan istri kepada suami adalah seperti jemaat kepada KRISTUS

Semoga Tuhan Memberkati

Jawaban:

Shalom Hesti,

1. Bunda Maria: yang terbesar di antara para kudus?

Gereja Katolik memang melihat kepada Bunda Maria sebagai teladan kekudusan dan kesempurnaan Kristiani, dengan kenyataan bahwa Allah sendiri berkenan memilihnya sebagai ibu yang melahirkan Kristus, Sang Putera Allah yang menjadi manusia. Tentang dasar penghormatan yang istimewa kepada Bunda Maria, sudah pernah dituliskan di sini, silakan klik.

Karena Maria dipilih untuk menjadi Bunda Allah, suatu pilihan yang tidak akan pernah terjadi lagi dalam sejarah manusia bahwa seorang manusia akan melahirkan Tuhan yang menjelma menjadi manusia, maka posisi/ peran Maria memang tidak pernah dapat disamakan oleh peran siapapun. Sebab dengan menjadi bunda Kristus Sang Kepala, maka Maria juga menjadi bunda bagi anggota-anggota Tubuh-Nya, yaitu Gereja. Dengan demikian Gereja menghormati Bunda Maria sebagai bundanya, dan dengan demikian Maria mengambil tempat yang istimewa di antara para orang kudus lainnya, bahkan di antara para mahluk lainnya; sebab Kristus yang dilahirkannya merupakan yang sulung dan yang utama dari segala ciptaan (lih. Kol 1:15).

Maka ringkasnya, Bunda Maria memang adalah orang kudus yang istimewa, jika dibandingkan dengan tokoh- tokoh lainnya dalam Kitab Suci, karena: 1) berkat imannya ia dipilih Tuhan untuk menjadi Bunda Allah; 2) ia dikuduskan Tuhan dan dipenuhi rahmat sehingga tidak berdosa baik dosa asal maupun dosa pribadi; 3) karena ketaatannya ia menyebabkan keselamatan bagi seluruh umat manusia; 4) dengan perannya sebagai perawan dan bunda, Maria menjadi gambaran yang sempurna bagi Gereja.

Berikut ini adalah ajaran Gereja Katolik yang menyatakan hal tersebut:

1. Konsili Vatikan II :

“Sebab Perawan Maria, yang sesudah warta Malaikat menerima Sabda Allah dalam hati maupun tubuhnya, serta memberikan Hidup kepada dunia, diakui dan dihormati sebagai sungguh- sungguh Bunda Allah dan Bunda Penebus. Karena pahala putera-nya ia ditebus secara lebih unggul, serta dipersatukan dengan-Nya dalam ikatan yang erat dan tidak terputuskan. Ia dianugerahi kurnia serta martabat yang amat luhur, yakni menjadi Bunda Putera Allah, maka juga menjadi Puteri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus. Karena anugerah rahmat yang sangat istimewa itu ia jauh lebih unggul dari semua makhluk lainnya, baik di sorga maupun di bumi. Namun sebagai keturunan Adam Ia termasuk golongan semua orang yang harus diselamatkan. Bahkan ā€œia memang Bunda para anggota (Kristus), -. Karena dengan cinta kasih ia menyumbangkan kerjasamanya, supaya dalam Gereja lahirlah kaum beriman, yang menjadi anggota Kepala ituā€. Oleh karena itu ia menerima salam sebagai anggota Gereja yang serba unggul dan sangat istimewa, pun juga sebagai pola-teladannya yang mengagumkan dalam iman dan cinta kasih. Menganut bimbingan Roh Kudus Gereja Katolik menghadapinya penuh rasa kasih-sayang sebagai bundanya yang tercinta. (Lumen Gentium, 53)

Sehubungan dengan penjelmaan Sabda ilahi Santa Perawan sejak kekal telah ditetapkan untuk menjadi Bunda Allah. Berdasarkan rencana penyelenggaraan ilahi ia di dunia ini menjadi Bunda Penebus, dan mengatasi semua orang lain dan dengan cara yang satu-satunya menjadi sang pendamping yang istimewa dan hamba Tuhan yang rendah hati. Dengan mengandung Kristus, melahirkan-Nya, membesarkan-Nya, menghadapkan-Nya kepada Bapa di kenisah, serta dengan ikut menderita bengan Puteranya yang wafat di kayu salib, ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya Juru selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrtai jiwa-jiwa. Oleh karena itu dalam tata rahmat ia menjadi Bunda kita. (Lumen Gentium, 61)

Karena kurnia serta peran keibuannya yang ilahi, yang menyatukannya dengan Puteranya Sang Penebus, pun pula karena segala rahmat serta tugas-tugasnya, Santa Perawan juga erat berhubungan dengan Gereja. Seperti telah diajarkan oleh St. Ambrosius, Bunda Allah itu pola Gereja, dalam hal iman, cinta kasih dan persatuan sempurna dengan Kristus. Sebab dalam misteri Gereja, yang juga tepat disebut Bunda dan perawan, Santa Perawan Maria mempunyai tempat utama, serta secara ulung dan istimewa memberi teladan sebagai perawan maupun ibu.”

2. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa Maria adalah tokoh yang kudus/ sempurna dan termurni di antara semua mahluk ciptaan-Nya, demikian:

KGK 867Ā Ā Ā  Gereja adalah kudus: … Dalam orang-orang kudusnya terpancar kekudusannya; di dalam Maria ia sudah kudus secara sempurna.

KGK 64Ā Ā Ā  Dengan perantaraan para nabi, Allah membina bangsa-Nya dalam harapan akan keselamatan, dalam menantikan satu perjanjian yang baru dan kekal, yang diperuntukkan bagi semua orang (Bdk. Yes 2:2-4). dan ditulis dalam hati mereka (Bdk. Yer 31:31-34; Ibr 10:16). Para nabi mewartakan pembebasan bangsa Allah secara radikal, penyucian dari segala kejahatannya (Bdk. Yeh 36), keselamatan yang mencakup semua bangsa (Bdk. Yes 49:5- 6; 53:11). Terutama orang yang miskin dan rendah hati di hadapan Allah (Bdk. Zef 2:3) menjadi pembawa harapan ini. Wanita-wanita saleh seperti Sara, Ribka, Rahel, Miriam, Debora, Hana, Yudit, dan Ester tetap menghidupkan harapan akan keselamatan Israel itu; tokoh yang termurni di antara mereka adalah Maria (Bdk. Luk 1:38).

KGK 492Ā Ā Ā  Bahwa Maria “sejak saat pertama ia dikandung, dikaruniai cahaya kekudusan yang istimewa” (Lumen Gentium 56), hanya terjadi berkat jasa Kristus: “Karena pahala Puteranya, ia ditebus secara lebih unggul” (Lumen Gentium 53). Lebih dari pribadi tercipta yang manapun, Bapa “memberkati dia [Maria] dengan segala berkat Roh-Nya oleh persekutuan dengan Kristus di dalam surga” dan [Allah] telah memilih dia “sebelum dunia dijadikan, supaya ia kudus dan tidak bercacat di hadapan-Nya” (Bdk. Ef 1:3-4).

KGK 493Ā Ā Ā  Bapa-bapa Gereja Timur menamakan Bunda Allah “Yang suci sempurna” [panhagia]: mereka memuji dia sebagai yang “bersih dari segala noda dosa, seolah-olah dibentuk oleh Roh Kudus dan dijadikan makhluk baru” (Lumen Gentium 56). Karena rahmat Allah, Maria bebas dari setiap dosa pribadi selama hidupnya.

KGK 494Ā Ā Ā  Atas pengumuman bahwa ia, oleh kuasa Roh Kudus akan melahirkan “Putera yang maha tinggi” tanpa mempunyai suami (Bdk. Luk 1:28-37), Maria menjawab dalam “ketaatan iman” (Rm 1:5), dalam kepastian bahwa “untuk Allah tidak ada sesuatu pun yang mustahil”: “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk 1:37-38). Dengan memberikan persetujuannya kepada Sabda Allah, Maria menjadi bunda Yesus. Dengan segenap hati, ia menerima kehendak Allah yang menyelamatkan, tanpa dihalangi satu dosa pun, dan menyerahkan diri seluruhnya sebagai abdi Tuhan kepada pribadi dan karya Puteranya. Di bawah Dia dan bersama Dia, dengan rahmat Allah yang mahakuasa, ia melayani misteri penebusan (Bdk. Lumen Gentium 56).
“Sebab, seperti dikatakan oleh Santo Ireneus, ‘dengan taat Maria menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap umat manusia‘. Maka tidak sedikitlah para Bapa zaman kuno, yang dalam pewartaan mereka dengan rela hati menyatakan bersama Ireneus: ‘Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh Perawan Maria karena imannya‘. Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria ‘bunda mereka yang hidup’. Sering pula mereka nyatakan: ‘maut melalui Hawa, hidup melalui Maria”‘ (Lumen Gentium 56).

KGK 495Ā Ā Ā  Dalam Injil-injil Maria dinamakan “Bunda Yesus” (Yoh 2:1; 19:25,Bdk. Mat 13:55 dll). Oleh dorongan Roh Kudus, maka sebelum kelahiran Puteranya ia sudah dihormati sebagai “Bunda Tuhan-Ku” (Luk 1:43). la, yang dikandungnya melalui Roh Kudus sebagai manusia dan yang dengan sesungguhnya telah menjadi Puteranya menurut daging, sungguh benar Putera Bapa yang abadi, Pribadi kedua Tritunggal Maha kudus. Gereja mengakui bahwa Maria dengan sesungguhnya Bunda Allah [Theotokos, Yang melahirkan Allah] (Bdk. DS 251).

KGK 506Ā Ā Ā  Maria adalah perawan, karena keperawanannya adalah tanda imannya, “yang tidak tercemar oleh keraguan sedikit pun” (Lumen Gentium 63), dan karena penyerahannya kepada kehendak Allah yang tidak terbagi (Bdk. 1 Kor 7:34-35). Berkat imannya ia dapat menjadi Bunda Penebus: “Maria lebih berbahagia dalam menerima iman kepada Kristus, daripada dalam mengandung daging Kristus” (Agustinus, virg. 3).

KGK 507Ā Ā Ā  Maria adalah perawan sekaligus bunda, karena ia adalah citra hakikat Gereja dan Gereja dalam arti penuh (Bdk. Lumen Gentium 63): Gereja, “oleh menerima Sabda Allah dengan setia pula – menjadi ibu juga. Sebab melalui pewartaan dan baptis, Gereja melahirkan bagi hidup baru yang kekal-abadi putera-putera yang dikandungnya dari Roh Kudus dan lahir dari Allah. Gereja pun perawan, yang dengan utuh-murni menjaga kesetiaan yang dijanjikannya kepada Sang Mempelai. Dan sambil mencontoh Bunda Tuhannya, Gereja dengan kekuatan Roh Kudus secara perawan mempertahankan imannya, keteguhan harapannya, dan ketulusan cinta kasihnya” (Lumen Gentium 64).

Nah, sekarang bagaimana dengan posisi orang kudus lainnya seperti St. Yusuf, St. Yohanes Pembaptis dan para Rasul? Sepanjang pengetahuan saya tidak ada dokumen Gereja Katolik yang secara definitif menyebutkan urutan- urutan orang kudus setelah Bunda Maria. Nampaknya tidaklah menjadi terlalu penting untuk mempersoalkan urutan tersebut, karena sebagai anggota- anggota Tubuh Kristus, setiap dari mereka mempunyai peran dan kekhususannya sendiri- sendiri.

Mengenai interpretasi Mat 11:11, di mana Yesus berkata, “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar dari padanya”, menurut keterangan dari the Navarre Bible adalah demikian:

“Dengan Yohanes Pembaptis, berakhirlah sudah Perjanjian Lama dan kita memasuki ambang Perjanjian Baru. Sang Perintis memperoleh kehormatan untuk membuka jalan bagi Kristus, dengan memberitakan Dia kepada orang banyak. Tuhan telah menugaskan kepadanya misi agung untuk mempersiapkan orang- orang sejamannya untuk mendengar Injil. Kesetiaan Yohanes Pembaptis diketahui dan diumumkan oleh Kristus. Pujian kepadanya merupakan penghargaan atas kerendahan hatinya: Yohanes, menyadari perannya, telah berkata, “Ia harus semakin besar dan aku semakin kecil.” (Yoh 3:30).

Yohanes Pembaptis merupakan yang terbesar, dalam arti bahwa ia menerima misi yang unik dan tidak tertandingi di dalam konteks Perjanjian Lama. Namun demikian, di dalam Kerajaan Surga (Perjanjian Baru) yang dimulai oleh Kristus, karunia rahmat ilahi membuat mereka yang terkecil yang dengan setia menerima rahmat itu menjadi lebih besar daripada yang terbesar menurut Perjanjian yang terdahulu. Pada saat karya penebusan kita selesai, rahmat Tuhan juga akan mencapai orang- orang benar di masa Perjanjian Lama. Dengan demikian, kebesaran Yohanes Pembaptis, Sang Perintis dan yang terakhir dari para nabi, akan disempurnakan oleh martabat diangkatnya menjadi anak Allah.”

2. Soal perutusan Maria yang dikatakan istimewa dari segala ciptaan.

Tentang hal ini Anda mengatakan, “Mengandung dan melahirkan adalah hal biasa bagi wanita itu sudah kodratnya yang diberikan Tuhan. Kalau Yusuf yang mengandung itu baru aneh. Jadi tugas sebagai ibu untuk melahirkan adalah seperti tugas Yusuf yang memberi nafkah (makan-pakaian).”

Memang benar hal mengandung dan melahirkan mungkin adalah hal biasa bagi wanita, tetapi itu jika yang dikandung dan dilahirkan adalah manusia. Kalau yang dikandung adalah Tuhan, maka menjadi sangat tidak biasa. Ini yang membuat Bunda Maria menjadi istimewa, karena yang dikandungnya adalah Yesus, yang sungguh Tuhan, walaupun Ia juga sungguh manusia.

Selain itu, Maria mengandung dan melahirkan tidak dengan campur tangan benih laki- laki, melainkan oleh Roh Kudus. Ini yang membuat Maria tidak sama dengan para wanita pada umumnya yang mengandung dengan keterlibatan benih suaminya. Dalam penjelmaan-Nya menjadi manusia, Tuhan Yesus mengambil semua ciri kemanusiaan-Nya (gen, DNA, darah, sel, dst) dari Bunda Maria dan tidak sama sekali dari St. Yusuf. Dengan demikian, maka Maria memang dapat dikatakan sebagai ibu biologis dari Kristus, sedangkan St. Yusuf adalah bapa angkat Yesus (foster father) bukan bapa biologis Yesus. Tentang hal ini, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Maka, tanpa mengecilkan peran Yusuf, kita secara obyektif dapat melihat bahwa kesatuan antara Tuhan Yesus dan Bunda Maria tidak dapat disamakan dengan kesatuan antara Tuhan Yesus dan St. Yusuf. Namun demikian, Gereja Katolik tetap menghormati St. Yusuf dan banyak gereja/ paroki mengambil nama St. Yusuf sebagai santo pelindungnya.

Anda selanjutnya mengatakan, “Jadi mengandung dan melahirkan (Tuhan) bukanlah sesuatu penderitaan tetapi lebih kepada kebanggaan, demikian juga bagi Yusuf yang memberi makan pada ā€œTuhanā€ bukanlah suatu beban berat melainkan anugerah. Tentu saja kita harus menghormati keduanya, tapi kalau kita baca pengajaran dalam PB seorang istri harus menghormati suami dan bukan suami yang menghormati istri, melainkan suami harus mengasihi istri. Tentang kehilangan Putra, belum tentu seorang ibu lebih sedih daripada ayahnya, tetapi mungkin sang ayah lebih bisa mengendalikan emosinya saat kehilangan atau sebaliknya akan tetapi kalau seturut Firman dalam PB perbandingan istri kepada suami adalah seperti jemaat kepada KRISTUS.

Benar bahwa mengandung dan melahirkan Tuhan sesungguhnya bukan merupakan penderitaan tetapi kebanggaan dan anugerah. Hal ini juga disadari oleh Bunda Maria, sehingga ia mengatakan juga dalam kidung Magnificatnya, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku …” (Luk 1:46-49).

Namun janganlah kita lupakan pergumulan batin Maria sebelum ia mengatakan “Ya” terhadap kabar gembira malaikat, yaitu bahwa ada resiko yang cukup besar bagi Maria saat itu, karena menurut hukum Taurat, seorang perempuan yang mengandung bukan dari suaminya terancam hukuman rajam dan dipermalukan di hadapan umum (lih. Ul 22:23-24). Namun Bunda Maria percaya sepenuhnya akan rencana Tuhan sehingga ia dapat berkata, “Aku ini hamba Tuhan. Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.” (lih. Luk 1:38). Jangan pula dilupakan bahwa meskipun dalam keadaan rahmat dan anugerah Tuhan, Keluarga kudus (Bunda Maria, St. Yusuf dan Yesus) hidup dalam kemiskinan dan kesederhanaan, bahkan pernah menjadi pengungsi di Mesir. Maka kehidupan Bunda Maria dan St. Yusuf merupakan rangkaian mozaik antara kebahagiaan dan keprihatinan namun tidak membuat iman mereka menjadi luntur. Puncak penderitaan Bunda Maria yang merupakan penggenapan nubuat Simeon bahwa ā€˜sebuah pedang akan menembus jiwanya’ (Luk 2:35) adalah ketika Bunda Maria berdiri di kaki salib Kristus, dan melihat bagaimana Putera-Nya disiksa sampai wafat. Kenyataan yang terpampang di hadapannya ini menjadi sangat berlawanan, bahkan sepertinya merupakan penyangkalan total dari apa yang pernah didengarnya dari malaikat, ā€œIa akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi… dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.ā€ (Luk 1:32-33). Namun Maria tetap teguh berdiri mendampingi Puteranya dengan kesetiaan seorang hamba, ā€œTerjadilah padaku menurut kehendak-Muā€ (lih. Luk 1:38).

Tentang menghormati suami, itu tentu dilakukan oleh Bunda Maria terhadap St. Yusuf, sebab sebagai perempuan yang taat kepada hukum Taurat (Gal 4:4), Bunda Maria tidak mungkin melakukan sebaliknya. Namun kita juga dapat membayangkan bahwa St. Yusuf juga menghormati Bunda Maria, sebagai seseorang yang telah dipilih Tuhan untuk melahirkan Putera-Nya. Jika dikatakan dalam Kitab Suci bahwa Yusuf adalah seorang yang tulus hati (Mat 1:19), dan ketulusan hatinya ini yang memimpinnya untuk melindungi Maria (lih. Mat 1:19) dan mengikuti kehendak Tuhan yang diberitahukan kepadanya dalam mimpi; terlebih lagi setelah ia menjadi suami Maria, ia akan semakin mengenal panggilan Tuhan dalam hidupnya untuk melindungi Maria sebagai Tabut Allah, dan Putera Allah yang dikandung dan dilahirkan oleh Maria.

Jika kita membaca Kitab Suci, kita akan tahu bahwa keberadaan St. Yusuf disebut terakhir kali saat Yesus diketemukan dalam Allah saat berumur 12 tahun (lih. Luk 2:41-52). Tradisi Gereja mengajarkan bahwa St. Yusuf sudah lama wafat sebelum Yesus disalibkan. Maka yang menyaksikan sengsara dan wafat Yesus adalah Bunda Maria, sedangkan St. Yusuf tidak, sebab ia sudah meninggal dunia. Itulah sebabnya, karena Yesus tidak ingin ibu-Nya hidup sebatang kara sepeninggalan-Nya (karena St. Yusuf sudah wafat dan Yesus tidak mempunyai adik- adik), maka Ia memberikan Bunda Maria kepada Rasul yang dikasihi-Nya, yaitu Yohanes (lih. Yoh 19:26-27).

Akhirnya, Gereja Katolik juga mengajarkan bahwa hubungan antara suami dan istri mengambil teladan dari hubungan antara Kristus dan Gereja, di mana Kristus telah menyerahkan diri-Nya baginya (lih. Ef 5:25). Sebab masing- masing dari kita sebagai anggota Gereja dipanggil kepada kesempurnaan kasih kepada Kristus, yang adalah Kepala kita; dan dalam hal inilah Bunda Maria telah menjadi teladan, sebab ia telah melakukan kesempurnaan kasih itu sepanjang hidupnya.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Melewati Kematian, Melampaui Kefanaan

11

Dari sekian banyak misteri yang belum diketahui oleh akal budi manusia, misteri mengenai kematian dan kehidupan setelah kematian merupakan misteri yang terbesar dan sering menimbulkan rasa takut yang tersembunyi di dalam lubuk hati siapa saja yang membayangkannya. Setelah sekian lama lalu lalang di dalam kehidupan dengan berbagai pengalaman suka dan duka yang begitu beraneka, dengan begitu banyak teman, saudara, kekasih, dan urusan-urusan kehidupan yang begitu kompleks, penuh tantangan, sekaligus dinamis dan mengasyikkan, rasanya sebuah fakta tak terelakkan mengenai kematian menjadi hal terakhir yang ingin kita pikirkan dalam kehidupan ini. Sebuah bentuk keberadaan baru yang sama sekali asing bagi kita, di situ ada tanda tanya besar, ada kesedihan meninggalkan hidup yang begitu menggairahkan, dan tentunya…kesunyian, karena menghadapi kematian, manusia menjadi seorang diri saja, seperti saat datangnya.

Sayangnya, kematian begitu pasti, tidak terelakkan. Semua manusia akan berurusan dengannya, suka atau tidak suka, hanya masalah waktu saja. Akhirnya, walaupun pada suatu hari dan perlahan-lahan manusia bisa berdamai dengan kepastian hidup yang bernama kematian, kematian tetaplah menghadirkan sensasi kegelapan dan kesunyian yang sulit untuk dibayangkan.

Namun syukur kepada Allah Bapa Sang Raja Semesta, karena karunia iman dari Tuhan dan cinta Tuhan kepada manusia yang dinyatakan-Nya melalui Kitab Suci dan pengajaran Gereja-Nya, manusia mempunyai sumber kekuatan yang tak terbatas, melampaui rasa takut dan ketidakberdayaannya dalam berhadapan dengan sang maut. Gereja mengajak kita untuk memandang kematian justru sebagai sebuah awal dari bentuk hidup yang baru, sebuah transformasi yang menjadi sarana paling indah untuk berjumpa dan bersatu kembali dengan Tuhan Sang Pencipta, yang sebenarnya sudah kita rindukan sejak awal kehadiran kita di dalam peziarahan di dunia. Kerinduan yang sering tidak kita sadari, bahkan sebetulnya sering kita pungkiri, dengan segala macam dalih dunia yang meninabobokan jiwa kita.

Sebuah ilustrasi menarik dari sumber yang tidak diketahui pernah beredar di sirkulasi email. Dikisahkan seekor anjing yang sedang terpisah beberapa minggu dari tuannya yang sedang dirawat di rumah sakit. Suatu hari seorang kerabat berinisiatif memberi kejutan yang menyenangkan dengan membawa anjing itu ke rumah sakit supaya bisa menemui tuannya sejenak dan supaya mereka bisa saling berjumpa melepas rindu. Hari itu tanpa sepengetahuan si kerabat, si tuan rupanya sedang menjalani pemeriksaan kesehatan di ruang lain pada saat anjingnya itu tiba. Sampai di sebuah lantai yang masih berada jauh dari kamar rawat inap si tuan, tiba-tiba si anjing melompat dan mencoba berontak dari pegangannya, berusaha memasuki sebuah ruangan yang pintunya tertutup. Si kerabat keheranan melihat tingkah laku si anjing, sementara anjing itu mulai menggaruk-garuk pintu ruang tertutup itu dengan kaki depannya sambil menggonggong dan mengibas-ngibaskan ekornya dengan sukacita. Sang kerabat sama sekali tidak tahu bahwa tuan si anjing sedang berada di dalam ruangan itu untuk sebuah pemeriksaan, tetapi anjing yang setia itu tahu dari indra penciumannya dan dari instingnya, bahwa tuan yang dirindukannya sedang berada di balik pintu dan ia tak sabar untuk segera menemuinya. Ketika pintu itu akhirnya dibuka dari dalam, si anjing menerjang masuk dan melompat ke dalam pelukan tuannya, yang merasa amat gembira dengan kejutan indah hari itu. Antusiasme dan sukacita anjing itu mewakili sikap manusia menghadapi kematian dalam terang iman. Si anjing dengan antusias mencoba untuk masuk ke dalam ruangan yang sama sekali tak pernah diketahuinya, bahkan ia tak akan bisa tahu apabila ternyata ada bahaya atau sesuatu yang tidak menyenangkan menantinya di balik pintu, tetapi ia tidak peduli, karena yang paling penting adalah ia tahu siapa yang berada di balik pintu yang tertutup itu, sosok tuan yang dikasihinya, yang sangat dikenalnya karena selalu menyayangi dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang setiap hari. Dan selama ada orang itu, di manapun juga, bahkan di tempat yang sama sekali asing sekalipun, ia tahu ia akan baik-baik saja, ia tahu ia akan bersukacita.

Itulah gambaran iman manusia yang telah mengenal kasih karunia Allah Bapa dan telah diselamatkan oleh kasih setia Tuhan Yesus yang telah menderita sengsara begitu dalam dan wafat bagi kita. Misteri itu tidak perlu menakutkan lagi, karena kita tahu Siapa yang menunggu kita di balik pintu yang tertutup itu. Kita tahu (dan bukan hanya yakin) bahwa Tuhan sudah menunggu kita di balik kematian untuk bersama dengan kita selamanya. Namun kita hanya akan benar-benar tahu, bila seumur hidup yang singkat ini kita terus mengejar pengetahuan akan jalan-jalan-Nya, sehingga kata-kata Yesus sungguh menjadi kenyataan ketika Ia berkata, ā€œsupaya di tempat di mana Aku berada, kamupun beradaā€ (Yoh 14: 3c). Usaha kita untuk mengejar pengetahuan akan jalan-Nya hanya terjadi bila kita berusaha sepanjang waktu untuk mencari dahulu Kerajaan Allah, di atas kesenangan-kesenangan pribadi kita, walaupun seringkali hal itu sukar karena kita harus menyangkal diri dan menyalibkan diri sendiri, ā€œTetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mat 6:33). Akhir kehidupan yang selalu dipenuhi persekutuan dan hadirat-Nya itu membuat kita tahu bahwa saat itu Tuhan akan berkata seperti dalam Mat 25:23, ā€œBaik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. Kalaupun di akhir kehidupan ini, kita belum sempat menuntaskan bagian kita untuk sepenuhnya berada di dalam hadirat-Nya, Gereja mengajarkan bahwa kerahiman-Nya melalui proses pemurnian di dunia baka, sanggup memberikan kita kepastian akan akhir yang membahagiakan.

Demikianlah iman dan kasih yang dicurahkan Tuhan melalui kekayaan pengajaran Gereja-Nya, tidak hanya membekali manusia menghadapi kematiannya sendiri, tetapi juga memberikan kekuatan pada saat manusia menghadapi kematian orang-orang terdekat yang sangat dikasihi. Suatu hari, pada peringatan duapuluh tahun meninggalnya paman saya, sepupu saya yang adalah anak paman yang tertua, bertanya-tanya dengan sedih, bagaimana kita bisa tetap berhubungan secara nyata, atau setidak-tidaknya berkontak batin, atau sedikit saling mengetahui perasaan satu sama lain, dengan orang-orang terkasih yang telah meninggal dunia. Pada waktu-waktu tertentu, ia amat merindukan ayahnya, dan ia berharap ia bisa berkomunikasi secara nyata dengan ayahnya, seperti halnya kalau saya sesekali menelpon ayah saya, mengirim email, atau bicara melalui skype dari tempat tinggal saya yang jauh dari ayah. ā€œAku ingin bisa menjumpainya dalam mimpiku, atau mendengarnya berbisik di dalam doaku, atau merasakan kehadirannya dalam kesendirianku bersama Tuhan dalam waktu-waktu doaku, tetapi ayah seperti lenyap tak berbekas, gone with the wind, ā€œ sepupu saya bercerita dengan sendu.

Saya tercenung, tetapi lalu saya tergerak untuk mengatakan kepadanya, bahwa Tuhan yang selalu kita ajak bicara setiap saat dalam doa dan pujian penyembahan, juga tidak pernah kita lihat wujud-Nya, pun tidak pernah kita dengar suara-Nya. ā€œTetapi kita tahu bahwa Ia ada di sana, Ia hadir, dan Ia selalu bersama kita untuk menolong kita dalam pergumulan hidup sehari-hariā€, kataku. Iman dan cinta-Nya membuat kita yakin dan bahkan mengalami terus penyertaan-Nya walaupun secara panca indera, kita sama sekali tidak mampu menangkap keberadaan-Nya. ā€œMaut tidak bisa memisahkan kita dengan orang-orang yang kita cintai, Kak, tidak seharusnya begitu, karena aku percaya Tuhan tidak bermaksud begitu, kataku, ā€œkita hanya belajar untuk berhubungan dan berelasi dengan mereka dengan cara yang baru, dan mengembangkan bentuk relasi yang baru itu melalui kerahiman Allah yang selalu merangkul kita sebagai satu keluarga, baik di dalam hidup maupun melewati hidup. Kita adalah satu keluarga besar di dalam Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus, dan maut tidak membuat kekeluargaan dalam Dia itu berakhir.ā€ Lalu saya membuka Kitab Suci dan mengingatkan salah satu ayat favorit saya itu kepada sepupu saya, ā€œIni buktinyaā€, dan saya baca perlahan-lahan dari Roma 8:38-39, ā€œSebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. ā€œ Tuhan mengasihi kita begitu rupa, sehingga kita dikaruniai ayah, ibu, para saudara dan sahabat serta para kekasih hati. Kehadiran dan cinta mereka di dalam hidup kita adalah tidak terpisahkan dari kasih Allah sendiri di dalam hidup kita. Maka jika kita berpisah untuk sementara karena kematian, seperti juga maut itu tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, demikianlah maut yang sama tidak memisahkan kita dari kasih kita satu sama lain kepada orang-orang terdekat, sekalipun mereka sudah tidak lagi bersama-sama kita secara fisik di dalam dunia ini.

Pada hari Peringatan Arwah Semua Orang Beriman tanggal 2 November, Gereja mengajak anggota-anggota Tubuh Kristus untuk merenungkan dan menggali harta kekayaan sebagai tanda nyata kehangatan kasih Allah Bapa yang mempersatukan semua anggota Tubuh Kristus, baik yang masih mengembara di dunia maupun yang sudah mulia di Surga, bersama-sama berdoa bagi mereka yang masih disucikan di dalam pemurnian. Kehangatan kasih saling mendoakan yang melewati batas-batas dunia fana itu menjadi suatu pesan yang amat kuat bahwa kehangatan kasih Bapa mengalahkan segala bentuk kegelapan, kesunyian, dan kesendirian yang dirasakan manusia menyangkut kematian. Perayaan Ekaristi yang diadakan di gereja maupun di pekuburan tempat peristirahatan terakhir anggota Tubuh Kristus yang telah berpulang, menyiratkan harapan yang begitu nyata akan kerahiman Tuhan yang melampaui hidup dan kematian. Seperti yang dapat kita baca di dalam Katekismus Gereja Katolik, diajarkannya kekayaan sedemikian:

1475. Dalam persekutuan para kudus, “diantara para beriman apakah mereka telah ada di dalam tanah air surgawi atau masih menyilih di tempat penyucian atau masih berziarah di dunia – benar-benar terdapat satu ikatan cinta yang tetap dan satu pertukaran kekayaan yang berlimpah” (ibid.). Dalam pertukaran yang mengagumkan ini kekudusan seseorang dapat berguna untuk orang lain, dan malahan lebih daripada dosa seseorang dapat merugikan orang lain. Dengan demikian penggunaan persekutuan para kudus dapat membantu pendosa yang menyesal, bahwa ia lebih cepat dan lebih berdaya guna dibersihkan dari siksa-siksa dosanya.

Ada banyak nilai-nilai iman dan kasih dari kehidupan yang diberikan Tuhan, yang tidak dapat ditaklukkan oleh maut, betapapun kuatnya cengkeraman maut itu terhadap hidup manusia. Kepedulian kita yang masih mengembara di dunia untuk mempersembahkan doa-doa kita bersama para Kudus demi penebusan saudara-saudara kita yang masih berada di api penyucian adalah suatu bukti nyata dari nilai iman dan kasih itu. Dan puncak dari kemenangan Tuhan atas sengat maut yang melumpuhkan manusia itu terjadi pada hari Paskah, ketika Yesus bangkit dari maut untuk membawa manusia yang percaya kepada-Nya menuju kepada hidup berkelimpahan yang abadi, di mana segala bentuk kasih Tuhan yang kekal kepada seluruh ciptaan dirayakan dan dihayati dalam segala keutuhan dan kesempurnaan. Tuhan tidak pernah membiarkan kita sendirian dalam perjalanan akhir kita menuju ke sana. Hari Peringatan Arwah Semua Orang Kudus dan Peringatan Arwah Semua Orang Beriman mengingatkan kita akan kerahiman dan penyertaan-Nya yang tak pernah berhenti kepada masing-masing dari kita yang mengasihi Tuhan dan mencari kehendak-Nya dengan segenap hati, dalam hidup ini, sampai terus melewati kematian. Semoga kita menanggapinya dengan semangat cinta yang sepenuhnya. (Triastuti)

Apakah Semua Kitab Suci dilenyapkan di Masa Kaisar Konstantin, lalu diubah?

10

Pertanyaan:

Dear Pak Stef/ Ibu Ing n’ team
Katolisitas.org,

Saya pernah membaca sebuah artikel yang kontroversial menurut saya beberapa tahun lalu tapi saya lupa sumbernya dari mana,…

Isi dari artikel tsb menyatakan bahwa pernah ada satu masa kelam dari kaisar Konstantin yang memerintahkan supaya semua Kitab Suci yang ada pada saat itu dilenyapkan.
Atas hal ini bisa dikatakan bahwa manuskrip2 yg ditemukan selanjutnya adalah karangan dari sejarahwan/penulis2 di jaman Konstantin yang telah mereka perbaharui, sehingga Alkitab saat ini tidaklah benar2 seperti faktanya alias ada yang dikurangi & ada yang ditambah2kan.

Apakah hal tsb benar? Sebelumnya saya ingin mohon maaf kepada Gereja/ saudara2ku atas keraguan saya ini …

Terima ksih atas perhatiannya.

Pax Christi,
Antonius – Manado

Jawaban:

Shalom Antonius,

Jika artikel tersebut mengatakan demikian, nampaknya tidak benar. Sebab informasi yang saya peroleh tidak mengatakan demikian. Dari sumber yang netral, seperti Wikipedia, dikatakan bahwa yang mengadakan penganiayaan umat Kristen dan pembakaran Kitab Suci Kristiani adalah Kaisar Diocletian, sedangkan Konstantin yang saat itu adalah Caesar tidak mengambil bagian di dalam penganiayaan itu. Berikut ini, saya sampaikan cuplikan kutipannya dari Wikipedia (selengkapnya, klik di sini):

On 23 February 303, Diocletian ordered the destruction of Nicomedia’s new church, condemned its scriptures to the flame, and had its treasures seized. In the months that followed, churches and scriptures were destroyed, Christians were deprived of official ranks, and priests were imprisoned. It is unlikely that Constantine played any role in the persecution. In his later writings he would attempt to present himself as an opponent of Diocletian’s “sanguinary edicts” against the “worshippers of God”, but nothing indicates that he opposed it effectively at the time….

Demikian juga keterangan yang saya sarikan dari buku karangan Philip Hughes, A History of the Church, (New York: Sheed and Ward: 1949), p. 169-173:

Penganiayaan umat Kristen dan pembakaran Kitab- kitab Suci Kristiani memang diadakan di masa pemerintahan Kaisar Diocletian, yang ditandai dengan dikeluarkannya edict Diocletian (303), atas pengaruh panglimanya, Caesar Galerius. Perlu diketahui di jaman pemerintahan Diocletian ini, kaisar Diocletian membagi daerah kekuasaannya antara daerah Timur (diperintah oleh Diocletian dan Galerius) dan Barat (diperintah oleh Maximian dan Constantius Chlorus). Penganiayaan itu berlangsung sekitar 8-10 tahun sampai tahun 313.

Di selang waktu itu, Diocletian dan Maximian kemudian mengundurkan diri dan digantikan oleh Galerius dan Constantius Chlorus. Sebagai Caesar (panglima)nya, adalah Maximin Daia bagi Galerius; dan Konstantin bagi ayahnya, Constantius. Ketika Constantius wafat tahun 306 dan digantikan dengan Kaisar Severus, Konstantin tetap menjadi Caesar.

Pada tanggal 24 Februari 303, gereja katedral di ibukota Nicomedia (daerah kekuasaan Romawi Timur) dibakar. Berdasarkan edict dari kaisar, umat Kristen dilarang beribadah, gereja- gereja dibakar, kitab- kitab suci diserahkan ke polisi, dan umat Kristen diminta meninggalkan imannya. Mereka diminta untuk melakukan penyembahan korban menurut ibadah bangsa pagan/ kafir, dan jika menolak mereka dikenakan hukuman, bahkan hukuman mati. Phrygia, suatu kota yang dihuni oleh orang- orang Kristen, seluruhnya dibakar. Penganiyaan ini semakin menjadi-jadi saat Diocletian mundur (305) dan digantikan oleh Gelarius, dengan Caesar-nya Maximin Daia. Penganiayaan di daerah kerajaan Timur ini memang tidak terhindarkan dan berlangsung selama sekitar 8 tahun.

Sedangkan di kerajaan Barat, di saat Constantius Chlorus memimpin sebagai Caesar di Gaul (Perancis) dan Inggris penganiayaan umat Kristen tidak terjadi; namun di daerah Italia, Spanyol dan Afrika terjadi penganiayaan umat Kristen, di bawah pemerintahan Maximian. Tetapi pada tahun 305 ketika Constantius menjadi Kaisar, Spanyol menjadi daerah kekuasaannya, dan berhentilah penganiayaan di Spanyol. Pada tahun 306, Afrika dan Italia menjadi daerah kekuasaan Severus, dan kemudian Maxentius, dan kedua kaisar ini tidak melakukan penganiayaan umat Kristen.

Pada tanggal 30 April 311 penganiayaan umat Kristen berakhir, dengan dikeluarkannya edict yang ditandatangani oleh Galerius, Konstantin dan Licinius, yang mengakui adanya kebebasan beragama, dan dengan demikian mengakui keberadaan agama Kristen. Edict ini kemudian disempurnakan di dalam edict yang baru dua tahun kemudian, yang dikenal dengan nama Edict Milan (313).

Dengan demikian tidak benar bahwa di jaman Kaisar Diocletian semua Kitab Suci Kristiani berhasil dihancurkan, ataupun semua jemaat Kristen dianiaya; karena di daerah- daerah tertentu di wilayah Kerajaan Barat, penganiayaan tersebut tidak terjadi, dan jemaat di sana masih tetap menyimpan Kitab- kitab Suci mereka dengan baik.

Maka jika kemudian setelah Kaisar Konstantin berkuasa memimpin kerajaan Romawi, ia memerintahkan penyalinan Kitab- kitab Suci, maka yang disalin tetaplah Kitab Suci yang asli, yang sama dengan Kitab Suci sebelum jaman penganiayaan Diocletian. [Ini juga adalah suatu fakta bahwa kanon Kitab Suci sudah kurang lebih dikenal dalam Gereja, sebelum diresmikan pertama kali oleh Paus Damasus I (382)]. Yang menjadi saksi penting dalam hal ini adalah para Bapa Gereja yang hidup pada masa itu, yang menjadi saksi hidup atas kejadian penganiayaan Diocletian dan pemulihan keadaan Gereja setelah masa penganiayaan tersebut. Salah satu tokoh yang hidup pada masa itu adalah Eusebius, seorang Bapa Gereja yang juga merupakan ahli sejarah. Dalam bukunya Life of Constantine (IV, 36,37), ia menuliskan bahwa pada tahun 331 ia diperintahkan oleh Kaisar Konstantin untuk membuat 50 salinan Kitab Suci untuk dipergunakan di gereja- gereja di Konstantinopel, mengingat bahwa di daerah tersebut banyak kitab- kitab suci telah dilenyapkan di masa penganiayaan Diocletian.

Dengan adanya keberadaan para Bapa Gereja pada saat itu, seperti Eusebius dan St. Athanasius dari Alexandria dan para Bapa Gereja di Konsili Nicea (325) sebagai saksi hidup Gereja pada saat itu, maka tidak mungkin ada pemalsuan Kitab Suci, seperti yang diduga sebagian orang, atau bahwa Kitab Suci yang kita kenal sekarang merupakan hasil penyusunan Kaisar Konstantin, seperti dituliskan di dalam buku Da Vinci Code (lih. Dan Brown, The Da Vince Code, (Corgi Books, 2004), 313). Sebelum jaman Konstantin, Kitab Suci sudah ada. Kanon Kitab- kitab Perjanjian Lama sudah ada bahkan sejak sebelum Kristus lahir di dunia (sekitar abad 2 sebelum Masehi). Sedangkan susunan kanon kitab- kitab Perjanjian Baru juga sudah ada sebelum jaman Kaisar Konstantin. Sebab pada saat penganiayaan Diocletian, saat polisi/ serdadu mengetuk pintu rumah- rumah jemaat untuk menyita kitab- kitab suci, “…. kebanyakan mereka [jemaat] mengetahui kitab- kitab apa yang dicari oleh para serdadu itu.” (Lee Martin McDonald, James A. Sanders, Editors: The Canon Debate; Everett Ferguson, Factors Leading to the Selection and Closure of the New Testament Canon, p 317, 2002).

Dari fakta ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tidak benarlah tuduhan bahwa Kitab Suci itu disusun oleh Kaisar Konstantin ataupun oleh para penulis di jaman Kaisar Konstantin. Kitab- kitab Suci dituliskan oleh para pengarangnya, dan kemudian disalin/ diturunkan untuk generasi berikutnya tanpa diubah. Penyalinan Kitab Suci sudah terjadi di jaman abad- abad awal (bukan baru pada jaman Kaisar Konstantin), umumnya oleh para rahib, dengan ketentuan yang sangat ketat, seperti pernah dituliskan di sini, silakan klik, sehingga salinannya dapat dikatakan sangat akurat.

Demikian tanggapan saya atas pertanyaan Anda, semoga berguna.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab