Home Blog Page 11

Keteguhan dalam hal kecil

0

[20 Agustus 2017. Hari Minggu Biasa ke-XX. Yes 56:1,6-7. Mzm 66(67):2-3,5-6,8. Rm 11:13-15,29-32. Mat 15:21-28.]

21. Lalu Yesus pergi dari situ dan menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon. 22. Maka datanglah seorang perempuan Kanaan dari daerah itu dan berseru: “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita.” 23. Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawabnya. Lalu murid-murid-Nya datang dan meminta kepada-Nya: “Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak.” 24. Jawab Yesus: “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” 25. Tetapi perempuan itu mendekat dan menyembah Dia sambil berkata: “Tuhan, tolonglah aku.” 26. Tetapi Yesus menjawab: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” 27. Kata perempuan itu: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.” 28. Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” Dan seketika itu juga anaknya sembuh.


Teman-teman,

Pertemuan antara Yesus dengan perempuan Kanaan mengajarkan kita betapa pentingnya keteguhan dalam hidup rohani. Perempuan tersebut teguh dalam permintaannya kepada Yesus. Namun, kita juga harus menyadari bahwa keteguhannya diterjemahkan dalam perbuatan-perbuatan yang sederhana[1]: ia “berseru” (22), “mendekat,” “menyembah,” dan “berkata” (25). Dalam hidup kita sebagai anak-anak Allah, perbuatan-perbuatan kecil adalah seperti batu bata yang digunakan untuk membangun gedung yang adalah hubungan kita dengan Allah; batu-batu bata tersebut bisa berbentuk senyuman kepada seseorang yang tidak kita sukai, ketepatan waktu untuk memulai berdoa pada jam yang telah kita tentukan, dan sebagainya. Kita harus ingat kata-kata Yesus: “engkau telah setia dalam perkara kecil. […] Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” (Mt 25:21).

Keteguhan juga membawa kita untuk berdoa berulang-ulang. Ketika kita meminta suatu hal yang baik kepada Tuhan—misalnya, kesembuhan seseorang yang terkasih, kelulusan, kelancaran dalam usaha—atau mengungkapkan cinta kasih kita kepada-Nya, baiklah kita melakukannya berulang kali. Kita hanya memiliki satu hati: dengan hati yang sama, kita mencintai Allah dan sesama manusia.[2] Bukankah dalam relasi kita dengan sesama kita, kita sering mengulang kata-kata yang sama? Misalnya, pasti kita mengatakan “aku mencintaimu” berkali-kali kepada orang-orang yang kita kasihi. Demikianlah dalam hubungan kita dengan Allah (dan juga dengan para kudus), tidak ada salahnya kita mengulang kata-kata yang sama sebagai ungkapan cinta kita. Contohnya, berdoa Rosario sama saja dengan mengatakan kepada Bunda Maria berkali-kali “aku mencintaimu” atau mempersembahkan kepadanya lima puluh bunga mawar. Siapa yang tidak senang menerima hadiah yang begitu indah?

 


[1] Sagrada Biblia. Nuevo Testamento, (Pamplona: EUNSA, 2004) 153-154: “Ambos evangelios resaltan su condición de pagana, con lo que adquiere mayor relieve su fe en el Señor. Pero esta fe tan grande se compone de actos puntuales y audaces: la mujer pide aunque parezca inoportuna (v. 23), insiste aunque se tenga por indigna (vv. 24-26), persevera ante las dificultades (v. 27) y al fin logra lo que quiere (v. 28).”

[2] Josemaría Escrivá, Christ is passing by, §166, at Josemaría Escrivá, www.escrivaworks.org: “But note that God does not say: ‘In exchange for your own heart, I will give you a will of pure spirit.’ No, he gives us a heart, a human heart, like Christ’s. I don’t have one heart for loving God and another for loving people. I love Christ and the Father and the Holy Spirit and our Lady with the same heart with which I love my parents and my friends. I shall never tire of repeating this. We must be very human, for otherwise we cannot be divine.”

“Tambahkanlah iman kami!”

0
Sumber gambar: http://ephesians4-15.blogspot.co.id/2014/08/peter-walks-on-water.html

[13 Agustus 2017. Hari Minggu Biasa ke-XIX. 1 Raja 19:9,11-13. Mzm 84(85):9-14. Rm 9:1-5. Mt 14:22-33.]

22. Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang.
23. Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.
24. Perahu murid-murid-Nya sudah beberapa mil jauhnya dari pantai dan diombang-ambingkan gelombang, karena angin sakal.
25. Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air.
26. Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: “Itu hantu!”, lalu berteriak-teriak karena takut.
27. Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”
28. Petrus berseru dan menjawab Dia: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.”
29. Kata Yesus: “Datanglah!” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus.
30. pi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuhan, tolonglah aku!”
31. Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”
32. Lalu mereka naik ke perahu dan anginpun redalah.
33. orang-orang yang ada di perahu menyembah Dia, katanya: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.”


 

Yesus adalah Juruselamat kita. Injil hari ini mengajarkan kita secara khusus bahwa Ia menyelamatkan kita dari kebimbangan (31), dari kekurangan iman. Tidaklah mengherankan bahwa para murid meminta kepada-Nya: “Tambahkanlah iman kami” (Lk 17:5).

Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, apa itu iman? Sekadar perasaan? Keyakinan hati?

Para Doktor Gereja mengajarkan bahwa iman dapat dipahami dari dua sudut pandang. Iman adalah “fides qua creditur”—“iman yang kita gunakan untuk percaya”— (sudut pandang subjektif). Namun, iman bukanlah semata-mata sebuah aktivitas subjektif atau sebuah perasaan belaka. Iman juga adalah “fides quae creditur”—“iman yang kita percayai”— (sudut pandang objektif). Sesuai dengan sudut pandang objektif, iman mencakup kebenaran-kebenaran yang telah diungkapkan oleh Allah,[1] misalnya, kebenaran bahwa Yesus Kristus adalah “Anak Allah” (33)[2] dan bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Kristus sebagai perpanjangan karya penebusan-Nya.[3] Kedua sudut pandang ini diringkas dengan baik oleh St. Thomas Aquinas. Baginya, percaya adalah “tindakan intelek yang, didorong oleh kehendak [sudut pandang subjektif] yang digerakkan oleh Allah melalui rahmat, mengiakan kebenaran ilahi [sudut pandang objektif].”[4]

Hari Minggu ini, Tuhan mengundang kita “yang kurang percaya” (31) seperti Petrus untuk memperdalam iman kita akan ajaran Sabda-Nya. Agar iman kita bertambah, patutlah kita mengikuti teladan Yesus yang “berdoa seorang diri” (23). Mungkin doa tradisional di bawah ini dapat membantu kita:

 

Tuhan Allah,
aku percaya dengan iman yang teguh
dan aku mengakui semua dan setiap kebenaran yang diajarkan oleh Gereja Katolik,
karena Engkau,
Allah yang adalah Kebenaran kekal dan Kebijaksanaan yang tidak dapat menipu dan tidak dapat ditipu,
telah mengungkapkan semuanya.
Aku akan berpegang teguh pada iman ini,
baik dalam kehidupan maupun dalam kematian.[5]

 


[1] Thomas Aquinas, STh., II-II q.1 a.1 resp.: “non enim fides, de qua loquimur, assentit alicui, nisi quia est a Deo revelatum.”

[2] Catholic Church, Catechism of the Catholic Church, 2nd Ed. (Washington, DC: United States Catholic Conference, 2000), 49: “I believe in Jesus Christ, his only Son, our Lord” (The Apostles’ Creed).

[3] DS 3050: “The eternal Pastor and Bishop of our souls” [1 Pet. 2:25], in order to render the saving work of redemption perennial, willed to build a holy Church, in which, as in the house of the living God, all the faithful might be contained by the bond of one faith and charity.”

[4] Thomas Aquinas, STh., II-II q.2 a.9 resp.: “actus intellectus assentientis veritati divinae ex imperio voluntatis a Deo motae per gratiam.”

[5] Translated from Latin by Kenny Ang. At Thesaurus Precum Latinarum, www.preces-latinae.org: “Domine Deus, firma fide credo et confiteor omnia et singula quae sancta ecclesia Catholica proponit, quia tu, Deus, ea omnia revelasti, qui es aeterna veritas et sapientia quae nec fallere nec falli potest. In hac fide vivere et mori statuo. Amen.”

Hidup sebagai anak-anak Allah

0
Sumber gambar: https://cacina.wordpress.com/tag/transfiguration/

Hidup sebagai anak-anak Allah

[6 Agustus 2017, Pesta [Transfiguration of the Lord]: Daniel 7:9-10,13-14. Psalm 96(97):1-2,5-6,9. 2 Peter 1:16-19. Matthew 17:1-9]

1. Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes saudaranya, dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendiri saja. 2. Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka; wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang. 3. Maka nampak kepada mereka Musa dan Elia sedang berbicara dengan Dia.

4. Kata Petrus kepada Yesus: “Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.”

5. Dan tiba-tiba sedang ia berkata-kata turunlah awan yang terang menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.” 6. Mendengar itu tersungkurlah murid-murid-Nya dan mereka sangat ketakutan. 7. Lalu Yesus datang kepada mereka dan menyentuh mereka sambil berkata: “Berdirilah, jangan takut!” 8. Dan ketika mereka mengangkat kepala, mereka tidak melihat seorangpun kecuali Yesus seorang diri.

9. Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka: “Jangan kamu ceriterakan penglihatan itu kepada seorangpun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati.”

“Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.”


Teman-teman,

Hari Minggu ini Gereja merayakan Transfigurasi Tuhan Yesus. Transfigurasi, yang berasal dari bahasa Latin trans-figurare, berarti “berubah bentuk.” Kata ini, ketika diterapkan pada misteri yang diungkapkan oleh Injil hari ini, berarti “mengambil kemuliaan” (assumptio claritatis).[1]

Mengapa Yesus menampakkan kemuliaan-Nya? Pada dasarnya, Tuhan kita ingin menolong kita dalam peziarahan kita menuju Surga.[2] Bukankah setiap perjalanan yang kita tempuh pasti memiliki tujuan? Tanpa tujuan, perjalanan tidak dapat dilanjutkan. Karenanya, di “sebuah gunung yang tinggi” (1), Yesus memperlihatkan tujuan peziarahan kita di bumi ini, yang tidak lain adalah kemuliaan yang akan datang (gloria futura); Kristus menunjukkan kemuliaan tubuh-Nya (corporis gloria) kepada kita dan mendorong kita untuk merindukan kemuliaan tersebut mulai dari sekarang.[3]  Lalu, sementara Kristus menampakkan kemuliaan-Nya kepada lima saksi mata, Allah Bapa memberikan kesaksian akan kePuteraan Yesus, yang adalah Pribadi kedua Tritunggal Mahakudus: “Inilah Anak yang Kukasihi …” (5).

Pernyataan Allah Bapa menolong kita mengenal Tuhan kita lebih baik. Pertama-tama, Yesus adalah Anak Allah yang tunggal (singularis filius); kita yang telah dibaptis adalah anak-anak Allah melalui adopsi (filii per adoptionem).[4] Kedua, Allah Bapa mengasihi Allah Putera dan mengasihi kita, anak-anak-Nya yang telah diadopsi, dengan kasih-Nya yang adalah sumber kebaikan semua hal. Meski demikian, kasih Allah Bapa terhadap Putera-Nya berbeda dengan kasih-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya; Allah Putera menerima secara penuh seluruh kebaikan dari Allah Bapa, sedangkan makhluk ciptaan hanya mengambil bagian dalam kebaikan Allah Tritunggal.

Hidup sebagai orang Kristen adalah hidup sebagai anak Allah. Bagaimana kita dapat semakin hidup sebagai anak Allah? Orang-orang kudus menyarankan dua hal. Pertama-tama, seperti anak-anak selalu meminta hadiah yang berharga kepada orang tuanya—meminta bulan, misalnya?[5] atau matahari?—hendaknya kita tidak ragu berdoa dan meminta kepada Allah hadiah yang besar. Ingat bahwa “tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” (Mrk 9:23)! Kedua, kita dapat menghidupi lebih baik keperanakan ilahi kita dengan mencari Allah dalam Sakramen Pengakuan Dosa secara rutin, di mana Allah Bapa mencurahkan damai dan pengampunan “per ministerium Ecclesiae”[6]—“melalui pelayanan Gereja.”

 


[1] St. Thomas Aquinas, Summa Theologica (STh), III q.45 a.1 ad 2.

[2] STh., III q.45 a.1 resp.

[3] STh., III q.45 a.3 resp.: “Christus transfigurari voluit, ut gloriam suam hominibus ostenderet, et ad eam desiderandam homines provocaret.

[4] Super Mt., cap. 17 l. 1.

[5] Josemaría Escrivá, The Way, 857: “Be a little child; the greatest daring is always that of children Who cries for… the moon? Who is blind to dangers in getting what he wants? To such a child add much grace from God, the desire to do his Will, great love for Jesus, all the human knowledge he is capable of acquiring, and you will have a likeness of the apostles of today such as God undoubtedly wants them.” In Josemaría Escrivá, www.escrivaworks.org.

[6] Ordo Paenitentiae, 46, 55 (Typis Polyglottis Vaticanis 1974) p. 27, 37: “Deus, Pater misericordiarum, qui per mortem et resurrectionem Filii Sui mundum Sibi reconciliavit et Spiritum Sanctum effudit in remissionem peccatorum, per ministerium Ecclesiae indulgentiam tibi tribuat et pacem. Et ego te absolvo a peccatis tuis in nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti.”

 

Mari memendam!

0
Sumber gambar: http://rvbsrezando.blogspot.co.id/2011/07/

[Hari Minggu Biasa ke XVII – 30 Juli 2017]: 1 Raja 3:5,7-12; Mzm 119:57,72,76-77,127-130; Rm 8:28-30; Mat 13:44-52]

44. “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu.

45. Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. 46. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, iapun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu.”

47. “Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama pukat yang dilabuhkan di laut, lalu mengumpulkan berbagai-bagai jenis ikan. 48. Setelah penuh, pukat itupun diseret orang ke pantai, lalu duduklah mereka dan mengumpulkan ikan yang baik ke dalam pasu dan ikan yang tidak baik mereka buang. 49. Demikianlah juga pada akhir zaman: Malaikat-malaikat akan datang memisahkan orang jahat dari orang benar, 50. lalu mencampakkan orang jahat ke dalam dapur api; di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi.

51. Mengertikah kamu semuanya itu?” Mereka menjawab: “Ya, kami mengerti.” 52. Maka berkatalah Yesus kepada mereka: “Karena itu setiap ahli Taurat yang menerima pelajaran dari hal Kerajaan Sorga itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya.”


Teman-teman,

Dalam Injil hari ini, Yesus menunjukkan kepada kita keagungan ajaran-Nya.[1] Perumpamaan pertama (44) menekankan kelimpahan ajaran Injil, yang dibandingkan dengan “harta yang terpendam di ladang.” Perumpamaan kedua (45-46) menonjolkan keindahan ajaran Injil, indah bagaikan “mutiara yang sangat berharga.” Akhirnya, perumpamaan ketiga (47-49) mengajarkan bahwa ajaran Injil ditujukan kepada semua orang.

Injil hari ini sangat kaya akan makna. Mari bersama kita lihat kembali frase dalam perumpamaan pertama: “lalu dipendamkannya lagi” (44). Mengapa harta tersebut harus dipendamkan lagi? Apakah ia yang menemukan harta terpendam di ladang adalah seseorang yang serakah dan ingin menyimpan penemuannya hanya bagi dirinya sendiri? Tidaklah demikian! Sebaliknya, ia kembali memendam harta tersebut untuk melindunginya.[2]

Pertama-tama, ia ingin melindungi harta—ajaran Injil—yang ia temukan supaya harta tersebut berbuah dan bertumbuh. Api yang terkurung memberikan kehangatan yang lebih; demikian pula Sabda Tuhan berbuah ketika direnungkan di dalam hati. Apakah kita selalu menyempatkan diri merenungkan Injil setiap hari? Tidak perlu lama-lama: cukup lima menit, misalnya, sebelum mulai bekerja, saat jam istirahat di siang hari, atau sambil menunggu masakan matang.

Kedua, ia ingin melindungi harta tersebut dari pujian yang sia-sia. Kita semua ingat ajaran Yesus: “Berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi” (Mt 6:6). Seringkali ketika kita berbuat baik kepada orang lain, kita mengharapkan balasan atau, setidaknya, ucapan terima kasih dari orang tersebut. Namun, sekali-sekali, cobalah menolong suami, isteri, saudara, atau teman kalian secara tersembunyi, tanpa diketahui oleh mereka yang menerima pertolongan.[3] Misalnya, anak-anak bisa mencuci piring ketika orangtua tidak ada di dapur; suami bisa merapikan lemari ketika istri sedang belanja di pasar; istri bisa menyalakan pendingin ruangan setengah jam sebelum suami pulang dari kantor supaya, ketika tiba di rumah, suami merasa sejuk. Di sini, kuncinya adalah cinta kasih dan kreativitas!

Siapkah kita untuk memendam ajaran Injil dalam hati kita dan menunjukkan perbuatan baik kita hanya kepada Bapa “yang ada di tempat tersembunyi” (Mt 6:6)?

 


[1]Thomas Aquinas, Super Evangelium S. Matthaei lectura, cap. 13 l. 4: “Si intelligitis, potestis scire quod thesaurus est sacra doctrina”.

[2]Thomas Aquinas, Super Evangelium S. Matthaei lectura, cap. 13 l. 4: “Quod autem absconditur, non debet esse ex invidia, sed ex cautela.”

[3]Josemaría Escrivá de Balaguer, Camino, 440: “Cuando hayas terminado tu trabajo, haz el de tu hermano, ayudándole, por Cristo, con tal delicadeza y naturalidad que ni el favorecido se dé cuenta de que estás haciendo más de lo que en justicia debes. –¡Esto sí que es fina virtud de hijo de Dios!”

Jadi benih yang baik atau lalang?

0

[Hari Minggu Biasa ke XVI: Keb 12:13, 16-19; Mzm 86:5-16; Rm 8:26-27; Mat 13:24-43]

Mungkin kita pernah mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti ini: “Kalau Tuhan mahakuasa, mengapa, orang yang begitu jahat seolah dibiarkan saja oleh-Nya? Mengapa koq orang itu tidak dihukum saja? Mengapa saya sudah berdoa siang malam agar orang itu bertobat, tetapi Tuhan tidak mengabulkan…?” Demikianlah, kita sebagai manusia cenderung ingin menyelesaikan masalah secara instan. Tapi rupanya, Tuhan memiliki pertimbangan yang berbeda. Tuhan memiliki kebijaksanaan-Nya sendiri untuk mewujudkan rencana-Nya, demi kebaikan yang lebih besar untuk semua manusia. Sayangnya, kerap manusia tidak memahaminya, dan karena itu, malah menyalahkan Tuhan, atau meninggalkan-Nya… O, semoga janganlah itu sampai terjadi pada kita!

Injil hari ini menjabarkan kisah bagaimana Tuhan Yesus menggunakan perumpamaan penabur yang menabur benih gandum yang baik di ladang. Namun kemudian datanglah musuhnya, yang lalu menaburkan benih-benih lalang di tempat yang sama. Sehingga keduanya sama-sama tumbuh di ladang itu. Namun sang penabur yang juga pemilik ladang tersebut melarang para hambanya untuk mencabuti lalang itu. Lalang itu dibiarkan tumbuh bersama dengan benih yang baik hingga saat menuai tiba. Baru kemudian keduanya dipisahkan: gandum disimpan di lumbung, sedangkan lalangnya dibakar. Yesus pun menjelaskan arti perumpamaan itu: benih yang baik adalah orang yang baik; sedangkan lalang, orang yang jahat. Penaburnya adalah Tuhan sendiri, sedang musuhnya adalah iblis. Masa menuainya adalah akhir zaman. Atau kalau dihubungkan dengan kehidupan setiap orang, juga dapat berarti saat kematian, yang akan segera diikuti oleh penghakiman oleh Tuhan Yesus. Artinya, Tuhan begitu sabar menanti sampai saat terakhir, supaya orang-orang yang jahat dapat bertobat. Bacaan Pertama jelas menyatakannya, “Anak-anak-Mu Kauberi harapan yang baik ini: Apabila mereka berdosa, Kauberi kesempatan untuk bertobat” (Keb 12:19). Sebab orang yang baik maupun yang jahat adalah manusia ciptaan Tuhan yang pada awalnya diciptakan baik adanya. Hanya saja kemudian, oleh kehendak bebasnya, manusia dapat memilih untuk berbuat jahat. Namun Allah adalah Allah yang murah hati dan selalu berbelas kasih, sehingga terus menantikan pertobatan manusia.  Maka sabda Tuhan yang kita dengar hari ini dapat memberi secercah terang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Sebab Tuhan memiliki maksud tertentu dengan membiarkan kejahatan atau orang-orang jahat  tetap ada di sekitar kita. Yaitu,  memberi kesempatan kepada setiap orang, tanpa kecuali, untuk bertobat: agar ia berbalik dari perbuatannya yang jahat, untuk kembali kepada Tuhan.

Mungkin orang bertanya, mengapa perikop ini sepertinya bertentangan dengan ayat yang lain, “Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu” (1Kor 5:13).  St. Hieronimus menjelaskannya demikian: “… Tapi antara gandum dan lalang, ketika masih berupa batang daun, sebelum batang itu menampakkan bulirnya, keduanya sangat mirip. Dan tak ada atau sedikitlah perbedaan antara keduanya. Tuhan mengingatkan kita agar jangan gegabah menghakimi, tetapi untuk menunggu sampai penghakiman-Nya. Sebab ketika hari Penghakiman tiba, Ia dapat mengusir dari kumpulan orang-orang baik, bukan atas dasar kecurigaan tetapi oleh karena kesalahan yang sudah jelas dilakukan [oleh orang yang jahat].” (St. Jerome, in Catena Aurea, Mat 13:24-30)

Jadi dari Injil hari ini, makna apa yang bisa kita petik? Pertama,  kita diingatkan untuk mengikuti teladan Allah yang begitu sabar terhadap kita. Kita tak boleh lekas curiga dan gegabah menghakimi sesama kita. Kita pun harus bertumbuh dalam kesabaran terhadap sesama, terutama kepada mereka yang berbuat salah kepada kita. Sebagaimana Tuhan sabar menantikan pertobatan mereka, kitapun mesti belajar sabar terhadap orang-orang yang telah melukai hati kita dan tetap mendoakan mereka. Sebab pertobatan masih tetap dapat terjadi sampai sesaat sebelum orang itu meninggal dunia. Kedua, jika kita memiliki orangtua, saudara, kerabat ataupun sahabat yang sedang sakit menjelang ajal, kita perlu menyampaikan undangan Allah kepada mereka untuk bertobat. Ini diwujudkan dengan menawarkan sakramen Pengurapan Orang Sakit kepadanya, termasuk Pengakuan dosa dan Ekaristi, yang diberikan oleh imam. Sedangkan jika yang sakit itu belum mengenal Yesus, kita dapat menanyakan kepadanya apakah ia mau bertobat dan menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat, melalui Baptisan? Baptisan ini kemudian diikuti dengan penerimaan sakramen Pengurapan Orang Sakit dan Ekaristi. Sungguh inilah bekal terindah yang dapat diberikan kepada seseorang yang akan beralih dari dunia ini. Ketiga, kita diingatkan untuk menjadi benih yang baik. Janganlah lupa, bahwa ada masa penuaian: ada penghakiman Tuhan. Kita tidak bisa hidup di dunia ini seperti seolah-olah tidak ada keadilan Tuhan. Sebab di akhir nanti, Tuhan akan memisahkan orang-orang yang baik dari yang jahat: yang baik akan diselamatkan sedangkan yang jahat akan dihukum. Karena itu, Tuhan menghendaki kita selalu hidup baik, senantiasa bertobat dan setia beriman sampai akhir hayat. Mudah diucapkan atau dituliskan, tapi kenyataannya, hal ini tidak mudah dilakukan. Sebab kerap kali kita gagal untuk melakukan apa yang kita tahu harusnya kita lakukan. Atau, kita jatuh dalam kelemahan kita: kita berbuat dosa atau bahkan mengulangi dosa yang sama. O, Tuhan kasihanilah kami!

Syukurlah sabda Tuhan hari ini memberi penghiburan agar kita tidak berputus asa. Sebab Roh Kudus yang telah diutus untuk menginsyafkan kita akan dosa (lih. Yoh 16:8) adalah Roh Kudus yang sama yang membantu kita untuk tetap tinggal di hadirat Allah, dalam doa. Demikianlah kita mendengar dari Bacaan Kedua, bahwa Roh Kudus membantu kita dalam kelemahan kita, untuk berdoa. Sebab kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa. Tapi Roh Kudus itulah yang akan berdoa untuk kita kepada Allah, dan Allah yang mengetahui maksud Roh itu (Rm 8:26-27), tentu akan memberikan yang terbaik kepada kita. Sabda Allah, dalam segala doa dan permohonan adalah senjata rohani yang dapat melindungi kita dari segala yang jahat (lih. Ef 6:17-18). Sungguh, Allah begitu mengasihi kita: Ia selalu mau mengampuni dan melindungi kita. Marilah kita bersyukur kepada-Nya! Mari melambungkan Mazmur pujian: “Pujilah, puji Allah, Tuhan yang maharahim…. Aku hendak memuji-Mu, ya Tuhan, karena Engkau sungguh baik dan suka mengampuni. Kasih setia-Mu berlimpah bagi semua yang berseru kepada-Mu. Pasanglah telinga kepada doaku, ya Tuhan, dan perhatikanlah suara permohonanku… Bantulah aku bertumbuh laksana benih gandum yang baik, yang menghasilkan bulir-bulirnya, sehingga ketika masa menuai tiba, dapat digabungkan di dalam lambung. Kumohon, jadikanlah aku  setia kepada-Mu Tuhan, sampai akhir hayatku, agar kelak Kau gabungkan aku sebagai milik-Mu dalam Kerajaan-Mu. Amin.

Berbuah bagi Allah

0
Sumber gambar: http://quotesgram.com/quotes-of-the-sower-parable/

[Hari Minggu Biasa ke XV: Yes 55:10-11; Mzm 65:10-14; Rm 8:18-23; Mat 13:1-23]

Belum lama ini, di dekat rumah kami dibuka sebuah supermarket. Di sana dijual berbagai sayuran dan buah-buahan segar yang sangat apik ditata. Ada banyak orang yang memanfaatkan kemudahan ini, untuk singgah dan berbelanja di tempat yang nyaman dan tetap buka sampai malam hari. Demikianlah pemandangan umum di kota-kota besar. Orang-orang kota terbiasa membeli hasil bumi, tanpa memikirkan susah payahnya para petani yang menanam dan mengusahakannya. Keadaan ini mungkin jauh berbeda dengan keadaan masyarakat di zaman Yesus, yang akrab dengan kehidupan  bercocok tanam, mengusahakan ladang, memelihara ternak, dst. Tak mengherankan Yesus banyak mengambil perumpamaan-perumpamaan sehubungan dengan hal-hal tersebut. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa perumpamaan itu tidak relevan bagi kita. Sebab pada intinya, setiap orang yang berkerja, pasti mengharapkan ada hasil yang nyata dari pekerjaannya itu. Singkatnya, dalam berbagai cara, kita mengharapkan hasil atau buah dari usaha kita. Seorang guru, pasti mengharapkan agar murid-muridnya dapat mengerti apa yang diajarkannya dan dapat berhasil dalam studi mereka. Seorang dokter pasti mengharapkan pasien yang dirawatnya dapat sembuh. Seorang pengusaha pasti menghendaki usahanya lancar dan menghasilkan keuntungan. Seorang seniman, pasti mengusahakan agar karyanya menghasilkan keindahan dan dapat berguna atau dihargai orang lain. Singkatnya, tidak ada orang yang menghendaki  agar pekerjaannya sia-sia belaka. Demikian pula Tuhan.

Di Bacaan Pertama, kita mendengar betapa Tuhan menghendaki agar firman yang keluar dari mulut-Nya tidak kembali kepada-Nya dengan sia-sia, tetapi akan melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya (lih. Yes 55:11). Artinya, Tuhan mengharapkan agar kita semua yang telah mendengarkan firman-Nya, dapat berbuah bagi-Nya. Yaitu, dengan melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya sebagaimana dinyatakan-Nya dalam firman-Nya itu. Hmm… bukankah kita terhitung cukup sering mendengarkan firman Tuhan? Namun masalahnya, sudahkah kita tekun melaksanakannya? Sudahkah kita menghasilkan buah bagi Tuhan? Ini menjadi permenungan bagi kita semua. Bacaan Injil hari ini juga mengingatkan kita untuk memeriksa batin kita, akan bagaimanakah kira-kira sikap kita terhadap benih firman Tuhan yang kita dengar tiap tiap hari. Sebab jika kita mengacuhkannya, ini seumpama seperti benih yang jatuh di pinggir jalan. Jika kita memberi sedikit perhatian namun tidak membiarkan firman itu berakar dalam kehidupan kita, maka itu bagaikan benih yang jatuh di tanah berbatu. Tumbuh hanya sebentar, lalu mati. Atau kalau kita menerima firman itu, namun kita mudah dikuasai kekhawatiran dan pemikiran akan banyak hal, maka itu menjadi seperti benih yang ditaburkan di semak berduri: terhimpit dan mati. Padahal yang dikehendaki Allah adalah kita menerima firman-Nya dan membiarkannya bertumbuh dan menghasilkan buah, bagaikan benih yang jatuh di tanah yang subur.

Bagaimana supaya kita dapat berbuah? Injil hari ini mengatakan, pertama-tama kita harus “mendengarkan firman itu dan mengerti” (Mat 13:23). Karena itu, penting bagi kita untuk belajar “mendengarkan” firman Tuhan. Mendengarkan. Sepertinya sederhana, tetapi di dunia sekarang ini, yang demikian sibuk, riuh dan serba cepat, nampaknya “mendengarkan” bukan perbuatan yang mudah. Apalagi jika yang mau kita dengarkan tidak secara fisik nampak dan mudah kita kenali sebagai firman dan kehendak Allah bagi kita. Itulah sebabnya, adalah baik jika kita terbiasa membaca dan meresapkan firman Tuhan di rumah sebelum mengikuti Misa Kudus, agar saat kita dengarkan kembali di gereja dalam Misa Kudus, kita dapat lebih sungguh untuk mendengarkan firman itu dan memahaminya. Supaya ketika kita telah memahaminya, kita dapat melaksanakannya dan menghasilkan buah, yaitu: “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22). Buah Roh Kudus yang ada pada kita menjadi tanda berakarnya firman Tuhan di dalam diri kita. Semakin teguh firman Tuhan berakar dan bertumbuh di dalam kita, semakin berlimpahlah buahnya. Kita semua merindukan hal ini, dan semoga Tuhan Yesus berkenan mencurahkan hujan rahmat-Nya agar benih firman-Nya yang kita dengar hari ini dapat bertumbuh subur dan berakar kuat di tanah hati kita!

Bacaan Injil hari ini juga menyatakan bahwa untuk memahami firman Tuhan, kita tidak dapat mengandalkan kemampuan kita sendiri. Sebab jika kita mengandalkan kemampuan dan kehendak manusia, kita dapat  terjebak pada sikap yang menyerupai sikap para ahli Taurat dan Farisi: “Sekalipun mereka melihat, mereka tidak melihat, dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti” (Mat 13:13). Maka  ada suatu syarat tertentu, agar kita dapat mengerti makna yang ingin disampaikan oleh Tuhan melalui firman-Nya. Syarat ini adalah: datang tinggal dekat bersama Yesus. Dalam kisah Injil, hal ini dinyatakan dengan kebersamaan dengan-Nya, di dalam perahu yang ditumpangiNya. Sebab kepada orang banyak yang berdiri di pantai, Yesus hanya mengisahkan perumpamaan tersebut Namun arti perumpamaan itu hanya disampaikanNya kepada para murid-Nya yang “datang dan bertanya kepada-Nya” (Mat 13:10).  St. Hilarius mengatakan, “.. Ada alasan sehubungan dengan pengajaran-Nya, mengapa Tuhan harus duduk di dalam perahu dan orang banyak berdiri di tepi pantai. Sebab Ia hendak berbicara dalam perumpamaan, dan dengan tindakan ini menandai bahwa mereka yang tanpa Gereja, tidak dapat memahami Sabda Ilahi. Perahu menunjukkan sebuah tipe Gereja, yang di dalamnya sabda kehidupan ditempatkan dan diwartakan kepada mereka yang di luarnya, dan kepada mereka yang bagaikan pasir yang gersang, tidak dapat memahaminya…” (St. Hilary, Catena Aurea, Mat 13:1-9).

Saudara saudariku yang terkasih, mari kita mengingat panggilan kita sebagai murid-murid Kristus yang telah dibawanya begitu dekat di dalam ‘perahu’-Nya, yaitu Gereja-Nya. Marilah kita menjalani kehidupan ini dengan senantiasa datang dan tinggal bersama-Nya, dalam Gereja-Nya, agar rahmat-Nya tercurah atas kita. Sehingga dengan demikian, kita dapat memahami sabda-Nya, melaksanakan-Nya, hidup dalam damai sejahtera dan menghasilkan buah-buah rohani untuk kemuliaan nama Tuhan.

Terima kasih Tuhan, karena Engkau memberkati umat-Mu dengan damai sejahtera. Engkau dengan setia menaburkan benih firman-Mu ke dalam hatiku dan menyiraminya dengan rahmat. Semoga tanah hatiku dapat menjadi tanah yang subur sehingga dapat menghasilkan buah bagi-Mu seturut kehendak-Mu. Amin.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab