Home Blog Page 12

“How low can you go?”

0

[Hari Minggu Biasa ke XIV: Za 9:9-10; Mzm 145:1-14; Rm 8:9,11-13; Mat 11:25-30]

Suatu kali aku menonton reality show yang cukup menarik di TV. Seorang pemilik perusahaan besar di Amerika menyamar menjadi seorang yang melamar untuk bekerja menjadi pegawai di salah satu cabang perusahaannya sendiri. Ia menyamar sehingga wajahnya nampak sama sekali berbeda dengan wajahnya yang asli. Menarik disimak, bagaimana pegawainya sendiri bersikap terhadapnya, yang dianggap sebagai seorang “pendatang baru” yang tidak tahu apa-apa. Dengan seksama, sang pemilik itu melihat bagaimana para pegawainya itu melaksanakan tugas mereka, dari tugas menerima, menginterview sampai memberi pelatihan kepada pegawai baru. Dari sini, ia mengetahui, siapa yang bersikap ramah, cuek atau yang bahkan meremehkannya. Di akhir acara, dibukalah rahasia kepada semua pegawai, bahwa sang pendatang baru itu ternyata adalah sang pemilik dan pemimpin tertinggi perusahaan. Oops! Betapa malunya mereka yang telah merendahkannya!

Walau tak sebanding, mungkin seperti inilah yang akan terjadi di saat Penghakiman Terakhir. Betapa kikuknya orang-orang yang pernah menyombongkan diri di depan Tuhan Yesus! Betapa malunya orang-orang yang pernah menghina dan menganiaya Dia! Sebab Yang dianiaya itu ternyata adalah Allah, Sang Empunya segala sesuatu! O, Tuhan, hindarkanlah aku dari sikap sombong, dan dari dosa-dosaku yang melukai hati-Mu! Sebaliknya, betapa terpujinya orang-orang yang mengenali Yesus, menghormati, mengasihi-Nya, dan dengan kerendahan hati melayani Dia. O, betapa inginnya aku terbilang di antara para kudus ini!

Di Bacaan Injil hari ini kita mendengar perkataan Yesus kepada Allah Bapa, “Aku bersyukur kepada-Mu ya Bapa, … sebab misteri Kerajaan Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu” (Mat 11:25-30). Para Bapa Gereja mengaitkan orang-orang yang bijak dan pandai ini dengan para ahli Taurat dan orang Farisi, dan orang-orang sederhana ini dengan para rasul dan murid Yesus. Para ahli Taurat dan kaum Farisi itu begitu dibutakan oleh kesombongan mereka sendiri, sehingga tidak dapat mengenali Yesus yang adalah penggenapan dari segala yang mereka pelajari. Sedangkan para murid Yesus adalah orang-orang kecil dan sederhana, orang-orang yang tidak berkutat pada pengertian sendiri, sehingga hati mereka terbuka dan dapat mengenali Yesus sebagai Mesias. Tersingkaplah bagi mereka misteri Kerajaan Allah, yang telah sekian lama tersembunyi! Pernahkah kita berpikir, jika kita dulu hidup di zaman Yesus, termasuk golongan manakah kita, para murid Yesus atau kaum Farisi? Dapatkah kita mengenali Dia sebagai Mesias dan percaya kepada-Nya? Atau sebaliknya?

Mungkin kita berujar, untunglah kita tidak hidup di zaman Yesus! Eits!  Jangan senang dulu! Sebab Yesus berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Artinya, meski kita tidak hidup di zaman Yesus, namun sikap kita kepada-Nya diukur dari bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang dipandang paling hina. Maka menjadi semakin make sense bagiku, mengapa Tuhan Yesus sangat berkenan kepada para orang kudus yang membaktikan hidup mereka untuk menolong orang-orang yang sakit dan miskin, yang yatim piatu dan terpinggirkan… Sebab mereka itu sungguh telah mengikuti teladan Yesus, yang telah merendahkan diri-Nya, turun dari Surga, untuk menolong kita semua di dunia yang “sakit” karena dosa. Para santo dan santa itu, dalam berbagai cara telah memberi contoh kerendahan hati kepada kita, yaitu bagaimana mereka mau sepenuhnya mengikuti Yesus, dan melayani Dia, yang terutama hadir dalam sesama yang miskin dan menderita.

Ya, Tuhan Yesus berkenan kepada orang-orang yang rendah hati. Sebab dengan kerendahan hati, kita mengambil bagian dalam sifat Yesus yang khas, yang dengannya Ia mematahkan ikatan dosa Adam. Dengan kerendahan hati, Tuhan Yesus yang menyatukan diri-Nya dengan orang-orang yang kecil dan sederhana; dan Ia menghendaki agar kita pun bersikap demikian, agar kitapun dapat bersatu dengan-Nya.  Walaupun Kristus adalah Allah yang begitu mahabesar dan mahakuasa, Ia rela merendahkan diri-Nya, mengambil rupa manusia, dan hidup miskin sebagai tukang kayu. Meski Ia adalah Raja semesta alam, dan bahkan seluruh alam raya tak mampu menampung-Nya, namun Kristus tidak menampakkannya di depan manusia. Ia malah menunjukkan kuasa-Nya dengan kerendahan hati-Nya. Yesus memasuki kota Yerusalem bukan dengan kereta berkuda seperti layaknya raja-raja dunia, tetapi dengan mengendarai seekor keledai, sebagaimana dinubuatkan Nabi Zakaria di Bacaan Pertama (Za 9:9-10). Lebih lagi, Yesus pun merendahkan diri-Nya melampaui batas pemikiran kita:  Ia rela wafat dengan cara yang paling hina: disalibkan di tengah para penjahat, meski Ia tidak bersalah. “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan menganugerahkan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2:11) Allah meninggikan Kristus Putra-Nya dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati, oleh kuasa Roh Kudus-Nya.

Roh Kudus yang sama ini dianugerahkan-Nya kepada kita, asal kita mau mengikuti perintah-Nya. Yaitu agar dengan bantuan Roh Kudus yang sama itu, kita mau “mati” terhadap dosa, sebagaimana kita dengar di Bacaan Kedua. Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk meninggalkan perbuatan kedagingan dan dosa, termasuk ibu dari segala dosa, yaitu kesombongan. Kesombongan hanya dapat dikalahkan dengan kebajikan lawannya yaitu kerendahan hati. Tidak mudah memang untuk menjadi rendah hati, karena hal itu mensyaratkan kebesaran jiwa untuk tidak dipandang oleh dunia. Dalam kehidupan ini, betapa banyak orang yang jatuh karena kesombongan, atau menjadi penat dan berbeban berat karena menaruh begitu banyak beban atas diri sendiri karena ingin menunjukkan diri kepada dunia! Kita perlu dengan rendah hati datang kepada Tuhan Yesus, agar oleh rahmat-Nya kita dapat memandang kehidupan ini dengan cara pandang Allah, dan menjalaninya sesuai dengan kehendak Allah, demi kasih kita kepada-Nya. Mungkin kini saatnya kita bertanya kepada diri sendiri, sudahkah kita rendah hati? Atau, seberapa rendah kita mau tunduk di hadapan Allah? How low can you go?  Mari kita resapkan undangan Yesus hari ini, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan…” (Mat 11: 28-29).

Kerendahan hati adalah ibu bagi semua kebajikan; kemurnian, cinta kasih dan ketaatan. Dalam kerendahan hati lah, kasihmu menjadi nyata, penuh bakti dan berkobar. Kalau kamu rendah hati, tidak ada yang akan mengusikmu, entah itu pujian ataupun celaan, karena kamu tahu siapa dirimu. Kalau kamu disalahkan, kamu tidak akan merasa tercela. Jika mereka menyebutmu orang kudus, kamu tidak akan memuliakan dirimu sendiri.” (St. Teresa dari Kalkuta)

Memikul salib, mengikuti Yesus

0

[Hari Minggu Biasa ke XIII: 2Raj 4:8-16; Mzm 89:2-3,16-19; Rm 6:8-11; Mat 10:37-42]

Di dunia yang serba praktis dan cepat ini, berkembang mental untuk menolak segala bentuk ketidaknyamanan. Jika ketidaknyamanan saja ditolak, apalagi penderitaan. Dunia menganggap penderitaan sebagai sesuatu yang negatif dan harus dihilangkan. Bahkan di kalangan umat Kristen sendiri, ada sejumlah orang yang berpendapat bahwa tanda seorang benar-benar dikasihi Tuhan ialah jika ia tidak lagi menderita. Namun Gereja Katolik tidak mengajarkan demikian. Salah satu alasannya, adalah karena perkataan Tuhan Yesus sendiri yang dicatat dalam Injil hari ini. “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:38). Salib, atau penderitaan, merupakan jalan yang harus kita tempuh, untuk mengikuti Yesus. Sebab sejujurnya, selama kita hidup di dunia, penderitaan tidaklah sepenuhnya dapat dihindari. Tidak perlu dicari, penderitaan akan datang sendiri. Memang ada penderitaan yang datang karena kesalahan kita, tetapi ada juga yang bukan karena kesalahan kita. Juga, ada penderitaan yang harus kita terima, sebagai konsekuensi dari panggilan hidup yang kita jalani sebagai pengikut Kristus. Pendeknya, hidup kita sebagai murid Kristus tidak terlepas dari salib.

St. Agustinus mengajarkan adanya dua macam salib yang Tuhan perintahkan harus kita pikul. Pertama, salib yang jasmaniah dan yang kedua, salib yang rohaniah. Salib yang jasmaniah maksudnya adalah menahan nafsu yang tak teratur yang berhubungan dengan sentuhan, rasa, penglihatan dan seterusnya. Sedangkan dengan salib yang rohani adalah yang jauh lebih pantas kita perhatikan, Ia [Tuhan Yesus] mengajar kita untuk mengendalikan apa-apa yang disukai pikiran kita dan untuk mengekang dorongan-dorongan yang tak teratur, dengan kerendahan hati, ketenangan, kesederhanaan, kesopanan, damai sejahtera, dst. Sungguh berharga lah di mata Allah, dan sungguh mulia salib ini, yang menguasai dan mengatur semua gairah pikiran yang tak teratur, menurut aturan yang benar.

Mungkin sejenak kita dapat merenungkan, apakah salib yang sedang kita pikul pada saat ini… Sebab setiap kita memiliki jenis salib yang tidak sama. Walau secara umum kita ketahui bahwa salib itu berkenaan dengan bagaimana kita mengalahkan kecenderungan keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup, namun kadarnya untuk tiap-tiap orang berbeda. Demikian pula, apa yang disukai oleh pikiran itupun berbeda antara yang satu dan lainnya. Apa yang sangat menggoda bagi seseorang bisa jadi tidak terlalu  masalah bagi orang lain. Namun intinya, kita dipanggil untuk memikul salib kita masing-masing, artinya mengendalikan tubuh dan pikiran untuk dapat mengatasi godaan-godaan yang kita hadapi. Bacaan Kedua menyatakan kepada kita bahwa penderitaan dapat dimaknai sebagai kematian kita terhadap dosa, supaya kita dapat dibangkitkan dan hidup di dalam Kristus. Penderitaan menjadi jalan yang harus dilalui agar kita dapat menemukan “kehidupan” yang sesungguhnya.  Betapa banyak orang yang disembuhkan dari kesombongan setelah mengalami keterpurukan, entah karena penyakit, ataupun berbagai kesulitan hidup lainnya. Betapa banyak orang tidak lagi memusatkan pikiran kepada kesenangan duniawi, melainkan mensyukuri kehidupan hari demi hari, setelah pernah melewati masa-masa krisis dalam hidup! Betapa banyak orang yang justru mengalami kedekatan dengan Tuhan ketika sedang mengalami penderitaan! Betapa melalui penderitaan kita dapat belajar untuk lebih bergantung kepada Tuhan…

Sungguh, melalui penderitaan, kita sebenarnya dikuduskan. Kita dilatih untuk tidak menjadi sombong dan mengandalkan kekuatan sendiri, tetapi untuk mengandalkan kekuatan Tuhan. Dalam kelemahan, kita menjadi lebih mudah untuk bersandar kepada-Nya, sebab kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan dan apa yang kita capai, bukanlah merupakan jerih payah kita sendiri melainkan rahmat Tuhan yang bekerja di dalam kita. Maka penderitaan adalah semacam partisipasi kita dalam misteri Kristus, yaitu jalan yang menjadikan kita sedikit demi sedikit menyerupai Dia. Karena keselamatan kita diperoleh melalui sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, maka kita mesti mengambil bagian dalam sengsara-Nya, agar dapat memeroleh keselamatan itu.

Tersirat dalam Injil hari ini, bahwa salib juga berkenaan dengan bagaimana kita mengatur urutan cinta dalam kehidupan kita. Kata Yesus, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak untuk Aku” (Mat 10:37). Apakah artinya kita tidak boleh mengasihi keluarga kita? Tentu tidak demikian St. Hieronimus mengajarkan bahwa frasa yang perlu diperhatikan adalah “lebih daripada mengasihi Aku [Yesus]”. Sebab Allah tetaplah harus berada di tempat pertama dan utama dalam urutan kasih kita. Artinya, meski kita hidup berkeluarga, kita tetap harus menempatkan kasih kepada Allah di atas kasih kepada keluarga kita. Jika kita setia melayani keluarga kita, motivasinya adalah demi mengasihi Allah yang menghendakinya demikian. Dengan pemahaman ini, kita dikuatkan untuk melakukan tugas dan tanggungjawab sehari-hari, betapapun berat dan melelahkan. Sebab kita tahu apa yang kita lakukan adalah demi kasih kita kepada Allah, yang terlebih dahulu mengasihi kita. Dengan cara inilah kita mengambil bagian—walaupun dengan cara yang sangat sederhana—dalam salib Kristus. Dengan melakukan tugas-tugas kita dan menyatukannya dengan korban salib Kristus, kita mengambil bagian dalam karya keselamatan-Nya. Kita mengambil bagian dalam ketaatan-Nya, dalam kasih-Nya kepada Allah Bapa dan sesama.

Kasih kepada Allah ini pulalah yang mendorong kita untuk turut mendukung karya-Nya dalam diri sesama, terutama dalam diri para pelayan-Nya. Bacaan Pertama hari ini mengisahkan tentang seorang wanita yang kerap mengundang Nabi Elisa untuk singgah dan makan di rumahnya. Allah berkenan kepada apa yang dilakukan oleh wanita itu, dan mengaruniakan kepadanya seorang anak laki-laki. Demikian juga di Bacaan Injil, kita mendengar perkataan Yesus yang mengajak kita untuk bermurah hati kepada mereka yang melanjutkan karya-karya kerasulan, secara khusus, para imam. Karena dengan menyambut mereka, artinya kita pun menyambut Kristus yang mengutus mereka dan Allah Bapa yang mengutus Kristus (lih. Mat 10:41-42). Para imam adalah mereka yang memilih untuk mengambil cara hidup Yesus sebagai cara hidup mereka sendiri. Mereka secara lebih eksplisit mengambil jalan salib Yesus sebagai sebagai jalan hidup mereka. Mari kita mendukung para imam dengan doa-doa dan perhatian kasih; agar mereka tetap setia dalam panggilan hidup mereka dan menjadi teladan bagi kita semua. Dalam kesatuan sebagai anggota-anggota Tubuh Mistik Kristus, marilah kita memohon kepada Kristus, agar kerelaan-Nya untuk menebus dosa-dosa kita dengan sengsara dan wafat-Nya, menumbuhkan dalam hati kita kerelaan untuk mengikuti jalan salib-Nya, agar kelak kitapun disatukan dengan kebangkitan dan kemuliaan-Nya di Surga. Dengan sukacita kulambungkan Mazmur hari ini, “Kerelaan Tuhan hendak kunyanyikan selama-lamanya. Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya, hendak menuturkan kesetiaan-Mu turun temurun. Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya, kesetiaan-Mu tegak seperti langitTuhan Yesus, jadikanlah kami rela memikul salib kami dan mengikuti Engkau, seumur hidup kami. Agar kelak Kau gabungkan kami dalam kemuliaan-Mu selama-lamanya. Amin.

 

Bantulah kami setia beriman sampai akhir

0
Sumber gambar: http://theorthodoxchurch.info/blog/ocrc/2009/06/original-sin/

[Hari Minggu Biasa ke XII: Yer 20:10-13; Mzm 69:8-10,14,17, 33-35; Rm 5:12-15), Mat 10:26-33)]

Di zaman ini, kita melihat adanya paham yang mulai dianut oleh sejumlah orang yang cenderung mempertanyakan keberadaan Tuhan. Banyak di antara mereka bahkan memilih untuk tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Salah satu alasannya adalah karena mereka memercayai teori evolusi, yang konon membuat mereka yakin bahwa dunia dan segala isinya berawal dari suatu sel yang secara kebetulan bermutasi dan membentuk berbagai makhluk: dari makhluk sederhana sampai menjadi semakin rumit dan akhirnya, manusia. Paham itu meyakini bahwa manusia terbentuk secara berangsur-angsur dari makhluk semacam kera. Salah satu perkiraan makhluk kuno itu konon telah ditemukan di Trinil, Jawa Timur oleh seorang bernama Dr. Eugene Dubois di akhir abad ke-19. Dubouis memberikan nama makhluk itu: Pithecanthropus erectus. Tercetaklah nama itu di banyak buku-buku pelajaran, seolah makhluk itu pasti ada, dan dianggap benar adanya. Namun kalau kita membaca kisahnya, sebenarnya penemuan makhluk ini sangat lemah dasarnya, karena melibatkan asumsi penelitinya. Sebab, fosil yang ditemukan sesungguhnya sangat terbatas. Yaitu hanya sebuah tengkorak dengan gigi yang dianggap milik seekor kera yang ditemukan tahun 1891, dan setahun kemudian berjarak 50 kaki dari temuan pertama, ditemukannya tulang yang menyerupai tulang paha manusia. Namun dari kedua fosil ini, Dubois lalu menyimpulkan bahwa keduanya adalah milik satu spesies yang sama, dan terbentuklah rekonstruksi Java man (Pithecanthropus erectus).

Namun cerita itu tak berhenti sampai di situ. Sebab ditemukanlah juga fosil tengkorak manusia, yang berasal dari zaman yang sama. Artinya, manusia yang sesungguhnya sudah hidup bersama-sama dengan Java man (manusia purba di Jawa) di jangka waktu yang sama. Ini sebenarnya, sudah meruntuhkan asumsi adanya proses evolusi yang terjadi antara manusia purba sampai menjadi manusia. Karena, kalau teori evolusi benar, maka dengan terbentuk manusia, maka mestinya manusia purba sudah tidak eksis lagi. Kalau keduanya tetap ada di zaman yang sama, artinya kedua makhluk itu sudah ada dengan ciri-cirinya sendiri, dan tidak berasal satu dari yang lainnya! Akhirnya Dubois sendiri merevisi teorinya pada tahun 1938, dan mengatakan bahwa Java man itu sebenarnya bukan manusia purba tetapi adalah kera raksasa. Namun apa mau dikata, para pendukung paham teori evolusi tetap menempatkan Java man dalam rantai evolusi manusia, dalam klasifikasi Homo erectus. Betapa memprihatinkan bahwa ada banyak orang yang terkecoh karenanya, dan memutuskan meninggalkan iman. Padahal, tak bisa dipungkiri, klaim-klaim penemuan fosil itu melibatkan asumsi penelitinya yang tentu saja, dapat dan mungkin salah. Sebab penemuan fosil “makhluk antara” penghubung species yang yang satu dan species yang lain sebenarnya relatif sangat langka. Fakta yang ada justru adalah sebaliknya: hampir semua makhluk hidup telah memiliki ciri khas yang tetap sama dalam jangka waktu yang lama, bahkan sejak berjuta-juta tahun lalu. Betapa seharusnya hal ini membuka mata, bahwa argumen tentang semua makhluk adalah hasil evolusi dari makhluk lainnya yang lebih rendah, adalah argumen yang dipaksakan. Logika mengatakan, tidak ada orang dapat memberi jika ia tak lebih dahulu memiliki. Namun herannya, ada orang-orang yang tetap menganggap bahwa hewan bersel satu dapat membentuk sendiri hewan bersel banyak, dari makhluk yang tidak punya mata dan telinga dapat menurunkan makhluk yang punya mata dan telinga… Begitu seterusnya sampai: dari kera menurunkan manusia. Padahal nyatanya, fosil makhluk-makhluk peralihannya tidak ada. Atau kalaupun dianggap ada, sangatlah langka dan rekonstruksinya melibatkan asumsi penelitinya sendiri. Sayangnya adalah juga realita, banyak orang mengikuti paham ini. Implikasinya bagi mereka: tidak ada manusia pertama, sebab manusia telah terjadi dengan sendirinya, dari sekian banyak jumlah kera yang berevolusi karena seleksi alam ataupun mutasi. Juga dengan sendirinya mereka menolak bahwa seluruh manusia berasal dari sepasang manusia pertama, dan bahwa manusia pertama ini telah jatuh dalam dosa yang diturunkan kepada seluruh umat manusia. Tak mengherankan bahwa orang yang meyakini teori evolusi kera jadi manusia ini, lantas juga menolak adanya Allah Pencipta dan perlunya penyelamatan manusia oleh Yesus Kristus.   

Namun hari ini kita mendengar hal yang sebaliknya, yang diwahyukan Allah, dan bukan atas dasar asumsi manusia. Pewahyuan dari Allah sendiri,  tentu dasarnya kuat, sebab Allah tidak mungkin berdusta. Sabda Allah di Bacaan Kedua menceritakan tentang kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa. “Dosa telah masuk ke dalam dunia lantaran satu orang, dan karena dosa itu, masuklah juga maut…. Sebab jika karena pelanggaran satu orang itu semua orang telah jatuh dalam kuasa maut, jauh lebih besarlah kasih karunia dan karunia Allah, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang lantaran satu orang, yaitu Yesus Kristus” (Rm 5:12-15). Demikianlah, kita sebagai umat Katolik, tidak dapat berpegang pada teori yang mengandaikan bahwa tidak ada manusia pertama; atau bahwa Adam dan Hawa mewakili banyak pasang manusia pertama. Apalagi mengasumsikan bahwa manusia adalah hasil dari evolusi kera, entah karena mutasi atau seleksi alam.

Kita percaya bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia pertama: seorang laki-laki yaitu Adam dan kemudian seorang perempuan, yaitu Hawa. Allah lah yang menciptakan manusia yang mempunyai tubuh jasmani dan jiwa rohani. Allah lah yang menciptakan jiwa manusia dari ketiadaan; maka keberadaan jiwa manusia tidak mungkin merupakan evolusi maupun kelanjutan dari jiwa binatang. Manusia diciptakan Allah dengan begitu istimewa. Hanya sayangnya, manusia tetap jatuh dalam dosa. Dosa Adam itulah yang diturunkan kepada semua umat manusia, yang kemudian ditebus oleh Adam yang baru, yaitu Kristus. Ini adalah inti pengajaran Paus Pius XII dalam Humani generis, yang menjelaskan bagaimana Gereja menyikapi sejumlah paham keliru yang mengancam dan merendahkan fondasi ajaran Katolik. Betapa pentingnya kita umat Katolik mengenali betapa kita hidup di zaman di mana banyak paham yang berupaya menggoncang ataupun mencabut iman kita. Bukan berarti bahwa dengan beriman kita mengesampingkan akal budi, sebab akal budi dan iman sebenarnya tak mungkin bertentangan. Namun kita harus  beriman dengan akal sehat yang benar, agar dapat memilah, apakah atau siapakah yang layak dipercaya. Kita tidak boleh terhanyut oleh berbagai paham dunia yang dikemas sedemikian rupa seolah masuk akal, tetapi ada kemungkinan merupakan satu rekayasa! Atau setidaknya, belum terbukti secara meyakinkan, bahkan dengan menggunakan standar ilmu pengetahuan itu sendiri.

Bacaan Injil hari ini kembali mengingatkan kita agar kita berani mengakui Allah. Allah yang telah menciptakan kita, yang berkuasa atas tubuh dan jiwa kita. “Takutlah kepada-Nya yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh…” (Mat 10:28). Dunia dapat menawarkan dan mengajarkan banyak hal yang bertentangan dengan iman kita. Dunia bahkan dapat memusuhi kita karena kita mengimani Kristus. Namun Yesus mengingatkan, “Janganlah kamu takut kepada mereka yang memusuhimu, karena tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui…” (Mat 10:26). Yesus berjanji, bahwa apa yang nampaknya masih tertutup dan tak dapat dipahami oleh manusia secara seutuhnya sekarang, suatu saat akan dinyatakan dengan jelas. Di dalam Kristus yang adalah Sang Terang dan Sang Kebenaran, segala sesuatunya akan menjadi terang dan jelas, dan kita tak mungkin disesatkan. Sedangkan segala macam paham yang ditawarkan dunia, masih terus berubah-ubah, dapat direvisi bahkan oleh sang penemunya sendiri. Bacaan Kitab Suci hari ini mengajak kita untuk menjadi orang yang teguh beriman dan bergantung kepada Allah. Sebab ada saat-saatnya kita menghadapi tantangan untuk tetap setia berpegang pada ajaran iman kita dan melaksanakannya. Adalah tidak mudah juga untuk meneruskan ajaran iman kita kepada anak-anak kita. Mungkin bahkan merupakan suatu perjuangan bagi setiap orangtua zaman ini untuk membicarakan hal-hal rohani dengan anak-anak yang lebih tertarik dengan tawaran dunia: bermacam gadget, beragam atraksi youtube dan musik zaman ini. Belum lagi, tersedianya begitu banyak informasi yang menyesatkan iman, yang tersedia di internet, dan hanya sejauh “klik” saja.  Pendeknya, tidak mudah untuk selalu menjadi orang Katolik yang konsisten melaksanakan apa yang kita imani, dan menularkannya kepada orang-orang di sekitar kita. Maka pengalaman Nabi Yeremia yang kita dengar di Bacaan Pertama dapat meneguhkan kita. Sebab Allah akan menyertai kita. Semoga kita semua dapat tetap setia mengimani Tuhan di tengah dunia ini yang menawarkan sebaliknya.

Tuhan Yesus, sudilah dengarkan rintihan umat-Mu. Bantulah kami agar setia beriman sampai akhir. Berani mengakui Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat kami. Siap sedia hidup di dalam pimpinan-Mu dalam kebenaran dan kejujuran. Dan dengan tekun, meneruskan warisan iman ini kepada anak-anak kami, dengan perkataan dan perbuatan. Sebab kami percaya bahwa segala sesuatu kelak akan dinyatakan dalam terang. Dan akan ada mahkota kehidupan yang Engkau sediakan bagi orang-orang yang setia beriman sampai akhir. Topanglah dan mampukanlah kami ya Tuhan Yesus. Ini kami mohon, demi nama-Mu yang kudus. Amin.”

Ekaristi, ingatan yang hidup akan penebusan kita

0

[Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus: Ul 8:2-3, 14-16; Mzm 147:12-20; 1Kor 10:16-17; Yoh 6:51-58]

“Tuhan Allahmu…  memberi kamu makan manna, yang tidak kamu kenal” (Ul 8:2-3).

Perkataan ini dari Kitab Ulangan mengacu kepada sejarah bangsa Israel, yang dipimpin Allah keluar dari perbudakan oleh bangsa Mesir, dan selama 40 tahun dipimpin melalui gurun menuju Tanah Terjanji. Ketika telah mapan di daratan itu, bangsa pilihan [Israel] mencapai suatu otonomi tertentu, kenyamanan tertentu dan menempatkan diri dalam bahaya melupakan kejadian-kejadian yang telah menyiksa mereka di masa lalu, [mereka] mengabaikan rasa syukur akan campur tangan Allah dan akan kebaikan-Nya yang tak terbatas. Dan karenanya Kitab Suci mendesak bangsa itu untuk mengingat kembali, untuk mengenang, seluruh perjalanan melintasi gurun, dalam saat-saat kekeringan dan keputusasaan. Perintah Musa adalah agar [mereka] kembali ke hal-hal mendasar, yaitu untuk mengalami ketergantungan yang total kepada Allah, ketika kelangsungan hidup mereka berada di tangan-Nya sehingga bangsa itu memahami bahwa “manusia tidak hidup hanya dengan roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang keluar dari mulut Allah” (Ul 8:3).

Di samping kelaparan fisik, manusia mengalami kelaparan lainnya: kelaparan yang tidak dapat dipuaskan dengan makanan biasa. Itu adalah kelaparan akan kehidupan, kelaparan akan cinta dan kelaparan akan keabadian.  Dan tanda manna—seperti seluruh pengalaman bangsa Israel di padang gurun—juga mencakup dalam dirinya sendiri dimensi ini: yaitu simbol suatu makanan yang memuaskan kelaparan manusia yang mendalam. Yesus memberi kita makanan ini. Lebih tepatnya, Ia sendiri adalah roti hidup yang memberi hidup kepada dunia (lih. Yoh 6:51). Tubuh-Nya adalah sungguh-sungguh makanan dalam rupa roti; darah-Nya adalah sungguh-sungguh minuman dalam rupa anggur. Itu bukan makanan sederhana untuk memuaskan tubuh, seperti manna. Tubuh Kristus adalah roti di waktu-waktu akhir, yang dapat memberi hidup, kehidupan kekal, sebab roti ini dibuat dari cinta kasih.

Ekaristi menyampaikan kasih Tuhan kepada kita; sebuah kasih yang begitu besar sehingga roti itu memberi kita makan dengan diri-Nya sendiri; kasih yang diberikan secara cuma-cuma, selalu tersedia bagi setiap orang yang lapar dan memerlukannya untuk memperbarui kekuatannya sendiri. Untuk menghidupi pengalaman iman artinya adalah untuk membiarkan diri sendiri diberi makan oleh Tuhan dan untuk membangun keberadaan diri sendiri bukan dari benda-benda material tetapi dengan kenyataan yang tidak binasa, yaitu karunia-karunia Allah, Sabda-Nya dan Tubuh-Nya.

Jika kita melihat ke sekeliling kita, kita sadari bahwa ada begitu banyak tawaran makanan yang tidak datang dari Tuhan dan yang nampaknya lebih memuaskan. Sejumlah orang ‘memberi makan’ diri mereka sendiri dengan uang, sejumlah yang lain dengan kesuksesan dan kesia-siaan, dan sejumlah yang lain, dengan kekuasaan dan kesombongan. Tetapi makanan yang sungguh memelihara dan mengenyangkan kita hanyalah apa yang Tuhan berikan kepada kita! Makanan yang Tuhan tawarkan kepada kita berbeda dengan makanan lain, dan mungkin bagi kita nampaknya tidak sesedap makanan lain yang ditawarkan dunia kepada kita. Maka kita memimpikan makanan lain, seperti orang-orang Ibrani di gurun, yang merindukan daging dan bawang, yang mereka makan di Mesir, tapi melupakan bahwa mereka memakan makanan itu di meja perbudakan. Di saat-saat pencobaan itu, mereka mempunyai kenangan, tetapi kenangan yang sakit, kenangan yang mereka pilih-pilih sendiri. Sebuah kenangan budak, bukan kenangan seorang yang merdeka.

Saat ini, kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri: bagaimana dengan aku? Di mana aku mau makan? Di meja manakah aku ingin diberi makan? Di meja Tuhan? Atau apakah aku memimpikan makan makanan sedap tetapi dalam perbudakan? Lebih lanjut, kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri: apakah yang kuingat? Tuhan yang menyelamatkanku, atau bawang putih dan bawang [makanan] dalam perbudakan? Ingatan yang mana yang memuaskan jiwaku?

Bapa [penulis kitab] mengatakan kepada kita: “Aku memberimu makan dengan manna, yang tidak kamu kenal.” Biarlah kita memulihkan kembali kenangan ini.  Ini adalah tugas, yaitu untuk memulihkan kenangan itu. Biarlah kita belajar untuk mengenali roti palsu yang membohongi dan merusak, sebab itu datang dari cinta diri, dari mengandalkan diri sendiri dan dari dosa.

Dalam prosesi berikut ini, kita akan mengikuti Yesus yang sungguh hadir dalam Ekaristi. Hosti itu adalah manna kita, yang melaluinya Tuhan memberikan diri-Nya kepada kita. Kita kembali kepada-Nya dengan iman: Yesus, belalah kami dari godaan makanan duniawi yang memperbudak kami, makanan yang tercemar. Murnikanlah ingatan kami, supaya tidak terbelenggu dalam cinta diri dan pilihan duniawi, tetapi supaya bisa menjadi kenangan yang hidup akan kehadiranMu di sepanjang sejarah bangsa-Mu, sebuah kenangan yang membuat “monumen” tanda kasih-Mu yang menebus kami. Amin” (Diterjemahkan dari Homili Paus Fransiskus, di Hari Tubuh dan Darah Kristus, 2014).

Ekaristi adalah kenangan yang hidup akan pengorbanan Kristus yang menebus kita. Betapa dalamnya makna Ekaristi dan betapa besar rahmat yang kita terima setiap kali kita menyambut Ekaristi kudus itu. Sebab yang kita terima dan yang masuk ke dalam tubuh kita dan bersatu dengan jiwa kita adalah Tuhan Yesus sendiri, yaitu: Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan-Nya. “Tuhan Yesus di hari yang istimewa ini, di hari perayaan Tubuh dan Darah-Mu, bantulah aku untuk semakin memahami dan menghayati kenangan yang hidup akan kehadiran-Mu dalam Ekaristi. Sebagaimana Engkau telah memberikan seluruh diri-Mu kepadaku, terimalah juga segenap diriku yang kupersembahkan kepada-Mu. Semoga kehadiran-Mu memurnikan jiwa dan pikiranku, agar aku dapat selalu mengingat segala kebaikan-Mu kepadaku, terutama bahwa Engkau telah mengorbankan diri-Mu demi menebus segala dosaku. Walau kata-kata tak mampu melukiskan, kutahu Engkau memahami betapa aku bersyukur kepadaMu. Terima kasih Tuhan Yesus. Dimuliakanlah nama-Mu kini dan sepanjang masa. Amin.

Kasih menciptakan kesatuan dari perbedaan

0
Sumber gambar: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Trinidad_-_Vicente_Requena_el_Joven.jpg

[Hari Raya Tritunggal Mahakudus: Kel 34:4-9; Kid Dan 3:52-56; 2Kor 13:11-13; Yoh 3:16-19]

Hari ini kita merayakan Misteri Allah yang menjadi inti ajaran iman Kristiani kita, yaitu Allah Tritunggal Mahakudus. Telah ada banyak khotbah tentang Allah Tritunggal Mahakudus, namun tetap menarik bagi kita untuk mendengarkannya kembali dan merenungkannya, mengingat betapa dalamnya makna yang terkandung di dalamnya. Di hari istimewa ini, mari kita meresapkan apa yang disampaikan oleh Fr. Raniero Cantalamessa, pengkhotbah kepausan, yang mengatakan bahwa Allah Trinitas adalah contoh bagi seluruh umat manusia sebab menunjukkan bagaimana kasih itu menciptakan kesatuan dari perbedaan.
“Injil hari ini mengisahkan suatu waktu Yesus berkata kepada Nikodemus: ‘Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; tetapi barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak tunggal Allah.’ (Yoh 3:16-18)

Bacaan Kedua dalam liturgi hari ini, yang diambil dari Surat kedua Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, adalah salah satu bacaan yang paling langsung menunjukkan adanya misteri Allah Tritunggal yang Mahakudus: ‘Rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, kasih Allah dan persekutuan dengan Roh Kudus beserta kita.’ Tetapi, mengapa kita umat Kristen percaya akan Trinitas? Tidak-kah itu cukup sulit untuk percaya bahwa Allah itu ada, sehingga kita juga harus menambahkan padanya, istilah yang membingungkan, bahwa Ia adalah ‘satu dan tritunggal’? Ada banyak orang dewasa ini yang bukannya tidak dengan senang hati untuk mengesampingkan Trinitas, supaya dapat berdialog dengan lebih baik dengan umat Yahudi dan Muslim, yang mengakui iman akan satu Allah yang secara kaku dipahami sebagai Allah yang satu.

Umat Kristen percaya akan Allah yang Tritunggal, karena mereka percaya bahwa Allah adalah kasih! Adalah wahyu Allah sebagai Kasih, yang dinyatakan oleh Yesus, yang mengharuskan kita untuk menerima Trinitas. Ini bukan penemuan manusia. Tidak ada kasih yang ditujukan kepada kekosongan, tak ada kasih yang tidak ditujukan kepada seseorang. Maka kita mesti bertanya: siapakah yang dikasihi Allah, agar Ia disebut sebagai Kasih? Jawaban pertama mungkin: Ia mengasihi umat manusia. Tetapi keberadaan kita manusia adalah sekitar jutaan tahun, tidak lebih. Dan sebelum itu, siapa yang Allah kasihi? Sesungguhnya, Ia tak bisa mulai disebut kasih pada titik tertentu di dalam waktu, sebab Allah tidak dapat berubah.

Jawaban kedua: sebelumnya Ia mengasihi kosmos, alam semesta. Tetapi keberadaan alam semesta adalah sekitar ribuan juta tahun. Sebelumnya, siapa yang dikasihi Allah untuk menyebut diri-Nya sendiri sebagai kasih? Kita tak dapat berkata bahwa Ia mengasihi diri-Nya sendiri sebab untuk mengasihi diri sendiri itu bukan kasih tetapi egoisme atau, kata psikolog, narcisisisme.
Inilah jawaban dari wahyu Kristiani. Allah adalah kasih di dalam diri-Nya sendiri, sebelum adanya waktu, sebab Ia telah selalu memiliki dalam diri-Nya sendiri seorang Putra, yaitu Sang Sabda, yang Ia kasihi dengan sebuah kasih yang tak terbatas, yaitu di dalam Roh Kudus. Di dalam semua kasih selalu ada tiga realitas atau subyek: pihak yang mengasihi, pihak yang dikasihi dan kasih yang mempersatukan mereka.

Allah umat Kristen adalah satu dan tritunggal sebab Ia adalah persekutuan kasih. Teologi telah menggunakan istilah ‘kodrat’ atau ‘hakikat’ untuk menyatakan kesatuan di dalam Allah, dan istilah ‘pribadi’ untuk menyatakan perbedaannya. Karena ini, kita katakan bahwa Allah itu satu Allah dalam tiga Pribadi. Ajaran Kristiani tentang Trinitas bukanlah kemunduran, suatu kompromi antara monoteisme dan politeisme. Tapi ajaran Kristiani adalah sebuah langkah lebih lanjut yang hanya Allah sendiri yang dapat membuat pikiran manusia dapat menerimanya.

Kini mari kita melihat pertimbangan-pertimbangan praktis. Trinitas adalah model/contoh dari setiap persekutuan manusia, dari yang paling sederhana dan kecil, yaitu keluarga, sampai kepada Gereja universal. Trinitas menunjukkan bagaimana kasih menciptakan kesatuan dari perbedaan: kesatuan tujuan, kesatuan pikiran, kehendak, perbedaan subyek, ciri-ciri dan dalam ranah manusia, perbedaan jenis kelamin. Dan kita melihat, secara khusus, betapa banyak yang dapat dipelajari oleh sebuah keluarga dari contoh Trinitas.

Jika kita membaca Perjanjian Baru dengan teliti, kita mengamati semacam kaidah. Setiap dari ketiga Pribadi Ilahi tidak berbicara tentang diri-Nya sendiri, tetapi tentang Pribadi lainnya; tidak menarik perhatian kepada diri-Nya sendiri, tetapi kepada Pribadi lainnya. Setiap kali Bapa berbicara dalam Injil, Ia selalu menyatakan sesuatu tentang Putra-Nya. Yesus, pun, berbicara hanya tentang Bapa-Nya. Ketika Roh Kudus menjangkau hati seorang yang percaya, Ia tidak mengajarnya untuk mengucapkan nama-Nya, yang dalam bahasa Ibrani adalah ‘Ruah’, tetapi mengajarkannya untuk berkata ‘Abba’ yang adalah nama Bapa.
Mari mencoba untuk berpikir apa yang akan timbul dari cara ini, kalau kita menerapkannya dalam kehidupan keluarga. Ayah, yang tidak terlalu mempersoalkan untuk menyatakan otoritasnya daripada otoritas ibu; ibu, yang sebelum mengajarkan anaknya untuk mengatakan, ‘Mama’ mengajarkannya untuk mengatakan ‘Papa.’ Kalau cara ini ditiru dalam keluarga-keluarga dan komunitas kita, mereka sungguh menjadi cerminan Trinitas di dunia, tempat-tempat di mana kasih yang menjadi kaidah yang mengatur semuanya.”
(Diterjemahkan dari artikel “Father Cantalamessa on the Trinity”, May 20, 2005, ref: https://zenit.org/articles/father-cantalamessa-on-the-trinity/)

Dunia membutuhkan orang-orang yang dipenuhi Roh Kudus

0
Sumber gambar: https://www.youtube.com/watch?v=FvLFQhQplKs

[Hari Minggu Pentakosta: Kis 2:1-11; Mzm 104: 1-24-34; 1Kor 12:3-7, 12-13; Yoh 20:19-23]

Berikut ini adalah terjemahan khotbah Paus Fransiskus di hari Pentakosta, tahun 2015:

“Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh 20:21-22). Karunia Roh Kudus di sore hari Kebangkitan-Nya kembali terjadi lagi di hari Pentakosta, yang kali ini diintensifkan dengan tanda-tanda luar biasa yang terlihat oleh mata. Di sore hari Paska, Yesus menampakkan diri kepada para Rasul-Nya dan menghembusi mereka dengan Roh Kudus-Nya (lih. Yoh 20:22). Di pagi hari Pentakosta, pencurahan Roh Kudus terjadi dengan cara yang membahana, seperti suara angin yang mengguncangkan tempat di mana para rasul berkumpul, memenuhi pikiran dan hati mereka. Mereka menerima kekuatan baru yang begitu besar sehingga mereka mampu mewartakan Kebangkitan Kristus dalam berbagai bahasa: “Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya” (Kis 2:4). Bersama dengan mereka, ada Maria, Bunda Yesus, sang murid yang pertama dan Bunda dari Gereja yang baru lahir. Dengan kedamaiannya dan senyumnya, ia menemani Sang Mempelai muda yang bersukacita, yaitu Gereja Yesus.

Sabda Allah, khususnya dalam bacaan-bacaan hari ini, mengatakan kepada kita bahwa Roh Kudus berkarya di dalam setiap orang dan komunitas yang dipenuhi dengan Roh Kudus: Ia membimbing kita kepada seluruh kebenaran (lih. Yoh 16:13), Ia memperbarui muka bumi (Mzm 104:30) dan Ia memberikan kepada kita buah-buahnya (lih. Gal 5:22-23).

Dalam Injil, Yesus berjanji kepada para muridNya bahwa ketika Ia kembali kepada Bapa, Roh Kudus akan datang dan membimbing mereka kepada seluruh kebenaran (lih. Yoh 16:13). Sungguh Ia menyebut Roh Kudus “Roh Kebenaran”, dan menjelaskan kepada para murid-Nya, bahwa Roh Kudus akan membawa mereka kepada pengertian yang lebih jelas, apa yang Ia, Sang Mesias, telah katakan dan lakukan, secara khusus tentang kematian dan kebangkitan-Nya. Kepada para Rasul, yang tidak dapat menanggung skandal penderitaan Guru mereka, Roh Kudus akan memberikan pemahaman yang baru tentang kebenaran dan keindahan kejadian yang menyelamatkan itu. Pada awalnya mereka dilumpuhkan oleh rasa takut, mengunci diri dalam Ruang Atas untuk menghindari imbas dari Jumat Agung. Namun kini mereka tidak lagi merasa malu menjadi murid-murid Kristus; mereka tidak lagi gemetar di hadapan pengadilan manusia. Dipenuhi dengan Roh Kudus, mereka kini memahami “seluruh kebenaran”: bahwa kematian Yesus bukanlah suatu kekalahan, sebaliknya adalah pernyataan tertinggi dari kasih Allah, kasih yang, dalam Kebangkitan, mengalahkan maut dan meninggikan Yesus sebagai Seorang yang hidup, Tuhan dan Penebus umat manusia, dari sejarah dan dari dunia. Kebenaran ini, yang tentangnya para Rasul adalah saksi, menjadi Kabar Gembira yang harus diwartakan kepada semua orang.

Karunia Roh Kudus memperbaharui dunia. Pemazmur berkata, “Engkau mengutus Roh Kudus dan Engkau membaharui muka bumi (Mzm 104:30). Tentang kelahiran Gereja, Kisah Para Rasul secara penting menghubungkannya dengan Mazmur ini, yang merupakan kidung pujian yang agung kepada Allah Pencipta. Roh Kudus yang diutus Kristus dari Bapa dan Roh Kudus Pencipta yang memberikan kehidupan kepada segala sesuatu adalah satu dan sama. Maka, menghormati ciptaan, adalah persyaratan dari iman kita: “kebun” yang di dalamnya kita hidup, dipercayakan kepada kita bukan untuk dieksploitasi tetapi untuk dijadikan subur dan diolah dengan hormat (lih. Kej 2:15). Namun ini mungkin, hanya jika Adam—manusia yang dibentuk dari debu tanah—mengizinkan dirinya sendiri untuk dibaharui oleh Roh Kudus, hanya jika ia mengizinkan dirinya sendiri untuk dibentuk kembali oleh Allah Bapa dengan teladan Kristus, Adam yang baru. Dengan cara ini, dengan diperbarui oleh Roh Allah, kita akan sungguh dapat mengalami kebebasan sebagai anak-anak Allah dalam keselarasan dengan semua ciptaan. Dalam setiap ciptaan, kita akan dapat melihat pantulan kemuliaan Sang Pencipta, seperti dikatakan dalam ayat Mazmur yang lain: “Ya Tuhan Allah kami, betapa mulianya nama-Mu, di seluruh bumi” (Mzm 8:2,10).

Dalam Surat kepada umat di Galatia, St. Paulus ingin menunjukkan “buah-buah” yang dimanifestasikan dalam hidup mereka yang berjalan dalam jalan Roh Kudus (lih. Gal 5:22). Di satu sisi, ia menunjukkan “kedagingan”, dengan daftar sifat buruk yang berhubungan dengannya: perbuatan-perbuatan dari orang-orang yang egois dan menutup diri terhadap Tuhan.  Di lain sisi, terdapat orang-orang yang dengan iman mengizinkan Roh Allah untuk masuk dalam hidup mereka. Dalam diri mereka, karunia-karunia Allah merkembang, memuncak dalam sembilan kebajikan yang disebut oleh Paulus sebagai “buah-buah Roh Kudus”. Dengan demikian ia meminta, di awal dan akhir bacaan tersebgut, sebagai program kehidupan: “Berjalanlah dalam terang Roh Kudus” (Gal 5:6, 25).

Dunia memerlukan orang-orang—pria dan wanita—yang tidak menutup diri mereka sendiri, tetapi mereka yang dipenuhi dengan Roh Kudus. Menutup diri dari Roh Kudus artinya bukan hanya kekurangan kebebasan; itu adalah dosa. Terdapat banyak cara seseorang dapat menutup dirinya kepada Roh Kudus: dengan keegoisan demi pencapaian diri sendiri; dengan legalisme yang kaku—terlihat dalam sikap para pengajar hukum Taurat yang disebut oleh Yesus sebagai “orang munafik”; dengan pengabaian apa yang diajarkan Yesus; dengan menghidupi kehidupan Kristiani tidak sebagai pelayanan kepada sesama tetapi sebagai pengejaran akan kepentingan pribadi dan banyak hal lainnya. Dunia memerlukan keberanian harapan iman dan ketahanan dari para pengikut Kristus. Dunia memerlukan buah Roh Kudus: “kasih, sukacita, damai sejahtera, kemurahan hati, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan pengendalian diri” (Gal 5:22). Karunia Roh Kudus telah dicurahkan atas Gereja dan atas setiap kita, sehingga kita dapat menghidupi hidup iman yang tulus dan perbuatan kasih yang nyata, sehingga kita dapat menabur benih rekonsiliasi dan damai sejahtera. Dikuatkan oleh Roh Kudus dan banyak karunia-Nya, semoga kita dapat bertempur tanpa kompromi melawan dosa dan korupsi, dengan membaktikan diri kita dengan kegigihan yang sabar kepada karya-karya keadilan dan perdamaian.”
(Paus Fransiskus,
Homili, Minggu Pentakosta, 2015).

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab