Home Blog Page 10

Ia menyesal lalu pergi juga

0
Sumber gambar: http://www.singlemomsmiling.com/giving-your-word-parable-two-sons-matt-2128-32/

[1 Oktober 2017. Hari Minggu Biasa ke-26. Yeh 18:25-28. Flp 2:1-11. Mat 21:28-32]

28. “Tetapi apakah pendapatmu tentang ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. 29. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. 30. Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga.

31. Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Jawab mereka: “Yang terakhir.” Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah. 32. Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya.”

 


Teman-teman,

Minggu lalu (Minggu Biasa ke-25), Tuhan mengundang kita untuk bekerja di kebun anggurnya. Minggu ini, Tuhan, melalui perumpamaan dua anak, memberikan kita petunjuk agar kita dapat bekerja lebih baik.

Injil hari ini mengingatkan kita akan pentingnya ketaatan dalam setiap pekerjaan kita. Kristus adalah teladan utama bagi kita dalam ketaatan. Ia, dalam kemanusiaan-Nya (ratione humanae naturae), telah “taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8).

Di dalam Kitab Suci, kita bisa menemukan banyak sekali orang-orang yang memberikan kita contoh melalui ketaatan mereka kepada kehendak Tuhan. Salah satu teladan utama bagi kita dalam ketaatan, selain Yesus sendiri dan Bunda Maria, adalah Santo Yusuf. Santo Thomas Aquinas mengajarkan bahwa, oleh karena manusia jatuh dalam dosa akibat ketidaktaatan (lih. Gen 3:1-6), permulaan keselamatan kita ditandai oleh ketaatan Santo Yusuf, yang memiliki empat ciri khas: teratur (ordered), cepat (prompt), sempurna (perfect), dan teliti (discrete).[1]

Ketaatan kita harus teratur. Agar kita bisa taat kepada kehendak Allah yang diungkapkan melalui sesama kita (baik orang tua, guru, atau teman yang kita percayai), kita harus terlebih dahulu meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk (vices), seperti kemalasan dan kesombongan.

Ketaatan kita harus cepat, seperti yang disampaikan kepada kita oleh Kitab Yesus bin Sirakh: “Jangan menunda-nunda berbalik kepada Tuhan, jangan kautangguhkan dari hari ke hari” (Sir 5:7). Kita diundang untuk tidak menunda pekerjaan kita sampai besok, karena seringkali ‘besok’ adalah kata keterangan bagi para pecundang.[2]

Ketaatan kita harus sempurna. Ini berarti kita patut melaksanakan apa yang diperintahkan (what) dengan sarana tertentu (how), sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (what for). Dengan kata lain, kita diajak untuk taat termasuk dalam hal-hal yang kecil—“engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar” (Mat 25:21)—dan menyelesaikan pekerjaan kita dengan baik—“siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?” (Lk 14:28).

Ketaatan kita, akhirnya, harus teliti (discrete). Kita perlu memastikan bahwa kita mentaati Allah—bukan Iblis—dan orang-orang yang ditempatkan Allah disekeliling kita untuk membimbing kita.

Semoga, melalui Ekaristi hari ini dan dengan perantaraan Santo Yusuf, kita semakin mampu untuk mentaati Allah dengan teratur, cepat, sempurna, dan teliti.

 


[1] Thomas Aquinas, Super Mt., cap. 1 l. 6.

[2] Josemaría Escrivá, The Way, §251: “¡Mañana!: alguna vez es prudencia; muchas veces es el adverbio de los vencidos.” [“‘To-morrow’: sometimes it is prudence; very often it is the adverb of the defeated.”]

 

Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku

0
Sumber gambar: https://brokenredeemed.files.wordpress.com/2012/07/castel-monastero-vineyards11.jpg

[24 September 2017. Hari Minggu Biasa ke-25. Yes 55:6-9. Flp 1:20-24,27. Mat 20:1-16]

1. “Adapun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. 2. Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya. 3. Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar. 4. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan mereka pun pergi. 5. Kira-kira pukul dua belas dan pukul tiga petang ia keluar pula dan melakukan sama seperti tadi. 6. Kira-kira pukul lima petang ia keluar lagi dan mendapati orang-orang lain pula, lalu katanya kepada mereka: Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari? 7. Kata mereka kepadanya: Karena tidak ada orang mengupah kami. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku.

8. Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu. 9. Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar.

10. Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi mereka pun menerima masing-masing satu dinar juga. 11. Ketika mereka menerimanya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu, 12. katanya: Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari. 13. Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? 14. Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. 15. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?

16. Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.”

 


Teman-teman,

Apabila Injil Minggu lalu (Minggu Biasa ke-24, Tahun A) menceritakan belas kasihan Allah yang senantiasa mengampuni kita, Injil Minggu ini menceritakan belas kasihan Allah yang mengundang kita untuk bekerja di “kebun anggurnya” (1). Allah ingin agar kita mengambil bagian dalam karya penyelamatannya melalui pekerjaan kita, yang adalah sarana untuk menguduskan diri kita sendiri dan menguduskan orang lain. Pekerjaan menolong kita dan sesama kita menjadi “sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48).

Pertama-tama, pekerjaan adalah sarana untuk menguduskan diri kita sendiri. Ketika kita bekerja, kita memenuhi perintah Allah, yang menempatkan orang tua kita yang pertama dalam “taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej 2:15). Bekerja juga berarti meniru teladan Kristus, yang “berjalan berkeliling sambil berbuat baik” (Kis 10:38). Bekerja dengan baik berarti menyelesaikan pekerjaan kita tanpa menghiraukan detil-detil yang kecil; Yesus ingin agar kita tekun dalam hal-hal yang kecil: “engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar” (Mat 25:21).

Selain itu, pekerjaan adalah sarana untuk menguduskan sesama kita. Kita menguduskan sesama kita melalui teladan kita. Misalnya, ketika tetangga kita melihat bahwa kita selalu gembira dalam menjalankan pekerjaan kita, ia bisa saja bertanya kepada kita suatu hari, “Mengapa kamu begitu gembira setiap kali kamu pulang dari kantor?” Kita bisa menjawab, “Saya gembira karena saya telah memberikan yang terbaik bagi Allah.” Dengan menjawab demikian, kita mewartakan Injil kepada tetangga kita. Kita juga menguduskan sesama kita melalui bantuan kita. Kita harus melakukan apapun juga agar sesama kita dapat bekerja dengan lebih baik; misalnya, kita bisa berusaha menjaga ketenangan di perpustakaan, menghadiahkan kuali yang lebih bagus kepada tetangga kita agar ia dapat memasak dengan lebih mudah, atau kita dapat memberikan koreksi penuh kasih kepada teman kita yang sering menunda-nunda pekerjaannya.

Semoga Ekaristi hari ini menguatkan kita untuk menjadikan pekerjaan kita yang sederhana, namun dijalankan dengan teliti dan penuh kasih, sebuah sarana untuk menguduskan diri kita sendiri dan sesama kita.

 

“Tujuh puluh kali tujuh kali”

0
Sumber gambar: https://2.bp.blogspot.com/-u9d6pg7Nua4/V3I7nyCVXSI/AAAAAAABAoM/8e5WgXH_UmksM8OXctGgn0OzIlq9uOKUQCLcB/s1600/Par%25C3%25A1bola%2Bservo%2Bque%2Bn%25C3%25A3o%2Bperdoa.jpg

[17 September 2017. Hari Minggu Biasa ke-XXIV. Sir 27:33-28:9. Rm 14:7-9. Mat 18:21-35]

21. Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” 22. Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.

23. Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. 24. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. 25. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. 26. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. 27. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya.

28. Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! 29. Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. 30. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya.

31. Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. 32. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. 33. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? 34. Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya.

35. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.”

 


Teman-teman,

Injil hari ini mengajak kita untuk mengampuni. Kita perlu belajar mengampuni karena Allah yang penuh kasih telah terlebih dahulu mengampuni kita, terutama melalui sakramen-sakramen.

Allah mengampuni kita, pertama-tama, melalui sakramen Baptis. Ketika kita menerima sakramen Baptis dengan iman dan penyesalan akan dosa-dosa kita, Allah menghapus dosa asal dan pribadi kita (baik berat maupun ringan). Lebih dari itu, Allah juga menghapus segala hukuman (duniawi dan kekal) yang dijatuhkan kepada kita ketika kita berdosa. Dalam sakramen Baptis, apa yang dikatakan sang raja dalam perumpamaan Injil hari ini menjadi kenyataan: “Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya” (27). Betapa indahnya sakramen Baptis yang telah kita terima! Hendaklah kita senantiasa bersyukur dan mengingat Baptisan kita (misalnya, dengan menggunakan air suci).

Selain melalui sakramen Baptis, Allah juga mengampuni kita melalui sakramen Tobat setiap kali kita jatuh dalam dosa setelah kita menerima sakramen Baptis. Sakramen Tobat adalah sebuah sakramen yang mengagumkan: segala macam dosa, betapa beratnya pun, diampuni oleh Allah hanya dengan penyesalan, pengakuan, dan—setelah imam memberikan absolusipenitensi kita.[1] Apakah kita bersedia menerima kerahiman Allah melalui sakramen ini secara rutin?

Yesus mengundang kita untuk mengampuni sesama kita seperti Allah yang senantiasa mengampuni kita. Mengampuni, sesuai dengan ajaran Joseph Kardinal Ratzinger, bukanlah sekadar melupakan. Mengampuni adalah menghadapi kesalahan orang lain dan membakar kesalahan tersebut dalam diri kita sehingga kita dan orang yang kita ampuni diperbarui oleh kasih Allah.[2] Sungguh kasih adalah dasar pengampunan: ia yang mengasihi sesamanya akan mengampuni sesamanya.[3]

Allah, setelah mengalami kasih dan pengampunan-Mu dalam sakramen-sakramen Gereja, bantulah kami agar kami senantiasa mampu “mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat 6:12).

 


[1] Katekismus Gereja Katolik, §1448.

[2] Ratzinger, Joseph, Jesus of Nazareth: From the Baptism in the Jordan to the Transfiguration, (New York, USA: Double Day, 2007) hal: 158-159. “What is forgiveness, really? […] Guilt is a reality, an objective force; it has caused destruction that must be repaired. For this reason, forgiveness must be more than a matter of ignoring, of merely trying to forget. Guilt must be worked through, healed, and thus overcome. Forgiveness exacts a price—first of all from the person who forgives. He must overcome within himself the evil done to him; he must, as it were, burn it interiorly and in so doing renew himself. As a result, he also involves the other, the trespasser, in this process of transformation, of inner purification, and both parties, suffering all the way through and overcoming evil, are made new.”

[3] Josemaría Escrivá, Furrow, §804: “That friend of ours with no false humility used to say: ‘I haven’t needed to learn how to forgive, because the Lord has taught me how to love.’”

 

“Di bawah empat mata”

0
Sumber gambar: https://www.wordonfire.org/resources/homily/fraternal-correction/808/

[10 September 2017. Hari Minggu Biasa ke-XXIII. Yeh 33:7-9. Mzm 94(95):1-2,6-9. Rm 13:8-10. Mat 18:15-20.]

15. “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. 16. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. 17. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.

18. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga. 19. Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. 20. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”

 


Teman-teman,

Injil hari ini mengingatkan kita akan pentingnya menghindari gosip negatif mengenai sesama kita. Dengan kata lain, Yesus mengajarkan kita untuk menghidupi sebuah kebiasaan kristiani yang dinamai “koreksi antar saudara” (fraternal correction). Koreksi kristiani tidak lain adalah menegor saudara kita yang berbuat dosa “di bawah empat mata,” tentunya dengan penuh kasih (15).

Koreksi antar saudara adalah wujud kasih dan kesetiaan kita terhadap sesama kita.[1] Koreksi harus lahir dari doa kita: sebelum melakukan koreksi, haruslah kita mendoakan sesama kita yang ingin kita tegor dan meminta pendapat pembimbing rohani kita. Kita tidak boleh lupa bahwa Allah akan meminta kita pertanggungan jawab atas orang-orang yang telah Ia tempatkan di sekitar kita; karenanya, dalam bacaan pertama, kita diperingatkan: “[…] engkau tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang jahat itu supaya bertobat dari hidupnya, orang jahat itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu” (Yeh 33:8).

Koreksi antar saudara juga adalah sarana yang membangun kesatuan di antara orang-orang percaya. Koreksi adalah sebuah pertolongan berharga yang dapat kita ulurkan kepada sesama kita.[2] Membicarakan keburukan orang lain di belakangnya, sebaliknya, adalah pemicu keretakan dalam komunitas.

Koreksi yang kita lakukan bisa saja berhubungan dengan hal-hal yang kecil namun berarti besar bagi sesama kita. Misalnya, bisa jadi ada bolong di baju teman kita, tetapi ia tidak sadar. Kita bisa saja menertawakannya di belakangnya, tetapi tindakan ini tidaklah kristiani. Kita cukup mengatakan kepadanya, secara tersembunyi dan di bawah empat mata, tentunya, “ada bolong kecil di bajumu … kamu bawa nanti ke tukang jahit, ya?” Atau, bila teman kita malas bekerja, kita bisa menyemangatinya; bila teman kita terus bermain dengan smartphone-nya di saat berkumpul, kita bisa berkata, “teman-teman yang ada di hadapanmu lebih penting daripada smartphone-mu, loh.”

Siapkah kita menghindari gosip dan belajar menegor sesama kita “di bawah empat mata” (16)?

 


[1] Josemaría Escrivá, The Forge, §146: “Don’t neglect the practice of fraternal correction, which is a clear sign of the supernatural virtue of charity. It’s hard; because it’s easier to be inhibited. Easier!, but not supernatural. —And for such omissions you will have to render an account to God.”

[2] Josemaría Escrivá, The Forge, §641: “Why don’t you make up your mind to make that fraternal correction? Receiving one hurts, because it is hard to humble oneself, at least to begin with. But making a fraternal correction is always hard. Everyone knows this. Making fraternal corrections is the best way to help, after prayer and good example.”

Mengambil bagian dalam sengsara Kristus

0
Sumber gambar: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Chiesa_di_San_Polo_(Venice)_-_VIA_CRUCIS_V_-_Simon_of_Cyrene_helps_Jesus_carry_the_cross_by_Giandomenico_Tiepolo.jpg#/media/File:Chiesa_di_San_Polo_(Venice)_-_VIA_CRUCIS_VII_-_Jesus_falls_the_second_time_by_Giandomenico_Tiepolo.jpg

[3 September 2017. Hari Minggu Biasa ke-XXII. Yer 20:7-9. Mzm 62(63):2-6,8-9. Rm 12:1-2. Mt 16:21-27.]

21. Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga. 22. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” 23. Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”

24. Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. 25. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. 26. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? 27. Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya.

 


Teman-teman,

Setelah iman para murid diteguhkan oleh pengakuan iman Petrus (lih. bacaan Injil minggu lalu), Yesus mengumumkan sengsara dan kebangkitan-Nya (21). Dengan menderita di Yerusalem, Yesus menunjukkan bahwa sengsara-Nya adalah Kurban sempurna yang digambarkan oleh kurban-kurban Perjanjian Lama yang dipersembahkan di Bait Allah di Yerusalem. Bertentangan dengan pengumuman ini, Petrus menegor Yesus. Memang, manusia, tanpa rahmat Allah, selalu melarikan diri dari kematian badan; roh Allah, sebaliknya, tidak: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13).[1]

Selanjutnya, setelah mengoreksi Petrus secara tegas (23), Yesus mengundang kita semua untuk mengambil bagian dalam sengsara-Nya melalui tiga hal: “[…] menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (24). Pertama, menyangkal diri sendiri: ini berarti, menurut ajaran Santo Tomas Aquinas, menganggap diri sendiri tidak ada apa-apanya.[2] Seorang kudus juga sudah berkata: “Tuhan, saya bukanlah apa-apa, saya tidak bisa berbuat apa-apa … Engkau adalah segalanya.”[3]

Kedua, memikul salibnya: kita memikul salib kita sendiri setiap kali bermati raga. Tidak perlu memikirkan mati raga atau pengorbanan diri yang terlalu besar: senyuman kepada musuh kita, mendengarkan dengan sabar pembicaraan orang lain, atau tidak menaburkan garam pada makanan kita bisa jadi adalah mati raga yang paling berkenan di mata Allah apabila kita melakukannya dengan penuh cinta kasih.[4]

Ketiga, mengikut Kristus: akhirnya, kita dipanggil untuk menolak dosa. Tidak ada gunanya bermati raga apabila kita terus hidup dalam dosa. Untuk mengikut Yesus, kita harus bebas dari dosa, karena Ia telah datang untuk menghancurkan dosa: “Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging” (Rm 8:3). Untuk membebaskan diri dari dosa, Kristus telah memberikan kepada Gereja sarana yang jelas: sakramen-sakramen, terutama sakramen Pengakuan Dosa.

 


[1] Thomas Aquinas, Super Mt., cap. 16 l. 3, at Corpus Thomisticum, www.corpusthomisticum.org: “Petrus refugit carnis mortem, sed spiritus Dei non.”

[2] Thomas Aquinas, Super Mt., cap. 16 l. 3: “si vis passionem domini sequi, oportet quod abneges te, et pro nihilo te reputes.”

[3] Josemaría Escrivá, “Public relations on earth and in heaven” (live video), at Saint Josemaría Escrivá, www.josemariaescriva.info: “Lord, I am nothing, I can do nothing, I am worth nothing, I know nothing, I have nothing! I am nothing, and You are everything.”

[4] Josemaría Escrivá, The Way, §173, at Josemaría Escrivá, www.escrivaworks.org: “That joke, that witty remark held on the tip of your tongue; the cheerful smile for those who annoy you; that silence when you’re unjustly accused; your friendly conversation with people whom you find boring and tactless; the daily effort to overlook one irritating detail or another in the persons who live with you… this, with perseverance, is indeed solid interior mortification.”

Cum Petro (Bersama dengan Petrus)!

0
Sumber gambar: http://kairosterzomillennio.blogspot.co.id/2014/08/xxi-domenica-del-tempo-ordinario-anno-a.html

[27 Agustus 2017. Hari Minggu Biasa ke-XXI. Yes 22:19-23. Mzm 137(138):1-3,6,8. Rm 11:33-36. Mt 16:13-20.]

13. Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?”
14. Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.”
15. Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?”
16. Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!”
17. Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.
18. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.
19. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.”
20. Lalu Yesus melarang murid-murid-Nya supaya jangan memberitahukan kepada siapapun bahwa Ia Mesias.

Teman-teman,

Cum Petro![1] Dalam bahasa Latin, kata tersebut artinya adalah “bersama dengan Petrus”. Mengapa dalam perjalanan iman, kita perlu bersama dengan Petrus? Karena kita ingin meneladani Petrus, yang memberikan pengakuan iman akan Kristus dengan sempurna; dan mengakui keutamaan dan kuasa Rasul Petrus yang telah diberikan oleh Kristus.

Injil hari ini mengandung dua bagian. Dalam bagian pertama (13-16), penginjil Matius menceritakan pengakuan iman Petrus. Petrus menjawab pertanyaan Yesus—“siapakah Aku ini?”—atas namanya sendiri dan atas nama para Rasul. Petrus mengucapkan sebuah pengakuan iman yang sempurna,[2] karena ia mengakui baik kemanusiaan Yesus maupun keilahiannya: Yesus adalah sungguh manusia—”Engkau adalah Mesias” (Mesias berarti “yang diurapi”)—dan sungguh Allah—”Anak Allah yang hidup” (16).

Dalam bagian yang kedua (17-20), penginjil Matius menceritakan jawaban Yesus atas pengakuan Petrus. Yesus mengumumkan keutamaan Petrus di antara para Rasul. Yesus memberikan kepada Petrus nama—“Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku.” Dengan demikian, Yesus Kristus tetap adalah dasar utama Gereja—“tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus” (1 Kor 3:11). Petrus adalah dasar karena ia adalah wakil (vicarius) Kristus di bumi;[3] Yesus telah berkata kepada Petrus: “Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur” (Lk 22:32). Karenanya, Gereja Katolik tidak dapat dijatuhkan oleh hal apapun, entah oleh ajaran sesat, oleh dosa, atau oleh iblis.[4]

Selain nama, Yesus juga menjanjikan kepada Petrus kekuasaan (potestas)—“Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga” (19)—yang akan diterima oleh Petrus setelah kebangkitan Kristus. Fungsi kunci adalah membuka pintu dan mempersilakan orang-orang masuk; demikian pula Petrus dan para penerusnya—saat ini, Penerus Petrus adalah Paus Fransiskus—memiliki kekuasaan untuk mempersilakan orang-orang masuk ke dalam Kerajaan Sorga melalui pelayanan mereka dalam Sakramen Tobat, di mana dosa-dosa kita sungguh-sungguh diampuni.[5]

Hari ini, kita memiliki kesempatan untuk memperbarui cinta kita kepada Bapa Suci, Penerus Petrus. Hal ini dapat kita capai, misalnya, dengan berdoa untuk pribadi Paus dan juga untuk intensi bulanannya: bulan ini, Paus Fransiskus memohon agar kita berdoa bagi para seniman.[6] Mari kita selipkan intensi Paus ini dalam doa rosario harian kita.

 


[1] Expresi dalam bahasa Latin ini berarti, dalam bahasa Indonesia, “bersama dengan Petrus.” See Josemaría Escrivá, The Forge, §647, at Josemaría Escrivá, www.escrivaworks.org: “Offer your prayer, your atonement, and your action for this end: ut sint unum! — that all of us Christians may share one will, one heart, one spirit. This is so that omnes cum Petro ad Iesum per Mariam — that we may all go to Jesus, closely united to the Pope, through Mary.”

[2] Thomas Aquinas, Super Mt., cap. 16 l. 2: “Ipse respondet pro se, et pro aliis; sed ipse frequentius respondet, et in hoc perfecta fides tangitur”.

[3] Thomas Aquinas, Super Mt., cap. 16 l. 2: “Est ne Christus et Petrus fundamentum? Dicendum quod Christus secundum se, sed Petrus inquantum habet confessionem Christi, inquantum vicarius eius. […] Ideo Christus secundum se est fundamentum, sed apostoli non secundum se, sed per concessionem Christi, et auctoritatem datam a Christo.”

[4] Thomas Aquinas, Super Mt., cap. 16 l. 2: “Et qui sunt portae Inferi? Haeretici: quia sicut per portam intratur in domum, sic per istos intratur in Infernum. Item tyranni, Daemones, peccata. Et quamvis aliae Ecclesiae vituperari possint per haereticos, Ecclesia tamen Romana non fuit ab haereticis depravata quia supra petram erat fundata.”

[5] Thomas Aquinas, Super Mt., cap. 16 l. 2: “Et hanc [clavem] communicavit ut per ministerium peccata tollerentur, quod expletur per virtutem sanguinis Christi: unde sacramenta virtutem habent a virtute passionis Christi.”

[6] Intensi bulanan Paus Fransiskus dapat dilihat di webpage Vatican Radio, en.radiovaticana.va.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab