Home Blog Page 109

Nyanyian Sukma

0

Kegelapan malam menudungi Gedung Pelayanan  Santo Damian, Paroki Santa Odilia, Tangerang.

Delapan puluh umat duduk diam, siap untuk  mendengarkan ajaran Tuhan melalui  acara “Pencurahan Roh Kudus” dalam  Seminar Hidup Baru Dalam Roh pada tanggal 19 Juli 2013.

Pria,  wanita,  tua, muda, dan  remaja disatukan dengan kerinduan akan jamahan Tuhan yang mengubah jiwa dan hati.

Senadung lagu “Roh Allah, Kau Hadir Di sini” mengalir  syadu di tengah  redupnya lampu aula.

Tuhan semakin lama semakin terasa dekat dan semakin dekat.

Kedekatan Tuhan  bagaikan cahaya lampu dengan  sumber apinya.

Penumpangan tangan  dari  imamnya mengundang  deraian air mata.

Air mata ini bukan air mata  dukacita,  tetapi air mata sukacita  karena menemukan kekuatan baru  untuk meninggalkan  masa silam yang suram dan  gundah yang sering melanda jiwa.

Air mata sukacita mengalir karena  mengalami secerah harapan baru dari Tuhan  yang telah disediakan bagi mereka.

Setelah  acara penumpangan tangan  “Mohon  Mengaktifkan Karunia-Karunia Roh Kudus dalam Sakramen Permandian dan Krisma” usai, aku bertanya kepada  para remaja yang terus menangis tersedu-sedu.

Jawabannya ada dalam sebuah kesaksian  dari seorang remaja yang masih duduk di Sekolah Lanjutan Pertama yang kuolah menjadi sebuah  pesan  yang  indah untuk ditanam dalam kehidupan :

 “Ini bukan sebuah tangisan.

Akan tetapi, sebuah nyanyian sukma   yang terangkai dari  hitungan jari atas bilangan kekilafan.

Ratapan penyesalan  menghantar pada  pertobatan .

Kerling mata Tuhan Yesus  merupakan sumber perubahan.

Jantungku pun berbisik  bahwa aku  ingin menjadi panas dalam api Tuhan.

Hidup dalam kesucian merupakan langkah  untuk dekat dengan Tuhan, Sahabat kita”.

 Pesan itu  mengingatkan kita  akan Nasihat Daud : “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu” (Mazmur 119:9)

Malam itu pun bercahaya  dengan taburan keindahan dan  semaian  sukacita karena dekat dengan Tuhan.

 

Tuhan memberkati.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Apakah teladan hidup St. Alexis?

7

Ada sejumlah orang mempertanyakan, apakah yang dapat dipelajari dari kisah hidup seseorang yang bernama Alexis (Alexius) di abad ke-5, yang kemudian dikenal sebagai Santo Alexis? St. Alexis diakui sebagai orang kudus, pertama-tama di Gereja Timur sebelum abad ke-9, namun kemudian juga ia diterima di Gereja Barat (Roma) menjelang abad ke-10.

Sekilas kisah hidup St. Alexis

Sebelum membahas lebih lanjut tentang St. Alexis, mari kita membaca sekilas kisah hidupnya ((sumber: Alban Butler, Lives of the Saints, volume III, Texas, USA: Christian Classics, Thomas More Publishing, 2nd edition, reprinted 1996, p. 123-124))

“St. Alexis adalah seorang anak tunggal dari seorang senator yang kaya di Roma, yang bernama Euphemian dan istrinya, Aglae. Ia lahir dan dididik di ibukota di abad ke-5. Melalui teladan kasih dari orang tuanya, ia belajar bahwa kekayaan yang dibagikan kepada kaum miskin akan tinggal pada kita selamanya, dan bahwa perbuatan amal kasih adalah adalah harta karun yang menghantar ke Surga, dengan bunga penghargaan yang sangat besar. Ketika masih kecil, ia telah mempunyai perhatian kepada orang-orang yang susah, dan menganggap dirinya harus bertanggungjawab terhadap mereka yang menerima perbuatan amal kasihnya dan menganggapnya sebagai penolong. Khawatir bahwa penghormatan duniawi akan mengalihkan perhatiannya dan membagi hatinya dari hal-hal yang lebih terhormat, ia memutuskan untuk meninggalkan hak-hak istimewanya yang diperolehnya sejak lahir, dan ingin mengundurkan diri dari kemewahan dunia. Setelah mengikuti kemauan orang tuanya untuk menikah dengan seorang gadis yang kaya, ia, di hari pernikahannya, meninggalkan istrinya itu setelah meminta persetujuan darinya. Alexis menyamar dan pergi ke Syria, hidup dalam kemiskinan yang sangat, tinggal di gubuk yang berhubungan dengan gereja St. Perawan Maria “Bunda Allah” di Edessa. Di sini Alexis hidup selama 17 tahun sampai sebuah penampakan Bunda Maria mengatakan dan menyatakan kesuciannya kepada orang banyak, dan menyebutnya “the Man of God” (pelayan Tuhan). Lalu Alexis kembali ke rumahnya, namun ayahnya tidak mengenalinya lagi. Ayahnya itu menerimanya sebagai pengemis dan memberikannya pekerjaan, dan ia diberikan sebuah tempat di sudut bawah tangga sebagai tempat tinggalnya. Selama 17 tahun kemudian ia hidup tanpa dikenal di rumah ayahnya sendiri, menanggung penghinaan dari para perlayan yang lain, dengan kesabaran dan keheningan. Setelah wafatnya, sebuah tulisan ditemukan padanya, yang menyatakan namanya dan keluarganya yang sesungguhnya, dan riwayat hidupnya.

Jalan luar biasa, yang tentangnya Allah berkenan, yang kadang berhubungan dengan jiwa-jiwa  tertentu saja, lebih cenderung untuk dikagumi daripada diikuti. Jika orang-orang tersebut mau melakukan apa saja untuk mencari penghinaan, maka kita harus dengan sabar menghadapi penghinaan yang Tuhan izinkan terjadi dalam kehidupan kita. Hanya dengan merendahkan diri kita dalam setiap kesempatan, maka kita dapat berjalan di jalan kerendahan hati dan mengangkat dari hati kita segala jenis akar kesombongan yang tersembunyi. Racun dari kesombongan ini mempengaruhi semua keadaan; sering ia tersembunyi dalam hati, bahkan setelah seseorang telah dapat mengendalikan dirinya dari hawa nafsu yang lain. Kesombongan akan tetap ada, bahkan pada orang-orang yang sempurna, untuk dikalahkan…. jika kita tidak waspada maka tak ada dari perbuatan kita yang sempurna/ tak bercacat. Kesombongan akan selalu mengintai, merasuki setiap perbuatan terbaik kita, dan semakin dalamnya luka itu, semakin jiwa menjadi kebal dan semakin tak mampu mengetahui penyakitnya dan kelemahannya itu….”

Teladan hidup St. Alexis

Agaknya kita perlu membaca riwayat St. Alexis ini dengan kaca mata rohani, dan bukan dengan kaca mata jasmani semata, yang umum menjadi tolok ukur dunia. Sebab menurut pandangan umum, tentu saja lebih baik jika St. Alexis hidup sebagai orang kaya dan terhormat, lalu dengan kekayaannya ia membantu banyak orang miskin. Tentu hal ini baik juga, namun St. Alexis terpanggil untuk melakukan hal yang lebih tinggi melampaui pemikiran umum di dunia, yaitu dengan meninggalkan kemewahan hidupnya, dan dengan demikian memberikan teladan ketidakterikatannya akan hal-hal duniawi, untuk mengarahkan hati sepenuhnya kepada hal-hal surgawi. Ia memilih untuk hidup miskin, menjadi pengemis untuk berbagi dengan sesama pengemis. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya dan bekerja sebagai salah satu pelayan di rumah orang tuanya sendiri, tanpa dikenali. Ia tetap hidup miskin sampai wafatnya, dengan diam menanggung penghinaan yang diterimanya dari para pelayan yang lain yang dulu pernah menjadi pelayan-nya. Sejujurnya, jika direnungkan, tak banyak orang yang dapat melakukan hal ini.

Seseorang hanya perlu merenung sejenak untuk menemukan kemiripan kisah hidup Alexis dengan kisah hidup Kristus sendiri, yang juga meninggalkan segala-galanya untuk menjadi manusia, dan dalam keadaan-Nya sebagai manusia Ia memilih untuk hidup miskin sebagai hamba, dan taat sampai wafat di salib (lih. Flp 5:10). Walaupun kisah pengosongan diri Kristus tak dapat disejajarkan dengan kisah hidup siapapun, namun kisah hidup pengosongan diri St. Alexis tetaplah sesuatu yang istimewa, justru karena dalam skala yang lebih kecil mengikuti teladan Kristus, dan dalam ukuran itupun, tidak mudah untuk dilakukan oleh kebanyakan orang. Lebih mudah bagi orang kaya untuk menyumbang dalam keadaan kelebihannya, sementara ia tetap hidup dalam kelimpahannya. Namun diperlukan keteguhan batin dan keterpautan hati kepada Tuhan yang total dan luar biasa, bagi seseorang yang kaya untuk meninggalkan kekayaannya, untuk hidup miskin, dan menjalani kehidupannya dengan semangat pengosongan diri, mati raga, sambil memusatkan perhatian sepenuhnya kepada Allah dan sesama yang menderita. Itulah sebabnya Kristus mengatakan kepada orang muda yang kaya yang datang kepada-Nya, bahwa jika ia ingin sempurna, ia perlu meninggalkan segala kekayaannya untuk mengikuti Kristus (lih. Mat 19:21). Nampaknya hal ini terlalu berat bagi orang muda itu, namun tidak bagi St. Alexis. Sejujurnya, dalam sejarah Gereja, bukan hanya St. Alexis yang memilih untuk meninggalkan kemewahan dunia untuk hidup miskin dan memusatkan hati kepada Allah. St. Antonius pertapa, St. Dominic, St. Fransiskus dari Asisi, St. John Calybites, dan sejumlah orang kudus lainnya yang juga memilih jalan hidup sedemikian. Menurut ukuran dunia, mereka itu mungkin dipandang bodoh dan tidak waras, tetapi ukuran Tuhan bukan ukuran dunia. Dengan kemiskinan dan ketidakterikatan mereka terhadap hal-hal duniawi, para orang kudus itu mengikuti teladan hidup Kristus, yang lebih dahulu memilih untuk hidup miskin sepanjang hidup-Nya di dunia, untuk menjadi sahabat bagi kaum papa dan terbuang.

Maka marilah kita menerima teladan hidup para orang kudus itu dengan kerendahan hati dan dengan kaca mata iman. Gereja, atas dasar Sabda Tuhan, tidak menilai pengorbanan dan perbuatan kasih seseorang hanya dari memberikan kekayaan dan hal-hal jasmani lainnya. Sebab kasih itu bahkan dapat dinyatakan dengan lebih sempurna dengan pengorbanan, mati raga, pemberian diri seutuhnya bagi kaum miskin. Semangat inilah sebenarnya yang makin langka dihayati di dunia sekular sekarang ini, namun yang masih dijumpai dalam Gereja-Nya, dalam pelayanan dari berbagai kongregasi hidup bakti kepada kaum miskin, cacat dan terpinggirkan. Selayaknya kita sebagai umat Katolik menghargai karya-karya ini, dan mendukungnya dengan doa-doa dan amal kasih. Selanjutnya, bagi kita sendiri, mari kita mengikuti teladan St. Alexis dalam hal kerendahan hati, dan ketidakterikatannya terhadap harta duniawi, nama baik dan kekuasaan. Dalam semangat kemiskinan ini, semoga kita dapat semakin memusatkan hati dan perhatian kita kepada Tuhan, yang telah lebih dahulu meninggalkan segala-galanya dan menjadi miskin dan papa, ketika Ia mengambil rupa manusia untuk menyelamatkan kita.

Kemiskinan dan pujian kepada Allah

2

Injil harus secara murah hati dan sederhana diwartakan, kata Paus Fransiskus saat Misa Selasa pagi [11-06-2013] di kapel Casa Santa Marta. Kemiskinan dan pujian kepada Allah, katanya adalah dua tanda kunci dari Gereja yang evangelis dan misionaris. Bukan sebaliknya Gereja yang kaya namun menjadi tua, tak bernyawa, yang menjadi sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat] yang mengabaikan harta sejati dari kasih karunia Allah yang cuma-cuma. Emer McCarthy melaporkan:

Paus Fransiskus memulai homilinya dengan mengutip nasihat Yesus kepada para Rasul, yang diutus untuk mewartakan Kerajaan Allah: “Persembahkan dirimu tanpa emas atau perak, bahkan tanpa tembaga untuk pundi-pundimu” (Mat 10:9). Dia mengatakan Tuhan ingin kita mewartakan Injil dengan kesederhanaan, kesederhanaan “yang memberikan jalan kepada kekuatan Firman Allah,” karena jika saja para Rasul tidak memiliki “keyakinan dalam Firman Allah,” “mereka mungkin sudah akan melakukan sesuatu hal yang lain”. Paus Fransiskus melanjutkan dengan mengidentifikasi” kata kunci “dalam amanat yang diberikan oleh Yesus: “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, [karena itu] berikanlah pula dengan cuma-cuma.” Dia mengatakan [bahwa] semuanya adalah rahmat dan ketika kita meninggalkan rahmat “sedikit ke satu sisi” dalam pewartaan kita, [maka] Injil [menjadi] “tidak efektif”.

Kotbah Injili mengalir dengan upah cuma-cuma, dari keajaiban keselamatan yang datang dan yang telah aku terima dengan cuma-cuma [maka] aku harus berikan [pula]dengan cuma-cuma. Ini adalah seperti keadaan mereka pada awalnya. St Petrus tidak memiliki rekening bank, dan ketika ia harus membayar pajak, Tuhan menyuruhnya ke laut untuk menangkap ikan dan menemukan uang dalam ikan, untuk membayar. Filipus, ketika ia bertemu dengan menteri keuangan dari Ratu Candace, tidak berpikir, ‘Ah, baik, mari kita mendirikan sebuah organisasi untuk mendukung Injil … ‘ Tidak! Dia tidak membuat sebuah ‘kesepakatan‘ dengan dia: ia berkhotbah, membaptis dan pergi.

Paus Fransiskus mengatakan [bahwa] Kerajaan Allah, “adalah sebuah karunia cuma-cuma”, tapi ia juga menambahkan bahwa dari komunitas Kristen awali, sikap ini telah mengalami pencobaan. “Ada godaan untuk mencari kekuatan”, katanya, “di tempat lain selain dalam karunia”. Godaan ini menciptakan “sedikit kebingungan,” ia memperingatkan, di mana” pewartaan menjadi perekrutan [dengan mengkonversi orang-orang dari satu keyakinan agama lain]”. Sebaliknya” kekuatan kita adalah upah cuma-cuma dari Injil.” Tuhan, “telah mengundang kita untuk mewartakan, tidak untuk menarik masuk orang-orang untuk pindah agama.” Mengutip Benediktus XVI, Paus Fransiskus menyatakan bahwa “Gereja tidak tumbuh melalui penarikan masuk orang-orang dengan mengkonversi agamanya namun dengan menarik (memberi daya tarik) orang-orang kepada Gereja”. Dan daya tarik ini, katanya, berasal dari kesaksian” orang-orang yang secara bebas mewartakan karunia dari keselamatan itu”.

Semuanya adalah rahmat. Semuanya. Dan apa tanda-tanda ketika seorang rasul hidup dengan karunia rahmat ini? Ada begitu banyak, tapi saya akan menggarisbawahi hanya dua: Pertama, kemiskinan. Pewartaan Injil harus mengikuti jalan kemiskinan. Kesaksian dari kemiskinan ini: saya tidak memiliki kekayaan, kekayaan saya ialah karunia yang saya terima dari Allah: karunia ini adalah kekayaan kita! Dan kemiskinan ini menyelamatkan kita dari menjadi manajer, pengusaha … Karya-karya Gereja harus dibawa ke depan, dan beberapa sedikit rumit, tapi dengan hati kemiskinan, bukan dengan hati dari pakar investasi atau pengusaha…”

Paus Fransiskus melanjutkan, “Gereja bukanlah sebuah LSM: Gereja adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih penting, dan ini adalah hasil dari karunia.  Diterima dan diwartakan”. Kemiskinan “merupakan salah satu dari tanda-tanda karunia ini.” Tanda lainnya “adalah kemampuan untuk memuji: ketika seorang rasul tidak hidup dengan karunia ini, ia kehilangan kemampuan untuk memuji Tuhan.” Memuji Tuhan, dalam kenyataannya, “pada dasarnya adalah karunia cuma-cuma, itu adalah doa cuma-cuma: kita tidak meminta, kita hanya memuji“.

“Keduanya ini adalah tanda-tanda dari seorang rasul yang hidup dengan karunia ini: Kemiskinan dan kemampuan untuk memuji Tuhan. Dan ketika kita menemukan para rasul yang ingin membangun sebuah Gereja kaya dan sebuah Gereja tanpa pujian cuma-cuma, [maka] Gereja menjadi tua, Gereja menjadi sebuah LSM, Gereja menjadi tak bernyawa. Hari ini kita mohon kepada Tuhan akan rahmat untuk mengakui kemurahan hati ini:… ‘secara cuma-cuma kalian telah menerima, secara cuma-cuma pula berikanlah’. Kenali karunia ini, pemberian Allah ini. Marilah kita bergerak maju dalam mewartakan Injil”.

Misa Selasa pagi ini dikonselebrasikan oleh Uskup Agung Gerhard Ludwig Müller Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman dan dihadiri oleh Staf Kongregasi.

(AR)

Paus Fransiskus,

Domus Sanctae Marthae, 11 Juni 2013

Diterjemahkan dari : www.news.va

 

 

Penghiburan Kristiani dan hukum dari kebebasan sejati

0

Sabda Bahagia adalah ‘perintah-perintah baru’, tetapi itu tidak hanya merupakan sebuah daftar sederhana dari perbuatan-perbuatan yang dapat dilakukan demi kebaikan. Mereka tidak dapat dipahami dengan pikiran, hanya dengan hati, jadi jika hati kita tertutup kepada Allah kita tidak akan pernah tahu kebebasan sejati. Penghiburan Kristiani adalah kehadiran Allah dalam hati kita yang mengajarkan kita untuk memahami Sabda Bahagia sebagai hukum kebebasan sejati. Ini adalah fokus utama dari homili Paus Fransiskus dalam Misa Senin pagi [11-06-2013] di kediaman Casa Santa Marta. Emer McCarthy melaporkan.

Berefleksi pada bacaan-bacaan harian, Paus mulai dengan mencatat bahwa, pada awal Surat Kedua kepada jemaat Korintus, St Paulus menggunakan kata ‘penghiburan’ beberapa kali. Sebagai Rasul yang diutus kepada bangsa-bangsa non-Yahudi, ia menambahkan, “berbicara kepada orang-orang Kristen yang masih muda dalam iman,” orang-orang yang “baru mulai mengikuti jalan Yesus”, ia menegaskan hal ini, bahkan meskipun “tidak semua dari mereka dianiaya.” Mereka adalah orang-orang biasa, “tetapi mereka telah menemukan Yesus.” Paus mengatakan ini “adalah semacam pengalaman yang mengubah hidup di mana kekuatan khusus dari Allah diperlukan” dan kekuatan ini adalah penghiburan. Penghiburan, katanya lagi, “adalah kehadiran Allah dalam hati kita.” Tapi, Paus Fransiskus mengingatkan, agar Tuhan dapat “hadir dalam hati kita, kita harus membuka pintu”. Kehadiran-Nya membutuhkan “perubahan” [pertobatan] kita:

Ini adalah keselamatan: untuk hidup dalam penghiburan dari Roh Kudus, bukan penghiburan dari roh dunia ini. Tidak, itu bukan merupakan keselamatan, itu adalah dosa. Keselamatan bergerak maju dan membuka hati kita sehingga mereka dapat menerima penghiburan Roh Kudus, yang adalah keselamatan. Hal ini tidak bisa ditawar, kalian tidak dapat mengambil sedikit dari sini dan sedikit dari sana. Kita tidak bisa memilih dan mencampuradukkan, bukan? Sedikit Roh Kudus, sedikit semangat dunia ini Tidak! Ini  adalah memilih salah satu.

Paus Fransiskus melanjutkan, Tuhan dengan jelas menyatakan: “Kalian tidak bisa melayani dua tuan: kalian melayani Tuhan atau kalian melayani roh dunia ini.” Kalian tidak dapat ‘mencampuradukkan mereka’. Justru ketika kita terbuka kepada Roh Tuhan, kita mampu untuk memahami “hukum baru yang Tuhan berikan kepada kita”: Sabda Bahagia, di mana Injil mengutarakannya hari ini. Paus menambahkan bahwa kita hanya dapat memahami Sabda Bahagia ini “jika kita memiliki hati yang terbuka, dari penghiburan Roh Kudus”. Mereka “tidak dapat dipahami dengan kecerdasan manusia saja”:

“Mereka adalah perintah-perintah baru. Tapi jika kita tidak memiliki hati yang terbuka terhadap Roh Kudus, mereka akan tampak konyol.” Lihat saja, menjadi miskin, menjadi lemah lembut, bermurah hati, akan sulit menghantar kita kepada kesuksesan‘. Jika kita tidak memiliki hati yang terbuka dan jika kita tidak mengalami penghiburan Roh Kudus, yang adalah keselamatan, kita tidak dapat memahami hal ini. Ini merupakan hukum bagi mereka yang sudah diselamatkan dan telah membuka hati mereka untuk keselamatan. Ini adalah hukum bagi mereka yang telah bebas, dengan kebebasan dari Roh Kudus.”

Paus Fransiskus melanjutkan, “kita bisa mengatur hidup kita, sesuai dengan daftar perintah atau prosedur,” tapi itu adalah daftar yang “hanya manusiawi”. Pada akhirnya hal ini “tidak membawa kita kepada keselamatan”. Paus teringat bahwa banyak yang tertarik  “memeriksa” “doktrin baru ini dan kemudian berdebat dengan Yesus.” Dan ini adalah karena “hati mereka tertutup oleh kepentingannya sendiri”, “kekhawatiran bahwa Allah ingin mengubah.” Paus Fransiskus bertanya, Mengapa orang-orang “memiliki hati yang tertutup untuk keselamatan?” Paus berkata itu karena “kita takut akan keselamatan. Kita membutuhkannya, tapi kita takut” karena ketika Tuhan datang “untuk menyelamatkan kita, kita harus memberikan segalanya. Dia yang bertanggung jawab! Dan kita takut akan hal ini” karena “kita ingin mempunyai kontrol atas diri kita sendiri”. Paus menambahkan bahwa untuk memahami “perintah-perintah baru ini,” kita butuh kebebasan yang “lahir dari Roh Kudus, yang menyelamatkan kita, yang menghibur kita” dan yang adalah “pemberi hidup”:

Hari ini kita sekarang dapat memohon kasih karunia Tuhan untuk mengikuti-Nya, tetapi dengan kebebasan ini. Karena jika kita ingin mengikuti-Nya dengan kebebasan manusia kita sendiri saja, pada akhirnya kita menjadi orang munafik seperti orang Farisi dan Saduki, mereka yang berselisih dengan Dia . Ini adalah kemunafikan:. tidak mengizinkan Roh untuk mengubah hati kita dengan keselamatan-Nya. Kebebasan Roh, yang diberikanNya kepada kita, juga merupakan suatu jenis perbudakan, menjadi ‘diperbudak’ kepada Tuhan yang membuat kita bebas, itu adalah kebebasan yang lain. Sebaliknya, kebebasan kita adalah hanya perbudakan, tetapi tidak kepada Tuhan, tetapi kepada roh dunia. Mari kita mohon kasih karunia itu untuk membuka hati kita terhadap penghiburan Roh Kudus, sehingga penghiburan ini, yang adalah keselamatan, memungkinkan kita untuk memahami perintah-perintah ini. Maka jadilah itu !”

Misa dikonselebrasikan oleh Presiden dan wakil dari Dewan Kepausan untuk Awam, Kardinal Stanislaw Rylko dan Uskup Josef Clemens dan Uskup Agung India George Valiamattam, dari Tellicherry. Acara ini dihadiri oleh sekelompok imam dan kolaborator Dewan Kepausan untuk Awam.

(AR)

Paus Fransiskus,

Domus Sanctae Marthae, 10 Juni 2013

Diterjemahkan dari : www.news.va

 

 

Berseru kepada Tuhan untuk pertolongan dalam kesusahan

0

Meratap kepada Allah mengenai penderitaan seseorang bukanlah dosa, tapi doa dari hati yang mencapai Tuhan: ini adalah refleksi Paus Fransiskus saat Misa Rabu pagi [5-6-2013] di kapel Domus Sanctae Marthae residensi di Vatikan, dengan kehadiran beberapa anggota dari Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen dan Perpustakaan Apostolik Vatikan. Antara lain, Ketua Kongregasi, Kardinal Antonio Canizares Llovera, Uskup Agung Joseph DiNoia, sekretaris Kongregasi yang sama, dan Monsignor Cesare Pasini, ketua Perpustakaan.

Kisah tentang Tobit dan Sarah, diceritakan dalam bacaan pertama hari itu [5-6-2013], adalah fokus homili Paus: Dua orang jujur yang hidup dalam situasi dramatis. Yang pertama adalah seorang yang buta, walaupun ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baiknya, bahkan sampai mempertaruhkan nyawanya, dan yang kedua [adalah seorang yang] menikahi tujuh laki-laki secara berurutan, [namun] masing-masing dari mereka meninggal dunia sebelum malam pernikahan mereka. Keduanya, dalam kesedihan besar mereka, berdoa kepada Allah supaya membiarkan mereka mati. “Mereka adalah orang-orang yang dalam situasi ekstrim,” jelas Paus Fransiskus, “dan mereka mencari jalan keluar.” Dia berkata, “Mereka mengeluh,” tapi, “mereka tidak menghujat.”:

Meratap di hadapan Allah bukanlah dosa. Seorang imam yang saya kenal pernah suatu kali berkata kepada seorang wanita yang mengeluh kepada Allah tentang kemalangannya: “Tapi, Nyonya, itu adalah sebuah bentuk doa. Silakan saja dengan itu.” Tuhan mendengar, Dia mendengarkan keluhan-keluhan kita. Pikirkanlah tokoh-tokoh besar, akan Ayub, ketika di bab III (ia berkata): ‘Terkutuklah hari aku datang ke dunia,’ dan Yeremia, dalam bab kedua puluh: ‘Terkutuklah hari’ – mereka mengeluh bahkan mengutuk, [namun] tidak kepada Tuhan, tetapi pada situasinya, benar? Ini manusiawi.”

Bapa Suci juga merefleksikan pada banyak orang yang hidup dalam garis keterbatasan: anak-anak yang kurang gizi, para pengungsi, penderita sakit parah. Dia melanjutkan untuk mengamati bahwa, dalam Injil hari itu, ada orang-orang Saduki yang membawa kepada Yesus sebuah perkara sulit tentang seorang wanita, yang adalah janda dari tujuh laki-laki. Pertanyaan mereka, bagaimanapun, tidak diajukan dengan ketulusan:

Orang-orang Saduki berbicara tentang wanita ini seolah-olah dia adalah sebuah laboratorium, di mana semuanya aseptik  – masalah wanita itu adalah sebuah masalah moral yang abstrak. Ketika kita berpikir tentang orang-orang yang menderita, apakah kita menganggap seolah-olah mereka adalah sebuah teka-teki moral yang abstrak, ide-ide murni, ‘tetapi dalam perkara ini … perkara ini …’, atau apakah kita berpikir tentang mereka dengan hati kita, dengan kedagingan kita, juga? Saya tidak suka kalau orang-orang berbicara tentang situasi-situasi sulit secara akademik dan bukan secara manusiawi, kadang-kadang dengan statistik … dan hanya itu. Dalam Gereja ada banyak orang-orang dalam situasi ini.”

Paus mengatakan bahwa dalam perkara-perkara ini, kita harus melakukan apa yang Yesus katakan, berdoa:

Berdoalah bagi mereka. Mereka harus datang ke dalam hatiku, mereka harus menjadi penyebab kegelisahan bagiku: saudara laki-lakiku menderita, saudara perempuanku menderita. Ini adalah misteri persekutuan para kudus: berdoalah kepada Tuhan, “Tapi, Tuhan, lihatlah orang itu: ia menangis, ia menderita. Berdoalah, biarkan saya berkata, dengan kedagingan saya: bahwa kedagingan kita berdoa. Bukan dengan ide-ide. Berdoa dengan hati.”

Dan doa-doa Tobit dan Sarah, yang mereka panjatkan kepada Tuhan bahkan meskipun mereka meminta untuk mati, memberi kita harapan, karena mereka diterima oleh Allah dengan cara-Nya sendiri, yang tidak membiarkan mereka mati, tapi menyembuhkan Tobit dan akhirnya memberikan seorang suami ke Sarah. Doa, jelasnya, selalu mencapai Tuhan, selama itu merupakan doa dari hati.” Sebaliknya, “ketika itu adalah sebuah latihan abstrak, seperti yang orang-orang Saduki diskusikan, tidak pernah mencapai Dia, karena itu tidak pernah pergi ke luar dari diri kita sendiri: kita tidak peduli. Ini adalah sebuah permainan intelektual.” Dalam kesimpulannya, Paus Fransiskus menyerukan pada umat beriman untuk berdoa bagi mereka yang hidup dalam situasi-situasi dramatis dan yang menderita sebanyak yang Yesus derita di kayu salib, yang menangis, “Bapa, Bapa, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Mari kita berdoa – ia mengakhiri – “agar doa kita mencapai surga dan biarkan itu menjadi sumber harapan bagi kita semua.”

(AR)

Paus Fransiskus,

Domus Sanctae Marthae, 5 Juni 2013

Diterjemahkan dari : www.news.va

Mahkluk Tuhan paling berbahaya

5

Tidak terasa, beberapa hari lagi, Tuhan akan mengantarku memasuki tahapan hidup yang baru. Lembar kehidupan baru dalam biara dan saudara-saudara di dalamnya yang membuat hati penuh kegembiraan, kagum, dan bersemangat, sekaligus waspada, khawatir, dan menduga-duga. Aku sempat heran dan kagum untuk beberapa bulan. Kagum karena takjub akan rencana dan karya Tuhan dalam hidupku. Heran karena penasaran dengan alasan yang memotivasi mamaku hingga mengizinkan dan mendukungku untuk memilih jalan hidup selibat dalam biara.  Pertanyaan ini kemudian terjawab melalui suatu peristiwa.

Sekitar awal bulan Juli, mamaku terpaksa rawat inap di rumah sakit. Kata dokter sih infeksi lambung. Memang, penyakit maag kadang-kadang mengunjungi mama. Tapi, yang kali ini kelihatannya cukup serius. Belakangan, ternyata bukan maag, melainkan infeksi usus karena mungkin sempat mengkonsumsi makanan yang kurang higienis. Selama di rumah sakit ini, imanku akan panggilan Tuhan diuji. Betapa tidak. Dalam hati, pasti ada rasa khawatir dan cemas. Bagaimana nanti ketika aku sudah berada di biara? Apakah orangtuaku akan baik-baik saja? Ditambah lagi, mungkin memang mama sakit karena memikirkan keberangkatanku yang semakin dekat. Sering terlihat kekecewaan mama karena liburan keluarga yang dirancang sebelum aku masuk biara akhirnya harus berjalan tanpaku karena bertabrakan dengan jadwal masuk biara. Dalam situasi seperti ini, aku hanya bisa berpegang pada doa yang selama ini terbukti dalam hidupku : “Tuhan sendiri yang memulai, Tuhan pula yang akan menunjukkan jalannya hingga selesai. Terjadilah kehendak-Nya, apapun itu.”

Hingga pada suatu hari, mendadak si mama terlihat lebih ceria dan bisa makan. Padahal semalam sebelumnya mama masih diare dan muntah. Malah, sudah bisa lepas infus dan jalan-jalan ke kantin untuk membeli makanan kesukaan. Dokter aja sampai geleng-geleng. Sungguh mengherankan namun menggembirakan. Malam harinya, entah kenapa semua adikku juga berkumpul di rumah sakit. Kamipun makan malam bersama di kantin rumah sakit. Selama makan malam, satu keluarga ini bercerita dan bercanda bersama, orangtuaku, aku, dan adik-adikku. Entah kenapa, percakapan mengarah pada panggilanku.

Mama bercerita bahwa ia bisa menjadi lebih baik hari ini karena kebaikan Yesus. Sang Raja datang di malam sebelumnya dan menyentuh mamaku sehingga ketika pagi datang, entah kenapa mama merasa jauh lebih baik. Diare dan mual yang dirasa juga mendadak hilang sehingga bisa makan lagi. Peristiwa itu mengingatkan mama akan pengalamannya beberapa bulan lalu, ketika ia menangis dalam gereja, meratap kehilangannya pada Tuhan karena Ia memanggilku memasuki biara. Jawaban yang diberikan berupa penglihatan di mana mama melihat aku mengenakan jubah putih. Semenjak hari itu, mama merelakan aku menjawab panggilan Tuhan, walau kadang masih agak berat sehingga kadang masih tampak sedih.

Masalah pewahyuan pribadi ini, aku tidak tahu. Mamaku juga tidak mungkin cerita pada imam atau bahkan Uskup karena ia bukan seorang Katolik. Namun, aku percaya bahwa ini semakin meneguhkan panggilan-Nya padaku. Panggilan yang semakin mendasar, bukan sekedar menjadi imam atau biarawan saja, tetapi menjadi imam atau biarawan yang kudus. Memang itulah yang sedang dibutuhkan Gereja saat ini. Aku teringat biografi St. Josemaria Escriva, di mana ia pernah berkata : “Seorang imam tanpa kekudusan heroik? Dia akan menjadi makhluk yang paling aneh, tidak menentu, paling berbahaya..” (Catatan Sejarah Pendiri, 2210). Panggilan-Nya padaku tidak hanya sekedar menjalani kehidupan klerikal, tapi kehidupan klerikal yang kudus. Daripada jadi makhluk Tuhan paling berbahaya, mending jadi makhluk Tuhan paling seksi, eh.. kudus maksudnya.

Allah memanggil semua orang menjadi orang kudus, karena Ia adalah kudus (1 Pet 1:16). Karena Ia sendiri yang memerintahkan, tentu saja hal ini adalah hal yang mungkin, walaupun sulit. Setiap orang bisa menjadi santo-santa melalui jalan hidupnya masing-masing. Jalanku mungkin melalui mempersembahkan seluruh hidupku secara radikal pada Yesus dalam kehidupan biara. Satu hal yang pasti, persembahan ini bukan lagi persembahan hidupku semata. Dalam diriku ini tersimpan juga pengorbanan orangtuaku, adik-adikku, saudara-saudara, teman-teman, dan semua orang yang mendukung dan mendoakanku. Jawaban “ya” dariku atas panggilan-Nya bukan lagi melulu jawabanku, tapi terkandung juga jawaban “ya” dari mereka semua. Jawaban “ya” menuju kekudusan. Setiap orang yang siap membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah (Luk 9:62). Demikian pula untuk si pemintal gulali ini, tidak boleh lagi berpaling dari panggilan menuju kekudusan.

 

 

 

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab