Home Blog Page 103

Anjing yang tekun

3

bunda teresa kalkutaBanyak hal dalam biara dilakukan secara bersama-sama, contohnya mencuci piring. Setelah selesai makan pagi, siang, atau malam, piring dan peralatan makan dicuci secara bergantian per kelompok piket yang bertugas. Tidak semua anggota suka melakukan pekerjaan ini, karena bisa dibayangkan rasanya  mencuci piring bekas 30 lebih orang anggota biara. Itu belum termasuk panci-panci besar dan peralatan  masak lainnya yang aduhai baik ukuran maupun kotornya. Maklum, memasak untuk sejumlah besar orang memerlukan peralatan yang besar pula. Namun, ada sekelompok oknum yang senang ketika kegiatan ini berlangsung : para anjing biara.

Para anjing biara telah menemani biara ini sejak lama sekali, entah sudah keturunan yang ke berapa. Ditambah dengan empat ekor anak anjing yang baru saja lahir beberapa minggu lalu, total anjing biara ada 12 ekor. Satu ekor telah dipotong beberapa hari yang lalu karena suka membunuh ayam ternak dan mengobrak-abrik sampah. Kasihan sih, tapi memang nakal. Yang penting, aku tidak mau ikut makan. Anjing-anjing ini begitu tekun mencari makan, dalam arti yang negatif, karena mereka suka mengobrak-abrik sampah. Biasanya, mereka melancarkan aksi ketika malam, ketika seluruh penghuni biara tidur, dan, tentu saja, waktu cuci piring.

Suatu ketika, aku dan kelompokku kebagian tugas mencuci piring. Semua piring dan peralatan masak yang kotor dicuci di dapur, yang terletak di sebelah belakang biara. Pintu belakang dapur terhubung dengan halaman belakang, daerah kekuasaan anjing-anjing ini. Ketika sedang mencuci piring, anjing-anjing ini berderet di depan pintu untuk menyelinap masuk ke dalam dapur. Setelah masuk, mereka akan membongkar tong sampah untuk mencari sisa-sisa makanan. Rupanya, mereka tidak cukup sabar untuk menunggu sisa makanan dikumpulkan dan dibagikan pada mereka di akhir cuci piring. Karena mengotori dapur dan menambah pekerjaan bersih-bersih, anjing-anjing ini aku usir. Tapi, mereka berulang kali kembali menyelinap ketika aku lengah. Karena jengkel, pintu belakang aku tutup supaya anjing-anjing tidak masuk. Eh, cape deh.. Pintu kembali terbuka karena teman-temanku yang berseliweran keluar masuk tanpa menutup kembali pintu tersebut. Akhirnya, sampah kembali ditumpahkan dengan suksesnya.

Jika dipikir-pikir, ini mirip dengan perjuanganku melawan dosa. St. Yohanes dari Salib pernah mengatakan : “Ada tiga musuh terutama manusia : Setan, dunia, dan dirinya sendiri.” Dari ketiganya, kelemahan dan kecenderungan dosa diri (concupiscentia) adalah musuh yang paling tekun dan paling rajin membayangi. Ketika kita lengah, kelemahan diri akan dengan cekatan menyelinap masuk untuk mengobrak-abrik jiwa yang telah bersih, terutama setelah pengakuan dosa, dan mengundang dua musuh lainnya untuk ikut berpesta pora. Jiwa yang awalnya sudah dibersihkan dari dosa akhirnya tercemar kembali. Kadang, sempat muncul perasaan jenuh mengaku dosa. Jenuh karena rasanya selalu mengulang-ulang dosa yang sama, malu dong sama romonya.

Namun, kalau dipikir-pikir, tidak pantas aku menyerah melawan dosa, melawan kelemahan-kelemahan diriku. Yesus saja tidak menyerah terhadap aku, kenapa aku harus menyerah berjuang bersama Dia? He didn’t give up on me, why should I give up on Him? St. Paulus pun turut menyemangati, bahwa sebenarnya aku mampu melawan kelemahan dan keputusasaan dalam pergumulan melawan dosa, berkat Dia yang dengan tekun memikul salib (Ibr 12. 3-4). Selain itu, Kristus telah memberikan jalan melalui Bunda Gereja untuk melawan kelemahan ini dalam Sakramen Tobat, yang bila aku lakukan dengan tekun, akan membantuku melawan kecondonganku yang jahat dan disembuhkan oleh Kristus (KGK 1458).

Memang, tidak mudah memintal gulali hidup yang sempurna. Selalu ada saja kekurangan atau kesalahan yang aku lakukan. Tapi, aku percaya bahwa aku akan mampu bila perjuanganku melawan dosa aku satukan bersama derita Kristus. Ia telah menjadi lemah supaya aku kuat. Gulali hidup yang sempurna adalah persembahan yang pantas untuk Ia yang telah berkorban secara sempurna untuk hidupku. Intra vulnera Tua absconde me, Domine (Dalam kelemahan-Mu, sembunyikanlah aku, Tuhan).

Aku hanya bisa melakukan satu hal : mengikuti langkah Majikanku seperti seekor anjing kecil. Doakan supaya aku menjadi anjing yang ceria.” – Beata Teresa dari Kalkutta.

 

Dari Dunia Menuju Sorga

2

[Minggu Biasa XXV: Amos 8:4-7; Mzm 113:1-8; Tim 2:1-8; Luk 16:1-13]

Dalam Injil hari ini Yesus berkata, “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Luk 16:13). Mamon sering diartikan sebagai dewa kekayaan. Pantaslah, kalau Tuhan tidak menghendaki kita mengabdi kepada Mamon. Tetapi yang menjadi pertanyaan ialah, mengapa di beberapa ayat berikutnya Yesus mengatakan,  “Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur”? (ay. 9). Bukankah sepertinya kedua hal ini bertentangan: kita tidak boleh mengabdi kepada Mamon, tetapi kita diminta untuk mengikat persahabatan dengan mempergunakan Mamon? Apakah maksudnya? Sebenarnya Tuhan Yesus menghendaki agar kita para murid-Nya mengamati bagaimana orang-orang di dunia ini mencurahkan segenap pikiran dan hati, untuk secara kreatif mengarahkan seluruh kemampuan agar  sukses. Yesus menghendaki agar usaha maksimal, yang kita lakukan untuk mencapai hal-hal duniawi, kita lakukan juga untuk mencapai hal-hal rohani, agar kita dapat mencapai Surga. Masuk Surga memang adalah karunia Allah, namun ada bagian yang harus kita lakukan agar kita dapat sampai ke sana.

Banyak orang rela membuang waktu untuk merawat diri, entah dengan aneka perawatan wajah atau melangsingkan perut, demi penampilan yang lebih menarik di mata dunia. Tapi berapa banyak orang yang memikirkan bagaimana penampilan hati di hadapan Tuhan?  Banyak orang rela menggunakan waktu untuk mempelajari banyak keahlian di dunia ini: belajar aneka pelajaran di sekolah/ kuliah, memainkan musik, belajar fotografi, memasak, main golf dst, agar menjadi semakin ahli. Tapi sejauh mana kita rela menggunakan waktu untuk mempelajari sabda Tuhan dan merenungkannya? Banyak orang tak berkeberatan bangun lebih pagi agar tidak terlambat naik pesawat untuk liburan ataupun tugas pekerjaan, tetapi berapa banyak orang keberatan bangun sedikit lebih pagi untuk berdoa? Banyak orang rela membuang banyak uang untuk membeli barang-barang mewah agar menyerupai artis atau sang tokoh idola. Tapi berapakah orang yang dengan suka cita, berbagi dengan sesama yang lebih membutuhkan, agar semakin menyerupai teladan Kristus?

Sering kita melihat bahwa apa-apa yang dilakukan di paroki seolah-olah cukup dilakukan dengan seadanya. Sejumlah orang berpikir bahwa karya pewartaan adalah kegiatan yang dilakukan kalau ada waktu dan tak perlu usaha istimewa. Demikian pula program kerja paroki, wilayah maupun lingkungan, tak usah terlalu seriuslah. Atau ada sejumlah orang yang sudah merasa cukup dengan ke gereja seminggu sekali, mengaku dosa setahun sekali, dan berdoa sesempatnya saja. Dan masih banyak contoh lain, singkatnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan iman dilakukan  hanya sekedarnya saja,  tak usah repot-repot! Sikap macam ini membuat hal-hal rohani sepertinya kalah langkah jika dibandingkan dengan hal-hal duniawi. Padahal seharusnya, yang terjadi adalah sebaliknya. Jika kita mau mengusahakan yang terbaik demi kesuksesan yang bersifat sementara, bukankah sudah sepantasnya kita juga melakukan yang terbaik untuk mencapai kesuksesan yang kekal untuk selamanya? Sudah saatnya kita arahkan hati dan pikiran kita kepada tujuan hidup kita yang sesungguhnya: yaitu memperoleh kebahagiaan kekal di Surga.

Jadi, menjadi sahabat Mamon namun tidak mengabdi kepadanya melainkan hanya mengabdi kepada Allah saja, maksudnya adalah: menggunakan segala hal duniawi untuk membantu kita mencapai kemuliaan Surga. Pertanyaannya adalah, sampai seberapa jauh kita telah menggunakan semua pemberian Allah untuk memuliakan Dia? Allah telah memberikan kita 3T: talent (talenta), time (waktu), treasure (harta). Apakah kita telah sungguh-sungguh mempersembahkan talenta atau bakat kita, untuk memuliakan Tuhan, baik di tingkat lingkungan, wilayah, paroki ataupun Gereja secara keseluruhan? Demikian juga, sudahkah kita memberikan waktu untuk Tuhan, baik dalam doa maupun karya? Akhirnya, sudahkah kita menggunakan harta yang kita terima sebagai berkat dari Tuhan, untuk menolong sesama dan mendukung kegiatan gerejawi serta karya-karya kerasulan yang lain?

Mari kita memberikan 3T -talent, time, treasure- demi kemuliaan nama Tuhan. Kapan? Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Kehidupan Kristiani mewartakan jalan menuju rekonsiliasi dengan Allah

1

Kehidupan Kristiani bukanlah terapi spa “tetap dalam damai sampai surga,” melainkan mengajak kita melangkah keluar ke dunia untuk mewartakan bahwa Yesus “menjadi manusia berdosa” untuk mendamaikan manusia dengan Bapa-Nya. Ini adalah kata-kata Paus Fransiskus dalam homilinya saat Misa Sabtu [15/6/2013] di Casa Santa Martha.

Kehidupan Kristiani bukanlah tinggal diam di sudut untuk membangun jalan yang akan membawa kalian ke surga, melainkan sebuah dinamika yang mendorong seseorang untuk tetap “di jalan” yang mewartakan bahwa Kristus telah mendamaikan kita dengan Allah, dengan menjadi berdosa karena kita. Dengan caranya yang biasa mendalam dan langsung, Paus Fransiskus fokus pada perikop dari Surat kepada jemaat di Korintus, dari bacaan liturgi hari itu, di mana St Paulus sangat mendesak, sampai-sampai “bergegas lekas”, menggunakan istilah “rekonsiliasi” lima kali.

“Apa itu rekonsiliasi? Mengambil satu dari sisi ini, mengambil satu lagi untuk sisi itu dan menyatukan mereka: tidak, itu memang sebagian darinya, tapi bukan itu… rekonsiliasi sejati berarti bahwa Allah dalam Kristus menerima dosa-dosa kita dan Dia menjadi manusia berdosa, untuk kita. Ketika kita mengaku dosa, misalnya, bukanlah kita mengatakan dosa kita dan Allah mengampuni kita. Tidak, bukan itu! Kita bertemu dengan  Yesus Kristus dan kita berkata kepada-Nya: ‘Ini [dosa yang telah kulakukan] adalah milik-Mu dan aku telah membuat Engkau menjadi dosa sekali lagi.’ [mengacu kepada 2 Kor 5:20-21, lihat catatan di bawah ini***]. Dan Yesus suka itu, karena itu adalah misi-Nya: menjadi dosa bagi kita, untuk membebaskan kita [dari dosa].”

Ini adalah keindahan dan “skandal” penebusan yang dibawa oleh Yesus dan juga merupakan “misteri”, kata Paus Fransiskus, yang mana darinya St Paulus menarik “semangat” yang memacunya untuk “bergerak maju” memberitahu semua orang sesuatu yang begitu indah “cinta kasih Allah” yang menyerahkan Putra-Nya untuk mati bagiku. Namun, jelas Paus Fransiskus, ada risiko “tidak pernah sampai pada kebenaran ini” dalam momen ketika “kita mendevaluasi mengecilkan kehidupan Kristiani”, mereduksinya menjadi sebuah daftar hal-hal untuk ditaati hingga kehilangan semangat itu, kekuatan dari’ “kasih yang ada di dalamnya”:

“Namun para ahli filsafat mengatakan bahwa damai adalah sebuah ketenangan tertentu yang teratur: semuanya rapi dan tenang … Itu bukan damai Kristiani! Damai Kristiani adalah damai yang gelisah, bukan damai yang tenang: itu adalah damai yang gelisah, yang mana berlanjut dengan membawa pesan rekonsiliasi ini. Damai Kristiani mendorong kita untuk bergerak maju. Hal ini adalah awal permulaan, akar semangat kerasulan. Semangat apostolik adalah bukan melangkah maju untuk membujuk dan membuat statistik: tahun ini orang –orang Kristen di negara ini telah tumbuh berkembang, dalam pergerakan ini sekian…Statistik itu baik, mereka membantu, tapi untuk membujuk itu bukanlah apa yang Allah inginkan dari kita,…Apa yang Tuhan inginkan dari kita adalah untuk mengumumkan rekonsiliasi ini, yang adalah inti pesan-Nya sendiri.

Mengakhiri homilinya, Paus mengingatkan kegelisahan batin Paulus. Paus Fransiskus menggarisbawahi bahwa yang mendefinisikan “pilar” kehidupan Kristiani, yaitu, bahwa “Kristus menjadi berdosa bagiku! Dan dosa-dosaku berada di sana dalam tubuh-Nya, dalam jiwa-Nya! Hal ini – kata Paus – ini gila, tapi indah, itu benar! Ini merupakan skandal Salib-Nya!”

“Kita mohon kepada Tuhan untuk memberi kita keprihatinan ini untuk mewartakan Yesus, untuk memberikan kita sedikit dari ‘kearifan Kristiani itu yang lahir dari lambung cinta-Nya yang tertusuk. Hanya sedikit [dari saya] untuk meyakinkan kita bahwa kehidupan Kristen bukan terapi spa.: terus damai sampai Surga … Tidak, kehidupan Kristiani adalah jalan-Nya dalam hidup dengan keprihatinan Paulus ini. Kasih Kristus mendesak kita terus, mendorong kita terus, dengan emosi ini yang seorang rasakan ketika ia melihat bahwa Allah mengasihi kita. Kita mohon rahmat ini. ”

(AR)

Paus Fransiskus,

Domus Sanctae Marthae, 15 Juni 2013

Diterjemahkan dari: www.news.va

Catatan dari Editor Katolisitas:

Kalimat ini: “Ini [dosa yang telah kulakukan] adalah milik-Mu dan aku telah membuat Engkau menjadi dosa sekali lagi”, mengacu kepada bagian dari surat Rasul Paulus yang mengisahkan tentang rekonsiliasi, yaitu yang menjelaskan arti ‘didamaikan dengan Allah’/be reconciled with God. Teks tersebut berbunyi demikian, “Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah. Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” (2 Kor 5:21-21)

Ungkapan tersebut merupakan ungkapan retorik dari Rasul Paulus. Ia mengatakan bahwa Kristus telah membuat Diri-Nya menjadi dosa- sehingga Ia dapat mempersembahkan penebusan bagi dosa-dosa manusia. Dengan demikian, Kristus menempatkan diri-Nya dalam solidaritas dengan manusia dan dengan dosa manusia, supaya dapat membuat, seolah-olah, “doa tobat” demi semua dosa manusia, dan mempersembahkan kepada Allah Bapa, sesuatu yang lebih menyenangkan hati daripada semua dosa manusia yang menyedihkan hati.

Tentang Penumpangan Tangan

7

Menurut definisi dari Catholic Encyclopedia, (klik di sini untuk membaca teks selengkapnya) penumpangan tangan adalah suatu upacara simbolis yang dimaksudkan untuk menyampaikan kepada orang yang menerimanya, semacam kebaikan, persetujuan, keistimewaan (secara prinsip tentang hal rohani) atau untuk menugaskan kepadanya jabatan tertentu.

Penumpangan tangan dalam Perjanjian Lama

Hal penumpangan tangan ini sudah ada sejak zaman dahulu, dan dicatat dalam Kitab Suci sudah ada sejak Perjanjian Lama:

1. Untuk memberikan berkat: Yakub memberikan berkatnya kepada Efraim dan Manaseh dengan menumpangkan tangannya atas mereka (Kej 48:14).

2. Untuk memberikan tugas: Nabi Musa menumpangkan tanggannya atas Yosua agar ia meneruskan kepemimpinannya atas bangsa Israel (Bil 27:18,23).

3. Sebagai upacara religius memberikan tahbisan: Pentahbisan Harun dan anak-anaknya untuk menerima jabatan imam (Kel 29, Im 8).

4. Untuk menguduskan kurban: Dalam ritual Musa, sebelum kurban dipersembahkan, imam menumpangkan tangan atas kepala kurban tersebut (Im 8:18).

Penumpangan tangan dalam Perjanjian Baru

Penumpangan tangan ini juga dilakukan oleh Tuhan Yesus dan para Rasul:

1. Untuk menyembuhkan dan membangkitkan:

  • Tuhan Yesus menumpangkan tangan untuk menyembuhkan orang-orang sakit (Mat 9:18; Mrk 5:23, 6:5, 8:22-25; Luk 4:40, 13:13), dan membangkitkan anak perempuan Yairus (Mat 9:18).
  • Para Rasul menyembuhkan dengan menumpangkan tangan (lih. Kis 28:8).

2. Untuk mencurahkan Roh Kudus dan menyalurkan karunia-karunia Roh Kudus: Para Rasul menumpangkan tangan kepada jemaat, dan mereka menerima Roh Kudus dan karunia-karunia-Nya (lih. Kis 8:17,19; 19:6).

3. Untuk mendatangkan rahmat tahbisan: Para Rasul meletakkan tangannya atas murid Kristus yang tertentu untuk mengangkat mereka sebagai pembantu mereka melakukan tugas penggembalaan umat Tuhan (Kis 6:6; 13:3; 1Tim 4:14; 2Tim 1:6).

Penumpangan tangan dalam Gereja Katolik

Sampai sekarang, doa penumpangan tangan dalam Gereja Katolik tetap ada, baik dalam upacara liturgis, maupun non- liturgis.

1. Dalam upacara liturgis:

Doa penumpangan tangan memberikan rahmat sakramen, seperti dalam sakramen Tahbisan (untuk memberikan rahmat tahbisan); dalam sakramen Penguatan/ Krisma (untuk memberikan rahmat sakramen Krisma dan karunia Roh Kudus); dalam sakramen Pengurapan orang sakit (untuk memberikan rahmat penyembuhan rohani dan jasmani). Dalam tahbisan imam, penumpangan tangan dilakukan oleh uskup atas diakon yang oleh tahbisan itu diangkat menjadi imam. Dalam sakramen Krisma, penumpangan tangan dilakukan oleh Uskup, atau imam yang diberi kuasa oleh Uskup, untuk memberikan sakramen Krisma, yang maknanya adalah menyalurkan karunia Roh Kudus, agar yang menerimanya sanggup menjadi saksi-saksi Kristus, dan agar menjadi dewasa secara rohani. Penumpangan tangan dalam penerimaan sakramen Tahbisan dan Krisma ini (seperti halnya rahmat sakramen Baptis), memberikan efek meterai di jiwa.

Penumpangan tangan dalam upacara liturgis untuk memberikan rahmat sakramen ini tidak dilakukan oleh umat awam, melainkan oleh para tertahbis. Penumpangan tangan oleh kaum tertahbis ini menyampaikan rahmat Allah yang mempersatukan, menguduskan dan menyertai Gereja di sepanjang sejarah, dan dengan demikian menghubungkan kita dengan jalur apostolik yang dimiliki oleh Gereja Katolik.

2. Dalam upacara non-liturgis:

Penumpangan tangan yang dilakukan di luar upacara liturgis, tidak memberikan efek sakramen namun tetap menyampaikan berkat Tuhan:

  • Para imam dapat menumpangkan tangan untuk mendoakan anak-anak, umat yang sakit ataupun umat yang meminta berkat, dengan menumpangkan tangannya.
  • Orang tua dapat mendoakan anak-anaknya dengan menumpangkan tangannya, seperti yang dulu dilakukan oleh Yakub bagi anak-anaknya, Efraim dan Manaseh.
  • Terutama dalam komunitas Karismatik Katolik, doa penumpangan tangan juga dapat dilakukan, misalnya oleh para saudara/i yang bertindak sebagai bapa atau ibu rohani bagi anak-anak rohani mereka dalam komunitas tersebut.

Dasar bahwa sebagai sesama umat beriman kita dapat saling mendoakan (lih. Yak 5:16) dan menyampaikan berkat adalah karena melalui rahmat sakramen Baptis, kita memperoleh peran imamat bersama (lih. KGK 1268). Namun tetap perlu disadari bahwa penumpangan tangan oleh awam tidak sama artinya dan karena itu tidak dapat disamakan dengan penumpangan tangan oleh para tertahbis. Sekalipun tidak sama artinya, tidak berarti bahwa doa dari sesama awam tidak ada artinya, sebab melalui doa-doa tersebut, Allah tetap dapat berkarya dan memberikan berkat-Nya. Sebab Tuhan telah mengikatkan rahmat-Nya pada sakramen-sakramen, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada sakramen-sakramen-Nya (lih. KGK 1257).

Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 12, mengajarkan bahwa tidak hanya melalui sakramen-sakramen Roh Kudus menyucikan Gereja-Nya:

“Selain itu, tidak hanya melalui sakramen- sakramen dan pelayanan Gereja saja, bahwa Roh Kudus menyucikan dan membimbing Umat Allah dan menghiasinya dengan kebajikan- kebajikan, melainkan, Ia juga “membagi-bagikan” kurnia-kurnia-Nya “kepada masing-masing menurut kehendak-Nya” (1Kor 12:11). Di kalangan umat dari segala lapisan Ia membagi-bagikan rahmat istimewa pula, yang menjadikan mereka cakap dan bersedia untuk menerima pelbagai karya atau tugas, yang berguna untuk membaharui Gereja serta meneruskan pembangunannya, menurut ayat berikut : “Kepada setiap orang dianugerahkan pernyataan Roh demi kepentingan bersama” (1Kor 12:7). Karisma-karisma itu, entah yang amat istimewa, entah yang lebih sederhana dan tersebar lebih luas, hendaknya diterima dengan rasa syukur dan gembira, sebab karunia- karunia tersebut sangat sesuai dan berguna untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan Gereja. Namun kurnia-kurnia yang luar biasa janganlah dikejar-kejar begitu saja; jangan pula terlalu banyak hasil yang pasti diharapkan daripadanya untuk karya kerasulan. Adapun keputusan tentang tulennya karisma-karisma itu, begitu pula tentang penggunaannya secara layak/ teratur, termasuk dalam wewenang mereka yang bertugas memimpin dalam Gereja. Terutama mereka itulah yang berfungsi, bukan untuk memadamkan Roh, melainkan untuk menguji segalanya dan mempertahankan apa yang baik (lih. 1Tes 5:12 dan 19-21).”

 

Apa dasarnya dikatakan Yesus berusia kira-kira 33 tahun ketika wafat?

2

Sejujurnya, Kitab Suci tidak menyebutkan bahwa Yesus tepat berusia 33 tahun pada saat wafat-Nya. Angka 33 adalah perkiraan para ahli Kitab Suci, berdasarkan pernyataan yang tertulis dalam Injil, demikian:

1. Yesus berumur kira-kira 30 tahun saat memulai karya publik-Nya.

Luk 3:23, “Ketika Yesus memulai pekerjaan-Nya, Ia berumur kira-kira tiga puluh tahun…”

Disebutkan “kira-kira”, jadi tidak pasti tepat 30 tahun. Namun disebut angka 30 tahun karena di usia tersebutlah umumnya orang diperbolehkan untuk mengajar, dalam adat Yahudi.

2. Injil Yohanes menyebutkan adanya tiga perayaan Paskah Yahudi dalam rentang waktu karya publik Yesus.

Disebutkan setidak-tidaknya adanya tiga kali perayaan Paskah Yahudi dalam Injil Yohanes, mengakibatkan para ahli Kitab Suci menyimpulkan bahwa rentang waktu karya publik Yesus adalah sekitar tiga tahun atau dua tahun lebih.

a. Paskah pertama: “Ketika hari raya Paskah orang Yahudi sudah dekat, Yesus berangkat ke Yerusalem.” (Yoh 2:13)
b. Paskah kedua: “Sesudah itu Yesus berangkat ke seberang danau Galilea, yaitu danau Tiberias…. Dan Paskah, hari raya orang Yahudi, sudah dekat.” (Yoh 6:1-4)
c. Paskah ketiga: “Pada waktu itu hari raya Paskah orang Yahudi sudah dekat dan banyak orang dari negeri itu berangkat ke Yerusalem untuk menyucikan diri sebelum Paskah itu.” (Yoh 11:55)

Faktanya, memang tidak terdapat tahun yang pasti yang disepakati oleh semua ahli Kitab Suci tentang tahun kelahiran dan wafat Kristus.

Paus Benediktus XVI, dalam bukunya “Jesus of Nazareth: Infancy Narratives” pernah menyampaikan kemungkinan perkiraan bahwa sesungguhnya kelahiran Tuhan Yesus terjadi di tahun 7-6 BC, silakan klik, dengan memperkirakan bahwa ia lahir sebelum Raja Herodes wafat di tahun 4 BC, dan pada saat terjadi fenomena bintang di timur- yang diperkirakan terjadi konjungsi planet Yupiter dan Saturnus yang terjadi di tahun 7-6 BC.

Sedangkan tentang tahun perkiraan Yesus wafat memang cenderung bervariasi. Belakangan ini ada prediksi bahwa itu terjadi pada tanggal 3 April 33 AD, namun nampaknya masih diperlukan bukti-bukti yang lebih kuat, untuk memastikan tanggal tersebut. Tentang hal ini telah dibahas panjang lebar di forum pembaca situs Catholic Answers, silakan klik.

Kita umat Katolik, percaya penuh bahwa apa yang disampaikan dalam Kitab Suci adalah kebenaran. Kita percaya walaupun Kitab Suci bukan buku sejarah, namun apa yang disampaikannya mengandung kebenaran sejarah. Kebenaran itu tidak terpengaruh dengan tanggal persisnya kelahiran dan tanggal kematian Kristus secara historis. Sebab semua itu tidak membantah kebenaran bahwa Yesus memulai misi publik-Nya pada saat Ia berumur kira-kira 30 tahun, dan kemungkinan Ia melaksanakan karya publik-Nya sekitar 3 tahun.

Kubersukacita Ditemukan oleh Allah

0

[Minggu Biasa XXIV: Kel 32:7-11,13-14; Mzm 51:3-19; 1 Tim 1:12-17; Luk 15:1-32/ 15:1-10]

Cilaka!  Di mana ya kutaruh kunci rumah kami?  Besok pagi kami mau mudik seminggu, dan sekarang kunci itu nyelip entah kemana. Tak mungkin kubiarkan rumah tak terkunci selama seminggu… ” Setelah berjam-jam mencari, akhirnya kunci itu kutemukan. Betapa leganya! Tapi nampaknya sukacita ini tidak dapat dibandingkan dengan sukacita seorang gembala, saat menemukan kembali dombanya yang hilang. Sebab dalam kasusku, yang lalai adalah aku, sedangkan kunci itu tidak bisa kabur sendiri. Lain halnya dengan sang gembala itu, yang meskipun sudah menyayangi, merawat dombanya, dan bahkan rela berkorban baginya, namun si domba, tetap saja dapat membandel dan kabur dari kawanan sang gembala. Tak heran, jika sang gembala berhasil menemukan dombanya kembali, ia begitu bersuka cita!

Injil hari ini mengisahkan suka cita seorang gembala karena menemukan dombanya yang hilang. Yesus mengumpamakan orang berdosa yang bertobat dengan domba yang hilang, yang ditemukan oleh gembalanya. “Dan kalau ia telah menemukan [domba]nya, ia lalu meletakkan domba itu di atas bahunya dengan gembira…. Bersukacitakah bersama aku, sebab dombaku yang hilang telah kutemukan. Aku berkata kepadamu: Demikian juga ada sukacita di Sorga, karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.” (Luk 15:5-7)

Mari kita bersama memeriksa batin dan tidak terlalu tergesa-gesa menyimpulkan bahwa kita termasuk dalam golongan 99 domba yang baik-baik saja dan tidak hilang. Sebab mungkin kita tidak melakukan penganiayaan seperti yang pernah dilakukan oleh Rasul Paulus sebelum bertobat, atau seperti anak yang hilang yang berfoya-foya dengan harta ayahnya. Tapi setiap kali kita jatuh dalam dosa, sesungguhnya kita seperti domba yang mengambil jalannya sendiri, dan memisahkan diri dari Tuhan, Sang Gembala kita. Mari kita pulang ke jalan Tuhan, dengan mengakui dosa-dosa kita di hadapan-Nya. Biarlah Ia menggendong kita kembali di atas bahu-Nya, dan seluruh Sorga bersuka cita. Jangan lupa, bahwa sesungguhnya kitapun akan bersukacita karena ditemukan kembali oleh Tuhan! Di sakramen Tobat, Tuhan Yesus menantikan kita.
Kapankah terakhir kali saya menerima sakramen Tobat?

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab