Home Blog Page 102

Curhat dari jauh

3

akitaBanyak hal dalam hidup ini yang tidak bisa sepenuhnya sesuai dengan keinginan kita. Termasuk dalam biara. Yang paling repot adalah bila yang tidak sesuai dengan keinginan ini berhubungan dengan orang. Makanan yang sederhana masih bisa dinikmati, cuaca yang dingin menusuk masih dapat ditoleransi, tapi perbedaan prinsip butuh perhatian khusus agar tetap bertahan.

Beberapa saudara dalam biara agak terganggu dengan seorang pribadi. Parahnya, pribadi tersebut adalah seseorang yang memiliki otoritas dalam biara. Tentu saja, perlahan tapi pasti, gejolak dan bibit konflik mulai bermunculan. Memang, gejolak ini tidak bisa dilampiaskan dengan leluasa karena berhadapan dengan seseorang yang berpengaruh. Terkadang, muncul pendapat bahwa kondisi yang tidak menyenangkan ini terasa seperti membuang waktu karena membuat seseorang tidak bisa berkembang dan tidak memperoleh apapun.

Ada juga beberapa pendapat yang lebih revolusioner. Mengapa tidak merombak keadaan saja? Melakukan reformasi untuk mengubah situasi supaya situasi menjadi lebih sesuai dengan keinginan. Bukankah perubahan adalah jalan keluar supaya bisa memperoleh keadaan yang lebih baik? Kelihatannya memang ini lebih baik daripada tidak melakukan apapun. Tapi, dalam kasus kehidupan dalam biara, terutama dalam posisiku seperti ini, kelihatannya itu bukan solusi terbaik. Lantas, apa yang bisa dilakukan?

Mungkin, dalam beberapa kasus, apa yang aku bisa lakukan adalah tenang, duduk di dekat kaki Yesus, dan melihat apa yang Yesus hendak ajarkan melalui situasi tersebut. Aku pikir ini lebih baik karena aku sedang mengalami formatio/dibentuk oleh Kristus, aku sedang belajar. Aku berada dalam posisi dituntut untuk berubah menjadi sesuatu, bukan menuntut untuk mendapatkan sesuatu. Jauh dari hanya diam, aku malah berjuang lebih keras dalam hal ini untuk menaklukkan kesombongan. Kerendahan hati, menurutku, adalah jalan keluarnya, yang hanya mungkin lahir dari ketaatan. Sama seperti Yesus, yang memilih supaya kehendak Allah yang terjadi walaupun situasi tersebut tidak nyaman (Luk 22.42). Dari ketaatan-Nya, aku akan belajar melihat madu yang Tuhan sediakan di tengah kepungan lebah-lebah.

Perbedaan antara Iblis dengan St. Michael adalah ketaatan. Walaupun sesama malaikat, Iblis tidak mampu untuk taat dan dengan rendah hati melihat keindahan rencana Allah. Ia memilih untuk “mereformasi” keadaan sesuai kehendaknya, yang berujung pada kejatuhannya. Begitu pula si penjaja gulali ini, dapat memilih untuk memberontak dan memilih caranya sendiri (siapa tahu jadi konglomerat properti, daripada jualan gulali), atau taat kepada rencana Allah, yang walaupun berakibat bentol-bentol disengat lebah, namun memberikan madu kuat yang manis.

Ketiga paku itu adalah Ketaatan, Kemurnian, dan Kemiskinan. Dari ketiganya, Ketaatan adalah dasarnya.” – Our Lady of Akita, 1972.

Apakah jiwa pelayanan gerejawi yang sejati?

1

Suatu saat, di suatu paroki yang cukup aktif terjadi satu keributan. Pasalnya sederhana saja, terjadi ketidaksepakatan tentang acara perayaan ulang tahun paroki. Juga keributan terjadi di kelompok koor yang sedang berlatih untuk melayani dalam perayaan Misa tersebut, sehingga akhirnya kelompok itu bubar. Alasannya, hanya karena ada sejumlah anggota yang tidak terima ditegur sebab terlambat datang latihan. Ada lagi kelompok doa yang begitu bersemangat dalam doa komunitas, namun akhirnya kelompok itu terpecah karena beberapa anggota tidak terima ditegur, sebab pujian yang dibawakan kurang baik. Demikian juga ada lingkungan di paroki yang kurang kompak, karena anggotanya kurang peduli satu sama lain. Sungguh sangatlah menyedihkan, jika terjadi banyak perpecahan di dalam komunitas gerejawi, baik di tingkat teritorial maupun kategorial. Dan yang bikin penasaran adalah, perpecahan ini seringnya terjadi karena hal-hal yang sangat sepele! Padahal, di balik hal-hal sepele ini sebenarnya terdapat kunci untuk membentuk mereka yang terlibat di dalamnya, untuk menjadi para pelayan Gereja yang sejati.

Bunda Teresa dari Kalkuta mengatakan “The fruit of silence is prayer, the fruit of prayer is faith, the fruit of faith is love, the fruit of love is service, the fruit of service is peace.” Ternyata untuk menjadi pelayan Gereja yang sejati, tidaklah cukup hanya dengan modal semangat ’45 untuk melayani, namun harus ditunjang dengan keheningan dan doa, iman dan kasih. Hal-hal ini merupakan jiwa dari pelayanan, yang merupakan inti yang terdalam dari pelayanan. Tanpa inti yang menjiwai pelayanan ini, maka seorang pelayan cenderung mementingkan ambisi pribadinya, atau melakukan pelayanan dengan ala kadarnya,  atau mudah meninggalkan pelayanan kalau menemui ketidakcocokan dengan teman satu pelayanan, atau akan mudah ngambek kalau merasa tidak dihargai oleh orang lain. Tanpa doa, iman dan kasih,  pelayanan tidak mempunyai jiwa. Sama seperti tubuh akan mati jika tidak mempunyai jiwa, maka pelayanan-pun akan berhenti jika tidak dijiwai doa, iman dan kasih. Seorang pelayan tanpa jiwa pelayanan akan menjadi loyo dan tidak mempunyai sukacita dan damai ketika melakukan pekerjaan-pekerjaan pelayanan gerejawi.

Oleh karena itu, penting bagi seorang pelayan yang sejati  untuk  melakukan saat teduh, waktu hening dan doa. Saat teduh ini dapat dilakukan dalam doa pagi, doa malam, sebelum dan sesudah perayaan Ekaristi, yang diikuti dengan perhatian dan penghayatan yang penuh. Namun juga saat teduh dapat dilakukan di tengah-tengah kegiatan kita sepanjang hari, seperti di tengah kemacetan, maupun di saat-saat yang memungkinkan kita untuk mengarahkan perhatian kepada Tuhan. Ya, saat teduh bersama Tuhan memungkinkan kita melihat secara jujur ke dalam diri sendiri, untuk merefleksikan kesalahan-kesalahan kita, dan menyadari bahwa kita hanyalah seorang hamba yang dipakai oleh Tuhan walaupun sebenarnya banyak kekurangannya. Kesadaran bahwa ada banyak ketidaksempurnaan di dalam diri kita, namun Tuhan tetap mau memakai kita, akan membuat kita bertumbuh dalam kerendahan hati. Dengan keheningan dan doa, maka kesalahpahaman yang terjadi dapat diatasi dengan mudah, karena masing-masing tidak mengedepankan egonya sendiri agar terlihat hebat di mata orang lain, namun mengedepankan relasi mereka masing-masing dengan Allah. Keheningan dan doa menjadi siraman air yang menyejukkan, yang memberikan kekuatan bagi sang pelayan. Doa akan mendorong kita untuk tetap setia melayani, walaupun ada banyak pengorbanan yang harus kita lakukan dan sekalipun tidak ada orang yang memuji kita dalam pelayanan itu.

Kedalaman hidup doa dari seorang pelayan akan menghasilkan hubungan yang erat dengan Tuhan sendiri, sehingga imannya dapat lebih berakar dengan kuat dan bertumbuh dengan subur. Dengan iman yang semakin berakar dan bertumbuh,  seorang dapat menjadi pelayan Tuhan yang makin dewasa, yang tidak cepat ngambek, tidak cepat putus asa, tidak cepat menyerah untuk senantiasa melakukan yang terbaik. Ia akan melakukan yang terbaik bukan untuk mendapat pujian dari sesamanya, namun karena ingin memberikan terbaik bagi Kristus yang ia kasihi dan yang telah lebih dahulu mengasihi dia. Sebab kasih kepada Kristus yang berakar atas iman, dinyatakan dalam kasih kepada sesama.

Jadi, kasih kepada Allah dan  sesama, yang dipupuk dengan doa dan iman, menjadi dasar dari pelayanan, baik dalam Gereja maupun komunitas yang lain. Dasar ini akan memberikan pondasi yang sungguh kuat dan tak tergoyahkan bagi pelayanan gerejawi. Doa dan kasih memungkinkan seorang pelayan sejati untuk melihat Kristus dalam diri sesama, termasuk sesama yang kadang menjengkelkan. Kalau setiap pelayan di Gereja kita dapat melihat Kristus dalam diri sesama, maka Gereja akan dipenuhi dengan kasih Kristus dan persaudaraan sejati, sehingga pelayanan menjadi penuh dengan sukacita dan damai sejahtera. Sebaliknya, jika di dalam pelayanan tidak ada sukacita dan damai dan sering diwarnai dengan pertengkaran, maka satu hal yang dapat kita periksa bersama adalah: “Apakah saya masih mempunyai waktu hening, doa, yang memungkinkan iman dan kasih saya kepada Tuhan dapat bertumbuh?

Namun demikian, kabar baiknya adalah Tuhan berbelas kasih kepada kita semua. Ia tidak mensyaratkan bahwa seseorang harus sudah benar-benar siap dan sempurna, baru dapat melayani Dia. Nyatanya, seperti juga yang kita baca dalam Kitab Suci, justru Allah memilih orang-orang yang biasa. Orang-orang biasa dan sederhana inilah yang dipilih oleh Kristus menjadi para rasul dan pelayan-Nya. Namun, walaupun Kristus menerima pelayan tersebut apa adanya, namun Ia terus akan membentuk para pelayan-Nya, sehingga dapat menjadi pelayan-Nya yang sejati. Dari pihak kita, mari kita menyediakan diri untuk dibentuk oleh Kristus. Bagaimana caranya? Mulailah dalam keheningan dan doa. Dan lihatlah bagaimana Kristus dapat membentuk kita secara luar biasa, sehingga kita dapat menjadi  para pelayan-Nya yang sejati.

Pakaian liturgis para pelayan dalam perayaan Ekaristi

3

Berikut ini adalah ketentuan pakaian pelayan secara umum dalam perayaan Ekaristi menurut PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi) demikian *:

335. Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis. Seyogyanya busana liturgis untuk imam, diakon, dan para pelayan awam diberkati.

336. Busana liturgis yang lazim dikenakan oleh semua pelayan liturgi, tertahbis maupun tidak tertahbis, ialah alba, yang dikencangi dengan singel, kecuali kalau bentuk alba itu memang tidak menuntut singel. Kalau alba tidak menutup sama sekali kerah pakaian sehari-hari, maka dikenakan amik sebelum alba. Kalau pelayan menggunakan kasula atau dalmatik, ia harus mengenakan alba, tidak boleh menggantikan alba tersebut dengan superpli. Juga, sesuai dengan kaidah yang berlaku, tidak boleh pelayan hanya mengenakan stola tanpa kasula atau dalmatik.

337. Busana khusus bagi imam selebran dalam Misa ialah “kasula” atau planeta. Begitu pula dalam perayaan liturgi lainnya yang langsung berhubungan dengan Misa, kecuali kalau ada peraturan lain. Kasula dipakai di atas alba dan stola.

338. Busana khusus bagi diakon [catatan dari redaksi: maksudnya, diakon tertahbis] ialah dalmatik yang dikenakan di atas alba dan stola. Tetapi, kalau tidak perlu atau dalam perayaan liturgi yang kurang meriah, diakon tidak harus mengenakan dalmatik.

339. Akolit, lektor dan pelayan awam lain boleh mengenakan alba atau busana lain yang disahkan oleh Konferensi Uskup untuk wilayah gerejawi yang bersangkutan.

340. Imam mengenakan stola yang dikalungkan pada leher, dan ujungnya dibiarkan menggantung, tidak disilangkan. Diakon mengenakan stola yang disampirkan pada bahu kiri dan ujungnya disilangkan ke pinggang kanan.

341. Pluviale dikenakan oleh imam dalam perarakan atau dalam perayaan liturgis lain seturut petunjuk khusus untuk perayaan yang bersangkutan.

119. Di sakristi hendaknya disiapkan busana liturgis (bdk. no. 337-341) untuk imam, diakon dan pelayan-pelayan lain sesuai dengan bentuk perayaan:

a. untuk imam: alba, stola dan kasula
b. untuk diakon [catatan dari redaksi: maksudnya, diakon tertahbis]: alba, stola dan dalmatik. Namun dalmatik juga dapat ditiadakan, jika tidak diperlukan atau jika perayaannya tidak begitu meriah.
c. untuk pelayan lainnya: alba atau busana lain yang sudah disahkan.

Semua petugas yang memakai alba juga menggunakan singel dan amik, kecuali kalau bentuk alba tidak memerlukannya….

[* Catatan dari Katolisitas:
Keterangan akan busana liturgis ini akan dilengkapi secara bertahap.]

Jangan kurangi gulanya dong

0

Pemuda itu tersenyum lalu menjawab Yesus dengan bangga,”Semua itu sudah aku lakukan semenjak usia mudaku.” Jawaban ini membuat Yesus tersentuh dan berkata,”Ada satu hal lagi yang harus kamu lakukan. Juallah segala harta milikmu, bagikan kepada orang miskin, dan ikutlah aku.” Jawaban ini tidak diharapkan oleh si pemuda itu, yang kemudian meninggalkan Yesus dengan sedih. Ia sulit melepas semua harta melimpah yang ia miliki (Luk 18.23). Aku membayangkan diriku ada di peristiwa itu dan turut mendengarkan percakapan Yesus dengan pemuda itu.

Awalnya, aku mengira aku juga sudah cukup baik. Aku berusaha menjawab panggilan-Nya, tinggal di biara, mengikuti semua kegiatan di sini, ikut berdoa dan melakukan Ibadat Harian, serta menjalani studi dan belajar semua pelajaran dengan baik. Aku merasa aku sudah melakukan semua hal dengan baik. Namun, Yesus mengatakan hal yang sama kepadaku,”Juallah segala hartamu, bagikanlah kepada orang miskin, dan ikutlah Aku.” Sama dengan pemuda itu, aku juga tersentak. Guru, bukankah aku sudah melakukan semua hal dengan cukup baik?

Cukup baik ternyata masih belum cukup. Bagi Yesus, menjual harta berarti meninggalkan segala hal yang berharga, bukan? Aku telah meninggalkan pekerjaanku dan uangku, walau tidak sekaya si pemuda tadi. Aku juga meninggalkan sahabat-sahabatku, teman-temanku, bahkan keluargaku. Aku telah meninggalkan duniaku. Apalagi yang harus kuberi padaMu, Tuhan? Dengan lembut, ia tersenyum dan menunjuk padaku. Aku belum memberikan diriku seutuhnya. Sempat melongo setelah beberapa menit, aku akhirnya mengerti. Yesus ingin aku memberikan diriku tanpa menahan sesuatupun.

Artinya, segala kelemahanku, kompromi-kompromi, dan alasan-alasan untuk tidak memberikan diri sepenuhnya. Terkadang, aku menunda-nunda untuk bangun pagi dan malas bersiap-siap untuk Ibadat Pagi (Lauds), entah lima menit, 15 menit, 20 menit. Terkadang, waktu Ibadat sering dihabiskan untuk mengkritik nada-nada fals dalam hati daripada untuk fokus memuji Allah. Terkadang, aku mengerjakan pekerjaan kasar dalam biara sambil ogah-ogahan atau setengah hati. Hal-hal ini memang hal kecil, tapi ini semua membuat pemberian diriku tidak total. Aku menahan sesuatu untuk diriku sendiri, demi kesenangan sejenak 5 menit di tempat tidur, atau supaya tidak terlalu capek mengerjakan pekerjaan tangan. Ini membuat Yesus tidak dapat membentuk aku sebebas-bebasnya.

Setiap seniman harus memperhatikan detail sekecil apapun supaya bisa mempersembahkan maha karya. Begitu pula aku, dalam memintal gulali yang aku persembahkan untuk Sang Raja Alam Semesta. Terlebih lagi Yesus, Sang Seniman Agung, yang sedang mengerjakan karya-Nya dalam diriku. Jika aku masih menahan “hartaku”, yakni kesenangan-kesenangan kecil itu, Yesus tidak bebas untuk memoles karya seni ini. Intinya, kalau untuk memintal gulali memakai takaran gula 7 sendok, jangan dikurangi jadi 6 setengah, apalagi 4 sendok atau 3 sendok saja.

Berilah aku hanya cinta dan rahmatMu, ya Tuhan. Dengan itu, aku sudah menjadi kaya dan aku tidak mengharapkan apa-apa lagi.” – St. Ignatius Loyola.

Tentang Lektor, Pemazmur, Komentator

4

Ketentuan tentang Lektor, pemazmur, pembaca doa umat, dan komentator menurut Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR):

Ketentuan tentang Lektor:

194. Dalam perarakan menuju altar, bila tidak ada diakon, lektor dapat membawa Kitab Injil (Evangeliarium) yang sedikit diangkat. Dalam hal seperti ini, lektor berjalan di depan imam, kalau tidak membawa Kitab Injil, ia berjalan bersama para pelayan yang lain.

195. Sesampai di depan altar, lektor membungkuk khidmat bersama para pelayan yang lain. Seorang lektor yang membawa Kitab Injil langsung menuju altar dan meletakkan Kitab Injil di atasnya. Lalu ia pergi ke tempat duduknya di panti imam bersama para pelayan yang lain.

128. Sesudah doa pembuka (kolekta), semua duduk. Imam dapat menyampaikan pengantar singkat agar umat mendengarkan sabda Tuhan dengan baik. Kemudian, lektor pergi ke mimbar dan mewartakan bacaan pertama dari Buku Misa yang sudah tersedia di sana sejak sebelum misa. Umat mendengarkannya. Sesudah bacaan lektor berseru: Demikianlah sabda Tuhan, dan umat menjawab dengan seruan: Syukur kepada Allah.

Tepat sekali bila sesudah bacaan diadakan saat hening sejenak, supaya umat dapat merenungkan sebentar apa yang telah mereka dengar.

129. Sesudah bacaan, pemazmur atau lektor sendiri membawakan ayat-ayat mazmur tanggapan. Umat menanggapi dengan menyerukan/ melagukan ulangan.

196. Lektor memaklumkan bacaan-bacaan sebelum Injil dari mimbar. Kalau tidak ada pemazmur, lektor boleh juga membawakan mazmur tanggapan sesudah saat hening yang menyusul bacaan pertama.

130. Kalau sebelum Injil masih ada bacaan kedua, lektor mewartakannya dari mimbar. Umat mendengarkannya dan, sesudah bacaan, memberi tanggapan dengan seruan seperti di atas (no. 128). Tepat sekali bila sesudah bacaan diadakan saat hening sejenak.

197. Kalau tidak ada diakon, lektor boleh membawakan ujud-ujud doa umat, sesudah imam membukanya.

Ketentuan tentang Lektor yang dilantik:

99. Lektor dilantik untuk membawakan bacaan-bacaan dari Alkitab, kecuali Injil. Dapat juga ia membawakan ujud-ujud doa umat dan, kalau tidak ada pemazmur, ia dapat juga membawakan mazmur tanggapan. Dalam perayaan Ekaristi, ia harus menjalankan sendiri tugas khusus itu (bdk. no. 194-198), biarpun pada saat itu hadir juga pelayan-pelayan tertahbis.

Ketentuan tentang Pemazmur:

61. Sesudah bacaan pertama menyusul mazmur tanggapan yang merupakan unsur pokok dalam Liturgi Sabda. Mazmur Tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang permenungan atas sabda Allah.

Mazmur tanggapan hendaknya diambil sesuai dengan bacaan yang bersangkutan dan biasanya diambil dari Buku Bacaan Misa (Lectionarium).

Dianjurkan bahwa mazmur tanggapan dilagukan, sekurang-kurangnya bagian ulangan yang dibawakan oleh umat. Pemazmur melagukan ayat-ayat mazmur dari mimbar atau tempat lain yang cocok….

102. Pemazmur bertugas membawakan mazmur atau kidung-kidung dari Alkitab di antara bacaan-bacaan. Supaya dapat menunaikan tugasnya dengan baik, ia harus menguasai cara melagukan mazmur, dan harus mempunyai suara yang lantang serta ucapan yang jelas.

Ketentuan tentang Komentator:

105, b. Komentator yang, kalau diperlukan, memberikan penjelasan dan petunjuk singkat kepada umat beriman, supaya mereka lebih siap merayakan Ekaristi dan memahaminya dengan lebih baik. Petunjuk-petunjuk itu harus disiapkan dengan baik, dirumuskan dengan singkat dan jelas. Dalam menjalankan tugas itu komentator berdiri di depan umat, di tempat yang kelihatan, tetapi tidak di mimbar.

Ketentuan tentang Busana Lektor dan pelayan awam yang lain:

339. Akolit, lektor, dan pelayan awam lain boleh menggunakan alba, atau busana lain yang disahkan oleh Konferensi Uskup untuk wilayah gerejawi yang bersangkutan.

Ketentuan tentang Mimbar:

309. … Sebaiknya tempat pewartaan sabda berupa mimbar (ambo) yang tetap, bukannya ‘standar’ yang dapat dipindah-pindahkan. Sesuai dengan bentuk dan ruang gereja masing-masing, hendaknya membar itu ditempatkan sedemikian rupa, sehingga pembaca dapat dilihat dan didengar dengan mudah oleh umat beriman.

Mimbar adalah tempat untuk membawakan bacaan-bacaan dan mazmur tanggapan serta Pujian Paskah. Juga homili dan doa umat dapat dibawakan di mimbar. Untuk menjaga keagungan mimbar, hendaknya hanya pelayan sabda yang melaksanakan tugas di sana….

Ketentuan tentang Doa Umat:

71. Imam selebranlah yang memimpin doa umat dari tempat duduknya. Secara singkat ia sendiri membukanya dengan mengajak umat berdoa, dan menutupnya dengan doa. Ujud-ujud yang dimaklumkan hendaknya dipertimbangkan dengan matang, digubah secara bebas tetapi sungguh cermat, singkat dan mengungkapkan doa seluruh jemaat.

Menurut ketentuan, ujud-ujud doa umat dibawakan dari mimbar atau tempat lain yang serasi, entah oleh diakon, solis, lektor, entah oleh seorang beriman awam lainnya…

138. … Doa umat yang dipimpin oleh imam dari tempat duduknya. Dengan tangan terkatup, imam mengajak umat mengambil bagian di dalamnya. Ujud-ujud doa umat dimaklumkan oleh diakon, solis, lektor, atau pelayan yang lain, dari mimbar atau dari tempat lain yang cocok. Umat berpartisipasi dalam doa dengan aklamasi sesudah tiap-tiap ujud. Sambil merentangkan tangan, imam mengakhiri rangkaian ujud-ujud itu dengan doa.

Cinta separuh porsi

1

Dalam Injil Matius, Yesus mengatakan bahwa Kerajaan Allah seumpama pukat di laut yang menjaring berbagai jenis ikan (Mat 13:47-53). Ada ikan yang baik dan ikan yang buruk. Ikan baik akan dikumpulkan dalam pasu, sementara ikan buruk akan dibuang. Cerita tersebut adalah gambaran akhir zaman, yang tentu saja tidak bisa dihindari, termasuk olehku. Tentu saja, kalau ditanya mau jadi ikan yang baik. Kenapa? Supaya tidak dibuang dong. Masih mending dimasak jadi Tim Ikan untuk makanan Raja daripada dibuang.

Ini mengingatkanku pada pertanyaan yang dulu sering muncul dalam lamunan siang bolongku : “Mengapa kita harus jadi orang baik?” Aku pikir pertanyaan ini sering juga muncul dalam benak orang banyak. Apalagi, di zaman sekarang, menjadi orang baik sering dipandang lebih banyak ruginya. Ungkapan “Jujur iku ajur” (jujur itu hancur) adalah salah satu ungkapan yang menggambarkan pandangan itu. Daripada jujur, mending jujur kacang hijau, eh.. bubur maksudnya. Bubur kacang hijau masih bisa bikin perut kenyang, kalau jujur belum tentu bisa bikin kenyang, apalagi bikin kaya. Kalau hidup benar hanya sekali, kenapa tidak kita manfaatkan sebaik mungkin untuk kesenangan kita? Kenapa harus susah-susah berjuang menjadi orang sabar? Ditindas orang-orang demi menjadi rendah hati? Dipojokkan sana-sini karena menjadi orang jujur? Buat apa?

Tentu saja, aku mengimani ajaran Gereja bahwa ada kehidupan setelah kematian. Ada kebangkitan badan, sehingga semua yang aku lakukan dalam hidup ini bukan sekedar angin lalu. Hidupku bukanlah pameran ukiran es, yang diukir dengan cantik untuk satu musim lalu meleleh dan musnah pada ketiadaan. Bukan patung pasir yang mengagumkan di pinggir pantai, namun hilang tersapu ombak pasang di malam hari. Ada kehidupan abadi yang nyata sedang menungguku, dan perjalanan hidup ini adalah perjalanan persiapan menuju kehidupan tersebut. Oleh sebab itu, segala perbuatanku di dunia ini akan mempengaruhi kehidupan abadi yang mana yang akan aku alami. Persatuan abadi dengan Allah, atau keterpisahan kekal dari Sumber Kebahagiaan.

Namun, Injil hari ini belum puas dengan jawabanku. Dengan ngototnya, Ia menanyaiku lagi melalui Sabda-Nya. “Kalau begitu, kamu cuma mau numpang selamat aja dong? Cuma penumpang kereta api yang berharap mendapat tiket dan tidak ketinggalan kereta menuju tempat tujuan. Setelah sampai tempat tujuan, kamu mau ngapain?” Benar juga. Apakah cinta, semangat, dan perjuangan yang aku lakukan untuk Tuhan hanyalah supaya aku tidak ketinggalan kereta? Jika aku hanya menjadi ikan yang baik hanya demi tidak ketinggalan kereta, apakah aku akan tetap mencintai Yesus dengan semangat dan cinta yang sama kuatnya setelah tempat tujuan kekal nanti tercapai?

Aku pikir, motivasiku mencintaiNya harus lebih dimurnikan. Orang tidak bisa menjadi sabar dalam sehari, tapi harus berlatih setiap hari untuk selalu bersabar. Seorang wanita yang belajar mencintai sedari kecil, akan tumbuh menjadi seorang ibu yang mencintai anak dan keluarganya dengan tulus. Apabila aku mencintaiNya hanya untuk motivasi pribadi tertentu, aku tidak akan terbiasa mencintaiNya dengan tulus ketika di surga nanti. Perajin gulali ini harus belajar memintal gulali dengan sepenuh hati semenjak hidup di dunia ini. Jika tidak, ia akan memintal dengan setengah hati ketika di Surga nanti. Entah gulanya cuma setengah sendok, cuma setengah bungkus, atau cuma setengah warna. Yang pasti, Raja Surga tidak akan suka anak-anak-Nya mendapat gulali yang separuh-separuh begitu.

Cinta Sang Pengantin, Sang Cinta Pengantin sendiri, hanya minta balasan cinta dan setia” –St. Bernardus.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab